MAKALAH TAFSIR RIBA DALAM AL-QUR’AN Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas tafsir ( Dosen Ahmad Ridwan M.Sy )
Di susun oleh : ADE PUTRI RAHMADINA AIDA PUTRI ANNISA AYU NURUL RIZQI SEMESTER 3A FAKULTAS TARBIYAH STAI AL-HAMIDIYAH
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan limpahan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Tafsir yang berjudul “Riba dalam Al-Quran”. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga nya, sahabat dan pengikut nya hingga akhir zaman Makalah ini di
susun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir di STAI
ALHAMIDIYAH JAKARTA Kami menyadari bahwa makalah yang berjudul “Riba dalam Al-Quran” ini masih jauh dari tingkat kesempurnaan, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang dapat memperbaiki penyusunan makalah selanjutnya.. Sehingga dalam kesempatan ini perkenanakan penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Dosen mata kuliah Tafsir 2. Kedua orang tua yang senantiasa memberikan dukungan serta doanya dan terselesaikannya makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas amal yang telah diberikan kepada saya dan semoga makalah ini bermanfaat bagi saya khususnya dan teman-teman pada umumnya. Amiin
Depok, 26 November 2018 Penyusun
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riba telah berkembang sejak zaman jahiliyah hingga sekarang ini. Sejak itu banyaknya masalah-masalah ekonomi yang terjadi di masyarakat dan telah menjadi tradisi bangsa arab terhadap jual beli maupun pinjam-meminjam barang dan jasa. Sehingga sudah mendarah daging, bangsa arab memberikan pinjaman kepada seseorang dan memungut biaya jauh di atas dari pinjaman awal yang di berikan kepada peminjam akibatnya banyaknya orang lupa akan larangan riba. Sejak datangnya Islam di masa Rasullullah saw. Islam telah melarang adanya riba. Allah SWT melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa Pengertian Riba? 2.Bagaimana Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah 275-281? 3. Bagaimana Tafsir dari Q.S Al-Baqarah 275-281? 4. Apa macam-macam Riba? 5. Apa hikmah pengharaman Riba? B. TUJUAN MASALAH 1. Untuk mengetahui Pengertian Riba 2.Untuk mengetahui Asbabun Nuzul Q.S Al-Baqarah 275-281 3. Untuk mengetahui Tafsir dari Q.S Al-Baqarah 275-281 4. Untuk mengetahui macam-macam Riba 5. Untuk mengetahui hikmah pengharaman Riba
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Riba Asal makna riba menurut bahasa arab ialah (bertambah). Adapun yang dimkasud disini menurut istilan syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ 1 Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Syaikh Muhammad Abduh berpendapat, bahwanyang dimaksud riba adalah penambahan penambahan yang di isyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan. 2 Riba dalam sejarah Muamalah Ribawiyah sesungguhnya telah dikenal dikalangan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Mesir kuno, bangsa Yunani, bangsa Romawi, dan bangsa Yahudi. Di kalangan bangsa Mesir kuno, terdapat dalam Undang-Undang Raja Bukhares, keluarga ke-24 dari raja-raja zaman Fir’aun, yang menentukan bahwa besarnya riba tidak boleh melebihi besarnya pokok harta yang dipinjamkan, bagaimanapun panjangnya jangka waktu pinjaman. Dikalangan bangsa-bangsa Yunani dan Romawi, riba merupakan kebiasaan yang merata, dan besarnya tidak terbatas, tergantung kepada keinginan orang yang meminjamkan uang. Bahkan, dikalangan bangsa Romawi, orang yang meminjamkan uang berhak memperbudak orang yang berutang, bila ia tidak dapat memenuhi utangnya. Tetapi, kebiasaan tersebut kemudian dibatalkan oleh Undang-Undang Solon yang membatasi besarnya riba maksimum 12% dari pokok utang. Pembatasan ini disebutkan juga dalam Undang-Undang Loh Dua Belas. Raja Justinian memberikan batas maksimum besarnya riba sekitar 12% untuk para pedangangdan
1
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam,(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2016), hlm. 290.
Drs. Sohari Sahrani dan Hj. Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 59.
2
sesamanya, sedang bagi para bangsawan hanya 4%. Filsuf-filsuf Yunani menentang riba ialah Plato dan Aristoteles.3 B. Asbabun Nuzul Q.S Al- Baqarah 275-281 Q.S Al- Baqarah 278-279 turun pada masa-masa akhir misi Rasulullah saw. Pada ayat sebelumnya (ayat 275-277) dinyatakan secara tegas bahwa antara al-Bai’ (perniagaan/jual beli) dan ar-riba (interest) adalah dua hal yang berbeda. Bai’ dihalalkan sedangkan riba merupakan suatu aktivitas yang dilarang. Ayat tersebut juga menawarkan “pemutihan” atas riba-riba tang telah dilakukan pada masa lalu dengan syarat tidak dilakukan lagi setelah ada larangan ini. Bagi mereka yang tetap melakukannya, Allah mengancam dengan sangat keras. Ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah “memusnahkan “riba”. Kata “memusnahkan” memiliki konotasi yang sangat radikal, yang berarti semua jenis riba, tidak peduli yang besar maupun yang kecil yang banyak maupun yang sedikit semuanya akan dilibas habis sampai ke akar-akarnya. Ayat- ayat tersebut turun berkenaan dengan laporan Itab bin Usaid. Gubernur Makkah yang ditunjuk oleh Rasulullah saw setelah pembebasan kota Makkah yang wilayah administrasinya meliputi Thaif, kepada Rasulullah saw. kaum saqif (penduduk Thaif) telah membuat kesepekatan dengan Rasulullah saw yang berhubungan dengan hutang piutang mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Salah satunya yaiut Bani Mugirah yang sudah memeluk Islam menolak membayar kelebihan atas penjaman kepada Bani Amr. Sebelumnya bani Mughirah selalu memberi kelebihan atas pembayaran hutangnya. Inilah yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat tersebut. Setelah mendapat laporan dan mencermati ayat –ayat yang turun, Rasulullah saw langsung menulis surat balasan kepada Gubernur Itab yang intinya berbunyi, “jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas (pelarangan riba) maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka serukanlah ultimatum perang kepada mereka”. Selain tertulis dalam al-Quran, larangan riba juga dikemukakan dalam berbagai hadis Rasulullah saw yang berisi baik berupa penjelasan mengenai aktivitas riba itu sendiri, larangan untuk melakukannya maupun perintah untuk meninggalkannya. صله ه س ْول ه .َس َواء ََ اَو ُم ِكلَه ََُوكَاتِبَه ُ لَعَنَََ َر َ ََ ُه ْم:ََُوشَا ِهدَهَُ ََوقَال َ َو َ ََََِّللا ِ سله َمَ َءا ِكل َ َََالرب َ ىََّللاَُ َعلَ ْي ِه
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang, Gadai, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), hlm.6.
“Rasululloh SAW.mengutuk pemakan (pengambil) riba, pemberi makan dengan riba, penulisnya dan saksinya, seraya bersabda, “mereka sekalian sama”. Hadis menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW sangat tidak menyukai para pemakan riba, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan riba kemudian dari hasilnya itu ia dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemberi makan dengan riba maksudnya dengan harta hasil riba untuk memberi makan orang lain atau menyumbang dengan harta hasil riba. Dan juga orangorang yang terlibat dalam riba tersebut, yaitu yang menulis dan yang menjadi saksi terhadap riba. Jadi, semua yang telah disebutkan tadi adalah sama halnya dengan orang yang berbuat riba dan akan mendapatkan siksa di akhirat kelak.
C. Tafsir Surah Al-Baqarah 275-281 tentang Riba Ayat 275 َ َالر ب َ ا َ َ ََل َ ي َ ق ُ و ُم و َن َ إ ِ هَل َ ك َ َم ا َ ي َ ق ُ و م ُ َا ل ه ذِ ي َ ي َ ت َس َ ۚ َ ذ َٰ َ ل ِ كََ َ ب ِ أ َن ه هُ ْم َ ق َ ا ل ُ وا َ إ ِ ن ه َم ا ِ خ ب ه ط ُ ه َُال ش ه ي ْ ط َ ا ُن َ ِم َن َال ْ َم ِ ا ل ه ذِ ي َن َ ي َ أ ْك ُ ل ُ و َن َف ال ْ ب َ ي ْ عُ َ ِم ث ْ ُل ِ َالر ب َ ا َ ۚ َ ف َ َم ْن َ َج ا ءَ ه ُ َ َم ْو َ َو َ َ َالر ب َ ا َ ۗ َ َو أ َ َ ع ظ َ ة َ ِم ْن َ َر ب ِ هِ َ ف َ ا ن ْ ت َ هَ َٰى َ ف َ ل َ ه ُ َ َم ا َ سَ ل ِ ِ َ ح هل َ َّللاه ُ َال ْ ب َ ي ْ َع َ ح هر م َ َار َ َۖ ه ُ مْ َ ف ِ ي هَ ا ٢٧٥ ََخ ا ل ِ د ُو ن َ ِ َۖو َم ْن َ ع َ ا د َ َ ف َ أ ُو ل َٰ َ ئ ُ حا ْ َك َأ َ ص ِ ب َال ن ه َ َ ِ َو أ َ ْم ُر ه ُ َ إ ِ ل َ ىََّللاه Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Menurut Ibnu Katsir. Melalui ayat ini, Allah menceritakan bahwa seorang pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat layaknya orang gila yang mengamuk seperti kesurupan setan. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas juga berkata pada hari kiamat akan dikatakan kepada pemakan riba, “Ambillah senjatamu untuk berperang! (Allah dan Rasul-Nya menantang mereka untuk berperang dengan-Nya dikarenakan mereka tidak berkenan untuk meninggalkan sisa riba dan mereka tidak memiliki senjata apapun selain berharap perlindungan dari azab
Allah) Ibnu Abbas membaca ayat ke 275 dari surat Al Baqarah tersebut, lalu dikatakan juga hal itu terjadi pada saat mereka dibangkitkan dari kubur”. Allah menegaskan bahwa telah dihalalkan jual-beli dan diharamkan riba. Orang-orang yang membolehkan riba dapat ditafsirkan sebagai pembantahan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Riba yang dahulu telah dimakan sebelum turunya firman Allah ini, apabila pelakunya bertobat, tidak ada kewajiban untuk mengembalikannya dan dimaafkan oleh Allah. Sedangkan bagi siapa saja yang kembali lagi kepada riba setelah menerima larangan dari Allah, maka mereka adalah penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya.
Ayat 276 َِو ه يَ ْم َح ُق ه ﴾٢٧٦:ارَأَ ِث ٍيمََ﴿البقرة اَوي ُْر ِبيَال ه ٍ َّللاُ َََلَي ُِحبُّ َ ُكلهَ َكفه ِ ََُّللا َ صدَقَات َ ََالرب “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” Abu Ja’far berkata: Adapun firman Allah Ta’ala: يم ٍَ ار َأَ ِث ٍ “ َوَّللاُ ََلَ َي ُِحبُّ َ ُك هل َ َكفهDan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa” maksudnya adalah : Allah tidak menyukai setiap orang yang melakukan kekafiran pada TuhanNya, menentangNya, memakan riba, dan memberi makan dengan harta riba, terus melakukan kejahatan yaitu memakan riba, memakan yang haram dan melakukan maksiat lain yang dilarang Allah Ta’ala. Dia tidak menahan diri dari itu, tidak menyesal, serta tidak mengambil pelajaran dari nasehat Tuhannya dalam kitab suci dan ayat-ayatNya. “Allah membasmi riba dan Dia menyuburkan sedekah-sedekah.” Riba mesti dikikis habis, sebab itu terpangkal dari kejahatan musyrik, kejahatan hidup dan nafsi-nafsi, asal diri beruntung, biar orang lain melarat. Dengan ini ditegaskan bahwa berkat daripada riba itu tidak ada. Itulah kekayaan yang membawa sial, membawa dendam dan kebencian. Tetapi Allah menyuburkan sedekah-sedekah, sebab Dia mempertautkan kasih sayang diantara hati si pemberi dengan si penerima, yang bersedekah dan yang menerima sedekah. Masyarakatnya jadi lain, yaitu masyarakat yang bantu membantu, sokong menyokong, doa mendoakan. Maka jika disebut
kalimat “orang kaya”, orang teringat akan kedermawanan, kesuburan dan doa, moga-moga ditambah Tuhan rezekinya. “Allah tidaklah, suka kepada orang-orang yang sangat ingkar, lagi pembuat dosa.”
4
Ayat 277 َوآت َُوا ه َ ََو ََل َ ُه ْم َيَحْ زَ َنُون َ َ َو َِ َ َالزكَاة َ َلََ ُه ْم ََأ َجْ ُر ُه ْم ِ صا ِل َحا َوأَقَا ُموا َال ه َو َع ِملُوا َال ه َ َع ْند َ َل َخ َْوف َ َعلَ ْي ِه ْم َ َر ِب ِه ْم َ َ ص ََلة َ ت َ ِإ هن َالهذِينَ َآ َمَنُوا ﴾٢٧٧:َ﴿البقرة “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Abu Ja’far berkata: “Ini adalah berita dari Allah Ta’ala bahwa orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang mempercayai Allah dan Rasul-Nya dan apa yang datang dari Tuhan-Nya berupa pengharaman riba sekaligus memakannya dan semua syari’at lainnya. Mereka melakukan amal shalih yang diperintahkan Allah Ta’ala dan juga amal sunnah yang dianjurkan Allah Ta’ala. Mereka mengerjakan shalat fardhu dengan rukun-rukunnya, juga menunaikan sunnahsunnahnya, mereka menunaikan zakat wajib dari harta mereka. Sebelumnya diantara mereka ada yang memakan harta riba sebelum datang nasehat dari Allah Ta’ala, mereka mendapat pahala yaitu pahala dari amal, iman dan sedekah mereka dari Tuhan mereka pada hari akhir saat mereka memerlukannya. Pada hari itu tidak ada rasa takut pada mereka terhadap siksa Allah Ta’ala atas apa yang pernah mereka lakukan di masa jahiliyah dan masa kafir sebelum datang nasehat dari Allah Ta’ala pada mereka untuk segera bertaubat karena pernah memakan riba. Taubat mereka pada Allah Ta’ala saat datang nasehat dariNya, pembenaran mereka terhadap janji dan ancamanNya, ََ“ َوَلَ َ ُه ْم َ َيحْ زَ نُونDan tidak (pula) mereka bersedih hati” terhadap apa yang mereka tinggalkan di dunia yakni memakan riba dan melakukannya. Jika mereka melihat sendiri besarnya pahala dari Allah Ta’ala dan mereka meninggalkan semua yang dilarang itu di dunia karena mengharap ridhaNya di akhirat, maka mereka sampai pada apa yang telah dijanjikan pada mereka.َ
4
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2001), hlm 69.
Ayat 278 يَاَأَيُّ َهاَالهذِينَ َآ َمنُواَاتهقُ ه ﴾٢٧٨:َالربَاَإِ ْنَ ُك ْنت ُ ْمَ ُمؤْ ِمنِينَ ََََ﴿البقرة ِ ي ِ ََمن َ َواََّللا َ َوذَ ُرواَ َماَبَ ِق “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” Abu Ja’far berkata: “Disebutkan bahwa ayat ini diturunkan pada kaum yang telah masuk Islam. Mereka memiliki harta yang mereka ribakan pada kaum lainnya. Sebagian mereka menerima sebagian hartanya dari mereka dan tinggal sebagian lagi. Maka Allah Ta’ala memaafkan orang-orang yang menerima riba sebelum ayat ini turun dan mengharamkan menagih sisanya”. Menurut riwayat yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim daripada as-Suddi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri paman Nabi Saw. Sendiri yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau di zaman jahiliyah mendirikan satu perkongsian dengan seorang dari Bani al-Mughirah, yang mata usaha mereka adalah menternakan uang (makan riba). Mereka pernah meminjamkan uang kepada seorang dari Bani Tsaqif di Thaif. Kemudian Abbas masuk Islam. (Beliau hijrah ke Madinah, dan di tengah jalan berselobok dengan tentara Rasulullah Saw. Yang akan menaklukan Makkah di bawah pimpinan Rasulullah sendiri, di waktu itulah beliau dengan resmi menyatakan diri telah Islam – Penulis Tafsir). Setelah datang zaman Islam, datanglah peraturan ini. Yaitu bahwa sisa-sisa riba jahiliyah ditinggalkan sama sekali. Artinya orang yang berhutang di Thaif itu tidak perlu lagi memberikan bunga riba itu, cukup diberikan seberapa banyak yang dihutangnya dahulu itu saja. Kalau kamu telah mengaku termasuk orang beriman, tinggalkan pekerjaan itu sama sekali. Itulah tanda beriman, sebab cinta kepada harta telah kamu ganti dengan cinta kepada Allah.
Ayat 279 ْ ُ َو ََلَت َمنَ ه ﴾٢٧٩:ظلَ ُمونَ َََ﴿البقرة ُ َو َر ِ ب ٍ فَإِ ْنَلَ ْمَت َ ْفعَلُواَفَأْذَنُواَبِ َح ْر ُ َوإِ ْنَت ُ ْبت ُ ْمَفَلَ ُك ْم ُ َر ُء َ َوسَأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َََلَت َْظَِل ُمون َ سو ِل ِه َ ََِّللا
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” Abu Ja’far berkata: “Maksud Allah Ta’ala: jika kalian bertaubat dan meninggalkan riba dan kembali pada Allah Ta’ala, maka kalian berhak atas pokok harta kalian dalam piutang kalian, selain tambahan yang menjadi riba. ْ ُ َوَلَ َت ْ “ َلَ َت ََظلَ ُمون َ ََلَ َت َْظ ِل ُمون, Abu Ja’far berkata: “Maksud Allah dengan firmanNya َََظ ِل ُمون “Kamu tidak menganiaya” dengan kalian mengambil pokok harta kalian yang kalian memiliki sebelum diribakan pada orang-orang yang berhutang pada kalian tanpa mengambil keuntungannya yang kalian tambahkan sebagai riba dari mereka sehingga kalian mengambil dari mereka apa yang bukan hak kalian, atau yang sebelumnya bukan menjadi hak kalian. َ ََوَل ْ ُ “ تDan tidak (pula) dianiaya” Allah Ta’ala berfirman: Juga orang yang berhutang pada ََظلَ ُمون kalian beri bukan riba tapi karena penambahan tempo sehingga mengurangi hak kalian atasnya, lalu kalian menahannya, karena tambahan modal kalian, bukan menjadi hak kalian, maka kalau dia tidak membayarnya pada kalian, berarti dia telah berbuat zhalim pada kalian. “Tetapi jika tidak kamu kerjakan begitu.” Artinya kamu telah mengaku beriman, padahal makan riba masih diteruskan juga, “maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan RasulNya.” Inilah satu peringatan yang amat keras, yang dalam bahasa kita zaman sekarang boleh disebut Ultimatum dari Allah. Menurut penyelidikan kita tidak terdapat dosa lain yang mendapat peringatan sekeras ancaman terhadap meneruskan riba ini5 Ayat 280 ﴾٢٨۰:صدهقُواَ َخيْرَلَ ُك ْمَإِ ْنَ َُك ْنت ُ َْمَت َ ْعلَ َُمونَ َََ﴿البقرة ُ ََوإِ ْنَ َكانَ َذُو َ عس َْرةٍَفَن َِظ َرةَإِلَ َٰىَ َم ْي َ َ ٍَوأَ ْنَت َ س َرة “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. “ Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang berutang yang dalam kesulitan tidak mempunyai apa yang akan dibayarkannya buat menutupi utangnya. jika
5
http://akulahakuhadifreedom.blogspot.com/2016/12/tafsir-ayat-al-quran-tentang-riba-qs-al_23.html diakses pada 25 November 2018 pukul 16.38
kalian menghapuskan semua pokoknya dari tanggungan si pengutang, maka hal itu lebih baik bagi kalian. Ayat 281 ْ َو ُه ْم َََلَي ْ س َب َواتهقُواَيَ ْو ًماَت ُ ْر َجعُونَََفِي ِهَإِلَ ه ﴾٢٨١:ُظلَ ُمونَ َََ﴿البقرة َ ىََّللاَِث ُ همَت ُ َوفه َٰىَ ُكلَُّنَ ْف ٍسَ َماَ َك َ ت “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Kemudian Allah mengakhiri ayat-ayat riba dengan berbagai nasehat, َ* َواتهقُواَ َي ْو ًماَت ُ ْر َجعُونَ َفِي ِهَ ِإلَ ه ِىََّللا Berisi tentang, bahwa apabila kalian mengingat keadaan hari kiamat dan kalian merenungkan apa yang telah Allah sediakan untuk hamba-Nya, yakni balasan sesuai dengan amal kalian, maka hal tersebut akan membuat hati dan jiwa kalian merasa ringan dan tenang, siap menemui Allah, sehingga kalian dengan dada sejuk, lapang dan damai lantaran kebaikan amal kalian. ْ َث ُ همَت ُ َوفه َٰىَ ُكلَُّنَ ْف ٍسَ َماَ َك َسب َت Kemudian, setiap orang diberi balasan sesuai dengan amal dan perbuatannya, baik kebajikan atau kejelekan ْ * َو ُه ْم َََلَي ََُظلَ ُمون Pahala mereka tidak akan dikurangi, dan siksaan untuk mereka tidak akan ditambah.
D. Macam-Macam Riba Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam, yaitu fadli, qardhi,yad dan nasa’. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi menjadi tiga bagian yaitu fadhli, nasa, dan yad. Adapun riba qardhi dikategorikan pada riba nasa’ Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman, riba dapat dibagi menjadi 4 macam bagian, yaitu sebagai berikut : 1.
Riba Fadhli, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan kwalitas
berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. contohnya menukar 10 kgberas dengan 11 kg beras,barang yang sejenis misalnya tukar menukar emas dengan emas,perak dengan perak, beras dengan beras dan sebagainya.
2.
Riba Yadh, yaitu berpisah dari tempat sebelum ditimbang dan diterima, maksudnya : orang
yang membeli suatu barang, kemudian sebelum ia menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli masih dalam ikatan dengan pihak pertama. 3.
Riba Nasi’ah yaitu riba yang dikenakan kepada orang yang berhutang disebabkan
memperhitungkan waktu yang ditangguhkan. Contoh : Aminah meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram, dan apa bila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu tahun. 4.
Riba Qardhi, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi
orang
yang
meminjami/mempiutangi.
Contoh : Ahmad meminjam uang sebesar Rp. 25.000 kepada Adi. Adi mengharuskan dan mensyaratkan agar Ahmad mengembalikan hutangnya kepada Adi sebesar Rp. 30.000 maka tambahan Rp. 5.000 adalah riba Qardh.6
E. Hikmah Pengharaman Riba islam dengan tegas dan pasti mengharamkan riba. Hal itu untuk menjaga kemaslahatan hidup manusia dari kerusakan moral (akhlak), sosial, dan ekonominya. Menurut Yusuf Qardhawi, para ulama telah menyebutkan panjang lebar hikmah diharamkannya riba secara rasional, antara lain: 1. Riba berati mengambil harta orang lain tanpa hak. 2. Riba dapat melemahkan kreativitas manusia untuk berusaha atau bekerja, sehingga manusia melalaikan perdagangannya, perusahaannya. Hal ini akan memutus kreativitas hidup manusia di dunia. Hidupnya bergantung kepada riba yang diperolehnya tanpa usaha. Hal ini merusak tatanan ekonomi. 3. Riba dapat menghilangkan nilai kebaikan dan keadilan dalam utang piutang. Keharaman riba membuat jiwa manusia menjadi suci dari sifat lintah darat. Hal ini mengandung pesan moral yang sangat tinggi. 6
Supiana dan M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, editor Ahmad tafsir, (Bandung: Rosda Karya, 2004), cet ke-3, hal. 123.
4. Biasanya orang memberi utang adalah orang kaya dan orang dan orangyang berutang adalah orang miskin. Mengambil kelebihan utang dari orang yang miskin sangat bertentangan dengan sifat rahmah Allah swt. Hal ini akan merusak sendi sendi kehidupan sosial.7 Adapun Sayyid Sabiq berpendapat, diharamkannya riba karena didalamnya tedapat tempat unsure yang merusak: 1. Menimbulkan permusuhan dan menghilangkan semangat tolong menolong. Semua agama terutama Islam sangat menyeru tolong menolong dan membenci orang yang mengutamakan kepentingan pribadi dan egois serta orang yang mengeksploitasi kerja orang lain. 2. Riba akan melahirkan mental pemboros yang tidak mau bekerja, menimbulkan penimbunan harta tanpa usaha tak ubahnya seperti benalu(pohon parasit) yang menempel dipohon lain. Islam menghargai kerja keras dan menghormati orang yang suka bekerja dan menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, menuntun orang kepada keahlian dan akan mengangkat semangat seseorang. 3. Riba sebagai salah satu cara menjajah. 4. Islam menghimbau agar manusia memberikan pinjaman kepada yang memerlukan dengan baik untuk mendapat pahala bukan mengeksploitasi orang lemah.8 Dampak negatif yang diakibatkan dari riba sebagaimana tersebut diatas sangat berbahaya bagi kehidupan manusia secara individu, keluarga, masyarakat dan berbangsa. Jika praktik riba ini tumbuh subur dimasyarakat, maka terjadi sisttem kapitalis dimana terjadi pemerasan dan penganiayaan terhadapt kaum lemah. Orang kaya semakin kaya dan miskin semakin tertindas
7
Yusuf Qardhawi, Dr., al-Halal wa al-Haram, (Beirut: Maktabah al-Islamy, 1994), cet. Ke-15, hlm. 242-243.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), juz III, hlm.868.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Ayat 275-281 menyoroti sistem riba yang menjadi pilar sistem ekonomi kapitalisme masa lalu dan saat ini. Sistem riba menciptakan praktek kezaliman ekonomi dan sosial, melahirkan berbagai penyakit jiwa seperti cinta dunia, kikir, kejam, rakus, pelit, kesombongan dan bahkan mempertuhankan harta (materialisme), sehingga pelakunya mabuk seperti orang yang kemasukan setan. Umat Islam harus berhenti dari praktek riba. Karena riba itu hanya dipraktekkan oleh orang yang tidak takut neraka dan tidak berharap surga. Bagi yang terlanjur, segera berhenti dan bertaubat pada Allah. Jika kembali melakukannya, maka Allah akan masukkan pelakunya ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Allah berjanji akan menghancurkan ekonomi yang dibangun di atas sistem riba yang zalim itu dan menumbuhkembangkan sistem ekonomi yang didasari sistem shadaqah (zakat, infak, hibah, wakaf dan sebagai-nya). Sistem ekonomi Islam tidak terpisah dari keimanan dan ibadah lainnya. Karena itu, riba salah satu yang membatalkan iman. Salah satu keunggulan sistem ekonomi Islam ialah menangguhkan tagihan terhadap orang menghadapi kesulitan. Sedangkan menghapuskan hutangnya jauh lebih baik. Hal ini bisa diterapkan karena spirit ekonomi Islam adalah meraih kesuksesan akhirat, bukan kejayaan di dunia. Syariat Islam memandang riba adalah salah satu dosa yang sangat besar dan berbahaya. Maka dari itu Islam memerangi dan memberantasnya tanpa ampun. Praktek riba ini sangat merugikan masyarakat. Maka dari itu Islam menganggap perbuatan riba sebagai perbuatan dosa besar-bahkan termasuk 7 dosa besar yang dilaknat oleh Allah SWT. Sedangkan sedekah kebalikan dari riba, makanya Allah sangat mengajurkan perbuatan ini. Karena dengan berlakunya sedekah akan menghidupkan roda kehidupan masyarakat.
B. Saran Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia. Rasjid, Sulaiman, Haji. 2016. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Islam tentang Riba, Utang-piutang, Gadai. Bandung: PT. Al-Ma’arif. Hamka. 2001. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas. http://akulahakuhadifreedom.blogspot.com/2016/12/tafsir-ayat-al-quran-tentang-riba-qs-al_23.html