Roti Penadah Debu Dalam sebuah perjalanan, ketika berhenti di perempatan lampu merah, saya melihat pengendara motor dengan sekeranjang besar roti. Roti itu jenis bakpia, hasil home industry yang sangat terkenal dari Yogyakarta. Mengingat kota yang sedang saya datangi itu bukan Yogya, saya menduga, bakpia ini pasti palsu. Dalam arti, ia pasti bukan bakpia buatan Yogya yang gurih dan lunak itu. Bakpia ini pasti dari jenis yang keras dan kasar, yang mirip dalam bentuk tapi lain dalam mutu, yang karena itulah kami menyebutnya sebagai palsu. Yang menjadi soal memang bukan soal palsu dan aslinya. Roti itu setahu saya memang belum didaftarkan hak patennya. Apalagi hak-hak cipta komunal seperti bakpia Yogya, Dawet Ayu dari Banjarnegara, beras Rajalele dll memang tak pernah jelas nasib hak patennya. Apalagi Undang-undang Hak Cipta yang baru saja diberlakukan ini juga banyak dikritik karena tidak mengakomodasi hak cipta komunal semacam itu. Jadi seperti bakpia Yogya itu, boleh dikloning di berbagai kota. Dawet Ayu Banjarnegara itu juga boleh dibuat oleh orang Nangroe Aceh Darussalam dengan merk yang sama, tanpa orang Yogya bisa mencegahnya. Jadi soal asli dan palsu, tidak dipentingkan di tulisan ini. Yang sedang menarik perhatian saya bukanlah hal-hal besar yang sudah menjadi kebiasaan kita untuk selalu tertinggal itu. Tapi lebih karena bakpia dalam keranjang itu, sama sekali tak diberi penutup debu. Ia cuma dibiarkan berserak begitu saja dengan segenap semburan asap knalpot dan debu jalanan bebas mengotorinya. Roti itu benar-bener menjadi penadah debu yang sempurna dan barang sekotor itulah yang akan dibiarkan masuk dalam perut pelanggan. Tapi ini juga bukan soal pelanggan yang dirugikan, melainkan soal orang yang gagal menghargai dirinya sendiri. Di warung-warung masih banyak makanan dibiarkan tanpa penutup hingga lalat-lalat merdeka menjarahnya. Pendek kata begitu banyak pedagang yang menghina dagangannya sendiri. Jadi, ada banyak pihak yang mencari nafkah lewat sesuatu, tapi tidak pernah menjadikan sesuatu itu sebagai pihak yang dia cintai. Jumlah orang-orang yang tidak serius dan tukang leceh pada barang yang menghidupinya ini bisa jadi banyak sekali. Orang ini setara dengan musisi yang berlatih cuma kalau ada tanggapan, setara dengan wartawan yang cuma mengejar amplop, dengan seniman yang cuma bermodal rambut gondrong, dengan pejabat yang cuma korupsi. Orang-orang semacam itu bahkan terhadap tanggung jawab dan miliknya sendiri pun gagal memberi rasa hormat, maka bagaimana mungkin ia bisa menghormati milik orang lain. Jika terhadap nasibnya sendiri saja ia ceroboh, bagaimana orang ini bisa menghargai nasib orang lain. Jika mengurus diri sendiri saja masih gagal, bagaimana urusan orang lain akan dibereskan. Jika mengurus partai sendiri saja gagal, bagaimana para pemimpin itu harus mengurus negara. Jadi, kesiapan mengurus dan setia pada diri sendiri masih menjadi masalah serius bagi kita. Dengan tingkat kekuatan cuma sebatas ini, sudah layak jika kita menjadi bangsa tertinggal. Mental tukang roti itu ternyata menjalar ke mana-mana dan bisa jadi telah menjalar pula ke tubuh kita. (PrieGS/)