Asas Legalitas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
TUGAS UAS HUKUM ADAT DAN SISTEM HUKUM NASIONAL
Dosen Pembimbing : Gayatri Dyah Suprobowati, S.H.,M.H.
Disusun Oleh : Riski Agung Nugroho | E0017407 | Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional ( J )
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2018
RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja perbandingan Asas Legalitas dalam KUHP dan RKUHP 2. Analisis konsep penyimpangan Asas Legalitas serta contoh kasus
PEMBAHASAN
Ajaran asas legalitas ini merujuk pada nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak ada delik ataupun pidana tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang ada. Asas ini menghendaki bahwa, suatu tindakan dapat dimintai pertanggungjawabannya dengan dituntut di muka persidangan haruslah ada ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa perbuatan tersebut dapat dipidana, norma seperti inilah yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteit beginsel atau Principle of Legality1. Jadi walaupun suatu perbuatan telah memenuhi unsur perumusan delik tapi dilakukan sebelum ketentuan tentang perbuatan tersebut berlaku, maka atas perbuatan tersebut seseorang tidak dapat dituntut di muka pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban. Menurut Moeljatno2 sendiri asas legalitas dibagi kedalam tiga pengertian atau yang biasa disebut asas legalitas secara formil yaitu : a. Tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan hukuman pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu undang-undang b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunaka analogi (qiyas) c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
1 2
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana ( Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hlm. 23-24. Ibid, hlm. 25.
Dalam KUHP sendiri Asas Legalitas terdapat pada pasal 1 ayat (1) dengan dinyatakan : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.3 Dari bunyi pasal diatas KUHP kita memuat dua pokok penting tentang asas legalitas ini, petama suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan dalam hali ini berarti hukum tertulis, kedua larangan berlaku surut dimana peraturan perundang-undangan harus ada terlebih dahulu sebelum perbuatan sehingga dapat dipidana. Bisa kita lihat KUHP kita yang berlaku sekarang ini menganut asas legalitas formil dan tidak menganut asas legalitas materiil. Sedangkan dalam Rancangan KUHP (2017) asas legalitas ini diatur sedikit berbeda dengan asas legalitas dalam KUHP yang berlaku sekarang, dalam Rancangan KUHP (2017) asas legalitas diatur dalam pasal 1 dan pasal 2 sebagai berikut : Pasal 1 Rancangan KUHP (2017)4 (1)
Tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi kecuali atas kekuatan peraturan
pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. (2)
Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
Pasal 2 Rancangan KUHP (2017)5 (1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. (2)
Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup.
3
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hasil Pembahasan Panitia Kerja R-KUHP DPR RI tanggal 24 Februari 2017 5 Ibid,. 4
Berbeda dengan KUHP yang sekarang, Rancangan KUHP kita tidak hanya menganut asas legalitas formil tetapi juga memasukan adanya asas legalitas materiil dalam muatannya, perbedaan yang mencolok antara asas legalitas dalam Rancangan KUHP dan KUHP adalah adanya pengakuan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, hal ini membawa perubahan dimana perbuatan yang secara materiil melawan hukum (dianggap sebagai perbuatan tercela dalam masyarakat) dapat dipidana walaupun perbuatan itu tidak ada padanannya dalam peraturan perundang-undangan yang ada sebagai hukum tertulis. Hal ini berujung Hakim dalam memutus perkara tidak hanya mempertimbangkan Hukum Formil saja tetapi juga Hukum Materiil sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat. Perluasan asas legalitas dengan dirumuskanya asas legalitas materiel pada pasal 2 ayat 1 RUU KUHP (2017) membawa perdebatan diantara para ahli hukum pidana sebagian beranggapan bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan dari asas legalitas dan sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran6
A. PERBEDAAN ASAS LEGALITAS DALAM KUHP DAN RKUHP
B. Perbedaan Asas Legalitas dalam KUHP dan RKUHP KUHP
RKUHP
Terdapat pada pasal 1 KUHP dan tidak ada Dijelaskan secara rinci pada pasal 1 dan pasal penjelasan lebih lanjut
2 RKUHP (2017)
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana Pasal 1 Rancangan KUHP (2017) kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi perundang-undangan yang telah ada, sebelum kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam perbuatan dilakukan”
peraturan perundang-undangan yang telah ada (2)
sebelum
perbuatan
dilakukan.
Dalam menetapkan adanya tindak
pidana dilarang menggunakan analogi. Pasal 2 Rancangan KUHP (2017)
6
ELSAM, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1: Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM, Jakarta, hlm.10.
(1)
Ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam
masyarakat
yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur
dalam
peraturan
perundang-undangan. (2)
Hukum yang hidup
dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila,
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu hidup.
Hanya
terdapat
asas
legalitas
formil Bukan hanya asas legalitas formil pada pasal 1
sebagaimana tertuang pada pasal 1 KUHP
RKUHP tetapi juga terdapat asas legalitas materiil pada pasal 2 RKUHP
Tidak ada larangan penggunaan analogi Secara eksplisit ada larangan penggunaan dalam menetapkan adanya tindak pidana
analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana sesuai pasal 1 ayat 2 RKUHP (2017)
Perbuatan dapat dipidana jika ada peraturan Perbuatan dapat dipidana walaupun tidak ada perundang-undangan
yang
mengaturnya padanannya
sebelumnya
dalam
peraturan
perundang-
undangan jika merujuk pada pasal 2 ayat 1 RKUHP (2017)
Tidak mengakui eksistensi hukum adat sebagai Hukum adat diakui sebagai hukum yang hidup hukum yang hidup dalam masyarakat
dalam masyarakat sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia dan asas-asas hukum umum
C. KONSEP PENYIMPANGAN ASAS LEGALITAS
Penyimpangan terkait asas legalitas dalam KUHP sendiri sejauh ini adalah banyaknya perkara yang sering tidak ada kesesuaian antara hukum dalam KUHP dimana perbuatan bisa saja dianggap perbuatan pidana jika merujuk pada KUHP tetapi dalam hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) bukanlah perbuatan pidana, begitupun sering suatu perbuatan dianggap patut dipidana menurut hukum adat akan tetapi bukan perbuatan pidana dalam rumusan KUHP karena tidak ada padanannya. Konsep penyimpangan seperti ini diperlukan untuk memenui rasa keadilan yang ada dalam masyarakat, misalnya pada kasus sperti dibawah ini :
Kasus pidana adat “Logika Sanggraha” di Bali Kasus klasik yang dikenal "logika sanggraha" sebagai tindak pidana adat dan diadili di Pengadilan Negeri Gianyar, Bali adalah mengenai hubungan seksual antara pria (IWS) dan wanita (NKS) yang kedua-duanya sudah dewasa dan belum menikah menurut hukum. Akibat hubungan intim layaknya suami-istri di antara tahun 1971 sampai dengan tahun 1975 di tempat kediaman NKS yang kosong kala itu, berakibat hamilnya NKS, sedangkan IWS tidak mau bertanggung jawab dan tidak bersedia menikahi NKS atas perbuatannya itu, padahal selama hubungan intimnya itu IWS selalu berjanji untuk menikahi NKS, juga sebelum kehamilan NKS itu terjadi. Perbuatan atau
hubungan
intim
NKS
dan
IWS
yang
sudah;
dewasa
itu
tidak
ada
ekuivalensi/pendannya/bandingannya dalam KUHP, sedangkan perbuatan itu dipandang sebagai tindak pidana adat yang dapat dihukum, karena melanggar hukum adat setempat. Mahkamah Agung melalui putusannya No. 195 K/Kr tanggal 8 Oktober 1979 telah menolak permohonan kasasi dari IWS dan menghukum IWS melakukan tindak pidana adat "logika sanggraha" yang tunduk pada Undang-undang Darurat No.1/Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) b7.
7
Bakhtiyar Rahman, Skripsi : “Perbandingan Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)” (Surakarta : UNS, 2009), hlm. 55-56.
Penyimpangan asas legalitas dalam KUHP juga bisa dilakukan dalam konsep untuk mengadili kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime terutama dalam hal menyimpangi asas legalitas dimana ada larangan berlaku surut, hal ini diperlukan dalam rangka menegakkan keadilan, contoh kasus penyimpangan seperti ini adalah diundangkannya pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”8 Namun penyampingan asas non-retroaktif ini hanya diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dengan locus delicti dan tempus delicti yang terbatas tidak untuk semua persitiwa secara umum. Sedangkan dalam RKUHP penyimpangan yang mungkin terjadi adalah tidak adanya pembatasan sejauh mana hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) bisa dipakai dalam menetapkan suatu perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak, hal ini terkait kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim itu sendiri. Sehingga apabila ada ada perbuatan yang oleh orang-orang yang tidak mengetahui tentang perbuatan pidana menurut masyarakat adat tetentu karena orang tersebut dari daerah lain yang beda adat istiadatnya dapat dijatuhi pidana9. Tidak adanya pembatasan mungkin bisa berujung pada kriminalisasi pihak tertentu dengan tujuan diperolehnya keuntungan untuk pihak tertentu.
8
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ramadan Tabiu dan Eddy O.S Hiariej, “Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materiil dalam Rancangan Undang-Undang KUHP”. Jurnal Penelitian Hukum. Vol. 2 No. 1, Maret 2015, hlm. 32. 9
DAFTAR PUSTAKA
DPR RI. 2017. Naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hasil Pembahasan Panitia Kerja R-KUHP DPR RI ELSAM, 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1: Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, ELSAM, Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Moeljatno. 2000. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Rahman, Bakhtiyar. 2009. “Perbandingan Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”. Skripsi. Surakarta: UNS. Tabiu, Ramadan. Hiariej, Eddy O.S. 2015. “Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materiil dalam Rancangan Undang-Undang KUHP”. Jurnal Penelitian Hukum. Vol. 2 No. 1.