Terbang Tanpa Sayap

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Terbang Tanpa Sayap as PDF for free.

More details

  • Words: 3,264
  • Pages: 8
"Haruskah penderitaan ini menyiksa kita bila ia membawa kebahagiaan yang lebih besar bagi kita? Yang tidak mengindahkan batas-batas susila Jiwa-jiwa melahap tanpa mengenal batas?? (Goethe)

Matahari bergegas naik perlahan membawa sinarnya yang kuning keemasan. Burungburung pun bernyanyi riang mengiringi liukan angin yang menari erotis tetapi tidak menimbulkan birahi bagi siapa pun. Kemudian embun pagi dari atap dedaunan terlihat mengering, basahnya telah pergi entah kemana. Mungkin menuju awan putih yang tampak serasi bermesra-mesraan bersama langit biru di pagi menjelang siang hari ini. Sejenak akan kerinduan alam yang tercipta tatkala memaparkan keindahan. Menyaksikan kelembutan yang berputar terus, tampak seimbang jalannya. Tidak seperti pria mabuk yang berlagak sombong di jalan raya yang sering meludah seenaknya, kencing sembarangan tanpa pedulikan reslestingnya yang selalu terbuka. Pria yang selalu dengan kata-katanya, "aku ingin pergi melayang. Ingin selalu tertawa. Aku ingin bahagia, inginkan surga ayo semua ikuti jejak langkahku!..." Pria itu terus-terusan berbicara, sepintas seperti khotbah yang berisikan dogma. Ia pamerkan dirinya di hadapan orangorang di jalan, pada tiang lampu merah, pada jembatan penyeberangan, pada trotoar, tong sampah, pada patung orang menyerupai polisi yang dipajang ditengah-tengah jalan untuk menakuti para pengguna jalan. Anehnya banyak pula orang yang mengikuti jejaknya dan orang-orang yang masih waras pun ternyata tidak bisa berbuat apa-apa sampai akhirnya semuanya pun melihat dengan begitu jelas tatkala pria mabuk itu terpeleset jatuh ke dalam selokan di pinggir trotoar.Tanpa ada rasa penyesalan, rasa sakit atau rasa malu malah diminumnya air comberan oleh orang mabuk itu, persis seperti orang yang sangat kehausan."Oh, ini arak....arak, percayalah tuan-tuan. Haha, kita telah menemukan surga." Tuturnya. Gila, tapi ada saja orang yang mengikuti ia sampai nyemplung ke dalam comberan. Mereka semua akhirnya jadi semakin mabuk, tertawa terbahak-bahak nampaknya seperti kegembiraan, meskipun batinnya merasakan kepedihan yang amat sangat, kecut tidak jadi ikutan tertawa. Eneg, ujungnya mereka semua yang dicomberan itu pun kemudian binasa dengan perut buncit penuh air comberan. Mereka mati kekenyangan. Mimpiku berkeinginan bisa berbaur dengan alam di jagat raya ini. Berempati dengan perasaan dan pikirannya agar bisa menikmati alur keseimbangan itu. Tidak menuruti apa kata dari manusia yang selalu serakah dengan pikiran sempitnya mengenai tujuan dan makna hidup. Aneh, semua orang kok ingin merasakan kebinasaaan, bukan keabadian seperti yang pernah di ajarkan oleh langit. Alam sudah mencoba mendefinisikan itu dengan perilakunya dan menunjukkan semuanya pada manusia, menasehati manusia dengan segala sabda-sabdanya. Tetapi manusia tetap saja dengan keangkuhan. Merasa berkedudukan paling tinggi di seantero jagat ini. Peringatan-peringatannya itu malah dibayar oleh kerusakan-kerusakan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, terhadap dirinya sendiri maupun semesta titipan sang empunya. "Sudahlah, kau menurut saja! Aku bos di sini". Hawa nafsu selalu saja berkata demikian!

*** Aku sekarang sudah tidak lagi berada di lapang. Kakiku membawa ke arah keramaian dimana orang-orang sibuk melakukan aktivitasnya. Kini aku berada di tengah-tengah pasar yang pikuk, sesak dengan orang-orang dan barang dagangan. Aku teringat akan sesuatu, ibuku yang minta dibelikan sebuah lilin. Katanya tak usah banyak-banyak, cukup satu saja tetapi cari yang awet, tahan lama nyalanya dan kalau bisa cari yang sinarnya paling benderangan, seperti ayahmu. Pesan ibuku tadi pagi. Kasihan ibuku, sejak ditinggal ayah setahun yang lalu ia sering merenung sendirian di kamarnya. Sebagai anak satu-satunya aku pun merasakan itu. Ia terlalu kesepian. Terlalu lama membiarkan kesendiriannya mengisi kesehariannya di rumah peninggalan ayah, padahal kalau malam pun datang yang sering mencekam di tambah jika aliran listrik disini pun padam aku tahu Ia seringnya menangis. Merintih kesakitan merasakan sepi. Tak jarang ia sering menyebut nama ayah, mengeluhkan kerinduan sesuatu padanya. Harapku semoga saja lilin itu nantinya akan bisa mengantikan bayangan ayah yang telah lama tiada. Pun bisa memberikan sedikit kehangatan dan pelita pada setiap malam di gelapnya. Hanya sebatang lilin, cuma itu yang ia butuhkan kini. Lirih ibuku tatkala aku berusaha mendengarkan keluh-kesahnya selama ini. Oh, ibu kau memang sangat lembut sekali. Aku berjalan telusuri lorong-lorong di pasar mencari lilin buat ibuku. Tentunya aku ingin memberikan yang paling bagus untuknya, biar sulit mencarinya tak mengapa asalkan beliau bahagia nantinya . Kalau perlu akan ku keluarkan semua yang aku punya yang penting satu lilin spesial itu bisa aku dapatkan. Tepat di depanku kulihat seorang ibu membawa tas dan kantong belanjaan yang penuh isinya. Kira-kira usianya hampir sama dengan ibuku. Nampak kelihatan kerepotan sekali ia dengan barang belanjaannya. Aku bergegas menghampirinya bermaksud untuk membantu ibu itu, tetapi..."Jambret! Jambret.....!" Ibu itu berteriak histeris meminta pertolongan kepada orang-orang disekitar. Aku berlari berusaha mengejar penjambret itu, namun seorang pria menghadangku. "Sudah, tidak perlu dikejar sudah ada yang mengurusinya kok!" Aku berhenti, setelah aku lihat memang ada beberapa orang yang mengejar penjambret itu. Aku kemudian menghampiri ibu itu, berusaha menghibur dan menemaninya melapor ke pos polisi terdekat . "Ibu tunggu disini saja, sebentar lagi penjambretnya pasti tertangkap oleh massa." Aku kembali ke pasar. Untuk mencari lilin buat ibuku.Tak kusangka saat aku melewati salah satu lorong yang agak sepi yang letaknya agak tertutup dari keramaian. Di sana aku malah bertemu dengan pria yang sedang berkerumun dan menatapiku kasar, gelagatnya sepertinya tidak baik. Jumlahnya mereka sekitar 10-an orang. Wajah beberapa orang diantaranya aku kenal. "Hei bukankah dia pria yang barusan meleraiku bersama pria-pria yang mengejar penjambret itu dan.... bukankah pria yang paling pendek itu yang menjambret tas milik ibu tadi." Ke sepuluh orang itu mengelilingiku dan menutupiku dari keramaian. Sorot matanya

begitu tajam seperti belati yang hendak mencabut nyawaku. "hei kalian semua ternyata memang bangsat, tetapi Ku mohon jangan bunuh aku, setidaknya untuk hari ini saja. Aku mesti pulang menjenguk ibuku, membawakan lilin untuknya!" Aku berharap para penjahat itu sedikit berbelas hati kepadaku. "Ijinkan aku pergi saja! Aku tak akan bilang siapasiapa!" Buk..Buk..Buk..Mereka memukuliku, menendangku bertubi-tubi tak berperasaan, tak berirama, tak pernah berhenti sampai pada akhirnya kurasakan hantaman benda keras terasa kencang mengenai tepat dikepalaku. Cairan berwarna merah itu pun muncrat, cipratannya membasuhi ke mukaku. Aku jatuh pingsan. Aku sempat terbangun saat terik terasa membakar wajahku. Mataku merasakan sinar yang memaksa masuk melalui celah-celah di kelopak mataku. Tidak jelas pemandangan yang bisa aku lihat diluaran sana. Tetapi sepertinya aku masih berada di jalan. Sepintas terlihat bayangan orang yang lalu lalang melewati acuh keberadaanku. Aku ingin bersuara memohon pertolongan, tetapi aku terlalu lemah untuk berkata-kata, diriku tak ubahnya bak gembel yang sudah seminggu tak pernah sarapan. Tak ada satu pun orang yang mengibaku, semua terlalu sibuk dengan dirinya masing-masing. Aku tak sadarkan diri. Aku kembali terbangun, tetapi kali ini suasananya berbeda. Sepertinya aku sudah tidak lagi terkapar di jalanan lagi. Kelopak mataku ku paksakan agar bisa terbuka lebih lebar. Samar terlihat bayangan seorang perempuan semakin jelas. Oh ternyata beliau adalah seorang ibu yang aku jumpai di pasar. "Kamu sudah sadar? sudah merasa baikan? kata dokter kamu tidak apa-apa kok. Cuma kamu perlu banyak istirahat? Tinggalah di sini beberapa saat!" "Bu, aku ada di mana?" "Oh, kamu tak perlu kuatir. Kamu sekarang berada di rumah Tante. "bagaimana aku bisa sampai di sini? Tas ibu sudah ditemukan?" "Aku menemukanmu tergeletak di jalan penuh luka, kemudian membawamu kemari. Kamu habis dikeroyok orang yah? Penjambret itu tidak tertangkap, tetapi tidak apa-apa. sudahlah kamu istirahat saja dulu. Nanti saja ceritanya!" "Ini tante bawakan makan malam untukmu. Makanlah! Kamu pasti sudah sangat lapar sekali" Aku bangkit dari ranjang, ku pandangi wajahku yang penuh balutan dan luka memar di cermin. Ibu itu baik sekali. Kalau tidak ada dia, entah bagaimana nasibku sekarang. Mungkin sudah mati digerogoti anjing-anjing pasar. Atau dipreteli sampai telanjang oleh para gembel liar. Oh, sial dompetku! Bangsat itu mengambilnya! Ibu itu benar, aku memang sangat lapar. Aku makan begitu lahapnya, sampai aku jadi teringat akan ibuku. Ibuku di rumah yang sendirian, tidak ada yang menemaninya makan malam. Sepi pasti akan semakin menghantuinya. Oh ibu maafkan aku! Aku pasti telah merisaukan dirimu. Aku pun sangat khawatir dengan ibuku, takut-takut kalau terjadi apa-

apa dengannya. Takut kalau hari ini giliran mati lampu di tempatku. Beliau pasti kegelapan di tengah malam saat lampu-lampu padam. Mana lilin itu belum aku bisa dapatkan untuknya. Aku hanya bisa berdoa semoga hari ini bukan giliran pemadaman listrik di daerahku. Aku diperkenalkan dengan anggota keluarga di rumah itu. "Ini suamiku dan ini anak semata wayang kami Sita?" Mereka tersenyum ramah kepadaku. Ehm, sepertinya mereka adalah keluarga yang bahagia dan harmonis. Aku bisa menafsirkan dari canda mereka satu sama lain. Mereka sangat akrab satu sama lain dan terasa dekat sekali hubungan di antara mereka. Andai ayahku masih ada. *** "Permisi, tante tidak bisa menemani lebih lama. Tante harus pergi kerja dulu. Oh ya nanti kalau perlu apa-apa, kamu bisa minta bantuan sama anak tante disini. Kebetulan pembantu tante sudah tiga hari ini pulang kampung." Setelah membawakan sarapan pagi untukku, ibu baik hati itu kemudian bergegas pergi. Mengapa aku merasakan lemah sekali, padahal aku harus pulang hari ini. Segera menjumpai ibuku agar beliau tidak terlalu kuatir dengan diriku. AKu telan makanan yang disediakan untukku, berharap nanti siang ada energi untukku untuk bisa beranjak dari rumah ini. Oh, Tuhan kuatkan diriku, aku telah terlalu banyak merepotkan orang lain. Menjelang siang hari, badanku malah terasa semakin lemas. Apakah ini pengaruh obat yang tadi pagi aku minum. Aku tak tahu, tetapi yang pasti aku masih belum sanggup beranjak dari tempat tidur ini. Seharian aku hanya tiduran di ranjang, sampai suatu ketika aku rasakan ikatan celanaku yang semakin mengendur yang kemudian terasa semakin menurun. Aku merasakan ada rasa dingin dan geli di bagian bawah pusarku. Aku terperanjat saat aku melihat seorang perempuan yang sedang melahap kemaluanku, mengulumnya dengan agak lembut. "Hei...apa yang sedang kamu lakukan!" gadis yang masih memakai baju seragam sekolahnya itu terhentak, berhenti melakukan aktivitas. "Sita? apa yang sedang kamu lakukan?" Suaraku agak melemah, tatkala kulihat mukanya yang begitu kaku saat aku menatapnya begitu tajam. "Aku hanya..." Gadis yang sedang beranjak dewasa itu nampak kebingungan. " Aku hanya ingin menghiburmu. Cuma ingin menggembirakan..." "Oh, my God Sita! kamu tidak boleh melakukannya kepadaku. Ini tidak boleh. Kamu mengertikan..?" "Aneh, kamu aneh!" Tutur Sita yang kemudian berlari pergi keluar dari kamarku. Apa yang terjadi dengan Sita, sehingga gadis yang tengah beranjak dewasa itu bisabisanya melakukan perbuatan itu kepadaku. Ia seperti orang yang sudah sangat dewasa dalam hal ini walau mungkin belum tiba saatnya untuknya. Entahlah aku jadi merasakan keganjilan dalam keharmonisan keluarga ini yang dibaliknya tersimpan misteri yang

semakin membuatku gundah. Aku begidik, karena merasakan ada hantu-hantu disini yang berkeinginan mengerayangi, masuk ke dalam tubuhku. Perasaan itu sangat terasa, membara laksana api yang ingin berkobar bebas. Sita gadis yang aku pikir masih polos itu? ah tidak, aku jadi kepikiran tentang dia terus-terusan, ia membuatku semakin bergairah, membuka hasratku yang pernah terlupakan selama ini terhadap seorang perempuan.Tidak!! Aku ingin segera pulang! Kukerahkan tenagaku untuk bangkit berdiri kemudian berjalan keluar dari kamarku, setelah sebelumnya aku kenakan kembali pakaianku. Pakaian yang masih bernoda darah itu. Aku ingin pergi dari rumah ini sebisa mungkin agar tidak terlalu banyak hutangku pada keluarga yang telah menolongku ini. Keluarga yang masih menyimpan misteri untukku. Semoga kelak aku bisa membalas segala budi baik itu! Aku berusaha untuk mencari seseorang di rumah ini untuk pamit pergi. Mencari Sita yang mungkin tadi tersinggung kepadaku karena kejadian yang sangat memalukan barusan. Namun langkahku kemudian terhenti saat aku mendengar suara-suara rintihan, mendesah keluar dari balik kamar utama rumah ini. Aku intip ada apakah gerangan dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku semakin kaget, aliran darah seperti berhenti mengalir tatkala aku saksikan adegan dimana seorang ayah bersama anak perempaunnya yang sedang bergumul liar sambil bertelanjang tanpa busana. Degup jantungku nyaris terhenti menyaksikan pemandangan erotis tak lazim yang sedang aku lihat kini. Segera ku palingkan badan, pergi bergegas rumah ini saat ini juga. Tanpa permisi. *** Angin di luaran berhembus membawa dingin. Membelai halus tengkukku membuat diriku menjadi semakin merinding di petang menjelang malam ini. Aku berjalan menatapi keadaan sekelilingku, melewati bagian-bagian dari kota ini. Jarak rumahku memang masih jauh dari sini, apalagi perjalanan ini yang harus aku tempuh hanya dengan berjalan kaki. Berjalan di tengah kota yang semakin sepi, namun kemudian ramai oleh para perempuan yang pandai berdandan, berbaris dipinggiran jalan. Apakah kota ini semakin nampak indah dengan kehadiran mereka di sini. Kata beberapa pria yang menghampirinya tentu saja demikian, mereka adalah kunang-kunang yang berkilauan menghiasi kota yang semakin malam semakin menggulita. Aku pria yang belum sangat dewasa, sehingga kurang mengerti apa maksudnya. Terlalu polos aku dibandingkan seberapa usiaku saat ini. Mungkin dahulu seringnya ayah mengajari sesuatu hal yang wajar-wajar saja dan seharusnya. "Anakku, janganlah terlalu mendengarkan yang pernah orang lain katakan. Jangan pernah percaya pada mereka, siapa pun gerangan ia. Tapi yakinlah terhadap apa yang kau dengar dari suara hati nuranimu sendiri. Dia pasti lebih berkata jujur padamu. Lebih mengerti tentang kebenaran sesungguhnya. Tentang Cinta dan kasih sayang. Percayalah padanya!" AKu jadi teringat salah satu pesan ayahku dahulu.

Perempuan di pinggir jalanan itu sesungguhnya sedang berbisnis, bukan sedang menjajakan cinta. Lihat saja apa yang ditawarkan olehnya: Selangkangan. Ini memang komoditas yang sungguh menjanjikan. Lihat selalu ada saja konsumen mencari-carinya untuk dibeli, disewa barang beberapa jam saja. Harganya pun sangat menjanjikan. Pantas saja kalau barang seperti ini selalu laku di pasaran, karena peminatnya pun sungguh banyak. Meski pernah dilarang untuk dijual, toh tetap saja peredarannya tidak dapat dihentikan keberadaannya. Entah siapa yang paling hebat peranannya di sini, si penjual ataupun si pembeli. Untungnya aku tidak sempat tergoda pula untuk membelinya, apalagi keadaan yang terjadi padaku selama ini sedikit memihakku. Aku tak punya uang sepeserpun. Meskipun aku sungguh-sungguh jadi penasaran, ingin tahu lebih banyak tentangnya. Menyentuh dan merasakan kenikmatan dari selangkangan itu. Aku jadi ingat dahulu saat aku pernah di tampar sampai biru di pipiku karena memohonkan ini kepada seorang perempuan yang aku kasihi. katanya aku belum berhak menyentuhnya apalagi memilikinya. Meski masih gondok aku karena penasaran, entah mengapa sejak saat itu aku semakin cinta kepadanya. Ya, aku akan setia menunggunya dari kamu sampai saatnya menikah nanti. Aku meneruskan perjalananku saat malam pun semakin malam, meski lelah aku tetap berusaha untuk teruskan langkahku. Aku merindukan ibu. Mengkhawatirkan beliau, takut ada apa-apa yang terjadi dengannya. Peluhku pun menetes saat rasa lelah itu semakin menjangkiti otot-ototku. Aku istirahat sejenak duduk di salah satu trotoar, pada saat di seberang sana aku lihat ada beberapa perempuan yang sedang memberikan hiburan kecil-kecilan. Dadanya terbuka tanpa penutup. Mereka mengeliat-geliat erotis dan membebaskan siapapun untuk menyentuhnya, gratis. Aku sangsi mereka adalah perempuan. Aku yakin mereka adalah lelaki sama seperti diriku, tetapi entahlah bagaimana caranya mereka bisa memiliki payudara seindah itu. Aku semakin pedih meneruskan perjalanan ini. Menyaksikan kenyataan tentang pemandangan malam yang sebenarnya terjadi di kota kelahiranku ini. Pemandangan yang berbeda dari yang pernah di ajarkan ayahku dahulu. Yang aku hapal dari semua ajarannya adalah suara kicau burung, hembusan angin, dan bulan dan matahari yang datang silih berganti. Tetapi mengenai manusia, aku sedikit sekali di ajari olehnya. "Manusia itu sesungguhnya adalah malaikat, tetapi ia mewarisi pula darah iblis. Karena itu bercermin lah dari alam semesta yang terjaga seimbang agar kau tidak kelewat batas memaknai tentang dirimu dan apa-apa yang kau lakukan nantinya terhadap dirimu dan lingkunganmu." Ucap ayahku setiap kali ia selai mendongeng saat sebelum aku tertidur. Kalimat yang sejak dahulu sulit bagiku untuk mengerti apa maksudnya. Malam semakin gelap. Saat dini hari pun menjelang, hari tetap saja gelap. Bahkan semakin terasa dingin dan mencekam. Aku masuk ke dalam salah satu tempat dikawasan itu juga. Mencari minum untuk mengobati lelahku agar bisa melanjutkan kembali pulang ke rumah. bertemu ibuku yang aku yakini tengah risau dengan keadaanku. Pasti ia belum tertidur saat ini karena mencemaskanku. Di dalam tempat ini aku berjumpa dengan banyak orang. Banyak lelaki dan perempuannya, tetapi sepertinya mereka tidak tengah berkencan. Yang pria sibuk dengan prianya dan yang perempuan bercanda dengan

teman perempuannya. Mereka seperti dalam satu keluarga di sini. Salah seorang pria menghampiriku, membawakan segelas minuman untukku. "kau pasti haus kan?" aku segera meminum air yang ia berikan kepadaku. "terimakasih! ya, aku sangat kehausan." Pria itu memperkenalkan namanya dan akhirnya kita pun saling berkenalan. Dia nampaknya adalah seorang eksekutif muda yang berhasil. Bicaranya sopan dan terkesan sangat intelektual. Aku menceritakan apa-apa yang terjadi denganku beberapa hari ini. Soal ibuku sampai pemandangan terakhir yang aku lihat dari ujung trotoar tadi. Ia mendengarkan dan sedikit terpukau dengan ceritaku. Ia turut merasakan kesedihannya dan bersedia membantuku dalam hal ini. Ia berjanji akan membantuku mencari kan lilin untuk ibuku dan mengantarkaku sampai pulang kerumah. Aku mengucapkan terimakasih, lalu ia malah mendekapku dan berkata bukankah sesama kita memang harus saling membantu. Pelukkannya terasa semakin erat dan hangat, sampai aku tak mengira lagi kalau saat ini aku tengah bercumbu dengannya. Bruuk!! Aku mendorongnya kasar dan sempat memukul keras mukannya sampai akhirnya ia pun terjatuh ke lantai. Aku keluar dari tempat itu dan berlari sekencangnya. Namun peristiwa memuakkan itu selalu saja terbayang. Aku mual ingin muntah, tetapi aku tetap berlari dan terus berlari sampai akhirnya aku tiba di depan rumahku. Aku terjatuh lemas. *** Aku terbangun dan wajah pertama yang aku lihat adalah wajah ibuku. Langsung aku peluk beliau dan menangis dipelukannya. Suara tangisku begitu kencang, persis seperti pada saat aku keluar dari rahimnya dahulu. "Ibu...orang-orang di luaran sana sudah gila! Edan...!" "tenanglah anakku, tak usah berteriak begitu. Kau sedang bermimpi, tadi saat kau pun tertidur kau pun berteriak seperti ini." Ibuku berusaha menghapus air mataku yang sudah terlanjur mengalir. "Tidak ibu. Aku tidak tidak bermimpi, aku melihatnya semua. Aku merasakannya itu..benar-benar terjadi." "Sudahlah anakku, usiamu kini sudah hampir kepala 2. Sudah sepatutnya kau tidak bertindak seperti anak kecil lagi. Kamu harus lebih bersikap dewasa.!" Aku menatap ibu yang tersenyum manis padaku. Sepertinya dia nampak bahagia dan sama sekali tidak mengkhawatirkan keadaan diriku dan tidak memperdulikan bekas-bekas memar dan luka ditubuhku. "Ibu maafkan aku! aku belum sempat mendapatkan lilin itu untukmu. Maafkan aku Bu..aku memang bukan anak yang berbakti " aku sedikit memelas kepadanya memohon diberikan ampunan darinya.

"Sudahlah..kau tak perlu mengkhawatirkan akan hal itu. Aku telah menemukannya kini. Selama kau pergi dia lah yang telah menemaniku, sehingga aku tak kesepian selama ini. Dia telah membahagiakanku dan aku bahagia karenanya. Sudahlah, kau tak perlu mencarikan pengganti ayahmu untukku. Aku kini bahagia, anakku!." Aku keheranan dan terkejut dengan kata-kata yang ibu sampaikan barusan. Energi mendadak pulih dan langsung aku bergegas bangkit dari ranjang tempat tidurku, menuju ruangan dimana biasanya ayah dan ibuku meluapkan lelapnya. Aku terperanjat ketika kulihat seorang pria seusiaku keluar dari kamar tempat tidur ibuku. Wajahnya menunduk malu, pura-pura mengacuhkan keberadaan diriku yang terperangah dengan kehadirannya. Oh ibu..kau sungguh tega! *** Kini aku sudah tidak punya rumah. Aku terpaksa pergi meninggalkan ibu yang aku rasa memang lebih bahagia tanpa kehadiranku dirumah itu. Dia yang sekarang lebih bahagia bersama petualangannya. Sejak saat itu aku memang tidak pernah merasakan memiliki rumah itu lagi, meskipun ayahku dulu pernah mewarisinya untukku, anak satu-satunya. Semuanya menjadi asing bagiku, termasuk ibuku. Ya, kini aku tak mengenalnya. Rumahku kini adalah alam bebas dengan atapnya langit dan terasnya tanah yang ditumbuhi rerumputan. Aku bahagia kini, ditemani cahaya rembulan kala malam datang dan kala fajar menjelang yang seringkali kicau burung membangunkan diriku. Mungkin alam beserta isinya, kecuali manusia adalah sahabat yang paling mengerti aku. Memahami perasaanku yang sering aku tumpahkan kepadanya di saat aku sedih dan gembira. Aku rasa mereka pun mencintaiku dan aku pun mencintai mereka. Mencintai bintangbintang yang seringkali genit dengan sinarnya apabila aku tatapi mereka saat sedang menari di angkasa. Mereka lebih ramah ketimbang anak-anak kecil yang sering melempariku dengan batu dan meneriakkanku."dasar orang gila!" Dan angin yang sering berhembus menerpa tubuhku untuk lepaskan lelahku aku rasa jauh lebih setia daripada pacarku yang kontan langsung memutuskan diriku, setelah menurut dokter aku didiagnosa memiliki kelainan jiwa. Perempuan yang sangat aku sayangi itu pergi meninggalkanku, melupakan janji setianya bahwa kelak nanti kita akan hidup semati. Biarlah mereka semua pergi meninggalkanku, aku pun tak butuh cinta mereka. Toh, tetap aku tidak pernah merasakan kehilangan cinta itu. Dia selaku hadir di sini, ditengah kesendirian dan ketidakadaanku. Di segala keterbatasan, kesengsaraan dan kegilaanku kini. Hahahahaha, lucu sekali! Sekarang aku merasa lebih terbebaskan. Bandar Lampung, Juli 2003

Related Documents

Terbang Tanpa Sayap
November 2019 12
Sayap
May 2020 19
Wc Di Pesawat Terbang
December 2019 32