Tinjauan Pustaka.docx

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tinjauan Pustaka.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,137
  • Pages: 15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Pengertian a. Kegawatdaruratan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadaan sukar (sulit) yang tidak tersangka-sangka (dalam bahaya, kelaparan, dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera). 1 b. Pasien Gawat Darurat Pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanan 2 c. Kode Etik Kedokteran Seperangkat

(tertulis)

tentang

peraturan-peraturan

etika

yang

memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya. 2 3.2 Wewenang Pelayanan Gawat Darurat Pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat dan tepat untuk itu perlu adanya standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah membagi wewenang pelayanan sebagai berikut3 :

1. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A. 2. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level III sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas B. 3. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level II sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas C. 4. Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Level I sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D.

Tabel Jenis Pelayanan Penanganan Kegawatdaruratan3

3.3 Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter – pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat tidak didasari atas azas voluntarisme. Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/ menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).5 3.4 Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah : 1. Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat Inap, Rawat Jalan dan Rawat Darurat. Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien atau penderita dengan arti kata setiap rumah sakit wajib memiliki sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini membuktikan adanya kepastian hukum dalam pelayanan gawat darurat di rumah sakit.6

2. Undang undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 Pasal 32 Ayat (1) Dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Ayat (2) Dalam keadaan darurat Fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah dan swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.7 3. Pasal 13 Kode Etik Kedokteran tentang Pertolongan Darurat. Diamana dalam pasal tersebut disebutkan “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikannya.8,9 4. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit. Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.10 5. UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.11 Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di

Indonesia memiliki kewajiban untuk

menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.12

6. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari. 13 3.5 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat Di Amerika Serikat dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: 3,5 1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. 2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapatkekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.11,13 Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). 3.6 Alur pelayanan Gawat Darurat Dalam kondisi gawat darurat, diperlukan sebuah sistem informasi yang terpadu dan handal untuk bisa digunakan sebagai rujukan bagi penanganan gawat darurat, maka dikembangkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). SPGDT adalah sebuah sistem penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur, pelayanan pra Rumah Sakit, pelayanan di Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit. Pelayanan berpedoman pada respon cepat yang menekankan time saving is life and limb saving, yang melibatkan pelayanan oleh masyarakat awam umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi. Dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), masyarakat dapat menelpon call center 119 untuk mendapatkan layanan informasi mengenai rumah sakit mana yang paling siap dalam memberikan layanan kedaruratan, advis untuk pertolongan pertama dan menggerakan angkutan gawat darurat ambulan rumah sakit untuk penjempu tan pasien. Petugas call centre adalah dokter dan perawat yang mempunyai kompetensi gawat darurat. SPGDT 119 bertujuan memberikan pertolongan pertama kasus kegawatdaruratan medis, memberikan bantuan rujukan ke Rumah Sakit yang tersedia, mengkoordinasikan pelayanan informasi penanganan medis yang terjadi pada pasien sebelum mendapatkan pelayanan medis di Rumah Sakit. Berikut adalah bagan saat pasien tiba di rumah sakit.

3.7 Tim Reaksi Cepat dan Code Blue Code Blue adalah Suatu kode / isyarat terjadinya kegawatdaruratan pernapasan dan jantung yang harus segera direspon oleh Tim Medis Reaksi Cepat Code blue. Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue adalah tim yang memiliki kewenangan dan tugas memberikan pertolongan segera pada pasien, staf dan semua orang yang berada di lingkungan rumah sakit yang dicurigai mengalami kegawatdaruratan sebelum dan saat henti napas dan atau henti jantung ( pre arrest dan arrest ). Tim Medis Reaksi Cepat Code blue terdiri dari a. Dokter ruangan sebagai koordinator Tim b. Perawat 1 yaitu Katim UGD sebagai anggota c. Perawat 2 yaitu Katim ICU sebagai anggota d. Perawat 3 yaitu perawat anestesi di ruang OK sebagai anggota e. bila Katim di unit tersebut sedang melakukan tindakan emergenci di unitnya, maka katim dapat menunjuk anggota sebagai penggantinya. Prosedurnya sebagai berikut 1. Orang pertama yang menemukan adanya orang dengan kecurigaan ancaman gangguan napas dan sirkulasi segera melakukan tindakan sebagai berikut : a. Memastikan diri, lingkungan dan korban aman b. Cek respon korban, dengan cara memanggil, menepuk atau memberi respon nyeri (dengan menekan kuku jari, mencubit daerah tengah dada) c. Bila tidak ada respon atau respon tidak baik aktifkan code blue dengan meneriakan kata ”code blue di area....(sebutkan tempat kejadian) atau menghubungi nomer extensi 0 (operator)

d. Selanjutnya lakukan Bantuan Hidup Dasar sesuai protap resusitasi jantung paru sampai bantuan Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue tiba 2. Petugas lain yang mendengar atau menerima permintaan mengaktifkan code blue dengan menghubungi nomer extensi 0 (operator) dan menyampaikan lokasi kejadian. 3. Operator memanggil Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue melalui pengeras suara dan alat komunikasi lainnya ke seluruh ruangan, ”mohon perhatian seluruh Tim, ada code blue di ....... (sebutkan area kejadian)” diulang 3 kali. 4. Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue datang ke lokasi kejadian dengan membawa defibrilator dan Kit emergency oleh Katim UGD ( kecuali kejadian di ruang ICU dan kamar operasi). 5. Penanganan dan tanggung jawab pasien diambil alih oleh Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue. 6. Setelah melakukan penanganan diputuskan untuk penanganan selanjutnya di UGD/ICCU/ICU/ruang operasi/rumah sakit lain atau pasien dinyatakan meninggal.

Gambar Alur Code Blue di Rumah Sakit

3.8 Kematian pada Instalasi Gawat Darurat Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner.3 Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner.3 Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan bendabenda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut. 14 Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada POLRI.14 Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB diwilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et repertum. Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah: - meninggal pada saat dibawa ke IGD - meninggal akibat berbagai kekerasan

- meninggal akibat keracunan - meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.14 3.9 Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat era BPJS Peserta BPJS dapat dilayani di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerjasama maupun yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Pelayanan harus segera diberikan tanpa diperlukan surat rujukan. Peserta yang mendapat pelayanan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan gawat daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan. Pengecekan validitas peserta maupun diagnosa penyakit yang termasuk dalam kriteria gawat darurat menjadi tanggung jawab fasilitas kesehatan. Fasilitas kesehatan tidak diperkenankan menarik biaya pelayanan kesehatan kepada peserta.15

Gambar Alur Pelayanan Gawat Darurat Menggunakan BPJS.15

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunggu, A.C.O (2016). Perlindungan Hukum Bagi Dokter Pada Pelayanan Kegawatdaruratan Di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Idea Hukum, 2(1). 2. Suryadi, Taufik.2009.Prinsip-Prinsip Etika Dan Hukum Dalam Profesi Kedokteran. Pertemuan Nasional V JBHKI Dan Workshop III Pendidikan Bioetika Dan Medikolegal. Medan : Fk Unsyiah 3. Mancini Mr, Gale At. Emergency Care And The Law. Maryland: Aspen Publication; 1991. 4. Pusponegoro Ad. Perbedaan Pengelolaan Kasus Gawat Darurat Prarumah Sakit Dan Di Rumah Sakit. Bandung: Pkgdi; 1992. 5. Holder Ar. Emergency Room Liability. Jama 1972;220:5. 6. Departemen Kesehatan, R. I. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes Ri. 7. Departemen Kesehatan Ri (2009).Undang Undang. Republik Indonesi Nomor 36. Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor, 144. 8. Kedokteran, M. K. E. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia Dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: IDI, 45. 9. Indonesia, I. D. (2012). Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 10. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 Tentang Rumah Sakit 11. Undang-Undang No 23/1992 Tentang Kesehatan 12. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis 13. Undang-Undang No. 29/ Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

14. Herkuanto. Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Majalah Kedokteran Indonesia. 2007;40. 9. 15. Yustisia, T. P. (2014). Panduan Resmi Memperoleh Jaminan Kesehatan Dari Bpjs. Visimedia.

Related Documents

Tinjauan
November 2019 43
Ii. Tinjauan
May 2020 20
Tinjauan Aksiologi.docx
October 2019 26
Tinjauan Pustaka.docx
April 2020 18
Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 23
Tinjauan Pustaka.docx
November 2019 27