Surat Ultimatum Apra Pada Hari Kamis Tanggal 5 Januari 1950.docx

  • Uploaded by: Jason Fernando
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Surat Ultimatum Apra Pada Hari Kamis Tanggal 5 Januari 1950.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 838
  • Pages: 4
Surat ultimatum APRA Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar

Westerling Memberontak Bermodalkan Duit Para Pengusaha

Ilustrasi Raymond Westerling. tirto.id/Gery Oleh: Petrik Matanasi - 26 November 2017 Dibaca Normal 3 menit

Pemberontakan APRA yang dipimpin Westerling ternyata melibatkan para pengusaha yang dengan antusias mengucurkan duit. tirto.id - Tjia Pit Kay adalah pengusaha Tionghoa asal Makassar. Hidupnya tak pernah jauh dari dunia dagang. Sebelum jadi direktur sebuah perusahaan dagang dan transportasi perkebunan bernama In Hoa, Tjia pernah jadi verkoper alias sales keliling yang menawarkan barang dagangan sebuah perusahaan Belanda sebelum 1942. Perusahaan tempatnya bekerja juga milik orang Belanda. Tjia sering berpergian ke daerah-daerah sekitar Padang. Di sana, dia bertemu dengan perempuan yang kemudian jadi istrinya. Sang istri adalah anak dari Jap Kwae Eng, pengusaha Tionghoa asal Padang Panjang. Ketika balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Tjia tinggal di Padang. “Tatkala [tentara] Belanda mendarat di situ, ia seketika itu juga menawarkan diri untuk bekerja sebagai spion. Pekerjaannya menjadi satu dengan Westerling.... Waktu Westerling pulang dari Padang, maka Tjia Pit Kay datang di Jakarta, di mana ia dapat prioritas untuk naik pesawat terbang kemana-mana,” tulis sebuah Laporan Jawatan Kepolisian kepada Presiden pada 21 Februari 1950 tentang aksi Westerling.

Tjia Pit Kay menjadi pintu yang membuka akses Westerling terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa lain seperti Tjie Yoek Moy dan Nio Peng Liang. Juga seseorang yang diduga dalam laporan polisi sebagai “seorang Tionghoa komunis yang paling terkenal di Jakarta, bertempat tinggal di Taman Sari, raja dari segala permainan judi gelap di seluruh Indonesia dan yang sering mengadakan perdagangan gelap,” dan kolega Tjia Pit Kay yang belakangan main mata dengan Westerling dalam gerakannya. Ketika Tjia Pit Kay mulai eksis lagi di dunia bisnis, Westerling pun menjadi kepercayaan dari panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia, Simon Hendrik Spoor. Kapten Raymond Paul Piere Westerling saat itu diakui reputasinya sebagai pemimpin pasukan khusus di Indonesia, Korps Speciale Troepen (KST). Dalam autobiografinya Challenge to Terror (1953), Westerling menyebut pasukannya berjumlah 1.200 personel (baca: Jenderal Spoor Tidur Damai di Menteng Pulo). Namun, pada pertengahan 1948, Westerling keluar karena dia menolak perintah untuk menyerang Yogyakarta dalam Agresi Militer Belanda II. Meski begitu, dia masih menjalin hubungan dengan mantan pasukan elitnya di KST. Lepas dari dunia militer, Westerling kawin dengan seorang janda bernama Yvone Portier. Mereka tinggal di Pacet. Untuk mengganjal perut dan hidup enak, Westerling menjadi pengusaha transportasi onderneming. Ia menyewakan truk-truk bekas milik militer untuk mengangkut hasil bumi di sekitar Priangan. Tidak sulit bagi Westerling untuk berbisnis. Dia punya jaringan pengusaha-pengusaha di kalangan orang-orang bule dan Tionghoa. Tjia Pit Kay salah satunya. Menjelang akhir 1949, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang makin menguntungkan Indonesia, pengusaha-pengusaha perkebunan yang rata-rata bule itu mulai pening. Belanda terancam angkat kaki dan Republik Indonesia bukan kabar bagus bagi usaha mereka. Mereka tak mau kehilangan usaha mereka seperti di masa pendudukan Jepang. Di zaman revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949), pengusaha-pengusaha itu sudah mulai kembali berbisnis dengan risiko besar. Mereka sering menjadi sasaran gangguan gerombolan-gerombolan bersenjata yang tak jelas ikut Belanda atau Indonesia. Pengusahapengusaha perkebunan yang tergabung dalam Landbouwsyndicaat itu akhirnya tak ragu menggelontorkan uang untuk membangun pasukan partikelir—terdiri dari orang-orang pribumi. Tujuannya: agar wilayah bisnis dan diri mereka aman. Sebagai pengusaha transportasi onderneming, mau tidak mau Westerling sering berhubungan dengan pengusaha-pengusaha bule penguasa perkebunan di Jawa Barat. Westerling yang pernah dilatih sebagai intelijen tentu mampu membaca kegalauan para pengusaha-pengusaha bule itu. Para pengusaha Tionghoa yang dekat dengannya juga merasakan hal yang sama. Nama Westerling sejak satu tahun sebelumnya tidaklah asing. Menurut laporan polisi, seorang pengusaha perkebunan Inggris di Bandung bernama Tom menyebut Westerling sebagai "a Big Fellow." Demikian pula pengusaha perkebunan lainnya dari perkebunan Kertasari bernama Eatonbeath menjulukinya. Big Fellow adalah sebutan bagi Michel Collins si pemberontak Irlandia. Dalam autobiografinya, Westerling mengaku bahwa pada pertengahan 1949 Spoor mengajaknya membuat gerakan kudeta terselubung menolak kekuasaan Republik Indonesia. Westerling pun mulai menjalani profesi ganda. Ia jadi pengusaha transport onderneming sekaligus komandan tentara bayaran ala CAT Shannon dalam novel The Dog

of War (1974) karya Frederick Forsyth. Gerakan Westerling kemudian menguasai Jakarta dan Jawa Barat. Meski panglima Spoor membatalkan rencananya, Westerling jalan terus. Masih ada pengusaha-pengusaha antiRepublik Indonesia yang mengongkosinya. Layaknya Shannon, Westerling juga mencari senjata di pasar gelap untuk pasukan-pasukan lokal. Shannon dalam novel berhasil mendapatkannya, sedangkan Westerling tidak berhasil mengantongi senjata untuk pasukannya yang dikenal sebagai Angkatan Perang Ratu Adil. Gerakan militer yang mengerahkan banyak orang tentu butuh uang banyak. Apalagi aksi pengacauan itu tak hanya mengajak kaum militer, tapi juga orang-orang sipil pribumi yang belum punya bedil dan harus digerakkan dari satu tempat ke tempat lain. Ditambah lagi, Spoor telah menarik diri. APRA tidak berhasil mengembalikan tatanan kolonial yang diimpikan oleh Westerling. Kegagalan ini juga mengakhiri sepak terjang Westerling di Indonesia. Ia mati pada 26 November 1987, hari ini tepat 30 tahun silam, dalam usia 78 tahun.

Related Documents


More Documents from "Ardian Yulmi Pamungkas"