Tinjauan Putaka.doc

  • Uploaded by: Anonymous 4u2w0OL
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Putaka.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 9,292
  • Pages: 36
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala 2.1.1. Definisi Cedera Kepala Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran dan dapat menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). 2.1.2. Epidemiologi Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010). Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013). 2.1.3. Klasifikasi Cedera Kepala Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. 2.1.3.1. Mekanisme Cedera Kepala Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan coba, kadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenz and Shelden, 1947) merekam fenomena ini pada tengkorak monyet

yang

digantikan

dengan

plastik

transparan.

Perkembangan

teknologi

memungkinkan dengan Computed Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance

Imaging (MRI) mempelajari efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan (Bayly dkk, 2005). Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional, translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut berlangsung. Kekuatan kontak terjadi ketika kepala bergerak setelah suatu gaya, sedangkan gaya inersia terjadi pada percepatan atau perlambatan kepala, sehingga gerak diferensial otak relatif terhadap tengkorak. Meskipun satu proses mungkin mendominasi, sebagian besar pasien dengan cedera kepala mengalami kombinasi dari mekanisme ini. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan cedera kepala (Goldsmith, 1966); benturan kepala dengan benda padat pada kecepatan yang cukup, beban impulsif memproduksi gerak tiba-tiba kepala tanpa kontak fisik yang signifikan, dan statis beban kompresi statis atau kuasi kepala dengan kekuatan bertahap. Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma (SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam (Youmans, 2011). Percepatan sudut merupakan kombinasi dari percepatan translasi dan rotasi, merupakan bentuk yang paling umum dari cedera inersia. Karena sifat biomekanis kepala dan leher, cedera kepala sering mengakibatkan defleksi kepala dan leher bagian tengah atau tulang belakang leher bagian bawah (sebagai pusat pergerakan).

Gambar 2.1. Diffuse Injury - Akselerasi dan Deselerasi (Bigler, 2000) Cedera lainnya merupakan trauma penetrasi atau luka tembak yang mengakibatkan perlukaan langsung organ intrakranial, yang pasti membutuhkan intervensi pembedahan. 2.1.3.2. Beratnya Cedera Kepala Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka. Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), merupakan skala universal untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang menyebabkan penurunan kesadaran. Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada 1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak (Teasdale, 1974). Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCSnya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Test Eye Opening (E) Spontaneous Open to voice Open to pain None Best Motor Response (M) Follow commands

Skor

4 3 2 1 6

Localizing to painful stimuli Flexion-withdraw to painful stimuli Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli Extensor / Decerebrate posturing to painful

5 4 3

stimuli None Best Verbal Response Oriented conversation Confused / disoriented conversation Inappropriate words Incomprehensible sound None

2 1 5 4 3 2 1

Tabel 2.1. Glasgow Coma Scale (Teasdale, 1974) Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari cedera kepala yaitu: Cedera Kepala Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit Amnesia post traumatic < 24 jam GCS 13 -15 Cedera Kepala Sedang Kehilangan kesadaran > 20 menit dan < 36 jam Amnesia post traumatic > 24 jam dan < 7 hari GCS 9-12 Cedera Keapala Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam Amnesia post traumatic > 7 hari GCS 3-8 Tabel 2.2. Klasifikasi Keparahan Cedera Kepala (Brain Injury Association of Michigan (2005) 2.1.3.3. Morfologi Cedera Kepala Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area terjadinya trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006)

Secara morfologi cedera kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008) 2.1.3.3.1. Laserasi Kulit Kepala Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini. 2.1.3.3.2. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi: 1. Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. 2. Fraktur Diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. 3. Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur. 4. Fraktur impresi Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen

tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula interna segmen tulang yang sehat. 5. Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada fraktur basis cranii fossa media. 2.1.3.3.3. Luka memar (kontusio) Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah. Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat kesadaran (Corrigan, 2004). 2.1.3.3.4. Abrasi Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak. 2.1.3.3.5. Avulsi Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera (Mansjoer, 2010). 2.1.4. Patofisiologi Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu, dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011):

2.1.4.1. Cedera Otak Primer Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi (hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi, kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi. Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996). Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan. Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi iskemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996). Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi, hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi jaringan fokal, kerusakan mikrovaskular pada fase lanjut (late phase), terjadi vasospasme (Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi menjadi: 1.

Fase awal (fase1, segera, dengan hipoperfusi)

2.

Fase intermediate (fase2, hari1-3, tampak hiperemia)

3.

Fase lanjut vasospastik (fase3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al. 1998).

Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow (CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003). Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan menjadi cedera fokal dan difus (Teasdale, 1995). Focal Injuries

Diffuse Injuries

Contusion Fracture Coup Countercoup Herniation Intermediate

Concusion Diffuse axonal injury Moderate Severe

Gliding Hematoma Epidural Subdural Intracerebral

Tabel 2.3. Klasifikasi Cedera Fokal dan Difus (Teasdale, 1995) 2.1.4.1.1. Cedera otak fokal Cedera otak fokal secara tipikal menimbulkan kontusio serebri dan traumatik Intrakranial hematoma (Winn, 2017). 1. Kontusio Serebri (memar otak) Kontusio serebri merupakan cedera fokal berupa perdarahan dan bengkak pada subpial, merupakan cedera yang paling sering terjadi. Dilaporkan bahwa 89% mayat yang diperiksa postmortem mengalami kontusio serebri (Cooper, 1982). Depreitere et al melaporkan bahwa kasus kontusio serebri paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian dan cedera olahraga (Depreitere, 2004). Kontusio serebri adalah memar pada jaringan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul maupun cedera akibat akselerasi dan deselerasi yang dapat menyebabkan kerusakan parenkim otak dan perdarahan mikro di sekitar kapiler pembuluh darah otak. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada beberapa kasus kontusio serebri dapat berkembang menjadi perdarahan serebral. Namun pada cedera berat, kontusio serebri sering disertai dengan perdarahan subdural, perdaraham epidural, perdarahan serebral ataupun perdarahan subaraknoid (Hardman, 2002). Freytag dan Lindenberg (1968) mengemukakan bahwa pada daerah kontusio serebri terdapat dua komponen, yaitu daerah inti yang mengalami nekrosis dan daerah perifer yang mengalami pembengkakan seluler yang diakibatkan oleh edema sitotoksik. Pembengkakan seluler ini sering dikenal sebagai perikontusional zone yang dapat menyebabkan keadaan lebih iskemik sehingga terjadi kematian sel yang lebih luas. Hal ini disebabkan

oleh

kerusakan

autoregulasi

pembuluh

darah

di

pericontusional zone sehingga perfusi jaringan akan berkurang akibat dari penurunan Mean Arterial Pressure (MAP) atau peningkatan tekanan intrakranial. Proses pembengkakan ini berlangsung antara 2 hingga 7 hari. Penderita yang mengalami kontusio ini memiliki risiko terjadi kecacatan dan kejang di kemudian hari (Davis, 2006).

Gambar 2.2. Mekanisme Terjadinya Kontusio Serebri (Mesiano, 2010) Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran hilang selama blokade reversibel berlangsung (Liau et al, 2011). Kontusio serebri dapat dibagi berdasarkan mekanisme, lokasi anatomi, atau cedera yang berdekatan. Misalnya, fraktur kontusio akibat dari cedera kontak langsung dan terjadi segera disebelahnya dengan fraktur tulang tengkorak. Coup merujuk kepada trauma yang terjadi di lokasi dampak dengan tidak adanya patah tulang, sedangkan contrecoup adalah sisi yang berlawanan dengan titik dampak. Gliding adalah perdarahan fokal melibatkan korteks dan white matter yang berdekatan dari margin superior dari hemisfer serebri; terjadi karena mekanisme rotasi daripada tenaga kontak. Intermediary adalah lesi yang mempengaruhi struktur otak dalam, seperti korpus calosum, ganglia basal, hipotalamus, dan batang otak. Herniasi dapat terjadi di daerah medial lobus temporal pada tepi tentorial (yaitu, uncal herniasi) atau di mana tonsil serebelum menghubungi foramen magnum (yaitu, tonsillar herniasi)

Gambar 2.3. Herniasi intrakranial (Hardman, 2002)

2. Traumatik Intrakranial Hematom Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang merupakan target terapi yang potensial dari intervensi bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama dari hematoma intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral. 1.

Epidural Hematoma (EDH). EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2.

Subdural Hematoma (SDH). Perdarahan subdural adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid, yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas 3 bagian yaitu: a. Perdarahan Subdural Akut:

SDH akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya venavena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk, dan kebingungan, respon yang lambat, serta gelisah. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. Perdarahan subdural akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera batang otak. b. Perdarahan subdural subakut Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran. c. Perdarahan subdural kronis Terjadi karena luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki ruang subdural. Beberapa minggu kemudian menumpuk di sekitar membran vaskuler dan secara pelan-pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik. 3.

Intracerebral Hematoma (ICH). Intracerebral Hematoma adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat di dalam parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

4.

Subarahnoid Hematoma (SAH) Traumatik.

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoid.

2.1.4.1.2.1.Cedera Otak Difus Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering dari cedera kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma menetap pasca cedera (Sadewa, 2011). Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difus dikelompokkan menjadi: 1.

Benturan (concussion) serebri Benturan adalah bentuk paling ringan dari cedera difus dan dianggap karena gaya rotasional akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak mekanik yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya, tetapi benturan berulang sering mengakibatkan gangguan neurologis permanen. Patofisiologi benturan kurang dipahami dan mungkin karena gangguan kesadaran dari lesi batang otak dan diencephalon. Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan benturan otak sering memiliki keterlibatan cedera otak difus, dan lesi batang otak jauh lebih jarang. Cedera otak difus menggambarkan keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran CT scan normal dan GCS 15.

2.

Cedera akson difus (Difuse axonal injury)

Difus Axonal Injury (DAI) adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda

otak

(serabut

proyeksi),

maupun

serabut

yang

menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang

menghubungkan

inti-inti

permukaan

kedua

hemisfer

(komisura) mengalami kerusakan. DAI merupakan istilah yang kurang tepat, sebab ini bukan merupakan cedera difus pada seluruh daerah otak. Cedera yang terjadi lebih dominan pada area otak tertentu yang mengalami percepatan yang tinggi dan cedera deselerasi dengan durasi yang panjang. DAI merupakan ciri yang konsisten pada cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas dan beberapa olahraga tertentu. Gambaran patologi secara histologi dari DAI pada manusia adalah terdapat kerusakan yang luas pada akson dari batang otak, parasagittal white matter dari korteks serebri, korpus callosum dan gray-white matter junction dari korteks serebri (Smith et al, 1999). Pada DAI ringan dan sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang membengkak dan putus. Mekanisme utama terjadinya DAI adalah akibat dari pergerakkan rotasional dari otak saat akselerasi dan deselerasi. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan densitas dari jaringan otak yaitu jaringan white matter lebih berat dibandingkan grey matter. Pada saat otak mengalami rotasi akibat kejadian akselerasi-deselerasi, jaringan dengan densitas lebih rendah bergerak lebih cepat dibandingkan dengan jaringan dengan densitas lebih besar. Perbedaan kecepatan inilah yang menyebabkan robekan pada akson neuron yang menghubungkan grey matter dan white matter (Smith et al, 1999). Terdapat dua fase dari cedera aksonal pada DAI yaitu fase pada cedera primer dan cedera sekunder atau fase lambat. Pada cedera primer robekkan akson terjadi akibat regangan saat kejadiaan. Sedangkan pada fase lambat terjadi perubahan biokimia yang mengakibatkan

pembengkakan

dan

putusnya

akson-akson.

Perubahan biokimia yang terjadi yaitu peningkatan influks natrium

yang juga memicu influks kalsium. Peningkatan kadar kalsium ini akan

menyebabkan

aktifnya

calsium-mediated

proteolysis.

Kerusakan akson menyebabkan kerusakan dari pengangkutan sehingga terjadi penunmpukan di dalam akson yang membengkak. Kerusakan akson yang luas akan menyebabkan atrofi otak dengan ventrikulomegali yang dapat menyebabkan kejang, spastisitas, penurunan fungsi intelektual dan yang paling berat adalah vegetative state (Blumbergs, 2011). 2.1.4.2. Cedera Otak Sekunder Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan peroxidasi lipid. Perburukan mekanis awal sebagai akibat cedera kepala berefek pada perubahan jaringan yang mencederai neuron, glia, axon dan pembuluh darah. Cedera ini akan di ikuti oleh fase lanjut, yang di mediasi jalur biologis intraselular dan ekstraseluler yang dapat muncul dalam menit, jam, maupun hari, bahkan minggu setelah cedera kepala primer (Cloots dkk, 2008). Selama fase ini, banyak pasien mengalami cedera kepala sekunder yang dipengaruhi hipoksia, hipotensi, odema serebri, dan akibat peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK). Faktor sekunder inilah yang akan memperberat cedera kepala primer dan berpengaruh pada outcome pasien (Czosnyka dkk, 1996). Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan otak. Cedera kepala menyebabkan sebagian sel yang terkena benturan mati atau rusak irreversible, proses ini disebut proses primer dan sel otak disekelilingnya akan mengalami gangguan fungsional tetapi belum mati dan bila keadaan menguntungkan sel akan sembuh dalam beberapa menit, jam atau hari. Proses selanjutnya disebut proses patologi sekunder. Proses biokimiawi dan struktur massa yang rusak akan menyebabkan kerusakan seluler yang luas pada sel yang cedera maupun sel yang tidak

cedera. Secara garis besar cedera kepala sekunder pasca trauma diakibatkan oleh beberapa proses dan faktor dibawah ini : 1.

Lesi massa, pergeseran garis tengah dan herniasi yang terdiri atas : a. Perdarahan intrakranial (hematom epidural/ subdural/ intraserebral). b. Edema serebral.

2.

Iskemik cerebri yang diakibatkan oleh : a.

Penurunan tekanan perfusi serebral.

b.

Hipotensi arterial, hipertensi intrakranial.

c.

Hiperpireksia dan infeksi.

d.

Hipokalsemia/ anemia dan hipotensi.

e.

Vasospasme serebri dan kejang

Proses inflamasi terjadi segera setelah trauma yang ditandai dengan aktivasi substansi mediator yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah, penurunan aliran darah, dan permeabilitas kapiler yang meningkat. Hal ini menyebabkan akumulasi cairan (edema) dan leukosit pada daerah trauma. Sel terbanyak yang berperan dalam respon inflamasi adalah sel fagosit, terutama sel leukosit Polymorphonuclear (PMN), yang terakumulasi dalam 30 - 60 menit yang memfagosit jaringan mati. Bila penyebab respon inflamasi berlangsung melebihi waktu ini, antara waktu 5-6 jam akan terjadi infiltrasi sel leukosit mononuklear, makrofag, dan limfosit. Makrofag ini membantu aktivitas sel PMN dalam proses fagositosis (Riahi, 2006). Inflamasi, yang merupakan respon dasar terhadap trauma sangat berperan dalam terjadinya cedera sekunder. Pada tahap awal proses inflamasi, akan terjadi perlekatan netrofil pada endotelium dengan beberapa molekul perekat Intra Cellular Adhesion Molecules-1

(ICAM-1).

Proses

perlekatan

ini

mempunyai

kecenderungan

merusak/merugikan karena mengurangi aliran dalam mikrosirkulasi. Selain itu, neutrofil juga melepaskan senyawa toksik (radikal bebas), atau mediator lainnya (prostaglandin, leukotrin) di mana senyawa-senyawa ini akan memacu terjadinya cedera lebih lanjut. Makrofag juga mempunyai peranan penting sebagai sel radang predominan pada cedera otak (Hergenroeder, 2008). Sebaliknya faktor ekstrakranial (sistemik) yang dikenal dengan istilah nine deadly H’s adalah hipoksemia (hipoksia, anemia), hipotensi (hipovolemia, gangguan jantung, pneumotorak), hiperkapnia (depresi nafas), hipokapnea (hiperventilasi), hipertermi

(hipermetabolisme/respon

stres),

hiperglikemia,

hipoglikemia,

hiponatremia,

hipoproteinemia,dan hemostasis (Cohadon, 1995). Beratnya cedera primer karena lokasinya memberi efek terhadap beratnya mekanisme cedera sekunder (Li, 2004).

Gambar 2.4. Diagram Patofisiologi Cedera Otak Sekunder (COS) 2.1.5. Faktor Risiko Klinis Cedera Kepala Faktor-faktor yang berhubungan dengan penurunan angka survival meliputi nilai GCS rendah, usia lanjut, dijumpainya hematom intrakranial dan keadaan sistemik lain yang memperberat keadaan cedera kepala. Penelitian lain menunjukkan, 30-60 % pasien cedera kepala dengan Intracranial Pressure (ICP) tidak terkontrol meninggal dan berbeda dengan penelitian besar lainnya dijumpai hasil outcome yang lebih baik dengan cacat sedang (Moulton, 2005). Meski masih dijumpai keraguan terhadap faktor-faktor tersebut berdasarkan penilaian klinis terhadap prognosis pada cedera kepala, hubungan salah satu faktor terhadap faktor lain dalam peranannya terhadap prognosis pasien cedera kepala juga masih diperdebatkan. Hal ini yang masih menjadi acuan bahwa faktor-faktor prognosis tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya variabel dalam keberhasilan menentukan keputusan pengobatan. Namun, tidak bisa tidak, faktor-faktor tersebut sedikit banyak

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan penanganan pasien (Bahloul, 2010; Kan, 2009).

2.1.5.1.

Faktor Usia

Pada usia diatas 60 tahun yang mengalami cedera kepala memiliki risiko terjadinya kelainan pada otak lebih besar dibandingkan usia muda (Munro, 2002). Terdapat hubungan yang bermakna antara usia tua dan lesi otak, dan kemungkinan bertahan hidup pada pasien dengan hematoma intrakranial menurun sesuai dengan peningkatan usia (Amacher, 1987). Hal ini karena pada usia tua berisiko terjadi lesi fokal karena atrofi otak dan mudah robeknya bridging vein pada usia tua (Narayan, 2000). 2.1.5.2. Hipotensi Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah dijadikan prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala. Hipotensi merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor terkuat yang mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000; Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik < 90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980). Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30% dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita cedera kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena cedera sistemik; sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada pusat refleks kardiovaskular di medula oblongata. Newfield (1980) mendapatkan angka mortalitas 83% pada penderita-penderita dengan hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan dengan angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi sistemik (Moulton, 2005). Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat cedera iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi yang ditemukan mulai dari awal cedera sampai selama perawatan penderita merupakan faktor utama yang menentukan outcome penderita cedera kepala, dan merupakan satu-satunya faktor penentu yang dapat dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi dapat menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).

Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospektifnya menemukan bahwa hipotensi intra operatif juga memegang peranan penting, dengan peningkatan kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai pengaruh hipotensi dengan peningkatan derajat keparahan masih belom jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien cedera kepala ditemukan bukti adanya kerusakan otak akibat iskemik (Stieffel, 2005). 2.1.5.3. Hipoksia Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala berat dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70 mmHg, 51% mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari 30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978) mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada awalnya sudah menderita hipoksia. Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau karena pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera sumsum tulang belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala atau cedera leher, juga karena cedera lansung pada dinding dada atau paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan efek hipoksia sistemik pada manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan didalam memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006). Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan kejadian edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini mungkin disebabkan oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan hemostasis ion. 2.1.5.4. Skor Glasgow Coma Scale Glasgow coma scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolok ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera pada cedera kepala. Glasgow Coma Scale seharusnya telah diperiksa pada penderita saat awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi; skor ini disebut skor awal GCS (Chessnut, 2000; Sastrodiningrat, 2006). Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis, suatu skor GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan prognosis yang buruk (Davis dan Cunningham, 1984). Menurut Sastrodiningrat (2009) yang mengutip pendapat Jennet dkk, melaporkan bahwa 82% dari penderita-penderita dengan skor GCS 11 atau lebih, dalam waktu 24 jam setelah cedera mempunyai good outcome atau moderately disabled dan hanya 12% yang

meninggal atau mendapat severe disability. Outcome secara progresif akan menurun kalau skor awal GCS menurun. Diantara penderita-penderita dengan skor awal GCS 3 atau 4 dalam 24 jam pertama setelah cedera hanya 7% yang mendapat good outcome atau moderate disability. Diantara penderita-penderita dengan skor GCS 3 pada waktu masuk dirawat, 87% akan meninggal. Kehilangan kesadaran yang lama, dalam banyak hal tidak prediktif terhadap outcome yang buruk. Menurut Sastrodiningrat (2009) yang bersumber dari hasil penelitian Groswasser dan Sazbon, telah melakukan tinjauan penyembuhan fungsional dari 134 penderita dengan gangguan kesadaran selama 30 hari. Hampir separuhnya mempunyai ketergantungan total didalam aktifitas kehidupan sehari-hari dan 20% yang lain mempunyai ketergantungan terbatas. Biasanya penderita yang sembuh adalah pada usia dibawah 30 tahun dengan fungsi batang otak yang baik, diameter pupil dan reaksi cahaya. Reflek pupil terhadap cahaya merupakan pengukuran secara tidak langsung terhadap adanya herniasi dan cedera batang otak. Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari satu sisi pupil menandakan adanya herniasi, dimana gambaran dilatasi dan terfiksasinya kedua pupil dijumpai pada cedera batang otak yang irreversible. Keterbatasan penilaian prognosis terjadi pada pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksasi akibat trauma langsung ke bola mata tanpa mencederai saraf ketiga intrakranial atau disertai cedera batang otak (Chessnut, 2000). Penelitian klinis untuk mengamati prognosis terhadap reflek cahaya pupil telah dilakukan dalam berbagai metodologi. Sebagian penelitian tersebut meneliti ukuran dan reaksi pupil terhadap cahaya. Sebagian penelitian tersebut hanya mencatat ada tidaknya dilatasi tanpa memandang ukuran pupil (Pascual, 2008; Letarte, 2008). Abnormalitas fungsi pupil, gangguan gerakan ekstraokular, pola-pola respons motorik yang abnormal seperti postur fleksor dan postur ekstensor, semuanya memprediksikan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Andrews, 1989; Rovlias, 2004). Sastrodiningrat (2006) bersumber dari penelitian yang dilakukan Sone dan Seelig menyatakan bahwa anisokor, refleks pupil yang tidak teratur atau pupil yang tidak bereaksi terhadap rangsang cahaya biasanya disebabkan karena kompresi terhadap saraf otak ketiga atau terdapat cedera pada batang otak bagian atas, biasanya karena herniasi transtentorial. Dalam suatu tinjauan terhadap 153 penderita dewasa dengan herniasi transtentorial, hanya 18% yang mempunyai penyembuhan yang baik. Diantara penderita dengan anisokor pada waktu masuk dirawat dengan batang otak yang tidak cedera, 27% mencapai penyembuhan yang baik, akan tetapi bila ditemukan pupil yang tidak bergerak dan berdilatasi bilateral, secara bermakna ditemukan hanya 3.5% yang sembuh. Penderita cedera kepala dengan pupil yang anisokor yang mendapat penyembuhan baik cenderung berumur lebih muda, dan refleks-refleks batang otak bagian atas yang tidak

terganggu. Sone dkk, melaporkan 10 dari 40 (25%) penderita dengan satu pupil berdilatasi ipsilateral terhadap suatu Subdural Hematoma (SDH) mencapai penyembuhan fungsional. Seelig dkk, melaporkan hanya 6 dari 61 (10%) penderita dengan dilatasi pupil bilateral yang mencapai penyembuhan fungsional. Dengan demikian, gangguan gerakan ekstraokular dan refleks pupil yang negatif juga berhubungan dengan prognosis buruk (Sastrodiningrat, 2009). Diameter pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya adalah dua parameter yang banyak diselidiki dan dapat menentukan prognosis. Di dalam mengevaluasi pupil, trauma orbita langsung harus disingkirkan dan hipotensi telah diatasi sebelum mengevaluasi pupil, dan pemeriksaan ulang harus sering dilakukan setelah evakuasi hematoma intraserebral (Pascual, 2008; Moulton, 2005; Volmerr, 1991). 2.1.5.5. Gambaran Awal CT Scan Kepala Indikasi untuk melakukan CT scan adalah jika pasien mengeluh sakit kepala akut yang diikuti dengan kelainan neurologis seperti mual, muntah atau dengan GCS <14 (Mills, 2004). Lobato (1983), mengelompokkan hasil CT scan berdasarkan bentuk anatomi menjadi delapan kelompok. Pengelompokan ini memperlihatkan hasil prediksi yang lebih kuat tabel 2.4

Temuan CT scan

Unfacourable Outcome (%)

No Lesions

32

Extracerebral Hematoma

15

Extracerebral Hematoma and Swelling Bilateral Swelling

100

Bilateral Swelling

12

Single Brain Contusion

22

Multiple Unilateral Contusion

84

Multiple Bilateral Contusion

54

Diffuse Axonal Injury

86

Tabel 2.4. Klasifikasi lesi CT scan dan outcome (Lobato, 1983). Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak atau adanya

kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis (Sastrodiningrat, 2009). 2.1.5.6. Patah Tulang Kepala Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT Scan kepala (Ibanez, 2016). Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impak yang besar pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis patahan (Willmore, 2007). 2.1.5.7. Waktu Kejadian Trauma Sampai Penanganan di Rumah Sakit Waktu 6 jam setelah kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan awal di rumah sakit. Pada waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera primer maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan kegagalan kompensasi dapat terjadi, sehingga kematian paling banyak terjadi dalam periode ini (Ratnaningsih, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Boto (2010) mengungkapkan pasien dengan cedera kepala berat, 20% meninggal dunia pada awal kedatangan. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Singh (2007) terhadap pejalan kaki yang mengalami kematian akibat kecelakaan. Dari 129 orang 56, 6% mengalami cedera kepala dan 54, 4% diantaranya hanya dapat bertahan hidup sampai 6 jam pertama. 2.1.5.8. Faal hemostasis Faal hemostasis merupaka pemeriksaan yang meliputi tes PT (Prothrombin Time), tes aPTT (Activated Partial Thromboplastin Time) dan tes TT (Thrombin Time). Ada beberapa sistem yang berperanan dalam sistem hemostasis yaitu system vaskuler, trombosit, dan pembekuan darah. Koagulasi adalah proses komplek pembentukan pembekuan darah. Koagulasi dimulai dengan terdapatnya kerusakan pembuluh darah pada lapisan endothel. Trombosit kemudian membentuk gumpalan untuk menutup daerah yang

rusak disebut hemostasis primer. Hemostasis sekunder terjadi secara simultan dengan adanya protein dalam plasma disebut faktor koagulasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang memperkuat gumpalan dari trombosit (Baroto, 2007). Dalam penelitian Baroto (2007) disebutkan juga bahwa koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan mencegah perdarahan. Pasien dengan cedera kepala dapat ditemukan koagulopati secara klinis dan laboratoris terutama pada kejadian cedera jaringan otak langsung. Koagulopati yang terjadi pada penderita cedera kepala karena pelepasan faktor jaringan (salah satunya tromboplastin yang kaya di jaringan otak) dan koagulan lain dari parenkim otak yang rusak masuk ke peredaran darah sistemik mempengaruhi proses pembekuan darah. Pemeriksaan laboratorium yang akan didapatkan pada pasien cedera kepala disertai koagulopati adalah penurunan jumlah trombosit darah tepi, pemanjangan masa plasma protrombin, pemanjangan masa tromboplastin parsial teraktivasi, pemanjangan masa trombin, serta penurunan kadar fibrinogen plasma. Pemanjangan PT, APTT, dan TT merupakan akibat dari faktor jaringan yang keluar dari jaringan otak yang mengalami trauma yang mengaktifkan jalur ekstrinsik dan intrinsik pembekuan darah. Stein menyebutkan bahwa risiko terjadinya cedera sekunder pada trauma kepala meningkat 85% jika tes koagulasi abnormal. Komplikasi ini sangat signifikan korelasinya dengan pemanjangan PT. 2.2 Pencitraan Pada Cedera Kepala Cedera kepala mengacu cedera pada struktur intrakranial berikut trauma fisik pada kepala. Istilah Cedera kepala mengacu pada luka yang mencakup struktur baik intrakranial dan ekstrakranial, termasuk kulit kepala dan tengkorak. Kemajuan teknologi pencitraan medis telah mengakibatkan kemajuan beberapa modalitas pencitraan baru untuk evaluasi cedera kepala. Sementara kemajuan dalam pencitraan medis telah meningkatkan deteksi dini dan informasi prognostik yang berguna. Pemilihan diagnostik yang tepat di antara berbagai teknik pencitraan yang tersedia, diantaranya: 2.2.1. Konvensional radiografi (X-ray) Patah tulang tengkorak, bahkan tanpa gejala klinis, merupakan penanda risiko independent untuk lesi intrakranial (Adams, 2012). Namun, film tengkorak terutama digunakan untuk identifikasi patah tulang tengkorak dan tidak untuk evaluasi dari patologi intrakranial. Bahkan, radiografi konvensional adalah prediktor yang buruk patologi intrakranial dan tidak boleh dilakukan untuk mengevaluasi cedera kepala (Bell, 2011). Pada cedera kepala ringan, x-ray tengkorak jarang menunjukkan temuan yang signifikan,

sedangkan pada cedera kepala berat tidak adanya kelainan pada x-ray tengkorak tidak menyingkirkan cedera intrakranial utama. X-ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada (State of Colorado Department of Labor and Employment, 2006). Indikasi pemeriksaan x-ray pada cedera kepala, diantaranya: 1.

Kehilangan kesadaran, amnesia

2.

Nyeri kepala menetap

3.

Tanda neurologis fokal

4.

Cedera SCALP

5.

Dugaan cedera penetrating

6.

Cairan serebrospinal dari darah ataupun telinga

7.

Deformitas tengkorak tampak atau teraba

8.

Kesulitan penilaian (dalam pengaruh alkohol, obat, epilepsi, atau anakanak)

9.

GCS 12 dengan riwayat trauma multipel yang langsung dan keras.

Foto polos berguna untuk penilaian triase. Fraktur mempengaruhi tindakan: 1.

Karena ada kemungkinan perdarahan, perlu CT.

2.

Fraktur terbuka termasuk basis meninggikan risiko infeksi. Fraktur depres meningkatkan kemungkinan kejang, terutama bila laserasi duramater.

3.

Fraktur menunjukkan sisi operasi pada pasien dengan perburukan cepat karena perdarahan ekstradural.

2.2.2. Computed Tomography Scanner (CT Scan) Penemuan awal CT Scan penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1990 dalam Sastrodiningrat, 2009). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkatan TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2009). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur

area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2009). Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien dengan cedera kepala, dan merupakan modalitas pilihan karena cepat, digunakan secara luas, dan akurat dalam mendeteksi patah tulang tengkorak dan lesi intrakranial. CT scan dapat memberikan gambaran cepat dan akurat lokasi perdarahan, efek penekanan, dan komplikasi yang mengancam serta apabila membutuhkan intervensi pembedahan segera. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala (French, 1992). Jika tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X-0ray foto kepala untuk melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2007). Patah tulang kepala merupakan faktor klinis yang sering dikaitkan dengan terjadinya lesi otak paska terjadinya trauma. Patah tulang menggambarkan besarnya trauma yang terjadi pada kepala (Eisenberg, 1997). Patah tulang kepala adalah faktor resiko yang bermakna terhadap terjadinya abnormalitas CT Scan kepala dengan besar resiko mencapai 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang normal. Sebagian besar peneliti setuju bahwa patah tulang kepala memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kelainan pada CT scan kepala (Ibanez, 2004). Lebih dari 70 % penderita cedera kepala yang mengalami patah tulang kepala terdapat lesi dibawahnya. Hal ini disebabkan karena impact yang besar pada kepala sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya lesi dibawah garis patahan (Willmore, 2007). CT scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360 derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar dan dalam). Foto CT scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari objeknya. Dengan CT scan isi kepala secara anatomi akan tampak dengan jelas. Pada trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2009). Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut: 1.

Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.

2.

Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3.

Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

4.

Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.

5.

Sakit kepala yang hebat.

6.

Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.

7.

Mengeliminasi

kemungkinan

perdarahan

intraserebral.

Perdarahan

subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma.

PRIMARY INJURY Extra axial injury Epidural hematoma Subdural hematoma Subarachnoid hemorrhage Intraventricular hemorrhage Intra axial injury Axonal injury Cortical contusion Intracerebral hematoma Encephalomalacia Vascular Injury Dissection Carotid cavernous fistula Arteriovenous dura fistula Pseudoaneurysm SECONDARY INJURY Acute Diffuse cerebral swelling Brain herniation Infarction Infection Chronic Hydrocephalus Encephalomalacia CSF leak Leptomeningeal cyst Tabel 2.5. Klasifikasi Cedera Kepala berdasarkan Pemeriksaan Radiologis (Winn, 2011) Hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada tabel 2.6. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari gambaran CT scan yang dilakukan, yaitu dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2016; Selladurai dan Reilly, 2007).

Klasifikasi

Kriteria

Diffuse Injury I

Tak ada kelainan pada CT scan

Diffuese Injury II

Cisterna terbuka Midline shift 0-5 mm Tidak ada densitas lesi > 25 cc Dapat termasuk fragmen tulang atau benda asing

Diffuse Injury III

Cisterna terkompresi atau hilang Midline shift 0-5 mm Tidak ada densitas lesi > 25 cc

Diffuse Injury IV

Midline shift > 5 mm Tidak ada densitas lesi > 25 cc

Evacuated Mass Lesion

Adanya lesi yang indikasi untuk Dievakuasi

Non Evacuated Mass Lesion

Lesi > 25 cc tapi tidak indikasi untuk Dievakuasi

Tabel 2.6. Klasifikasi Marshall berdasarkan CT Scan pada Cedera Kepala (Winn, 2011) Gambaran klinis klasik dengan prognosis signifikan pada pasien dengan cedera kepala berat diantaranya usia, nilai Glasgow Coma Scale (GCS), respon pupil, reflek batang otak, dan adanya hipotensi pasca trauma. Kebanyakan pasien saat ini sampai di rumah sakit telah terintubasi, paralisis dan dengan ventilator. Perkiraan akurat terhadap nilai GCS dan perubahannya pada waktu awal setelah cedera kepala sulit untuk dinilai. Pada penelitian pasien cedera kepala berat dan sedang, yang dilakukan oleh perkumpulan European Brain Injury, penggunaan nilai GCS hanya teruji dari 56% pasien yang masuk ke bedah saraf (Murray et al, 2007). Gambaran prognostik berdasarkan pemeriksaan teknis sangatlah dibutuhkan. CT scan secara rutin dikerjakan pada seluruh pasien cedera kepala berat dan memberikan informasi implikasi terapi untuk intervensi operasi atau indikasi untuk pemantauan tekanan intrakranial (TIK), dan memungkinkan memberikan gambaran informasi terkait dengan prognostik pasien. Perdarahan subaraknoid terbukti sebanyak 98% yang mengalami trauma kepala jika dilakukan CT scan dalam waktu 48 jam paska trauma. Berdasarkan hasil CT scan tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan klasifikasi Marshall maupun secara tradisional. Menurut Marshall klasifikasi dari cedera kepala yaitu dibedakan menjadi enam kategori, pembagiannya dapat dilihat pada tabel. Sedangkan secara tradisional dapat dibedakan berdasarkan fokal lesi yang didapatkan dari gambaran CT Scan yang dilakukan, yaitu

dengan dijumpai adanya gambaran EDH, SDH, ICH maupun SAH (Andrews, 2003; Selladurai dan Reilly, 2007). Terdapatnya hematoma intraserebral yang harus dioperasi berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk sama halnya bila sisterna basal tidak tampak atau adanya kompresi terhadap sisterna basal. Lesi massa terutama hematoma subdural dan hematoma intraserebral berhubungan dengan meningkatnya mortalitas dan menurunnya kemungkinan penyembuhan fungsional. Dengan adanya SAH angka mortalitas akan meningkat dua kali lipat. SAH di dalam sisterna basal menyebabkan unfavorable outcome pada 70% dari penderita. SAH adalah faktor independen yang bermakna didalam menentukan prognosis (Sastrodiningrat, 2009). 2.2.3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 2003 dalam Sastrodiningrat, 2009). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2009). 2.3. Penilaian Derajat Berat Trauma Penilaian derajat keparahan cedera sangat penting dalam penanganan trauma. Penilaian ini sudah dimulai sejak 50 tahun yang lalu. Penilaian derajat keparahan didasarkan pada parameter-parameter anatomis ataupun fisiologis yang dituangkan dalam bentuk skor atau skala. Skor pada trauma mengkonversi derajat keparahan cedera menjadi hitungan angka sehingga membantu tenaga medis untuk bertukar informasi secara universal (Chawda dkk, 2004). Skor juga digunakan untuk meramalkan prognosis. Beberapa sistem skor trauma dikembangkan dan digunakan di banyak negara untuk memperkirakan beratnya trauma dan kerusakan jaringan. Sistem skor pada trauma harus

memiliki akurasi, reabilitas dan spesifisits yang baik. Sistem skor ini memberikan keuntungan berupa: 1.

Penilaian objektif untuk mendeteksi level trauma sehingga dapat memperkirakan rencana perawatan yang dibutuhkan

2.

Memberikan data fisiologi yang berhubungan dengan mortalitas pada fase awal.

3.

Menentukan transportasi pasien menuju rumah sakit yang tepat.

4.

Pasien yang memiliki keuntungan yang besar terhadap terapi dapat dideteksi lebih awal.

5.

Menentukan sarana kesehatan yang dibutuhkan pada daerah tersebut.

6.

Memberikan data-data epidemiologi trauma.

7.

Menilai efektivitas penanganan trauma pada pusat kesehatan (Chawda dkk, 2004; Orhon dkk, 2014)

Sistem skor pada trauma dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan anatomi, fisiologi dan kombinasi anatomi dan fisiologi. Sedangkan berdasarkan tujuannya, sistem skor trauma yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel dibawah (Chawda dkk, 2004).

Tipe skor sistem

Nama skor

Fisiologis

Prognostic index Acute Trauma Index Triage Index Trauma Score (TS) APACHE I APACHE II Revised Trauma Score (RTS) APACHE III

Anatomi

Abbreviated Injury Scale (AIS) Injury Severity Score (ISS) Anatomical Index Anatomical Profile New ISS (NISS)

Kombinasi anatomi dan fisiologis

Trauma Index Polytrauma-Schussel Trauma and Injury Severity Score (TRISS) A Severity Characterisation of Trauma (ASCOT)

International Classification of Diseasebased ISS (ICISS) Harborview Assesment of Risk of Mortality (HARM)

Tabel 2.7. Macam-macam Sistem Skor Trauma (Chawda dkk, 2004). Skor yang biasa digunakan

Skor

Injury description (whole body)

AIS Anatomical Index Anatomical Profile ISS

Injury description (body region)

Organ injury scaling I-IV and revision (abdominal and pelvic organ) Penetrating Abdominal Trauma Index (PATI) Wagner (lung contusion, CT based)

Clinical course assesment

APACHE I (historical) APACHE II (most popular) APACHE III (computational complexities)

On scene and triage

Triage Index AIS ISS Prehospital Index (PHI) Revised Trauma Score-uncoded (RTS)

In Hospital

Revised Trauma Score-coded (RTSc) Acute Trauma Index

Outcome (prediction mortality)

ISS Polytrauma-Schussel (PTS) Trauma ISS (TRISS) A Severity Characterisation of Trauma (ASCOT)

International

Classification of Disease-

based ISS (ICISS) New ISS (NISS) Harborview

Assesment of

of

Risk

Mortality (HARM) Tabel 2.8. Sistem Skor Trauma Berdasarkan Penggunaannya (Chawda dkk, 2004)

2.3.1. Revised Trauma Score (RTS) Revised Trauma Score (RTS) pertama kali dipublikasikan oleh Champion pada tahun 1983. Skor ini adalah salah satu skor fisiologis yang lebih umum dan sering digunakan, menggunakan 3 parameter fisiologi sebagai berikut: (1) Glasgow Coma Scale (GCS), (2) Sistolic Blood Pressure (SBP) dan (3) Respiration Rate (RR). Skor bernilai dari 0-4. Penggunaan RTS ada 2 macam, yaitu penggunaan di triase dengan menambahkan masing-masing nilai kode bersama-sama. Dengan demikian, nilai RTS berkisar dari 0 hingga 12. Nilai ini menentukan prioritas penanganan pasien cedera kepala. Salah satu interpretasi nilai RTS yang kurang dari 11 menunjukkan perlunya penanganan di fasilitas trauma.

Systolic Blood Glasgow Coma

Pressure

Respiratory Rate

Coded

Scale (GCS)

(mmHg)

(x/minute)

Value

13-15

>89

10-29

4

9-12

76-89

>29

3

6-8

50-75

6-9

2

4-5

1-49

1-5

1

3

0

0

0

Tabel 2.9. Revised Trauma Score (Chawda dkk, 2004) Penggunaan lain dari RTS adalah untuk memprediksi kemungkinan survival pada cedera kepala. Kode RTS dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: RTSc = 0.9368 GCSc + 0.7326 SBPc + 0.2908 RRc SBPc, RRc, dan GCSc mewakili nilai-nilai kode setiap variabel.

Gambar 2.5. Korelasi RTS dengan tingkat survival (Chawda, 2004) Keuntungan utama dari RTS sangat spesifik untuk pasien yang mengalami cedera kepala. RTS memiliki beberapa keterbatasan yang mempengaruhi manfaatnya, dan sebagian besar dari keterbatasan ini berkaitan dengan GCS. Awalnya, GCS dimaksudkan untuk mengukur status fungsional sistem saraf pusat. Karena pentingnya cedera kepala dalam menentukan hasil trauma, GCS juga digunakan oleh banyak orang sebagai komponen untuk menentukan tingkat keparahan trauma. Permasalahan pada GCS dan RTS tidak secara akurat menentukan skor pada pasien yang terintubasi dan yang mendapat ventilasi mekanik yang seringkali dapat terjadi sebelum membuat keputusan di triase (Chawda dkk, 2004). Selain itu juga dijumpai kesulitan menentukan skor pada pasien lumpuh atau yang berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dilakukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penilaian motorik bisa menilai dan memprediksi GCS. Bahkan baru-baru ini para peneliti telah mendapatkan bahwa respon terbaik motorik dapat memprediksi kematian dan lebih baik untuk menentukan derajat keparahan lainnya. 2.3.2. Abbreviated Injury Scale (AIS) Pada tahun 1969, para peneliti mengembangkan Abbreviated Injury Scale (AIS) untuk mengelompokkan cedera. Semenjak skala tersebut diperkenalkan oleh AAAM, dan IISC, organisasi induk AIS memodifikasi AIS, terutama pada tahun 2005. AIS menjadi dasar penilaian keparahan cedera. Dalam usaha menyimpulkan keparahan suatu cedera yang dialami oleh pasien dengan trauma multiple, sangatlah sulit. Sistem alternatif untuk trauma multipel telah dibuat, akan tetapi masih ada beberapa masalah dan keterbatasan. Pada tahun 1971 AIS pertama kali dipublikasikan sebagai metode numerik sederhana untuk menentukan derajat dan membandingkan cedera dengan tingkat

keparahannya. Meskipun awalnya ditujukan untuk digunakan pada cedera karena cedera kendaraan bermotor, ruang lingkup semakin diperluas untuk mencakup cedera lainnya. AIS memberikan deskripsi trauma organ berdasarkaan beratnya trauma pada organ tersebut dan tidak memprediksi atau outcome. AIS merupakan dasar dari ISS, berasal dari konsensus yang menentukan sistem anatomis berdasarkan tingkat keparahan cedera pada skala ordinal mulai dari 1 (cedera kecil) sampai 6 (cedera mematikan).

Deskripsi

Skor

Tidak ada cedera

0

Cedera minor

1

Cedera sedang

2

Cedera serius, tidak mengancam nyawa

3

Cedera berat, survival expected

4

Cedera kritis, survival doubtful

5

Cedera fatal

6

Tabel 2.10. Sistem Penilaian Trauma AIS (Chawda, 2004) Skala untuk semua area anatomi dan organ dapat ditemukan di American Association for the Surgery of Trauma website. AIS manual dan CD (2005) yang tersedia dari daftar AAAM. Regio

Cedera

AIS

AIS2

Kepala/leher

Memar otak tunggal

3

9

Muka

Tanpa cedera

0

Dada

Flail chest

4

16

Abdoment

1.Laserasi Hepar

4

25

2. limpa yang hancur

5

Ekstremitas

Fraktur femur

3

Tubuh luar

Tanpa cedera

0

Skor keparahan cedera (ISS)

50

Tabel 2.11. Kalkulasi ISS (Chawda, 2004) Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa dapat dianggap serius oleh pemeriksa lain (Ozoilo KN, 2012). Turunan AIS, ISS diperkenalkan oleh Susan Baker, dkk pada tahun 1984. ISS merangkum tingkat keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera tubuh yang dibagi menjadi enam area; kepala, leher, thoraks, abdomen termasuk organ pelvis, alat gerak termasuk tulang pelvis, dan permukaan tubuh. AIS setiap cedera di catat, dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap area diutamakan. ISS memiliki beberapa keterbatasan, yaitu pengumpulan nilai terbatas serta mengambil cedera paling serius di setiap bagian tubuh (Champion, 2002). Keterbatasan yang paling jelas adalah ketidakmampuan untuk menjelaskan beberapa luka pada daerah tubuh yang sama dan membatasi jumlah cedera hanya tiga. Perhitungan skor berdasarkan 3 bagian tubuh yang mengalami trauma terberat. Hal ini dapat menimbulkan underscoring jika pada satu bagian tubuh terdapat lebih dari satu organ yang mengalami trauma. (Balogh dkk, 2000; Chawda dkk, 2004) Perkiraan ISS yang akurat membutuhkan pengumpulan informasi cedera yang detail, sedangkan beberapa informasi ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan alat penunjang seperti MRI atau angiografi, yang mungkin tidak tersedia atau tidak tepat pada keadaan akut. Meskipun penggunaan ISS adalah untuk memprediksi kematian pada trauma, ISS juga telah digunakan untuk menilai prognosis kegagalan organ post trauma. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan keparahan trauma adalah : cedera pada jaringan, respon seluler, besarnya respon inflamasi terhadap trauma, dan faktor host (misalnya usia, jenis kelamin, komorbiditas). Perkembangan lainnya ISS adalah New Injury Severity Score (NISS) diperkenalkan oleh Osler dkk pada tahun 1974 untuk mengatasi kelemahan ISS, terutama kegagalan menilai cedera multiple di suatu regio. Penilaian NISS berdasarkan 3 luka terparah terlepas dari region tubuh yang terkena. Modifikasi ini sederhana tapi lebih signifikan dibandingkan ISS yang memiliki banyak keterbatasan. Studi awal menunjukkan NISS adalah predictor yang lebih akurat untuk menilai kemungkinan fatal (kematian) daripada ISS, khususnya pada trauma tembus. Penelitian lain menunjukkan bahwa NISS lebih unggul dari ISS untuk menilai luasnya cedera jaringan pasca trauma. Osler dkk merekomendasikan NISS dapat menggantikan ISS sebagai standar untuk menilai keparahan cedera.

2.3.3. Skor Kombinasi Sistem penilaian kombinasi digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem anatomis dan fisiologis. Nilai trauma dan nilai keparahan cedera digabung dalam metodologi TRISS (Trauma Score-Injury Severity Score) yang dikembangkan pada tahun 1987 oleh Champion, dkk. Kemampuan prediksi dari semua model biasanya meningkat dengan memasukkan informasi tambahan yang relevan. Percobaan ini menggabungkan pengukuran anatomis dan fisiologis dari keparahan luka (ISS dan RTS) dan juga usia pasien dalam rangka untuk memperkirakan keselamatan dari suatu trauma. Dengan mengenali perbedaan antara luka tumpul dan luka tajam, para peneliti mengembangkan cara yang berbeda untuk setiap mekanisme. TRISS memiliki sensitivitas 95%, spesifisitas 96%, dan akurasi 95%. Okasha yang membandingkan sistem penilaian RTS, ISS dan TRISS menunjukkan bahwa TRISS memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi paling tinggi yaitu masing-masing 95%, 96%, 95%, sementara ISS paling rendah yaitu masing-masing 68%, 70%, 68% dan RTS mempunyai spesifisitas 94% dan akurasi 92% (Okasha dkk, 2011) TRISS dengan cepat menjadi metodologi standar untuk menilai outcome. TRISS dapat digunakan untuk pasien dewasa dan anak-anak. Namun TRISS pun mendapatkan kritik karena (1) TRISS hanya memprediksi keselamatan dengan akurasi sedang; (2) terdapatnya masalah yang ditemukan pada ISS (seperti inhomogenitas, ketidakmampuan dalam menilai luka multipel pada regio tubuh yang sama); (3) tidak adanya informasi yang berhubungan dengan kondisi yang sudah ada sebelumnya (seperti penyakit jantung, PPOK, sirosis); (4) mirip dengan RTS, TRISS tidak dapat menilai pasien yang terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik karena laju nafas dan respon verbal tidak bisa didapatkan; dan (5) metode ini tidak memasukkan penilaian untuk pasien trauma multiple sehingga membandingkan antara tiap trauma senter menjadi cukup sulit. 2.4 Penilaian Outcome Pada Cedera Kepala Glasgow outcome scale (GOS) merupakan skala paling umum digunakan untuk menilai hasil akhir pada cedera kepala. GOS dikelompokkan dalam lima kategori, yaitu: mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat, ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat diperoleh pada 3, 6, dan 12 bulan setelah cedera kepala (Sorbo, 2009). Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond pada tahun 1975. Prognosis pasca cedera kepala yang didasarkan kapabilitas sosial pasien pasca cedera kepala dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga mampu menilai

prognosis pasca koma traumatik ataupun non-traumatik (Bullock, 2011; Narayan et al, 2007; Jennet, 2014). Pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera kepala di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf, diputuskan bahwa penilaian ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan pasca trauma (Jennet, 2014). Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori: (Jennet, 2014) 1.

Pemulihan baik (good recovery=GR) diberi nilai 5. Pasien dapat berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa. Pemeriksaan ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji kognitif atau perubahan personal.

2.

Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but disabled) diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti biasa. Pasien defisit memori, perubahan personal, hemiparesis, disfasia, ataksia, epilepsi pasca traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi, mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

3.

Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent) diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai baju, makan, dan lain-lain), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental yang mutlak memerlukan supervisi perawat ataupun keluarga. Persistent Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang, menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali berbicara.

4.

Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS, Death) dan penilaian ekstensi (GOS Extended). GOS-E adalah suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang dipakai untuk menyatakan

prognosis, dinilai 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah cedera kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998). 1)

Death: meninggal.

2)

Persistent vegatative state: tidak ada respon terhadap rangsangan eksternal, tidak bisa berkata-kata atau tidak mengikuti perintah, perilaku emosional, spontan yang tidak berkaitan dengan peristiwa tertentu.

3)

Lower severe disability: memerlukan pertolongan dari orang lain hampir tiap saat sepanjang hari.

4)

Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi berbelanja tanpa ditemani orang lain.

5)

Lower moderate disability: tidak mampu untuk bekerja.

6)

Upper moderate disability: penurunan kapasitas bekerja.

7)

Lower good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal, tetapi memiliki masalah kecil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

8)

Upper good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada masalah yang berhubungan dengan cedera kepala yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Related Documents

Tinjauan
November 2019 43
Ii. Tinjauan
May 2020 20
Tinjauan Aksiologi.docx
October 2019 26
Tinjauan Pustaka.docx
April 2020 18
Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 23
Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 27

More Documents from "mimit intan"