Buatan Indonesia PADA sebuah perjalanan dengan kereta saya terpaku pada seluruh pembungkus tempat duduk yang bertuliskan ''Cintailah produk dalam negeri''. Karena tulisan itu begitu dekat dengan mata saya, mau tidak mau saya harus memelototi. Karena ia berada di sekujur tempat duduk, mau tak mau ia menyita perhatian saya. Tidak sulit menangkap maksud anjuran ini. Untuk beberapa soal ia sudah dipatuhi. Di sebagian barang sudah terang-terangan mencantumkan Buatan Indonsia, termasuk tabung gas elpiji di rumah saya. Maka marilah kita melihat aneka buatan Indonesia yang kepadanya saya diminta jatuh cinta itu. Pertama soal kereta itu. Ini kereta dengan tiket mahal, kalau tidak malah yang termahal. Yang jelas, butuh berkarier puluhan tahun bagi saya untuk akhirnya bisa menaiki kereta ini bersama keluarga. Saya akan mulai dengan mecintai kereta ini dulu saja. Dan itu ternyata tidak mudah. Di saat berangkat saya mendapat tempat duduk yang meleset busanya. Sementara yang lain mendatar busa ini menonjol sendiri. Tampil beda, begitu mungkin maksudnya. Kami sekeluarga butuh gotong-royong untuk mengatasi kursi bermasalah ini dan hasilnya sia-sia. Ia baru beres setelah kami mencari teknisi yang ternyata juga butuh demikian bersusah payah. Cinta saya menemui ujiannya yang pertama. Usai berangkat, tiba giliran pulang. Kini bukan kursi, tetapi jendela tepat di sebelah saya yang retak kacanya. Tak sulit menebak apa penyebabnya. Ini pasti akibat batu yang melayang dari luaran sana. Karena kabar penumpang yang pingsan akibat lemparan, adalah kabar biasa. Di sebuah negara tetangga jendela kereta malah harus diberi terali besi karena risiko anarki. Jadi sepanjang perjalanan saya berdoa, agar kaca di sebelah saya ini tidak mendapat lemparan keduanya. Sungguh usaha jatuh cinta yang penuh dengan doa! Kereta mahal ini juga relatif pendiam terutama untuk penumpang di gerbong paling belakang seperti saya, Ketika ia hendak berangkat ya berangkat begitu saja karena saya tak mendengar apa-apa. Baru ketika telah berjalan terdengar sapaan itu. Suara operator yang segera direspon oleh anak sulung saya sebagai suara yang sedih. ''Kok tidak gembira?'' tanya anak saya menafsirkan warna suara itu. Saya kesulitan menjawab, tetapi juga tidak sulit menebak kenapa seorang operator lupa bergembira. Karena harus turun bukan di pemberhentian terakhir, maka saya tidak tahu berapa lama kereta ini berhenti dan semua baru jelas setelah petugas restorasi kebetulan lewat. ''Tiga hingga lima menit,'' katanya. Tiga hingga lima menit! Ini sunguh spekulasi yang berbahaya jika keliru mengantisipasi. Apa jadinya jika sudah telanjur percaya lima ternyata yang muncul cuma tiga. Meramal kapan kereta mahal ini berangakat dari istirahatnya, sama sulitnya dengan meramal harga saham di lantai bursa. Karenanya saya main aman saja. Jauh sebelum kereta ini tiba, saya sudah menyiagakan seluruh keluarga: satu istri, dua anak, tiga kopor besar, tiga bungkusan plastik tambahannya. Dengan dua anak dan satu istri saja sudah repot begini, apalagi hidup dengan banyak istri. Ketika kereta benar-benar berhenti dan kami sudah di ambang pintu, persoalannya juga tidak tidak mudah. Jarak antara kereta dan lantai stasiun itu sungguh menganga. Anak lelaki saya cuma bisa termangu di depan pintu. Saya berada tepat di gerbong yang tidak kebagian tangga bantuan. Untuk mencarinya, kami boyongan lagi ke gerbong depan. Tetapi dua gerbong telah kami lewati dengan serentengan kopor seperti rombongan TKI ini sungguh sebuah presoalan. Bisa saja kami menjangkau tangga yang nun jauh di sana kelak, tetapi apa jadinya jika tangganya kena, tetapi kereta sudah habis masa jedanya. Akhirnya kami sekeluarga memilih anjlok bergiliran, sebuah aksi yang sama sekali tidak sempat kami latih sebelumnya.
Sungguh perjalanan yang mengesankan. Dan anjuran Cintailah Buatan Indonesia di sekujur kursi kereta itu terus terbayang di pelupuk mata. Begitu kuat bayangan itu hingga ketika sampai di rumah pun mata saya bukannya pindah fokus, melainkan malah tambah fokus. Semua gara-gara tabung elpiji yang saya sebut di depan itu, yang di bagian bawahnya tertera tulisan Buatan Indonesia. Oo jadi, saya kembali harus jatuh cinta, kini giliran kepada tabung ini. Tetapi sebelum cinta itu saya berikan, istri saya sudah terlihat menghela nafas. Entah kenapa setiap melihat tabung Elipiji, kemurungan segera tergambar jelas di wajahnya. ''Isinya jarang cocok dengan tulisannya,'' katanya. Hehehe� ternyata di negeri ini tidak mudah untuk jatuh cinta! (Prie GS/CN05)