Hukum

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hukum as PDF for free.

More details

  • Words: 1,938
  • Pages: 9
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2.1 Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Di daerah perbatasan laut ini melimpah sumber daya laut, salah satunya adalah pasir laut. Pasir laut banyak digunakan untuk reklamasi pulau, sehingga sering ditambang secara berlebihan. Oleh karena itu perlu pengelolaan yang baik di daerah perbatasan. 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan tulisan ini adalah untuk memenuhu tugas mata kuliah hukum laut, dan memberikan informasi tentang kasus pengerukan pasir laut.

BAB II

1

PEMBAHASAN 2.1 Kasus Permasalahan Laut yang tenang di perairan Riau Kepulauan tiba-tiba menjadi hiruk pikuk dengan suara gemuruh kapal-kapal keruk dari berbagai ukuran yang beroperasi di sana. Kapal-kapal keruk tersebut dengan serakahnya menyedot pasir dan berbagai benda mati dan hidup lainnya yang ada di dasar lautan untuk kemudian dimuat ke atas kapal-kapal tongkang yang sudah lapar menunggu. Sesudah muatan kapal tongkang tersebut penuh, dengan santainya kapal tongkang tersebut ditarik oleh kapal-kapal tunda untuk berangkat ke negara tetangga, Singapura, dan memuntahkan isinya di wilayah negeri itu. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sana? Inilah sebetulnya gambaran nyata dari segelintir mereka yang mengaku warga negara Indonesia yang sedang melakukan penjualan atas tanah airnya demi untuk memperkaya diri pribadi masing-masing. Tidak hanya itu, tanah airnya inipun dijualnya dengan sangat murah! Kenapa demikian? Karena nilai jual dari pasir laut dari mereka oleh pembeli dari Singapura yang kemudian dikenal sebagai tauke ini hanya dihargai sebesar 1,2 sampai 1,5 dolar Singapura per meter kubik, sedangkan para tauke tersebut menjualnya kembali kepada pemerintah Singapura sebesar 6 hingga 8 dolar Singapura per meter kubik.Sungguh suatu ironi yang terjadi di depan mata Di satu sisi para tauke ini menikmati keuntungan yang tinggi, juga para pemasok pasir dari Indonesia menikmati bagiannya. Di sisi lain lingkungan laut beserta isinya hancur-lebur atas biaya para nelayan yang biasanya menangkap ikan di sana. Kegundahan para nelayan ini sudah terlihat mulai dari berdatangannya kapal-kapal keruk tersebut ke daerah dimana mereka biasanya memasang jala dan memancing. Masalah pertama yang dialami oleh para nelayan ini adalah tersangkutnya jala dan pancing mereka oleh kapal-kapal keruk, kemudian disusul dengan semakin menurunnya hasil ikan yang tertangkap. Sudah pasti hal ini terjadi sebab seluruh isi laut disedot tanpa pandang bulu, tidak hanya pasir yang terangkat, tetapi juga telur-telur dan anak-anak ikan serta biota laut lainnya ikut musnah. Mereka hanya mengetahui bahwa kegiatan penambangan pasir laut ini hanya akan menurunkan penghasilan mereka. Walaupun di kemudian hari ada pembagian sedikit hasil dari penambangan pasir laut ini dalam bentuk biaya yang disebut pengembangan masyarakat atau istilah kerennya community development. Tetapi tetap

2

saja bagi mereka hal tersebut bukan merupakan jalan keluar yang terbaik, karena sifatnya yang hanya sporadis dan tidak berkelanjutan, selain distribusi dari dana bantuan yang sering kali seret dan tersendat-sendat. 2.2 Dampak Negatif Penambangan Pasir Dari segi ekologi dampak negative dari penambangan pasir adalah sumber daya pasir laut sangat berkaitan dengan sumberdaya alam yang lain, khusunya terumbu karang, mangrove, padang lamun, perikanan hingga pantai (beach) itu sendiri. Dampak lain dari pengrukan pasir ini adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil yang berada di propinsi yang terdiri dari tiga ribuan pulau ini. Salah satu pulau kecil yang hampir tenggelam diantaranya adalah Pulau Nipah, merupakan pulau kecil yang tidak berpenghuni tetapi sangat penting peranannya. Kenapa demikian, karena pulau ini merupakan tanda dari batas kontinen negara kita dengan Singapura, bayangkan bila pulau ini benar-benar tenggelam atau hilang, yang diuntungkan adalah Singapura, karena kemudian dapat mengklaim bahwa luas wilayah negaranya telah bertambah. Dari segi ekonomi Indonesia sebenarnya dibodohi, sebagai contoh adalah nilai jual dari pasir laut dari mereka oleh pembeli dari Singapura yang kemudian dikenal sebagai tauke ini hanya dihargai sebesar 1,2 sampai 1,5 dolar Singapura per meter kubik, sedangkan para tauke tersebut menjualnya kembali kepada pemerintah Singapura sebesar 6 hingga 8 dolar Singapura per meter kubik. 2.3 Quovadis Nilai Sumberdaya Alam Indonesia : Kasus Pasir Laut Sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 2/2002 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang pengendalian dan pengawasaan pengusahaan pasir laut, maka pasir laut pun secara bertahap mulai tertata. Namun mengingat bahwa kelemahan utama kita selama ini dalam penegakan aturan/regulasi, maka pengendalian pengusahaan pasir laut itu tidak berjalan maksimal. Hal ini didukung pula oleh hukum suplai dan permintaan (demand-supply law) yang tidak bias lepas dalam pengusahaan sumberdaya ini. Belajar pada kasus ekspor pasir laut ke Singapura dimana kebutuhan reklamasi di Singapura hingga tahun 2004 mencapai 800 juta m3 dengan nilai (jika kurs 2001 Rp 3

5.600/dollar Singapura) sekitar Rp 4,48 trilyun. Kebutuhan tersebut akan terus bertambah pada proyek reklamasi tahun 2005 yang mencapai kebutuhan 265 juta m3 dengan nilai sekitar Rp 1,48 trilyun, dan proyek pada tahun 2010 dengan kebutuhan sekitar 1,01 milyar m3 dengan nilai sekitar Rp 5,656 trilyun. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001) Angka-angka tersebut akan memunculkan pertanyaan seberapa pentingkah sumberdaya pasir laut ini bernilai ekonomis? Hasil penelitian yang dilakukan PKSPL berdasarkan data berbagai macam sumber memunculkan fakta bahwa pengelolaan sumberdaya pasir laut sangat memerlukan prinsip kehati-hatian. Mengapa? Selama ini kita beranggapan bahwa sumberdaya ini adalah renewable resources, artinya berapapun kita eksploitasi dan sampai kapanpun kita keruk, sumberdaya tersebut tidak akan habis. Namun pada kenyataannya walaupun sumberdaya tersebut bersifat terbarukan, bila pengusahaannya tidak memperhatikan daya dukung alam, maka pada tingkat tertentu akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Secara ekologi, sumberdaya pasir laut sangat berkaitan dengan sumberdaya alam yang lain, khusunya terumbu karang, mangrove, padang lamun, perikanan hingga pantai (beach) itu sendiri, disamping tentunya aspek social ekonomi yang erat kaitannya dengan pasir laut itu sendiri, seperti kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya. Perhitungan secara ekonomi sumberdaya memperlihatkan bahwa setiap kita mengeksploitasi sumberdaya pasir laut sebesar 1 juta meter kubik akan mengakibatkan gangguan (damage) terhadap sumberdaya kelautan yang lain sebesar 5 %, artinya bila kita meningkatkan kapasitas pengerukan tersebut hingga 10 kali lipat maka sumberdaya lain akan meningkat pula kerusakannya hingga 50 persen. Bila pemerintah

berencana membuka lagi kran ekspor pasir laut ke Malaysia

tentunya perlu dikaji ulang lagi secara serius, mengingat harga yang ditawarkan kepada konsumen di negeri jiran tersebut sebesar US $ 3 per meter kubik. Analisis yang dilakukan terhadap tingkat kelayakan harga yang layak jika pasir laut tersebut benarbenar akan dieksploitasi adalah seharga US $16 per meter kubik. Mengapa bisa setinggi itu?

Bila kita berpijak pada prinsip daya dukung

lingkungan, maka ekosistem pesisir dan lautan tentunya akan menjadi bagian dari wacana tersebut, artinya bila eksploitasi pasir laut tersebut akan tetap dilakukan, maka dampak ekologis secara tangible dan intangible juga akan terjadi pada ekosistem mangrove,

4

terumbu karang, padang lamun. Sehingga amatlah wajar bila harga yang ditawarkan terhadap pasar seharusnya pada posisi di atas. Apalagi pasar tersebut merupakan captive market. Harga sebesar US $ 16 per meter kubik tersebut ternyata bila dianalisis lebih lanjut merupakan ‘breakdown’ dari

berbagai

macam

biaya.

Harga

pasir

laut

sendiri,

tanpa

melibatkan

komponen/variable sumberdaya pesisir dan lautan sebesar US $ 8,15 per meter kubik. Berdasarkan valuasi ekonomi sumberdaya lingkungan, biaya pemulihan per m3 eksploitasi pasir laut bagi ekosistem terumbu karang sebesar US $ 3,25, ekosistem mangrove sebesar US $ 2,60, ekosistem padang lamun sebesar US $ 1.80, dan sumberdaya perikanan sebesar US $ 1,95 serta

pantai (beach) sebesar US $ 1,15 .

Komponen lain yang masuk perhitungan adalah dampak sosial ekonomi yang muncul terutama aktivitas masyarakat pesisir seperti nelayan dan pembudidaya ikan, perkiraan nilai yang harus dibayar sebesar US $ 1,95. Angka-angka ini semakin membuktikan argumen, bahwa eksploitasi pasir laut ternyata akan membawa dampak pada upaya perbaikan ekosistem lain yang harus ‘dibayar’. Pertanyaan selanjutnya apakah buyer akan mundur dengan tingginya harga pasir laut tersebut. Kajian yang dilakukan PKSPL – IPB menunjukkan bahwa harga sebesar US $ 16 tersebut justru akan mendorong terjadinya pemanfaatan secara terbatas terhadap eksploitasi sumberdaya pasir laut, mengingat sumberdaya ini bila tidak dilakukan pembatasan eksploitasi akan cenderung mengalami tekanan ekologi yang hebat. Sehingga dengan penetapan harga tersebut diharapkan eksploitasi dapat berjalan pada beberapa kurun waktu tertentu (kurang lebih 1,5 tahun hingga 2 tahun) yang selanjutnya dilakukan moratorium, untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya tersebut memulihkan diri. Bersediakah pemerintah menaikkan harga tersebut, akan menjadi hal yang kontroversial bila pemerintah tetap memaksakan ekspor pasir laut pada harga US $ 3 bahkan cenderung kurang dari itu. Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), hingga tahun 2002 lalu terdapat sekitar 140 perusahaan penambangan pasir yang bergerak di 37 titik (kavling) penambangan pasir di kepulauan Riau. Ke-37 tempat tersebut merupakan penambangan yang memperoleh konsesi atau izin penambangan pasir dari pemerintah daerah sebagai konsekuensi UU No 22/1999 tentang otonomi

5

daerah. Padahal sebelum pemberlakuan UU tersebut jumlah perusahaan yang melakukan penambangan hanya sekitar 10 perusahaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat potensi penekanan harga ekspor pasir laut tersebut, mengingat demikian banyaknya stake holder yang ada sehingga buyer (pembeli) mempunyai kemampuan untuk memainkan harga. Sehingga bila pemerintah tetap memaksakan membuka kran ekspor tanpa berusaha membuat kebijakan harga yang berdasarkan ‘environment price’ maka justru bencana yang akan dituai. Pengalaman sebelumnya memperlihatkan bahwa harga pasir tertekan hingga 0.7 dolar Singapura per meter kubik, padahal sebelumnya bisa mencapai 12 dolar Singapura per meter kubik. Kedua, negara rugi sekitar Rp 6,14 miliar setiap harinya akibat ekspor ilegal, yang berarti dalam setahun mencapai Rp 2,24 triliun. Hal ini ditunjukkan oleh selisih antara volume impor pasir Singapura dari Riau dengan volume ekspor pasir Riau. Ketiga, terdapat kerugian ekologis berupa terancam tenggelamnya beberapa pulau di Kepulauan Riau khususnya akan tak terhingga nilainya bila merupakan acuan batas negara. Keempat, serta rusaknya ekosistem pesisir dan laut (misal: terumbu karang, padang lamun) akibat penambangan pasir laut. Keempat, akibat kerusakan ekologis menyebabkan nelayan tidak bisa lagi menikmati kekayaan hayati lautnya, Di Pulau Karimun, misalnya, nelayan mengaku kehilangan separo pendapatannya akibat adanya penambangan pasir laut. 2.4 Rekomendasi awal untuk penanganan kasus pengerukan pasir laut. Seperti yang telah dituliskan diatas bahwa harga pasir laut harus sesuai dengan ‘environment price’, karena akan mendorong terjadinya pemanfaatan secara terbatas terhadap eksploitasi sumberdaya pasir laut. Kemudian karena pengerukan ini terjadi di daerah perbatasan maka harus dilakukan reformasi manajmen daerah perbatasan, yaitu sistem manajemen perbatasan yang efektif dan akuntabel seharusnya selaras dengan wacana yang dibawa oleh arus reformasi sektor keamanan, yakni adanya sebuah pembagian peran yang jelas antar aktor keamanan sebuah negara. Pembagian yang tegas dan jelas tersebut nantinya menjadi sebuah “aturan main” yang harus disepakati oleh para stakeholders dalam pengelolaan perbatasan negara sehingga pembangunan sektor

6

keamanan dan sosial-ekonomi dapat berjalan secara selaras di perbatasan negara. Manajemen perbatasan adalah salah satu bentuk arsitektur pertahanan dan keamanan sebuah negara oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah dan DPR melaksanakan sebuah reformasi sistem manajemen perbatasan negara sebagai salah satu agenda reformasi sektor keamanan selain reformasi TNI, Polisi, dan Intelijen secara institusional.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

7

Pada batasan tertentu memang bila pasir laut terpaksa harus dieksploitasi, harus ada aturan-aturan ketat yang mengikatnya. Pertama adalah harus ada penelitian yang integrative berapa banyak ‘proven reserve’ sumberdaya pasir laut yang kita miliki selama ini, sehingga dapat diperhitungkan berapa meter kubik yang harus dieksploitasi, kemudian bagaimana dengan zonasi yang harus ditetapkan, mengingat sumberdaya pasir laut terkadang pada daerah yang mempunyai indeks sensitivitas yang tinggi, artinya bila dilakukan eksploitasi, maka akan mengakibatkan pulau disekitarnya menjadi tenggelam, dan terakhir adalah menyangkut teknologi yang digunakan, dimana improvement technology harus menjadi bagian dari kegiatan tersebut yang mendorong pemanfaatan sumberdaya berdasarkan clean technology.

DAFTAR PUSTAKA http://www.box.net/index.php? rm=box_v2_download_shared_file&blog&file_id=f_90155395, diakses pada tanggal 21

8

Juni 2009. http://www.forplid.net/index.php?option=com_content&task=view&id=65&Itemid=98, diakses pada tanggal 21 Juni 2009. http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2002/09/10/brk,20020910-38,id.html, diakses pada tanggal 21 Juni 2009.

9

Related Documents

Hukum
June 2020 34
Hukum
November 2019 62
Hukum
June 2020 29
Hukum
April 2020 41
Hukum
December 2019 42
Hukum
November 2019 50