Tatkala Pendidikan Terlalu Diformalkan

  • Uploaded by: Prof. DR. H. Imam Suprayogo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tatkala Pendidikan Terlalu Diformalkan as PDF for free.

More details

  • Words: 1,273
  • Pages: 4
Tatkala Pendidikan Terlalu Diformalkan Bagikan 09 April 2009 jam 23:39 Semula pendidikan hanya berlangsung sederhana, yakni dilakukan oleh orang tua masing-masing di dalam kehidupan keluarga. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat semakin maju seperti sekarang ini, pendidikan diurus oleh lembaga dan bahkan juga pemerintah. Pendidikan kemudian ada yang bersifat formal, selain yang masih bersifat informal dan non formal. Pendidikan yang diurus oleh pemerintah dengan berbagai aturannya itu, maka diperuntukkan bagi seluruh warga Negara, yang kemudian disebut pendidikan formal itu. Jika pendidikan semula hanya merupakan kepentingan keluarga, yakni orang tua, agar para anak-anaknya bisa menyesuaikan dengan lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun masyarakat, maka orang tua saja yang menjalankan pendidikan itu. Akan tetapi setelah pendidikan ditangani oleh pemerintah dan menjadi formal, maka pendidikan memiliki fungsi lebih luas, selain untuk memenuhi kebutuhan anak yang bersangkutan, keluarga, tetapi juga untuk kepentingan Negara. Pendidikan dilaksanakan oleh negara, sebagai tanggung-jawabnya mensejahterakan warganya. Selain itu juga agar para peserta didik menjadi warga Negara yang baik. Setelah pendidikan diformalkan tidak berarti pendidikan lainnya, yaitu pendidikan keluarga dan juga pendidikan masyarakat, dihilangkan. Tidak. Pendidikan keluarga dan masyarakat masih tetap berjalan sebagaimana lazimnya. Hanya saja, mungkin bisa jadi keluarga dan masyarakat memahami bahwa peran-perannya sudah diambil alih oleh lembaga pendidikan formal. Anggapan itu sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Pendidikan formal hanya berlangsung sebentar, sekitar antara 6 sampai 7 jam sehari. Selain itu, anak-anak masih sebagaimana biasa, hidup bersama keluarga. Jika ada pengecualian itu adalah pendidikan pesantren dan boarding school atau pendidikan berasrama. Lembaga pendidikan yang disebutkan terakhir ini, para siswa bertempat tinggal bersama kyai atau pengurus lembaga pendidikan secara bersama-sama. Setelah pendidikan menjadi formal maka yang terjadi adalah juga serba formal, pendidikan diatur sedemikian rupa. Semua yang terkait dengan pendidikan distandarkan. Visi dan misinya harus jelas rumusannnya. Demikian pula yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan, semua distandarkan. Ada standard isi, standart kurikulum, standar sarana dan prasarana, standar tenaga pengajar, standart biaya, standar lingkungan, ruang kelas dan semua apa saja distandar. Bahkan juga jam belajar, cara penilaian, baju seragam, sepatu.

Pokoknya semua thethek bengek menyangkut pendidikan harus mengikuti standar. Orientasi pendidikan yang distandarkan itu, maka kemudian juga mempengaruhi cara berpikir bagi siapa saja yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan itu. Orang dan lebih-lebih para pejabatnya menjadi sibuk menyusun dan merumuskan standar pendidikan. Demikian pula para pelaku pendidikan, seperti kepala sekolah, guru, murid-murid semua dituntut menyesuaikan dengan standar itu. Semakin berhasil mendekati standar, maka dianggap usahanya berhasil. Oleh sebab itu kemudian muncul istilah standar minimal, sesuai dengan standar, melebihi standar yang ditetapkan, dan seterusnya. Akibatnya, pendidikan seolah-olah menjadi mesin. Di sana ada input, transformasi dan out put. Input pendidikan harus terstandar. Kapan seseorang boleh memulai mengikuti pendidikan, waktu mengikuti pendidikan pada setiap jenjang, syarat-syarat yang harus dipenuhi dan seterusnya. Demikian pula terkait dengan transpormasi, akan dilihat persyaratan guru, waktu yang digunakan untuk keberlangsungan pendidikan atau proses belajar mengajar, target-target kurikulum yang telah dijalankan, buku pegangan yang telah dibaca, ujian dan seterusnya. Semua syarat formal harus dipenuhi, karena pendidikan menjadi formal. Demikian pula output pendidikan, harus memenuhi standart. Ukuran-ukuran keberhasilan pendidikan ditetapkan. Bahkan standar itu, karena pendidikan formal adalah otoritas pemerintah, maka pemerintah pun kemudian juga menyelenggarakan ujian, sehingga muncul istilah ujian nasional. Siapapun harus mengikuti ujian ini, karena memang pendidikan harus dijalankan seperti itu. Untuk menjalankan pendidikan formal ternyata tidak mudah. Ambil saja misalnya terkait dengan guru. Guru harus memenuhi syarat lulus S1 dan bersertifikat sebagai pendidik. Padahal yang terjadi di lapangan, belum semua guru yang selama ini mengajar telah memiliki sertifikat. Bahkan juga ternyata belum semua guru telah memiliki ijazah S1. Sebagai lembaga pendidikan formal, maka aturannya, semua persyaratan harus dipenuhi. Maka akhir-akhir ini perlu diselenggarakan serifikasi guru. Agar secara formal memenuhi syarat, guru harus disertifikasi. Maka, dibentuklah lembaga sertifikasi guru. Perguruan tinggi yang mengembangkan bidang studi kependidikan ditugasi memberi sertifikat sebagai pendidik kepada guru yang telah memenuhi syarat. Kemudian, para guru untuk mendapatkan sertifikat harus menyusun porthofolio dengan melampirkan berbagai kelengkapannya. Atas dasar porthofolio ditetapkan seorang guru lulus

dan berhak mendapatkan sertifikat atau masih harus mengikuti persyaratan lainnya. Mereka yang dinyatakan lulus porthofolio diberikan sertifikat dan kemudian diberikan tunjangan profesi sebesar gaji pokok pada setiap bulannya. Bagi mereka yang belum lulus mereka diberi pelatihan beberapa hari oleh perguruan tinggi yang ditunjuk. Setelah mengikuti latihan, tentu dinyatakan lulus dan kemudian secara formal pula akan mendapatkan tunjangan sebagaimana guru-guru lainnya yang telah dinyatakan lulus melalui porthofolio. Guru setelah melewati proses seperti ini, sebagai syarat menjadi guru professional maka kesejahteraannya pun meningkat. Mungkin ada orang usil lalu bertanya, mengapa sebatas mensejahterakan guru yang sudah sekian lama bergaji rendah itu harus melewati proses panjang dengan biaya dan energi yang tidak sedikit. Maka jawaban standarnya adalah, bahwa lembaga pendidikan formal harus mengikuti ketentuan formal. Inilah pendidikan formal, yang sekalipun berliku-liku dan lewat proses panjang dan biaya mahal, maka harus ditempuh agar keformalan menjadi syah. Proses sertifikasi itu ternyata masih harus berhadapan dengan kenyataan, bahwa tidak semua guru telah memiliki ijazah S1. Padahal yang bersangkutan telah bertaun-tahun menjadi guru. Mereka itu jika ditinggalkan kasihan, sehingga agar mereka bisa ikut disertifikasi harus dicarikan jalan keluarnya. Maka diputuskan bahwa guru-guru yang belum berpendidikan S1, sedang umurnya masih di bawah 50 tahun, diberi peluang sekolah lagi. Persoalannya kemudian muncul, ialah jika mereka harus belajar lagi sedangkan jumlah mereka banyak, siapa yang mengajar tatkala mereka menempuh program S1. Munculnya persoalan baru ini, tidak saja membuat para pejabat posing, harus mencari jalan keluar di mana para guru harus kuliah lagi, tetapi juga harus menyediakan biaya kuliah yang tidak sedikit jumlahnya. Sekali lagi karena ini lembaga pendidikan formal, sekalipun hanya bersifat formalitas, maka bagaimanapun dan dengan cara apapun persyaratan itu harus dipenuhi. Akhir-akhir ini kabarnya sudah ada perguruan tinggi yang kreatif, mendapatkan strategi untuk mensarjanakan (S1) para guru yang belum memenuhi syarat itu. Strategi itu disebut dengan istilah dual mode. Pelaksanaan pendidikan S1 bagi para guru tersebut masih dipercayakan pada perguruan tinggi yang memiliki program studi pendidikan. Strateginya, para guru masih diwajibkan sebagaimana biasa, menunaikan tugas mengajar setiap hari, tapi harus mengikuti program pendidikan S1 jarak jauh itu. Program dual mode, dirancang sebagaimana apa yang telah dilakukan oleh Universitas Terbuka. Para peserta kuliah yang terdiri atas para guru yang belum memenuhi persyaratan sertifikasi ini diberi materi kuliah melalui modul-modul,

agar dipelajari sendiri di kampung halamannya bersama para guru peserta program yang sama. Sebagai bagian dari proses perkuliahan para guru peserta program ini diberi kesempatan beberapa kali saja pada setiap semester bersilaturrahmi ke kampus penyelenggara dual mode. Demikian juga mereka diberikan tutor yang terdiri atas para dosen perguruan tinggi yang bersangkutan, termasuk bimbingan penulisan makalah atau skripsi, jika dipersyaratkan harus menulis skripsi. Jika para guru telah mengikuti proses sebagaimana diprogramkan oleh perguruan tinggi penyelenggara, maka mereka dinyatakan lulus sarjana S1 dan kemudian bisa disertifikasi. Program yang tidak sebagaimana standar selayaknya untuk mendapatkan ijazah sarjana S1, banyak orang mempertanyakan. Misalnya, bagaimana kualitas hasil program ini. Tentu jawabnya mudah, bahwa program ini adalah telah memenuhi standar resmi yang direstui oleh pejabat resmi. Sehingga, menurut ukuran resmi yang serba formal itu, apa yang dijalankan ini sudah berkualitas. Tokh, kualitas yang dimaksudkan adalah yang memenuhi standar atau peraturan yang telah dibuat. Kualitas itu bukan sebagaimana yang dimaksudkan oleh ukuran-ukuran para ahli yang obyektif dan rasional. Ukuran itu adalah terpenuhinya kebutuhan formal. Jika di sana sini ada sementara orang yang tidak puas, maka semestinya mereka sadar, bahwa inilah resiko pendidikan yang berorientasi pada ukuran-ukuran formal. Memang bagi siapapun yang bertanggung jawab terhadap kualitas kehidupan bangsa ke depan, tidak semestinya hanya mengejar terpenuhinya syarat-syarat formalitas seperti ini. Kita memang menjadi prihatin dengan pendidikan kita. Mudah-mudahan Allah menurunkan hidayah, sehingga ke depan langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pihak-pihak yang berwenang, tidak terlalu sembrono sehingga menyesakkan dada, agar bangsa ini tetap selamat dan bermartabat. Memang ini semua adalah sebagai resiko dari pendidikan yang terlalu diformalkan itu.Allahu a’lam.

Related Documents


More Documents from "Febriyani Laurus"