Tugas Uas Individu Ekopem.docx

  • Uploaded by: Yudha Jalessena
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Uas Individu Ekopem.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,566
  • Pages: 22
SOSIOLOGI EKONOMI PEMBANGUNAN ESSAY INDIVIDU - REFLEKSI SELAMA PROSES PERKULIAHAN & PENELITIAN “Kontradiksi Pembangunan Bottom-up dan Top-Down di Desa Sumbersalak Jember”

Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Pengganti UAS Mata Kuliah Sosiologi Ekonomi Pembangunan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA Hary Prasetyo, S.Sos, M.Sosio Dien Vidia Rosa ,S.Sos., M.A.

Oleh : A’idah Fikriyah 170910302062

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JEMBER 2018

A. Pendahuluan Dalam upaya pembangunan sebuah desa, dibutuhkannya partisipasi aktif dari pemerintah dan masyarakat desanya sendiri. Namun yang kemudian menjadi menarik ketika suatu desa terdapat dua pihak yang melakukan pembangunan namun dengan pendekatan yang berbeda. Salah satu contohnya yaitu terdapat di desa Sumbersalak, Kecamatan Ledokombo Jember yang terdapat perbedaan pembangunan oleh pemerintah desa dan komunitas Tanoker. Pendekatan pembangunan yang digunakan oleh kedua pihak tersebut yaitu pembangunan yang bersifat bottom – up (tanoker) dan top down (pemerintah desa). B. Menelusuri Kontradiksi Pembangunan Desa dan Tanoker di Desa Sumbersalak Untuk membuka narasi ini, pada saat pertemuan pertama mata kuliah sosiologi ekonomi dan pembangunan, dosen saya menjelaskan bahwa terdapat perbedaan pembahasan dalam proses berjalannya kuliah nanti. Untuk sosiologi ekonomi lebih pada pembahasan tentang format penulisan dari penelitian, sedangkan untuk sosiologi pembangunan membahas jurnal – jurnal terkait ekonomi pembangunan atau membahas tentang teori dan konsep dari ekonomi pembangunan. Pada pertemuan selanjutnya, diberikanlah tugas untuk penelitian mengenai ekonomi pembangunan. Tema yang kita tentukan pada mata kuliah ini yaitu tentang UMKM, pada awalnya kita memperdebatkan mengenai sub tema dari tema besar tersebut. Kemudian dengan diskusi bersama dosen kami, ditetapkanlah tidak ada sub tema mengenai grand tema tersebut. Kita diberi kebebasan untuk memilih UMKM yang ada di Kabupaten Jember. Dari banyak kelompok yang telah dibentuk, mereka menentukan subjek penelitian yang bervariatif, ada yang memilih Rafting Jumerto, Desa Tutul (Kerajinan) sampai pada kelompok pemberdayaan di Desa Sumbersalak. Setelah penentuan subjek penelitian dari tiap - tiap kelompok, kemudian untuk pertemuan selanjutnya dosen kami memberi tugas untuk mencari dan mereview satu atau beberapa jurnal yang terkait. Khususnya pada mata kuliah sosiologi pembangunan, dengan adanya tugas tersebut saya banyak terbantu dengan pembahasan jurnal – jurnal tersebut. Yang mana menjelaskan konsep - konsep ekonomi pembangunan yang sebelumnya belum saya ketahui. Pada awal sebelum diadakan tugas review jurnal, saya berasumsi bahwa ekonomi pembangunan hanya sebatas tentang dana BUMDES dan peran pemerintah yang memajukan perekonomian daerahnya. Ternyata tak hanya sebatas dana dan peran, ekonomi pembangunan lebih luas dari itu. Sesuai dengan pembahasan jurnal - jurnal tersebut saya mengetahui lebih luas bahwa ekonomi pembangunan berbicara tentang pembangunan top –

down dan bottom – up, pembangunan yang memiliki pendekatan branding, intervensi rantai nilai sebagai pendekatan untuk pembangunan desa, pembangunan desa yang dilakukan oleh kelas kreatif dan masih banyak lagi. Dengan diadakannya pembahasan jurnal tersebut di dalam kelas, membuat saya dan kelompok saya mendapatkan gambaran konsep yang sesuai dengan fokus penelitian kami. Kami yang sebelumnya mengambil fokus penelitian kelompok pemberdayaan di Desa Sumbersalak yang dibentuk oleh Tanoker, dengan konsep teori kelas kreatif. Berawal dari konsep itulah kemudian saya melakukan penelitian ke lokasi penelitian yang kita tentukan. Pada saat melakukan penelitian pertama, pada saat in-depth interview yang kami lakukan banyak menggali data tentang peran yang dilakukan oleh desa dan tanoker. Tak hanya itu, dengan pengalaman pertama kami ini kami benar - benar memiliki wadah untuk mengaktualisasikan materi - materi yang kami dapatkan pada saat proses perkuliahan. Mengenai tentang etika penelitian, teknik pengumpulan data dan beberapa materi lainnya. Pada saat penelitian pertama waktu itu, konsep atau fokus utama pada penelitian ini yaitu keberadaan kelompok pemberdayaan masyarakat desa sumber salak

yang

mempengaruhi ekonomi pembangunan desa. Kelompok pemberdayaan tersebut memiliki fokus masing – masing, ada yang bergerak di olahan kue kering, jamu, kopi, kelompok sadar wisata, dan ada pula yang bergerak pada bidang pertanian organik. Alasan kelompok saya memilih Desa Sumbersalak sebagai lokasi penelitian kita yaitu karena desa ini kita rasa cukup unik. Kenapa unik? Karena di dalam desa tersebut di setiap dusunnya memiliki kelompok pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada ekonomi. Jika dilihat dari keberadaan kelompok – kelompok itu, pastilah memiliki sumbangsih atau pengaruh terhadap ekonomi pembangunan desa maupun masyarakat itu sendiri. Menurut kami lokasi ini sangat cocok untuk kita menggali data dan informasi karena sesuai dengan tema besar dari sosiologi ekonomi pembangunan kali ini yaitu perekonomian desa berbasis umkm. Hari pertama kami terjun lapang yang bertepatan pada hari Jumat tanggal 08 September 2018. Akses jalan menuju desa sumbersalak ini tergolong bagus dan sangat layak untuk dilewati karena jalan disana sudah mengalami proses pembangunan dan tentunya beraspal, meskipun aspal disana tak sehalus aspal jalan tol. Namun untuk tergolong desa yang letaknya jauh dari jalan besar, itu merupakan jalan yang bagus, melihat beberapa desa yang pernah saya kunjungi di daerah yang jauh dari jalan besar kebanyakan jalannya masih makadam. Ketika kita mulai memasuki wilayah ledokombo, mata kita mulai dimanjakan

dengan suasana sejuk pedesaan yang tertawarkan dengan pemandangan hijau nan luas oleh bentangan sawah serta alaminya udara desa yang belum banyak terkontaminasi dengan gas karbondioksida. Sawah sawah yang berada pada kanan kiri jalan memperlihatkan kepada saya tentang variatifnya jenis tanaman yang ditanam oleh petani ledokombo mulai dari padi sampai pada tembakau. Suasana desa yang masih hangat tercermin juga pada beberapa kelompok ibu ibu yang berkumpul pada salah satu beranda rumah warga. Bukan tanpa alasan kebersamaan itu nampak karena solidaritas mereka masih menganut solidaritas mekanik seperti apa yang telah emile Durkheim jelaskan yang salah satunya kebersamaan yang sangat tinggi. Rumah rumah disana sudah tidak ada lagi yang terbuat dari bamboo atau gedek, rumah mereka sudah terbuat dari beton, namun dari masing masing rumah itu belum memiliki pagar yang tinggi, artinya kebersamaan dan ikatannya antar warga masih sangat erat karena tidak adanya pemisah itu. Tak lupa juga di sepanjang jalan menyuguhkan pemandangan mata mengenai jemuran tembakau yang ada dimana - mana. Bisa saya asumsikan dengan melihat hal itu bahwa perekonomian masyarakat sekitar bergerak pada bidang agraris.Terdapat pula beberapa aspek ekonomi lainnya seperti pendirian sebuah kios toko yang beberapa saya temui di sepanjang jalan sumbersalak yang bisa saya hitung dengan satu tangan. Muncul kembali asumsi saya bahwa pendirian toko tersebut hanya sebagai sampingan masyarakat sekitar untuk mencukupi kehidupannya sembari menunggu datangnya panen. Sejauh mata memandang hanya aspek itu saja yang mewarnai perekonomian disana, seperti apa yang telah digambarkan Durkheim tentang masyarakat pedesaan bahwa masih bersifat homogen dan belum munculnya spesialisasi pekerjaan. Jauh dari suasana Desa Sumbersalak, ketika saya mulai memasuki daerah Ledokombo terdapat pula beberapa aspek ekonomi lainnya seperti pendirian sebuah kios toko yang beberapa saya temui di sepanjang jalan ledokombo. Selain jalan yang sudah beraspal, di Ledokombo juga saya mendapati satu supermarket (Indomaret) yang berada di sebelah Tanoker. Dengan melihat realita tersebut artinya modernisasi sudah memasuki wilayah ini dan adanya kapitalisme yang dicerminkan oleh keberadaan (indomaret). Ketika jalan mulai agak jauh ke dalam pedesaan, saya mulai meragukan rute yang saya tempuh dan kemudian saya menanyakan lokasi balai desa sumbersalak kepada dua ibu ibu yang pada saat itu berjalan yang sepertinya pulang dari sawah karena melihat pakaian

yang mereka pakai, ternyata benar, yang seharusnya lurus, saya dengan teman sekelompok lainnya memilih untuk belok kekiri. Melihat bahwa jika lurus hanya terlihat pohon pohon dengan semak tanpa ada rumah, namun ketika saya dengan teman lainnya mencoba melewati jalan itu. Ternyata rumah warga berada persis dibelakang hutan kecil itu. Kemudian saya tetap melanjutkan perjalanan meskipun dalam keadaan berkeringat,

tak lama kemudian

sampailah kita dengan gedung balai desa sumbersalak yang terletak tepat di kiri sebuah pertigaan jalan desa. Disambutlah dengan hangat oleh aparat desa dengan kedatangan saya dengan kelompok . Pada saat itu yang masuk ke dalam hanya saya dan yudha, lagi – lagi kami berdua disambut dengan senyum sumringah oleh seorang wanita paruh baya yang kira kira berkepala empat. Bu Suparmi namanya, pertanyaan saya oleh beliau selaku sekretaris desa sumbersalak ditanggapi dengan terbuka dan tak menyulitkan saya yang harus menunjukkan surat penelitian. Yang pada awalnya kami berdua tidak bermaksud untuk wawancara, namun memastikan apakah harus memakai surat penelitian untuk bisa bersentuhan langsung dengan perangkat desa. Namun yang saya dapat, Bu Suparmi dengan hangat dan terbuka menjawab pertanyaan saya mengenai kelompok pemberdayaan di desa sumbersalak ini. Untuk terjun lapang kali ini, kita memang sengaja untuk tidak langsung mewawancarai kelompok – kelompok pemberdayaan itu, karena kami ingin melihat gambaran umum mengenai kelompok pemberdayaan itu dari sudut pandang para perangkat desa. Alasan kami pada penelitian ini memilih perangkat desa untuk kami jadikan informan yaitu kami rasa mereka memiliki kredibiltas untuk kami jadikan informan. Bisa dikatakan pada penentuan informan kali ini kami sedang melakukannya dengan teknik purposive. Dimana dalam teknik ini memilih informan menurut kriteria tertentu yang telah ditetapkan dan tentunya informan tersebut dianggap kredibel untuk menjawab masalah penelitian. Selain itu alasan lainnya yaitu agar dengan mewawancarai pihak tersebut, kami akan mendapatkan informasi mengenai informan selanjutnya yang mereka rekomendasikan untuk kami wawancarai dengan memerhatikan topik yang akan kita bahas. Bu suparmi dalam hal ini menjelaskan tentang beberapa kelompok pemberdayaan masyarakat yaitu kelompok sadar wisata, Kelompok memproduksi makanan ringan, kelompok memproduksi pertanian organik, kelompok memproduksi jamu tradisional, dan kelompok pemroduksi biji kopi menjadi kopi bubuk. Dijelaskannya bahwa untuk modal kelompok pemberdayaan itu dibantu dari desa menggunakan dana Bumdes sebesar 15 juta yang disebarkan ke setiap kelompok pemberdayaan itu. Beliau juga menjelaskan sumbangsih

yang sangat besar dari pihak tanoker yang mengawal dan mendampingi para anggota kelompok pemberdayaan itu dalam peningkatan proses produksi maupun pemasaran. Dicontohkannya kelompok yang memproduksi makanan ringan, bentuk pengawalan tanoker dalam hal ini yaitu dalam proses pengepresan dan pemasaran serta pemberian label. Temuan yang membuat saya lebih tertarik dengan penelitian ini yaitu penyataan yang disampaikan oleh bu suparmi dan kedua bapak itu cukup berbeda. Untuk bu suparmi, beliau menjelaskan bahwa modal dari umkm tersebut adalah berasal dari dana bumdes, tapi lain halnya pak ubed dan pak hariswanto yang berkata bahwa modal itu berasal dari pinjaman tanoker dan tidak ada sama sekali dari desa, namun sudah ada rancangan anggaran untuk hal itu. Cukup menarik bagi saya untuk menggali lebih dalam informasi mengenai hal ini dari kelompok pemberdayaan itu langsung. Pak Ubed dan pak Hariswanto juga menjelaskan tentang keberadaan tanoker di Desa Sumbersalak. Banyak kemajuan dan perkembangan setelah adanya tanoker itu. Di balai desa sendiri, terdapat PPIT (Pusat Pelayanan Informasi terpadu) yang difasilitasi oleh Tanoker. PPIT tersebut memberikan informasi terhadap calon TKI atau TKW yang akan berangkat. Dengan adanya PPIT tersebut masyarakat sekitar tidak lagi menjadi TKI atau TKW yang illegal karena PPIT memberikan jaringan jaringan yang bersifat legal. Tak hanya itu setelah adanya tanoker yang membuat beberapa kelompok pemberdayaan di desa ini, mengurangi angka pengangguran bagi ibu ibu atau bapak bapak. Setidaknya dengan adanya kelompok pemberdayaan itu, ibu ibu memiliki penghasilan tambahan. Tak hanya itu, dengan adanya kelompok itu juga mengurangi angka buruh migrant, karena mereka telah memiliki lapangan pekerjaan baru di desanya meskipun hasilnya tak sebesar jika mereka harus keluar negeri. Sesuai dengan anjuran yang telah ditetapkan dosen kami bahwa setiap kali penelitian kita melakukan diskusi dengan beliau. Seusai kami melakukan penelitian pertama itu, kami menyampaikan hasil penelitian kami yaitu tentang keberadaan kelompok pemberdayaan masyarakat desa sumber salak yang mempengaruhi ekonomi pembangunan desa. Ditanggapilah oleh dosen kami, bahwa jika kita membahas pengaruh variabel x terhadap y itu merupakan jenis penelitian kuantitatif. Selain itu, untuk jenis pembahasan seperti di atas sudah tidak relevan lagi. Karena dalam masyarakat itu tidak ada yang menjadi patokan baku dari berubahnya suatu keadaan, beliau menjelaskan bahwa kedua variabel itu saling mempengaruhi dan tidak ada istilah dipengaruhi dan mempengaruhi.

Setelah diskusi itu, kemudian kami kontekskan dengan konsep kelas kreatif yang beberapa waktu lalu dibahas bersama ketika proses pembelajaran di kelas. Yang kita anggap sebagai kelas kreatif pada penelitian kami ini yaitu Tanoker. Dimana dalam penjelasan kelas kreatif, aktor dari kelas kreatif tersebut merupakan orang yang berpendidikan tinggi dan berasal dari luar desa itu atau penduduk kota. Mereka berpindah ke desa untuk memulai bsinis mikro. Dengan tempat tinggal jauh dari kota, yang berpendidikan di-migran memulai bisnis yang berusaha menggabungkan kehidupan sehari-hari yang kurang stres dengan karier yang berkelanjutan. Pada fase start-up, sebagian besar bisnis berada di sektor pengetahuan, dalam media dan layanan bisnis, dan berorientasi pada pasar metropolitan. Hanya sedikit perusahaan yang mencari layanan pribadi untuk pasar lokal. Setelah beberapa tahun di pedesaan, namun, bisnis berevolusi menjadi 'gaya hidup regional bisnis '. Mereka tetap di dalam sektor perkotaan tetapi sekarang telah menyesuaikan diri pasar regional untuk meminimalkan waktu yang dihabiskan untuk bertemu pelanggan di kota. Pengusaha pedesaan ini menggabungkan sejumlah kecil pelanggan mapan di kota dengan jajaran layanan yang lebih luas yang diarahkan ke pasar regional. Meskipun mereka berdampak pada daerah pedesaan setempat minimal, mereka beroperasi di wilayah regional yang lebih besar, memperluas jaringan dan menyediakan 'energi organisasi'. Ketika saya mencoba untuk mengkontekskan hal itu, kami rasa cocok dan pas jika hal tersebut menjadi landasan konsep saya. Kita ketahui bahwa Tanoker berasal dari gagasan cemerlang sepasang suami istri yang telah tinggal lama di kota metropolitan. Tak hanya itu, mereka juga berasal dari kalangan terdidik. Bu Cici dan Pak Supo yang mengenyam S3 dan S2 tentunya tak diragukan lagi kalau mereka ini berasal dari kalangan berpendidikan. Kemudian mereka kembali ke desa tepatnya di Desa Ledokombo dengan mendirikan komunitas tanoker. Dimana komunitas ini pada awalnya bergerak pada bidang pengetahuan, sama seperti konsep kelas kreatif yang telah dijelaskan di jurnal tersebut. Dengan berbekal konsep di atas, saya melakukan penelitian kembali. Penelitian ini kami lakukan ke beberapa kelompok pemberdayaan yang dibentuk oleh tanoker. Kelompok pemberdayaan yang pertama kali saya kunjungi adalah kelompok makanan kering yaitu bu Miswah. Penentuan informan tersebut seperti apa yang disarankan oleh Bu Suparmi minggu lalu. Dengan melakukan hal ini, sebenarnya dari saya dan kelompok saya sedang melakukan teknik snowball sampling yang artinya dalam proses penentuan informan kita dapatkan dari rekomendasi informan sebelumnya. Alasan kita melakukan ini yaitu karena kami tidak mengetahui dengan pasti orang orang yang layak untuk menjadi informan. Pada

minggu lalu Bu Suparmi berjanji untuk mengantarkan kami kepada ketua kelompok kue kering, namun ketika kami hubungi sebelum kami turun lapangan tidak ada respon dari beliau. Maka tanpa menunggu balasan, pada hari Jumat kami menuju Desa Sumbersalak. Pada tanggal 14 September 2018 pukul 08.00 sekitar 45 menit perjalanan kami sampai di depan Balai Desa Sumbersalak. Nampak dari luar, suasana balai desa tengah ramai warga dan halaman balai desapun juga terpenuhi oleh parkiran sepeda motor. Sehingga kami memutuskan untuk berada di luar balai desa saja tanpa memasukinya karena melihat suasana balai desa yang sedang sibuk. Tampaklah beberapa ibu ibu yang sedang berbincang bincang disamping gapura balai desa, mendekatlah salah satu kelompok kami untuk menanyakan dimana alamat dari ketua kelompok kue kering. Namun mereka tidak memberikan jawaban yang saya harapkan, malah memberikan petunjuk pada salah satu rumah warga yang memiliki usaha keripik. Sepertinya ibu ibu tersebut tidak mengetahui keberadaan kelompok pemberdayaan kue kering tersebut. Tak lama kemudian, keluarlah Pak Ubed dari balai desa menuju sebuah toko yang berada di seberang jalan. Berbahagialah kami menyambutnya dan langsung menanyakan dimana keberadaan rumah ketua kelompok kue kering tersebut. Diberikanlah kami alamat ketua kelompok pemberdayaan kue kering yang beratas nama Ibu Miswah. Tanpa berpikir panjang kami langsung mengikuti rute yang diberikan oleh Pak Ubed. Kami sempat tersesat ketika menuju rumah Ibu Miswah, kemudian saya putuskan untuk bertanya kepada salah satu bapak bapak yang sedang sibuk di pekarangan atau halaman rumahnya. Disambutlah saya dengan senyuman yang lebar dan tingkah laku yang sopan, jelas hal ini menjadi cirri masyarakat pedesaan yang ramah. Berbeda dengan masyarakat perkotaan jika menghadapi orang baru pastilah muncul ketakutan atau kecurigaan yang berlebih karena setting kota sendiri yang banyak kejahatan dan kriminalitas. Bertanyalah saya kepada bapak tersebut dimana rumah Bu Miswah, ditunjukkanlah kami rumah beliau. Malah kami semua dipersilahkan untuk sekedar mampir dulu ke dalam rumahnya. Setelah kami sampai pada rumah Bu Miswah, lagi lagi kehangatan pedesaan kami dapatkan disana. Disambutlah kami dengan ramah tanpa ada kecurigaan sedikitpun. Setelah kami membuka obrolan dengan memperkenalkan diri, kami langsung menanyakan perihal kelompok pemberdayaan kue kering. Dijelaskan beliau bahwa kelompok pemberdayaan ini dibentuk oleh tanoker dan mereka diberikan pendampingan dan pelatihan. Mereka diberikan pengetahuan tentang makanan kering yang sehat tanpa pewarna yang berbahaya serta bumbu bumbu yang tidak berbahaya pula. Tak hanya itu dulu setiap bulannya terdapat orang dari

tanoker yang mengecek pembukuan dari penjualan atau pemasukan mereka. Mereka juga diberikan pelatihan tentang pembukuan. Kelompok ini sudah bisa dikatakan cukup berhasil Karena sempat memproduksi sebanyak 1 kuintal tepung dan menghasilkan hasil yang lumayan banyak. Dalam hal ini untuk pemasaran dilakukan oleh Tanoker, sedangkan untuk pengolahan dilakukan oleh mereka sendiri. Mereka juga tak mengandalkan dari pemesanan tanoker saja, banyak pesanan dari masyarakat sekitar ketika menjelang hari raya idul fitri. Terlepas dari persoalan keanggotaan dan proses produksi, kemudian kita menanyakan tentang sumbangsih desa terhadap kelompok ini. Bu miswah menjawab bahwa desa hanya sekali membantu dalam bentuk barang yang senilai enam ratus ribu rupiah, barang tersebut yaitu berupa plastik pembungkus serta kertas nama dari produk. Itupun tidak diberikan semua ke kelompok ini, melainkan dibagikan kepada kelompok yang lain. Lalu ketika saya menanyakan apakah pernah desa memberikan pelatihan atau pendampingan terhadap kelompok ini, jawab beliau tidak pernah sama sekali. Kemudian muncul pertanyaan dari diri saya mengapa desa bersikap demikian terhadap kelompok pemberdayaan ini? Mengapa desa seperti tidak memfasilitasi potensi yang ada di desanya? Ada apa dengan desa dengan masyarakat dan tanoker? Setelah perbincangan yang panjang dengan Bu Miswah, kemudian diantarlah kami kerumah Bu latifah. Ketika sampai disana, lagi lagi kami mendapatkan penjelasan mengenai tidak adanya sumbangsih desa terhadap kelompok pemberdayaan ini. Hanya tanoker yang memberikan mereka pendampingan dan pelatihan. Selain dalam kelompok pemberdayaan kue kering, Bu latifah juga merupakan pengurus dari sekolah TK (RA), yang dulunya sekolah ini diperuntukkan untuk anak anak dari buruh migran yang ditinggalkan di kampung halaman. Tapi lambat laun dan sampai sekarang tak lagi hanya anak buruh migrant yang bersekolah disini, juga terdapat banyak anak masyarakat sekitar yang ikut bersekolah. Sekolah ini juga difasilitasi oleh Tanoker, jelas bu latifah pula bahwa sekarang Tanoker sedang melakukan pendampingan terhadap ibu ibu, bapak bapak juga mbah mbah dalam bentuk sekolah ibu ibu dan bapak bapak. Dalam sekolah tersebut ibu ibu dan bapak bapak ini diajarkan untuk memahami tingkah laku anak anak mereka ketika di rumah. Sekolah ini juga mengajarkan kepada mereka untuk bersifat terbuka dengan perubahan dan menyesuaikan pola asuh mereka sesuai dengan berubahnya jaman agar mereka tak lagi disebut sebagai orang tua yang kuno atau kolot. Beranjak dari kelompok pemberdayaan sebelumnya, pada penelitian selanjutnya saya mendatangi kelompok pertanian organik. Sesampainya disana kami menanyakan seputar

kelompok pertanian organik itu, mulai dari sumber modal, keanggotaan, campur tangan pemerintah desa atau pihak lain sampai pada sumbangsih tanoker ke kelompok pertanian itu. Pak Ervan menjelaskan bahwa kelompok pemberdayaan ini dibentuk oleh tanoker. Tanoker dalam hal ini melakukan pendampingan serta pelatihan kepada mereka tentang pertanian organik. Dijelaskannya pula bahwa modal pertama kempoknya ini juga diberikan oleh tanoker. Ketika saya singgung mengenai peran desa terhadap kelompoknya ini, Pak Ervan yang pada saat itu bersama istri langsung melemparkan senyum kecil kepada kita seakan akan muncul rasa ketidak sukaan. Beliau menjelaskan bahwa desa sama sekali tidak membantu apapun. Dijelaskannya pula ‘’ jangankan membantu mbak, kepala desanya aja kalau ada acara di desanya sendiri jarang datang, nggak pernah turun ke rakyatnya itu mbak’’. Mendengar pernyataan itu seperti ada sentiment sendiri dari rakyat terhadap pihak desa. Berangkat dari penjelasan beberapa pihak tadi semakin memunculkan ketertarikan untuk mencari data lebih mendalam pada penelitian ini. Sebab dalam penjelasan di atas terdapat pernyataan yang berbeda yaitu mengenai klaim desa yang juga ikut melakukan sumbangsih materi terhadap kelompok pemberdayaan dan juga pernyataan dari kelompok pemberdayaannya sendiri bahwa tidak adanya sumbangsih desa pada kegiatan yang mereka lakukan. Dengan data – data di atas tidak langsung kami telan mentah data - data tersebut, kami kembali ke pihak desa untuk memperdalam mengenai upaya pembangunan yang dilakukan oleh desa terhadap kelompok pemberdayaan itu. Sekitar pukul 09.30 pada tanggal 21 September 2018, kami kembali mengunjungi balai desa Sumbersalak. Sesampainya kami di balai desa Sumbersalak dan kami langsung menemui Pak Ubed yang secara kebetulan beliau ada di teras balai desa. Ketika kami menghampiri beliau, kami kembali memperkenalkan diri kami bahwa kami dari mahasiswa sosiologi Unej yang sedang melakukan sebuah riset atau penelitian, dan kami juga menceritakan maksud kedatangan kami yang ketiga kali nya. Pertanyaan besar kelompok saya yaitu bagaimana peran desa terhadap adanya tanoker ini dan juga bagaimana hubungan desa dengan tanoker yang sama sama sedang melakukan pembangunan. Sepanjang beliau bercerita, kami menemukan inti atau data kuncinya ketika beliau mengatakan bahwa dengan adanya tanoker memang masyarakat disini semakin maju terutama dalam hal ekonomi atau pendapatan dan juga dalam bidang sumber daya manusianya. Ketika setiap umkm ini mulai berjalan, aliran dana sepenuhnya mengalir dari Tanoker, aliran dana tersebut berupa uang dan berupa barang mentah untuk kemudian di proses. Pemasarannya pun dilakukan oleh Tanoker

dan semua sesuai dengan pesanan. Kemudian bagaimana dengan desa sendiri, yang memiliki dana bumdes kurang lebih sebesar dua milyar rupiah? Tidakkah itu juga dapat digunakan untuk kelancaran terbentuknya umkm ini? Ternyata TIDAK. Alasan mengapa desa itu tidak memberikan dananya sebagian untuk Tanoker, karena desa tidak ingin ruwet untuk mengurus administrasi jika mereka menganggarkan dana itu untuk kelompok pemberdayaan. Tanoker merupakan kelompok yang didirikan oleh sepasang suami istri yang tergerak hatinya untuk memberdayakan masyarakat utamanya kaum buruh migran. Kemudian saya juga menanyakan hubungan desa dengan Tanoker. Dijelaskan oleh Pak Ubed bahwa hubungan desa dengan tanoker baik. Pada saat awal dulu sebelum tanoker melakukan pendampingan terhadap desa dan masyarakatnya, tanoker terlebih dulu melakukan sowan ke desa untuk meminta ijin sekaligus meminta dukungannya dari desa terhadap usaha usaha yang akan dilakukan oleh tanoker. Selain hal itu, dijelaskan pula oleh Pak Ubed bahwa tanoker disini juga membawa banyak perubahan terhadap masyarakat desa dan desa sendiri. Dari sisi masyarakat, setelah adanya pembentukan kelompok oleh tanoker, masyarakat memiliki penghasilan tambahan utamanya untuk ibu ibu. Selain itu dengan adanya Tanoker melakukan pemberdayaan itu, terjadi peningkatan kualitas sumber daya maanusia di desa sumbersalak akrena dalam hal ini Tanoker sering melakukan pelatihan pelatihan terdapap masyarakat sumbersalah mengani banyak hal, dari pengetahuan tentang makanan sehat, pertanian organik, cara pengolahan wisata, proses pembuatan suatu produk yang sehat dan aman, sampai pada pendampingan dalam segi pendidikan. Kemudian dari sisi desa, dalam hal ini tanoker telah banyak membantu desa seperti pengadaan WIFI desa, kemudian dibentuknya PPIT di desa guna memberikan informasi kepada masyarakat sumbersalak mengenai segala informasi khususnya informasi bagi calon buruh dan juga proses advokasi terhadap buruh migran yang keluar negeri melalui jalur yang illegal. Tak hanya itu, Tanoker juga pernah membawa salah satu perangkat desa untuk pergi ke istana presiden Jakarta dan beberapa tempat lainnya. Jelas disini dari segi masyarakat dan perangkat desanya merasa terbantu dengan adanya tanoker ini. Dari data di atas secara langsung diungkapkan oleh Pak Ubed bahwa selama ini tidak ada dana desa yang dianggarkan atau diberikan kepada kelompok pemberdayaan itu. Melihat sumbangsih tanoker yang cukup besar dalam membantu masyarakat desa dan bagi desanya sendiri kemudian memunculkan rasa kurangnya kepercayaan terhadap desa dan sedikit

kekecewaan terhadap desa karena disini yang lebih banyak melakukan perannya yaitu Tanoker daripada pihak desanya sendiri. Setelah data dari anggota pemberdayaan dan pihak desa dirasa. Selanjutnya penelitian ini beralih ke tanoker. Pada saat itu saya menjadi panitia dari esai nasional yang diadakan oleh LIMAS yang berkesampatan untuk mengantarkan peserta melakukan field trip ke tanoker. Pada kesempatan itu saya gunakan untuk melakukan wawancara langsung dengan Pak Supo selaku penggagas Tanoker. Pak Supo menjelaskan awal berdirinya tanoker sampai pada jatuh bangun tanoker membentuk tanoker seperti yang sekarang. Kemudian saya melanjutkan dengan bertanya mengenai latar belakang dari pembentukan kelompok pemberdayaan ini. Beliau menjawab bahwa latar belakangnya yaitu dari tiga pasang egrang. Kemudian beliau membuat 3 pasang egrang kemudian anak anak disekitar ledokombo tertarik, kemudian mereka usul untuk ada balap egrang, tapi mereka tidak puas , terus membuat tarian menggunakan egrang tahun 2010, itu juga termasuk cikal bakal festival egrang yang sampai sekarang ini terlaksana ke 9. Dulu festivalnya di halaman terus pindah ke lapangan , di lapangan bosann terus di pindah ke jalan. Jadi terus yang ikut jumlahnya diperbanyak, akhirnya sekarang berkembang festivalnya. Jadi saya Cuma mengawal dan menyediakan fasilitas atau wadah kemudian dari situ mulai banyak tamu, tamu biasanya tanya souvenir, kemudian tamu juga tanya penginapan kemudian berkembang jadi homestay. Tamu juga bertanya tentang makanan, kemudian kita bikin kelompok kelompok kuliner. Dari kebutuhan kebutuhan pengunjung itulah kemudian dari pihak tanoker berinisiasi untuk membentuk kelompok pemberdayaan masyarakat yang tersebar di beberapa desa. Termasuk kelompok kelompok yang berada di sumbersalak. Mereka berkreasi dari mulai minuman, kopi, rengginang dari bahan mocaf. Kemudian dari situlah tanoker melakukan pendampingan dan pelatihan kepada mereka untuk memproduksi makanan – makanan yang sehat, kemudian juga lahir kue kering yang dijadikan oleh oleh untuk pengunjung tanoker. Dalam proses awal pembentukan kelompok pemberdayaan itu, tanoker melakukan metode apresiative inquiry kepada masyarakat ledokombo, jadi dalam metode itu terdapat 3D Discovery, jadi dalam hal ini tanoker menemukan bukan menemukan masalah tapi menemukan potensi yang bisa dikembangkan. Dari situ kemudian, bersama sama menemukan potensinya.Kemudian masuk ke Dream, setelah tanoker menemukan potensi kemudian pihak tanoker menanyakan kepada masyarakat setempat mengenai apa mimpi mereka ke depannya. Dengan hal itu kemudian tanoker menampung aspirasi masyarakat. Setelah tahap dream kemudian tanoker berpikir bagaimana dream itu dapat terDelivery.

Dengan hal ini tanoker melakukan pendampingan dan pelatihan kepada mereka agar terbentuk masyarakat yang mandiri yang dapat mengolah potensinya. Maka dari itu tanoker membuat kader kader lokal, kalau di dusun sumbersalak ada bu reni, di dusun paluombo ada ustadzah bu latifah (bu ali). Dengan begitu harapan tanoker nantinya kelompok pemberdayaan ini dapat berjalan sendiri tanpa harus selalu dipantau oleh tanoker. Ketika saya mencermati dari apa yang dikatakan oleh Pak Supo dan melihat kenyataan di lapangan. Metode apresiative inquiry untuk tahap discovery dan dream itu hanya berasal dari tanoker itu sendiri. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan pak supo yang mengatakan bahwa munculnya kelompok pemberdayaan ini dikarenakan kebutuhan dari pengunjung tanoker yang membutuhkan seperti adanya oleh oleh. Dari situ kemudian saya berasumsi bahwa dalam membentuk kelompok pemberdayaan itu, tidak sesuai dengan kondisi real di lapangan, malainkan mereka membentuk itu berasal dari kebutuhan konsumen tanoker. Jika memang mereka membentuk kelompok pemberdayaan yang yang sesuai kondisi real di lapangan, pastilah latar belakang mereka membentuknya bukan karena kebutuhan konsumen melainkan potensi masyarakat yang ada di desa tersebut. Sesuai dengan penjelasannya bahwa seperti yang di sumbersalak itu tanoker mengawal dan mendampingi kelompok pemberdayaan yang ada di sana.

Tanoker

membentuk kelompok – kelompok itu bukan dari unsur kesengajaan atau ada proker mengenai hal itu. Melainkan berawal dari tanoker itu sendiri yang lama kelamaan banyak pengunjung. Dimana pengunjung – pengunjung tersebut mulai mencari oleh – oleh yang khas dari tanoker baik itu untuk makanannya maupun kerajinannya. Dilatarbelakangi hal itu, kemudian tanoker membentuk kelompok pemberdayaan itu selain untuk memberdayakan masyarakat juga digunakannya sebagai kelompok produksi dari kebutuhan tanoker itu sendiri. Tapi Tanoker juga berusaha agar mereka ( kelompok pemberdayaan ) mandiri bisa untuk mengawal dirinya sendiri. Maka dari itu tanoker membuat kader - kader lokal. Harapan tanoker dengan adanya kader – kader lokal itu, mereka dapat jalan sendiri ketika kerangkanya sudah jadi dan sudah melalui tahapan pelatihan. Jika dilihat dari penjelasan yang disampaikan oleh Pak Supo, bahwa tanoker memiliki sumbangsih yang sangat besar terhadap keberlangsung kelompok – kelompok pemberdayaan di Ledokombo. Tak hanya berdasarkan dari pernyataan beliau, hal itu juga turut disampaikan oleh beberapa ketua dan anggota kelompok pemberdayaan bahwa mereka telah diberikan pelatihan dan dukungan materi oleh tanoker. Dapat dikatakan bahwa asumsi awal saya

mengenai hal ini telah terbukti dan didukung oleh data – data berbagai pihak. Kemudian setelah penelitian ini, kami kembali mengajak dosen kami untuk berdiskusi mengenai temuan data terbaru yang kami dapatkan. Dan juga saya bersama kelompok saya menyampaikan mengenai penelitian kami ini dengan menggunaka konsep kelas kreatif. Dosen kami memberikan gambaran bahwa apa yang telah tanoker lakukan dengan membentuk kelompok pemberdayaan itu tidak bisa disamakan dengan konsep kelas kreatif. Hal itu disebabkan konsep kelas kreatif yang terdapat dalam jurnal tersebut lebih menjelaskan pembangunan ke desa dilakukan dengan bisnis mikro, sedangkan untuk tanoker sendiri melakukan sistem bottom up dengan pembentukan kelompok – kelompok pemberdayaan. Selain dengan tanggapan dosen kami mengenai konsep yang kami gunakan pada penelitian ini, beliau juga memberi tanggapan mengenai hasil penelitian yang telah saya lakukan sebelumnya mengenai data dari kelompok pemberdayaan, desa dan pihak tanoker. Tanggapan dosen kami mengenai hal itu yaitu beliau menyampaikan beberapa pernyataan tentang ketergantungan masyarakat terhadap tanoker, sikap yang ditimbulkan oleh masyarakat dengan adanya pembangunan yang dilakukan oleh kedua belah pihak itu ( tanoker dan desa). Tak hanya itu, beliau juga menyarankan untuk mewawancarai masyarakat non anggota kelompok pemberdayaan. Dengan berbekal saran yang diberikan oleh dosen kami, kami mulai membaca lagi hasil transkip, jurnal - jurnal dan hasil observasi beberapa penelitian terdahulu serta kembali melakukan penelitian ke kelompok kerajinan dan masyarakat non anggota kelompok pemberdayaan bentukan tanoker. Pada penelitian selanjutnya kami mengunjungi ketua kelompok pemberdayaan kerajinan tangan dan mesin jahit. Kebetulan ketua kelompok itu merupakan istri dari perangkat desa yaitu Pak Ubed, informan kami yang beberapa kali kita wawancarai. Setelah kami sampai di lokasi tujuan, kami menanyakan beberapa hal seperti bagaimana proses awal terbentuknya umkm tersebut, apa kendala dan masalah yang dialami selama menggeluti bidang tersebut hingga kepada bagaimana cara untuk bertahan dalam menggeluti umkm. Dalam proses wawancara itu, banyak yang saya dapatkan mengenai sumbangsih tanoker terhadap kelompok pemberdayaan ini berupa alat mesin jahit serta pelatihan – pelatihan yang dilakukan tanoker selama ini. Tak hanya itu, sesuai dengan penjelasan Bu Sumiyati, tanoker juga pernah memberikan modal pada saat awal pembentukan kelompok ini. Kemudian sempat kami singgung mengenai peran yang dilakukan desa, Bu Sumiyati

menjawab bahwa sumbangsih yang dilakukan desa hanya sebatas wacana. Memang sebelumnya telah dianggarkan untuk kelompok – kelompok pemberdayaan ini, namun ujar Bu Sumiyati kelompoknya belum menerima uang sepeserpun dari desa. Selai hal itu, Bu Sumiyati juga menjelaskan data yang menarik mengenai sistem standarisasai yang dilakukan oleh Tanoker terhadap kelompok – kelompok pemberdayaannya salah satunya yaitu kelompok kerajinan ini. Beliau menjelaskan bahwa tanoker melakukan pengecekan terhadap kerapian produk tersebut. Pesenan yang dipesan tanoker harus sesuai, lebarnya sekian, panjangnya sekian, handlenya sekian, kalau nggak ada yang pas atau kurang baik akan dikembalikan ke kelompok pemberdayaan terkait. Setelah mendapatkan itu kita tidak melakukan diskusi langsung dengan dosen kami, pada penelitian selanjutnya kami melanjutkan untuk mencari data ke masyarakat non anggota kelompok pemberdayaan. Sesampainya di lokasi yaitu desa Sumbersalak kami memutuskan untuk mampir ke masjid terlebih dahulu melaksanakan sholat dhuhur. Setelah itu saya menuju desa Sumbersalak mencari masyarakat yang sekiranya bisa untuk kami wawancarai sembari kami juga membeli minuman, kami mencari masyarakat-masyarakat yang menjual atau mempunyai toko makanan dan minuman. Beberapa menit berkekeling desa untuk mencari masyarakat yang memiliki toko, akhirnya kami menemukan warung dekat dengan balai desa. Warung tersebut tepat berada di depan lapangan samping balai desa. Kemudian saya membeli minuman serta membeli kacang, sebelumnya saya tidak begitu yakin apakah saya bisa mewawancarai bapak tersebut, lalu bapak itu mendekat ke arah kami dan menanyakan darimana kami. Kami menjawab dari mahasiswa UNEJ. Lalu bapak tersebut tersenyum lebar dengan menganggukan kepalanya. Setelah membuka percakapan dengan asal rumah saya sampai membahas tragedi gempa di Sulawesi. Masuklah ke percakapan inti seputar kelompok pemberdayaan, desa dan tanoker. Setelah beberapa lama saya bertanya tentang keberadaan UMKM atau kelompok pemberdayaan yang ada di desa tersebut, Pak Is yang merupakan panggilan akrabnya tidak mengetahui tentang kelompok pemberdayaan itu. Ketika saya menanyakan perihal kelompok pemberdayaan makanan ringan, beliau malah menunjukkan salah satu dari warga setempat yang memiliki usaha keripik dan juga menunjukkan toko depan balai desa yang menjual keripik. Menanggapi hal itu, kemudian saya menyampaikan bahwa di desa tersebut memiliki beberapa kelompok pemberdayaan yang salah satunya yaitu kelompok makanan ringan. Mengetahui hal itu Pak Is hanya senyum seperti tidak memperdulikan apa yang saya

sampaikan mengenai kelompok-kelompok itu. Dijawabnya bahwa mungkin memang ada hal tersebut di desa, tapi masyarakat sendiri yang malas untuk ikut andil dalam kegiatan tersebut. Melihat data – data mulai dari awal saya melakukan wawancara dengan Bu Suparmi sampai pada hasil wawancara dengan Pak Is sekarang ini saya baru menyadari bahwa ketidak tahuan Pak Is terhadap kelompok pemberdayaan di desanya ini merupakan jawaban dari hasil hasil wawancara sebelumnya. Pada saat wawancara dengan Bu Suparmi, beliau menjelaskan bahwa ketua kelompok dari makanan kering dan pertanian organik merupakan saudaranya sendiri. Diceritakannya pula bahwa kepala desa Sumbersalak masih bagian dari keluarga Bu Suparmi, Ditambah dengan penjelasan Pak Ubed yang menyampaikan kepada kami bahwa ketua kelompok dari kerajinan merupakan istrinya sendiri. Dengan data-data di atas bisa saya asumsikan bahwa terjadinya politik dinasti pada pelaksanaan kelompok pemberdayaan tersebut. Konsekuensi dari adanya politik dinasti itu, dipastikan pada saat awal pembentukannya tidak adanya penyebaran informasi secara menyeluruh terhadap masyarakat Sumbersalak. Melihat orang – orang yang terlibat dalam kelompok – kelompok itu masih dalam keluarga kepala desa, maka politik dinasti itu memang masih ada hingga saat ini. Setelah dari masyarakat yang tidak termasuk dalam bagian kelompok pemberdayaan, kami lanjut mencari informan kedua di daerah dekat Tanoker. Ketika tiba di sepanjang jalan sekitar daerah tanoker, perhatian kami tertuju pada penjual es degan yang letaknya seberang masjid yang tadi saya datangi. Dan langsung saya menuju kesana untuk membeli es degan sembari mengobrol juga dengan ibu penjual es degan. Saat itu lumayan rame, jadi saya bersama rekan kelompok saya hanya sedikit melakukan percakapan dengan si penjual. Dengan keadaan pembeli yang rame, saya bingung bagaimana harus mewawancarainya. Saat mengobrol dan bertanya tentang festival eggrang itu, ibu tersebut bercerita kalau rumahnya dijadikan home stay untuk para tamu pada acara Festival Eggrang. Juga kami tak pula untuk menanyakan UMKM atau kelompok pemberdayaan yang ada di daerah Tanoker. Ternyata UMKM tersebut adanya di daerah Sumbersalak dan sekitarnya. Untuk daerah di sekitar tanoker itu sendiri tidak terdapat kelompok pemberdayaan yang dibentuk. Melihat keadaan ekonomi di sekitar tanoker yang mulai pesat dengan keberadaan kios – kios beraneka ragam di depan rumah mereka masing. Melihat jumlah pengunjung es degan yang kian lama semakin banyak dan silih berganti, saya tidak bisa melanjutkan wawancara pada saat itu dan memutuskan untuk pulang.

Dengan bekal kedua data dari masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok pemberdayaan serta data terakhir dari kelompok pemberdayaan kerajinan, saya membawa data tersebut untuk saya diskusikan bersama dosen pengampu mata kuliah terkait untuk lebih lanjut mendiskusikan hal ini. ketika melewati diskusi yang cukup panjang maka saya bersama kelompok saya disarankan untuk mengambil pembahasan tentang kontradiksi pembangunan yang dilakukan oleh tanoker yang bersifat bottom – up dan pembangunan yang dilakukan oleh desa yang bersifat top – down. Mengenai pembahasan tersebut, beliau menitik beratkan pada sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat setempat atas dua pendekatan pembangunan itu yang sedang sama sama berjalan di Desa Sumbersalak. C. Konsekuensi Kontradiksi Pembangunan terhadap Masyarakat Desa Alur peristiwa proses pendekatan yang dilakukan oleh tanoker kepada masyarakat desa yakni dengan model perencanaan pembangunan bottom up. Model pembangunan bottom up yaitu model perencanaan pembangunan yang dilakukan dari tingkatan yang paling rendah atau bawah. Dimana dalam pendekatan ini lebih melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam pelaksanaan pembangunan itu. Tanoker dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Hal ini sesuai dengan data-data yang telah saya dapatkan dari beberapa kali observasi dan wawancara kepada masyarakat setempat, pihak desa dan tanoker. Dengan model pembangunan bottom up, tanoker telah memulainya dari lapisan terbawah dalam masyarakat yakni dengan membentuk ekonomi kreatif berupa kelompok-kelompok kelompok pemberdayaan. Berbeda dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan desa. Mereka dalam hal ini, menerapkan pembangunan top down. Yang mana dalam pendekatan pembangunan ini yang mengambil keputusan adalah atasan sedangkan bawahan hanya sebagai pelaksana. Hal tersebut ditunjukkan oleh sikap pemerintahan Desa Sumbersalak yang memberikan sejumlah dana terhadap salah satu kelompok pemberdayaan makanan kering. Dari polemik perbedaan dua pendekatan pembangunan terebut. Dari pemerintah desa dengan pendekatan pembangunan dari atas ke bawah (Top-Down) dan dari komunitas tanoker dengan pendekatan dari bawah ke atas (Bottom-Up) seperti yang telah dipaparkan diatas, membuat masyarakat menjadi bimbang dengan kedua pembangunan ini. Namun dengan pendekatan Tanoker yang langsung bersentuhan dengan masyarakat membuat kepercayaan masyarakat terhadap pembangunan kesejahteraan lebih menaruh harapan kepada Tanoker bukan kepada pemerintah desa yang sebagai pemangku birokrasi desa. Sehingga

masyarakat kurang peduli terhadap program-program yang dicanangkan desa. Namun disamping itu juga ada beberapa permasalahan mengenai konsekuensi dari adanya kontradiksi pembangunan tersebut yaitu munculnya elit baru di lingkup desa, sikap ketidakpercayaan dan ketidakpedulian terhadap pemerintah desa serta munculnya ketergantungan masyarakat terhadap tanoker Dalam hal proses pembangunan yang dilakukan oleh Tanoker pada masing masing desa di Kecamatan Ledokombo, mempergunakan sistem kader pada setiap desanya. Di Desa Sumber Salak yang menjadi kader dari Tanoker dan menjalankan program kerja dari tanoker pada Desa tersebut adalah Bu Latifah. Yang kemudian untuk penentuan kader lain seperti Bu Miswah, Bu Sumiyati dan Pak Ervan didasarkan pada kelebihan yang dimiliki oleh masing masing orang tersebut. Namun tak hanya memperhatikan hal itu, ternyata untuk penentuan koordinator ditentukan oleh Bu Latifah yang didasarkan pada kekerabatan. Dalam hal ini Bu latifah memilih Bu Miswah karena beliau masih terikat saudara. Begitupun juga dengan Pak Ervan. Namun berbeda hal nya dengan Bu Sumiyati yang dalam hal ini merupakan istri dari salah satu perangkat desa. Bu Latifah dalam hal ini menjadi kader pada bidang pendidikan anak anak serta orang tua dan juga makanan kering. Kemudian untuk Bu Miswah menjadi koordintaor makanan kering, yang sebelumnya untuk hal ini dipegang oleh Bu latifah, dikarenakan Bu Latifah sudah menjadi kader pada pendidikan maka dilimpahkanlah kepada Bu Miswah yang juga dalam hal ini masih terdapat hubungan darah. Sedangkan untuk Bu Sumiati dan Pak Ervan masing – masing menjadi koordinator pada kerajinan tangan serta mesin jahit dan untuk Pak Ervan pada bidang pertanian organik. Hal tersebut dilakukan Tanoker untuk memunculkan kemandirian pada proses berjalannya kelompok pemberdayaan dengan keberadaan kader – kader tersebut yang menjadi kordinator kelompok. Dengan dibentuknya kader - kader pada masing - masing desa tujuannya adalah untuk membuat lebih mandiri pada kelompok - kelompok pemberdayaan yang telah dibuat. Harapannya adalah tidak terjadi ketergantungan yang berlebihan pada tanoker setelah dibentuknya itu. Walaupun dalam hal ini tanoker tetap melakukan pendampingan dan pelatihan terhadap masing – masing kelompok pemberdayaan. Namun dibalik dibentuknya kader – kader oleh tanoker di masing masing desa, memunculkan konsekuensi baru dari adanya kontradiksi pembangunan itu yaitu munculnya elit – elit baru pada desa. Elit – elit baru pada desa ini saya maknai sebagai sebagian orang yang memiliki kualitas – kualitas yang diperlukan bagi kehadiran mereka pada kekuasaan politik yang penuh. Menurut Pareto, bahwa

elit yang terdapat pada pekerjaan dan lapisan masyarakat pada dasarnya datang dari kelas yang sama yaitu orang orang kaya juga pandai dan mempunyai kelebihan dari masyarakat kebanyakan. Konsep elit tersebut jika kita analisis dengan fenomena yang terjadi di Desa Sumbersalak hal tersebut memang terjadi adanya. Kader kader yang disebutkan di atas yang dipilih tanoker sebagai koordinator kelompok memang berasal dari masyarakat yang sama, namun pada sisi lain mereka memiliki kelebihan daripada masyarakat kebanyakan. Kelebihan tersebut yaitu untuk Bu Latifah sendiri, beliau yang sebelumnya orang yang aktif pada bidang pendidikan khususnya pendidikan anak anak, dengan datangnya tanoker pada desa itu memilih Bu Latifah untuk menjadi koordinator pada sekolah TK di salah satu dusun Sumbersalak. Tak hanya itu, Tanoker juga memiliki program sekolah ibu – ibu dimana Bu Latifah juga dijadikan koordinator. Sedangkan untuk Bu Sumiyati yang pada hal ini beliau adalah salah satu istri dari perangkat desa dan bertepatan dengan beliau dijadikan tanoker sebagai kader untuk bidang kerajinan tangan dan mesin. Bu Sumiyati juga memiliki kelebihan pada menjahit sebelumnya, yang pada akhirnya membuat Bu Sumiyati menjadi koordinator kerajinan tangan dan mesin jahit. Dengan adanya elit – elit baru pada desa tersebut membuat mereka memiliki akses lebih pada dunia luar baik itu kepada tanoker maupun kepada pihak lain. Tak hanya itu, dengan melihat pembangunan desa yang dilakukan oleh pihak desa itu sendiri yang kurang maksimal terhadap perhatiannya kepada kelompok – kelompok pemberdayaan itu membuat kredibiltas masyarakat terhadap pemerintahan desa tergantikan oleh adanya elit baru yang lebih bisa menunjukkan kecakapannya. Kader – kader tersebut yang diberikan pelatihan oleh tanoker akan membawa kemampuannya itu kepada para anggota kelompoknya, yang kemudian memunculkan rasa kepercayaan kepada kader tersebut dibandingkan pada desa yang sedikit melakukan sumbangsih pada kelompok pemberdayaan itu. Hal itu disebabkan oleh tidak antusiasnya pihak desa kepada keberadaan kelompok pemberdayaan. Ketidakantusiasan itu ditunjukkan dengan sedikitnya sumbangsih pihak desa ke beberapa kelompok pemberdayaan. Menurut salah satu ketua kelompok, jangankan pihak desa memberikan bantuan ke mereka, ketika desa sendiri memiliki agenda kepala desanya sendiri tidak hadir dalam acara itu. Penjelasan di atas secara tidak langsung menyudutkan desa sebagai pelayan masyarakat yang seharusnya melakukan tindak lanjut dari adanya kelompok pemberdayaan itu untuk memberikan bantuan atau pelatihan. Dalam hal ini kewajiban itu dilakukan oleh elit – elit

baru pada desa yang dalam hal ini melakukan koordinator terhadap kelompoknya masing – masing, memfasilitasi masyarakat yang menjadi anggotanya dengan pihak lain seperti tanoker dan pihak terkait serta dianggap sebagai seorang yang mampu menambah pendapatan domestiknya yang dikarenakan keberadaan kelompok pemberdayaan itu. Terlepas dari adanya elit – elit baru di Desa Sumbersalak. Pembangunan yang dilakukan Tanoker pada masyarakat desa bersifat bottom up dengan melakukan pembentukan kelompok – kelompok pemberdayaan. Dalam praktiknya Tanoker untuk hal ini melakukan pendampingan terhadap kelompok – kelompok itu dengan pelatihan, pemberian perlengkapan pendukung dan sebagai pihak marketing dan penjual. Sebagai pihak fasilitator yang memberikan kelompok pemberdayaan tentang pelatihan, Tanoker sering mengajak beberapa kelompok pemberdayaan untuk studi banding ke tempat lain yang masih relevan dengan kelompok pemberdayaannya. Menyangkut pertanian organik, Tanoker pernah membawa kelompok pertanian organik dengan kelompok lainnya untuk mengunjungi suatu daerah yang sedang menerapkan pertanian organik pula. Tak hanya itu Tanoker juga memberikan pelatihan kepada kelompok kerajinan, dimana pelatihnya didatangkan langsung dari Malang. Memang jika membahas tentang bentuk pendampingan yang dilakukan oleh tanoker tidak ada habisnya. Mengenai tentang tanoker yang dalam hal ini sebagai pihak yang menjualkan produk – produk dari kelompok pemberdayaan di Desa Sumbersalak, tanoker juga menerapkan standar produk dari produksi kelompok pemberdayaan tersebut. Apabila terdapat kelompok dengan produksinya yang tidak sesuai dengan standarnya maka produk tersebut tidak lolos jual. Dengan aturan yang seperti itu diterapkan oleh Tanoker, mau tidak mau kelompok – kelompok tersebut mengikuti dan menyesuaikan dengan standar produksinya. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan, karena hanya tanoker yang dapat memesan kepada mereka produk dengan jumlah yang sangat banyak. Memang dari sebagian kelompok tersebut telah mandiri untuk menjualnya ke masyarakat biasa, namun mereka menggantungkan ke Tanoker karena hanya Tanoker yang memesan dengan jumlah banyak. Menurut salah satu ketua kelompok pemberdayaan kerajinan mengatakan bahwa biasanya pemesanan yang dilakukan oleh Tanoker dengan jumlah banyak akan dijual kepada pemkab jember misalnya. Dengan jaringan tanoker yang sudah tidak diragukan lagi, maka tak heran jika tanoker melakukan pemesanan dengan jumlah yang banyak kepada masing – masing kelompok pemberdayaan. Dari pihak kelompok pemberdayaan tersebut, dari hasil wawancara saya

dengan beberapa ketua dan anggota kelompok pemberdayaan tidak pernah untuk mereka menolak pesanan itu, meskipun dengan target waktu yang ditentukan mereka tetap mau melaksanakannya. Jika dilihat lagi dari sumbangsing tanoker kepada mereka, pantaslah bagi tanoker untuk mendapatkan hal itu, karena jika dilihat dari pendampingan dan alat yang telah diberikan ke masing masing kelompok pemberdayaan, membuat mereka (kelompok pemberdayaan) untuk patuh melaksanakan aturan dan perintahnya. Dengan ilustrasi di atas menunjukkan bahwa kelompok pemberdayaan tersebut memiliki ketergantungan yang lebih terhadap tanoker, baik dari segi bentuk pendampingan maupun kemandirian kelompok itu untuk menjual produknya. Karena setelah beberapa kali kita melakukan penelitian dengan wawancara kepada beberapa kelompok terkait, kebanyakan dari mereka memang telah menjual produknya ke konsumen luar namun atas dasar pemesanan terlebih dahulu. Artinya tidak muncul kemandirian bagi mereka untuk memang menjual produknya secara mandiri atau dengan memasarkannya terlebih dahulu. D. Simpulan: Pembangunan yang Bersinergi antara Pendekatan Bottom – up dan Top – Down Melihat kontradiksi pembangunan pada Desa Sumbersalak yang berdasarkan pada ekonomi kreatif kelompok pemberdayaan. Menguakkan fakta bahwa dalam pelaksanaan bottom – up planning yang dilakukan oleh tanoker tak semata-mata memposisikannya sebagai pihak fasilitator. Dalam konteks itu, yang seharusnya berasal dari kebutuhan dari kalangan bawah berubah menjadi kebutuhan oleh pihak yang mampu menggerakkannya. Tanoker dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai pengendali yang dibuktikan dengan memberlakukan sistem standarisasi dalam sistem produksi kelompok pemberdayaan. Tak hanya masalah itu, tujuan tanoker yang membentuk kader – kader pada masing – masing titik untuk

membuat

kelompok

pemberdayaan

mandiri

malah

memunculkan

bentuk

ketergantungan baru serta muncul elit – elit baru. Tentu ini bukan hanya persoalan elit baru dan ketergantungan, dibutuhkannya sikap tanoker untuk menghilangkan sistem standarisasi itu dan memberikan kebebasan pada setiap kelompok pemberdayaan untuk bebas mengkreasikan produk – produknya. Dengan adanya kebebasan itu bukan hanya keterantungan yang akan hilang, golongan – golongan elit baru juga akan menunjukkan kemunduran eksistensinya dikarena dari setiap kelompok pemberdayaan telah mampu untuk mengelola dan mengkreasikan produksinya.

Hal lain yang tampak perlu untuk dibenahi adalah top – down planning yang diberlakukan oleh pemerintahan desa. Alokasi – alokasi anggaran yang seharusnya memang untuk masyarakat dalam hal ini kelompok pemberdayaan haruslah memang dapat diterima oleh mereka agar tidak sebatas wacana dan anggaran. Dengan alokasi – alokasi dana tersebut yang nantinya turun kepada masyarakat akan membuat mereka merasa terbantu dan sekaligus ikut andil dalam usaha pembangunan desa berbasis kelompok pemberdayaan. Bentuk – bentuk

ketergantungan

masyarakat

kepada

tanoker

sebelumnya

dipastikan

dapat

terminimalisir dengan adanya bentuk bantuan ini. tak cukup hanya sebatas dana, pemerintah desa dituntut untuk responsif terhadap kondisi desanya yang memiliki beberapa kelompok pemberdayaan. Setidaknya diadakan pelatihan oleh desa ataupun pengadaan pasar untuk distribusi produk – produk hasil kelompok pemberdayaan. Dengan adanya upaya mereposisikan kembali peran dan posisi tanoker dan pemerintahan desa di Desa Sumbersalak diharapkan akan terjadinya pembangunan yang sinergis antara kedua belah pihak tersebut. Daftar Pustaka Amin, Khairul. 2017. Elit dan Kekuasaan pada Masyarakat Desa. Jurnal Sosiologi USK. 11(2): 170 – 172. Andini, Ully Hikmah dan Mochammad Saleh. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dari Desa Tertinggal Menuju Desa Tidak Tertinggal. Jurnal Administrasi Publik. 2(12): 7 – 11. Harahap, Erni Febrina. 2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam Bidang Ekonomi untuk Mewujudkan Ekonomi Nasional yang Tangguh. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. 3(2): 78-94. Noor, Munawar. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ilmiah Civis. 1(2): 87 – 98. Graha, Andi Nu. 2009. Pengembangan Masyarakat Pembangunan Melalui Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan di Bidang Ekonomi. Jurnal Ekonomi: Modernisasi. 5(2): 117 – 126 Nazhhat, Lak Lak. 2015. Pengembangan Wirausaha Muda Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Studi Pemuda. 4(2): 268-279. Romarina, Arina. 2016. Economic Resilience pada Industri Kreatif Guna Menghadapi Globalisasi dalam Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Ilmu Sosial. 15(1): 35-49.

Related Documents


More Documents from "Wiwit Andriyani"

Cover.docx
May 2020 51
Teak Furniture
June 2020 32
Kotak Pct Fix.docx
November 2019 56