Satu arah Oleh : Roni Basa Condet, 24 Rabiul Uula 1430 H
Di tengah riuh rendah obrolan hadirin, suara Pak Daryono serasa terbenam jauh dalam kegundahan kolektif warga Desa Gandasari. Ruangan berukuran tidak lebih dari 35 meter persegi terasa sesak terisi belasan orang. Ibu- ibu kader desa dan penggerak lembaga keswadyaan masyarakat duduk mengelompok di sudut ruangan, berhimpit dengan meja, kursi dan lemari besi tempat dokumen. Meskipun furniture ruangan sudah ditata tumpukan vertikal sedemikian rupa agar memaksimalkan fungsi ruang, nyatanya kantor lembaga keswadayaan masyarakat Gandasari tetap terasa sesak. Bapak-bapak berumur separuh baya duduk seperempat lingkaran, menyambung batas akhir kelompok ibu-ibu. Perwakilan tokoh kelompok muda duduk berjarak di belakang lingkaran bapak-bapak, hampir menempel tembok ruangan. Jarak antara bapak-bapak dan tokoh kelompok muda hanya dibatasi oleh jajaran dua asbak rokok yang terbuat dari papan kayu berukuran 20 sentimeter. Agar rembug warga lebih interaktif dan partisipatif, duduk setelah batas akhir kelompok bapak-bapak ialah tim fasilitator yang selama ini mendampingi masyarakat. Tim fasilitator membuat lingkaran menjadi sempurna. Hanya ada gulungan kertas plano, spidol dan selotip kertas memisahkan tim fasilitator dan kelompok ibu-ibu. Pak Daryono sebagai koordinator lembaga keswadyaan masyarakat duduk di tengah tim fasilitator. Kemeja warna biru gelap yang dikenakan tampak kontras dengan dinding kantor berlapis ganda kertas plano dibelakangnya. Duduk bersimpuh menghadap baris terdepan bapak-bapak. Malam hangat bercampur asap rokok. Asap rokok menguap halus dari belakang barisan bapak-bapak, bersumber dari tiga batang rokok tersulut milik kelompok muda. Ibu-ibu tidak terganggu sebagai perokok pasif. Salah seorang fasilitator perempuan tidak kuasa menahan desakan nikotin yang merayapi saluran pernapasan yang segera menuju jantungnya dalam hitungan detik. Suara batuk tertahan menyadarkan dua orang perokok segera agar mematikan bara rokoknya. Rembug warga ini untuk kesekian kalinya setelah pemilihan ulang anggota lembaga keswadayaan. Komposisi keanggotaan menunjukan wajah-wajah baru, namun masih didominasi oleh anggota lama dari kepengurusan sebelumnya. Pemilihan ulang dilakukan untuk menyelamatkan komitmen menanggulangi kemiskinan partisipatif. Tidak ada prosesi kampanye, tidak juga ada pemasangan baliho, poster dan pamflet agitatifmanipulatif selama proses pemilihan anggota lembaga. Tidak selayaknya calon-calon legislatif; kaum ‘populis’ yang bermasalah dengan eksistensinya. Seluruh anggota dipilih oleh warga sebab rekaman jejak perilaku kesehariannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Mereka relawan. Tidak ada imbalan apapun, tidak memiliki materi apapun, tidak bertendensi apapun. Mereka benar-benar relawan sejatinya. Manusiamanusia jernih bagai buih dengan gemerlap intan dari jiwa sucinya.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Rembug warga kali ini membicarakan langkah-langkah langsung untuk memperbaiki kelembagaan, re-orientasi program kerja dan memperbaiki kualitas transparansi pengelolaan kegiatan. Begitu setidaknya yang dikemukakan Pak Daryono pada awal pertemuan, sambil bersandar lunglai pada tembok. Kelelahan akibat pekerjaan siang hari tadi tergambar jelas pada wajah bayanya. Berjualan gorengan keliling harus dijalani kembali. Anak laki-lakinya tidak memungkinkan jadi tulang punggung keluarga sementara ini. Anaknya dirumahkan oleh pabrik sebab kebijakan penghematan ongkos produksi guna mengimbangi naiknya harga suku cadang mesin. Anaknya dirumahkan sebab terkalahkan oleh mesin pabrik. Masa tua Pak Daryono tertawan untuk menghamba mahsyuk kepada Tuhan. Percayakah ada manusia relawan seperti itu?, percayakah ada sekelompok manusia di luar sana yang merelakan dirinya untuk yang lainnya?. Percayakah bahwa nilai-nilai luhur kemanusiaan mampu meretas kemiskinan?, percayakah kesadaran kritis akan menumbangkan keangkuhan sang kuasa, apapun bentuknya?. Percayakah bahwa hidup tidak melulu tentang hal lahiriah?, percayakah suara nurani tak terpungkiri untuk arungi hari demi hari?. Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya. Dengan tegas saya menjawab “saya bersaksi bahwa mereka benar-benar nyata”. *** Setelah koordinator sebelumnya terindikasi tidak terbuka, bahkan menyimpangkan dana milik warga, pelaksanaan program kerja pengentasan kemiskinan menjadi terhambat. Warga tidak mudah begitu saja mempercayai lembaga swadaya. Masa lalu lembaga keswadayaan Gandasari ialah coreng-moreng wajah kerelawanan warga. Membangun kembali kepercayaan warga kepada lembaga keswadayaan bukan perihal administratif. Proses audit oleh auditor independen, pelaksanaan rembug untuk meninjau ulang dan merefleksikan kegagalan bersama warga, belum juga membuahkan kepercayaan. Relawan warga khawatir, ketidakpercayaan warga kepada lembaganya akan mengakibatkan ketidakpercayaan pada potensinya sendiri. Potensi yang juga modal sosial untuk mengatasi permasalahan kehidupannya sendiri, menjadi mandiri. Kesemua keprihatinan dan kepedihan yang terjadi dalam kehidupan tidak menjadikan anggota lembaga keswadayaan bergeming menatap masa depan. Ada banyak warga miskin di Gandasari perlu diperjuangkan di masa datang. Mereka berkesadaran menjadikan masa lalu sebagai pelajaran bagi masa depan. Mereka bersepakat tidak akan melupakan masa lalu demi masa depan. Mereka menolak mengingkari masa lalu. Pengingkaran terhadap masa lalu juga berarti pengingkaran terhadap masa depan. Pada pertemuan sebelumnya, pertemuan internal pengelola lembaga keswadayaan, hal ini direfleksikan nilainya. Masa lalu ditilai oleh mereka tidak pernah ada jika ia tidak memberikan masa depan bagi esok hari. Jikapun masa lalu diakui ada, hanya untuk menutupi luka, maka masa depan hanya akan berbuah dendam. Dan dendam akan menutup mata hati. http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
The past is never dead, it is not even past. This past, moreover, reaching all the way back into the origin, does not pull back but presses forward, and it is, contrary to what one would expect, the future which drives us back into the past. Seen from the viewpoint of man, who always lives in the interval between past and future, time is not a continuum, a flow of uninterrupted succession; it is broken in the middle, at the point where "he" stands; and "his" standpoint is not the present as we usually understand it but rather a gap in time which "his" constant fighting, "his" making a stand against past and future, keeps in existence. The first thing to be noticed is that not only the future "the wave of the future" but also the past is seen as a force, and not, as in nearly all our metaphors. Action being things to be do. Action that has a meaning for the living has value only for the dead, completion only in the minds that inherit and question it. If action is emphasized exclusively to the detriment of reflection, the word is converted into activism. Action can not living in the jail wich called “area between past and future”. Malam hangat bercampur asap rokok bergerak maju. Suara batuk tertahan akibat sisa bau tembakau rokok menyadarkan saya. Tim fasilitator semenjak tadi memberi tanda kepada saya untuk berbicara. Cukup lama rupanya saya tertegun. Pak Daryono memberi ruang agar saya duduk bersamanya. Relawan warga memperbaiki posisi duduknya. Kelompok ibu-ibu membuka lembaran baru buku catatan, bersiap menulis pernyataan. Kelompok muda malu segan membersihkan ceceran abu rokok yang meleset tertampung asbak papan kayu berukuran 20 sentimeter. Saya duduk disebelah kanan Pak Daryono. Kali keenam saya berada di tengah-tengah manusia-manusia yang memiliki kebesaran jiwa, kemurnian hidup. Kembali saya tertegun, sampai usapan halus Pak Daryono dipunggung memberi rasa nyaman untuk berbicara. Namun, saya tetap tidak dapat berbicara. Segala jiwa saya luruh, segala keberanian saya membeku di ujung hela nafas. Terasa sesak dada, lalu detik selanjutnya air mata menetes. Terisak saya sampaikan betapa saya merasa terhormat dapat bersama mereka, belajar banyak untuk menyikapi masa lalu, berbuat adil kepada masa depan. Ada ruang “antara” masa lalu dan masa depan yang masih diberikan kesempatan mendiami kehidupan. Ruangan “antara” tidak menenggelamkan hidup pada area masa lalu, namun sulit mengawali penjelajahan masa depan. Ruangan “antara” bukanlah masa kini. Setiap perbuatan dalam ruang “antara” tidak berfungsi memperbaiki kondisi, hanya menegaskan eksistensi. Aksi;perbuatan berdasar nurani dengan kesadaran akan memberi arti lebih bagi kehidupan dalam ruang “antara”. Ia akan bergerak satu arah bersama masa lalu dan masa depan, bahkan masa lalu dan masa depan senyatanya bergerak satu arah. Dan itu bukan masa kini. Yang perlu dilakukan selanjutnya ialah mendengarkan kembali nurani dalam gerak satu arah masa lalu dan masa depan. Nurani akan menunjukan arah lebih baik, meskipun akan ada jalur satu arah lainnya. http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Pak Daryono dan relawan lainnya, dengan pengalaman berkehidupan dengan warganya, dengan kepayahan tidak terkira membangkitkan kembali kepercayaan diri masyarakatnya untuk menangani permasalahannya, berani menegaskan pemahaman tentang ada ruang “antara” masa. Masa lalu dan masa depan, diantara keduanya, ada interval yang menjembataninya. Perihal ini perihal kesadaran kolektif; elansitas kehidupan bermasyarakat, masa lalu seringkali diakui sebagai yang “pernah ada” untuk menjadi hikmah sekaligus upaya untuk melupakan agar luka tidak lagi menganga. Dan masa depan dipandang sebagai kekuatan dan modal sosial sebuah kebangkitan baru, sekaligus juga sebagai penawar untuk mengobati luka masa lalu. Interval masa, bukanlah masa kini, dan masa kini bukanlah keharusan. Jikapun masa kini terjadi, ia tidak permanen. Akan selalu ada masa kini di tiap perjalanan waktu. Kesemuanya bergerak satu arah….satu waktu. Wallahu a’lam bishawab.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan