Referat Spondilitis Tb.docx

  • Uploaded by: Gigih Prakoso
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Spondilitis Tb.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,654
  • Pages: 25
REFERAT SPONDILOSIS TUBERKULOSA

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Saraf di RSUD Tugurejo Semarang

Diajukan Kepada : Dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp. S

Disusun Oleh : Lisan Gigih Prakoso H2A013027P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2018 1

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Lisan Gigih Prakoso

NIM

: H2A013027P

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Universitas Muhammadiyah Semarang

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

: Ilmu Saraf

Judul

: Spondilosis Tuberkulosa

Telah dipresentasikan di hadapan Pembimbing Kepaniteraan Klinik serta telah diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk kelulusan dari Program Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf di RSUD Tugurejo Semarang.

Semarang,

2018

Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik Saraf

dr. Noorjanah Pujiastuti, Sp.S

2

BAB I PENDAHULUAN Spondilitis tuberkulosis atau tuberculosis tulang belakang merupakan penyakit peradangan granulomatosa bersifat kronis destruktif yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakut ini merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis ditempat lain di tubuh.1 Spondilitis tuberkulosis disebut juga sebagai Pott’s Disease of the spine. Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Percival Pott seorang ahli bedah berkebangsaan Inggris pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan kuman tuberkulosis

hingga

ditemukannya

basil

tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.2 Hasil temuan yang khas pada spondilosis tuberkulosis yaitu terdapat paravertebral abses pada gambaran radiologis spondilitis, yaitu pada daerah T8 dan L3 paling jarang pada vertebra C1 dan C2. Spondilitis biasanya mengenai korpus vertebra, jarang mengenai arcus vertebra.1,3 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.4

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Spondilitis tuberkulosis atau Pott’s disease adalah infeksi tuberkulosis (TB) ekstrapulmonal yang mengenai satu atau lebih ruas tulang belakang. Spondilitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis.5 Spondilitis tuberkulosa (TB) adalah infeksi granulomatosis dan bersifat kronis destruktif yang di sebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis yang mengenai tulang vertebra. Dikenal juga dengan istilah Vertebral Osteomyelitis.6 1.2 Etiologi Infeksi secara spesifik disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat tahan asam pada pewarnaan (BTA) dengan tehnik Ziehl-Nielson. Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain. Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis ditempat lain di tubuh. Lokasi spondylitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.4,5 Penularan kuman ini melalui droplet, seseorang dengan imunitas baik memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan untuk dapat terinfeksi. Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam dalam tempat lembab. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur (dorman) selama beberapa tahun.6 4

Spesies Mycobacterium yang lain seperti Mycobacterium africanum (di Afrika Barat), bovine tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (penderita HIV) juga dapat menjadi penyebab penyakit ini.7 1.3 Epidemiologi Dahulu istilah spondilitis tuberkulosis merupakan istilah yang digunakan untuk penyakit pada masa anak berusia 3 - 5 tahun. Saat ini insidensi usia tersebut mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak. 1.4 Patogenesis penyakit Droplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga endometrial. Tuberkulosis pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.7 Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian 5

bawah vertebra di atasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.7 Lesi tuberkulosis pada tulang belakang dimulai dengan infl amasi paradiskus. Setelah tulang mengalami infeksi, hiperemia, edema sumsum tulang belakang dan osteoporosis terjadi pada tulang. Destruksi tulang terjadi akibat lisis jaringan tulang, sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya, destruksi tulang diperberat oleh iskemi sekunder akibat tromboemboli, periarteritis, endarteritis. Karena transmisi beban gravitasi pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior.8 Resultan dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang sering disebut sebagai gibbus. Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil. Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal empat bentuk spondilitis :7 a. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

6

b.Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal. c. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan di bawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral di bawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral. d.Bentuk atipikal Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk di dalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung saraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2% - 10%. Perjalanan penyakit ini dibagi dalam 5 stadium yaitu :1 a. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

7

b. Stadium destruksi awal. Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. c. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses , yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. d. Stadium gangguan neurologis Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : a) Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. b) Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. c) Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. d) Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. 8

Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. e. Stadium deformitas residual Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan. 1.5 Manifestasi Klinis Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Durasi gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa bervariasi dari bulan hingga tahun; sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa. a. Anamnesa dan inspeksi : 7,8 1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten, cachexia. 2) Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien dengan kondisi kurang gizi, sering demam, nafsu makan turun. 3) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 2 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa. 4) Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di thorakal atas 9

akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian thorakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri, pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku. 5) Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung. 6) Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disanggah oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.

Rigiditas

pada

leher

dapat

bersifat

asimetris

sehingga

menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis. 7) Infeksi di regio thorakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku. Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis. 8) Di regio lumbal : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya di atas 10

paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul. 9) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi. 10) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10 – 47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak ditemukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal. 11) Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai demam dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa. b. Palpasi : 7,8 1) Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka,

retropharynx,

atau

di

sisi

leher

(di

belakang

otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess. 2) Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.

11

c. Perkusi 7,8 1) Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan di atas prosessus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness. 2) Defisit neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara lain: paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB servikal jarang terjadi, namun manifestasinya lebih berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu, pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). Umumnya gejala awal spondilitis servikal adalah kaku leher atau nyeri leher yang tidak spesifik. Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita. Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih dahulu muncul. Seddon dan Butler memodifikasi klasifikasi Sorrel menjaditiga tipe: 7 a) Type I (paraplegia of active disease) Onset dini, terjadi dalam dua tahun pertama sejak onset penyakit, dan dihubungkan dengan penyakit yang aktif. Dapat membaik (tidak permanen). b) Type II Onsetnya juga dini, dihubungkan dengan penyakit yang aktif, bersifat permanen bahkan walaupun infeksi tuberkulosa menjadi tenang. Penyebab timbulnya paraplegia pada tipe I dan II dapat disebabkan oleh: 12



Tekanan eksternal pada korda spinalis dan duramater. Dapat disebabkan oleh karena adanya granuloma di kanalis spinalis, adanya abses, material perkijuan, sekuestra tulang dan diskus atau karena subluksasi atau dislokasi patologis vertebra. Secara klinis pasien akan menampakkan kelemahan alat gerak bawah dengan spastisitas yang bervariasi, tetapi tidak tampak adanya spasme otot involunter dan reflek withdrawal.



Invasi duramater oleh tuberkulosa Tampak

gambaran

meningomielitis

tuberkulosa

atau

araknoiditis tuberkulosa.Secara klinis pasien tampak mempunyai spastisitas yang berat dengan spasme otot involunter dan reflek withdrawal.Prognosis tipe ini buruk dan bervariasi sesuai dengan luasnya kerusakan korda spinalis.Secara umum dapat terjadi inkontinensia urin dan feses, gangguan sensoris dan paraplegia. c)

Type III / yang berjalan kronis Onset paraplegi terjadi pada fase lanjut.Tidak dapat ditentukan apakah dapatmembaik. Bisa terjadi karena tekanan corda spinalis oleh granuloma epidural, fibrosis meningen dan adanya jaringan granulasi serta adanya tekanan pada corda spinalis, peningkatan deformitas kifotik ke anterior, reaktivasi penyakit atau insufisiensi vaskuler (trombosis pembuluh darah yang mensuplai corda spinalis).

2.7 Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium9 1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari100mm/jam. 2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika

13

tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. 3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis. 4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relative 5) Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih baik. Cairan serebrospinal akan tampak:  Xantokrom  Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.  Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitispiogenik  Kandungan protein meningkat.  Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.  Pada

keadaan

arachnoiditis

tuberkulosa

(radiculomyelitis),

punksilumbal akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blokspinal yang mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis.Pemberian steroid akan mencegah timbulnya hal ini. Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.Kultur cairan serebrospinal.Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi. b. Radiologi10 1) Sinar Rontgen Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior 14

korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak di sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah.Korpus menjadi kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk fusiform.

Gambar 2.7 Tampak penyempitan celah sendi disertai Gibus pada foto vertebra (Lateral) 2) Computed Tomography (CT) Scan Dapat memperlihatkan bagian-bagian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak.Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.

15

Gambaran CT aksial yang diambil dari korpus vertebra T8 menunjukkanadanya kerusakan korpus vertebra. Abses para vertebra (panah) dengan ekstensi ke dalam kanalis vertebralis (panah kecil). 3) Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak. MRI mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk membantu memutuskan pilihan apakah akan bersifat konservatif atau operatif dan menilai respon terapi. Kerugian dari MRI adalah dapat terlewatnya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis tuberkulosa.

16

Gambar MRI dari vertebra thoracal 11 pada seorang pria 31 tahun dengan spondilitis TB. Kerusakan tulang secara ekstensif disertai dengan osteomyelitis tuberculosa tampak jelas. Sumsum tulang belakang memiliki kaliber normal. Tidak ada bukti kompresi saraf tulang belakang atau stenosis spinal. 2.8 Diagnosis Banding a. Infeksi piogenik (contoh staphylococcal/ suppurative spondylitis). Adanya sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi piogenik. Selain itu keterlibatan dua atau lebih corpus vertebra yang berdekatan lebih menunjukkan adanya infeksi tuberkulosa dari pada infeksi bakterial lain.1,3 b. Infeksi enteric (contoh typhoid, parathypoid). Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.

17

c. Tumor/ penyakit keganasan (leukemia, Hodgkin’s disease, eosinophilic granuloma, aneurysma bone cyst dan Ewing’s sarcoma) Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebra tetapi berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetap dipertahankan. Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyai bentuk yang lebih difus sementara untuk tumor tampak suatu lesi yang berbatas jelas.3 d. Scheuermann’s disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa oleh karena tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudut superior dan inferior bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.3 2.9 Penatalaksanaan Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :7,11 A. Terapi Konservatif 1.

Pemberian nutrisi yang bergizi.

2.

Pemberian kemoterapi atau terapi antituberkulosa. Pemberian kemoterapi antituberkulosa merupakan prinsip utama terapi pada seluruh kasus termasuk tuberkulosa tulang belakang. Pemberian dini obat antituberkulosa dapat secara signifikan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian Tuli dan Kumar dengan 100 pasien di India yang menjalani terapi dengan tiga obat untuk tuberkulosa tulang belakang menunjukkan hasil yang memuaskan.Mereka menyimpulkan bahwa untuk kondisi negara yang belum berkembang secara ekonomi manajemen terapi ini merupakan suatu pilihan yang baik dan kesulitan dalam mengisolasi bakteri tidak harus menunda pemberian terapi. Adanya pola resistensi obat yang bervariasi memerlukan adanya suatu pemantauan yang ketat selama pemberian terapi, karena kultur dan uji sensitivitas terhadap obat antituberkulosa memakan waktu lama (kurang lebih 6 – 8 minggu) dan perlu biaya yang cukup besar sehingga situasi klinis membuat dilakukannya terapi terlebih dahulu lebih penting walaupun tanpa 18

bukti konfirmasi tentang adanya tuberkulosa. Adanya respon yang baik terhadap obat antituberkulosa juga merupakan suatu bentuk penegakkan diagnostik. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi sekunder. Obat antituberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH), rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan ethambutol (EMB). Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Pemberian terapi anti tuberculosis merupakan prinsip utama dalam penatalaksanaan seluruh kasus infeksi tuberculosis, termasuk tuberculosis pada tulang belakang. Menurut WHO, terapi anti tuberculosis harus diberikan minimal selama 9 bulan, khususnya pada kasus infeksi tuberculosis tulang. Pengobatan ini terbagi menjadi dua fase, antara lain:

a. Fase awal (2 bulan pertama) 1) Isoniazid 2) Rifampisin 3) Streptomisin 4) Pyrazinamide b. Fase lanjut (4 bulan setelah) 1) Isoniazid 2) Rifampisin

Terapi anti tuberculosis diberikan hingga foto rontgen menunjukkan adanya resolusi pada tulang belakang. Masalah yang sering timbul dari pemberian tatalaksana anti tuberculosis ini adalah mengenai ketaatan pasien dalam menjalani terapi yang berdurasi panjang ini.Jika terapi dijalankan terlalu singkat dari waktu

19

yang ditetapkan, maka akan menyebabkan timbulnya relaps. Pasien yang tidak patuh akan dapat mengalami resistensi obat. Penderita dengan spondylitis TB dengan fase lanjut, dimana sudah tampak gejala neurologis dan gejala kompresi tulang belakang lainnya diwajibkan untuk istirahat tirah baring. Tindakan ini dilakukan untuk meminimalkan aktivitas penderitanya.Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat. Cara lain untuk mengistirahatkan bagian punggung dari penderita spondylitis TB adalah dengan pemasangan gips agar tulang belakang terlindungi dan terimobilisasi.Pemberian gips ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra torakal, torakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. Seperti telah disebutkan diatas bahwa selama pengobatan penderita harus menjalani kontrol secara berkala, dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila tidak didapatkan kemajuan, maka perlu dipertimbangkan hal-hal seperti adanya resistensi obat tuberkulosa, jaringan sekuester yang banyak, keadaan umum penderita yang jelek, gizi kurang serta kontrol yang tidak teratur serta disiplin yang kurang.

3. Istirahat tirah baring (resting) Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame/ plaster bed atau continous bed rest disertai dengan pemberian kemoterapi. Tindakan ini biasanya dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan bila tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi

20

radikal spinal anterior, atau bila terdapat masalah teknik yang terlalu membahayakan. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium.Secara klinis ditemukan berkurangnya rasa nyeri, hilangnya spasme otot paravertebral, nafsu makan dan berat badan meningkat, suhu badan normal.Secara laboratoris menunjukkan penurunan laju endap darah, Mantoux test umumnya < 10 mm. Pada pemeriksaan radiologis tidak dijumpai bertambahnya destruksi tulang, kavitasi ataupun sekuester. Pemasangan gips bergantung pada level lesi. Pada daerah servikal dapat diimobilisasi dengan jaket Minerva; pada daerah vertebra thorakal, thorakolumbal dan lumbal atas diimobilisasi dengan body cast jacket; sedangkan pada daerah lumbal bawah, lumbosakral dan sakral dilakukan immobilisasi dengan body jacket atau korset dari gips yang disertai dengan fiksasi salah satu sisi panggul. Lama immobilisasi berlangsung kurang lebih 6 bulan, dimulai sejak penderita diperbolehkan berobat jalan. B. Terapi Operatif Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja. Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis.Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3 – 6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3 – 4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi 21

dengan operasi secara langsung dan untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.

2.9 Komplikasi a) Pott’s paraplegia 

Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf.



Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

22

b) Ruptur abses paravertebra 

Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis



Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan coldabsces.

c) Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pustuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia “ prognosabaik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis, prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. 2.10 Prognosis Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.7 a. Mortalitas Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat). b. Relaps Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%. c. Kifosis Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis

23

atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.Semakin besar sudut kifosis, semakin dini operasi koreksi harus dilakukan. d. Defisit neurologis Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi.Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini. e. Usia Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasa

DAFTAR PUSTAKA

1. Hidalgo A. 2006. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm

24

2. Hilman, A. 2012. Tulang Belakang dan Spondilitis Tuberculosa. (Online). (http://kangantonhilman.blogspot.com/2012/01/sekilas-tentang-tulangbelakang-dan.html, 3. Buranda T, Djayalangkara H, Datu A, dkk. Anatomi Umum. FKUH; Makassar: 2008. 4. Munoz FM, Starke JR. 2004. Tuberculosis. Dalam: Berhman, RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company; h. 958-72. 5. Batra V. 2009. Tuberculosis. Didapat dari http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm Diakses tanggal 1 Juli 2018. 6. Bedah Saraf : Infeksi Susunan Saraf ( Modul Spondilitis Tuberkosa) Didapatdarihttp://www.perspebsi.org/doc/info/regulation/39/SPONDILITIS_T B.pdf Diakses tanggal 1 Juli 2018. 7. Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. (Online). (http://www.google.com/ pustaka.unpad.ac.id.spondilitis_tuberkulosa.pdf, diakses tanggal 1 Juli 2018) 8. Martini F.H., Welch K. The Lymphatic System and Immunity.In:Fundamentals of Anantomy and Physiology. 5th ed. New Jersey:UpperSaddle River, 2001: 132,151 9. Natarajan M, Maxilvahanan. Tuberculosis of the spine. In:http:/www.bonetumour org./book/APTEXT/intex.html. Book of orthopaedicsand traumatoloty.(Diakses pada tanggal 1 Juli 2018) 10. Bohndorf K., Imhof H. Bone and Soft Tissue Inflammation. In :Musculoskeletal Imaging : A Concise Multimodality Approach. New York :Thieme, 2001 : 150, 334-36. 11. Moesbar, N. 2006. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Majalah Kedokteran Nusantara 39(3) pp. 279-89.

25

Related Documents

Referat Spondilitis Tb.docx
November 2019 16
Spondilitis Tb .doc
June 2020 2
Sap Spondilitis Tb.docx
November 2019 9
Lp-spondilitis-tb.doc
June 2020 14
Referat
May 2020 53

More Documents from ""