Cedera Kepala..doc

  • Uploaded by: Monna Yudikva Sawamanay
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cedera Kepala..doc as PDF for free.

More details

  • Words: 8,625
  • Pages: 49
DAFTAR ISI BAB 1 :

Pendahuluan ………………………………………………..

1

1.1 Latar Belakang …………………………………………

1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………..

3

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………

3

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………..

4

BAB 2 : Tinjauan Pustaka ……………………………………………..

5

2.1 Cidera Kepala …………………………………………..

5

Cidera Otak Primer ……………………………………..

7

2.1.1

Cidera pada SCALP ………………….……………...

7

2.1.2

Fraktur Linier Kalvaria ……………………………...

8

2.1.3

Fraktur Depresi ………………………..……………..

9

2.1.4

Fraktur Basis Cranii ………………………………...

10

2.1.5

Penanganan dari Fraktur Basis Cranii …………..…… 10

2.2 Komosio Serebri ……………………………………….. 11 2.3 Kontusio Serebri ……………………………………….. 11 2.4 Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom) ………. 12 2.4.1

Subdural Hematom (SDH) …………………..……… 13

2.4.2

Intracerebral Hematom (ICH) ……………………….. 14

2.5 Cidera Otak Sekunder ………………………………….. 15 2.5.1

Edema Serebri ………………………………..……… 15

2.5.2

Edema Serebri Vasogenik ………………………….

15

2.5.3

Edema Serebri Sitostatik ……………………………

16

2.5.4

Tekanan Intra Kranial ……………………………..… 16

2.5.5

Penangganan Pertama Kasus Cidera Kepala di UGD ……………………………………...

17

2.6 Glasgow Coma Scale (GCS) ……………………………. 19 2.7 Indikasi Foto Polos Kepala ……………………………… 21

2.7.1

Indikasi CT Scan …………………………

21

2.8 Cidera Kepala yang Perlu Masuk Rumah Sakit (MRS)…. 22 2.8.1

Perawatan diRumah Sakit ………………………….... 23

2.8.2

Perawatan diRumahSakit Bila GCS<13 ………….…. 24

2.10

Transpor Oksigen ………………………………………

25 2.10.1 Sistem Pernafasan yang Membaw O2 Udara Alveoli, Kemudian Difusi Masuk Kedalam Darah ……………...26 2.10.2 Sistem Sirkulasi yang Membawa Darah Berisi O2 Kejaringan ………………………………… 27 2.10.3 Sistem O2-Hb dalam Eritrosit dan Transpor Ke sel Jaringan ……………………. BAB 3

BAB 4

:

:

28

Kerangka Konsep …………………………………….

29

3.1 Kerangka Konsep Penelitian …………………...

29

3.2 Hipotesis Penelitian …………………………….

30

Metode dan Pelaksanaan Penelitian ……………………

31

4.1 4.2

Rancangan Penelitian ………………………….. 31 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Sampling ………………………………

31

4.2.1 Populasi ………………………………………..

31

4.2.2 Sampel …………………………………………

32

4.2.3 Besar Sampel ……..………………..…………..

32

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel …………………..

33

4.3

Variabel Penelitian ……………………………..

33

4.3.1 Variabel Bebas …………………………………

33

4.3.2 Variabel Tergantung ……………………………

33

4.3.3 Variabel Kendali …………………...………….

34

4.3.4 Variabel Moderator …………………..……..….

34

4.4

Definisi Operasional ……………………………

34

4..4.1 Pemberian Oksigen Masker Biasa ……………….. 34 4.4.2 Pemberian Oksigen dengan Kateter Atau Kanule Nasal ……………………………….. 34 4.4.3 Instrumen Penelitian ……………….…………… 35 4.4.4 Bahan Penelitian ………………………………..

35

4.4.5 Pelaksanaan Penelitian ………..……………….

36

4.4.6. Alur Penelitian ……………………….

37

DaftarPustaka …………………………………………………………..

39

Lembar Pengumpulan Data ……………………………………………..

42

Alat Ukur ……………………………………………………………….

43

Surat Persetujuan Penelitian

Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : ……………………………………………………… Umur/Jenis Kelamin : ……………………tahun, Laki-laki/Perempuan * ) No. KTP/SIM/Paspor *) : ……………………………………………………… Alamat : ………………………………………………………. ………………………………………………………. Untuk Diri Sendiri Istri Suami Anak Orang Tua Lainnya ……. Nama Pasien : ………………………………………………………... Umur/Jenis Kelamin : …………………….tahun, Laki-laki/Perempuan *) Alamat : ……………………………………………………….. Ruangan : ………………………………………………………… Rekam Medis No : ……………………………………………………….. Dengan ini menyatakan sesungguhnya telah Memberikan Persetujuan Penelitian Data Medik. . Saya menyatakan telah memberikan persetujuan penggunaan data medik saya sebagai penelitian. Peneliti

( Ni Luh Widiasih)

Surabaya, …………….

(

) Pasien Nama Jelas

SAKSI BUKAN DOKTER/PERAWAT. 1. ……………………………………… ( ………………………………………..) 2. ……………………………………… (……………………………………….. )

KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia –nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “ Observasi pengaruh pemberian oksigen masker 8 lpm dengan oksigen nasal 2 lpm terhadap derajat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang di I.R.D. R.S.U.D.Dr Soetomo” dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari semua pihak yang terkait skripsi ini tidak dapat terwujud, untuk itu dengan segala hormat perkenankan saya meyampaikan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. H. M. S. Wiyadi, dr. Sp T H T, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan bantuan fasilitas pendidikan yang sedang diikuti 2. Dr. dr. Sunarko Setyawan, M S, selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan ketekunan untuk memberikan dorongan, bimbingan, pengarahan serta saransaran dalam pembuatan skripsi ini. 3. Ibu Harmayeti, SKp selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, pemikiran dan saran-saran serta pengarahan dalammenyelesaikan skripsi ini 4. dr.Hardiono, SpAnK. IC selaku pembimbing dengan penuh kesabaran untuk memberikan dorongan,bimbingan,pengarahan serta saran-saran dalam pembuatan skripsi ini. 5. Prof. Dr. H. Dikman Angsar, SpOG, selaku direktur RSUD D Soetomo yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan dan telah memberikan bantuan dan fasilitas untuk terlaksananya pengumpulan data hingga selesai. 6.

Prof. dr. Karjadi Wirjoatmodjo, SpAnK. IC, selaku kepala

laboratorium anestesiologi dan reanimasi yang telah banyak memberikan dorongan, bantuan moril maupun materiil dalam penyelesaian skripsi ini. 7.

dr. Koeshartono, SpAnK. IC, selaku ketua SMF anestesiologi dan

reanimasi yang banyak memberikan bantuan baik moril maupun materiil sehingga

skripsi ini dapat terselesaikan. 8.

Prof.dr.Herlin H. Megawe, SpAnK. IC, Prof. dr.Siti Chasnak Saleh.

SpAnK. IC, DR. dr.Nancy Margarita Rehata, SpAnK.IC, yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan serta perbaikan – perbaikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 9.

Prof. Eddy Suwandojo, dr. SpPD, selaku ketua program studi ilmu

keperawatan FK Unair atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk menjadi mahasiswa program studi ilmu keperawatan FK Unair. 10.

Teman sejawat di IRD Lantai I Dr. Soetomo Surabaya yang telah

membantu dengan setulus hati sehingga skripsi ini dapat tersusun. 11. Suami dan kedua anakku tersayang, yang telah banyak memberikan dorongan moral dan semangat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan di program studi ilmu keperawatan FK Unair.

Akhirnya semoga bimbingan dan bantuan beliau dicatat sebagai amal ibadah oleh Tuhan Yang Maha Esa dan harapan saya semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan.

Surabaya, Januari 2001 Penulis

CEDERA KEPALA Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan ( Gernardli and Meany 1996 ).

2.1.1 Mekanisme Cedera Kepala Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua : (1) Static loading Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999). (2) Dynamic loading Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999). a. Impact Injury Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi : Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom

subcutan, 0Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998). b. Lesi akselerasi – deselerasi Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah , maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

2.2 Cidera Otak Primer Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak

mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder (Bajamal A.H, Darmadipura : 1993).

2.2.1

Cidera pada SCALP Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi

jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan, Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit ( untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya “druck necrosis” ), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat yang sangat fatal. Pada kasus dengan hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita ,1996). 2.2.2 Fraktur linier kalvaria Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural

hematom disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut “Steallete fracture”, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur (Bajamal

AH ,1999).

2.2.3 Fraktur Depresi Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999). (1) Fraktur Depresi Tertutup Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejangkejang hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).

(2) Fraktur Depresi Terbuka Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis ) yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara “water tight”/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi “golden periode” (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa potongan-

potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara “mozaik” (Bajamal 1999).

2.2.4 Fraktur Basis Cranii Faktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill Hematom, Batle’s sign, Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii posisinya “hanging foto”, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).

2.2.5 PENANGANAN DARI FRAKTUR BASIS CRANII MELIPUTI : (1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit. (2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan

tampon

otorrhea/otoliquorrhea.

steril

(Consul

ahli

THT)

pada

bloody

(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan : 2000).

2.4 Komosio Serebri Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan (Bajamal AH : 1993).

Kontusio Serebri Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia

disertai

gejala

mual-muntah,

pusing

sakit

kepala,

amnesia

retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut “Pulp brain” (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ). Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom) Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media

(paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tandatanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah ( midline shift ) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu

“Burr hole explorations” yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal A.H , 1999).

Subdural hematom (SDH) Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari – 3 minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi,

lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

Intracerebral hematom (ICH) Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 CM, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999). 2.6 CIDERA OTAK SEKUNDER Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).

2.6.1 Edema serebri

Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel – sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).

2.6.2 Edema serebri vasogenik Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari “ blood brain barrier” (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan (“shringkage”) ( Sumarmo Markam et.al ,1999).

2.6.3 Edema serebri sitostatik Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium.

Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar.

2.6.4 Tekanan intra krania Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe – kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula – mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara ialahVaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut “trias cushing”. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (“locus minoris”) perpindahan jaringan

otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo Markam et.al ,1999). 2.6.6 Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,1997). Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstruksi yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100

mm Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997). 2.7 Glasgow Coma Scale (GCS) Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik. 1). Reaksi membuka mata Reaksi membuka mata

Nilai

Membuka mata spontan

4

Buka mata dengan rangsangan suara

3

Buka mata dengan rangsangan nyeri

2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri

1

2). Reaksi Verbal Reaksi Verbal Komunikasi verbal baik, jawaban tepat Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang

Nilai 5 4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata

3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata

2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun

1

3). Reaksi Motorik Reaksi Motorik Mengikuti perintah Melokalisir rangsangan nyeri Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri

Nilai 6 5 4 3 2 1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 – 12, Cidera kepala kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat

sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”. 2.8 Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique. 2.8.1 Indikasi CT Scan Indikasi CT Scan adalah : (1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat – obatan analgesia/anti muntah. (2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general. (3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll). (4) Adanya lateralisasi. (5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur

depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan. (6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru. (7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS. (8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit). 2.9 Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi : (1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15). (2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri). (3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil anisokor). (4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan. (5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala. (6) Klinis adanya tanda – tanda patah tulang dasar tengkorak. (7) Luka tusuk atau luka tembak (8) Adanya benda asing (corpus alienum). (9) Penderita disertai mabuk. (10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan faal pembekuan. Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada

saat penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan)

apabila

terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual – muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang – kejang, Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999). 2.9.1 Perawatan dirumah sakit Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi : 1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa. 2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah

dicoba

minum sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar). 3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15). 4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari. 5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur berkurang sampai 48 jam pertama.

2.9.2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13 1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° – 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun. 2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit. 3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor. 4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB/24jam. 5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal.

6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2 jam. 7)

Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur , Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.

2.10 Transpor Oksigen Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni: 2.10.1 Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk kedalam darah. Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi menyebabkan

berkurangnya

oksigen

didalam

darah

(hipoksemia)

yang

selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya : 1). Hipoksia – hipoksik

:

gangguan ventilasi-difusi

2). Hipoksia – stagnan

:

gangguan perfusi/sirkulasi

3). Hipoksia – anemik

:

anemia

4). Hipoksia – histotoksik

:

gangguan pengguanaan oksigen dalam sel

(racun HCN, sepsis). Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik. Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O 2) menurut rumus Nunn-Freeman (MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah : Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003) Hb

= kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen dalam hemoglobin (%)

1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39 pO2

= tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg

0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma. 2.10.2 Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke

sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut: CO = f x SV SV

:

dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR

EDV

:

volume ventrikel pada akhir diastole

C

:

contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)

SVR

:

Systemic Vascular Resistance

VR

:

Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan normal VR = CO Available O2 = CO x Ca O2

Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan) Ca O2

: kandungan oksigen darah arterial

2.10.3 Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan

peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993).

BAB 3 KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Pasien Truma kepala

Terjadi Hipoksia/Isehemia pada Otak

Kesadaran Menurun 

GCS menurun



Otot-otot pernafasan menurun



Jalan nafas obstruksi Jalan nafas bebas

Oksigen

Maintanance cairan teratasi Sirkulasi membaik Saturasi O2 meningkat

Kesadaran membaik GCS naik

Keterangan Gambar : Pada pasien trauma kepala akan terjadi hipoksia/ischemia otak yang dapat

menimbulkan kesadaran menurun, GCS menurun otot-otot pernafasan menurun, jalan nafas obstruksi. Dengan dilakukannya tindakan membebaskan jalan nafas, memberikan maintanance cairan dan oksigen diharapkan sirkulasi akan membaik saturasi O2 akan meningkat sehingga kesadaran dan GCS pasien akan meningkat 3.2 Hipotesis Penelitian 1). Adanya pengaruh Maintanance cairan teratasi terhadap sirkulasi membaik. 2). Adanya pengaruh pemberian dosis oksigen terhadap perubahan Sa O2 3). Adanya pengaruh pemberian dosis oksigen terhadap perubahan derajat kesadaran pada pasien cedera kepala sedang. 4). Adanya pengaruh pemberian dosis oksigen terhadap perubahan GCS.

BAB 4 METODE DAN PELAKSANAAN PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah “ randomized pretest – posttest control group design” (Zainuddin, 1995). P1

P

K1

R P2

K2

Keterangan : P

= Jumlah sampel 30 orang

R

= Random

P1

= Perlakuan dengan oksigen masker biasa dengan 8 lpm

P2

= Dengan oksigen nasal kateter 2 lpm.

K1

= Post test kelompok orang coba

K2

= Post test kelompok kontrol

4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Tehnik Sampling 4.2.1 Populasi Pasien cidera kepala sedang GCS antara 9 – 12 laki/perempuan yang berobat di IRD RSUD Dr Soetomo Surabaya. 4.2.2 Sampel Dari populasi pasien cidera otak sedang GCS antara 9 – 12 dilakukan

pemeriksasan fisik, tidak ada penyakit kronis, serta tidak mengalami multiple injury. Dalam penelitian ini digunakan kriteria sampel sebagai berikut : 1). Usia antara 21– 40 tahun. 2). Tidak ada riwayat diabites militus, hipertensi, penyakit jantung, paru atau penyakit kronis lainnya. 3). Tidak ada cidera lain yang menyertai. 4). Kecelakaan < 8 jam. 5). Tekanan darah systale > 100 mm Hg. 6). Hb > 10 gr %. 4.2.3 Besar Sampel Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus higgins dan klinbaum, 1995 1

2 ( Z + Z )² Sc²

n = (1-f )

( Xc – Xt ) ²

Keterangan : n

=

besar sampel 30 orang

Z

=

nilai standar normal yang besarnya tergantung  yaitu 1,96

Z

=

nilainya tergantung  yang ditentukan yaitu 1,28

Xc

=

nilai rata-rata kelompok kontrol

Xt

=

nilai rata-rata kelompok perlakuan

Sc

=

standar deviasi kelompok kontrol

F

=

proporsi yang gagal (5%)

4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan adalah sampel random sampling. Penentuan sampel dengan undian secara acak. Teknik Pengambilan Sampel secara acak kita siapkan lima belas kertas yang ditulisi dengan masker biasa 10 lpm dan lima belas

kertas yang ditulisi dengan tanpa oksigen. Ketiga puluh kertas tadi dimasukkan kedalam tempat dan setiap ada pasien yang memenuhi kriteria untuk dijadikan sampel kertas tadi dikocok yang keluar tulisan apa, lalu pasien yang datang tersebut diperlakukan sesuai dengan tulisan pada kertas undian tadi. 4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Variabel Bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah : 1). Oksigen masker biasa 8 lpm secara continue setiap 10 menit di evaluasi, sebanyak 6 kali (1 jam) 2). Oksigen dengan nasal kateter 2 lpm secara continue setiap 10 menit di evaluasi, sebanyak 6 kali (1 jam) 4.3.2 Variabel Tergantung Variabel tergantung pada penelitian ini adalah : 1). Saturasi Oksigen 2). GCS 3). Tensi 4). Nadi 4.3.3 Variabel Kendali 1). Umur antara 21 – 40 tahun. 2). Tidak ada cidera penyerta. 3). Kecelakaan kurang dari 8 jam. 4). Tidak ada penyakit kronis. 5). Hb > 10 gr %. 6). Tekanan darah systale > 100 mm Hg. 4.3.4 Variabel Moderator Variabel moderator dalam hal ini adalah : Tensi, Nadi, Hemoglobin dan cairan tubuh. 4.4 Definisi Operasional 4.4.1 Pemberian Oksigen Masker Biasa Pemberian oksigen masker biasa adalah memberikan oksigen dengan alat masker, dimana oksigen yang diberikan sebagian keluar karena pada alat tersebut

ada lubang-lubang dan pemberian oksigen mulai dari 5-6 Lt/menit menaikkan FiO2 0,40 ; 6-7 Lt/menit menaikkan FiO2 0,50 ; 7-8 Lt/menit menaikkan FiO2 0,60. Pada penelitian ini dengan memakai oksigen 8 Lt/menit. 4.4.2 Pemberian Oksigen dengan Kateter atau Kanule Nasal Pemberian oksigen dengan kateter atau kanule nasal adalah pemberian oksigen dengan alat kateter atau kanule, dimana oksigen yang diberikan sebagian keluar dan pemberian oksigen dimulai dari 1-2 lpm menaikkan Fi O2 0,24 – 0,28 ; 3-4 lpm menaikkan Fi O2 0,30 – 0,33 ; pemberian 5-6 lpm menaikkan Fi O2 0,38 – 0,44. Pada penelitian ini memakai oksigen dengan nasal kateter 2 lpm. 4.4.3 Instrumen Penelitian Untuk keperluan penelitian ini diperlukan alat-alat : 1). Alat oxsymetri adalah alat untuk mengukur saturasi oksigen pasien. 2). Jam tangan untuk mengukur waktu mulai diberikan oksigen ( dan dievaluasi setiap 10 menit, selama 1 jam ). 3). Formulir observasi dan alat tulis. 4). Masker oksigen biasa. 5). Nasal kateter. 6). Oksigen. 4.4.4 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah oksigen. Oksigen diberikan pada pasien untuk mencegah terjadinya hipoksia. Kalau otak kekurangan oksigen maka akan terjadi pembakaran anaerob, yang menghasilkan laktat sehingga terjadi asidosis metabolik yang memperburuk keadaan otak yang cidera. Dalam keadaan hipoksia 1 mol glukosa hanya menghasilkan 2 mol ATP dan laktat sehingga terjadi gangguan pompa ion membran menimbulkan depolarisasi, K ion keluar dan Ca ion masuk yang dapat menyebabkan sel neuron

mati. 4.4.5 Pelaksanaan Penelitian Metodologi Penelitian pada pasien cidera otak sedang yang datang di Instalasi Rawat Darurat (IRD) : 1). Diperiksa GCS, saturasi oksigen, tekanan darah, nadi, anamnesa untuk mengetahui apakah pasien mengidap penyakit kronis. 2). Bila pasien tersebut memenuhi kriteria sampel, dipakai atau dipilih untuk dijadikan penelitian. 3). Lakukan undian dengan pengocokan untuk menentukan perlakuan terhadap pasien tersebut ( tergantung yang keluar masker biasa 8 lpm atau pemberian oksigen dengan nasal kateter 2 lpm ). 4). Catat pada formulir yang sudah tersedia nomor pasien, GCS awal, saturasi oksigen awal, tekanan darah awal, nadi awal Setelah diberi perlakuan 10 menit dievaluasi demikian pula setelah diberi perlakuan 20 menit, 30 menit, 40 menit, 50 menit, 60 menit dievaluasi kembali nilai GCS, SaO2, tekanan darah, nadi . 5). Apabila saat dilakukan penelitian terjadi keadaan darurat misalnya pasien GCS menurun satu tingkat dan harus dilakukan tindakan intubasi, harus segera dilakukan operasi, maka penelitian dihentikan sampel dianggap gugur. 6) Setelah dihitung dan sudah memenuhi jumlah pasien untuk penelitian sesuai dengan metodologi statistik penghitungan pasien maka penelitian dihentikan, data ditabulasi untuk mencari apa ada perbedaan antara pemberian oksigen masker biasa 8 lpm dengan pemberian oksigen nasal kateter 2 lpm

4.4.6 Alur penelitian Trauma kepala sedang - Gcs 9 – 12 - Saturasi oksigen > 90 % - Tekanan darah systale > 100 mm Hg - Lama kejadian < 8 jam

Dengan O2 nasal kateter 2 lpm

Dengan O2 masker biasa 8 lpm

10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

-Saturasi oksigen

- Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi 10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

- Saturasi oksigen

- Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi 10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

- Saturasi oksigen

-Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi

10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

- Saturasi oksigen

- Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi

10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

- Saturasi oksigen

- Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi

10 menit

10 menit

- Gcs

- Gcs

- Saturasi oksigen

- Saturasi oksigen

- Tensi

- Tensi

- Nadi

- Nadi

Data Ditabulasi

DAFTAR PUSTAKA Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya. American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for Physicians, ACS Chicago Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya. Becker DP, Gardner S,

(1985), Intensive Management of Head Injury. In :

Wilkins RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill Company, 1953. Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of ischemia. J. Neurosurg. Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair Surabaya. Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal Cerebral Ischemia. Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia in gebrils stroke. Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York

Ishige N, Pitts LH et.al ( 1987 ), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats Neurosurgery Jenkins N, Pitts LH et.al ( 1987 ), Increased vulnerability of the traumatized brain to early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds ) Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy Klatzo I. Chui E, Fujiware K ( 1980 ), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv. Neurol. Klauber MF, Marshall LF et.al ( 1989 ), Determinants of Head Injury Mortality, Importance of the Row Risk Patients. Kraus JF ( 1993 ), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury. Baltimore, William and Wilkins. Narayan RK ( 1989 ), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In : Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia : WB Saunders R. Zander, F. Mertzlufft ( 1990 ), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe Germany. Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta. Umar kasan ( 1998 ), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press. Umar Kasan ( 2000 ), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes Vincent J. Collins, ( 1996 ), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany Zainuddin M,

( 1988 ), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana

Universitas Airlangga Surabaya.

LEMBAR PENGUMPULAN DATA Nomor Undian

:

Dengan Oksigen

: 1. Masker Biasa dengan O2 8 lpm 2. Dengan Oksigen nasal kateter 2 lpm

Identitas Pasien

: Wanita/Laki-laki

Umur

:

GCS 9 – 12 TIDAK ADA CIDERA PENYERTA, TIDAK ADA PENYAKIT KRONIS, JALAN NAFAS BEBAS PERNAFASAN DAN SIRKULASI DALAM BATAS NORMAL, TEKANAN DARAH SISTOLE > 100 MM HG. KEJADIAN < 8 JAM HB > 10 GR %, SAO2 AWAL > 95 % O2

Sbl

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

sesuai

O2

O2

O2

O2

O2

O2

O2

10’’

20’’

30’’

40’’

50’’

60’’

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

peneli tian SaO2 Tekan an Darah Nadi GCS

E= V= M=

Keterangan : E

=

Respon buka mata, nilai normal 4

Naik

Turun

V

=

Respon verbal, nilai normal 5

M

=

Respon motorik, nilai normal 6

10”

=

10 menit

20”

=

20 menit

30”

=

30 menit

40”

=

40 menit

50”

=

50 menit

60”

=

60 menit

Sbl O2 =

Sebelum pemberian O2

Sdh O2 =

Sesudah pemberian O2

ALAT UKUR Pasien Trauma Kepala Sedang GCS antara 9 – 12 tidak ada cidera penyerta dan tidak menderita penyakit kronis tekanan darah systale > 100 mm Hg. Kejadian < 8 jam Hb > 10 gr % SaO2 awal > 90 % Masker

Sbl

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Biasa

O2

O2

O2

O2

O2

O2

O2

10’’

20’’

30’’

40’’

50’’

60’’

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

dengan O2

Naik

Turun

Naik

Turun

8

LPM SaO2 Tekana n Darah Nadi GCS E= V= M = Denga

Sbl

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

Sdh

n O2

O2

O2

O2

O2

O2

O2

O2

10’’

20’’

30’’

40’’

50’’

60’’

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

E= V= M=

Nasal Katete r

2

lpm Sa O2 Tekan an Darah Nadi GCS

E= V= M=

Keterangan :

E

=

Respon buka mata, nilai normal 4

V

=

Respon verbal, nilai normal 5

M

=

Respon motorik, nilai normal 6

10”

=

10 menit

20”

=

20 menit

30”

=

30 menit

40”

=

40 menit

50”

=

50 menit

60”

=

60 menit

Sbl O2 =

Sebelum pemberian O2

Sdh O2 =

Sesudah pemberian O2

BAB 5 PEMBAHASAN Pada bab ini akan dideskripsikan hasil penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Deskripsi dimulai dari gambaran karakteristik sampel selanjutnya hasil penelitian itu dianalisa sesuai variabel yang diteliti. 5.1 Hasil penelitian deskripsi gambaran karakteristik sampel 5.1.1

Cidera kepala sedang GCS antara 9-12.

Bila GCS kurang dari sembilan sudah dikatagorikan cidera kepala berat penanganan pasien sudah berbeda yaitu dilakukan intubasi, dan GCS lebih dari 12 digolongkan cidera kepala ringan. Tekanan darah dalam penelitian ini lebih dari 100 mmHg karena penelitian memakai alat dengan pemantauan oksimetri pulsa yang didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi pada sirkulasi perifer. Ketepatan okximetri pulsa tidak dapat diandalkan apabila perfusi perifer jelek yang disebabkan oleh vasokonstriksi ,hipotensi anemia berat.Tekanan darah, nadi pada penelitian ini selalu dipantau setiap 10 menit bersamaan dengan saturasi oksigen dan GCS untuk mengkonfimasikan hasil pematauan apabila sewaktu-waktu terjadi penurunan tekanan darah, nadi meningkat dan kecil maka hasil pengukuran saturasi oksigen tidak akurat Hb pada penelitian ini lebih dari 10 gram % untuk mencegah hasil yang tidak akurat,pada pasien anemia hasil pemantauan saturasi oksigen

tidak dapat

diandalkan. Jalan napas pasien harus bebas pada penelitian ini karena apabila terjadi sumbatan jalan napas atau adanya obstruksi jalan napas dapat menyebabkan hipoksia yang memperberat cidera otak primer menjadi cidera otak sekunder, pemantauan GCS dan saturasi oksigen akan mengalami penurunan. Saturasi oksigen pada penelitian ini lebih atau sama 95% karena saturasi oksigen normal antara 95-100%. Diharapkan saturasi oksigen lebih atau sama 95% tidak menyebabkan gangguan otak,organ-organ vital maupun pirfusi jaringan Pada penelitian ini tidak ada penyakit kronis yang menyertai agar tidak

mengacaukan hasil pemantauan. Apabilaa ada penyakit kronis misalnya PPOM atau penyakit paru lain maka akan terjadi gangguan sistem pernapasan yang membawa O2 alvioli. Umur pasien pada penelitian ini berkisar antara 17-40 th dengan persyaratan tidak mempunyai penyakit kronis dan tidak terdapat cedera ditempat lain agar tidak mengacaukan hasil penelitian. 5.2 Jumlah sampel Pada penelitian ini hanya didapatkan 26 orang sampel dengan rincian 15 orang sampel diberikan oksigen dengan masker 8 lpm dan 11 orang sampel sebagai kontrol dengan diberi oksigen 2 lpm nasal kateter, disebabkan karena keterbatasan waktu dan jumlah pasien yang memenuhi kriteria untuk dijadikan penelitian. 5.3 Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan pengambilan sampel secara acak, yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas penggunaan oksigen pada pasien cidera kepala sedang. Adapun latar belakang penelitian ini adalah masih beragamnya cara dosis pemberian oksigen yaitu masker atau nasal kateter. Dengan pemberian oksigen dengan dosis yang cukup dalam ini, dapat mecegah terjadinya cedera otak sekunder. 5.4 Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian oksigen masker 8 lpm dan oksigen nasal 2 lpm sebagai indikator terhadap perubahan derajat kesadaran 5.4.1 Pada penelitian dengan oksigen masker 8 lpm mendapatkan hasil yang signifikan, rincian pemantauan saturasi oksigen selama satu jam sebagai berikut : Pada pemantauan saturasi oksigen pada 10 menit pertama sudah mulai ada peningkatan tetapi belum menunjukan hasil yang maksimal. Pada 15 responden yang dilakukan penelitian dengan oksigen 8 lpm terjadi kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 5,04 %; Pada pemantauan 10 menit kedua terjadi kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 5,6 %; Pada pemantauan 10 menit ketiga peningkatan saturasi oksigen mencapai rata-rata 6,14 %; Pada pemantauan 10 menit keempat mendapatkan kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 6,54 %; Pada pemantauan 10 menit kelima peningkatan saturasi oksigen mencapai 6,94 %;

Pada pemantuan 10 menit keenam mndapatkan peningkatan saturasi oksigen mencapai rata-rata 6,94 %(terjadi kenaikan saturasi oksigen mencapai lebih dari 3 poin). 5.4.2 Pemantauan sampel kelompok kontrol Pemantauan kelompok kontrol dengan memakai oksigen nasal kateter 2 lpm dengan jumlah responden 11 orang, rincian saturasi oksigen sebagai berikut : Pada pemantauan 10 menit pertama juga terjadi kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 1,8 %; Pada pemantauan 10 menit kedua terjadi kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 2 %l; Pada pemantauan 10 menit ketiga mencapai kenaikan saturasi oksigen rata-rata 2,36 %; Pada pemantauan 10 menit keempat kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 2,18 %; Pada pemantauan 10 menit kelima kenaikan saturasi oksigen mencapai rata-rata 2,5 %; Pada pemantauan 10 menit keenam kenaikan saturasi mencapai rata-rata 2,9 %. 5.5 Pemantauan GCS pada penelitian ini dengan memakai oksigen masker 8 lpm pada 15 responden dengan rincian hasil sebagai berikut : Pemantauan 10 menit pertama mulai terlihat adanya peningkatan GCS mencapai hasil rata-rata 2,27, Pemantauan 10 menit kedua adanya peningkatan GCS mencapai hasil rata-rata 2,43; Pada pemantauan 10 menit ketiga peningkatan GCS mencapai hasil rata-rata 3,6; Pada pemantauan 10 menit keempat peningkatan GCS mencapai hasil rata-rata 3,73; Pada pemantauan 10 menit kelima penigkatan GCS mencapai hasil rata-rata 3,87; Pada pemantauan 10 menit keenam peningkatan GCS mencapai hasil rata-rata 4,27( mencapai kenaikan GCS lebih dari 2 poin). 5.6 Pemantauan GCS pada kelompok kontrol dengan memakai oksigen nasal kateter 2 lpm pada pemantauan 11 responden dengan rincian sebagai berikut : Pada pemantauan 10 menit pertama kenaikan GCS mencapai hasil rata-rata 0,18 ; Pada pemantauan 10 menit kedua kenaikan GCS mencapai hasil rata-rata 0,54; Pada pemantauan 10 menit ketiga kenaikan GCS mencapai hasil rata-rata 1,12; Pada pemantauan 10 menit keempat GCS mencapai hasil rata-rata 1,42;

Pada pementauan 10 menit kelima GCS mencapai hasil rata-rata 1,42; Pada pementauan 10 menit keenam GCS mencapai hasil rata-rata 1,42. 5.7 Hasil rincian pemantauan penelitian Dari hasil pemantauan penelitian dengan oksigen masker 8 lpm mendapatkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan derajat kesadaran, yaitu dengan adanya GCS dan peningkatan saturasi oksigen yang mendapatkan hasil maksimal pada menit kelima puluh dan enam puluh. Sedangkan pada kelompok kontrol dengan oksigen nasal kateter 2 lpm mendapatkan hasil yang kurang maksimal, walaupun terjadi kenaikan mulai dari 10 menit pertama dengan rincian hasil yang lebih rendah dari pemberian oksigen masker 8 lpm.

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1

Kesimpulan Dari hasil anastesi data dan pembahasan di depan dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut : 1.

Pemberian oksigen 8 lpm mendapatkan hasil yang signifikan terhadap peningkatan derajat kesadaran GCS, SpO2.

2.

Pemberian oksigen yang optimal mencegah cedera otak sekunder.

3.

Pemberian oksigen yang optimal dapat memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan.

4.

jalan napas bebas, tekanan darah,nadi, hemoglobin , hipoksia, anemia, dapat mempengaruhi hasil Spo2

6.2

Saran Pada cedera otak otak sedang sebaiknya :

1.

Pemberian oksigen 8 lpm lebih bermanfaat dan mendapatkan hasil yang signifikan.

2.

Pembebasan jalan nafas, penafasan , dan sirkulasi , sangat dibutuhkan sebelum pemberian oksigen agar pemberian oksigen mendapatkan hasil yang optimal

3.

Pemantauan ketat pasien cedera kepala sedang sangat dibutuhkan agar tidak terjadi cedera otak sekunder

4.

Perlu penelitian lain dengan memakai parameter Pao2 sebagai variabel penelitian yang mungkin lebih baik dari satuan oksigen pada pasien cedera kepala sedang

Lampiran PEMANTAUAN OKSIMETRI PULSA Oksimetri pulsa didesain untuk mengukur saturasi oksigen dan laju nadi padasirkulasi perifer. Alat ini merupakan mikroprosesor yang menghitung persentase saturasi oksigen pada tiap denyut darah arteri yang mengalir melewati sensor. Oksimetri pulsa bekerja dengan cara memancarkan sinar berintensitas rendah dari satu lightemitting diode (LED) kesuatu photodiode yang merupakan penerima sinar. Dua jalur sinar, satu merah dan satunya infra merah, dipancarkan melewati darah dan jaringan tubuh, dimana sebagaian sinar akan diserap oleh darah dan jaringan tubuh. Photodiode mengukur sebagaian sinar yang menembus melewati darah dan jaringan tubuh. Jumalah relatif sinar yang diserap oleh hemoglobin yang tidak teroksigenasi. Mikroprosesor menilai perbedaan pada denyut dadi ini dan melaporkan harganya sebagai saturasi oxyhemoglobin yang terkalkulasi (Calculated Oxyhaemoglobine Saturation,% SaO2). Pengukuran dapat diandalkan dan berkorelasi dengan baik apabila dibandingkan dengan cooximeter yang mengukur saturasi oksigen secara langsung ( SaO2). Ketepatan oxymetri pulsa tidak dapat diandalkan apabila perfusi perifer jelek yang disebabkan oleh vasokontriksi, hipotensi,

cuff

tensimeter yang

dikembangkan proksimal dari sensor, hipotermia, dan sebab-sebab lain yang menyebabkan aliran darah menjelek Anemia berat mungkin mempengaruhi pembacaannya. Kandungan karboksihemoglobin atau methemoglobin yang tinggi dapat menyebabkan abnormalitas dan pewarna yang beredar dalam darah dapat mengganggu pengukurannya. Menggunakan oksimeter pulsa memerlukan pengetahuan alat yang digunakan. Berbagai sensor dapat digunakan untuk bermacam-macam pasien ujung jari dan daun telinga merupakan tempat sensor yang paling sering digunakan namun kedu tempat tersebut mungkin terkena sasaran vasokonstriksi

Related Documents

Cedera Kepala
June 2020 38
Cedera Kepala.doc
June 2020 24
Cedera Kepala.docx
October 2019 30
Cedera Maksilofasial
June 2020 21
Cedera Kepala
June 2020 48

More Documents from "April"