Referat Neruro.docx

  • Uploaded by: zaimah shalsabilla
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Neruro.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,165
  • Pages: 38
Referat

MENINGITIS VIRAL

Oleh: Puspa Anggraini, S.Ked

04054821820013

Zaimah Shalsabilla, S.Ked

04084821921036

Pembimbing: dr. Theresia Christin, Sp.S

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM MOEHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2019

i

HALAMAN PENGESAHAN Judul Referat:

MENINGITIS VIRAL

Oleh: Puspa Anggraini, S.Ked

04054821820013

Zaimah Shalsabilla, S.Ked

04084821921036

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 11 Maret – 15 April 2019.

Palembang,

Maret 2019

Pembimbing

dr. Theresia Christin, Sp.S

ii

KATA PENGANTAR Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Meningitis Viral” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. Theresia Christin, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah ini, semoga bermanfaat.

Palembang,

Maret 2019

Penulis

iii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2 2.1

Definisi ............................................................................................ 2

2.2

Anatomi .......................................... Error! Bookmark not defined.

2.3

Epidemiologi .................................. Error! Bookmark not defined.

2.4

Patofisiologi .................................... Error! Bookmark not defined.

2.5

Etiologi .......................................................................................... 11

2.6

Penegakan Diagnosis ...................... Error! Bookmark not defined.

2.7

Diagnosis Banding ......................... Error! Bookmark not defined.

2.8

Komplikasi..................................................................................... 13

2.9

Diagnosis Banding ......................................................................... 13

2.10 Komplikasi...................................... Error! Bookmark not defined. 2.11 Penatalaksanaan .............................. Error! Bookmark not defined. 2.12 Prognosis ........................................ Error! Bookmark not defined. BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

iv

BAB I PENDAHULUAN Infeksi sistem saraf pusat pada umumnya lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan infeksi bakteri, infeksi jamur ataupun infeksi parasit. Infeksi sistem saraf pusat sendiri terutama dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu meningitis (yang melibatkan meningens) dan ensefalitis (yang terbatas pada parenkim otak). Meningitis sendiri merupakan sindrom klinis dengan tanda peradangan pada meningens yang terdiri dari 3 lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang yaitu duramater, arachnoid, dan piamater. Manifestasi penyakit ini berupa gejala iritasi meningeal (seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia), pleositosis dalam cairan Liquor cerebrospinalis, serta pewarnaan dan kultur negatif terhadap bakteri, jamur, ataupun parasit. Meningitis virus pada umumnya dapat sembuh sendiri dan seringkali tidak membahayakan dengan pemulihan sempurna. Meskipun demikian, pada beberapa kasus didapatkan virus patogen yang dapat mengakibatkan meningoenchepalitis dan meningomyelitis sehingga perjalanan penyakit menjadi berlarut-larut.Saat ini, lebih dari 85% kasus meningitis virus disebabkan oleh enterovirus non-polio. Karakteristik penyakit, gejala, dan epidemiologi umumnya menyerupai infeksi enterovirus pada umumnya Virus-virus lain seperti mumps, herpes simpleks virus tipe 1 dan tipe 2, varicella zooster virus, polio, dan Lymphocytic Choriomeningitis Viruses (LCMVs) saat ini jarang menyebabkan kelainan ini khususnya pada negara-negara berkembang. Banyaknya virus patogen yang dapat menyebabkan meningitis virus membuat perlu adanya pembahasan untuk mengumpulkan pemahaman yang jelas. Ditambah lagi tidak spesifiknya gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh meningitis virus bisa menyebabkan kesalahan diagnosis yang semestinya tidak perlu terjadi. Oleh karena itu, tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk melengkapi berbagai keterangan mengenai meningitis virus agar dapat membuka wawasan dan pemahaman yang lebih komprehensif mulai dari pembahasan mengenai meninges sebagai tempat predileksi terjadinya meningitis virus hingga cara penegakan diagnosis mulai dari anamnesis, 1

pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang. Serta prognosis dan komplikasi yang dapat menyertai perjalanan penyakit meningitis virus.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Meningitis virus ialah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges)

termasuk duramater, arachnoid, dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh infeksi virus. Meningitis virus sering juga disebut dengan aseptik meningitis yang secara umum merujuk pada meningitis dengan kultur bakteri yang negatif yang sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi 2.2

Anatomi Otak dibungkus oleh selubung otak (meninges) yang terdiri dari 3 lapisan

yaitu lapisan luar / pachymeninx atau duramater dan lapisan dalam / leptomeninx yang terdiri dari arachnoid mater dan piamater.  Duramater Duramater / pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa kuat yang bersatu dengan endosteum (periosteum dalam) dari tulang kepala. Duramater memiliki suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal) yang saling menyatu kecuali di

1

tempat dimana keduanya berpisah untukmenyediakan ruang bagi sinus venosus. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang tengkorak. Pada foramen magnum, lapisan ini tidak bersambung dengan dura mater medula spinalis. Di sekitar pinggir semua foramina di dalam tengkorak, lapisan ini menyambung dengan periosteum pada permukaan luar tulang tengkorak. Pada suturasutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal melekat paling kuat pada tulang-tulang di atas basis cranii. Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater yang sebenarnya; merupakan membran fibrosa yang kuat dan padat yang meliputi otak, serta bersambung dengan dura mater medulla spinalis melalui foramen magnum. Lapisan meningeal ini membentuk selubung tubular untuk saraf kranial saat saraf kranial tersebut melintasi foramina di tengkorak. Di luar kranium, selubung ini menyatu dengan epineurium saraf. Lapisan meningeal membentuk empat septa ke arah dalam yang membagi rongga kranium menjadi ruang-ruang yang dapat berhubungan secara bebas dan merupakan tempat bagian-bagian otak. Fungsi septa-septa ini adalah untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat kepala digerakkan. Dua lipatan besar dural ke dalam rongga kranium membentuk falx cerebri dan tentorium cerebelli. Falx cerebri menempati fisura longitudinalis yang terletak di garis tengah di antara kedua hemispher cerebri. Bagian yang terfiksasi memanjang mulai dari bagian crista galii dari tulang etmoid hingga ke bagian atas dari tentorium cerebelli. Di sepanjang kubah tulang kepala, Falx cerebri menutupi sinus sagitalis superior. Bagian yang tidak terfiksasi berisi sinus sagitalis inferior yang menyatu dengan vena cerebri magna membentuk sinus rectus. Sinus rectus kemudian berjalan di sepanjang jalur perlekatan falx cerebri ke tentorium cerebelli membentuk sinus konfluens. Tentorium cerebelli yang berbentuk seperti bulan sabit melengkung seperti tenda di bagian atas fossa cranii posterior. Tentorium cerebelli membagi rongga kranium menjadi kompartemen supratentorium yang berisi otak depan, dan kompartemen infratentorium yang berisi otak belakang.

1

Bagian tepi tentorium yang terfiksasi menutupi sinus transversus di bagian dalam tulang oksipital dan sinus petrosal posterior di sepanjang tepi atas tulang temporal. Sedangkan bagian tentorium yang tidak terfiksasi berbentuk seperti huruf U dan melekat pada bagian anterior dari prosesus clinoid anterior. Tepat di belakangnya, kedua ujung lengan U tersebut dihubungkan oleh lembaran dura yaitu diaphragma sella, tempat tangkai kelenjar pituitari. Di bagian lateral, dura menjauhi fossa cranii media membentuk sinus cavernosus. Sinus cavernosus menerima darah dari mata melalui vena opthalmikus. Sinus petrosal superior bergabung dengan sinus transversus di persambungan dengan sinus sigmoid. Sinus sigmoid berjalan ke bawah sepanjang tulang oksipital dan keluar ke vena jugularis interna.

Gambar 1. Sinus venosus pada lapisan duramater

Inervasi Duramater Cabang-cabang nervus trigeminus, nervus vagus, dan tiga nervus cranialis bagian atas serta cabang-cabang trunkus simpatikus berjalan menuju dura mater. Dura mater memiliki banyak ujung-ujung saraf sensorik yang peka terhadap regangan yang menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-ujung saraf sensorik nervus trigeminus di atas tingkat tentorium cerebeli menimbulkan nyeri alih ke daerah kulit kepala sisi yang sama. Hal ini disebabkan oleh rangsangan nervus 1

trigeminal

yang

mempersarafi

bagian

dura

yang

melapisi

kompartemen

supratentorium. Bagian yang melapisi fossa cranii media terutama dipersarafi oleh nervus spinosus. Saraf ini meninggalkan nervus mandibularis di luar foramen ovale untuk kembali melalui foramen spinosum dan bersamaan dengan arteri meningea media dan percabangannya. Peregangan ataupun inflamasi dari dura supratentorium akan menyebabkan nyeri kepala daerah frontall dan parietal. Lapisan dura yang melapisi kompartemen infratentorium disuplai oleh cabang dari nervus spinal servikal atas yang memasuki foramen magna. Gangguan dura infratentorium akan menyebabkan nyeri leher posterior dan nyeri oksipital. Vaskularisasi Duramater Berbagai arteri memperdarahi dura mater, yaitu arteri carotis interna, arteria maxilaris, arteria pharyngea ascendens, arteria occipitalis, dan steria vertebralis. Dari sudut pandang klinis, arteria yang paling penting adalah arteria meningea media yang dapat mengalami kerusakan akibat cedera kepala. Perdarahan yang terjadi pada arteri ini sering terjadi pada hematoma epidural. Arteria meningea media berasal dari arteria maxillaris di dalam fossa infratemporalis. Arteria ini masuk rongga tengkorang melalui foramen spinosum dan terletak di antara lapisan meningeal dan lapisan endosteal dura mater. Selanjutnya, arteri ini berjalan ke depan dan lateral di dalam sebuah sulcus, pada permukaan atas pars squamosa os temporale. Ramus anterior terletak di dalam sulcus atau saluran pada angulus anterior-inferior os parietale, dan perjalanannya dianggap sesuai dengan jalur gyrus precentralis otak yang ada di bawahnya. Ramus posterior melengkung ke belakang dan memperdarahi bagian posterior dura mater. Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal dura mater. Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteria meningea media dan bermuara ke dalam plexus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena terletak di lateral arteri.

1



Arachnoidea Membrana arahnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya

dipisahkan oleh suatu ruang, yaitu spatium subdural yang menutupi spatium subarachnoideal yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem rongga-rongga yang saling berhubungan. Tonjolan-tonjolan seperti jamur yang keluar dari arachnoidea ke dalam sinus venosus utama disebut juga granulationes pacchioni (granulation / villi arachnoidea ). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam lacunae lateralis. Liquor cerebrospinali diduga memasuki circulus venosus melalui villi tersebut. Cavum subarachnoidea merupakan rongga di antara arachnoid dan piamater yang relatif sempit terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun bertambah lebar di daerah dasar otak. Pelebaran rongga ini disevut cisterna arachnoidea. Banyak cisterna yang dinamakan sesuai dengan struktur otak yang berdekatan. Pelebaran ronga-rongga di atas subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum membentuk cisterna magna dan seringkali bersambungan dengan rongga subarachnoid spinalis. Pada bagian ventral pons terdapat cisterna pontin yang mengandung arteri basilaris. Sedangkan di bagian bawah cerebrum terdapat rongga lebar di antara dua lobus temporalis yait cisterna chiasmaticus di atas chiasma opticum dan cisterna supraselaris di atas diafragma sellae, serta cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii). Semua cisterna berhubungan bebas antara satu dengan yang lain dan dengan ruang subarakhnois lainnya.

1

Cisterna

Lokasi

Cerebellomedullar posterior ( cisterna magna)

Di antara cerebellum dan bagian dorsal medulla oblongata

Cerebromedullar lateral

Di sepanjang tiap sisi medulla

Chiasmatic

Di belakang dan di atas optic khiasma

Cisterna dari fossa serebral lateral

Di sepanjang sulkus lateralis ( fisura Sylvii )

Interpeduncular

Fosssa interpeduncular

Ambient

Di tiap sisi otak tengah

Quadrigeminal

Mengelilingi cena serebral magna bagian dorsal colliculi otak tengah ( badan quadrigeminal )

Tabel 1. Macam-macam cisterna yang terdapat di otak. Arachnoid dihubungkan dengan pia mater dan melintasi ruang subarakhnoid yang berisi cairan dengan bantuan benang-benang halus jaringan fibrosa. Struktur-struktur yang berjalan menuju dan dari otak ke kranium atau foraminanya harus melalui ruang subarakhnoid. Seluruh arteri serebri dan venanya terletak di dalam ruang subarakhnoid, demikian pula dengan saraf-saraf kranial. Arakhnoidea menyatu dengan epineurium saraf di tempat keluar saraf tersebut dari rongga terngkorak. Pada nervus opticus, arakhnoid membentuk selubung saraf ini, yang membentang ke dalam rongga orbita melalui canalis opticus dan menyatu dengan sclera bola mata. Dengan demikian, ruang subarakhnoid terbentang di sekitar nervus opticus hingga ke bola mata. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh plexus choroideus di dalam ventriculus lateralis, ventriculus tertius, dan ventriculus quartus. Cairan ini keluar dari sistem ventrikular atau melalui tiga buah foramina di atap ventriculous quartus, lalu masuk ke dalam ruang subarakhnoid. Selanjutnya, cairan ini mengalir ke atas di atas permukaan hemispherium cerebir dan ke bawah di sekitar medula spinalis. Ruang 1

subarakhnoid spinal membentang ke bawah sampai sejauh vertebrae sacralis II. Akhirnya, cairan serebrospinal masuk ke dalam aliran darah melalui villi arachnoidales dan berdifusi melalui dindingnya. Selain berfungsi mengeluarkan produk sisa hasil aktivitas neuron, cairan serebrospinal merupakan suatu medium cair tempat otak mengapung di dalamnya. Mekanisme ini melindungi otak dari trauma secara efektif. Selain itu, saat ini cairan serebrospinal juga dianggap berperan dalam transport hormon.

Gambar 2. Potongan koronal dari sinus superior sagitalis beserta struktur di sekitarnya

1

 Piamater

Piamater adalah membran vaskular yang diliputi oleh sel-sel mesotelial yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi gyrus-gyrus dan turun hingga mencapai bagian sulcus yang paling dalam. Lapisan ini meluas keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteria cerebri masuk ke dalam jaringan otak setelah dibungkus oleh pia mater. Seperti arachnoid, piamater juga berupa fibroseluler. Komponen selulernya bersifat permebael dari liquor serebrospinalis. Komponen fibosanya menempati spatium subpial sempit yang bersambungan dengan spatium perivaskular 2.3

Epidemiologi Meningitis virus merupakan infeksi virus sistem saraf pusat tersering di negara

berkembang. Penyakit ini terjadi di semua usia tanpa ada perbedaan ras. Sebagian besar angka kejadian meningitis virus terjadi pada balita dan anak-anak. Insidens meningitis virus di Amerika Serikat dilaporkan secara resmi melebihi 10.000 kasus namun jumlahnya diperkirakan dapat mencapai 75.000 kasus. Kurangnya laporan data disbabkan oleh gejala klninis yang tidak khas dan sulitnya menumbuhkan virus dalam media kultur. Menurut data yang dilaporkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC), pasien yang menjalani rawat inap dengan meningitis virus berjumlah sekitar 25.000-50.000 tiap tahunnya. Sedangkan menurut penelitian yang dilakukan Khetsuriani et al menyebutkan bahwa angka rata-rata kejadian meningitis virus di Amerika Serikat mencapai lebih dari 36.000 kasus per tahunnya. Frekuensi terjadinya meningitis virus bervariasi dari tahun ke tahun, bergantung padaaktivitas epidemiknya. Akan tetapi, enterovirus nonpolio sejauh ini masih menjadi penyebab utama meningitis virus. Enterovirus berperan dalam sekitar 85% hingga 95% dari seluruh kasus meningitis virus di Amerika Serikat. Dalam rentang studi 10 tahun di Spanyol, tipe enterovirus yang paling banyak menyebabkan aseptic meningitis adalah echovirus 30 (39% ), diikuti echovirus 6 (14%) dan echovirus 13 (11%).

1

Mumps dulunya merupakan penyebab tersering kedua meningitis virus, namun insidensnya sangat menurun ketika era post-vaksinasi. Virus Mumps dapat menyebabkan 10-20% meningitis dan meningoenchepalitis di negara dengan akses vaksin yang sulit. Insidens meningitis virus yang disebabkan oleh mumps meningkat 20 kali pada tahun pertama kehidupan. Neonatus dengan usia 7 hari sering mengalami meningitis septik yang disebabkan oleh enterovirus. Virus mumps dan campak sering menyebabkan meningitis pada anak usia sekolah sampai kuliah. Enterovirus lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan sekitar 1,3-1,5 kali. Sedangkan virus mumps 3 kali lebih sering menyebabkan meningitis virus pada laki-laki dibandingkan perempuan. Masa inkubasi virus ini sangat bervariasi. Kejadian meningitis karena mumps menjadi sangat menurun di negara-negara yang menggunakan vaksin secara luas, namun masih sering terjadi di India. Virus lain penyebab meningitis virus adalah herpes simpleks tipe 2, arbovirus, virus campak, varicella zooster, human immunodeficiency virus, lymphocytic choriomeningitis virus, adenovirus, Epsteinn-Barr virus, human herpes virus 6, cytomegalovirus (terutama pada pasien immunocompromised ), dan herpes simpleks virus tipe 1, yang mana masing-masing berpengaruh pada kurang dari 5% kasus. Lymphocytic choriomeningitis terjadi pada individu yang memiliki kontak dekat dengan hewan pengerat seperti tikus, hamster dan lain-lain. Herpes simpleks juga terdistribusi secara luas, bersifat sporadik, dan tidak dipengaruhi oleh musim.Pada beberapa kesempatan, transmisi virus lympocytic choriomeningitis melalui transplantasi organ solid muncul dengan hasil yang fatal. Virus West-Nile, keluarga flavivirus dan arbovirus, menyerang Amerika Serikat. Meskipun manisfestasi neurologi primernya adalah encephalitis, gejala murni meningitis bisa saja muncul. Pada tahun 2010, Centers for Disease Control and Prevention melaporkan 1021 kejadian dari infeksi dan invasi neurologis virus WestNile di Amerika Serikat, 38% di antaranya berupa meningitis. Virus West Nile juga berpotensi menyebabkan paralisis flaccid yang menyerupai poliomyelitis. Di beberapa negara, virus mumps, virus herpes simpleks (dominan tipe 2 daripada tipe

1

1), dan virus varicella zooster lebih banyak terisolir, namun masih lebih jarang bila dibandingkan enterovirus.

2.4

Patofisiologi Patogenesis dari setiap agen ataupun famili virus yang menyebabkan meningitis

virus sangat bervariasi. Namun, kejadian dari meningitis virus jarang berupa komplikasi dari infeksi sistemik. Pertama virus memasuki inang melalui traktus respiratorius, traktus gastrointestinal, traktus urogenital, ataupun melalui kulit yang terbuka. Sebagian besar dari virus bereplikasi di dekat tempat masuknya (replikasi primer) dan mendapatkan akses ke sistem saraf pusat melalui jalur hematogen yang paling sering ataupun melalui jalur neural (saraf perifer). Setelah replikasi primer, virus menyebar ke jaringan limfatik, dimana dapat terjadi amplifikasi dari jumlah virus, kemudian menuju ke peredaran darah sehinnga menyebabkan viremia primer. Virus diperkirakan memasuki sistem saraf pusat ketika viremia primer, atau mungkin melewati viremia sekunder, setelah amplifikasi di tempat sekunder seperti otot, kulit, organ internal, dan jaringan lemak. Kemudian virus memasuki sistem saraf pusat melewati pleksus choroid atau melalui infeksi di sel endotel kapiler. Ketika virus mencapai pleksus choroid, biasanya mereka bereplikasi di sana, mengakibatkan penyebaran melalui Liquor cerebrospinalis, dan memungkinkan virus untuk mencapai meninges dan sel ependimal. Virus kemudian mengadakan replikasi di sel-sel ini dan mengakibatkan destruksi sel dan mencetuskan inflamasi. Proses inflamasi terutama terdiri dari sel mononukelar, dengan destruksi fokal dari lapisan ependimal, lepromeninges basal fibrotik, dan inflamasi pleksus choroid. Kadangkadang inflamasi di sekitar pembuluh darah dapat menyebabkan perivasvcular cuffing di lapisan terluar dari cortex. Inflamasi di bagian otak dan nekrosis sel-sel saraf tidak terlihat. Kombinasi dari destruksi meningeal dan sel-sel ependimal serta respons inflamasi berperan dalam manifestasi klinis demam, kaku kuduk, nyeri kepala, dan photophobia. Di sebagian besar kasus (namun tidak semua), respons

1

sistem inflamasi imun membatasi jumlah replikasi virus dan lamanya waktu sindrom meningitis virus. Ketika virus berhasil memasuki sistem saraf pusat, sel-sel inflamasi, termasuk limfosit yang spesifik, mulai berakumulasi di sistem saraf pusat. Hal ini disertai dengan lepasnya sitokin-sitokin inflamasi seperti interleukin (IL)-1β, IL-6 dan tumour necrosis factor (TNF)-α dan juga produksi imunoglobulin lokal oleh sel plasma. Respons inflamasi ini mengakibatkan peningkatan permeabilitas sawar darah otak sehingga memungkinkan masuknya imunoglobulin dari darah. Virus dapat menghindari respons imun tubuh dengan toleransi imun ataupun melalui penghindaran sistem imun. Respons limfosit T amat penting dalam respons imun terhadap beberapa virus terutama dengan meningkatnya frekuensi dan angka kesakitan pada pasien meningitis cytomegalovirus kronik ataupun meningitis varicella zooster virus dengan gangguan imun yang dimediasi sel / cell-mediated immunity. Virus seperti VZV dapat menyebabkan penyakit melalui vaskulitis serebral. Pada pasien imunokompeten biasanya terjadi vaskulitis pembuliuh darah besar sedangkan pasien immunocompromised biasanya mengalami vaskulitis pembuluh darah kecil yang difus. Beberapa virus (rabies, herpes simpleks, varicella zooster, dan polio) dapat menggunakan jalur neural untuk memasuki sistem saraf pusat melalui transpor axonal dari mukosa, otot, ataupun neuromuskular junction. Virus yang memasuki sistem saraf pusat melalui pleksus choroid lebih mungkin mengakibatkan meningitis virus, sedangkan yang melalui jalur penyebaran yang lain lebih sering menyebabkan encephalitis ataupun myelitis. Bukti yang lain menunjukkan bahwa beberapa virus mencapai sistem saraf pusat melalui transport retrograde melalui saraf. Sebagai contoh, jalur yang dilalui HSV-1 ialah melalui saraf olfaktori dan saraf trigeminal. Sedangkan faktor predisposisi seseorang terkena meningitis termasuk otitis media, imunosupresi, pneumonia, sinusitis dan riwayat diabetes sebelumnya.

1

2.5

Etiologi Beberapa virus penyebab meningitis :  Enterovirus – poliovirus, Coxsackie, Echovirus  Herpes virus o Herpes virus simpleks tipe 1 dan tipe 2 o Cytomegalovirus o Varicellazooster o Epstein Barr o Human Herpes Virus 6 (HHV-6)  Virus Respitatorius o Adenovirus o Rhinovirus o Influenza virus tipe A dan tipe B  Arbovirus  Mumps  Lymphocyticchoriomeningitis  HIV

2.6

Penegakan Diagnosis 

Anamnesis

Pada pemeriksaan anamnesis, kebanyakan pasien mengeluhkan adanya demam, sakit kepala, iritabilitas, mual, muntah, kaku leher, ruam kemerahan, ataupun perasaan lelah pada 18-36 jam pertama. Diare, mual, batuk dan myalgia dikeluhkan lebih dari 50% pasien. Sakit kepala merupakan gejala yang hampir selalu muncul pada pasien dengan meningitis virus. Nyeri kepala yang terjadi biasanya di daerah frontal hingga retro-orbital dan terkadang dilaporkan sangat parah. Walau begitu, nyeri kepala sangat hebat harus dibedakan dengan perdarahan subarachnoid yang diakibatkan oleh aneurisma. Riwayat peningkatan suhu terjadi pada 76 – 100 % pasien yang datang mencari pertolongan medis. Pola yang paling sering tampak ialah adanya demam yang ringan pada stase prodromal, dan demam tinggi pada saat gejala

1

neurologis muncul. Gejala yang lebih jarang terjadi adalah photophobia, malaise, myalgia, mual, muntah, sakit tenggorokan, menggigil, dan pusing. Bayi yang baru lahir akan menunjukkan gambaran tidak mau makan dan tampak lesu. Anak-anak yang lebih muda umumnya tidak melaporkan adanya sakit kepala dan hanya tampak sedikit gelisah. Untuk beberapa minggu, anak-anak mungkin mengalami iritabilitas, inkoordinasi, dan ketidakmampuan untuk berkonsentrasi Perjalanan gejala beberapa virus dapar terjadi dengan amat cepat, sedangkan virus yang lainnya menampilkan gejala yang tidak begitu jelas, seperti gambaran fase prodromal virus pada umumnya: malaise, myalgia, dan gangguan saluran pernafasan atas. Pada banyak kasus, gejala memiliki pola bifasik, gejala seperti flu yang tidak spesifik dan demam ringan diserta gangguan neurologis terjadi bergantian pada 48 jam. Pada saat munculnya kaku di leher dan sakit kepala, demam biasanya kembali muncul. Anamnesis yang dilakukan sebaiknya lebih terperinci termasuk menanyakan mengenai adanya riwayat kontak dengan nyamuk, kutu, ataupun adanya kegiatan di luar ruangan yang berada di daerah yang menjadi tempat endemik Lyme disease, adanya riwayat perjalanan ke daerah yang endemik tuberkulosis, riwayat penggunaan obat, riwayat penggunaan obat invus, dan adanya resiko penyakit penularan lewat hubungan seksual. 

Pemeriksaan Fisik Beberapa hasil pemeriksaan fisik pada meningitis virus tidak dapat

membedakan semua penyebab dari penyakit ini. Triad yang menunjukkan adanya menigitis ialah demam, kaku kuduk, dan gangguan status mental. Akan tetapi, pada kenyataannya, tidak semua pasien memiliki ketiga gejala tersebut. Bahkan kurang dari separuh kasus meningitis. Banyaknya gejala yang tidak spesifik terhadap meningitis virus membuat manifestasi klinis yang beragam pada saat pemeriksaan fisik. Beberapa di antaranya yang dapat muncul adalah: 

Demam

1

Demam merupakan suatu gejala yang umum (80-100% kasus) dan biasanya berkisar antara 38⁰-40⁰C. 

Iritasi meningeal Kaku kuduk atau tanda lain yang menunjukkan iritasi pada selaput meningens (brudzinski dan kernig) dapat ditemukan pada lebih dari 50% pasien, namun gejala ini tidak separah yang ditemukan pada meningitis bakteri serta tidak dapat menginklusi ataupun mengekslusi pasien meningitis. Pasien pediatri, khususnya neonatus cenderung tidak menunjukkan adanya kaku kuduk pada pemeriksaan. Iritasi meningens juga dapat ditandai dengan nyeri kepala yangmakin hebat bila digerakkan dari dan ke arah horizontal dengan kecepatan 2 hingga 3 kali per detik. Pada iritasi meningeal yang parah, pasien dapat membentuk seperti posisi tripod, dimana terjadi fleksi panggul dan lutut, ekstensi leher, dan tangan ke arah belakang untuk menyokong thoraks.



Iritabilitas, disorientasi, dan gangguan mental dapat ditemukan. Pada neonatus dapat terjadi gangguan kesadara, pusing bahkan halusinasi visual. Neonatus dapat menunjukkan adanya hypotonia, iritabilitas, dan kurangnya nafsu makan. Gambaran klinis ini dapat tampak seperti septikemia bakteria pada neonatal yang mengenai beberapa organ.



Tanda peningkatan tekanan intrakranial Bila ada peningkatan tekanan intrakranial dapat saja ditemukan papiledema dan hilangnya pulsasi vena pada waktu pemeriksaan funduskopik. Kelesuan yang parah dan penonjolan fontanel pada neonatus merupakan tanda dari peningkatan tekanan intrakranial, namun dapat tidak di temukan pada lebih dari 50% kasus.



Fotofobia Fotofobia cukup sering ditemukan tetapi umumnya ringan. Fotofobia ini juga dapat saja tidak ditemukan pada beberapa kasus.



Kejang

1

Kejang terkadang muncul namun jarang dan biasanya diakibatkan oleh karena demam tinggi yang berkelanjutan. 

Enchepalopati global dan gangguan neurologis fokal jarang ditemukan tetapi dapat saja ditemukan pada beberapa kasus. Reflex tendon dalam umumnya normal.

Untuk membantu penegakan diagnosis, biasanya berbagai tanda infeksi spesifik virus terutama manifestasi ektraneuraldapat dipakai, beberapa diantaranya :  Gastroenteritis dan ruam difus biasanya disebabkan oleh sebagian besar enterovirus. Pada anak kecil enterovirus yang menyerang sistem saraf pusat biasanya disertai dengan keiikutsertaan berbagai organ termasuk nekrosis hepatik, myocarditis, dan necrotizing enterocolitis.  Herpangina dan penyakit tangan-kaki-mulut / hand-foot-mouth disease pada infeksi coxsackievirus A. Pleurodynia dan myocarditis ataupun pericarditis pada infeksi virus coxsackie B. Pada anak-anak manisfestasi yang sering muncul pada infeksi Coxsackie adalah ruam papulomakular eritem, ruam yang tidak gatal di sekitar kepala dan leher atupun di sekujur badan.4  Faringitis, limfadenopati, dan splenomegali merujuk pada infeksi EBV.  Imunodefisiensi

dan

pneumonia

harus

dicurigai

disebabkan

oleh

adenovirus, CMV, ataupun HIV.  Parotitis dan orchitis biasa disebabkan oleh mumps. Parotitis terjadi pada sebagian pasien dengan meningitis mumps.  Gangguan pada kulit seperti erupsi pada Varicella Zooster Virus  Ruam makuloupapular pada campak dan enterovirus  Erupsi vesikuler pada herpes simplex.  Herpes simpleks tipe 2 dan arbovirus biasanya tidak disertai dengan gejala sistemik. 

Pemeriksaan Penunjang

1

Penghitungan sel darah putih perifer biasanya normal, namun dapat meningkat atau menurun. Pada meningitis bakterial, jumlah sel darah putih perifer dan C-reactive protein biasanya meningkat. Pada pemeriksaan CRP didapatkan angka 50-150 untuk meningitis bakteri, dan kurang dari 20 pada meningitis virus. Studi dewasa ini menemukan bahwa serum procalcitonin dapat menjadi pembeda antara meningitis bakterial dengan aseptik meningitis pada anak-anak. Limfosit atipikal terjadi pada infeksi virus Epstein-Barr dan juga pada infeksi cytomegalovirus. Tes fungsi hati yang abnormal paling sering terjadi selama infeksi yang disebabkan oleh virus limfositik choriomeningitis, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, mumps, dan beberapa arbovirus. Peningkatan amilase dan lipase terjadi terutama pada mumps dan trombositopenia pada virus lymphocytic choriomeningitis. Electroencephalogram dapat mengungkapkan perlambatan difus ringan tetapi tidak spesifik. CT scan dan MRI biasanya normal. Peningkatan meningeal dapat dilihat dengan T1-weighted scan MRI gadolinium. 1.

Pemeriksaan Liquor Cerebrospinal Investigasi yang paling berguna untuk menegakkan diagnosa meningitis

virus membutuhkan pemeriksaan LCS. Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk membedakan penyebab meningitis. Pemeriksaan mikroskopik LCS tidak hanya menegakkan diagnosis meningitis tetapi juga memungkinkan hitung jenis sel darah putih, dan pewarnaan gram yang seringkali menunjukkan penyebab infeksi bakeri ataupun jamur. Sitologi LCS juga dapat mengekslusi meningitis neoplastik. Kemungkinan etiologi meningitis nonviral biasanya ditegakkan setelah pewarnaan bakteri (nantinya kultur) dari LCS negatif. Akan tetapi penting untuk memikirkan penyebab lain dari aseptik meningitis. Termasuk di antaranya infeksi jamur dan mycobacterial (khususnya pada pasienpasien immunocompromised dan pada masyarakat dengan insidens Tuberculosis yang tinggi). Beberapa

tanda

yang

dapat

ditemukan

pemeriksaan LCS pasien meningitis virus:

1

ataupun

digunakan

untuk



Pleocytosis

Pleocytosis dengan sel darah putih berkisar antara 50 sampai lebih dari 1000 x 109/L darah mengarahkan diagnosis kepada meningitis virus. Sel mononuklear yang mendominasi merupakan ciri yang spesifik, namun polimorfonukelar dapat meningkat pada 12-24 jam pertama khususnya pada meninegitis enteroviral. Hitung jenis umumnya didominasi oleh limfosit pada CSF yang terkena meningitis virus. Hal ini sangat bermanfaat untuk membedakan virus dari bakteri. 

Kadar protein

Kadar protein pada CSF umumnya hanya meningkat sedikit. Dapat ditemukan kadar dari normal sampai 200mg/dL. Biasanya berkisar antara 50-100mg/dl 

Kadar glukosa

Kadar glukosa umumnya normal pada kebanyakan kasus, namun dapat turun pada sekitar 5% hingga 15% kasus meningitis mumps. Kadar glukosa yang amat rendah dengan adanya pleositosis limfositik menunjukkan adanya meningitis tuberkulosa. 

Warna dan tekanan pembuka/ opening pressure

Pasien meningitis virus biasanya memiliki warna LCS yang bening bila dibandingkan dengan meningitis bakterial yang biasanya berwarna keruh. Tekanan pembuka / opening pressure juga normal dan mungkin sedikit meningkat

1

Tabel 3. Analisis LCS pada beberapa infeksi meningitis

2.

Test PCR Test PCR yang real time untuk enterovirus pertama kali di publikasikan pada

tahun 2007 oleh US Food and Drug Administration (FDA) dan telah digunakan pada berbagai laboratorium. Hasil dari pemeriksaan ini dapat keluar dalam waktu 3 jam, amat berbeda dengan pemeriksaan PCR konvensional yang memakan waktu beberapa hari hingga minggu.Untuk memastikan pemeriksaan ini, FDA telah mengambil contoh dari beberapa senter dan dari pemeriksaannya menunjukkan 96% pasien yang diperiksa positif memiliki meningitis virus, dan 97% dari pasien yang diperiksa negative tidak menderita meningitis virus. Pada penelitian retrospektif ditemukan bahwa penggunaan test PCR untuk enterovirus telah menurunkan lama waktu di rawat di rumah sakit, dan menurunkan durasi penggunaan antibiotik pada anak berusia di bawah 90 tahun. Isolasi virus (pada kultur jaringan) dari LCS, darah ataupun urin merupakan gold standard untuk mendiagnosis banyak patogen virus yang menyebabkan meningitis. Akan tetapi, prosedur ini sangatlah lambat, mahal dan tidak selalu sensitif. Perkembangan mutakhir yang sedang dikembangkan ialah PCR dari LCS

1

yang sangat cepat, sensitif dan spesifik. Banyak laboratorium yang menggunakan jasa PCR LCS untuk enterovirus, HSV, dan juga pilihan CMV, VZV, ataupun EBV. Reverse-transcriptase (RT-PCR) assay untuk enterovirus terlihat lebih sensitif (dan lebih cepat) daripada kultur LCS. Assay PCR untuk virus herpes juga terbukti efektif untuk meningkatkan spesifisitas dan akurasi penegakan diagnosis. Pemeriksaan bakteri tahan asam harus diperiksa pada cairan serebrospinal dan sisa cairan yang ada dapat dikirim untuk diperiksa dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) untuk diperiksa adanya HIV maupun CMV.

3.

Kultur Ketika LCS sulit diperoleh, kultur dari tenggorokan dan sampel kotoran

sangat membantu dalam penegakan diagnosis infeksi enterovirus. Akan tetapi, korelasi antara kultur yang positif dengan terbuktinya meningitis enterovirus masih belum dapat dipastikan benar sepenuhnya. Spesimen untuk kultur virus yang didapatkan melalui sekresi respiratorius, swab tenggorokan, LCS, darah, urin, dan kotoran sebaiknya diambil sesegera mungkin. Coxsackie dan echovirus dapat diperoleh dari kotoran ataupun swab tenggorokan. Mumps dapat diperoleh melalui air ludah ataupun swab tenggorokan. HSV-2 dari lesi genital dan LCMV dari darah. 4.

Immunoassay LCS Immunoassay dari serum (dan juga sampel LCS) sekarang merupakan

metode utama untuk mendiagnosis beberapa virus penyebab meningitis. Serological asssay merupakan metode yang paling luas digunakan untuk mendiagnosis meningitis yang disebabkan oleh mumps, flavivirus (dan beberapa arbovirus), HIV, dan LCMV. Tes ini mungkin negatif pada stase awal infeksi, sehingga mereka memerlukan sampel konvalescen kedua sekitar 2 minggu berikutnya. Meskipun pengukuran LCS dan titer antibodi serum sering tidak undertaken, nilai praktis diagnosis meningitis virus sangat terbatas. Di klinis, ketika hasil PCR virus negatif pada meningitis aseptik, tes serological dari beberapa patogen akan diminta, bergantung pada gejala klinis dan riwayat paparan. Ketika infeksi HIV akut dicurigai,

1

tes serological negatif sebaiknya dilakukan sebagai investigasi alternatif (seperti asp24 asssay, HIV PCR, dan viral load) pada pasien dengan faktor resiko infeksi HIV yang tinggi. Kemudian, pengulangan tes HIV sebaiknya dilakukan beberapa minggu kemudian. Pemeriksaan serum 10-21 hari kemudian dapat membantu untuk menentukan agen spesifik penyebab meningitis. Peningkatan 4 kali lipat pada antibodi terhadap virus dapat mengkonfirmasi diagnosis. Hal ini amat bermanfaat, khususnya pada kasus infeksi arbovirus dan LCMV, dan untuk menyingkirkan kasus toxoplasmosis, leptospirosis, boreliosis, dan infeksi riketsia. Pemeriksaan CSF latex antigen membantu untuk menyingkirkan meningitis yang diakibatkan oleh bakteri seperti Haemophilus influenza, dan Neisseria meningitidis. Sedikit CSF yang dicampurkan dengan tinta india dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis meningitis cryptococus, walalupun pemeriksaan dengan antigen assay lebih dipilih. 5. Test yang dilakukan bila tidak ada perbaikan klinis Apabila pemeriksaan pewarnaan gram pada CSF tidak ditemukan apa-apa, namun pleositosis berat ditemukan (WBC lebih dari 1000 x 109/L), pemeriksaan ulang LP harus dipertimbangkan 12-18 jam kemudian jika pasien tidak membaik. Semua pasien yang dicurigai meningitis bakteri harus di obati secara empiris dengan antibiotik yang tepat. Setelah pewarnaan gram bakteri, pemeriksaan latex antigen dan kultur negative, terapi antibakterial dapat dihentikan. Jika hasil PCR dari CSF dan kultur virus untuk herpes simplex negatif, asiklovir dapat dihentikan. Jika tidak, pemberian obat selama 10 hari dapat dipertimbangkan. Jika tidak ada perbaikan pada pasien dan semua bakteri dan virus yang sering menyebabkan meningitis telah di singkirkan, pemeriksaan berikut harus dilakukan dan terapi diberikan sesuai dengan hasilnya: 

CSF: VDRL tes, PCR untuk CMV, dan pemeriksaan basil tahan asam.



Kulit: PPD untuk menyingkirkan tuberkulosis.

1



Darah: Antibodi HIV dan PCR, RPR, antibody Lyme, antibodi

toxoplasma (khususnya pada anak kecil dan bayi baru lahir).

6. CT scan

Pemeriksaan radiologi pada kasus yang diduga meningitis virus dan enchepalitis harus disertai dengan CT scan kepala dengan / tanpa kontras ataupun MRI otak dengan menggunakan gadolinium. CT scan dengan kontras membantu untuk menentukan gambaran patologi intrakranial. Hasil pemeriksaan yang menggunakan kontras harus di periksa untuk menilai enhancement pada meninges, dan menyingkirkan cerebritis, abses intracranial, empyema subdural, dan lesi lainnya.

7. EEG Pemeriksaan EEG dapat membantu membedakan encephalitis virus dari encephalopati yang lainnya. Terutama pada HSV dan WNV yang memiliki gelomb ang EEG yang khas. 8. MRI

MRI dengan menggunakan kontras merupakan kriteria standard untuk menggambarkan gambaran patologi intrakranial pada enchepalitis virus. Bila dibandingkan dengan CT-Scan, MRI lebih sensitif untuk medeteksi demyelinisasi dan perubahan parenkimal yang berhubungan dengan encephalitis, khususnya virus herpes dan flavivirus. Encephalitis flavivirus biasanya terjadi enhancement di daerah basal ganglia dan batang otak. Sedangkan encephalitis HSV perubahan terjadi di lobus temporalis.

1

Gambar 3. Hasil MRI pasien dengan meningitis virus.

9. Lumbal puncture / LP

LP merupakan prosedur yang penting untuk mendiagnosis meningitis virus.CT umumnya dilakukan sebelum LP untuk menyingkirkan adanya hematoma intrakranial, efek massa, ataupun obstruktive hydrochepalus. LP sendiri dapat berfungsi untuk meringankan gejala sakit kepala yang dialami pasien, khususnya akibat peningkatan tekanan intrakranial. LP harus dilakukan dalam keadaan steril dan tekanan CSF harus diukur. Adanya coagulopati baik karena faktor intrinsik maupun ekstrinsik merupakan kontra indikasi relatif untuk dilakukannya LP.

10. Peninjauan Tekanan Intra Kranial Monitoring tekanan intrakranial amat jarang dibutuhkan oleh pasien dengan meningoenchepalitis dengan komplikasi cerebral edema. Pemasangan monitor harus dilakukan dalam keadaan yang steril oleh seorang ahli bedah saraf.

11. Biopsi Otak Pemeriksaan ini kebanyakan telah digantikan oleh test PCR untuk memeriksa adanya DNA virus. Pada beberapa kasus, enchepalomalaia karena infeksi virus yang tidak diketahui sulit dibedakan dengan infarct vaskuler atau tumor. Dalam kasus ini, biopsi akan sangat membantu. Dengan penggunaan lokalisasi stereotatik dan sebuah jarum biopsi, mobiditas yang diperlukan minimal.

1

12. Histologi Otak Pada leptomeninges yang mengalami peradangan ditemukan adanya PMN dan sel mononuclear pada fase akut. Gambaran “perivascular cuffing”, neurophagia, dan peningkatan jumlah sel microglia telah ditemukan dari hasil biopsi pasien yang meninggal karena meningitis virus. 13. Scoring meningitis bakteri / virus Pada tahun 2007, Pediatric Emergency Medicine Colaborative Research Committee of the American Academy of Pediatric mempublikasi scoring untuk meningtiis bakterial yag dapat digunakan untuk menilai apakah seseorang memiliki resiko yang tinggi atau rendah untuk terkena meningitis bakteri / virus. Berdasarkan scoring tersebut, pasien memiliki resiko yang rendah untuk terkena meningitis bakteri apabila tidak ditemukan gambaran ini : 

Pewarnaan gram CSF positif



Absolute Neutrophil Count (ANC) dari CSF ≥ 1.000



Protein CSF ≥ 80 mg/dL



ANC perifer ≥10.000 sel/mcl



Kejang sebelum atau pada saat presentasi

Semakin besar skor yang diperoleh, maka semakin besar pula kemungkinan seorang pasien terkena meningitis bakteri 2.7

Diagnosis Banding Gejala klinis yang berupa nyeri kepala, demam, dan kaku kuduk tidaklah

spesifik terhadap meningitis virus. Segala kondisi inflamasi di ruang subarachnoid dapat menunjukkan gejala klinis yang serupa. Oleh karena meningitis virus seringkali menyebabkan

reaksi

meningeal

lympocytic

dengan

kadar

glukosa

liquor

cerebrospinalis yang normal, semua kondisi yang mengakibatkan gambaran liquor cerebrospinalis serupa wajib dianggap sebagai diagnosis banding. Penyebab aseptik meningitis nonviral mencakup meningitis bakterial yang belum diterapi tuntas,

1

brucellosis,

listeria,

mycoplasma

pneumonia,

infeksi

spirochaeta

(syphilis,

leptospirosis, penyakit Lyme) infeksi rikets, infeksi parameningeal, tuberculosis, infeksi jamur, dan parasit. Infeksi jamur, parasit, dan tuberkulosis seringkali menunjukkan penurunan kadar gula LCS. Meningitis aseptik juga bisa disebabkan oleh proses noninfeksius.Hal ini mencakup vaskulitis, sarcoid, collagen-vascular disease, meningeal carcinomatosis, penyakit neuro-Behcet, dan meningitis kimiawi. Iritasi meningeal juga dapat disebabkan oleh darah di subarachnoid. Beberapa obat-obatan juga dilaporkan menyebabkan meningitis aseptik seperti nonsteroidal anti-inflammatory agents, antineoplastik, imunosupresan seperti antibiotik OKT-3, imunoglobulin intravena, lamotrigine, adalimumabdan valacyclovir. 3

Infectious Causes

I. Infectious Causes

II. Non infectious Causes

1. Viruses:

1. Post infectious/post vaccinial

o Enteroviruses - polio, coxsackie,

o Rubeola

ECHO virus

o Rubella

o Herpes Group of viruses

o Varicella

* Herpes Simplex virus type 1

o Variola

and 2

o Rabies vaccine * Varicella zoster virus

o Pertussis vaccine

* Cytomegalovirus

o Influenza vaccine

* Ebstein Barr virus

o Vaccinia

* Human herpesvirus 6 (HHV-6)

o Yellow fever vaccine

o Respiratory viruses

2. Drugs

1

* Adenovirus

o Non steroidal anti-inflammatory

* Rhino virus

drugs (NSAIDs)

* Influenza virus type A & B

o Trimethoprim sulfamethoxazole,

oArboviruses

amoxicillin

oMumps virus

o Muromonab CD3 (OKT3)

oLymphocytic choreomeningitis

o Azathioprine

oHIV

o Intravenous immunoglobulin o Isoniazid

2. Bacteria: o Partially treated meningitis

o Intrathecal methotrexate

o Parameningeal infection

o kntrathecal cytosine arabinoside

o Endocarditis

o Allopurinol

o Mycoplasma pneumoniae

o Carbamazepine

o M tuberculosis

o Sulfasalazine

o Ehrlichiosis

3. Systemic Disease

o Borrelia burgdorfi

o Collagen vascular disorders

o Treponema pallidum

o Systemic lupus erythematosis

o Brucella

o Wegener granulomatosis

o Leptospirosis

o Central nervous system vascuLitis o Rheumatoid arthritis

3. Fungi o C neoformans

o Kawasaki's disease

o Histoplasma capsulatum

o Sarcoidosis

o Coccidiodes immitis

o Leptomeningeal cancer

o Blastomyces dermatitides

o Post transplantation

o Candida

lymphoproliferative disorder o Behcet disease

4. Parasites o Toxoplasma gondii

o Vogt- Koyanagi syndrome

o Neurocysticercosis o Trichinosis

4. Neoplastic disorders

o Naeglaria

o Leukemia

1

o HartmeneUa

o Carcinomatous meningitis secondary

o Bartonella henselae

to primary or secondaryturnouts of the brain

5. Rickettsiae o Rocky mountain spotted fever

5. Inflammation of neighbouring

o Typhus

structures o Brain abscess o Epidural abscess 6. Miscellaneous o Arachnoiditis o Migraine o Urinary tract infection

2.8

Komplikasi Kejang, bahkan status epileptikus kadang-kadang dapat terjadi pada

meningitis aseptik tapi antikonvulsan profilaksis tidak dianjurkan. Jika kejang terjadi, harus dikontrol dengan fenitoin dan fenobarbital. Meningoencephalitis mumps dapat mengakibatkan tuli sensorineural dan stenosis aqueductal sehingga menyebabkan hidrosefalus. 2.9

Tatalaksana Prinsip umum terapi 1. Pemberian cairan, eletrolit, antipiretik, analgesik, dan terapi penunjang lain yang penting untuk pasien penderita meningitis akut 2. Terapi antibiotika empirik harus diberikan sesegera mungkin untuk menghilangkan mikroba penyebab. Terapi antibiotik harus paling tidak selama 48-72 jam atau sampai diagnosa ditegakkan Pengobatan untuk meningitis virus umumnya bersifat suportif. Istirahat,

hydrasi, antipiretik dan anti nyeri, anti radang merupakan hal yang dapat diberikan pada pasien sesuai dengan kebutuhan. Keputusan penting yang harus di ambil ialah 1

apakah perlu memulai pemberian antibiotik empiris untuk meningitis bakteri sambil menunggu kepastian penyebabnya. Antibiotik intravena (IV) harus diberikan bila ada kecurigaan akan meningitis bakteri. Hospitalisasi diperlukan pada pasien dengan nyeri kepala hebat, demam, dan dehidrasi akibat mual dan muntah. Perawatan di rumah sakit juga diperlukan ketika gambaran LCS atipikal. Bila kadar gula LCS rendah, atau adanya gambaran leukosit polimorfonuklear, sangatlah sulit untuk menyingkirkan meningitis bakterial. Oleh karena itu, pasien perlu mendapat perawatan dan antibiotik spektrum luas hingga studi LCS dan kultur darah dinyatakan negatif. Lumbal pungsi dapat diulang dalam waktu 8 hingga 12 jam, dan harus menunjukkan penurunan yang signifikan dari leukosit polimorfonuklear dan bergeser ke arah sel mononuklear bila memang terinfeksi meningitis virus. Terapi antiviral yang spesifik dapat diindikasikan pada komplikasi yang mengancam nyawa yang lebih sering terjadi pada anak baru lahir, balita, dan pasien immunocompromised. Agen kemoterapeutik spesifik telah tersedia untuk bebrapa infeksi virus herpes (acyclovir, famciclovir, valacyclovir, ganciclovir, foscarnet). 2.10

Prognosis Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang

menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian. Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih ringan, penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.

15

Namun, sekitar 5%

dari pasien mengalami defisit sisa Defisit ini termasuk malaise dan kelelahan, gangguan memori ringan, gangguan intelektual dan bahasa ringan pada bayi, gangguan tidur, kejang, kejadian terisolasi kelumpuhan, dan kelumpuhan saraf

1

kranial termasuk neuritis optik.

1

BAB III KESIMPULAN Meningitis virus ialah peradangan atau inflamasi pada selaput otak (meninges) termasuk duramater, arachnoid, dan piamater yang melapisi otak dan medulla spinalis yang disebabkan oleh infeksi virus. Pengobatan untuk meningitis virus umumnya bersifat suportif. Istirahat, hydrasi, antipiretik dan anti nyeri, anti radang merupakan hal yang dapat diberikan pada pasien sesuai dengan kebutuhan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi.

1

DAFTAR PUSTAKA

1. Adair CV, Gauld RL, Smadel JE. Aseptic meningitis, a disease of diverse etiology: clinical and etiologic studies on 854 cases. Ann Intern Med 1953;39:675-704. 2. Allan H Ropper.Martin A. Samuels. Adams and Victors’ Principles of Neurology.ed.9. USA : Mc. Graw Hill.Companies.2009 3. Attia J, Hatala R, Cook DJ, Wong JG. Does this adult patient have acute meningitis? JAMA 1999;282:175-81. 4. Baoezier F. Meningitis. Dalam: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan On Neurology 2002. SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR/ Dr. Sutomo. 2002:120 5. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada University 6. Beghi A, Nicolosi A, Kurland LT, Mulder DW, Hauser WA, Shuster L. Encephalitis and aseptic meningitis, Olmsted County, Minnesota, 1950-1981: I. Epidemiology. Ann Neurol 1984;16:283-94. 7. CDC 8. Centers for Disease Control. Aseptic Meningitis surveillance. 2011 9. Centers for Disease Control. Aseptic meningitis surveillance. Annual summary 1976. Atlanta: CDC, 1979. 10. Cordia Wan. Viral Meningitis. Available from : http://emedicine.medscape.com/article / 1168529. Accessed : 5 April 2013. 11. David R. Chadwick. Viral Meningitis. British Medical Bulletin 2005; 75 and 76: 1–14 12. Davis LE. Acute Bacterial Meningitis. In: Johnson RT, Griffin JW. Current Therapy in Neurologic Disease. 5th edition. USA:MosbyYear Book,Inc;1997.p.120-31. i. EGC, Jakarta. 13. Esiri MM, Kennedy PG. Virus diseases. In: Adams JH, Duchen LW, editors. Greenfield’s neuropathology. 5th ed. New York: Oxford University Press, 1992. 14. Fischer SA, Graham MB, Keuhnert MJ, et al. Transmission of lymphocytic choriomeningitis virus by organ transplantation. N Engl J Med 2006;354:2208-11. i. Gadjah Mada. 15. Gnann JW Jr. Meningitis and encephalitis caused by mumps virus. In: Scheld WM, Whitley RJ, Durack DT, editors. Infections of the central nervous system. New York: Raven, 1991. 16. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada 17. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. Gadjah Mada

1

University 18. Hosoya M, Honzumi K, Sato M, Katayose M, Kato K, Suzuki H. Application of PCR for various neurotropic viruses on the diagnosis of viral meningitis. J Clin Virol 1998;11:117-24. 19. Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat Neurologi. Widya 20. Khetsuriani N, Quiroz ES, Holman RC, Anderson LJ. Viral meningitisassociated hospitalizations in the United States, 1988-1999. Neuroepidemiology 2003;22:345-52. 21. Landry ML, Greenwold J, Vikram HR. Herpes simplex type-2 meningitis: presentation and lack of standardized therapy. Am J Med. Jul 2009;122(7):688-91. 22. Lepow ML, Coyne N, Thompson B, Carver DH, Robbins FC. A clinical epidemiological and laboratory investigation of aseptic meningitis during the four year period 1955-1958. II. The clinical disease and its sequelae. N Engl J Med 1962b;266:1188-93. 23. Lipman J. Meningitis and encephalomyelitis. In: T E Oh. Editors. Intensive Care Manual. 4th edition. Butterworth Heinemann. 1997. p. 416-22. Soetomenggolo TS, Ismael S, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI 1999; h.40-6, 339-71. i. Medika, Jakarta. 24. MJ Turlough Fitzgerald, Gregory Gruener, Estomih Mtui. Clinical Neuroanatomy and Neuroscience ed.6. China: Elsevier.2011. 25. Musfiroh, S., dkk., 2000. Tuberkulosis Sistem Saraf Pusat di RSUP Dr.Sardjito 26. Muttaqin, A., 2003. Asuhan Keperawatan Meningitis. FK Universitas Airlangga, 27. Nicolosi A, Hauser WA, Beghi E, Kurland LT. Epidemiology of the central nervous system infections in Olmsted County, Minnesota, 1950-1981. J Infect Dis 1986;154:399-408. 28. Rashmi Kumar.Aseptic Menngitis : Diagnosis and Management, India.Indian J Pediatry 2005; 72 (1) : 57-63. 29. Richard S.Snell. Clinical Neuroanatomy.ed.7.China : Williams & Wilkins.2010. 30. Rotbart HA, Webster AD, Pleconaril Treatment Registry Group. Treatment of potentially lifethreatening enterovirus infections with pleconaril. Clin Infect Dis 2001;32:228–35 31. Rotbart HA. Viral meningitis. Semin Neurol 2000;20:277-92. 32. Saul, F., 2007. Aseptic Meningitis. http://www.meningitisemedicine.com 33. Scheld WM, Whitley RJ, Durack DT, editors. Infections of the central nervous system. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997. 34. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press, 35. Stoppe G, Stark E, Patzold U. Mollaret’s meningitis: CSF-immunocytological examinations. J Neurol 1987; 234: 103–6. 36. Stroop WG. Viral pathogenesis. In: McKendall RR, Stroop WG, editors. Handbook of neurovirology. New York: Marcel Dekker, 1994. 1

37. Suwono, W., 1996. Diagnosis Topik Neurologi, Edisi Kedua. Buku Kedokteran 38. Trallero G, Avellon A, Otero A, et al. Enteroviruses in Spain over the decade 1998-2007: virological and epidemiological studies. J Clin Virol 2010;47(2):170-6

1

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"