Tugas KD 3.9 Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari
Tokoh Utama Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Rasus Warta Dusun, pengarang menampilkan rasus sebagai narrator dalam peristiwa novel Ronggeng Dusun Paruk sedang sedangkan Srintil ditampilkan sebagai tokoh yang diceritakan Rasus. Tokoh Rasus merupakan tokoh yang serba tahu akan segala peristiwa dalam cerita itu. Rasus dilukiskan sebagai seorang pemuda rakyat biasa yang tidak mempunyai status kebangsaan, tinggal di daerah terpencil yang mempunyai status rendah, kurang pengetahuan serta mudah rapuh. Rasus memiliki karakter/penokohan, yaitu: a. Baik, pemberani, peduli, penyayang, cerdas, tegas dan bijaksana. b. Pendendam, hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Aku bersumpah takkan memaafkannya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 80). Sesaat berikutnya kudengar jerit Srintil. Aku mengutuk sengit mengapa Kopral Pujo belum juga muncul. Karena tidak sabar menunggu, maka timbul keberanianku. (Ronggeng Dukuh Paruk:101). c. Penyayang, hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Srintil mengikutiku ketika aku berjalan menuju rumah nenek. Ah, tua nenekku. Kurus dan makin bengkuk. Kasihan, nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia. Tetapi aku merangkulnya sambal berseru berulang-ulang menyebut namaku sendiri. “Aku Rasus, Nek.” (Ronggeng Dukuh Paruk: 103).
Tokoh Tambahan Tokoh tambahan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil, pengarang menggambarkan srintil sebagai seorang ronggeng yang cantik berperawakan menarik serta perempuan yang sempurna fisiknya yang dianggap sebagai titisan dari Ki Secamanggala. Kutipan berikut memperlihatkan kecantikan srintil serta kesempurnaan fisik yang dimilikinya. Srintil mempunyai karakter/penokohan, yaitu: a. Perhatian, hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Jadi engkau mau pulan, Rasus? Di luar masih gerimis,” ujar Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk: 56). b. Penyayang, hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Yang sedang dicari oleh sepasang matabening itu adalah ketulusan hati. Seorang bayi dengan hati yang demikian bersih akan tahu sikap palsu dibalik sikap keramahan dan kehangatan yang dibuat-buat. (Ronggeng Dukuh Paruk: 137). c. Baik, ramah, perhatian.
Protagonis Tokoh protagonis dalam novel Ronggeng Dukuh adalah Srintil, Rasus, Nyi Sakarya, Sakum, Tampi, Warta dan Darsun. Antagonis Tokoh antagonis dalam novel Ronggeng Dukuh adalah Nyai Kartareja dan Kartareja
-
Nyai Kartareja
Nyai Kartareja diggambarkan sebagai seorang dukun ronggeng yang licik dan materialistis. Seperti pada kutipan berikut: “Inilah susahnya momong seorang ronggeng cantik tetapi masih kekanak-kanakan. Bayangkan, Pak Srintil sedang menuntut kalung seperti yang dipakai oleh istri Lurah Pecikalan, sebuah rantai emas seberat seratus gram dengan bandul berlian. Seorang priyayi seperti sampean, kalua mau, tentu biss memenuhi keinginan Srintil itu. Nah, bagaimanakah kami yang melarat ini. Oh, Srintil. Mentang-mentang cantik mudah saja dia memberi beban berat pada kami.” Kutipan tersebut menggambarkan Nyai Kartareja yang licik karena sebenarnya yang menginginkan kalung ema situ bukan Srintil melainkan dirinya. -
Kartareja
Kartareja digambarkan sebagai dukun ronggeng yang materialistis dan licik. Sebagai dukun ronggeng, Kartareja dipercaya oleh Sakarya untuk mendidik Srintil agar menjadi ronggeng. Kartareja digambarkan sebagai orang yang materialistis dan licik karena ketika mengadakan bukak-klambu, Kartareja memenangkan Dower dan Sulam agar mendapatkan sekeping ringgit emas dan juga seekor kerbau. Seperti digambarkan pada kutipan berikut: “Baiklah. Uang panjarmu bisa kuterima. Tetapi besok malam kau harus dating membawa sebuah ringgit emas. Kalua tidak, apa boleh buat. Kau kalah dan uang panjar hilang. Bagaimana?” “Kalau saya gagal memperoleh sebuah ringgit emas maka uang panjar saya hilang?” tanya Dower. “Ya” jawab Kartareja singkat. Rona kelicikan mewarnai wajahnya. Dower termangu, tampak berpikir keras. Pada kutipan di atas, menggambarkan Kartareja yang licik ketika ingin melakukan sayembara bukak-klambu bagi Srintil.
Tritagonis Tokoh tritagonis dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Sakarya yang berperan sebagai kakek Srintil, ia merawat Srintil dari bayi hingga dewasa. Sakarya berwatak baik, penyayang, taat akan adat serta larangan-larangan yang ia percaya dari Ki Secamenggala. Sakarya memiliki sifat penengah yang termasuk dalam kriteria tritagonist, yaitu sebuah karakter yang berperan menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis. Tampak dari Sakarya yang taat pada aturan-aturan kepercayaannya, serta menganggap beberapa hal yang terjadi dalam hidup ini tidak jauh dari hubungan manusia dengan Ki Secamenggala dan tidak terlapas dari kepercayaan-kepercayaan didalamnya.
Alur atau plot Alur yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah campuran. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam novel ini dikisahkan tidak secara mutlak lurus-kronologis atau sebaliknya sorot balik. Secara garis besar plot sebuah novel mungkin progresif tetapi di dalamnya, betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.
Konflik Konflik dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk ini adalah kelaparan dan kesulitan untuk bertahan hidup mencari makanan. Penyebab Konflik Penyebab Konflik dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk disebabkan karena kemarau yang berkepanjangan. Akibat Konflik Akibat dari Konflik tersebut adalah kehancuran Dukuh Paruk. Latar Tempat Latar utama dari novel ini adalah di sebuah pedukuhan yang bernama Dukuh Paruk. Hal ini dapat dilihat karena banyaknya latar tempat yang terjadi di Dukuh Paruk pada novel ini. Latar tempat ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Dua puluh tiga rumah berada di Pedukuhan itu, dihuni oleh orang-orang seketurunan. Konon, moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari tempat paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalnnya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 10). Selain latar utama, juga terdapat latar pendukung dari novel ini, yaitu: a. Di tepi kampung Pada latar tempat ini merupakan tempat terjadinya kegiatan yang dilakukan oleh Rasus dan dua orang temannya yang ingin mencabut singkong. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.(Ronggeng Dukuh Paruk: 10). b.
Di bawah pohon nangka Pada latar ini merupakan tempat terjadinya kegiatan Srintil yang sedang membuat sebuah mahkota dari daun nagka sambil berdendang, dan kemudian Rasus dan dua temannya melihat Srintil, lalu datang menghampiri Srintil. Kemudian mereka bermain bersama, Srintil menari sementara Rasus dan teman-temannya memainkan musik dengan memukul paha maupun dengan cara bersiul. Latar tempat ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Di bawah pohon nangka itu mereka melihat Srintil sedang asyik bermain seorang diri. (Ronggeng Dukuh Paruk: 11).
c.
Di balik onggokan singkong Latar ini merupakan tempat dimana Rasus menjualkan singkong milik majikannya di Pasar Dawuan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Di sarangku, di balik onggokan singkong itu, aku masih mengenangkan Srintil. (Ronggeng Dukuh Paruk: 84).
d.
Di hutan Latar ini merupakan tempat dimana Sersan Slamet beserta bawahannya dan juga Rasus berburu binatang yang akan dijadikan sebagai persedian makanan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Sampai dihutan, perburuan langsung dimulai. (Ronggeng Dukuh Paruk: 95).
e.
Di bukit pekuburan Dukuh Paruk Latar ini merupakan tempat berlangsungnya Srintil merenungi akan kehidupannya saat itu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Kelengangan pekuburan Dukuh Paruk menjadi ibu bagi seorang anak yang ingin memahami apa yang sedang melintas dalam hidupnya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 119).
f.
Di sebuah warung di Pasar Dawuan Latar ini merupakan tempat dimana Srintil mencoba untuk beristirahat setelah berjalan menjauh dari Dukuh Paruk. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Yu, aku sangat ngantuk. Aku mau tidur di sini barang sebenta. Boleh kan?” kata Srintil sambl merebahkan diri. (Ronggeng Dukuh Paruk: 126).
g.
Di rumah Tarim di Kampung Laut Latar ini merupakan tempat dimana Marsusi mencoba meminta bantuan Tarim untuk membalaskan rasa sakit hatinya terhadap Srintil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Silakan beristirahat dulu,” kata Tarim sambil menunjuk kamar yang dimaksud. (Ronggeng Dukuh Paruk: 170).
h.
Di lapangan sepak bola dekat kantor Kecamatan Latar ini merupakan tempat digelarnya acara Agustusan, dimana Srintil memulai untuk menari ronggeng lagi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Malam itu semangat kota Kecil Dawuan berpusat di lapangan sepak bola dekat kantor Kecamatan. Sebuah panggung yang lebar, setinggi satu meter didirikan orang pada salah satu sudutnya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 184).
i.
Di rumah Srintil Latar ini merupakan tempat dimana Sentika mencoba menyampaikan maksudnya untuk meminta Srintil menari ronggeng di rumahnya Alaswangkal serta meminta Srintil untuk menjadi seoranggowok untuk putra semata wayangnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Lha iya. Dari jauh aku datang kemari karena aku mempunyai kepentingan”. (Ronggeng Dukuh Paruk: 200).
j.
Di rumah Sentika Latar ini merupakan tempat dimana Srintil dan rombongannya yang datang dari Dukuh Paruk tiba di rumah Sentika di Alaswangkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Ketika langkah Srintil sampai di bawah pohon sawo di tengah halaman hatinya berbisik: inilah rumah yang sebenar-benarnya rumah. (Ronggeng Dukuh Paruk: 208).
k.
Di gardu jaga Latar ini merupakan tempat dimana Rasus bermenung memikirkan bahwa dirinya harus pulang ke Dukuh Paruk untuk melihat neneknya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Di balik bayang-bayang gardu jaga itu Rasus masih termenung. Lalu sebuah truk datang, berhenti di depan gardu. (Ronggeng Dukuh Paruk: 249).
l.
Di penjara kota Eling-eling Latar ini merupakan tempat dimana Rasus mencoba untuk bertemu dengan Srintil yang ditahan di sebuah ruangan kecil berpagar besi. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Saya siap menerima hukum apapun, karena saya datang kemari untuk melihat seorang tahanan.” (Ronggeng Dukuh Paruk: 267).
m.
Di hutan jati Latar ini merupakan tempat dimana Srintil mencoba kabur dari Marsusi yang mengejar Srintil. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Srintil merasa heran ketika menyadari dirinya sedang duduk tanpa teman di tengah hutan jati.(Ronggeng Dukuh Paruk: 299).
n.
Di balai desa Latar ini merupakan tempat dimana Srintil diminta oleh Lurah Pecikalan untuk datang ke balai desa perihal membahas mengenai ganti rugi tanah Goder. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “Jangan menangis, Nak. Kamu aka memakai baju baru dan bersamaku akan pergi ke balai desa.” (Ronggeng Dukuh Paruk: 323). Latar Waktu Latar waktu yang tergambar pada novel Ronggeng Dukuh Paruk ini diantaranya, yaitu:
a.
Pada tahun 1946 Pada tahun ini merupakan awal dimana seorang Santayib yang merupakan ayah Srintil diceritakan dalam novel ini. Ayah Srintil adalah seorang pembuat tempe yang sudah lama memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk mengenai tempe itu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pendukuh itu telah tidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. (Ronggeng Dukuh Paruk: 21).
b.
Pada tahun 1960 Dimana pada tahun ini kecamatan Dawuan tidak aman. Di kecamatan ini banyak terjadi perampokan, kekerasan senjata, bahkan pembunuhan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman. (Ronggeng Dukuh Paruk: 90).
c.
Pada pagi hari Pada latar waktu ini Sersan Slamet berkata kepada bawahannya dan juga Rasus untuk bersiapsiap untuk pergi ke hutan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Suatu pagi ku dengar Sersan Slamet berkata kepada bawahnnya. Bahkan aku pun di panggilnya mendekat. (Ronggeng Dukuh Paruk: 94).
d.
Menjelang tengah hari Pada waktu ini terjadi kegemparan di Dukuh Paruk, dimana banyak yang terkena racun, karena memakan tempe bongkrek buatan Santayib. Dimana seorang anak berlari-lari dari sawah, sambil memegangi perut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Namun semuanya berubah menjelang tengah hari. Seorang anak berlari-lari dari sawah sambil memegangi perut. (Ronggeng Dukuh Paruk: 24).
e.
Pada Sore hari Pada waktu ini merupakan waktu istirahat, bermain, dan juga bersantai bagi para pekerja di pasar Dawuan yang tidak mungkin setiap hari membawa dagangannya pulang-balik. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
Pada sore hari banyak los berisi orang yang menggelar tikar, tidur, berleha-leha atau duduk berkeliling bermain kartu. Udara panas membuat orang-orang kehilangan gairah bekerja. Mereka mengharapkan suasana yang santai. (Ronggeng Dukuh Paruk: 128). f.
Pada malam hari Pada waktu ini anak-anak Dukuh Paruk tidak ada yang keluar halaman. Setelah selesai makan nasi geplek, anak-anak lebih senang tidur diatas balai-balai bambu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk yang keluar halaman. (Ronggeng Dukuh Paruk: 15).
g.
Pada tahun 1964 Dimana pada tahun ini tak ada yang begitu berubah di Dukuh Paruk, mereka tetap tegak dan makin gagah dengan seorang ronggeng yang berusia sembilan belas tahun, hanya sedikit perubahan kecil yang terjadi, yaitu pada kehidupan Srintil, Sakarya, dan Kartareja yang rumahnya semakin bagus. Namun selebihnya masih sama dari generasi ke generasi dengan sistem ekonomi yang sangat menyedihkan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh.perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya dan Karteraja. Rumah berkapur, bahkan berjendela kaca.(Ronggeng Dukuh Paruk: 227).
h.
Pada Februari 1966 Dimana pada tahun ini kasus kekerasan senjata, pembakaran rumah, dan kekerasan masih berlanjut. Tak ada satu pun orang yang berani keluar setelah matahari terbenam, kecuali polisi, tentara, dan para militer. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Tengah malam Februari 1966 di sebah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam telah berlangsung setengah tahun lamanya. (Ronggeng Dukuh Paruk: 247).
Latar Sosial
Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk mengacu pada latar sosial budaya daerah Jawa, yang nantinya digunakan oleh penulis karena mempunyai kaitan yang erat dan dapat memperjelas hubungan Srintil dengan kebudayaan ronggeng, kaitan yang erat inilah menunjukkan bahwa latar social ini sangat mempengaruhi kehidupan tokoh Srintil sebagai tokoh utama.
Sudut Pandang
Pada bagian pertama dari novel ini, satu bab menggunakan orang ketiga yang serba tahu mengenai cerita dan peristiwa yang terjadi. Kemudian pada bagian bab ke dua sampai dengan bab 4 pada bagian buku pertama ini menggunakan orang pertama pelaku utama, yaitu Rasus seperti adanya kata “aku” pada novel ini. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: Setelah dewasa, sekali aku pernah mencoba memikirkan hal ini. Boleh jadi dengan cara ditanam seperti itu, keringatku yang mengandung racun cepat terserap oleh tanah dari semua pori kulit tubuhku. (Ronggeng Dukuh Paruk: 33). Pada bagian buku kedua dan ketiga menggunakan orang ketiga. Bukti ini dapat dilihat dari adanya kata ganti orang ketiga seperti adanya kata dia, ia, dan menyebutkan nama orang.
Dimana pada bagian buku kedua dan ketiga pengarang lebih menceritakan kisah Srintil, serta masyarakat Dukuh Paruk.
Tema
Tema yang diangkat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, yaitu tentang kehidupan seorang Ronggeng Dukuh Paruk yang merasa putus asa dan kisah cintanya. Dengan latar waktu peristiwa yang diceritakan ini berhubungan dengan keadaan politik ada masa revolusi lahirnya orde baru (1965). Tragedi nasional Oktober 1965 yang berujung kepada kesimpulan bahwa PKI menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas semua kejadian
Majas Personifikasi
Majas ini terdapat dalam kutipan “ Dukuh Paruk kembali menjatuhkan pundak-pundak yang berat, kembali bersimbah air mata.” (Ronggeng Dukuh Paruk: 276). Dari kutipan diatas kita mengetahui bahwa Dukuh Paruk hanyalah sebuah desa, yang tidak bisa menjatuhkan sebuah punggung.
Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan yang dimanfaatkan untuk melukiskan karakter tokoh, keadaan, suasana, tempat secara plastis dan indah serta untuk melukiskan emosi tokoh, aktivitas yang terjadi dalam cerita. Citraan penglihatan berfungsi sebagai sarana penafsiran, baik penafsiran tokoh, peristiwa, maupun latar yang mendukung cerita.
Citraan Pendengaran
Pemanfaatan citraan pendengaran untuk menggambarkan perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita serta dapat memaknai situasi yang terjadi.
Citraan Penciuman
Analisis citraan rabaan digunakan untuk menggambarkan suasana dalam cerita serta mengilustrasikan tempat terjadi cerita dan latar waktu.
Citraan Perabaan
Citraan perabaan digunakan untuk mengilustrasikan suasana yang ada dalam cerita, menimbulkan imajinasi pembaca terhadap apa yang sedang terjadi, menggambarkan aktifitas maupun ekspresi para tokoh dalam cerita.
Citraan Perasa
Penggunaan citraan perasa digunakan pengarang sebagai respon terhadap rasa oleh indra perasa.