PENDAHULUAN
Latar Belakang Terminologi hipertensi dalam
kehamilan (HDK) digunakan untuk
menggambarkan spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan tekanan darah yang ringan atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai sekarang penyakit HDK masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas. HDK adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping perdarahan dan infeksi. Angka kematian bayi juga meningkat pada wanita hamil dengan hipertensi yang berat. Pada HDK juga didapati angka mortalitas dan morbiditas bayi yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia merupakan penyebab dari 3040% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit ini. WHO Model Formulary 2004 menyebutkan obat antihipertensi meliputi beta-bloker (atenolol), ACE inhibitor (enalapril), vasodilator (hidralazin dan nitropusid), diuresis (hidrochlorothiazid), antihipertensi yang berefek sentral (metildopa) dan calcium channel blocker (nifedipin). Akan tetapi beberapa dari obat tersebut merupakan kontraindikasi pada kehamilan. WHO Model 1
Formulary 2004 juga merekomendasikan MgSO4 bagi eklampsia dan preeklampsia berat serta menegaskan bahwa metildopa adalah obat antihipertensi
teraman
pada
kehamilan.
WHO
juga
dikabarkan
merekomendasikan penggunaan hidralazin, nifedipin dan labetalol. Labetalol telah lama digunakan di Amerika Serikat sebagai terapi aman bagi penderita preeklampsia. Labetalol diketahui dapat menurunkan tekanan perfusi otak pada wanita dengan preeklampsia. Di United Kingdom, labetalol merupakan satu-satunya obat yang digunakan untuk mengatasi preeklampsia dan dilaporkan tidak terdapat perbedaan angka kejadian kejang dengan penggunaan MgSO4 sebagai terapi profilaksi kejang di Amerika Serikat. Labetalol juga dapat diberikan peroral. Hal ini sangat menguntungkan karena selain menurunkan tekanan perfusi otak, pemberial peroral lebih ekonomis, mempunyai potensial toksisitas yang rendah dan tidak memerlukan pelatihan khusus untuk melakukannya. Oleh karena itu, labetalol dapat dikatakan sebagai agen yang ideal dalam mengontrol tekanan darah dan menurunkan insiden eklampsia pada wanita dengan preeklampsia. Dari berbagai sumber inilah diduga bahwa labetalol merupakan obat antihipertensi yang ideal untuk diberikan pada wanita hamil dengan hipertensi. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut: bagaimana efikasi labetalol pada wanita hamil dengan hipertensi.
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk: Mengetahui efikasi labetalol pada wanita hamil dengan hipertensi.
TINJAUAN PUSTAKA Labetalol Labetalol adalah antagonis adrenoseptor reversibel yang tersedia dalam bentuk campuran rasemik dari dua pasangan isomer kiral (molekulnya mempunyai 2 pusat asimetris). Isomer SS dan RS tidak aktif, isomer RS merupakan penyekat alfa kuat dan isomer RR sebagai penyekat beta yang kuat. Afinitas labetalol terhadap reseptor alfa lebih kecil dari fentolamin, tetapi obat ini bersifat selektif α1. Isomer penghambat beta diperkirakan memiliki sifat selektif β2 dan sebagai kerja antagonis beta nonselektif. Akan tetapi potensi penyekat betanya lebih rendah dari propanolol. Labetalol memiliki kerja penghambat beta lebih dominan dibandingkan antagonis alfa dengan rasio 3:1 setelah pemberian oral. Melalui pemberian labetalol, tekanan darah dapat diturunkan dengan pengurangan tahanan sistemik vaskular tanpa perubahan curah jantung maupun frekuensi jantung yang nyata sehingga hipotensi yang terjadi kurang
3
disertai efek takikardia. Karena aktivitas kombinasi penghambat alfa dan beta yang
dimiliki,
labetalol
berguna dalam mengobati
hipertensi pada
feokromositoma dan hipertensi gawat. Selain itu, labetalol juga dapat melakukan blokade terhadap efek takikardia neonatus yang disebabkan oleh terapi beta bloker pada ibu. Sehingga labetalol dapat dikatakan sebagai obat alternatif yang lebih aman dan efektif diberikan pada kehamilan. Pemberian labetalol dapat secara oral maupun injeksi bolus intravena. Dosis oral harian labetalol berkisar dari 200-2400 mg/hari dengan dosis awal 2 x 100 mg. Dosis pemeliharaan biasanya 2 x 200-400 mg/hari. Akan tetapi pada pasien dengan hipertensi gawat, dosis dapat mencapai 1,2 hingga 2,4 gram/hari. Labetalol sebagai suntikan bolus intravena secara berulang-ulang 20-80 mg untuk mengobati hipertensi gawat. Mabie, dkk (1987) memberikan labetalol 10 mg IV sebagai dosis awal. Apabila tekanan darah tidak berkurang dalam waktu 10 menit, pasien diberi 20 mg. Dalam 10 menit berikutnya adalah 40 mg yang diikuti 40 mg dan kemudian 80 mg apabila belum tercapai respon
yang
bermanfaat.
Sedangkan
The
Working
Group
(2000)
merekomendasikan bolus 20 mg IV sebagai dosis awal. Apabila tidak efektif dalam 10 menit, dosis dilanjutkan dengan 40 mg, kemudian 80 mg setiap 10 menit, hingga dosis total sebanyak 220 mg. Efek samping yang sering timbul adalah kelelahan, lemah, sakit kepala, diare, edema, mata kering, gatal pada kulit kepala dan seluruh tubuh serta susah tidur. Hipotensi postural juga dapat terjadi akan tetapi sangat jarang.
Adapun efek samping yang sangat jarang terjadi tetapi merupakan efek samping yang mematikan adalah timbulnya kesulitan bernafas (respiratory distress). Hipertensi dalam kehamilan Gangguan hipertensi pada kehamilan sering dijumpai dan termasuk dalam salah satu diantara tiga trias mematikan, bersama dengan perdarahan dan infeksi, yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas ibu karena kehamilan. Menurut the National Center for Health Statistics pada tahun 1998, hipertensi dalam kehamilan merupakan faktor resiko medis yang paling sering dijumpai (Ventura dkk., 2000). Hipertensi didiagnosis apabila tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Sedangkan edema tidak lagi digunakan sebagai kriteria diagnostik karena kelainan ini terjadi pada banyak wanita hamil normal sehingga tidak dapat digunakan sebagai faktor pembeda. Terdapat lima jenis penyakit hipertensi, yaitu : Hipertensi gestasional Preeklamsia Eklamsia Superimposed preeklamsia Hipertensi kronik Kriteria Diagnosis Berikut kriteria diagnosis gangguan hipertensi yang menjadi penyulit pada 5
kehamilan : Hipertensi Gestasional Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kali dalam kehamilan Tidak ada proteinuria Tekanan darah kembali normal pada < 12 minggu post partum Mungkin memperlihatkan tanda-tanda lain preeklamsia, misalnya nyeri epigastrium atau trombositopenia Preeklamsia Preeklamsia merupakan sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Kriteria minimum Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah gestasi 20 minggu Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau 30 mg/dl ( +1 pada dipstik) secara menetap pada sampel urin acak Peningkatan kepastian preeklamsia Tekanan darah ≥ 160/100 mmHg Proteinuria ≥ 2,0 g/24 jam atau ≥ +2 pada dipstik Kreatinin serum > 1,2 mg/dl kecuali apabila diketahui telah meningkat sebelumnya Trombosit < 100.000/mm3 Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat) SGPT (ALT) atau SGOT (AST) meningkat
Nyeri
kepala
menetap
atau gangguan serebrum atau penglihatan lainnya Nyeri epigastrium meningkat Eklamsia Kejang yang tidak disebabkan oleh hal lain pada seorang wanita hamil dengan preeklamsia Superimposed Preeklamsia Proteinuria awitan-baru ≥ 300 mg/24 jam pada wanita pengidap hipertensi tetapi tanpa proteinuria sebelum gestasi 20 minggu Terjadi peningkatan proteinuria atau tekanan darah atau hitung trombosit < 100.000/mm3 secara mendadak pada wanita hamil dengan hipertensi dan proteinuria sebelum gestasi 20 minggu Hipertensi Kronik Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum gestasi 20 minggu atau Hipertensi yang pertama kali disiagnosis setelah gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu post partum Patofisiologi Patofisiologi dari hipertensi pada kehamilan dapat digambarkan pada skema di bawah ini :
7
Faktor genetik, Imunologik, atau inflamasi Penurunan perfusi uteroplasenta Zat vasoaktif :
Zat perusak :
Prostaglandin, Nitrat oksida,
Sitokin,
Endotelin
Peroksidase lemak
Kebocoran kapiler Vasospasme
Aktivasi koagulasi Edema
Proteinuria
Hemokonsentrasi Hipertensi Kejang
Iskemia hepar Oligouria
Trombositopenia
Solusio Pencegahan Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah terjadinya preeklamsia. Di bawah ini terdapat beberapa strategi yang digunakan untuk mencegah preeklamsia : Manipulasi diet
Salah satu usaha paling awal yang ditujukan untuk mencegah preeklamsia adalah pembatasan asupan garam selaman hamil(DeSnoo, 1937). Akan tetapi dalam penelitian terhadap 361 wanita, diet rendah garam terbukti tidak efektif untuk mencegah gangguan hipertensi akibat kehamilan. Aspirin dosis rendah Beberapa uji klinis secara konsisten memperlihatkan bahwa aspirin dosis rendah tidak efektif untuk mencegah preeklamsia. Antioksidan Serum wanita hamil normal memiliki mekanisme antioksidan yang berfungsi mengendalikan peroksidasi lemak yang diperkirakan berperan dalam disfungsi sel endotel pada preeklamsia. Davidge, dkk (1992) telah membuktikan bahwa serum wanita hamil dengan preeklamsia memperlihatkan penurunan mencolok dari aktivitas antioksidan. Penanganan Penanganan yang tersebut di bawah ini merupakan penanganan secara umum pada wanita hamil dengan hipertensi. Hipertensi Gestasional Jika kehamilan < 37 minggu, tangani secara rawat jalan : Pantau tekanan darah, proteinuria dan kondisi janin Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin terhambat, rawat dan pertimbangkan terminasi kehamilan 9
Preeklampsia ringan Jika kehamilan < 37 minggu : Pantau tekanan darah, proteinuria, refleks dan kondisi janin Tidak perlu diberi obat-obatan Diet biasa Istirahat Jika terdapat tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat, pertimbangkan terminasi kehamilan Jika proteinuria meningkat, tangani sebagai preeklampsia berat Jika kehamilan >37 minggu, pertimbangkan terminasi : Jika serviks matang, lakukan induksi oksitosin 5 IU dalam 500 ml dekstrose IV 10 tetes/mnt atau dengan prostaglandin Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, mesoprostol atau kateter Foley atau terminasi dengan seksio sesarea Preeklampsia berat dan eklampsia Penanganan preeklampsia berat dan eklampsia sama, kecuali bahwa persalinan harus berlangsung dalam 12 jan setelah timbulnya kejang pada eklampsia. Untuk penanganan kejang, dapat diberikan MgSO4 atau diazepam dengan resiko terjadinya depresi neonatal. Obat pilihan adalah hidralazin yang diberikan 5 mg IV pelan selama 5 menit sampai tekanan darah turun. JIka perlu, pemberian hidralazin dapat
diulang setiap jam atau 12,5 mg IM setiap 2 jam. Apabila hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan nifedipin 5 mg sublingual yang jika respon tidak baik selama 10 menit beri tambahan 5 mg sublingual atau labetalol 10 mg IV yang jika respon tidak membaik dalam 10 menit beri lagi 20 mg IV. Persalinan pada preeklampsia berat harus terjadi dalam 24 jam, sedangkan pada eklampsia harus terjadi dalam 12 jam timbulnya kejang. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak terjadi dalam 12 jam pasca kejang, lakukan seksio sesarea dengan memperhatikan tidak adanya koagulopati dan gunakan anestesi umum. Apabila anestesi umum tidak tersedia atau janin mati, aterm terlalu kecil maka lakukan persalinan vaginal. Hipertensi Kronik Jika sebelum hamil pasien telah mendapat obat antihipertensi dan terkontrol dengan baik, lanjutkan pengobatan tersebut Jika terdapat proteinuria, pikirkan superimposed preeklampsia Jika tidak terdapat komplikasi, tunggu hingga kehamilan aterm Jika terdapat preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat atau gawat janin lakukan induksi baik dengan mesoprostol maupun oksitosin.
KESIMPULAN
11
Labetalol merupakan antihipertensi non kardioselektif yang memiliki kerja penghambat beta lebih dominan dibandingkan antagonis alfa. Melalui penggunaan labetalol, tekanan darah dapat diturunkan dengan pengurangan tahanan sistemik vaskular tanpa perubahan curah jantung maupun frekuensi jantung yang nyata sehingga hipotensi yang terjadi kurang disertai efek takikardia. Selain itu, labetalol juga dapat melakukan blokade terhadap efek takikardia neonatus yang disebabkan oleh terapi beta bloker pada ibu. Sehingga labetalol dapat dikatakan sebagai obat alternatif yang lebih aman dan efektif diberikan pada kehamilan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, Labetalol (17 Januari 2008), diakses dari www.id.wikipedia.com Belfort, M.A. Labetalol Versus MgSO4 for the Prevention of Eclampsia Trial (April, 2007) by Utah HealthCare Institute, diakses dari www.ClinicalTrials.gov Cuervo, L.G.. Labetalol for the treatment of hypertension in pregnancy (15 Desember 2004), diakses dari www.google.com Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., et all. 2006. Obstetri William. Edisi 21, volume 1. Jakarta : EGC Marks, J.W. Labetalol (13 Desember 2005), diakses dari www.medicineNet.com Penoll, M.L. 2001. Handbook of Obstetrics and Gynecology. Tenth edition. Saifuddin, A.B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G.H., et all. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.