Laporan Kasus Tht Panum.docx

  • Uploaded by: Gigih Prakoso
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Tht Panum.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,299
  • Pages: 33
BAB I PENDAHULUAN 1. Otitis Media Akut (OMA Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius. Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam.1 Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup bervariasi pada tiap-tiap negara. Penyakit ini juga telah menimbulkan beban lain yang cukup berarti, diantaranya waktu dan biaya. Ramakrishnan menemukan bahwa OMA merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Salah satu laporan Center for Disease Control and Prevention (CDC) dalam salah satu programnya yaitu CDC’s Active Bacterial Core Surveillance (ABCs) di Amerika Serikat tahun 1999 menunjukkan kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun. Meropol, dkk juga mendapati 45-62% indikasi pemberian antibiotik pada anak-anak di Amerika Serikat disebabkan OMA. Oleh karena pemakaian antibiotik yang tinggi, beban negara tersebut yang digunakan untuk kasus OMA tergolong signifikan, melebihi 3,8 triliun dolar setiap tahunnya. Sementara itu di Kanada, tepatnya di Quebec, biaya penanganan OMA diperkirakan menghabiskan dana lebih dari sepuluh juta dolar setiap tahunnya dan tenaga medis menghabiskan waktu kirakira 4,9 jam untuk keseluruhan penanganan OMA.2 Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim dibandingkan usia dewasa.3

Donaldson menyatakan bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadang-kadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA.4 2. ISPA (Inferksi saluran pernafasan atas)

ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaf, 2009). ISPA salah satu penyebab utama kematian pada anak di bawah 5 tahun tetapi diagnosis sulit ditegakkan. World Health Organization memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kejadian ISPA pada balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada 13 juta anak balita di dunia golongan usia balita. Pada tahun 2000, 1,9 juta (95%) anak – anak di seluruh dunia meninggal karena ISPA, 70 % dari Afrika dan Asia Tenggara (WHO, 2002).2

BAB II KASUS A. Identitas Pasien 1. Nama

: Tn. S

2. Umur

: 17 tahun

3. Agama

: Islam

4. Alamat

: Semarang

5. Pekerjaan

: Pelajar

6. Pendidikan terakhir

: SMP

7. No RM

:-

8. Tanggal periksa

: 05 Oktober 2017

B. Anamnesis Anamnesis pada tanggal 05 Oktober 2017 pukul 09.30 WIB secara autoanamnesis. 1. Keluhan Utama Nyeri telinga sejak 1 hari yang lalu 2. Riwayat Penyakit Sekarang a.

Lokasi

: telinga kanan

b.

Onset

: 1 hari yang lalu

c.

Kronologis

: tiba-tiba merasa nyeri pada telinga sebelah kanan

d.

Kuantitas

: nyeri terus menerus dan mengganggu aktivitas

e.

Kualitas

: nyeri telinga seperti tertekan

f.

Faktor pengubah : tidak ada faktor yang memperberat dan memperingan

g.

Gejala penyerta : demam (+) bersamaan dengan nyeri di telinga Keluhan telinga

: gembrebek / terasa penuh (+)

Keluhan hidung

: pilek (+) sejak 7 hari yang lalu

Keluhan tenggorokan

: batuk (+) sejak 7 hari yang lalu

3. Riwayat Penyakit Dahulu a.

Riwayat penyakit yang sama

: Disangkal

b.

Riwayat batuk dan pilek

: Diakui, sudah seminggu ini

c.

Riwayat alergi obat

: Disangkal

d.

Riwayat tekanan darah tinggi

: Disangkal

e.

Riwayat sakit gula

: Disangkal

f.

Riwayat sakit asma

: Disangkal

g.

Riwayat rawat inap

: Disangkal

h.

Riwayat trauma

: Disangkal

i.

Riwayat operasi

: Disangkal

j.

Riwayat keganasan

: Disangkal

k.

Riwayat darah sukar membeku : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga a.

Riwayat tekanan darah tinggi

: Disangkal

b.

Riwayat penyakit yang sama

: Disangkal

c.

Riwayat sakit gula

: Disangkal

d.

Riwayat asma

: Disangkal

e.

Riwayat alergi

: Disangkal

f.

Riwayat keganasan

: Disangkal

5. Riwayat Pribadi a.

Kebiasaan merokok

: Disangkal

b.

Kebiasaan minum alkohol

: Disangkal

c.

Riwayat minum obat-obatan

: Disangkal

d.

Riwayat cuaca ekstrim

: Disangkal

e.

Riwayat mengorek telinga

: Disangkal

f.

Riwayat berenang

: Disangkal

g.

Riwayat menyelam

: Disangkal

h.

Riwayat memakai headset

: Disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi Tidak ada data C. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum

: Tampak kesakitan

2. Kesadaran

: Compos mentis

3. Vital Sign a. TD

: 110/80 mmHg

b. Nadi

: 70x/menit

c. RR

: 24x/menit

d. Suhu

: 38 oC

4. Pemeriksaan Generalisata

Dalam batas normal 5. Pemeriksaan Lokalis a. Telinga Telinga Preaurikula

AD Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

AS Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

Nyeri tekan (-) Teraba massa(-) Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

Nyeri tekan (-) Teraba massa(-) Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

Palpasi

Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tekan tragus (-)

Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tekan tragus (-)

Perkusi

Nyeri ketok tragus (-) Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

Nyeri ketok tragus (-) Hiperemis (-) Massa (-) Tanda peradangan (-) Deformitas (-) Lesi (-) Abses (-)

Palpasi

Nyeri tekan (-) Teraba massa(-)

Nyeri tekan (-) Teraba massa(-)

Perkusi

Nyeri ketok mastoid (-)

Nyeri ketok mastoid (-)

MAE

Inspeksi

Darah (-)

Darah (-)

CAE

Inspeksi

Mukosa hiperemis (-) Serumen (-)

Mukosa hiperemis (-) Serumen (-)

Inspeksi

Palpasi Aurikula

Retro Aurikula

Inspeksi

Inspeksi

Membran Timpani

Inspeksi

Pendengaran

Rinne Schwabah Webber

Sekret (-) Edema () Massa (-) Lesi (-) Intak Bulging (-) Perforasi (-) Permukaan cembung (-) Reflek cahaya positif (+) N N N

Sekret (-) Edema (-) Massa (-) Lesi (-) Intak Bulging (-) Perforasi (-) Permukaan cembung (-) Reflek cahaya positif (+) N N N

b. Hidung dan Sinus Paranasal Hidung

Pemeriksaan

Hasil

Bentuk Massa Deformitas

Dbn (-) (-)

Nyeri tekan

(-)/(-)

Krepitasi

(-)

Sinus paranasal Pemeriksaan

Sinus Etmoid

Sinus Frontal

Sinus Maxilla

Hiperemis Nyeri Tekan

(-) (-)

(-) (-)

(-) (-)

Nyeri Ketok

(-)

(-)

(-)

Rinoskopi anterior Cavum Nasi Konka nasi inferior dan media Mukosa Septum Nasi Secret Massa Krusta Darah

Dextra Oedem (-) Hiperemis (-) Deviasi (-) (+) (-) (-)

Sinistra Oedem (-) Hiperemis (-) Deviasi (-) (-) (-) (-)

(-)

(-)

Benda asing

(-)

(-)

c. Tenggorokan Pemeriksaan Bibir

Hasil Hiperemis (-), sianosis (-), lesi (-), massa (-), kering (-), deformitas (-), simestris (-) Kotor (-), atrofi papil (-), stomatitis (-), geographic tongue (-) Karies (-), gigi berlubang (-) Kotor (-), massa (-) ,stomatitis (-) Hiperemis (-), massa (-), stomatitis (-) Terletak di tengah, Hiperemis (-)

Lidah Gigi Lidah Palatum Uvula Arcus faring Dinding faring

Simetris (+) Hiperemis (-), Post Nasal Drip (-), bercak keabuan (-), massa (-), stomatitis (-) Hiperemis (-), stomatitis (-)

Ginggiva

Tonsil Pemeriksaan Ukuran Warna Kripte Permukaan Detritus

Dextra T2 Hiperemis (-) Melebar (-)

Sinistra T2 Hiperemis (-) Melebar (-)

Granulasi (-), bercak keabuan (-), berdarah(-) (-)

Granulasi (-) bercak keabuan (-), berdarah (-) (-)

Rinoskopi Posterior Koana : koana (+), polip (-) Rongga nasofaring : hiperemis (-), massa (-), benda asing (-), pembesaran adenoid (-)

Laringoskopi Indirek Pangkal lidah : hiperemis (-), massa (-), ulkus (-), lesi (-) Epiglotis

: hiperemis (-), massa (-), ulkus (-), lesi (-)

Plika vocalis : hiperemis (-), massa (-), ulkus (-), lesi (-)

A. Daftar Masalah No Masalah Aktif 1. Nyeri telinga sebelah kanan

B. Resume

Masalah Pasif

An.S usia 17 tahun seorang pelajar mengeluhkan nyeri pada telinga kanan sejak 1 hari yang lalu secara tiba-tiba, nyeri dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas. Nyeri yang dirasakan seperti tertekan. tidak ada faktor yang memperberat dan memperingan. Gejala lain yang dirasakan pasien batuk (+), pilek (+) sejak 1 minggu yang lalu serta gembrebeg (+) sampai telinga terasa penuh pada saat nyeri telinga berlangsung. Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan yang sama sejak dibangku sekolah dasar. Riwayat trauma, penggunaan obat, ISPA, keganasan, Asma, operasi, alergi semua disangkal. Riwayat sakit keluarga yang sama dengan keluhan pasien juga disangkal. Riwayat mengorek telinga, menggunakan headset dan berenang juga disangkal. Riwayat tinggal di lingkungan udara yang kotor dan kumuh disangkal. Pada inspeksi membran tympani menggunakan otoskop didapatkan hiperemis (+), Mukosa edema (+). Pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan adanya sekret di kedua hidung (+) bening dan cair. Pada pemeriksaan tonsil didapatkan ukuran T2-T2, Hiperemis (-). Pemeriksaan rinoskopi posterior dan laringoskopi inderek dalam batas normal. C. Assessment Diagnosis : Otitis media akut (OMA) stadium hiperemis Auricula dextra D. Initial plan 1. Diagnosis : Otitis media akut (OMA) stadium hiperemis Auricula dextra et causa ISPA 2. Differential Diagnosis: Otitis eksterna, otitis media serosa akut, otitis media stadium supurasi. 3. Terapi a. Farmakoterapi 1) Antibiotik Amoxicillin tab 500 mg No. XX 3 dd 1 (sampai habis) 2) Obat tetes hidung berupa nasal dekongestan Efedrin HCl (nasal drop) No. I 2 dd 2 gtt 3) Analgetika Paracetamol tab 500 mg No. IX 3 dd 1 p.r.n 4. Edukasi : a. Menjelaskan mengenai otitis media beserta stadium-stadiumnya

b. Memberitahu pasien bahwa pengobatan harus adekuat c. Memberitahu keluarga untuk mencegah infeksi saluran napas atas (ISPA), dan menangani ISPA dengan pengobatan adekuat. d. Menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok dan lain-lain. 5. Pemeriksaan Penunjang Lanjutan: Kultur bakteri jika OMA berulang E. Prognosis 1. Quo ad vitam

: bonam

2. Quo ad sanam

: bonam

3. Quo ad fungsionam : bonam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA 1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA LUAR Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga sampai membrana timpani. Aurikula dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh perikondrium dan bagian terluar dilapisi oleh kulit. Aurikula dibagi atas bagian tulang rawan (1/3 luar) dan bagian tulang (2/3 dalam), panjangnya kira-kira 2½ - 3 cm. Sepertiga lateral mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Mekanisme pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar tetinga. Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit.1

Gambar 1. Anatomi Telinga Tengah (sumber: Adaptasi dari Kaneshiro, N. K.,2010. Ear Infection – Acute Images: Ear anatomy. Adam, Inc. Diunduh dari: http://www.healthline.com/images/adam/big/ 1092.jpg [Diakses 25 Maret 2011])

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA TENGAH Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke telinga dalam.1 Dinding lateral dari telinga tengah adalah membran timpani, sedangkan bagian medial berturut turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (fenestra ovalis), tingkap bundar (fenestra rotundum) dan yang paling dominan adalah promontorium. Di dinding anterior terdapat pintu ke tuba Eustachius, sedangkan di dinding posterior terdapat aditus ad antrum, yaitu saluran yang menuju ke rongga mastoid. Bagian dasar telinga tengah adalah bulbus jugularis (dipisahkan dengan vena jugularis oleh tulang tipis). Dinding superior berbatasan dengan lantai fosa kranii media yang disebut segmen timpani. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga. Terdiri atas tiga lapis yaitu, lapisan luar berupa lanjutan epitel kulit dari liang telinga, bagian tengah berupa jaringan ikat yang lentur, dan lapisan dalam ialah sel kubik bersilia. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida yang mengandung dua lapisan yaitu bagian luar dan dalam, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa yang mengandung ketiga lapisan tersebut. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo.Dari umbo bermula suatu refleks cahaya

(cone of light) ke arah bawah yaitu pada jam 7 untuk membran timpani kiri dan jam 5 untuk membran timpani kanan. Tuba Eustachius ialah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. Terdiri dari tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan 1/3 sisanya terdiri dari tulang. Pada anak-anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa hingga infeksi dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa kira-kira 3,75 cm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 1,75 cm (Boeis, 1994). Bagian tulang rawan tuba biasanya tertutup dan baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan atau menguap. Pembukaan tersebut dibantu oleh kontraksi otot tensor palatinum dan levator palatinum yang masingmasing dipersarafi oleh nervus mandibularis dan pleksus faringealis.1

Gambar 2. Anatomi telinga tengah (sumber: Adaptasi dari Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M., 2010. Head and Neck. In : Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M. Gray’s Anatomy for Students International Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 908.)

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA DALAM Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal. Organ untuk pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII (nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari komplek anatomi. Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirint. Ketiga kanalis semisi posterior, superior dan lateral erletak membentuk sudut 90 derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan. Organ ahir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah

gerakan seseorang. Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan organ Corti. Di dalam lulang labirin, namun tidak sem-purna mengisinya,Labirin membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis. Labirin membranosa tersusun atas utrikulus, akulus, dan kanalis semisirkularis, duktus koklearis, dan organan Corti. Labirin membranosa memegang cairan yang dina¬makan endolimfe. Terdapat keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam; banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan merang-sang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terja¬di aktivitas elektris yang berjalan sepanjang cabang vesti-bular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi kepala dan percepatan linear merangsang selsel rambut utrikulus. Ini juga mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis (akus-dk), yang muncul dari koklea, bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis, utrikulus, dan sakulus, menjadi nervus koklearis (nervus kranialis VIII). Yang bergabung dengan nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis (nervus kranialis VII). Kanalis auditorius internus mem-bawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang otak.1

GAMBAR 3. ANATOMI TELINGA DALAM (sumber: Adaptasi dari Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M., 2010. Head and Neck. In : Drake, R. L., Vogl, A. W., Mitchell, A. W. M. Gray’s Anatomy for Students International Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 909.)

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG 1. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG BAGIAN LUAR Hidung luar berbentuk piramid dengan pangkal hidung dibagian atas dan puncaknya berada dibawah. Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit , jaringan ikat. Kerangka tulang terdiri dari; sepasang os nasal, prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari; sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Otot-otot ala nasi terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok dilator, terdiri dari muskulus dilator nares (anterior dan posterior), muskulus proserus, kaput angular muskulus kuadratus labii superior dan kelompok konstriktor yang terdiri dari muskulus nasalis dan muskulus depressor septi.1

Gambar 4. Anatomi hidung bagian luar

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG BAGIAN DALAM Hidung bagian dalam dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kavum nasi kiri yang tidak sama ukurannya. Lubang hidung bagian depan disebut nares anterior dan lubang hidung bagian belakang disebut nares posterior atau disebut choana. Bagian dari rongga hidung yang letaknya sesuai dengan ala nasi disebut vestibulum yang dilapisi oleh kulit yang mempunyai kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrisae. Rongga hidung dilapisi oleh membran mukosa yang melekat erat pada periosteum dan perikondrium, sebagian besar mukosa ini mengandung banyak pembuluh darah , kelenjar mukosa dan kelenjar serous dan ditutupi oleh epitel torak berlapis semu mempunyai silia. Kavum nasi terdiri dari : 1. Dasar hidung : dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. 2. Atap hidung : terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal prosesus frontalis, os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa. 3. Dinding lateral : dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial. 4. Konka : pada dinding lateral terdapat empat buah konka yaitu konka inferior, konka media, konka superior dan konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan konka yang terbesar dan merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila. Sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari etmoid. 5. Meatus nasi : diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus superior yang merupakan ruang antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 6. Dinding medial: dinding medial hidung adalah septum nasi. 1  Mukosa hidung Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda- beda pada bagian

hidung.pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel – sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki

silia

yang

panjang

yang

tersusun

rapi.

Gambar 4. Anatomi hidung bagian dalam

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011).

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke

esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).1

Faring terdiri atas : 1. Nasofaring Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius (Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa Hetharia, 2011).

2. Orofaring Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia, 2011). 3. Laringofaring (Hipofaring) Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang –kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). 4. Ruang Faringal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang retrofiring (Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot –otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat –serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007). Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m. konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak

sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).

Anatomi Faring Bagian Posterior

D. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW, 2009). A).Tonsil Palatina Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: 1) Lateral– muskulus konstriktor faring superior 2) Anterior – muskulus palatoglosus 3) Posterior – muskulus palatofaringeus 4) Superior – palatum mo le 5) Inferior – tonsil lingual(Wanri A, 2007)

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripte tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001). 5. Fosa Tonsil Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005). 1. Pendarahan Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arterimaksilaris eksterna (arterifasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arterimaksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arterilingualis dengan cabangnya arterilingua lis dorsal; 4) arterifaringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal(Wiatrak BJ, 2005). 2. Aliran getah bening Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai

pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ad (Wanr iA,2007). 3.

Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke I(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. 4. Imunologi Tonsil Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin kumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005) Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensit isasi sel limfosit T dengan antigen spesifik(Hermani B, 2004). B) Tonsil Faringeal (Adenoid) Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi(Hermani B, 2004). C) Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan

dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007) E.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI OM

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007). Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tandatanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

GAMBAR 5. Skema Pembagian Otitis Media

F. ETIOLOGI 1. Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri. 2. Pada 25% pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. 3. Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi telinga tengah bersama bakteri. 4. Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella Cattarhalis. Yang perlu diingat pada OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri, hanya sedikit kasus yang membutuhkan antibiotik. Hal ini dimungkinkan karena tanpa antibiotik pun saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga bakteri akan tersingkir bersama aliran lender (Ballenger WL, Ballenge HC, 1993). G. PATOFISIOLOGI Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut

sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga(Mansjoer A,2001). Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45db (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya (Pracy R, 1983). H. MANIFESTASI KLINIS Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada usia anak – anak umumnya keluhan berupa: 1. Rasa nyeri di telinga dan demam. 2. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. 3. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa penih. 4. Pada bayi gejala khas Otitis Media akut adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit (Rosenfeld RM, 2002). I.

DIAGNOSIS Kriteria Diagnosis OMA menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu: 1. Penyakitnya muncul secara mendadakdan bersifat akut. 2. Ditemukan adanyatanda efusi Efusi merupakan pengumpulan cairandi telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga. 3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada

membran timpani, nyeri telinga atau ot algiayang mengganggu tidur dan aktivitas normal. Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, ot algia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat. J. Diagnosis Banding 1.

Otitis media serosa akut Otitis media serosa adalah penumpukan cairan pada telinga bagian tengah, yaitu di belakang gendang telinga. Otitis media serosa sering terjadi setelah otitis media akut. Cairan yang menumpuk di belakang gendang telinga selama infeksi akut tetap ada setelah infeksi tersebut mereda.

2.

Otitis eksterna Otitis eksterna ialah radang telinga akut maupun kronis yang disebabkan infeksi bakteri, jamur, dan virus. Faktor yang mempermudah radang telinga luar ialah perubahan pH di liang telinga, yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa, proteksi terhadap infeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan jamur mudah tumbuh.

K. Penatalaksanaan 1. Farmakologi Pengobatan Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik. a. Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun

atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik apabila penyebab penyakit adalah bakteri. b. Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masingmasing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis. c. Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur. d. Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari. e. Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, kemungkinan telah terjadi mastoiditis. 2. Pembedahan Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi. a. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi

drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line

pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur. b. Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal

supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan. c. Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan

OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren. L. Komplikasi Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis). M. Pencegahan Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain. N. ISPA (infeksi saluran pencernaan atas) a. DEFINISI ISPA Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).

ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003). Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. b. ETIOLOGI ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007). c. KLASIFIKASI ISPA Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : a. ISPA ringan Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak. b. ISPA sedang ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. c. ISPA berat Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah. d. FAKTOR RESIKO Faktor resiko timbulnya ISPA menurut Dharmage (2009) : 1) Jenis kelamin Bila dibandingkan antara orang laki-laki dan perempuan, laki-laki yang banyak terserang penyakit ISPA karena mayoritas orang laki-laki merupakan perokok dan sering berkendaraan, sehingga mereka sering terkena polusi udara. 2) Usia Anak balita dan ibu rumah tangga yang lebih banyak terserang penyakit ISPA. Hal ini disebabkan karena banyaknmya ibu rumah tangga yang memasak sambil menggendong anaknya. 3) Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang kesarana pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat karena kurang mengerti bagaimana cara serta pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA. 4) Kebiasaan merokok Satu batang rokok dibakar maka akan mengelurkan sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, ortcresorperyline dan lainnya, sehingga di bahan kimia tersebut akan beresiko terserang ISPA. e. TANDA DAN GEJALA ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003). f. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2002): a. Pemeriksaan Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklassifikasi.

b. Klasifikasi ISPA Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut : 1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing). 2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat. 3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia. c. Pengobatan 1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya. 2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain. 3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya. d. Perawatan di rumah Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA. 1) Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2) Mengatasi batuk Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali sehari. 3) Pemberian makanan Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. 4) Pemberian minuman Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

DAFTAR PUSTAKA 1. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh, Efiaty A, Nurbaiti I (ed). Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012: 96-100. 2. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi 6, Harjanto efendi, R.A Kuswidayati (ed). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;173-85. 3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb 19 [cited 2013 September 03] Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 4. Gilyoma, Japhet M dan Phillipo L Chalya. Etiological profile and treatment outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective review of 104 cases. Tanzania: BMC Ear, Nose and Throat. 2011;1-6.

Related Documents

Laporan Kasus
June 2020 61
Laporan Kasus
June 2020 56
Laporan Kasus
June 2020 53
Laporan Kasus
June 2020 47
Laporan Kasus
July 2020 55

More Documents from "Himmah Binafsiha"