Nama :Nilam Sari Nim : 70300116056 Kelas : keperawatan b 1. Persiapan dan penatalaksanaan pemeriksaan penunjang Tumor Otak dan Cedera Kepala A. Tumor Otak Persiapan dan penatalaksanaan sebelum melakukan pemeriksaan penunjang pada pasien Tumor Otak Penatalaksanaan anestesi untuk tindakan di fossa posterior mengacu pada tujuannya yaitu memfasilitasi akses ke area bedah, meminimalisir resiko kerusakan jaringan saraf, dan mempertahankan stabilitas respiratorik dan kardiovaskular.3 Oleh karena itu diperlukan beberapa alat monitoring tambahan selain monitoring standar yang biasa digunakan. Alatalat monitoring yang sebaiknya disediakan untuk tindakan pada fossa posterior adalah alatalat monitoring tambahan yang dapat menilai terjadinya VAE, instabilitas hemodinamik yang cepat dan kerusakan saraf. Selain itu juga diperlukan komunikasi yang sangat baik dengan operator, komunikasi sebaiknya sudah dilaksanakan sejak preoperatif, terutama mengenai posisi pasien, teknik operasi yang akan dilakukan dan tindakan-tindakan yang akan dilakukan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan intraoperative. 1) Anamnesis 2) Pemeriksaan Fisik Yang terdiri dari : i. Keadaan Umum ii. Sistem Saraf Pusat iii.Respirator iv. Kardiovaskuler v. Gastrointestinal vi. Muskuloskeletal 3) Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap : WBC, Faal Hemostasis, APTT , Kimia Darah , GDS , BUN,Albumin , EKG. 4) Pemeriksaan Radiologi MRI Kepala dan Orbita dan Thorax PA 5) Pengelolaan Anestesi Persiapan preoperatif dilakukan di ruang perawatan, ruang persiapan anestesi dan kamar operasi. Di ruang perawatan pasien dipuasakan dari makanan padat selama 8 jam, air putih non partikel diberikan sampai dengan 2 jam sebelum operasi kurang lebih 200 cc. 6) Melakukan informed consent mengenai keadaan-keadaan yang akan dialami pasien di ruang operasi sehingga dapat menurunkan rasa cemas pasien. Selanjutnya pasien dipasangkan infus ringer fundin di ruang persiapan keesokan harinya, sambil memeriksa ulang catatan medik pasien. Sesampainya di ruang operasi, pasien
dipasangkan alat-alat monitoring saturasi oksigen, tekanan darah manual, EKG dan diberikan oksigen dengan nasal canul 3 L/mnt. Selanjutnya pasien disedasi menggunakan target controlled infusion (TCI) propofol dengan model Schnider sampai target effect (Ce) 1 µg/ml, sambil menjaga airway pasien dilakukan pemasangan artery line dengan anestesi lokal lidokain subkutis. Setelah diberikan preoksigenasi, maka induksi dilakukan dengan fentanyl 200 µg secara berlahan-lahan, lidokain 90 mg intravena, kemudian TCI propofol ditingkatkan sampai Ce 3 µg/mL dan diberikan rokorunium 40 mg. Laringoskopi intubasi dilakukan dengan halus tanpa lonjakan hemodinamik yang bermakna, menggunakan ETT non kingking no 7,5 cuff (+) yang selanjutnya dihubungkan dengan endtidal CO2 . Pemasangan CVC dilakukan di vena supraclavikula dengan tuntunan USG dan certodin. Selanjutnya pasien diposisikan park bench kanan dan fiksasi di daerah kepala dengan pinning 7) Pengelolaan Postoperatif Postoperatif pasien tidak langsung diextubasi, pernapasan pasien disupport oleh ventilator dengan mode pressure support 10, PEEP 5, FiO2 40% didapatkan volume tidal 450–550 ml, saturasi O2 99% dengan respirasi 12–14x/mnt. Pasien disedasi dengan TCI propofol model Schinder dengan Ce 0,2–0,5 µg/mL dengan analgetik fentanyl 10 µg/jam dan paracetamol 3 x 1 gram didapatkan Ramsay score 2. Terapi lain diberikan antibiotik dan deksametason. (Jaya Sutawan I, Yulianti Bisr D, dkk. Penatalaksanaan Anestesi pada Reseksi Tumor Batang Otak. JNI 2017;6 (2): 93‒100. Jurnal Neuroanestesi Indonesia) B. Cedera otak (Trauma Kapitis) Tatalaksana pemeriksaan penunjang pada pasien cedera otak : 1) Langkah-langkah Tatalaksana Cedera Otak a) General precaution (perlindungan umum) i. Informed to Consent dan Informed Consent ii. Perlindungan diri iii. Persiapan alat dan sarana pelayanan b) Stabilisasi Sistem Kardiorespirasi (Airway, Breathing, Circulation) Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan perbaiki A. Airway B. Breathing C. Circulation
D. Disability
Patensi saluran napas ? Suara tambahan ? Apakah oksigenasi Efektif…. ? Apakah perfusi Adekuat …..?
Obstruksi ?
Rate dan depth Gerakan dada Air entry Sianosis Pulse rate dan volume Warna kulit Capilarry return Perdarahan Tekanan darah ( status neurologis ) Apakah Tingkat kesadaran ada kecacatan neurologis …? menggunakan sistem GCS
atau AVPU. Pupil (besar, bentuk, reflek cahaya, bandingkan kanan-kiri) E. Exposure (buka seluruh pakaian) Jejas, deformitas, dan gerakan Cedera organ lain… ? ekstremitas. Evaluasi respon terhadap perintah atau rangsang nyeri Tabel : Survei Primer Pasien cedera otak Prinsip Tatalaksana Cedera Otak atau Trauma Otak i. Penanganan cedera otak primer ii. Mencegah dan menamgani cedera otak sekunder iii. Optimalisasi metabolisme otak iv. Rehabilitasi c) Survey sekunder (pemeriksaan status general terdiri dari anamnesa dan pemeriksaan fisik seluruh organ) i. Anamnesis Informasi yang diperlukan adalah: Identitas pasien: Nama, Umur, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat Keluhan utama Mekanisma trauma Waktu dan perjalanan trauma Pernah pingsan atau sadar setelah trauma Amnesia retrograde atau antegrade Keluhan : Nyeri kepala seberapa berat, penurunan kesadaran, kejang, vertigo Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, pasca operasi kepala Penyakit penyerta : epilepsi, jantung, asma, riwayat operasi kepala, hipertensi dan diabetes melitus, serta gangguan faal pembekuan darah ii. Pemeriksaan fisik Umum Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi, serta pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan metode: Dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki atau, Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone) Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah: Pemeriksaan kepala Mencari tanda : Jejas di kepala meliputi; hematoma sub kutan, sub galeal, luka terbuka, luka tembus dan benda asing. Tanda patah dasar tengkorak, meliputi; ekimosis periorbita (brill hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis auditorius.
Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (Lefort), fraktur rima orbita dan fraktur mandibula Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata. Auskultasi pada arteri karotis untuk menentukan adanya bruit yang berhubungan dengan diseksi karotis Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang. Mencari tanda adanya cedera pada tulang servikal dan tulang belakang dan cedera pada medula spinalis. Pemeriksaan meliputi jejas, deformitas, status motorik, sensorik, dan autonomik. d) Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan status neurologis terdiri dari : Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS). Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC diklasifikasikan: GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR) GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS) GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB) Saraf kranial, terutama: - Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek cahaya, reflek konsensuil bandingkan kanan-kiri - Tanda-tanda lesi saraf VII perifer. Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina, retinal detachment. Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah mencari tanda lateralisasi. Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek, reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani. e) Pemeriksaan Foto Polos Kepala Indikasi pemeriksaan foto polos kepala : i. Kehilangan kesadaran, amnesia ii. Nyeri kepala menetap iii. Gejala neurologis fokal iv. Jejas pada kulit kepala v. Kecurigaan luka tembus vi. Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga vii. Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba 8. Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi, anak
viii. Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras, pasienusia > 50 tahun. f) Pemeriksaan CT Scan Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala: i. GCS< 13 setelah resusitasi. ii. Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemiparesis, kejang. iii. Nyeri kepala, muntah yang menetap iv. Terdapat tanda fokal neurologis v. Terdapat tanda Fraktur, atau kecurigaan fraktur vi. Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus vii. Evaluasi pasca operasi viii. pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ ) ix. Indikasi social. (Wahyuhadi joni, suryaningtyas w dkk. PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury). RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014. 2. Pengkajian nyeri PQRST pada Tumor Otak dan Cedera Kepala Variabel P: Provoking Incident
Q: Quality of Pain
R: Region
S: Scale of Pain
Deskripsi dan Pertanyaan Pengkajian untuk mengindentifikasi faktor yang menjadi predisposisi nyeri. a. Bagaimana peristiwa sehingga terjadi nyeri? b. Faktor apa saja yang bisa menurunkan nyeri? Kualitas Pengkajian untuk menilai bagaimana rasa nyeri dirasakan secara subyektif. Karena sebagian besar deskripsi sifat dari nyeri sulit ditafsirkan. - Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien? - Bagaimana sifat nyeri yang digambarkan pasien? Pengkajian untuk mengindentifikasi letak nyeri secara tepat, adanya radiasi dan penyebabnya. - Dimana (dan tunjukan dengan satu jari) rasa nyeri paling hebat mulai dirasakan? - Apakah rasa nyeri menyebar pada area sekitar nyeri? Pengkajian untuk menentukan seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien. Pengkajian ini dapat dilakukan berdasarkan skal nyeri dan pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya. Berat ringannya suatu keluhan nyeri bersifat subyektif. - seberapa berat keluhan yang dirasakan. - Dengan menggunakan rentang 0-9.
Keterangan: 0 = Tidak ada nyeri 1-2-3 = Nyeri ringan 4-5 = Nyeri sedang 6-7 = Nyeri hebat 8-9 = Nyeri sangat 10 = Nyeri paling hebat Pengkajian untuk mendeteksi berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. - Kapan nyeri muncul? - Tanyakan apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga? - Tanyakan apakah gejala-gejala timbul secara terusmenerus atau hilang timbul. - Tanyakan kapan terakhir kali pasien merasa nyaman atau merasa sangat sehat.
T: Time
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Aplikasi Asuhan. Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika 3. Algoritma penatalaksanaan trauma kapitis ringan, sedang dan berat B. Algoritma trauma kapitis ringan Pasien 1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC) 2. Anamnesis, fisik diagnostik 3. Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi 4. Pemeriksaan lab : DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi 5. Tx. Simtomatik + Antibiotik sesuai indikasi 6. Lapor jaga bedah saraf
IRD
Operasi
MRS di ruang HCU - F
ICU - ROI
- Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam (anak < 2 tahun: D5 0.25 NS) - Puasa 6 jam - Obat simptomatik IV atau sup - Observasi ketat sebagai pasien cidera otak - Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke ruangan perawatan - Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan penderita
VS. Stabil Neurologis Stabil R. Perawatan ( LCU )
Cepat memburuk
KRS Resusitasi + Rediagnosis
Operasi
ICU ROI 1
C. Algoritma trauma kapitis sedang Pasien
IRD
Operatif
ICU - ROI
-
Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
-
Pasang kateter, evaluasi produksi urineLapor jaga bedah saraf
Lapor jaga bedah saraf Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA, cross match) Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis Obat simptomatik IV atau supp Bila telah stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak foto AP Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
MRS di ruang HCU - F
Membaik
Memburuk
- Stabilisasi + Resusitasi - Rediagnosis cito VS. Stabil Neurologis Stabil
ICU ROI R. Perawatan (LCU )
Operasi
D. Algoritma trauma kapitis berat Pasien
IRD
Lapor jaga bedah saraf
- Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi - Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh hiperextensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan intubasi atau tracheostomy - Intubasi + kontrol ventilasi ( PCO2 35 – 40 mmhg,, PaO2 : 80 – 200 atau Spo2 >97 % ), pasang pipa lambung - Pasang collar brace - Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda tanda pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.. - Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah). Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg. - Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau gagal jantung, à manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/ kgBB dalam 20 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm. - Bila kejang : Diazepam 10 mg iv pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus10-18 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 20 ml iv pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB - Bila telah stabil Infus cairan isotonis (NaCl 0,9 %) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan euvolume,pemasangan CVP atas indikasi. . Pemeriksaan lab à DL, BGA, GDA, cross match - Anamnesis à pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi - Pemeriksaan fisik umum dan neurologis - Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi - Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urine - Tanda vital stabil à CT scan kepala, foto leher lat, thorak fot AP, - Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi - Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik - Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan
- Bila keadaan fungsi vital telah stabil • Catat keadaan terakhir sebelum dikirim ke ruangan ICU - Lakukan serah terima secara lengkap ( keadaan penderita, obat-obatan yang diberikan dan rencana perawatan)
Operasi
MRS di ICU -ROI
R. HCU-F
Keterangan gambar : -
IRD (Intstalasi Rawat Darurat)
-
MRS (Masuk Rumah Sakit)
-
LCU (Intstalasi Care Unit)
-
ICU-ROI (Intstalasi Care Unit- Ruang Observasi Intensif)
R. Perawatan (LCU)
-
HCU-F (High Care Unit ruang F). (Wahyuhadi joni, suryaningtyas w dkk. PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA OTAK (Guideline for Management of Traumatic Brain Injury). RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya, 2014)
4. Patofisiologi keluarnya ccs pada trauma kapitis Cairan Serebro Spinal (CSS) adalah cairan jernih yang tak berwarna, mengandung sedikit protein dan sel, tetapi umumnya memiliki komposisi ionik yang mirip dengan plasma. Cairan ini mengandung lebih banyak ion chlor dan magnesium. CSS yang terkandung dalam ruang subaraknoid berfungsi sebagai bantal penahan trauma mekanik. Disamping itu ia diduga pula mempunyai fungsi nutrisi bagi neuron-neuron dan bertindak sebagai pengangkut sampah metabolik dari jaringan susunan saraf pusat (Majalah Kedokteran Nusantara,2016). Mekanisme kebocoran CSS oleh karena trauma biasanya terjadi pada bagian dasar fossa kranii anterior, dimana terjadi kerusakan pada arachnoid, dura dan fraktur tulang yang kemudian menyebabkan fistel. Tulang tengkorak anterior tipis dan melekat erat pada dura, sehingga jika terjadi fraktur pada tulang tersebut maka akan terjadi kerusakan pada dura. Lokasi anterior yang paling sering terjadi fistel adalah daerah fovea etmoidalis (atap sinus etmoid), dinding posterior dari sinus frontal, lamina kribriform, dansinus sfenoid. Kebocoran CSS karena tindakan bedah biasanya tergantung dari tipe operasi pada dasar tengkorak, misalnya terganggu atap sinus oleh karena eksisi tumor pada sinus, prosedur intradural yang meluas kedalam sinus seperti eksisi meningocele, prosedur didalam dan sekitar telinga termasuk diseksi ruang subarachnoid misal eksisi neuroma akustik dan trans-sphenoidal hipofisectomi. Juga pada bedah endoskopi sinus etmoid yang dapat menyebabkan kebocoran CSS (Majalah Kedokteran Nusantara,2016).