Spondilitis Tb .doc

  • Uploaded by: Llaa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Spondilitis Tb .doc as PDF for free.

More details

  • Words: 3,649
  • Pages: 13
LAPORAN PENDAHALUAN SPONDILITIS TB A. Definisi Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB merupakan kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2008). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang belakang tubuh manusia terdri dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal dan 5 ruas sakrum (Bono & Garfin, 2004). Pada masing-masing ruas tulang belakang terdiri rangkaian saraf spinal yang mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain (Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2008). Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah lumbal (T8-L3), kemudian daerah torakal atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin & Vaccaro, 1997 dalam Moesbar 2006).Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas servikal mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta ekstremitas (Bono & Garfin, 2004). Ruas thorakal berfungsi mengaturmengerutkan bronkiolus, mempercepat dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi asam lambung (Vaccaro & Albert, 2009). Ruas lumbal mengatur menurunkan dan meningkatkan gerak peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima ruas sakrum mengatur dalam pengosongan kandung kemih (Vaccaro & Albert, 2009). B. Etiologi Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder darituberkulosis di tempat lain di tubuh, 9095% disebabkan oleh mikobakteriumtuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10%oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini berbentuk batang,mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Olehkarena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepatmati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapajam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama selama beberapa tahun. C. Patofisiologi Bakteri TB menyebar di dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran cerna, denga perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase (Ramachandran & Paramaisvan, 2003 dalam Moesbar, 2006): 1. Fase Primer Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Jaringan paru timbul reaksi radang yang melibatkan sistem pertahanan tubuh, dan membentuk afek primer. Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis primer, suatu granuloma sel epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek primer dan limfadenitis primer disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui fibrosis dan kalsifikasi 2. Fase Miliar

Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus sampai menimbulkan kematian, mungkin juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten atau dorman. 3. Fase Laten Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase ini berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun tahun. Bila terjadi perubahan daya tahan tubuh maka kuman dorman dapat mengalami reaktivasi memasuki fase ke 4, fase reaktivasi. Bila bakteri TB memasuki tulang belakang maka bakteri TB berdublikasi dan berkoloni kemudian mendestruksi korpus vetebra dan terjadi penyempitan ringan pada diskus. Setelah itu, terjadi destruksi massif pada korpus vetebra dan terbentuk abses dingin yang kemudian terjadi kerusakan pada diskus intervetebralis dan terbentuk gibus (penonjolan tulang) sehingga bentuk badan kifosis (Agrawal, Patgaonkar, & Nagariya, 2010). 4. Fase Reaktivasi Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru, reaktifasi penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan kalsifikasi atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi sarang infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal merupakan organ kedua yang paling sering terinfeksi ; selanjutnya kelenjar limfe, tulang, sendi, otak, kelenjar adrenal, dan saluran cerna. Tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi, ditularkan melalui vena umbilical atau cairan amnion ibu yang terinfeksi. D. Manifestasi Klinis spondilitis TB Paramarta et al (2008) menyatakan bahwa manifestasi klinis pasien spondilitis TB mengalami keadaan seperti berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turuttanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen. Hasil penelitian lain yang dikemukakan oleh Alavi dan Sharifi (2010) menyatakan bahwa dari 69 responden didapatkan hasil 98,5% mengalami nyeri punggung, 26% merasa demam dimalam hari, 28,9% bentuk tubuh kifosis, 17,4% berkeringat dimalam hari dan sekitar 14,5% mengalami penurunan berat badan. Moesbar (2006) menyatakan bahwa kelainan yang sudah berlangsung lama pada penderita spondilitis TB dapat disertai dengan paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Agrawal Patgaonkar dan Nagariya (2010) menyatakan hal yang sama dimana tanda lain dari spondilitis TB dapat berupa defisit neurologi yang mengakibatkan paraplegia. Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah Pott’s paraplegi, terdapat tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat (Paramarta et al., 2008). E. Pemeriksaan Diagnostik Spondilitis TB

Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi mycobacterium tuberkulosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux tes) (Paramarta et al., 2008). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena alergi yang berat atau kekurangan energi protein (Corwin, 2008). Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan adanya TB aktif. Selai itu, pemeriksaan laju endap darah (LED) yang ditemukan LED meningkat (Moesbar, 2006). Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi (Alavi & Shafiri, 2010).Pada beberapa kasus, infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak (Moesbar, 2006). Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang (Burgener, Kormano, & Pudas, 2008). CT Scan memperlihatkan bagianbagaian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak dan membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan (Moesbar, 2006). Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik (Paramarta et al., 2008).Pemeriksaan lebih lengkap untuk melihat spondilitis TB yaitu denganmenggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI). Kotze & Erasmus (2006) menyatakan bahwa dengan menggunakan pemeriksaan MRI ditemukan hal yang lebih detail seperti abses paravertebral. Selain itu, MRI pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar (Moesbar, 2006).Terapi operatif yang dilakukan untuk spondilitis TB yaitu debridement (Moesbar, 2006). Tujuan dilakukan tindakan ini yaitu untuk menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut (Dewald, 2003). Terapi operasi dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, terjadi kompresi pada medulla spinalis, dan hasil radiologis menunjukkan adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak (Moesbar, 2006). Agrawal, Patgaonkar, dan Nagariya (2010) menyatakan bahwa prosedur operasi yang dilakukan pada penderita spondilitis TB meliputi debridement posterior dan anterior untuk mengeluarkan abses ataupun pus yang berada pada tulang belakang. Chanplakorn et al (2011) menyatakan bahwa prosedur operasi lain yang dilakukan untuk mengurangi nyeri penderita spondilitis TB yaitu dengan spinal shortering osteotomy yang ditujukan untuk penderita spondilitis TB dengan kifosis. F. Komplikasi Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu: 1. Pott’s paraplegia a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan saraf. b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis. 2. Ruptur abses paravertebra

a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis. b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008). 3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis. G. Penatalaksanaan Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pott’s paraplegia yaitu: 1. Pemberian obat antituberkulosis. 2. Dekompresi medula spinalis. 3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi. 4 Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007). Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari: 1. Terapi konservatif a. Tirah baring (bed rest). b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra. C. Memperbaiki keadaan umum penderita. d. Pengobatan antituberkulosa. Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu: 1. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+). a). Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). b.)Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali). 2. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh. a). Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali). b)Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebra. 2. Terapi operatif a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik. b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft. c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis. a. Cold absces

Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah. b. Lesi tuberkulosa 1).Debrideman fokal. 2).Kosto-transveresektomi. 3).Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

C.Kifosis 1).Pengobatan dengan kemoterapi. 2). Laminektomi. 3).Kosto-transveresektomi. 4).Operasi radikal. 5).Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang. Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau operasi radikal (Graham 2007) H. Prognosis Spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit menahun dan apabila dapat sembuh secara spontan akan memberikan cacat pembengkokan pada tulang punggung. Dengan jalan radikal operatif, penyakit ini dapat sembuh dalam waktu singkat sekitar 6 bulan (Tachdjian, 2005). Prognosis dari spondilitis tuberkulosa bergantung dari cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologis. Diagnosis sedini mungkin dan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik walaupun tanpa operasi. Penyakit dapat kambuh apabila pengobatan tidak teratur atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat karena terjadi resistensi terhadap pengobatan (Lindsay, 2008). Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan saraf lebih baik sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir, prognosis biasanya kurang baik. Apabila paraplegia disebabkan oleh mielitis tuberkulosa prognosisnya ad functionam juga buruk.

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan upaya untuk pengumpulan data secara lengkap dan sistematis mulai dari pengumpulan data, identitas dan evaluasi status kesehatan klien sebagai berikut (Doengoes,Moorhouse, & Murr, (2008). Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : a. Pengumpulan data.

Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien,keluarga maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengancara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. 1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis. 2) Riwayat penyakit sekarang. utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri padapunggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Padaawal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeridirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringatdingin dan penurunan berat badan. 3) Riwayat penyakit dahuluTentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. 4) Riwayat kesehatan keluarga. klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebabtimbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yangmenderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderitapenyakit menular tersebut. 5) Riwayat psikososial Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kankelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan danperawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemassehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita. 6) Pola - pola fungsi kesehatan a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akanmempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakantidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehinggamenimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan jugakemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkatekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien. b. Pola nutrisi dan metabolisme. dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemahdan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat,sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. c. Pola eliminasi. Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisake kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanyapenata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAKharus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi.

d. Pola aktivitas.Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggungserta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasiaktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisiktersebut. e. Pola tidur dan istirahat. nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampakhospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur danistirahat. f. Pola hubungan dan peran. sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atautidak mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalamkeluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubunganinterpersonal. g. Pola persepsi dan konsep diri. dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri. h. Pola sensori dan kognitif. Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi.Pola reproduksi seksual.Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam halcurahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui caramerawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan. j. Pola penaggulangan stres. Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya, akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasastres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres. k. Pola tata nilai dan kepercayaan. klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan

ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengankemampuannya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya. 7) Pemeriksaan fisik. a. Inspeksi. Pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis. b. Palpasi. Sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi.

c. Perkusi. Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok. d. Auskultasi. Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan. 8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium. a. Radiologi - Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior. - Terdapat penyempitan diskus. - Gambaran abses para vertebral ( fusi form ). b. Laboratorium - Laju endap darah meningkat c. Tes tuberkulin. Reaksi tuberkulin biasanya positif. b. Analisa Setelah data di kumpulkan kemudian dikelompokkan menurut data subjektif yaitu data yang didapat dari pasien sendiri dalm hal komukasi atau data verbal dan objektiv yaitu data yang didapat dari pengamatan, observasi, pengukuran dan hasil pemeriksaan radiologi maupun laboratorium. Dari hasil analisa data dapat disimpulkan masalah yang di alami oleh klien. 2. Diagnosa Keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan dari masalah klien yang nyata maupun potensial berdasarkan data yang telah dikumpulkan, yang pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat untuk melakukannya. Diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien Spondilitis tuberkulosa adalah: a. Gangguan mobilitas fisik b. Gangguan rasa nyaman ; nyeri sendi dan otot. c. Perubahan konsep diri : Body image. d. Kurang pengetahuan tentang perawatan di rumah. 3. Perencanaan Keperawatan. Perencanaan keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan yangakan di laksanakan untuk menanggulangi masalah sesuai dengan diagnosa keperawatanyang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhinya kebutuhan klien

Adapun perencanaan masalah yang penulis susun sebagai berikut : a. Diagnosa Perawatan Satu Gangguan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan muskuloskeletal dan nyeri. 1. Tujuan Klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal. 2. Kriteria hasil a) Klien dapat ikut serta dalam program latihan b) Mencari bantuan sesuai kebutuhan c) Mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal. 3. Rencana tindakan a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. b) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi. c) Memelihara bentuk spinal yaitu dengan cara : 1) mattress 2) Bed Board ( tempat tidur dengan alas kayu, atau kasur busa yang keras yang tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur. d) mempertahankan postur tubuh yang baik dan latihan pernapasan ; 1) Latihan ekstensi batang tubuh baik posisi berdiri (bersandar pada tembok )maupun posisi menelungkup dengan cara mengangkat ekstremitas atas dan kepala serta ekstremitas bawah secara bersamaan. 2) Menelungkup sebanyak 3 – 4 kali sehari selama 15 – 30 menit. 3) Latihan pernapasan yang akan dapat meningkatkan kapasitas pernapasan. e) monitor tanda –tanda vital setiap 4 jam. f) Pantau kulit dan membran mukosa terhadap iritasi, kemerahan atau lecet – lecet. g) Perbanyak masukan cairan sampai 2500 ml/hari bila tidak ada kontra indikasi. h) Berikan anti inflamasi sesuai program dokter. Observasi terhadap efek samping : bisa tak nyaman pada lambung atau diare. 4. Rasional a) Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.

b) Untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan. c) Mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata. d) Di lakukan untuk menegakkan postur dan menguatkan otot – otot paraspinal. e) Untuk mendeteksi perubahan pada klien. f) Deteksi diri dari kemungkinan komplikasi imobilisasi. g) Cairan membantu menjaga faeces tetap lunak. h) Obat anti inflamasi adalah suatu obat untuk mengurangi peradangan dan dapat menimbulkan efek samping. b. Diagnosa Keperawatan Kedua Gangguan rasa nyaman : nyeri sendi dan otot sehubungan dengan adanya peradangan sendi. 1) Tujuan a. Rasa nyaman terpenuhi b. Nyeri berkurang / hilang 2) Kriteria hasil a. klien melaporkan penurunan nyeri b. menunjukkan perilaku yang lebih relaks c. memperagakan keterampilan reduksi nyeri yang di [elajari dengan peningkatan keberhasilan. 3) Rencana tindakan a. Kaji lokasi, intensitas dan tipe nyeri; observasi terhadap kemajuan nyeri ke daerah yang baru. b. Berikan analgesik sesuai terapi dokter dan kaji efektivitasnya terhadap nyeri. c. Gunakan brace punggung atau korset bila di rencanakan demikian. d. Berikan dorongan untuk mengubah posisi ringan dan sering untuk meningkatkan rasa nyaman. e. Ajarkan dan bantu dalam teknik alternatif penatalaksanaan nyeri. 4) Rasional. a. Nyeri adalah pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri

b. Analgesik adalah obat untuk mengurangi rasa nyeri dan bagaimana reaksinya terhadap nyeri klien. c. Korset untuk mempertahankan posisi punggung. d. Dengan ganti – ganti posisi agar otot – otot tidak terus spasme dan tegang sehingga otot menjadi lemas dan nyeri berkurang. e. Metode alternatif seperti relaksasi kadang lebih cepat menghilangkan nyeri atau dengan mengalihkan perhatian klien sehingga nyeri berkurang. c. Diagnosa Keperawatan ketiga Gangguan citra tubuh sehubungan dengan gangguan struktur tubuh. 1) Tujuan Klien dapa mengekspresikan perasaannya dan dapat menggunakan koping yang adaptif. 2) Kriteria hasil Klien dapat mengungkapkan perasaan / perhatian dan menggunakan keterampilan koping yang positif dalam mengatasi perubahan citra. 3) Rencana tindakan a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan. Perawat harus mendengarkan dengan penuh perhatian. b. Bersama – sama klien mencari alternatif koping yang positif. c. Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien keluarga dan teman serta berikan aktivitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image. 4) Rasional a. meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dan dengan ungkapan perasaan dapat membantu penerimaan diri. b. Dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien. c. Memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri.

d. Diagnosa Keperawatan keempat Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurangnya informasi tentang penatalaksanaan perawatan di rumah. 1) Tujuan Klien dan keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah. 2) Kriteria hasil a. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset b. Mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan c. Klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan, dan gejala kemajuan penyakit. 3) Rencana tindakan a. Diskusikan tentang pengobatan : nama, jadwal, tujuan, dosis dan efek sampingnya. b. Peragakan pemasangan dan perawatan brace atau korset. c. Perbanyak diet nutrisi dan masukan cairan yang adekuat. d. Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur. e. Diskusikan tanda dan gejala kemajuan penyakit, peningkatan nyeri dan mobilitas. f. Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter. 4. Pelaksanaan Yaitu perawat melaksanakan rencana asuhan keperawatan. Instruksi keperawatan di implementasikan untuk membantu klien memenuhi kriteria hasil. tahap Implementasi: a. tindakan keperawatan mandiri b. tindakan keperawatan kolaboratif c. dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan. 5. Evaluasi Evaluasi adalah perbandingan hasil – hasil yang di amati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan komponen tahap evaluasi. a. pencapaian kriteria hasil

b. ke efektipan tahap – tahap proses keperawatan c. revisi atau terminasi rencana asuhan keperawatan. Adapun kriteria hasil yang di harapkan pada klien Spondilitis tuberkulosa adalah: 1. Adanya peningkatan kegiatan sehari –hari ( ADL) tanpa menimbulkan gangguan rasa nyaman . 2. Tidak terjadinya deformitas spinal lebih lanjut. 3. Nyeri dapat teratasi 4. Tidak terjadi komplikasi. 5. Memahami cara perawatan dirumah PENYIMPANGAN KDM

Related Documents

Spondilitis Tb .doc
June 2020 2
Referat Spondilitis Tb.docx
November 2019 16
Tb Ch (9) (1).doc
May 2020 0
Sap Spondilitis Tb.docx
November 2019 9
Presus Gadieh Tb 1.doc
August 2019 26

More Documents from "Gadieh Kasih Chaniago"

Bab_i (2).pdf
June 2020 0
Lp Chf.docx
June 2020 0
Spondilitis Tb .doc
June 2020 2