Referat Undang – Undang dan Aspek Medikolegal Narkotika
Oleh:
Lany Arza
1740312248
Istiqa Dwi Pertiwi
1840312435
Fama Setiawati
1840312439
Amelinda Syafrawi Dinata
1840312307
Zulhar Riyadi
1840312467
Yoseph De Nachs
1840312438
Preseptor :
Dr. Citra Manela, Sp.F
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL PERIODE 7 FEBRUARI – 11 MARET 2019 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M.DJAMILPADANG 2019
1
KATA PENGANTA.R Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah referatdengan judul “Undang– Undang dan Aspek Medikolegal Narkotik”. Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada preseptor dr. Citra Manela, Sp.F yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan referat ini. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini. Untuk itu, penulis menerima kritik dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan referat ini.
Padang, 25 Februari 2019
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………..
1
KATA PENGANTAR ........................................................................
2
DAFTAR ISI .......................................................................................
3
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...............................................................................
4
1.2 Batasan Masalah .............................................................................
6
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................
6
1.4 Metode Penulisan ...........................................................................
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................
7
BAB 3 KESIMPULAN ……………………………………………..
31
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
33
3
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menentukan pada Pasal 7 bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Berdasarkan ketentuan ini, narkotika merupakan hal yang boleh digunakan dan/atau dimanfaatkan sepanjang penggunaan dan/atau pemanfaatannya itu untuk kepentingan pelayanan kesehatan, atau kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran , hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.1,2 Narkotika banyak digunakan sebagai hal yang dibolehkan menurut ketentuan hukum dalam dunia farmasi maupun pelaksanaan operasi pasien di rumah sakit. Darda Syahrizal menjelaskan bahwa “Narkotika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai ‘efek utama’ terhadap perubahan kesadaran atau membuat terjadinya penurunan
4
kesadaran, hilangnya rasa, dan mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, digunakan untuk analgesik, antipasmodik, dan premedikasi anestesi”.3 Beberapa jenis kandungan yang berpengaruh terhadap rasa sakit, rasa nyeri yang ditemukan dalam obat-obatan misalnya pada obat pereda rasa nyeri, obat batuk, obat influenza dan lainnya yang merupakan istilah farmasi tersebut digunakan dalam dunia kesehatan untuk kepentingan pengobatan, dan operasi pasien di rumah sakit. Pada umumnya atau sebagian besar tindak pidana menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yakni penyalahgunaan orang-orang yang tidak berhak, tidak berwenang. Permasalahan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang lebih banyak mengancam tindak pidana penyalahgunaan narkotika, ialah pengguna, pelaku transaksi, penyedia dan lain sebagainya adalah orang-orang dalam kondisi sehat, tidak sakit.1,3 Kejahatan narkotika pada khususnya dan narkoba pada umumnya sebagai kejahatan transnasional, oleh karena kejahatan tersebut terjadi melampaui batasbatas wilayah negara, seperti jaringan atau sindikat yang berasal dari luar negeri yang memasukkan narkotika ke wilayah Indonesia. Sebagai kejahatan korporasi menurut Marwan Effendy, kejahatan korporasi (crime by corporation) seringkali diidentikkan dengan kejahatan kerah-putih (white collar crime) yang berhubungan dengan kejahatan terorganisasi (organizational crime).4 Pemberantasan tindak pidana narkotika melibatkan seluruh bangsa di dunia, namun ternyata tingkat peredaran gelap narkotika sermakin tinggi dan merajalela. Beberapa indikasi memperlihatkan bahwa kejahatan narkotika merupakan extraordinary crime. Pengertiannya adalah sebagai suatu kejahatan
5
yang sangat berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang diakibatkan oleh kejahatan ini. Untuk itu extraordinary punishment sangat diperlukan untuk jenis kejahatan yang sangat luar biasa dewasa ini yang sudah terjadi di seluruh bangsa-bangsa di dunia ini sebagai transnational crime.5 1.2 Batasan Penulisan Penulisan makalah ini dibatasi pada undang-undang yang mengatur tentang narkotik serta aspek medikolegal narkotika.
1.3 Tujuan Penulisan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang undang-undang serta aspek medikolegal pada narkotika. 1.4 Metode Penulisan Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur
.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Narkotika Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika, atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusasn Menteri Kesehatan.13 Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah atau sintetik bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.14 2.2
Klasifikasi Narkotika UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika membagi narkotika ke dalam 3
golongan, yaitu:15 1. Narkotika golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunya potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan (ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika terjadi apabila penggunaan dihentikan). Contoh golongan ini : heroin, kokain, dan ganja.
7
2. Narkotika golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh golongan ini : morfin, petidin, dan derivatnya. 3. Narkotika golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi ringan menimbulkan ketergantungan. Contoh golongan ini : kodein dan garamgaram narkotika dalam golongan tersebut.
Psikotropika dibagi ke dalam 4 golongan, yaitu : 1. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : MDMA, ectasy, LSD, psilosibina. 2. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : fensiklidin (PCP), amfetamin, metilfenidat (Ritalin). 3. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat dalam pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
8
ilmu
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
sedang
dalam
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : flunitrazepam. 4. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat dalam pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : alprazolam (xanax), bromazepam (lexotan), diazepam (valium), estazolam (esilgan), klobazam
(frisium),
(dumolid/mogadon),
klordiazepoksid lorazepam
(ativan),
(Librium), klonazepam
nitrazepam (rivotril),
triazolam (halcion), fenobarbital (luminal).
2.3
Undang-undang tentang Narkotika
2.3.1
Menurut UU No. 35 Tahun 2009 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menentukan pada
Pasal 7, bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.1Berdasarkan ketentuan ini, narkotika merupakan hal yang boleh digunakan dan/atau dimanfaatkan sepanjang penggunaan dan/atau pemanfaatannya itu untuk kepentingan pelayanan kesehatan, atau kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.6 Narkotika banyak digunakan sebagai hal yang dibolehkan menurut ketentuan hukum dalam dunia farmasi maupun pelaksanaan operasi pasien di rumah sakit. DardaSyahrizal menjelaskan perihal narkotika sebagai berikut: “Narkotika adalah obat yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai ‘efek utama’ terhadap perubahan kesadaran atau membuat 9
terjadinya penurunan kesadaran, hilangnya rasa, dan mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, digunakan untuk analgesik, antipasmodik, dan premedikasianestesi.7 Beberapa jenis kandungan yang berpengaruh terhadap rasa sakit, rasa nyeri yang ditemukan dalam obat-obatan misalnya pada obat pereda rasa nyeri, obat batuk, obat influenza dan lainnya yang merupakan istilah-istilah farmasi tersebut digunakan dalam dunia kesehatan untuk kepentingan pengobatan, dan operasi pasien di rumah sakit. Pada umumnya atau sebagian besar tindak pidana menurut UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, yakni penyalahgunaan orang-orang yang tidak berhak, tidak berwenang. Permasalahan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 yang lebih banyak mengancam tindak pidana penyalahgunaan narkotika, ialah pengguna, pelaku transaksi, penyedia dan lain sebagainya adalah orang-orang dalam kondisi sehat, tidak sakit. Konsep penyalahgunaan berpangkal dari adanya hak atau kewenangan seseorang yang dijamin oleh hukum. Penyalahgunaan narkotika merupakan bentuk penyimpangan, tindakan atau perbuatan dari orang-orang yang tidak berhak, tidak berwenang menggunakan atau mengedarkan narkotika. Di dalam banyak kasus kejahatan narkotika pada khususnya dan narkoba pada umumnya, senantiasa terkait dengan kejahatan transnasional, kejahatan korporasi, kejahatan pencucian uang, dan lain sebagainya. Kejahatan narkotika pada khususnya dan narkoba pada umumnya sebagai kejahatan transnasional, oleh karena kejahatan tersebut terjadi melampaui batas-batas wilayah negara, seperti jaringan atau
10
sindikat yang berasal dari luar negeri yang memasukkan narkotika ke wilayah Indonesia. Sebagai kejahatan korporasi menurut Marwan Effendy, kejahatan korporasi (crime by corporation) seringkali diidentikkan dengan kejahatan kerahputih (white collarcrime) yang berhubungan dengan kejahatan terorganisasi (organizational crime).8 Kejahatan narkotika khususnya dan narkoba pada umumnya terkait erat dengan kejahatan pencucian uang, yakni para penjahat dan rekanan mereka yang menggunakan sistem keuangan untuk pembayaran dan perpindahan dana dari satu rekening ke rekening lainnya.6 Uang hasil serta kegiatan transaksi narkotika khususnya dan narkoba pada umumnya menggunakan sistem pembayaran seperti perbankan, padahal uang tersebut adalah uang hasil kejahatan atau dikenal pula sebagai uang haram. Penyalahgunaan narkotika yang semakin meluas belakangan ini diberbagai kalangan masyarakat Indonesia, merupakan bentuk ketergantungan, yakni bagi pengguna lebih tertuju pada ketergantungan akan Narkotika itu sendiri, sedangkan bagi pelaku yang berorientasibisnis, hasil keuntungan yang mudah dan cepat, menyebabkan ketergantungan bisnis Narkotika mendasari kegiatan maupun tindakannya. 2.3.2
Menurut KUHAP Di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 21 dijelaskan bahwa yang bisa dilakukan penahanan adalah yang ancaman hukumnya 5(lima) tahun atau lebih. Pasal 127 (35/2009) atau yang biasa disebut Pasal Indikasi pengguna ancaman hukumannya maksimal 4 (empat) tahun, artinya bila hanya pasal ini yang dicantumkan maka tidak dapat dilakukan penahanan. Bila tidak dilakukan penahanan pada kasus narkotika diduga tersangka akan
11
melarikan diri. Penangkapan dan penahanan kasus narkotika selalu diberlakukan Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tidak peduli dia diindikasikan pengedar atau hanya pecandu atau pengguna. Undang-Undang No. 35 Tahun 2005 tentang Narkotika secara garis besar mengatur proses acara dalam rangka penegakan hukumnya dalam 2 (dua) garis besar, yakni penindakan berdasarkan ketentuan pidana yang diatur pada Bab XIV, serta proses pengobatan dan rehabilitasi sebagaimana diatur pada Bab IX. Pengguna narkotika sudah jelas merupakan orang yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, tetapi pengguna tersebut juga adalah korban, dan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan termasuk kejahatan narkotika penting sekali untuk dicermati dalam pembahasan ini. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, menentukan pada Pasal 54, bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi media dan rehabilitasi sosial.6 Ketentuan ini diberikan penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan ‘korban penyalahgunaan narkotika’ adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.” Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, ialah sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 angka 16 dan Pasal 1 angka 17, yang masih-masing merumuskan bahwa “rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu
dari
ketergantungan
narkotika.”
Kemudian
dirumuskan
bahwa
‘rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
12
fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.’ Implementasi dari rehabilitasi sosial, ditentukan standarisasi dalam kelembagaan (institusional) serta standarisasi rehabilitasi sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 3 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012 tentang Standar
Rehabilitasi Sosial
Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 3 Tahun 2012 tentang Standar Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya, ditentukan pada Pasal 3, bahwa “Tujuan ditetapkannya standar Lembaga Rehabilitasi Sosial korban Penyalahgunaan NAPZA yaitu : a. Adanya standar untuk lembaga penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA b. Memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik c. Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi lembaga dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA d. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan pada lembaga penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.4 Penentuan standar kelembagaan tersebut penting sekali, oleh karena dalam praktik terdapat sejumlah lembaga yang menjalankan fungsi rehabilitative terhadap korban penyalahgunaan Narkoba dengan cara-cara tidak manusiawi
13
dalam upaya memutus mata rantai ketergantungan terhadap Narkoba, antara lainnya direndam pada suatu kolam, diikat atau dirantai, dan lain-lainnya. Pendekatan rehabilitative yang menggunakan pendekatan spiritual dengan jalan mendalami agama agar korban semakin menyadari bahwa perbuatannya menyalahi ketentuan agama, bertentangan dengan perikehidupan sosial dalam keluarga, masyarakat maupun berbangsa, merupakanpilihan tepat dalam penentuan standarkelembagaan pelaksana rehabilitasi sosial tersebut, yang berada dalam lingkup aturan menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 26 Tahun 2012 menentukan pada Pasal 2, bahwa “Tujuan Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, yaitu: a. Menjadi acuan dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaanNAPZA b. Memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik c. Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA; dan d. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.9 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menentukan kewenangan di dalam penyidikan kejahatan Narkotika yang berbeda dari yang dimaksud dalam KUHAP, oleh karena yang berwenang ialah penyidik BNN yang berdasarkan
14
Pasal 75 disebutkan bahwa dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang: a. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika b.
Memeriksa
orang
atau
korporasi
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika c. Memanggil orang untuk didengarketerangannya sebagai saksi d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; g.
Menangkap
dan
menahan
orang
yang
diduga
melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika Prekursor Narkotika h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diseluruh wilayah yurisdiksi nasional i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup j. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan k. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
15
l. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya; m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka; n. Melakukan pemindahan terhadap orang, barang, binatang dan tanaman; o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alatalat
perhubungan
lainnya
yang
diduga
mempunyai
hubungan
dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; p. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita; q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika; r.
Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika s. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN), dalam Pasal 4, hanya menyimpulkan secara umum wewenang BNN, bahwa “Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.10
16
Kewenangan BNN dalam penyelidikan dan penyidikan tersebut pada dasarnya bertentangan dengan kewenangan penyelidik dan penyidik di dalam KUHAP, yang secara tegas menempatkan penyelidik maupun penyidik adalah aparat Kepolisian, meskipun tidak dapat disangkal bahwa aparat penyelidik maupun penyidik BNN adalah berasal dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur di dalam Bab XV tentang Ketentuan Pidana, sebanyak 38 pasal yang mengatur dan mengancam pidana , antara lainnya pada Pasal 111 ayat-ayatnya sebagai berikut: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.00.000.00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.00.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Tanaman ganja (Mariyuana) adalah jenis tanaman Golongan I yang tumbuh liar biasany layaknya rumput, di Indonesia ganja banyak terdapat di Aceh. Biasanya ganja digunakan oleh penduduk setempat untuk menjadi
17
bumbupenyedapmasakan.15 Modus penyalahgunaan tanaman ganja yang terkait dengan ketentuan Pasal ini telah berkembang sedemikian rupa, sehingga ditemukan penanaman ganja dipekarangan, pada pot bunga, menanam ganja di apartemen dan lainlainnya. Tindak pidana menurut Pasal 114 ayatayatnya dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, dinyatakan sebagai berikut: (1) Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.00.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) pohon atau dalam bentuk bukan tanaman bertanya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Ketentuan pidana tersebut pada Pasal 114 lebih tertuju pada pihak-pihak penyalahgunanarkotika untuk tujuan atau motif bisnis, yaitu untuk menjual, menawarkan, menukar dan lain sebagainya Narkotika Golongan I terhadap penyalahguna Narkotika ditentukan ancaman pidana dalam Pasal 127 ayatayatnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sebagai berikut:
18
(1) Setiap Penyalahguna: a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiridipidana dengan pidana penjara palinglama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat 91) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Tindak pidana menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 mencakup pula kejahatan korporasi, yakni kejahatan dengan melibatkan atau menggunakan badan usaha atau badan hukum
seperti
Perseroan
Terbatas
untuk
menyalahgunakan
Narkotika,
sebagaimana ditentukan pada Pasal 130 ayat-ayatnya, bahwa: (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120. Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut.
19
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hukum. Perampasan aset hasil kejahatan Narkotika juga tercakup dalam tindak pidana menurut Pasal 136 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa “Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.” Penyalahgunaan narkoba dan proses hukumnya tersebut akan berhadapan dengan kekuatan dan kecanggihan pelaku kejahatan dengan berbagai modus operandi yang membutuhkan profesionalisme, tekad dan kemampuan kuat dari aparat penegak hukum, khususnya BNN, mengingat kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Negara Republik Indonesia menjadi taruhannya. Upaya hukum berupa regulasi untuk menjadikan kejahatan narkoba sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) serta sebagai bagian dari pengadilan khusus untuk menanganinya, merupakan bahan-bahan pemikiran yang patut untuk diperjuangkan.
2.4
Temuan klinis korban hidup pemakai narkotik11
20
1. Stimulan Semua obat dalam kelompok ini bekerja dengan meningkatkan konsentrasi neurotransmitter yang disebut dopamin. Dopamin terletak di otak belakang. Dopamin memiliki banyak aksi berbeda, tetapi mungkin yang paling dikenal adalah membuat rasa senang. Beberapa obat, seperti kokain, cukup mencegah reuptake dopamin, sehingga terjadi akumulasi di celah sinaptik, sementara yang lain, seperti amfetamin (khat memiliki struktur yang hampir sama dengan amfetamin, seperti halnya obat yang disebut fenethylline atau Captagon di Timur Tengah), memiliki aksi yang mirip dengan kokain tetapi, di samping itu, menyebabkan neuron presinaptik untuk melepaskan dopamin tambahan yang disimpan dalam ujungnya. Hasil akhirnya adalah semakin banyak dopamin terakumulasi di dalam sinapsis, yang pada gilirannya, meningkatkan efek dopamine Kokain juga memblok reuptake serotonin dan semua katekolamin terutama norepinefrin. Serotonin berkaitan dengan neurontransmitter dalam perasaan bahagia. Konsentrasi katekolamin yang berlebihan dalam jantung menyebabkan jaringan parut)atau bahkan infark mikro miokardium. Proses ini mengganggu aliran listrik normal jantung, menyebabkan detak jantung tidak teratur. Hasilnya bisa berakibat fatal. Ketika dosis stimulan sedang dicerna, efek utama adalah keadaan euforia yang mendalam, yang dengan cepat menghilang dalam kasus kokain, yang memiliki paruh 1 jam, tetapi bertahan lebih lama dalam kasus obat lain, seperti sebagai metamfetamin, yang memiliki waktu paruh mendekati 12 jam. Efek dari penggunaan stimulan seperti terjadinya pelebaran pupil, peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah.. Pengguna kokain berat kadang-kadang dapat menunjukkan gejala para noid tetapi ini merupakan 21
peristiwa yang tidak biasa. Ketika benar-benar terjadi psikosis, sering kali dalam bentuk sindrom Magnun, di mana pengguna percaya terdapat serangga keluar dari kulit
mereka
(disebut
formikasi).
Bentuk
ekstrim
dari
sindrom
ini
dimanifestasikan dengan mencelakakan diri sendiri. Penyalahguna metamfetamin tidak jarang menunjukkan gejala psikosis paranoid. psikosis metamfetamin dapat terjadi kembali bertahun-tahun setelah penggunaan obat telah dihentikan. Kemunculannya tampaknya terkait dengan kerusakan yang disebabkan oleh metamfetamin terhadap subtantia alba dikorteks otak. Perubahan patologis ini cukup mudah ditemukan pada pemeriksaan dengan nmagnetic resonance imaging (MRI). Konsekuensi yang paling ditakuti dari semua jenis penyalahgunaan stimulan adalah sindrom yang disebut sebagai 'delirium tereksitasi'. Jumlah norepinefrin (noradrenalin) yang berlebihan merusak dinding pembuluh darah, dan dapat menyebabkan diseksi, stroke, dan penyumbatan arteri koroner. Kehadiran norepinefrin yang berlebih juga mempercepat timbulnya penyakit arteri koroner, menginduksi pembesaran jantung dan menghasilkan jaringan parut (disebut sebagai fibrosis interstisial (lihat Gambar 20.7) dari miokardium. Kombinasi fibrosis miokard dan pembesaran jantung disebut sebagai remodeling miokard. Hal ini sangat mendukung terjadinya kematian jantung mendadak
22
2. Opiat dan opioid Penggunaan jangka panjang opioid membuat pengguna menjadi kurang responsif terhadap efek obat dan harus meningkatkan dosisnya. Toleransi terhadap berbagai efek opiat muncul dalam waktu yang berbeda. Waktu munculnya efek morfin sebagai analgetik timbul dengan cepat, tetapi toleransi terhadap depresi pernapasan yang diinduksi morfin muncul dengan sangat lambat. Perbedaan munculnya efek in dapat mengancam jiwa. Dokter perlu menyadari efek timbulnya intoksikasi obat ini, dan gejala yang dihasilkan oleh ketika konsumsi obat ini dihentikan. Mungkin tanda yang paling sering muncul dari penggunaan opiat akut adalah adanya pinpoint pupil . Penhentian konsumsi opiat ('clucking', 'rattling') menyebabkan sejumlah gejala yang berbeda, keparahan tergantung pada seberapa kecanduan individu tersebut: gejala mungkin termasuk adanya rhinorrhoea, lacrimation, perut sakit, nyeri otot dan diare dan muntah.
3. Sedative hipnotik Merupakan obat yang paling sering diresepkan untuk insomnia (yang mungkin juga memiliki aksi ansiolitik) termasuk benzodiazepine (BZ), nonbenzodiazepin (nonBZs) dan antidepresan. Obat-obatan lama, seperti barbiturat long acting dan hidrat kloral telah jarang digunanakan. Benzodiazepin meningkatkan efek neurotransmitter yang disebut GABA (γ-amino butyric acid). Obat apa pun yang dapat berikatan dengan GABAA reseptor cenderung memberikan efek sedatif, antikonvulsan, dan ansiolitik. Beberapa obat dapat membuat otot relaksasi dan yang lainnya dapat membuat euforia. Secara umum, ini adalah obat yang sangat aman. Kematian akibat overdosis jarang terjadi. 23
Namun, kombinasi dosis tinggi BZ dengan obat lain, seperti alkohol, barbiturat, opiat dan antidepresan trisiklik dapat menyebabkan koma dan kematian, yang karena menyebabkan depresi pernapasan 4. Halucinogen Halusinogen sering dikaitkan dengan:
Perubahan suasana hati
Menganggu memori
Penggunaan tidak terkait dengan agitasi
Efek samping minimal
Keinginan dan kecanduan tidak terjadi.
5. Marijuana Marijuana dengan beberapa nama (misalnya gulma, hash, sigung), adalah obat yang berinteraksi dengan banyak reseptor yang berbeda. Tubuh sendiri menghasilkan Merupakan
obat-obatan senyawa
seperti
dengan
ganja struktur
yang disebut yang
endocannabinoid.
mirip
dengan
THC
(tetrahydrocannabinol) bahan aktif dalam ganja. Endocannabinoid yang diproduksi secara endogen berikatan dengan endocannabinoid spesifik yang reseptor dikenal sebagai C1 dan C2. Namun ada bukti bahwa, selain mengikat C1 dan C2, THC juga berinteraksi denganbenzodiazepine
reseptordan reseptor
opioid. THC meningkatkan denyut nadi sesuai dengan banyak dosis yang diberikan. Hal ini dapat menurunkan curah jantung, dan kadang-kadang dapat menyebabkan sinkop, terutama pada pengguna yang sudah memiliki penyakit jantung sebelumnya. Efek THC mengurangi rasa sakit masih diperdebatkan THC tetap berada dalam simpanan lemak tubuh untuk waktu yang sangat lama (> 1 bulan). Kemudian perlahan-lahan dilepaskan kembali ke sirkulasi dengan berbagai macam rangsangan, seperti diet dan stres. Kedua kondisi ini menyebabkan peningkatan sekresi ACTH dan kortisol yang, pada gilirannya, juga dapat menyebabkan THC yang disimpan dalam lemak dilepaskan.
6. Pelarut
24
Pelarut seperti toluena volatize pada suhu kamar, memungkinkan pengguna untuk menghirup asap, praktik yang disebut sebagai 'terengah-engah'. Penggunaan agen-agen ini dan yang lainnya seperti lem, atau bahan bakar gas untuk rokok pemantikjauh lebih umum sekarang daripada sebelumnya. Pemeriksaan klinis dapat mengungkapkan jejak inhalansia, seperti lem, di sekitar mulut dan wajah seseorang, dengan bau persisten dari inhalans yang relevan. Beberapa individu mungkin memiliki bukti adanya rambut yang hangus, atau bukti luka bakar lama pada wajah, karena banyak agen yang digunakan untuk praktik tersebut sangat mudah terbakar. Toluena, berbeda dengan pelarut yang ditemukan dalam semprotan rambut, cairan pembersih dan bensin merupakan bahan yang paling sering menyebabkan keracunan yang berakibat fatal. Toluene dapat menganggu aktivitas listrik jantung yang normal. Menghirup pelarut apa pun dapat membuat euforia, sakit kepala, dan ataksia. Kelompok zat ini secara selektif menghancurkan substantia alba , dan pola yang berbeda dapat diidentifikasi dalam pemindaian MRI.
2.5
Temuan Klinis pada Korban Meninggal Pengguna Narkotika12 2.5.1 Mekanisme kematian a. Depresi pusat pernapasan dimana pusat pernapasan menjadi kurang sensitif terhadap stimulus CO2 atau H+ b. Edema paru yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan cairan serebrospinal dan tekanan intra kranial serta berkurangnya sensitifitas pusat pernafasan terhadap CO2. Kedua keadaan ini menyebabkan menurunnya ventilasi paru dan gangguan permeabilitas. c. Syok anafilaktik terjadi akibat hipersensitifitas terhadap morfin/heroin atau terhadap bahan pencampurnya.
25
d. Mekanisme lainnya pada pemakai narkotika dapat pula disebabkan oleh berbagai hal lain, seperti ; pemakaian alat suntik dan pemakaian alat yang tidak steril sehingga menimbulkan infeksi. Misalnya, pneumonia, endocarditis, hepatitis, tetanus, AIDS, malaria, sepsis, dan lain sebagainya. Bila cara penyuntikkan tidak benar, atau jarum terlepas dari semprit saat yang bersangkutan telah dalam keadaan fly, dapat terjadi masuknya udara sehingga menimbulkan emboli udara. 2.5.2 Takaran kematian Sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan pasti karena tergantung dari kepekaan korban. Takaran mematikan terkecil yang pernah dilaporkan adalah sebesar 60 mg morfin, tetapi biasanya diambil patokan sekitar 200 mg bagi orang yang tidak menunjukkan toleransi. Selain itu kadar dalam urin dan dalam darah dapat pula digunakan sebagai pegangan. Jika kadar morfin dalam urin sebesar 55 mg% berarti orang tersebut sudah menggunakan morfin/heroin dengan jumlah yang berlebihan. Bila kadar dalam urin sebesar 5-20 mg% atau dalam darah 0,1-0,5 mg% berarti sudah berada dalam keadaan toksik. 2.5.3 Pemeriksaan forensik a. Pemeriksaan jenazah : Bekas-bekas suntikan. Kelainan ini, menurut frekuensi yang tersering terdapat pada lipat siku, lengan atas, punggung tangan dan tungkai. Tempattempat yang jarang digunakan tetapi tetap harus kita teliti adalah pada leher, dibawah lidah atau pada daerah perineum. Bekas suntikan tersebut terdapat pada
26
kira-kira 52,9% kasus. Bekas suntikan yang masih baru biasanya disertai perdarahan subkutan atau perdarahan perivena. Selain itu untuk menentukan baru atau lamanya suatu bekas suntikan dilakukan penekanan disekitar bekas suntikan tersebut. Jika masih baru, pada lubang suntikan keluar darah atau serum. Pada keadaan-keadaan yang meragukan, kita dapat melakukan insisi kulit sepanjang vena tersebut dan memebaskannya secara tumpul untuk memeriksa keadaan dinding vena dan jaringan disekitarnya apakah ditemukan perdarahan atau jaringan parut. Pada adiksi kronik akan ditemukan bekas-bekas suntikan yang lama, berupa jaringan parut berbentuk titik-titik sepanjang pembuluh balik, keadaan ini disebut sebagai intravenous (mainline) tracks. Selain bekas-bekas suntikan tersebut, pada pemeriksaan luar sering ditemukan adanya rajah yang bertujuan menutupi bekas-bekas suntikan, atau mungkin ditemukan adanya abses, granuloma atau ulkus. Ketiga hal ini banyak dijumpai pada pada penyuntikan narkotika secara subkutan, dan sering pula ditemukan adanya jaringan parut. Penyuntikan
secara
subkutan
(skin-popper)
tidak
menghasilkan
kenikmatan yang tinggi tetapi berlangsung dalam waktu yang lebih lama, dan pad acara inilah tetanus lebih sering terjadi. Bila bekas suntikan tidak ditemukan, maka mungkin korban menggunakan cara lain seperti sniffing (menghirup), ackack (menghisap rokok yang dicampur heroin) atau dengan cara chasing the dragon (menghisap uap yang dihasilkan dari pemanasan heroin). Pada kasus seperti ini perlu diambil apusan selaput lendir hidung (nasal swab) untuk pemeriksaan toksikologik.
27
Pembesaran kelenjar getah bening setempat terutama didaerah ketiak disertai dengan adanya bekas suntikan, menandakan bahwa korban tersebut seorang pecandu yang kronis. Kelainan ini merupakan kelainan drainase, sekunder akibat penyuntikan yang berulang pada vena atau jaringan sekitarnya, dengan memakai alat-alat suntikan yang tidak steril. Pada pemeriksaan mikroskopik kelainan ini menunjukkan hipertrofi dan hiperplasi limfositik. Lepuh kulit (skin blister), kelainan ini biasanya terdapat pada kulit didaerah telapak tangan dan kaki, dan biasanya terdapat pada kematian akibat penyuntikan morfin/heroin dalam jumlah besar. Perlu diingat bahwa lepuh kulit ini mungkin didapat dalam beberapa keadaan seperti pada keracunan CO atau barbiturate. Kelainan-kelainan lain biasanya merupakan tanda-tanda asfiksia seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung atau mulut, yang mula-mula berwarna putih, dan lama kelamaan karena adanya autolysis, akan berwarna kemerahan. Kelinan ini terdapat pada lebih dari sepertiga kasus, dan kelainan tersebut dianggap sebagai tanda edema paru. Sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir, perdarahan pada konjungtiva dan pada pemakaian narkotika dengan cara sniffing kadang-kadang dijumpai perforasi septum nasi. Kelainan paru akut digolongkan berdasarkan jarak waktu antara suntikan terakhir dan saat kematian. Pada perubahan awal (sampai 3 jam) didapatkan edema dan kongesti saja atau hanya terdapat sel mononuklear serta makrofag didalam atau pada dinding alveoli. Makroskopik terlihat paru membesar, lebih berat, bagian posterior lebih padat hingga tidak teraba krepitasi, bagian anterior
28
sering memperlihatkan emfisema akut. Kadang-kadang hanya berupa emfisema akut yang difus dengan aspirasi benda asing dalam bronki. Mikroskopik terlihat kongesti
dan edema
disertai serbukan sel
mononuklear didalam dan pada dinding alveoli. Kadang-kadang didapatkan pusatpusat atelectasis, emfisema dan benda-benda yang teraspirasi dalam bronki. Edema paru didapatkan pada lebih dari 80% kasus.Pada jangka waktu 3 sampai 12 jam akan djumpai narcotic lungs. Menurut Siegel, kelainan ini khas, bermakna dan dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis, serta terdapat pada kira-kira 25% kasus. Makroskopik paru sangat mengembang, lebih berat, trakea berisi busa halus
sampai
ke
cabang-cabangnya,
penampang
dan
permukaan
paru
memperlihatkan berbagai gambaran dengan gambaran lobuler yang paling menonjol. Gambaran lobuler ini disebabkan oleh adanya berbagai tingkat aerasi (atelectasis, aerasi normal, sangat mengembang sampai emfisema), kongesti, edema dan perdarahan di berbagai tempat, yang mempunyai kecendrungan terbatas pada bagian interior dan posterior paru. Mikrokostik terlihat ede-ma, kongesti dan sebukan makrofag yang tetap menonjol, perdarahan alveolar, intrabronkial dan subpleural serta sebukan sel Polimorfo Nuklear. Dalam bronkiolus tampak benda-benda asing, deskuamasi sel-sel epithel serta mucus. Selain narcotic lungs, pada saat ini mungkin juga ditemukan benda-benda teraspirasi dalam saluran pernapasan misalnya susu yang oleh para pecandu dipercaya dapat berfungsi sebagai antidotum. Pada 12 sampai 24 jam akan terlihat proses pneumonia luas dengan gambaran sebukan sel-sel Polo Morfo Nuklear yang lebih menonjol.
29
Perubahan lanjut. Terjadi bila jangka waktu lebih dari 24 jam. Paru telah menunjukan gabaran pneumonia lobularis difus, penampangnya tampak berwarna coklat-kemerahan, padat seperti daging menunjukan gambaran granuler. Kelainan paru kronik berupa granulomatosis vascular paru sebagai manifestasi reaksi jarigan terhadap talk (magnesium-silikat) yang digunakan sebagi bahan pencampur. Mungkin pula perbahan tersebut terjadi sebagai akibat bahan yang tidak larut pada penggunaan parenteral, sama seperti mekanisme terjadinya
granumola
subkutan.
Letak
granumola
tersebut
dapat
intra
vascular,perivascular atau pada dinding alveoli, tetapi biasanya pada arteriol. Untuk
melihat
Kristal
magnesium-silikat
tersebut
sebaiknya
digunakan
mikroskop-polarisasi sehingga Kristal tampak berwarna putih. Sedangkan dengan mikroskop cahaya, Kristal tampak berbentuk batang tidak berwarna atau kekuning-kuningan dan berrefraksi ganda, dikelilingi sel-sel datia benda asing, sedikit limfosit, makrofag, sel mononuclear dan jaringan kolagen. Selain terdapat pada paru, granumola, Kristal dan benda asing lain jua ditemukan pada organ lain, seperti hati, ginjal, limpa dan otak. Kadang-kadang ditemukan abses paru. Kelainan hati dapat berupa akumulasi sel radang terutama limfosit, sedikit sel PMN dan beberapa narcotic cells. Kelainan hati ini menurut Siegel terdapat pada 80% kasus, dan derajat kelainannya tergantung dari lamanya penggunaan narkotika (derajat adiksi) seseorang. Makin berat adiksinya makin jelas kelainannya, sebaliknya pada korban mati yang baru menyuntik beberapa kali tidak ditemukan. Selain sel limfosit, PMN dan narcotic cells, mikroskopik juga ditemukan fibrosis ringan dan proliferasi sel-sel duktus biliaris.
30
Kelainan pada hati tersebut dibagi menjadi (a) Hepatitis kornik agresif dengan ciri khas berupa pembentukan septa; (b) Hepatitis kronik persisten (Triaditis) dengan infiltrasi sel radang terutama di daerah portal (lebih dari 40% kasus); (c) Hepatitis kronik reaktif; (d) Perlemakan hati dan (e) Hepatitis virus akut 5,9%) Kelainan kelenjar getah bening terutama terdapat pada kelenjar getah bening di daerah porta hepatis, sekitar duktus koledukus dan disekitar kaput pankreas. Kelainan ini juga berbanding lurus dengan derajat adiksi seseorang. Makroskopik tampak kelenjar membesar dan mirkos-kopik terlihat hiperplasi dan hipertrofi limfosit. Kelainan lain : Limpa membesar dan mikroskopik terlihat hiperplasi noduli dan sentrum germinativum yang menonjol. Jantung mungkin menunjukan peradangan (endocarditis atau miokarditis). Pada otak mungkin ditemukan perubahan kistik pada basal ganglia. Dapat juga ditemukan kelainan yang biasa merupakan akibat peakain alat yang tidak steril b. Pemeriksaan Laboratorium Bahan terpenting yang harus diambil adalah urin (Jika tidak ada dapat diambil ginjal), cairan empedu dan jaringan sekitar suntikan. Isi lambung diambil jika ia menggunakan narkotika per-oral, demikian pula hapusan mukosa hidung pada cara sniffing. Semprit bekas pakai dan sisa obat yang ditemukan harus pula dikirim ke labolatorium.Pemeriksaan labolatorium untuk mendeteksi adanya narkotika mini-mal adalah Kromatografi lapis tipis (TLC). Cara pemeriksaan lain adalah menggunakan teknik GLC (Kromatografi gas) dan RIA (Radio immune-
31
assay).Pada pemakaian cara oral, morfin akan cepat dikonjugasi oleh asalm glukoronat dalam sel mukosa usus dan hati sehingga bahan sebaiknya dihidrolisis terlebih dahulu. Untuk mendeteksi seseorang apakah ia pecandu atau bukan dapat diketahui melalui : Uji nalorfin : Pemberian nalorfin pada pecandu morfin akan memperlihatkan midriasis dan gejala putus obat lainnya. Tetapi bila midriasis tidak terjadi, maka belum tentu ia bukan pecandu. Caranya : Ukur diameter pupil dengan pupilometer dan lakukan pemeriksaan ini di dalam ruang khusus yang tidak dipengaruhi cahaya. Pemeriksaan dilakuka lagi 30 menit setelah diberikan 3 mg nalorfin subkutan Analisa urin dapat dikerjakan tersendiri atau bersama-sama dengan uji nalorfin bila masih meragukan hasil uji nalorfin. Analisa urin ini sekurangkurangnya dikerjakan dengan Kromatografi Lapis Tipis (TLC). Gejala putus obat (withdrawal symptom/sindrom abstinensi) terjadi bila pemakaian narkotika dihentikan secara mendadak. Gejala tersebut dapat berupa menggigil, mual, kehilangan nafsu makan, kelelahan, insomnia, hyperhidrosis, lakrimasi, kedutan otot, muntah, diare dan dilatasi pupil. Pada bayi dapat terjadi kejang-kejang. Dari ketiga cara diatas, yang paling baik dan paling sering dipakai adalah analisa urin. Terhadap barang-barang bukti, seperti bubuk yang diduga mengandung morfin, heroin atau narkotika lainnya, dapat dilakukan berbagai pengujian. Pengujian tersebut hanya dapat dilakukan terhadap benda bukti yang masih berupa preparat murni atau pada tempat suntikan masih terdapat narkotika yang
32
belum diserap dan tidak dapat dilakukan terhadap bahan biologis seperti urin, darah, cairan empedu dan lainnya.
33
BAB III KESIMPULAN 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran , hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan. 2. UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika membagi narkotika ke dalam 3 golongan yaitu narkotika golongan I, golongan II, golongan III. 3. Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, merupakan
tindak
pidana
penyalahgunaan
narkotika,
yakni
penyalahgunaan orang-orang yang tidak berhak, tidak berwenang. 4. Di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 21 dijelaskan bahwa yang bisa dilakukan penahanan adalah yang ancaman hukumnya 5 tahun atau lebih. 5. Gejala klinis pada pengguna narotika yang masih hidup tergantung pada jenis/golongan narkotika tersebut 6. Pada pemeriksaan jenazah pengguna narkotika ditemukan tanda-tanda asfiksia, bekas suntikan, lepuh kulit, pembesaran kelenjar getah bening setempat dan kelainan-kelainan yang ditemukan pada organ dalam.
34
DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 2. Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Narkotika Pasal 1. 3. Syahrizal Darda, Undang-Undang Narkotika dan Aplikasinya, Penerbit Laskar Aksara, Jakarta, 2013. 4. Marwan M. dan Jimmy P, Kamus Hukum, Reality Publisher, Surabaya, 2009. 5. Kadarmanta, Kejahatan narkotika: Extraordinary crime dan extraordinary punishment, http://kejahatan-narkotika-extraordinary-crime.html. 6. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 7. SyahrizalDarda, Undang-Undang Narkotika danAplikasinya, Penerbit Laskar Aksara, Jakarta, 2013. 8. Effendy Marwan, Diskresi, Penemuan Hukum,Korporasi dan Tax Amnesty Dalam Penegakan Hukum, Penerbit Referensi, Jakarta, 2012. 9. Peraturan Menteri Sosial Republik IndonesiaNo. 3 Tahun 2012 tentang StandarLembaga Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya. 10. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang badan Narkotika Nasional (BNN). 11. James JP, Jones R, Karch SB, Manlove J. Simpson’s forensic medicine. 13th ed.2011 12. Budiyanto A. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.
35
13. UU No.22 tahun 1997 tentang narkotika, LN RI tahun 1997 nomor 67. 14. UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, LN RI tahun 1997 nomor 10. 15. Hartati Kurniadi dan Budi Riyanto Wreksoatmodjo. Napza dan Tubuh kita. Jakarta: Jendela, 2000.
36