Seminar Cedera Kepala Berat Revisi.docx

  • Uploaded by: putripandean
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Seminar Cedera Kepala Berat Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,912
  • Pages: 54
BAB I LATAR BELAKANG Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk di pengaruhi oleh perubahan peningkatan dan percepatan faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan (Rendy, 2012). Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Sedangkan berdasarkan Mansjoer (2002), kualifikasi cedera kepala berdasarkan berat ringannya, dibagi menjadi 3 yakni cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat. Adapun penilaian klinis untuk menentukkan klasifikasi klinis dan tingkat kesadaran pada pasien cedera kepala menggunakan

metode

skala

koma

Glasgow (Glasgow

Coma

Scale)

(Wahjoepramono, 2005). WHO (Word Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada cidera kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat pada tahun 2013 terjadi kematian yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas dengan jumlah 2500 kasus. Di Amerika Serikat, kejadian cidera kepala setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian 80% meninggal dunia sebelum sampai rumah sakit, 80% cidera kepala ringan, 10% cidera kepala sedang dan 10% cidera kepala berat, dengan rentang kejadian 15-44 tahun. Persentase dari kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58% diperoleh dari cidera kepala, 20-28% dari jatuh dan 3-9% disebabkan tindak kekerasan dan kegiatan olahraga (WHO, 2013). Berdasarkan data

Lampiran

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Nomor:263/Menkes/SK/II/2010 beberapa dari provinsi tercatat prevalensi cedera

kepala secara Nasional yaitu Provinsi Kepulauan Riau (18.9%), Papua Barat (18.0%), NAD (17.9%), Papua (16.8%), Sumatra Selatan (16.7%), Jambi (16.5%), DIYogyakarta (16.4%) dan Sulawesi Utara (16.1%). Berdasarkan data Riskesdas 2013 Sulawesi Utara menduduki urutan ke 2 untuk angka kejadian kecelakaan di jalan raya dengan persentase 50,5%. Kecelakaan lalu lintas terutama kecelakaan sepeda motor terhitung sebagai salah satu penyebab cedera kepala tersering. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan industri dan perekonomian memberikan dampak terhadap cedera kepala yang semakin meningkat dan merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai di ruang Instalasi Gawat Darurat di Rumah Sakit (Miranda, 2014). Berdasarkan data yang didapatkan dari Ruangan Resusitasi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada bulan Januari-Februari 2019 adalah sebanyak 34 kasus cedera kepala berat. Oleh karena banyaknya kasus cedera kepala tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada pasien Tn. GT dengan cedera kepala berat di Ruangan Resusitasi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Cedera Kepala Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008). Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan Afisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008). Cedera

kepala

adalah

cedera

yang

meliputi

trauma

kulit

kepala,tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).

B. Penyebab Cedera Kepala Cedera kepala disebabkan oleh 1. Kecelakaan lalu lintas 2. Jatuh 3. Trauma benda tumpul 4. Kecelakaan kerja 5. Kecelakaan rumah tangga 6. Kecelakaan olahraga 7. Trauma tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)

C. Manifestasi Klinis 1. Nyeri yang menetap atau setempat. 2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial. 3. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minoreaserebrospiral (les keluar dari hidung). 4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah. 5. Penurunan kesadaran. 6. Pusing / berkunang-kunang.Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler 7. Peningkatan TIK 8. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremita. 9. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan

D. Patofisiologi Cedera Kepala Menurut Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia

otak

seperti

penurunan

adenosis

tripospat,perubahan

permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan

umumnya bersifat makroskopis. Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.

E. Klasifikasi Cedera Kepala Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004). 1.

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu a. cedera kepala tumpul. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak. b. Cedera tembus Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

2.

Berdasarkan morfologi cedera kepala Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi a. Laserasi kulit kepala Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar

yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak. b. Fraktur tulang kepala Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi : 1)

Fraktur linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak

menyebabkan

tulang

kepala bending dan tidak

terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial. 2)

Fraktur diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

3)

Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4)

Fraktur impresi Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan

jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat. 5) Fraktur basis kranii Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga 9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). pendengaran

Saraf

wajah

(N.facialis)

(N.vestibulokokhlearis).

dan

Penanganan

saraf dari

fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur

dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat. c.

Cedera kepala di area intrakranial Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus Cedera otak fokal yang meliputi. 1)

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulangtengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2)

Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.

3)

Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi

permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang. 4)

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya 11 penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.

5)

Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit

(PSA).

Luasnya

PSA menggambarkan luasnya

kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri. 3. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi a.

Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15

1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi. 2) Tidak ada kehilangan kesadaran 3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing 5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13 Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan 1) Amnesia paska trauma 2) Muntah 3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal) 4) Kejang c.

Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.

1) Penurunan kesadaran sacara progresif 2) Tanda neorologis fokal 3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)

F. Komplikasi Cedera Kepala Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999) pada cedera kepala meliputi 1.

Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

2.

Kejang/Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurangkurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

3.

Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

4.

Hilangnya kemampuan kognitif Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.

5.

Penyakit Alzheimer dan Parkinson Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

G. Penatalaksanaan Cedera Kepala Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelumlaserasi ditutup. 1. Menilai jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi. 2. Menilai pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jikatidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki

danatasi

cedera

dada

berat

spt

pneumotoraks

tensif,hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi untuk menjaga

saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 ygadekuat ( Pa O2 > 95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%)atau muntah maka pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahlianestesi. 3. Menilai sirkulasi : otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloidsedangkan larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema. 4. Obati kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harusdiobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahanlahan dandpt diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin15mg/kgBB. 5. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB6.Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru dilepas

setelah

dipastikan

bahwa

seluruh

keservikal

C1-

C7normal7.Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairanisotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairanhipotonis dan larutan ini tdk menambah edema cerebri- Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah. Lakukan CT scanPasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya : a.

Hematoma epidural

b.

Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel

c.

Kontusio dan perdarahan jaringan otak

d.

Edema cerebri

e.

Pergeseran garis tengah

f.

Fraktur kranium

g.

Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda

herniasilakukan : Elevasi kepala 30, Hiperventilasi, Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semulasetiap 6 jam sampai maksimal 48 jam I- Pasang kateter foley-Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom

epidural besar,hematom sub dural,cedera kepala

terbuka,fraktur impresi >1 diplo).

H. Nursing Care Plaing Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cederadan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vitala. 1.

Aktifitas dan istirahat Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan Tanda : a. Perubahan kesadaran, letargi b. Hemiparese c. ataksia cara berjalan tidak tegap d. masalah dlm keseimbangan e. cedera/trauma ortopedi f. kehilangan tonus otot

2.

Sirkulasi Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yg diselingi bradikardia disritmiac.

3.

Integritas ego Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresid.

4.

Eliminasi Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsie.

5.

Makanan/cairan

Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera. Tanda : muntah, gangguan menelan. 6.

Neurosensori Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tdk simetris, Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuhg.

7.

Nyeri/kenyamanan Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama Tanda : Wajah menyeringai,respon menarik pada ransangan nyeri yg hebat, merintihh.

8.

Pernafasan Tanda

:

Perubahan

pola

nafas,

nafas

berbunyi,

stridor,

tersedak,ronkhi,mengii. 9.

Keamanan Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan

10. Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna, tanda batledi sekitar telinga, adanya aliran cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak, Demam

I. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma. Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien. Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal. Intervensi

Rasionalisasi

Mandiri

Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,

Kaji

faktor

penyebab

dari mengkaji

status

neurologis/tanda-

situasi/keadaan individu/penyebab kegagalan untuk menentukan

tanda

perawatan

koma/penurunan perfusi jaringan kegawatan atau tindakan dan kemungkinan penyebab

pembedahan.

peningkatan TIK. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4

Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral

jam

terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan

darah

peningkatan

intrakrinial.

tekanan

darah,

Adanya bradikardi,

disritmia, dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK. Evaluasi pupil, amati ukuran,

Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola

ketajaman, dan reaksi terhadap

mata

cahaya.

nervus/saraf

merupakan

tanda

dari

gangguan

jika batang otak terkoyak.

Reaksi pupil diatur oleh saraf III cranial

(okulomotorik)

yang

keseimbangan

antara

menunjukkan parasimpatis

dan

simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III. Monitor temperatur dan pengaturan

Panas merupakan refleks dari hipotalamus.

suhu lingkungan.

Peningkatan

kebutuhan

metabolism

dan

O2akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure). Pertahankan

kepala/leher

pada Perubahan kepala pada satu sisi dapat

posisi yang netral, usahakan dengan menimbulkan penekanan pada vena jugularis sedikit bantal. Hindari penggunaan dan bantal yang tinggi pada kepala.

menghambat

aliran

darah

otak

(menghambat drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan intracranial.

Berikan periode istirahat antara

Tindakan

yang

terus-menerus

dapat

tindakan perawatan dan batasi

meningkatkan TIK oleh efek rangsangan

lamanya prosedur.

kumulatif.

Kurangi rangsangan ekstra dan Memberikan suasana yang tenang (colming berikan rasa nyaman seperti masase effect) dapat mengurangi respons psikologis punggung, lingkungan yang tenang. dan

memberikan

istirahat

untuk

Sentuhan yang ramah, dan suasana / mempertahankan TIK yang rendah. pembicaraan yang tidak gaduh. Cegah/hindarkan

terjadinya

Mengurangi

tekanan

valsava

intraabdominal

maneuver.

peningkatan TIK.

Bantu klien jika batuk, muntah.

Aktivitas

intratorakal

dan

sehingga

menghindari

dapat

meningkatkan

ini

intrathorakal/tekanan

dalam

thoraks

dan

tekanan dalam abdomen dimana aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.

Kaji peningkatan istirahat dan

Tingkah nonverbal ini dapat merupakan

tingkat laku.

indikasi peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat meningkatkan TIK.

Palpasi pada pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis yang bladder, pertahankan drainase urine potensial menaikkan TIK. secara paten jika di gunakan dan juga monitor terdapatnya konstipasi. Berikan penjelasan pada klien (jika

Meningkatkan

kerja

sadar)

meningakatkan

perawatan

dan keluarga tentang

sama

dalam

klien

dan

sebab-

sebab TIK meningkat.

mengurangi kecemasan.

Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan GCS.

kesadaran

menunjukkan

peningkatan TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.

Kolaborasi : Pemberian O2 sesuai indikasi.

Mengurangi

hipoksemia,

dimana

dapat

meningkatkan vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK. Kolaborasi untuk tindakan operatif

Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah

evakuasi darah dari dalam

dilakukan bila kemungkinan terdapat tanda-

intracranial.

tanda deficit neurologis yang menandakan peningkatan ntrakranial.

Berikan cairan intravena sesuai

Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk

indikasi.

mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan TIK.

Berikan obat osmosis diuretic

Diuretic mungkin digunakan pada fase akut

contohnya : manitol, furoscide.

untuk mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.

Berikan steroid contohnya :

Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan

dexamethason, methyl prenidsolon.

mengurangi edema jaringan.

Berikan analgesic narkotik contoh :

Mungkin di indikasikan untuk mengurangi

kodein.

nyeri dan obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.

Berikan antipiretik contohnya :

Mengurangi/mengontrol

asetaminofen.

metabolisme

hari

dan

serebral/oksigen

pada yang

diinginkan. Monitor hasil laboratorium sesuai

Membantu memberikan informasi tentang

dengan indikasi seperti

efektifitas pemberian obat.

prothrombin, LED.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator. Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas kembali efektif. Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab. Intervensi

Rasionalisasi

Berikan posisi yang nyaman, biasanya

Meningkatkan

dengan

inspirasi maksimal,

peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi meningkatkan ekspansi paru dan yang sakit. Dorong klien untuk duduk ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

sebanyak mungkin. Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau

Distress pernapasan dan perubahan

perubahan tanda-tanda vital.

pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.

Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut

Pengetahuan apa

dilakukan untuk menjamin keamanan.

yang

diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor

Pengetahuan apa

pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.

yang

diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.

Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek untuk control diri dengan menggunakan fisiologi pernapasan lebih lambat dan dalam.

hipoksia,

yang

dimanifestasikan

dapat sebagai

Periksalah alarm pada ventilator sebelum ketakutan/ansietas. difungsikan. Jangan mematikan alarm.

Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan didengar misalnya alarm kadar oksigen,

tinggi/rendahnya

tekanan

oksigen. Tarulah kantung resusitasi disamping tempat Kantung resusitasi/manual ventilasi tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu- sangat waktu dapat digunakan.

berguna

untuk

mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat ventilator secara mendadak.

Bantulah klien untuk mengontrol

Melatih klien untuk mengatur napas

pernapasan jika ventilator tiba-tiba berhenti.

seperti napas dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.

Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan rutin.

letak

dan

fungsi

ventilator sebagai kesiapan perawat

Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa dalam memberikan tindakan pada tekanan oksigen dalam tabung, monitor penyakit primer setelah menilai hasil manometer untuk menganalisis batas/kadar diagnostik dan menyediakan sebagai oksigen.

cadangan.

Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi spirometer. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain

Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.

untuk

mengevaluasi

perbaikan

Pemberian antibiotik.

kondisi klien atas pengembangan

Pemberian analgesic.

parunya.

Fisioterapi dada. DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan. Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas. Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan. Intervensi

Rasionalisasi

Kaji keadaan jalan napas

Obstruksi

mungkin

dapat

disebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari endotracheal/tracheostomy

tube

yang berubah. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi

Pergerakan dada yang simetris

suara napas pada kedua paru (bilateral).

dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian

bawah

tersumbat

dapat

terjadi pada pneumonia/atelektasis akan menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing. Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri

Endotracheal tube dapat saja masuk

tanda batas bibir.

ke

Lekatkan

tube

secara

hati-hati

dengan memakai perekat

dalam

bronchus

kanan,

menyebabkan obstruksi jalan napas ke

paru-paru

kanan

dan

khusus.

mengakibatkan klien mengalami

Mohon bantuan perawat lain ketika

pneumothoraks.

memasang dan mengatur posisi tube.

Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien mengalami napas, suara alarm dari ventilator karena refleks batuk yang tidak efektif, atau tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret klien melalui

endotracheal/tracheostomy

akan

tube, kelemahan

mengalami otot-

bertambahnya

otot

pernapasan

bunyi ronkhi.

(neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk

batuk.

Semua

klien

tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan napas. Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, Pengisapan lendir tidak selamanya batasi durasi pengisapan dengan 15 detik atau dilakukan

terus-menerus,

dan

lebih. Gunakan kateter pengisap yang sesuai, durasinya pun dapat dikurangi untuk cairan fisiologis steril.

mencegah bahaya hipoksia.

Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan Diameter kateter pengisap tidak pengisapan

dengan

ambu

bag boleh lebih dari 50% diameter

(hiperventilasi).

endotracheal/tracheostomy

tube

untuk mencegah hipoksia. Dengan

membuat

hiperventilasi

melalui pemberian oksigen 100% dapat

mencegah

terjadinya

atelektasis dan mengurangi terjadinya hipoksia. Anjurkan klien mengenai tekhik batuk

Batuk yang efektif dapat

selama

mengeluarkan sekret dari saluran

pengisapan seperti waktu bernapas panjang,

napas.

batuk kuat, bersin jika ada indikasi. Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap

Mengatur segmen pengeluaran

2jam).

sekret dan mengurangi atelektasis.

Berikan

minum

hangat

jika

keadaan

Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran sekret.

memungkinkan. Jelaskan kepada klien tentang kegunaan

Pengetahuan yang diharapkan akan

batuk efektif dan mengapa terdapat

membantu mengembangkan

penumpukan

kepatuhan

sekret di saluran pernapasan.

klien terhadap rencana terapeutik.

Ajarkan klien tentang metode yang tepat

Batuk yang tidak terkontrol adalah

untuk pengontrolan batuk.

melelahkan dan tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.

Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak Memungkinkan ekspansi paru lebih mungkin.

luas.

Lakukan pernapasan diafragma.

Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.

Tahap napas selama 3-5 detik kemudian

Meningkatkan volume udara

secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak

dalam

paru,

mungkin

mempermudah pengeluaran sekresi

melalui mulut.

sekret.

Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan

Pengkajian

dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan

ini

membantu

mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

kuat. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien

Sekresi

kental

sulit

untuk

di

batuk.

encerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada atelektasis.

Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan

Untuk menghindari pengentalan

viskositas sekresi. : mempertahankan

dari sekret atau mosa pada saluran

hidrasi

napas pada bagian atas.

yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000-1500

cc/hari

bila

tidak

kontraindikasi.

a d a

Dorong atau berikan perawatan mulut yang

Higine mulut yang baik

baik setelah batuk.

meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

Kolaborasi dengan dokter,

radiologi, dEkspektoran

fisioterapi.

untuk

a

memudahkan

Pemberian ekspektoran.

nmengeluarkan

lendir

dan

Pemberian antibiotic.

mengevaluasi

perbaikan

kondisi

Fisioterapi dada.

klien atas pengembangan parunya.

Konsul foto thoraks. Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi

Mengatur ventilasi paru- Segmen

seperti postural drainage, perkusi/penepukan. paru pengeluaran sekret. Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan melepaskan indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol sekret karena relaksasi sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride

muscle/bronchospasme.

(bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder. Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang. Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah. Intervensi

Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda

Pendekatan dengan

nyeri nonfarmakologi dan non-invasif.

menggunakan relaksasi dan

nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. Ajarkan relaksasi : Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan

Akan melansarkan peredaran

otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas

darah sehingga

nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.

kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.

Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.

Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa Istirahat akan merelaksasikan nyeri dan berikan posisi yang nyaman misalnya semua jaringan sehingga akan ketika tidur, belakangnya dipasang

meningkatkan kenyamanan.

bantal kecil. Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri Pengkajian yang optimal akan dan respons motorik klien, 30 menit setelah memberikan perawat data yang pemberian

obat

analgesic

untuk

mengkaji objektif

untuk

mencegah

efektivitasnya serta setiap 1-2 jam

kemungkinan komplikasi dan

setelah tindakan perawatan selama 1-2 hari.

melakukan

intervensi

yang

tepat. Kolaborasi

dengan

dokter,

pemberian

Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga

analgetik.

nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia. Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan. Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK, Intervensi

Rasional

Kaji ulang tanda-tanda vital klien

Mengkaji

dan status relirologis klien

kecenderungan pada tingkat kesadaran

adanya

dan

peningkatan

potensial

TIK

bermanfaat

dan dalam

menentukan lokasi, perluasan

dan

perkembangankerusakan ssp. Monitor tekanan darah, catat adanya hipertensi

Peningkatan tekanan darah

sistolik secara teratur dan tekanan nadi yang

sistemik yang diikuti

makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami

penurunan tekanan darah

trauma multiple.

distolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat mengakibatkan kerusakan /

iskemik serebral. Monitor Heart Rate, catat adanya bradikardi,

Perubahan pada ritme

takikardi atau bentuk disritmia lainya.

(paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang encerminkan adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.

Monitor pernafasan meliputi pola dan ritme,

Nafas tidak teratur

seperti periode apnea setelah hiperventilasi

menunjukkan adanya gangguan

(pernafasan cheyne – stokes).

serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan.

Kaji perubahan pada penglihatan ( penglihatan

Gangguan penglihatan dapat

kabur, ganda, lap. Pandang menyempit

diakibatkan oleh kerusakan

dan kedalaman persepsi.

mikroskopik pada otak, merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi

Pertahankan kepala / leher pada posisi tengah/ pada Kepala yang miring pada salah posisi netral. Sokong dengan handuk

satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat

kecil /

aliran darah lain yang

bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada

selanjutnya akan meningkat

kepala

TIK.

Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 – 45o

Meningkatkan aliran balik vena

sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi.

dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema / resiko terjadinya peningkatan TIK.

Kolaborasi pemberian O2 tambahan sesuai indikasi Menurunkan hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang meningkatkan TIK. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi :

Untuk menurunkan

- Diuretik

air dari sel otak,

- Steroid

menurunkan edema

- Analgetik sedang

otak

- Sedatif

TIK. Menurunkan inflasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Menghilangkan nyeri dan dapat berakibat Θ pada TIK tetapi harus digunakan dengan hasil untuk mencegah gangguan pernafasan. Untuk mengendalikan kegelisahan

DX 6 : gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan kebutuhan metabolisme. Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi klien terpenuhi. Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan laboratorium. Intervensi

Rasional

Mandiri

Klien dengan tracheostomy

Evaluasi kemampuan makan klien

tube

mungkin

sulit

untuk

makan, tetapi klien dengan endotracheal

tube

dapat

menggunakan mag slang atau memberi makanan parenteral. Observasi/timbang berat badan jika

Tanda kehilangan berat

memungkinkan.

badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan terhadap pemasangan ventilator.

Catat pemasukan peroral jika diindikasikan.

Nafsu makan biasanya

anjurkan klien untuk makan

berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).

Berikan makanan kecil dan lunak

Mencegah

terjadinya

kelelahan,

memudahkan

masuknya

makanan,

dan

mencegah

gangguan

pada

lambung.

Kolaborasi

Diet tinggi kalori, protein,

Aturlah diet yang diberikan sesuaii keadaan klien

karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi co2 dan pengaturan sisa respirasi.

Lakukan pemeriksaan laboratorium yang

Memberikan informasi

diindikasikan seperti serum,

yang tepat tentang

transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.

keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.

BAB III LAPORAN KASUS KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS SAM RATULANGI FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN KAMPUS UNSRAT KOTAK POS No. 333 MANADO 95115SULAWESI UTARA

PENGKAJIAN

Identitas Nama

: Tn. GT

Umur

: 23 Tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Alamat

: Desa Toruakat dusun V, Kex. Dumoga Timur, Kab. Bol.Mong

Diagnosa Medis

: Cedera Kepala Berat + kontusio jaringan

Tgl/Jam Pengkajian : 21 Febuari 2019 07.10 wita

1.

Pengkajian Kondisi Mental A

: ...............................................................................................................

V

: ...............................................................................................................

P

: Saat dikaji, klien hanya berespon terhadap rangsangan nyeri kesadaran koma

U

2.

: ...............................................................................................................

Primary Survey

Airway

: Gurgling, sumbatan oleh lendir bercampur darah, warna kemerahan, kental.

Breathing : Gerakan dada teratur, respirasi 30x/menit, terpasang O2 4 L/m via nasal kanule. SpO2 96%

Circulation : Nadi teraba kuat, 109x/menit, reguler, isi cukup akral hangat, CRT ≤ 2 detik turgor kulit kembali cepat.

Disability/Dehydration : Keadaan umum berat, kesadaran koma, GCS: E1 M1 V1

3.

Secondary Survey

EKG / Exposure

: EKG: sinus takikardi 109x/m. terdapat edema pada

mata kiri dan kanan, tampak jejas pada perut bagian kanan ukuran 5x6 cm dan 4x2 cm

Fluid dan Farenheit : klien terpasang IVFD Nacl 0,9% di tangan kanan, SB: 36,5ºc

Get Vital Sign

: .TD:130/60 mmHg, N: 109x/menit, R: 30X/MENIT,

sb: 36,5°c

History 

Keluhan Utama : Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas.



Riwayat Kesehatan Sekarang : Penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalu lintas dialami klien sejak 7 jam sebelum masuk RS. Awalnya klien sedang digonceng dengan sepeda motor, tiba-tiba ada bentor jatuh setelah menabrak motor di depannya, sehingga sepeda motor klien ikut menabrak bentor tersebut, sehingga jatuh. Klien pingsang sampai sekarang. Mekanisme jatuh tidak diketahui, muntah tidak diketahui, kemudian klien dibawah ke RS Monompia lalu di rujuk ke RSUP Prof Dr. R. D Kandou Manado



Riwayat Penyakit Dahulu / Riwayat Penyakit Keluarga : Klien sebelumnya belum pernah dirawat di rumah sakit, tidak ada riwayat penyakit dalam keluarga, semua anggota keluarga dalam keadaan sehat.

Head to toe 

Kepala

: tampak edema pada regio temporopariental oecipital

kiri, penyebaran rambut merata warna rambut hitam, tidak ada perdarahan, sesekali tampak klien meringis (mengecutkan dahi)



Mata

: simetris, pupil anisokor kanan 2 mm, kiri 5 mm,

refleks cahaya negatif kiri dan kanan, edema palpebra kiri. 

Hidung

: terletak ditengah, tidak ada benjolan atau polip

pernapasan teratur 30x/menit terpasang nasal canule 

Mulut

: mukosa lembab, tidak sianosis, ada sumbatan lendir

bercampur darah, warna kemerahan, kental. 

Leher

: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran tiroid. Tidak

ada pembesaran kelenjar getah bening, trakhea ditengah. 

Dada

: tidak tampak pengunaan otot bantu napas, pergerakan

dada simetris, bunyi jantung normal, tidak ada suara napas abnormal, respirasi 30x/menit reguler. Tidak ada jejas. 

Perut

: Datar lemas, tampakjejas pada perut sebelah kanan,

ukuran 5x6cm dan 4x2cm 

Kelamin



Ekstremitas atas

: Tidak ada kelainan, terpasang kateter urine.. : Simetris kiri dan kanan, tidak ada luka, warna kulit

cokelat, kekuatan otot menurun pada tangan sebelah kanan, ada gerakan tidak terkoordinasi. 

Ekstremitas bawah:Simetris kiri dan kanan, tidak ada luka, warna kulit cokelat, kekuatan otot menurun pada kaki sebelah kanan ada gerakan tidak terkoordinasi.



Anus

: Tidak ada hemoroid interna dan eksterna



Kulit

: warna cokelat, turgor kembali cepat, CRT ≤ 2 detik,

tidak ada luka terbuka. 

Psikososial

: klien tidak sadarkan diri, sebelumnya hubungan

psikososial klien dengan keluarganya dan lingkungan sekitarnya berjalan harmonis.

Pemeriksaan Penunjang : Hematologi 21/02/2019 Hematologi

Nilai rujukan

hasil

Leukosit

4.0-10.0 10³/uL

14.4



Eritrosit

4.70-6.10 10 /uL

5.82

n

Hemoglobin

13,0-16,5 g/dL

15.1

n

Hematokrit

39.0-51.0 %

45.8

n

Trombosit

150-450 10³/uL

192

n

MCH

27.0-35.0 pg

25.9



MCHC

30.0-40.0 g/dL

33.0

n

MCV

80.0-100.0 fL

78.7



SGOT

<33 uL

25

n

SGPT

<44 uL

14

n

Ureum

10-40 mg/dL

16

n

Creatinin

0.5-1.5 mg/dL

0.7

n

GDS

70-140 mg/dL

205



Clorida

98.0-109.0 mEq/L 96.1



Kalium

3.50-5.30 mEq/L

4,63

n

Natrium

135-153 mEq/L

135

n

PT

12.0-16.0 detik

17,7



APPT

0.80-1.30 detik

1,39



INR

27.0-39.0 detik

36,3

n

2. EKG tanggal 21/02/2019 Sinus takikardi 109/menit 3. Rontgen thorax, skull, cervical tanggal 21/02/2019 Mormal, tidak ada garis fraktur 4. CT-Scan tanggal 21/02/2019 - lesi hiperderis regio temporaparietooccipital sinistra dengan volume 160cc - midline shift ˃ 1 cm 5. bone window tanggal 21/02/2019 - tidak tampak garis fraktur

therapy 1. IVFD Nacl 0.9 % 20 tpm 2. Paracetamol drips 3x1 gr/IV 3. Manitol 20% drips loading 250ml, lanjut 125 ml/6 jam IV 4. RANITIDINE 50 MG/12 Jam IV 5. Ketorolac 30mg/8 jam IV 6. Cefriaxone 1gr/12 jam IV

KLASIFIKASI DATA

Data Subjektif

Data Objektif

1. Keluarga mengatakan ada

1. Tampak sekret di mulut

lendir di mulut klien

2. Sekret warna kemerahan

2. Keluarga mengatakan kepala klien benjol/ bengkak 3. Keluarga mengatakan tangan

3. Sekret tampak kental 4. Terdengar suara napas gurgling 5. Vital sign

dan kaki klien sebelah kiri

TD : 130/60 mmHg

kadang bergerak tak

N : 109x/mnt

terkontrol

R : 30x/mnt Sb : 35,5 6. GCS : E1M4V1 7. Hasil CT scan : lesi hiperdens regio temporoparietoopital sinistra dengan volume 160cc, midline shift >1cm 8. Sp02 : 96% 9. Terpasang 02 4L/mnt nasal kanul 10. Tampak gerakan tangan dan kaki kiri tak terkoordinasi 11. Sesekali wajah klien tampak meringis (dahi mengkerut) 12. Sesekali terdengar klien mengerang 13. Skala nyeri 5(FLACC)

Penyimpangan KDM Cidera Kepala Berat Trauma Kepala (Ekstrakranial, Tulang kranial, Intrakranial)

Terputusnya kontuinitas jariangan kulit, otot dan voskuler

Perdarahan/hematoma

Peningkatan TIK

Tekanan pada serebri

Merangsang reseptor nyeri otak

Penuruan fungsi neurologis

Nyeri dipersepsikan

Nyeri Akut

Suplai darah terganggu

Iskemia

Refleks batuk menurun

Penumpukan secret di jalan nafas

Penyumatan pada jalan nafas

Hipoksia

Perfusi serebral tidak efektif

ANALISA DATA No

Data

Etiologi

Masalah keperawatan

1

DS

Penumpukan

Bersihan jalan

-Keluarga mengatakan ada

sekret di jalan

napas tidak efektif

lendir di mulut klien

napas

DO -Tampak sekret di mulut -Sekret warna kemerahan -Sekret tampak kental -Terdengar suara napas gurgling -Vital sign TD : 130/60 mmHg N : 109x/mnt R : 30x/mnt Sb : 35,5

2

DS -Keluarga mengatakan kepala klien benjol/ bengkak DO -GCS : E1M4V1 -CT Scan : lesi hiperdens regio temporoparietoopital sinistra dengan volume 160cc, midline shift >1cm -Sp02 : 96%

Trauma kepala

Perfusi cerebral tidak efektif

-Terpasang 02 nasal kanul 4L/mnt

3

DS -Keluarga mengatakan tangan dan kaki kiri klien kadang bergerak tak terkontrol DO -Tampak gerakan tangan dan kaki kiri tak terkoordinasi -Sesekali wajah klien tampak meringis (dahi mengkerut) -Sesekali terdengar klien mengerang -Skala nyeri 5 (FLACC)

Nyeri

Nyeri akut

DIAGNOSA DAN PERENCANAAN KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan NO 1 Bersihan jalan napas tidak efektif b/d peningkatan produksi sekret , penurunan refleks batuk di tandai dengan DS -Keluarga mengatakan ada lendir di mulut klien DO -Tampak sekret di mulut -Sekret warna kemerahan -Sekret tampak kental -Terdengar suara napas gurgling -Vital sign TD : 130/60 mmHg N : 109x/mnt R : 30x/mnt

Perencanaan Keperawatan Tujuan Jalan napas kembali paten, ventilasi berjalan lancar setelah di berikan tindakan keperawatan selama 6 jam, dengan kriteria hasil; 1. Menunjukan jalan napas yang paten, tidak terdengar gurgling 2. Irama dan frekuensi napas dalam batas normal 16-24x/mnt 3. Irama pernapasan teratur

Intervensi Rasional 1. Kaji airway klien 1. Mengetahui jenis 2. Monitoring suara napas sumbatan jalan napas dan tambahan menentukan intervensi 3. Buka jalan napas yang akan dilakukan 4. Pasang OPA 2. Mengetahui adanya 5. Lakukan suction sumbatan jalan napas 6. Anjurkan keluarga sampai ke paru-paru untuk melaporkan jika 3. Memaksimalkan ada lendir di jalan napas kepatenan jalan napas 7. Kolaborasi dalam 4. Memaksimalkan jalan pemasangan ETT jika napas tetap terbuka perlu 5. Membantu membebaskan jalan napas 6. Memastikan patensi jalan napas 7. Menjaga jalan napas tetap paten

Sb : 35,5

DIAGNOSA DAN PERENCANAAN KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan

Perencanaan Keperawatan NO Tujuan Intervensi Rasional 2 1. Kaji status neurologis dan 1. Mengetahui tingkat kesadaran Perfusi jaringan cerebral Perfusi cerebral kembali efektif/ normal setelah GCS klien tidak efektif b/d edema diberikan tindakan 2. Monitor pupil, ukuran, 2. Mengetahui seberapa besar keperawatan selama 6 respon cahaya dan gerak luas kerusakan pada otak cerebri di tandai dengan jam dengan kriteria hasil mata 3. Menentukan intervensi DS 1. Tidak terjadi 3. Evaluasi keadaan motorik selanjutnya peningkatan TIK dan sensorik klien 4. Mengetahui tanda-tanda -Keluarga mengatakan 2. GCS meningkat 4. Kaji vital sign secara berkala peningkatan tekanan intra kepala klien benjol/ secara bertahap 5. Pertahankan klien bedrest kranial 3. Vital sign dalam total 5. Mencegah meningkatan TIK bengkak batas normal 6. Pertahankan posisi kepala 6. Mengurangi peningkatan TIK DO 10-30 derajat 7. Mencegah perluasan TD: 120/80 mmHg 7. Anjurkan keluarga untuk kerusakan otak dan -GCS : E1M4V1 N : 60-100x/mnt menjega goncangan pada pendarahan cerebral R; 16-24 x/mnt -CT Scan : lesi hiperdens kepala 8. Mengurangi beban kerja SB: 36-37 jantung regio

temporoparietoopital sinistra dengan volume

4. Sp02 dalam batas normal 97-100%

160cc, midline shift

8. Kolaborasi dalam pemberian anti edema cerebral 9. Kolaborasi untuk tindakan pembedahan

9. Membantu hematom

mengeluarkan

>1cm -Sp02 : 96% -Terpasang 02 nasal kanul 4L/mnt

DIAGNOSA DAN PERENCANAAN KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan

Perencanaan Keperawatan NO Tujuan Intervensi Rasional 3 1. Kaji tingkat nyeri 1. Mengetahui tingkat nyeri dan Nyeri akut b/d agen Nyeri akut dapat berkurang atau dapat 2. Berikan posisi nyaman intervensi yang akan di berikan cedera fisiologis edema ditoleransi setelah 2. Mengurangi tekanan intra Kepala 10-30 derajat kranial cerebri peningkatan TIK diberikan tindakan 3. Berikan oksigen adekuat keperawatan selama 6 4. Anjurkan agar keluarga Sehingga mengurangi persepsi Di tandai dengan jam menjaga posisi kepala 10-30 nyeri Dengan kriteria hasil derajat

DS -Keluarga

mengatakan

tangan dan kaki kiri klien kadang

bergerak

tak

terkontrol DO -Tampak gerakan tangan dan

kaki

kiri

tak

terkoordinasi -Sesekali

wajah klien

tampak meringis (dahi mengkerut) -Sesekali terdengar klien mengerang -Skala nyeri 5 (FLACC)

1. Klien tampak lebih tenang 2. Vital sign dalam batas normal TD: 120/80 mmHg N : 60-100x/mnt R; 16-24 x/mnt SB: 36-37 3. Skala nyeri 2-3 (FLACC)

5. Kolaborasi dalam pemberian analgetik dan antibiotik

3. Membantu mengurangi metabolisme anaerob sehingga tidak terjadi penumpukan asam laktat 4. Mempertahankan dan mengurangi tekanan intrakranial 5. Membantu menurunkan nyeri dan edema cerebral

CATATAN PERKEMBANGAN HARI/ TGL : 21 Februari 2019

NO WAKTU 1

07.10

RUANGAN : Resusitasi

IMPLEMENTASI

EVALUASI

1. Mengkaji jalan nafas klien :

21 Februari 2019 , jam

jalan nafas ada cairan 07.12

07.15

2. Memonitor

suara

tambahan,

terdengar

13. 20 nafas bunyi S. Keluarga menyatakan

gargling di jalan nafas 3. Membuka

jalan

sudah nafas:

tidak

keluar

lendir dari mulut klien

melakukan teknik Cross figer 07.18

swab. Hasil: mulut klien susah O. – terbuka OPA:

Dengan

mulut

berhasil dipasang, OPA no 3

-

Jalan nafas paten

ukuran 99 mm

-

Tidak

terdengar

suara

nafas

suction

melalui

OPA selama < 10detik dngan

tambahan

cara memutar, hasil keluar

gurgling

lendir

berwarna

kemerahan

sebanyak ± 10 ml 08.30

selang ETT, OPA dan

bantuan tongue spatel OPA

5. Melakukan 07.30

tampak

peneluaran secret di

4. Memasang 07.20

tidak

6. Menganjurkan keluarga untuk

-

atau

TTV: TD: 118/69 mmHg

N: 75x/m, R: 16x/m on

segera melaporkan jika ada

ventilator,

lendir di mulut atau ada suara

36,4oC

SB:

nafas kumur-kumur (gurgling): keluarga mengerti dan mau A. Masalah teratasi melakukanya P. Intervensi dihentikan

7. Menanyakan

kepada

dokter

apakah perlu dikonsulkan ke bagian

anastesi

pemasangan

untuk

ETT:

Advice

dokter konsul sudah di antar tinggal menunggu tim anastesi datang. -

Membantu

menyiapkan

peralatan intubasi -

Klien sudah dipasang ETT no 7 dengan kedalaman 21 cm batas bibir

-

ETT

sambung

ventilator

mode

dengan SIMV

dengan TV: 450 ml, PEEP :5, F102: 86%, SPO2 : 99 %

2

07.20

1. Mengkaji

status

GCS

dan 21 Februari 2019 jam

neurologis klien. KU: Berat, 13.20

07.35

kesadaran : koma, GCS: E1 M4 S. Keluarga

klien

V1

klien

mengatakan

2. Memonitor

pupil,

ukuran,

belum sadar.

respon terhadap cahaya dan gerakan mata ;

O. - Klien belum sadar

- pupil klien Anisokor kanan 2mm, 07.40

kiri 5mm

(OPA dan ETT)

- Respon terhadap cahaya -/-

- SPO2 : 99%

- tidak ada gerakan bola mata

- Vital sign :

3. Mengevaluasi keadaan motorik 08.00

- GCS : E1 M4 Vx

TD : 118/69 mmhg

dan sensorik klien ; motoric

N : 75x/m

menurun

R : 16x/m on ventilator

pada

sisi

tubuh

sebelah kanan, sensorik juga

SB : 36,40C

menurun pada tubuh sebelah 09.00

kanan.

A. Masalah belum teratasi

4. Mengkaji vital sign secara berkala ; 10.00

- Vital sign : TD : 126/65 mmhg Keperawatan diruangan R: 28x/m on ventilator (No : 1,2,3,4,5,6,7,8) N: 100x/m

11.00

P. Lanjutkan intervensi

SB:

36,80C - Vital sign : TD : 120/61 mmhg R: 16x/m on ventilator

12.00

N: 98x/m

SB:

36,50C - Vital sign : TD : 110/50 mmhg 13.00

R: 18x/m on ventilator N: 90x/m

SB:

36,40C 08.15

- Vital sign : TD : 116/60 mmhg R: 17x/m on ventilator

08.45

N: 92x/m

SB:

36,50C 09.05

- Vital sign : TD : 118/69 mmhg R: 18x/m on ventilator

12.00

`

N: 89x/m

SB:

36,30C 11.45

- Vital sign : TD : 120/72 mmhg R: 16x/m on ventilator N: 84x/m

SB:

36,40C 5. Mempertahankan klien bedrest 13.00

total ; membatasi pengunjung dan penjaga klien.

13.10

6. Mempertahankan posisi kepala

13.20

klien 300 menjaga agar kepala klien tidak banyak pergerakan. 7. Menganjurkan keluarga untuk mencegah

goncangan

pada

kepala klien 8. Melayani pemberian anti edema cerebral – Drips mannitol 20% loading 250 ml/IV 9. Menanyakan

kepada

dokter

bedah apakah perlu tindakan pembedahan/trepanasi Jawaban : karena posisi pendarahan di

Epidural

maka

klien

direncanakan untuk trepanasi - Menyiapkan

informed

consent untuk trepanasi - Menyiapkan persiapan darah 2 kantong

- Membantu

memindahkan

klien ke OK CITO untuk tindakan operasi trepanasi

3

07.25

1. Mengkaji

tingkat

nyeri 21 Februari 2019 jam

menggunakan skala FLACC, 13.20 07.40

hasil skor ; 5 (nyeri sedang) 2. Memberi posisi nyaman, posisi S. Keluarga mengatakan

08.25

kepala head up 10-300 3. Memberikan

08.45

tangan dan kaki klien

oksigenasi

tidak bergerak seperti

adekuat 8 lpm via simple mask

sebelumnya (tidak ada

; hasil klien tampak lebih

pergerakan

tenang

terkoordinasi)

4. Menganjurkan

tak

keluarga O. - Klien tampak lebih

menjaga agar posisi kepala

tenang

tetap 10-300 dan mengurangi

- Vital sign

10.15

goncangan pada kepala klien

10.30

5. Melayani pemberian analgetik

TD : 118/69 mmhg N : 75x/m

dan antibiotik,

R : 16x/m on ventilator

- Ranitidine 50 mg/IV

SB : 36,40C

- Ketorolae 30 mg/IV

- Skala

- Ceftriaxone 1 gr/IV - Paracetamol 1 gr/IV Semua

nyeri

3

(FLACC) A. Masalah belum teratasi

therapy

dipastikan P. Lanjutkan interverensi masuk melalui rute intravena Keperawatan di ruangan (No : 1,2,3,4,5)

BAB IV PEMBAHASAN

Mahasiswa Program profesi Ners Universitas Sam Ratulangi Manado telah melaksanakan proses asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi pada tanggal 21 febuari 2018 di ruangan resusitasi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou, Kelompok membandingkan antara konsep teoritis dengan studi dilapangan. Pada pengkajian pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan format pengkajian keperawatan gawat darurat yang telah di tetapkan. Tn. G.T umur 23 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 21 februari 05.50 di rujuk dari RS Monompia Kotamubagu dengan keluhan utama penurunan kesadaran akibat kecelakaan lalulintas di alami klien 7 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat dilakukan pengkajian primer didapatkan : 1.

Airway : jalan nafas ada Gurgling, sumbatan oleh lendir bercampur darah, warna kemerahan, kental. karena adanya fraktur basis krani anterior jadi dasar tengkorak retak menyebabkan bocor cairan cerebri cerebra spinal pasti ada pembuluh darah yang pecah sehingga bercampur darah. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar , yang disebabkan oleh benda asing, muntahan , jatuhnya pangkal lidah atau akibat fraktur tulang wajah . usaha untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikalis , yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi atau rotasi yang berlebihan dari leher (Ester, 2001)

2.

Breathing : Gerakan dada teratur, respirasi 30x/menit, terpasang O2 4 L/m via nasal kanule. SpO2 96%

3.

Circulation: Nadi teraba kuat, 109x/menit, reguler, isi cukup akral hangat, CRT ≤ 2 detik turgor kulit kembali cepat. CRT <2 detik karena pengisian kapiler masih cukup dan belum syok. Saat dikaji klien berespon dengan ransangan nyeri , Ku berat,

kesadaran coma, GCS E1M4V1, klien merespon dengan rangsangan

nyeri, KU berat, otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi . energi yang dihasilkan di dalam saraf hamper seluruhnya melalui proses oksidasi, otak tidak mempunyai cadangan oksigen , jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi . demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg % karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh , sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampi 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral (Brunner & Suddart, 2003) gerakan fisik yang dilakukan klien menurun, klien tidak ada respon bicara. R : 30x/menit, SB : 36,5°C , SpO2 : 96%. Pada pengkajian fisik ditemukan pupil anisokor, pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural. Hematom epidural adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak (Farnisyah Febriani, 2013), sesuai dengan ditemukannya edema pada region tempoparieto oxyptal sinistra dengan perdarahan 160 cc, Terdapat jejas di perut sebelah kanan. Terpasang kateter karena pasien penurunan kesadaran dan tidak mengontrol perkemihan , dan untuk melihat adanya hematuri. Pada pemeriksaan penunjang menunjukan leukositosit 14,4 10^3/ UL karena mengalami reaksi inflamasi. Beberapa menit dan jam setelah terjadi cedera kepala terjadi beberapa keadaan patologis seperti : kerusakan Blood Brain Barrier (BBB), pengeluaran senyawa eksitotoksik, cedera aksonal dan kematian neuron. Reaksi inflamasi setelah cedera kepala dimulai dari keluarnya komponen intraseluler menuju ke

parenkim akibat kerusakan sel, aktivasi mikroglia dan

astrosit yang istirahat, produksi sitokin dan kemokin dan munculnya reaksi sel imun perifer ke dalam otak. Proses ini berpengaruh satu sama lain dan membentuk sebuah interaksi yang kompleks. Oleh karena itu, berdasarkan terjadinya reaksi inflamasi setelah cedera kepala, para peneliti mencoba modulasi terapi dengan mempengaruhi jalur inflamasi

untuk mencegah terjadinya cedera sekunder dan diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesembuhan (Gyonefa, 2015). Pemeriksaan EKG terdapat sinus takikardi karena adanya herniasi otak atau bergeser normalnya kosndisi ini dipicu oleh pembengkakan otak. , Terapi yang di berikan IVFD Nacl 0,9% 20 tpm, pemberian Nacl adalah untuk mencegah terjadinya syok. Paracetamol drips 3x1 gr/iv, paracetamol sebagai analgesik dan antipiretik, tapi yang dipakai analgesiknya untuk pencegahan karena pasien dengan CKB tetap akan hipertermi walaupun suhu badan pasien belum hipertermi. Mannitol 20% drips loading 250 ml, lanjut 125 ml/ 6 jam/iv. Manitol adalah obat diuretik yang digunakan untuk mengurangi tekanan dalam kepala (intrakranial) akibat pembengkakan otak. Hal ini mengakibatkan tubuh membuang air dalam bentuk urine lebih banyak. Pembuangan urine yang banyak ini membuat kandungan air di sel otak dan bola mata juga berkurang, sehingga tekanan menurun. Ranitidine 50 mg/ 12 jam / iv, ranitidine untuk netralisis asam lambung karena akan dimasukkan anakgesik dan antibiotik yang efek sampingnya dapat meningkatkan asam lambung. Ketorolac 30 mg/ 8 jam /iv, ketorolac sebagai analgetik, tapi ini hanya extra karena selanjutnya diberikan NaCl drips ketorolac 3 ampul 14 gtt/mnt. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam /iv, ceftriaxone sebagai antibiotik karena ada perdarahan dan terputusnya kontinuitas jaringan otak makanya leukosit meningkat, sebagai tanda adanya infeksi, tapi di kasus tidak diangkat diagnosa resiko infeksi karena didarurat tidak mengambil diagnosa resiko. Berdasarkan data di atas kami mengambil diagnosa prioritas yang pertama adalah bersihan jalan nafas tidak efektif karena pada jalan napas tersumbat apalagi dengan benda cair dapat menyebabkan aspirasi, itu lebih mengancam nyawa, apalagi pada pasien tidak sadar dan refleks menelan atau batuk tidak ada. Menurut Nanda (2006) bersihan jalan nafas tidak efektif adalah ketidakmampuan dalam membersihkan sekresi atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk menjaga bersihan jalan nafas data yang menunjang munculnya diagnose tersebut adalah

suara nafas ronchi , terdapat produksi sputum dan gelisah Diagnosa yang kedua adalah perfusi cerebral tidak efektif karena sesuai primary survey di Gadar yaitu ABC, jalan nafas yang prioritas (airway). Menurut Nanda (2006) gangguan perfusi serebral adalah penurunan kadar oksigen sebagai akibat dari kegagalan dalam memelihara jaringan di tingkat kapiler. Diagnosa yang terakhir adalah nyeri akut, untuk kaji nyeri dibawah 3 tahun dan dewasa tanpa ventilator, untuk skornya 1-3 ringan, 4-6 sedang, dan 7-10 berat. Intervensi untuk diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif yaitu membuka jalan nafas, pasang opa,lakukan suction, kolaburasi dengan dokter untuk pemasangan ETT, untuk diagonosa yang kedua perfusi cerebral tidak efektif intervensi yang dilakukan adalah mengakji status GCS, monitor pupil , mengkaji vital sign, mempertahankan bedrest, mempertahankan posisi kepala, melayani pemberian anti edema cerebral, menanyakan pada dokter bedah apakah perlu tindakan pembedahan/trepanasi, diagnose yang ketiga nyeri akut intervensi yang dilakukan yaitu mengakaji jalan nafas, monitor suara nafas, memasang opa, melakukan suction.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Pada kasus Tn G. T didapatkan data yang mendukung penegakan diagnosis keperawatan, yaitu : 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekret , penurunan refleks batuk 2. Perfusi jaringan cerebral tidak efektif berhubungan dengan edema cerebri 3. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisiologis edema cerebri peningkatan TIK

B. Saran 1. Kepada Masyarakat Cedera kepala dapat terkena pada siapa saja. Banyak yang terkena pada usia produktif. Sebelum cedera kepala mengenai gunakan alat pelindung kepala yang sesuai standar. Khususnya bagi pengendara kendaraan bermotor, pekerja konstruksi hendkanya memakai pelindung kepala yang standar. 2. Kepada Tenaga Kesehatan Pasien-pasien dengan cedra kepala dapat memburuk jika tidak ditangani secara optimal. Berikanlah perawatan yang optimal, cepat, tanggap, dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC Gyonefa, S, Ransohoff RM. 2015. Inflammatory Reaction After Traumatic Brain Injury: Theurapetic Potential of Targeting Cell-Cell Communication by Chemokines, Neuro/Immuno Discovery Biology, Cambridge : Elsevier Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC http://www.pdfcoke.com/doc/20357839/Cedera-Kepala http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluancedera-kepala.html

Related Documents


More Documents from ""