“Sayap” Oleh : Roni Basa
Cisitu Lama-Bandung, 14 Djumadil Uula 1430 H
“Man and woman live in the Garden of Eden in complete harmony with each other and with nature. There is peace and no necessity to work; there is no choice, no freedom, no thinking either, Man is forbidden to eat from the tree of knowledge of good and evil. He acts against God's command, he breaks through the state of harmony with nature of which he is a part without transcending it. God proclaims war between man and woman, and war between nature and man, Man has become separate from nature, he has taken the first step towards becoming human by becoming an "individual". He has committed the first act of freedom. The myth emphasizes the suffering resulting from this act. To transcend nature, to be alienated from nature and from another human being, finds man naked, ashamed. He is alone and free, yet powerless and afraid. The newly won freedom appears as a curse; he is free from the sweet bondage of paradise, but he is not free to govern himself, to realize his individuality”. Tidak untuk membicarakan kebenaran cerita di atas. Kebebasan, tanpa itu semua pun, tetap menjadi bagian terintegrasi dalam kehidupan kemanusiaan manusia. Kebebasan menjadi permasalahan saat ia tidak lagi mewakili keberkahan yang Tuhan telah berikan kepada kemanusiaan manusia. Berbicara kebebasan, artinya, keberanian untuk membicarakan dan menegaskan kuasa Tuhan atas manusia, bukan kuasa manusia atas manusia yang lainnya. Bagaimana kemudian Tuhan Yang Maha Kuasa itu diwakili kuasaNya dengan keberhakan manusia untuk bebas. Bagaimana kemudian manusia tidak sepatutnya tunduk kepada manusia yang lainnya, tidak takut kepada kebebasan. Seorang perempuan anggun berada dua tingkat wilayah koordinasinya di atas seorang laki-laki. Sebab posisi dan jabatan yang ia duduki dan wenangi, menyebabkan ia kesulitan untuk men-apresiasikan “perasaannya” kepada laki-laki yang dikaguminya. Berulang kali ia membangun ruang terpisah antara perasaan dan pekerjaan, berulang kali juga ia kesulitan untuk menangkap gambaran jelas beda keduanya. Pelbagai pertimbangan menjadi alasan untuk menyekap kebebasan dalam ruang perasaannya atas dalih pekerjaan. Dan atau bermacam dalih rasionalitas untuk menyandera kredibilitas profesi di pojok ruangan pekerjaan atas dasar menjaga perasaan. Sebuah kondisi, yang menurut saya, bentukan dari ketakutan berlebih atas kebebasan. Tanpa bermaksud menjadi anti gender saya utarakan cerita ini. Tentu saja kebebasan tidak menjadi rujukan untuk membangun dinding pembatas perasaan dan kredibilitas. Kebebasan, atasnya menjadikan manusia mampu mewakili kuasa Tuhan bagi manusia. Sudah selayaknya manusia menjadi berkemanusiaan dengan menghilangkan takutnya dari kebebasan. Tindakan sebaliknya mengakibatkan manusia kehilangan apa yang Tuhan telah tunjukan sebagai bukti kuasanya; kebebasan, nilai kemanusiaan.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Erich Fromm (Fear Of Freedom. 1942), mengisahkan seorang anak laki-laki yang patuh terhadap ajaran dari kedua orang tuanya. Kepatutan bagi seorang anak untuk patuh dan taat kepada manusia yang lainnya, yang telah menjadikannya ada sebagai manusia. Pada saat yang berbeda, dalam dimensi waktu yang berbeda, anak ini tumbuh dan berkembang bersama manusia yang lainnya, proses kehidupannya menjadikan ia memiliki kebebasannya sendiri atas hidupnya. Kepatuhannya terhadap orang tuanya tidak lantas berkonfrontasi dengan kebebasannya sebagai individu. Dia tetaplah seorang anak dari kedua orang tuanya. Menjadi “anak baik” bagi seorang anak di hadapan orang tuanya memerlukan kepatuhan yang berkonfrontasi langsung dengan nilai kebebasan. Untuk usia nya itulah yang dimaknai sebagai kebebasan; patuh dan taat, pilihan menjadi hanya satu yaitu patuh. Meskipun dengan demikian, kepatuhan sebagai manifestasi ‘kebebasan’ bagi seorang anak akan bergerak dinamis saat ia beranjak dewasa dan bukan hal yang tidak mungkin, ia akan melakukan konfrontasi berdasar pemahamannya terhadap nilai kebebasan individual yang didapatnya dari hal-hal eksternal di luar sana. Tanpa bermaksud menjadi anti etika saya menceritakannya kembali. Kisah lainnya yang diungkapkan oleh Fromm, seorang Asia tidak lantas menjadi hilang identitas ke-asia-annya saat ia ke Eropa, makan dengan menggunkan garpu dan pisau untuk keperluan konsumsinya. Ia tetaplah seorang Asia. Tanpa bermaksud menjadi cauvinism saya menceritakannya kembali Fromm lebih lanjut menegaskan “Human existence begins when the lack of fixation of action by instincts exceeds a certain point; when the adaptation to nature loses its coercive character; when the way to act is no longer fixed by hereditarily given mechanisms. In other words, human existence and freedom are from the beginning inseparable. Freedom is here used not in its positive sense of "freedom to" but in its negative sense of "freedom from", namely freedom from instinctual determination of his actions. This concept of instinct should not be confused with one which speaks of instinct as a physiologically conditioned urge (such as hunger, thirst, and so on), the satisfaction of which occurs in ways which in themselves are not fixed and hereditarily determined.” Fromm seakan ingin memberikan penjelasan lebih mengenai arti penting kebebasan. Baginya bukan “kebebasan untuk” yang terpenting dicermati dalam kemanusiaan manusia, namun, “kebebasan dari” yang selayaknya dicermati bagi keberlangsungan kemanusiaan manusia. Fromm memodelkan kebebasan menjadi apa yang dikatakannya sebagai “static freedom, ;such an adaptation to patterns as leaves the whole character structure unchanged and implies only the adoption of a new habit, it does not arouse new drives or character traits.” Cerita seorang Asia yang berada di Eropa merupakan gambaran kondisi ini. Alat yang digunakan seorang Asia untuk makan tidak lantas menjadikannya menjadi seorang Eropa, seorang Arab atau seorang dari benua lainnya.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Dimensi lainnya dimodelkan oleh Fromm sebagai Dynamic Freedom. Kebebasan yang bersumber dari harapan-harapan yang selama ini berada di belantara kesunyian tanpa bentuk. Fromm menyebutnya “adaptation wich refer to the kind of adaptation that occurs”. Seorang anak akan melakukan konfrontasi kepada kedua orang tuanya saat ia mengalami represi. Artinya, kebebasan ini lahir dari kondisi kemanusiaan yang terenggut dari yang seharusnya. Kebebasan akan terus berusaha menemukan saluranya untuk membebaskan kebebasan. Kedua permodelan ini tentunya terkait dengan tema darimana kebebasan itu berasal, bukan untuk dan kepada siapa kebebasan itu dimaksudkan serta ditujukan. Tanpa bermaksud menjadi dikotomotor, saya fikir, kebebasan apapun kondisi kemanusiaan seorang manusia haruslah difahami keberasalannya. Kebebasan menjadi tidak memiliki nilai kepada dan untuk, saat dia berhilir dari pemahaman untuk membatasi kebebasan yang lainnya. Sedangkan sayap, masing-masing kemanusiaan manusia memiliki sayap kebebasan. Sayap yang jika ia menginginkannya, dapat dibentangkan seluas apapun untuk terbang. Menikmati angkasa kebebasan tanpa takut tidak berkebebasan. Sayap berkebebasan yang akan menghantarkan manusia menjadi berkemanusiaan.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan