QAWAID AL-FIQHIYAH KESULITAN MENDATANGKAN KEMUDAHAN Makalah ini disajikan untuk memenuhi tugas Qawaid Al-Fiqhiyah (Dosen. Muhajirin, M.E.I)
Disusun oleh Annisa Ayu N.R (2017220003)
SEMESTER 4 A Fakultas Tarbiyah STAI Alhamidiyah (Jakarta) 2019 M/1440
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayyah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Kesulitan Mendatangkan Kemudahan” Dalam menyelesaikan makalah ini, kami telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Muhajirin, M.E.I selaku Dosen mata kuliah Qawaid Al-Fiqhiyah yang telah memberikan tugas ini sehingga pengetahuan kami dalam penulisan makalah ini makin bertambah dan hal itu sangat bermanfaat bagi kami. 2. Pihak-pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah turut membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi kami. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.
Depok, 11 Februari 2019 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….i KATA PENGANTAR………………………………………………………………….…..ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………………………………………………………………………4 B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………...4 C. Tujuan……………………………………………………………………………….4 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir…………………………………...5 B. Dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir………………………………...6 C. Aplikasi Kaedah Fikih Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir………………………………7 D. Bagaimana macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir……………....................9 BAB III PENUTUP A. Simpulan……………………………………………………………………………14 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...……15
3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam menjalani hidup, manusia akan mengalami berbagai peristiwa yang menyebabkannya merasa senang, susah, gembira, sedih, aman, tenang, khawatir dan lain sebagainya. Sebagai agama yang rohmatallil ‘alamin, Islam memberikan perhatian besar pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Syari’at Islam menjaga sebuah prinsip menghilangkan kesukaran dan subjek hukum dalam keseluruhan hukum syar’i yang diatur dengan kaidah-kaidah baku dan dasar-dasar permanen yang dapat dijadikan sebagai media penyimpulan hukum (istinbath) ketika tidak ditemukan dalil syar’i atau ketika asy-syaari’ (pembuat hukum syara’) berdiam diri mengenai status perkara tertentu. Prinsip kemudahan dalam diskursus pemikiran hukum Islam sangat banyak, namun penulis mencukupkan diri dengan membahas kaidah-kaidah cabang dari kaidah “Kesulitan mendatangkan kemudahan” sebagai perincian dari kaidah ketiga dalam pembahasan qawaid fiqhiyah.
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir? 2. Apa dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir? 3. Aplikasi Kaedah Fikih Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir? 4.. Bagaimana macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir? C. Tujuan Penulisan 1. Agar mengetahui dan memahami pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. 2. Agar mengetahui dan memahami dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. 3. Agar mengetahui Aplikasi Kaedah Fikih Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir 4. Agar mengetahui dan memahami macam-macam Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Talib at-Taisir شقَّةُ تَجْ لِبُ ْالتَّ ْي ِسيْر َ اَ ْل َم “Kesuliutan mendatangkan Kemudahan” Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7 : ۟ َُوتَحْ ِم ُل أَثْقَالَ ُك ْم ِإلَ ٰى َبلَ ٍد لَّ ْم ت َ ُكون وف َّر ِحي ٌم ٌ ِق ْٱْلَنفُ ِس ِإ َّن َر َّب ُك ْم لَ َر ُء ِ وا ٰ َب ِل ِغي ِه ِإ ََّّل ِبش “dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim disebutkan : الديْنَ يُس ٌْر ِ ا َِّن “Agama itu mudah, tidak memberatkan. Yusrun lawan dari kata ‘usyrun.” Makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariah meringankankannya tanpa kesulitan dan kesukaran.1 Dari paparan di atas terdapat kesukaran yang dihadapi mukallaf, maka diperlukan pengecualian hukum, yang dalam pelaksanaannya diperhatikan tabiat manusia, kondisi dan kemampuan memikul hukum. Akan tetapi ada standar umum yang sebenarnya bukan kesukaran dan karenanya tidak menyebabkan kemudahan di dalam pelaksanaan ibadah.
B. Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir 1 Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah FIKIH, cet. I (Jakarta: Prenadamedia group, 2006) hlm 55
5
1. Dalam surat al-Baqarah ayat 185 …ي ُِريد ُ ّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َوَّلَ ي ُِريدُ بِ ُك ُم ْالعُس َْر Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S alBaqarah: 185) 2. Dalam surah al-Baqarah ayat 286 َّ ف سا ِإ ََّّل ُو ْس َع َها ً ّللاُ نَ ْف ُ ََّل يُ َك ِل Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. 3. QS.an-Nisa’ ayat 28 : ض ِعيفًا َ ُسان َ اإلن َ ي ُِريد ُ ّللاُ أَن يُخ َِف ِ َف َعن ُك ْم َو ُخلِق Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. 4. QS. Al-Hajj ayat 78 : ِ َو َما َجعَ َل َعلَ ْي ُك ْم فِى ٱلد ٍِين ِم ْن َح َرج Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. Hadis-hadis yang menguatkan kaidah diatas antara lain: ُس ْم َحة ِ ا َِّن َ الديْنَ ِع ْندَ هللاِ ال َحنَ ِف َيةُال “sesungguhnya agama disisi Allah adalah yang ringan dan mudah” (HR. Al-Bukhari) واوَّلَ تُن َِف ُروا َ واوبَش ُِر َ واوَّلَت ُ َعس ُِر َ يَس ُِر “mudahkan lah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Al-Bukhari) Dikalangan madzhab a-Syafi, khususnya al-Suyuti menyebutkan bahwa keringanan itu bissa beberapa macam hukumnnya. Pertama, hukumnya wajib mengambil keringanan seperti orang yang terpaksa makan makanan yang diharamkan karena takut mati kelaparan. Kedua, hukumnya sunnah mengambil yang ringan seperti sholat Qasar diperjalanan, berbuka puasa bagi yang khawatir sakit. Ketiga, hukumnnya boleh mengambil yang ringan seperti ual beli salam (timpah). Keempat, keringanan yang lebih baik ditinggalkan seperti mrngusap sepatu. Kelima, kerongan yang makruh dilakukan seperti qasar sholat dalam jarak kurang dari tiga marhalah C. Aplikasi Kaedah Fikih Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir
6
Kaedah ini tidak serta-merta dapat diterapkan sekehendak hati melainkanharus dicermati syarat-syarat yang melegalkan diberlakukan keringanan. Az-Zuhaily menuturkan,masyaqqah yang diperbolehkan untuk diberikan kemudahan antara lain: pertama, tidak bertentangan dengan nas,kedua; kadar masyaqqah harus lebih dari batasan (kemampuan) normal. Ketiga; masyaqqah tersebut bukanlah keadaan yang biasa terjadi seperti dinginnya air untuk wudhuk atau teriknya matahari pada saat berpuasa. Keempat, tidak berlaku terhadap sanksi syara‟ seperti rajam zina, pedihnyahudud, derita dalam jihad dan sebagainya. Hal ini menjadi kesepakatan bagi para ulama terutama ulama mazhab yang empat, syarat-syarat tersebut harus benar-benar wujud jika hendak mendapatkan kemudahan atas masyaqqah dan pelanggaran terhadapnya merupakan suatu hal yang berlebih-lebihan dalam menjalankan syariat. Dalam ilmu Fiqih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam, yaitu: 1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh Qasar shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jum’at. 2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa bulan ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi. 3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang lain karena dipaksa. 4. Lupa al-nisyan) misalnya seorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa. 5. Ketidak tahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil yang tidak tahu bahwa yang di wakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, misalnya pailit maka tindakan hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur ‘alaih (dilaranhg melakukan tindakan hukum oleh hakim). Dalam contoh ini ada kaidah lain bahwa ketidak tahuan tentang hukum tidak bias diterima di negeri Muslim, dalam arti kemungkinan untuk tahu telah ada. ََّل يُ ْقبَ ُل فِي دَ ِار ْ َِّلس ََْل ِم ْالعُذْ ُر ِب َج ْه ِل اْلَحْ كَام “tidak di terima di negeri muslim alasan tidak tahu tentang hukum islam”
7
6. Umum al-Balwa. Misalnya, kebolehan bai al-salam(uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekadar yang di butuhkan dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat. 7. Kekurang mampuan bertindak hukum (al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum, yang berhubungan dengan palaku ini disebut unsur pema’af, termasuk di dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.2 Al-masyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqahtetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa berat shaum pada musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan kmeringanan dalam masyaqqah tersebut akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah Yang dikehendaki dalam dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath ( melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga tinggatan, yakni: 1. Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah semacam ini membawa keringanan. 2. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ. Inilah yang bersifat individual. 3. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sa’i, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam ini bisa di tanggulangi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini. Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah ada tujuh macam, yakni: 1. Takhfih isqath/ rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu. 2 Ibid, hlm 56-57.
8
2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qasah dua rakaat yang asalnya empat rakaat. 3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu dan/ atau mandi wajib diganti dengan tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit. 4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara di dahulukan , seperti jama’ taqdim di arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan, jama’ taqdim bagi yang sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya. 5. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara di akhirkan seperti shalat jama’ ta’khir di muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya. 6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang di haramkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian. 7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.3 D. Macam-Macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya: Kaidah Ke 1 س َع َ اِذَا َ َّضاقَ اْل َ ْم ُر اِت “apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas” Kaidah ini sesungguhnya lebih tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib altaisir” , sebab al masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan saum itu kembali pula. Apabila seorang wanita tidak mempunyai wali (atau ada wali tetapi berada ditempat jauh) melakukan perjalanan. Hanya saja ia tidak menemukan wali yang bisa menikahkannya. Oleh karena itu ia mengangkat seorang laki-laki untuk dijadikan wali. Bagaimankah hokum pengangkatan wali tersebut? Imam Syafi’i menjawab: س َع َ اِذَاMaksudnya, karena kondisi wanita tersebut dalam keadaan َ َّضاقَ اْل َ ْم ُر اِت sulit, maka ia diperbolehkan hal tersebut, dan hokum pernikahannya syah. 3 Ibid, hlm 58.
9
Maksud dari Qa’idah yang digunakan Imam Syafi’i sebagai jawaban ini adalah kondisi sulit dan sempit seperti itu (sulit menelitinya) menyebabkan seseorang boleh melakukan sesuatu yang mestinya tidak boleh. Dalam arti lain, apabila seseorang berada pada suatu kondisi sulit dan berat (terpepet), maka ia diperbolehkan melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan pada kondisi normal. 4 Maka untuk membatasi hal tersebut muncul kaidah:
َضاق َ س َع َ َّ اذَا اِت “apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit” Ketika perang sedanng berkecamuk, kita melakukan shalat khauf dengan diperbolehkan banyak bergerak. Tetapi di tengah–tengah shalat, tiba-tiba keadaan menjadi reda dan musuh menjauh, maka tida lagi diperkenankan banyak bergerak dalam shalat tersebut.5 Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena tu, kaidag ini digabungkan menadi satu.
َضاق َ س َع َ اِذَا َ َّ س َع و اذَا اِت َ َّضاقَ اْل َ ْم ُر اِت “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit” Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangannya tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah. Kaidah ke 2 ِلى ْالبَدَ ْل ْ َ اِذَا ت َ َعذَّ َر اْل َ ُص ُل ي َ صا ُر ا “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya” Contohnya : tayamum sebagai pengganti wudhu’ seseorang yang menggashap harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka ia wajib menggantinya dengan harganya. Demikian juga halnya dengan orang yang meminjam satu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku,) maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya. 4 Sudirman Abbas, Ahmad, Dr, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh, (Jakarta, Anglo Media, 2004), hlm. 105. 5 https://yasin47.wordpress.com/2010/06/21/kaidah-kesulitan-mendatangkan-kemudahan/ diakses pada 9 Februari 2019 pukul 14.34.
10
Dalam fiqh siyasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan. Misalnya ada istilah PJMT (pejabat yang melaksanakan tugas), karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas lain sebagai penggantinya. Kaidah ke 3 َُما َّلَ يُ ْم ِك ْن التَّحْ ُر ْز ِم ْنهُ َم ْعفُو َع ْنه “apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan” Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Adarh pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian. Kaidah ke 4 ُ ص ََّل تُنَا صى ُّ ِ َط بِ ْال َمع َ الر ْخ “Keinginan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan” Kaidah ini di gunakan untuk menjaga agar keinginan-keinginan di dalam hukum tidak di salahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang di haramkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam Hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk kasbu alhalal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang di haramkan, maka memakannya di bolehkan Kaidah ke 5 ْ ِإذَا ت َ َعذَّ َر از ُ ص َ ُت ال َح ِقيقَةُ ي ِ ار ِإلَى الم َج “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya” Contonya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia . 11
Kaidah ke 6 إِذَاتَعَذَّ َر إِ ْع َما ُل الك َََل ِم يُ ْه َم ُل “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan” Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya. Kaidah ke 7 اء ِ َاإل ْبتِد ِ يُ ْغتَفَ ُر فِي الدَّ َو ِام َما ََّل يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya” Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali. Kaidah ke 8 اء َما ََّل يُ ْغتَفَ ُر فِ ْي الدَّ َو ِام ِ َاإل ْبتِد ِ يُ ْغتَفَ ُر فِي “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya” Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena senasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan.Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut. Kaidah ke 9 يُ ْغتَفَ ُر فِي الت َّ َوابِع َما ََّل يُ ْغتَفَ ُر فِي َغي ِْرهَا “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya” 12
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.6 Contoh lainnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.7
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan Makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum 6 Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah FIKIH, cet I (Jakarta: Prenadamedia group, 2006), hlm. 61-65. 7 http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html diakses pada 9 Februari 15.22
13
yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka syariah meringankankannya tanpa kesulitan dan kesukaran 2. Dasar Hukum Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir Terdapat didalam surat al-Baqarah ayat 185 …ي ُِريد ُ ّللاُ ِب ُك ُم ْاليُس َْر َوَّلَ ي ُِريدُ ِب ُك ُم ْالعُس َْر Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S alBaqarah: 185) dan hadis yang menguatkan kaidah diatas antara lain: ُس ْم َحة ِ ا َِّن َ الديْنَ ِع ْندَ هللاِ ال َحنَ ِفيَةُال “sesungguhnya agama disisi Allah adalah yang ringan dan mudah” (HR. Al-Bukhari) 3. Kaedah ini tidak serta-merta dapat diterapkan sekehendak hati melainkanharus dicermati syarat-syarat yang melegalkan diberlakukan keringanan. Az-Zuhaily menuturkan,masyaqqah yang diperbolehkan untuk diberikan kemudahan antara lain: pertama, tidak bertentangan dengan nas,kedua; kadar masyaqqah harus lebih dari batasan (kemampuan) normal. Ketiga; masyaqqah tersebut bukanlah keadaan yang biasa terjadi seperti dinginnya air untuk wudhuk atau teriknya matahari pada saat berpuasa. Keempat, tidak berlaku terhadap sanksi syara‟ seperti rajam zina, pedihnyahudud, derita dalam jihad dan sebagainya. 4. Macam-Macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Ahmad. Kaidah-Kaidah FIKIH. Kencana. Jakarta. 2010 Abbas, Sudirman, Ahmad, Dr. Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persepektif Fiqh. Anglo Media Jakarta.2004
14
https://yasin47.wordpress.com/2010/06/21/kaidah-kesulitan-mendatangkan-kemudahan/ diakses pada 9 Februari 2019 pukul 14.34. http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html pada 9 Februari pukul 15.22
15
diakses