Diplomasi Kopiah UNTUK menghindari risiko sweeping, sebuah restoran fast food di Semarang menambahkan kopiah untuk seragam karyawannya. Kebijakan ini jelas sekali maksudnya, ingin membuat wajah restoran itu berwatak agamis secara tiba-tiba. Lagi, sebuah kebijakan yang nyaris menyerupai tahayul terjadi di sekitar kita. Kebijakan itu setara dengan kebiasaan ketika musim kerusuhan etnik tiba, yakni mengamankan diri dengan sekadar memacak kata "pribumi". Setara dengan artis-artis panas yang kemudian menjadi tampak sangat salehah ketika bulan Puasa tiba. Kebijakan itu mestinya menghina kecerdasan kita. Bagaimana mungkin cuma sekadar kopiah telah dipercaya sebagai bukti "pindah agama". Bagaimana mungkin hanya dengan menulis satu kata, seseorang telah merasa berpindah warga negara. Bagaimana bisa ketaatan beragama hanya muncul sekali setahun saja. Tapi mari kita hargai keputusan yang lebih menyerupai kekonyolan itu, sebab kita memang masyarakat yang gampang ditipu bahkan oleh jenis tipuan paling sederhana sekalipun. Kuncinya? Sepanjang tipuan itu memuat unsur-unsur yang kita suka: simbol dan atribut. Begitu besar minat kita pada atribut hingga mendorong orang berani melakukan kekonyolan secara terbuka. Jika ia telah berdandan sedemikian rupa merasa telah menjadi orang bertakwa. Jika ia telah membawa proposal beratas nama tempat ibadah dan rumah yatim-piatu, ia telah boleh meminta sumbangan ke manapun suka. Untuk menjadi seorang nasionalis, seseorang juga cukup hanya dengan mengganti nama. Begitulah, zaman telah begini maju, tapi selera kita masih tetap dianggap begini tidak bermutu. Selera inilah yang dianggap sebagai izin bagi munculnya para penipu. Maka untuk menjadi seniman, orang cukup bermodal memanjangkan rambut dan mengacak-acak dandanan. Kebiasaaan inilah yang membuat seseorang merasa memiliki derajat sebagai imam hanya karena bermodal kelancaran melantunkan ayat-ayat Tuhan. Maka dipanjangkanlah sembahyangnya bukan karena kekhusukan melainkan karena keinginan pamer bacaan. Dihalaunya anak-anak yang gaduh bukan karena mengacau peribadatan melainkan karena mengganggu jalannya "pertunjukkan". Sembahyang bagi dia hanyalah sebuah show katimbang menyembah Tuhan. Maka selalu dia pilih ayat-ayat yang panjang, bukan karena ia suka memanjangkan doa, tapi lebih pada memanjangkan otoritasnya sebagai imam. Tapi sesungguhnya kemunculan kebiasaan gadungan itu mestinya bisa ditekan jika ambisi kita atas simbol dan atribut tidak demikian kelewatan. Maka relakanlah si Fulan, yang meski jarang muncul di masjid itu, masuk dalam barisan ahli ibadah karena dialah orang pertama yang paling siap memandikan mayat jika tetangganya mati, paling siap memanggul kerandanya dari rumah duka hingga ke liang lahat. Dan orang ini pun tidak pernah menganggap bahwa perbuatannya mulia. Kalaupun ada orang yang telanjur memuji jasanya ia cukup menjawab singkat, itupun dengan gaya cengengesan: "Habis, dia kan tidak setiap hari mati." (03) (PrieGS/)