Sopir Taksi Sekaligus Imam Tetap Sholat Subuh Bagikan 22 April 2009 jam 11:45 Sebagaimana biasa, ketika ke Jakarta, nyampai di Bandara Sukarno Hata, untuk sampai ke tujuan saya selalu naik taksi. Di antara antrian taksi yang sedang giliran berangkat, saya selalu memilih yang berada di posisi paling depan. Saya tidak mau mengambil taksi yang di belakang, hanya pertimbangan jenis mobilnya lebih baik, misalnya. Jika hal itu saya lakukan, khawatir menjadikan sopir yang sudah semestinya mendapat giliran sakit hati. Pikiran ini sederhana, tetapi menurut hemat saya penting diperhatikan, agar tidak ada seorang pun yang sakit hati yang disebabkan oleh karena keputusan yang tidak tepat. Setelah saya masuk kendaraan kota itu, ternyata saya lihat sopirnya sudah kelihatan tua. Di bagian depan mobil, terpampang kartu pengenal, sopir taksi tersebut bernama Irsyad. Saya sebut saja namanya itu, sambil membuka pertanyaan dengan bertanya umurnya berapa. Dia menjawab, sudah hampir enam puluh tahun. Kemudian saya tanya tahun kelahirannya, dia jawab, lahir tahun 1948. Saya beritahu bahwa jika lahir tahun 1948, sekarang usia itu sudah lebih 60 tahun. Dengan ringannya ia komentar, bahwa sudah lama tidak menghitiung umurnya, sehingga lupa. Dalam perbincangan tentang umur ini, saya kemudian bertanya tentang apa resepnya hingga bisa tetap kuat dan bahkan penampilannya tampak lebih muda dari usianya. Ia menjawab, tidak punya resep khusus. Ia menjelaskan bahwa sekalipun hidup di kota, sebagai seorang sopir taksi, tidak pernah melakukan hal maksiat. Lebih lanjut, ia mengatakan selama hidup tidak pernah ikut minumminuman keras, judi, apalagi bermain dengan perempuan. Kemaksiatan seperti itu, katanya banyak dilakukan orang, tetapi ia tetap berusaha menjauh. Godaan itu dirasakan berat, apalagi di kota besar seperti jakarta ini, tetapi ia berusaha menghindarinya. Dan bersyukur sampai usia setua itu, ia lulus berhasil menghindarinya. Selanjunya dalam obrolan di jalan yang lagi macet, saya menanyakan jam berapa biasanya berangkat bekerja sebagai sopir ini. Dijawab olehnya, bakda subuh. Sebab kebetulan di tempat tinggalnya, dia dipercaya sebagai imam tetap sholat subuh. Sekalipun dulu tidak tamat SD, tetapi pernah belajar mengaji di pesantren. Berbekal
kemampuan membaca al Qur’an itu, ia diminta oleh jama’ah menjadi imam tetap. Teringat kehidupan pesantren, ia kemudian bercerita panjang lebar tentang kehidupan santri yang dijalani ketika masih anak-anak. Bahkan ia juga membanding-bandingkan antara pendidikan pesantren dan pendidikan modern sekarang. Pendidikan pesantren sekalipun sederhana, banyak berhasil. Anak-anak yang belajar lewat pendidikan itu, tatkala pulang selalu bisa mengaji. Tetapi aneh, anak sekarang sudah sekian lama belajar di sekolah, dan bahkan sampai tingkat tinggi, tetapi pengetahuannya belum kelihatan jelas. Dalam perbincangan yang sangat terbuka itu, saya menanyakan bagaimana mendapatkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) jika ia tidak punya ijazah. Pertanyaan ini saya ajukan, karena sebelumnya mengaku tidak tamat SD, hanya sampai kelas 3. Ia kemudian menceritakan kisah lama, bahwa awalnya ia menemukan SIM di kendaraan, di Bajae, tatkala sedang naik kendaraan umum itu pulang dari kulakan. Sebelum menjadi sopir taksi, ia pernah berjualan beras.Kemudian berbekalkan SIM temuan itu, ia ingin mencoba bekerja lain, bersemangat menjadi sopir. Kebetulan salah seorang teman dekatnya yang punya mobil sederhana, membolehkan ia belajar mengemudi. Karena semangatnya itu, beberapa kali saja mencoba, berhasil bisa menjalankan mobil. Bermodalkan SIM temuan dan sedikit kemampuan mengemudi, lewat perantara temannya yang sudah lama menjadi sopir, ia melamar ke perusahaan taksi. Ternyata diterima. Ia juga mengaku untung antara foto pada SIM dengan wajah dia mirip, sehingga tidak pernah dicurigai bahwa SIM miliknya adalah aspal, atau Asli tetapi Palsu. Ia menjelaskan, dulu pada awal memulai bekerja sebagai sopir, sekitar tahun 1984, mencari pekerjaan sebatas sebagai sopir tidak sulit. Hal itu sangat berbeda dengan sekarang. Saat ini tidak akan mungkin ada perusahaan angkutan taksi, menerima sopir sembarangan. Ketika menceritakan kisah lama yang unik itu, ia menyadari kesalahannya. Semestinya sebagai alumni pesantren, tatkala menemukan sesuatu milik orang lain, seharusnya segera dikembalikan. Apalagi harta itu berbentuk SIM, yang nama dan alamat pemiliknya bisa diketahui dengan mudah. Pemilik SIM itu, sesuai dengan namanya adalah orang Medan. Nama dalam SIM itu selanjutnya digunakan olehnya untuk mengganti nama aslinya, agar seolah-olah SIM itu miliknya sendiri. Kebetulan foto pada SIM itu mirip dengan wajahnya. Setelah sekian lama menjalani hidup sebagai sopir taksi, perasaan salah itu tetap membebani hidupnya. Ia merasa ada
dosa pada dirinya. Tetapi apa boleh buat, dalam keadaan serba susah menjalani hidup, dokumen berharga (SIM) itu dianggap olehnya sebagai jalan mendapatkan rizki. Untuk menghilangkan rasa salah yang tidak pernah ia lupakan itu, ia mengaku selalu beristighfar. Sebagaimana pengemudi taksi pada umumnya, ia kaya informasi. Di sela-sela istirahat ia bisa berbincang-bincang, bertukar pikiran dengan teman-temannya sesama sopir taksi. Sehari-hari ia juga mendengar perbincangan penumpangnya di taksi. Di waktu-waktu senggang, ia juga mengikuti berita di koran. Sekalipun ia hanya sampai klas tiga SD, karena sehari-hari, sebagai sopir taksi selalu melihat temannya membaca koran, maka lama kelamaan ia pun tertarik. Mula-mula ia hanya senang melihat-lihat gambar dan huruf-huruf yang besar, tetapi lama-lama ikut membaca dan akhirnya terbiasa. Dengan kebiasaan membaca itu dia juga mengikuti berita-berita politik. Ia kemudian juga bangga dengan Presiden SBY. Sejak pemerintahan SBY, katanya, biaya sekolah dirasakan semakin murah. Berbeda dengan zaman Pak Harto, biaya sekolah mahal. Ia menyenangi Pak SBY, karena sering melihatnya lewat koran dan TV, sholat jama’ah, dan sekali-kali juga mengikuti jama’ah dzikir. Pak SBY jika dikritik oleh lawan politiknya, tidak marah, bahkan dijawab secara santun. Di akhir perbincangan, karena sudah segera nyampai di tempat yang dituju, dia juga masih mengungkapkan kelebihan Pak SBY, penampilannya gagah, mengerti dan peduli dengan beban hidup orang kecil. Sekalipun belum seluruhnya berhasil, tetapi ia melihat kepemimpinan Pak SBY terasa ada kemajuan. Dia juga tahu, banyak yang memberikan kritik dan bahkan juga berpikir yang tidak rasional, misalnya selama kepemimpinan Pak SBY banyak musibah, mulai tsunami, gempa bumi, banjir, gunung meletus, banyak penyakit yang aneh dan bahaya. Tetapi menurut sopir taksi ini, segala musibah itu harus dipahami sebagai peringatan Tuhan kepada seluruh bangsa ini. Datangnya musibah itu bukan karena kesalahan presidennya, tetapi karena kemaksiyatan yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk oleh para pemimpinnya yang jumlahnya banyak. Siapapun yang menjadi presiden, kata pengemudi taksi yang semula SIM nya ASPAL (Asli tapi Palsu) ini, jika para pemimpinnya maksiyat, seluruh bangsa ini akan diperingatkan oleh Allah. Perbincangan di jalan sambil memanfaatkan waktu luang di taksi menarik dan ternyata banyak pelajaran hidup yang bisa dipetik. Dari sopir taksi ini didapat pelajaran misalnya, bagaimana seharusnya siapapun menghindar dari kemaksiyatan sepanjang waktu, perasaan
salah atau dosa ternyata selalu membebani hidup dan ternyata sulit dilupakan, dari sopir taksi ternyata juga didapat pelajaran bagaimana menghargai pemimpin. Hal yang mungkin tidak pernah kita duga, ternyata dari sopir taksi kita bisa belajar, bagaimana secara istiqomah selalu sholat subuh berjama’ah. Akhirnya pantaslah jika Allah swt akan memberikan derajat mulia bukan karena status sosialnya di tengah masyarakat ketika hidup di dunia ini, melainkan karena ketaqwaannya. Sedangkan derajat taqwa bisa diraih oleh siapapun, tidak terkecuali oleh sopir taksi. Memang terasa mengharukan, ternyata di antara orang yang sehari-hari berperan sebagai sopir taksi pun, ada yang menjadi imam tetap sholat subuh. Subhanallah.