Tutorial Bronkopneumonia Fathin.docx

  • Uploaded by: YoungFanjiens
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tutorial Bronkopneumonia Fathin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,155
  • Pages: 19
TUTORIAL KLINIK

BRONKOPNEUMONIA

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi Di RSUD Dr.R. Soedjati Purwodadi

Oleh : Fawzia Haura Fathin 30101206825

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI RSUD DR. R. SOEDJATI PURWODADI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2016

LEMBAR PENGESAHAN TUTORIAL KLINIK BRONKOPNEUMONIA

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinis bagian ilmu radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama

: Fawzia Haura Fathin (30101206825)

Judul

: Bronkopneumonia

Bagian

: Ilmu Radiologi

Fakultas

: Kedokteran UNISSULA

Pembimbing

: dr. Rona Yulia, Sp. Rad

Telah diajukan dan disahkan Semarang, Oktober 2016 Pembimbing,

dr. Rona Yulia, Sp. Rad

2

BRONKOPNEUMONIA

I. Pendahuluan Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut, biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi sebagian dari salah satu atau kedua paru. Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru. Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara . Menurut survey kesehatan nasional (SKN), 2001, 27,6 %, kematian bayi dan 22,8 % kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit system respiratori, terutama pneumonia. Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di Negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah : pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisai bakteri pathogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Anak dengan daya tahan terganggu akan menderita bronkopneumonia berulang atau bahkan bisa anak tersebut tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain faktor 3

imunitas, faktor iatrogen juga memacu timbulnya penyakit ini, misalnya trauma pada paru, anestesia, pengobatan dengan antibiotika yang tidak sempurna.1 Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Adanya organismeorganisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini.

II. Definisi Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercakbercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi: 1) Pneumonia lobaris 2) Pneumonia interstisial 3) Bronkopneumonia.

4

Gambar 1, jenis-jenis pneumonia Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Berdasarkan

beberapa

pengertian

di

atas

maka

dapat

disimpulkan

bahwa

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.

5

III. Epidemiologi Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem repiratori, terutama pneumonia. Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).

Diagram 1. Penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO

6

IV. Etiologi Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.5 Usia

Etiologi yang Sering

Etiologi yang Jarang

Lahir-20 hari

Bakteri

Bakteri

E. colli

Bakteri anaerob

Streptococcus group B

Streptococcus group D

Listeria moonocytogenes

Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum Virus Virus Sitomegalo Virus Herpes Simpleks

Usia

Etiologi yang Sering

Etiologi yang Jarang

3 minggu-3 bulan

Bakteri

Bakteri

Chlamydia trachomatis

Bordetella pertussis

Streptococcus pneumoniae

Haemophillus influenzae tipe B

Virus

Moraxella catharalis

Virus Adeno

Staphylococcus aureus

Virus Influenza

Ureaplasma urealyticum

Virus Parainflueza 1,2,3

Virus

Respiratory Syncytial virus

Virus Sitomegalo

Usia

Etiologi yang Sering

Etiologi yang Jarang

4 bulan-5 tahun

Bakteri

Bakteri

Chlamydia pneumoniae

Haemophillus influenzaetipe B

Mycoplasma pneumoniae

Moraxella catharalis

Streptococcus pneumoniae

Neisseria meningitidis

Virus

Staphylococcus aureus

Virus Adeno

Virus

Virus Influenza

Virus Varisela-Zoster

7

Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial virus

Usia

Etiologi yang Sering

Etiologi yang Jarang

5 tahun-remaja

Bakteri

Bakteri

Chlamydia pneumoniae

Haemophillus influenzae

Mycoplasma pneumoniae

Legionella sp

Streptococcus pneumoniae

Staphylococcus aureus Virus Virus Adeno Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Syncytial virus Virus Varisela-Zoster

Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI. Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 V. Patogenesis Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative. Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi 8

merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar. Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakea atau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan. Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni. Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN. Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu : 1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediatormediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast 9

juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil) 3. Stadium III (3 – 8 hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

10

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil 4. Stadium IV (7 – 11 hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :  Filtrasi partikel di hidung  Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis  Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk  Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar  Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar 11

 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal  Drainase melalui sistem limfatik.

VI. Manifestasi Klinis Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan : 

Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.



Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.



Perkusi : Sonor memendek sampai beda



Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.

Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-3 minggu.

VII.

Diagnosis

1. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. 12

Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. 2. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :

Pemeriksaan

Bakteri

Virus

Mikoplasma

Umur

Berapapun, bayi

Berapapun

Usia sekolah

Awitan

Mendadak

Perlahan

Tidak nyata

Sakit serumah

Tidak

Ya, bersamaan

Ya, berselang

Batuk

Produktif

nonproduktif

Kering

Gejala penyerta

Toksik

Mialgia, ruam,

Nyeri kepala, otot,

organ bermukosa

tenggorok

Anamnesis

Fisik Keadaan umum

Klinis > temuan

Klinis ≤ temuan

Klinis < temuan

Demam

Umumnya ≥ 39ºC

Umumnya < 39ºC

Umumnya < 39ºC

Auskultasi

Ronkhi ±, suara

Ronkhi bilateral,

Ronkhi unilateral,

Napas melemah

Difus, mengi

mengi.

Takipneu berdasarkan WHO: a. Usia < 2 bulan

: ≥ 60 x/menit

13

b. Usia 2-12 bulan

: ≥ 50 x/menit

c. Usia 1-5 tahun

: ≥ 40 x/menit

d. Usia 6-12 tahun

: ≥ 28 x/menit

3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologis Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.

Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan 14

Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia. b. C-Reactive Protein Suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

15

VIII. Kriteria Diagnosis Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada b. panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

IX. Diagnosis Banding 1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus) 2. Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus) 3. Aspirasi pneumonia 4. Edema paru 5. Atelektasis 6. Perdarahan paru 7. Kelainan kongenital parenkim paru 8. Tuberkulosis 9. Gagal jantung kongestif 10. Neoplasma 11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis).1 X. Penatalaksanaan a. Penatalaksaan umum -

Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2pada analisis gas darah ≥ 60 torr

-

Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

-

Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena. 16

b. Penatalaksanaan khusus -

mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung

-

pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi : a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis b. Berat ringan penyakit c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -

ampicillin + aminoglikosid

-

amoksisillin-asam klavulanat

-

amoksisillin + aminoglikosid

-

sefalosporin generasi ke-3

b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) -

beta laktam amoksisillin

-

amoksisillin-amoksisillin klavulanat

-

golongan sefalosporin

-

kotrimoksazol

-

makrolid (eritromisin)

17

c. Anak usia sekolah (> 5 thn) -

amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

-

tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka

harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

XI. Prognosis Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanakkanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

18

DAFTAR PUSTAKA

1.

Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul.Pneumonia.Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7

2.

Garna H dan Heda M.2005. Pneumonia DalamPedoman Diagnosis Dan Terapi3rdEd: Bagian IKA FK UNPAD Bandung.th ; 2010.Hal; 403 – 8

3.

Chandra. Bronkopneumonia. Available atwww.pdfcoke.com/doc/46439973/Lapkas-BPchandra.

4.

Anonim. Referat Bronkopneumonia. Available at www.pdfcoke.com/doc/7688175/ReferatBronkopneumonia

5.

Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th; 2010.hal; 351-363

6.

Alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO Indonesia.th;2008. Hal 86-93

7.

WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia.

19

Related Documents


More Documents from "Fikri Ananda"

Mid Saraf.docx
December 2019 17
Translate Jurnal.docx
December 2019 28
File Coass.doc
June 2020 10
Cbd Aufan Epilepsi.docx
December 2019 20