SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL PADA TERAPI ANTIPSIKOTIK
REFERAT
Oleh: Nadia Putri Yurianto Rosi Tri Wulandari
132011101025 132011101093
Dokter Pembimbing: dr. Justina Evy, Sp.KJ dr. Alif Mardijana, Sp.KJ
LAB/SMF PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2018
2
SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL PADA TERAPI ANTIPSIKOTIK
REFERAT
Oleh: Nadia Putri Yurianto Rosi Tri Wulandari
132011101025 132011101093
Dokter Pembimbing: dr. Justina Evy, Sp.KJ
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya KSM Psikiatri di RSD dr.Soebandi Jember
LAB/SMF PSIKIATRI RSD DR. SOEBANDI JEMBER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2018
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Susunan somatomotorik terbagi menjadi beberapa yaitu sistem piramidal
dan ekstrapiramidal. Kedua sistem ini membantu dalam proses membentuk gerakan motorik. Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord. Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls gerakan yang diinginkan di teruskan menuju bagian posterior kapsula interna, kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai medula oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang sadar. Traktus piramidal dibagi menjadi dua yaitu jaras kortikospinal lateral dan jaras kortikospinal ventral. Fungsi sistem piramidal adalah memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang bersifat halus dan juga berfungsi untuk kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan jari. Sedangkan sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus piramidal. Letak dari ekstrapimidal adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol postur tubuh. Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi traktus retikulospinal, traktus vestibulospinal lateral, traktus vestibulospinal medial, traktus rubrospinal. Fungsi sistem ekstrapiramidal antara lain adalah mempertahankan tonus otot, gerakan kasar dan perencanaan suatu gerakan.
4
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir. Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan. Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan
efek
samping
gejala
ekstrapiramidal
yakni
haloperidol,
trifluoperazine, pherpenazine, fluphenazine, dan dapat pula oleh chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal. Terapi antipsikotik dapat memberikan efek samping pengobatan, utamanya penggunaan dalam jangka waktu yang panjang. Antipsikotik golongan tipikal yang memiliki potensial tinggi dan pemberian dalam dosis tinggi paling sering memberikan efek samping yang biasa disebut dengan sindrom ekstrapiramidal pada pasien karena memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik. Pendekatan
farmakologi
pada
manifestasi
psikosis
ini
terpusat
pada
neurotransmitter yang mengontrol respon neuron-neuron terhadap rangsangan.
1.2
Definisi Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Gejala bermanifestasikan sebagai
5
gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal). Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
1.3
Epidemiologi Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia,
dan sindrom parkinson umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik, haloperidol dan flufenarizin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata. Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sering terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda. Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.
1.4
Etiologi Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik
dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
6
Antipsikosis
Dosis (mg/hr)
GejalaEkstrapiramidal
Chlorpromazine
150-1600
++
Thioridazine
100-900
+
Perphenazine
8-48
+++
Trifluoperazine
+++
Fluphenazine
5-60
+++
Haloperidol
2-100
++++
Pimozide
2-6
++
Clozapine
25-100
-
Zotepine
75-100
+
Sulpride
200-1600
+
Risperidon
2-9
+
Quetapine
50-400
+
Olanzapine
10-20
+
Aripiprazole
10-20
+
Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal: a. Ketidakseimbangan degeneratif b. Ketidakseimbangan metabolik c. Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin d. Inflamasi e. Racun f. Tumor atau SOL g. Anoxia
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Patofisiologi Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-
inti talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak, serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Gambar 1. Jaras Aferen dan Eferen
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah
8
diserahkan kepada korpus striatum/globus plaidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus paliduskorpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum. Umumnya semua neuroleptik (antipsikotik) menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
2.2
Manifestasi Klinis Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap
terdiri dari defisit fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak berfungsinya sistem dan efek sekunder (gejala positif) yang timbul akibat hilangnya pengaruh sistem itu terhadap bagian lain. Pada gangguan dalam fungsi traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu menimbulkan dua jenis sindrom, yaitu: -
Sindrom hiperkinetik – hipotonik : asetilkolin ↓ , dopamin ↑
Tonus otot menurun
Gerak involunter / ireguler
9
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus -
Sindrom hipokinetik – hipertonik : asetilkolin ↑ , dopamin ↓
Tonus otot meningkat
Gerak spontan / asosiatif ↓
Gerak involunter spontan
Pada : Parkinson
2.2.1
Gejala negatif Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena
produksinya yang berkurang. Gejala negatif, terdiri dari: a. Bradikinesia Gerakan volunter yang bertambah lambat atau menghilang sama sekali. Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit parkinson sehingga menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah, berkurangnya kedipan mata dan mengurangi perubahan postur pada saat duduk. b. Gangguan postural Merupakan hilangnya refleks postural normal. Paling sering ditemukan padapenyakit parkinson. Terjadi fleksi pada tungkai dan badan karena penderita tidak dapat mempertahankan keseimbangan secara cepat. Penderita akan terjatuh bila berputar dan didorong.
2.2.2
Gejala Positif Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun
disinhibisi dari dopamin, tetapi tidak ditemukan kerusakan struktur, yang terdiri dari: a. Gerakan involunter
Tremor
Athetosis
Chorea
Distonia
Hemiballismus
10
b. Rigiditas Kekakuan
yang
dirasakan
oleh
pemeriksa
ketika
menggerakkan
ekstremitas secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif tersebut, dan mengenai gerakan fleksi maupun ekstensi sering disebut sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai dengan tremor maka disebut dengan tanda Cogwheel. Pada penyakit parkinson terdapat gejala positif dan gejala negatif seperti tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea huntington lebih didominasi oleh gejala positif, yaitu : Chorea.
2.2.3
Gejala ekstrapiramidal Gejala ekstrapiramidal sering di bagi ke dalam beberapa kategori yaitu :
a.
Reaksi Distonia Akut Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet
yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir), seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik). Distonia juga dapat terjadi pada
glosofaringeal yang menyebabkan
disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kirakira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti haloperidol dan fluphenazine. Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan
11
dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
b. Tardive Diskinesia (kronik) Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di putamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Prevalensi bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas, dan makan. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodopa, stimulant, dan lain-lain.
c.
Akatisia Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang
panjang, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,
12
terutama pada populasi pasien lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia. Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang
dirasakan
ini
dengan
medikasi
sehingga
menimbulkan
masalah
ketidakpatuhan pasien.
d. Sindrom Parkinson Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
e. Lain-lain Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjamjam setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi berikut :
13
Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan,
penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyahyang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.
Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil.
Tremor dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai “sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan responya terhadap medikasi antikolinergik.
Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf en cetak
dan hilangnya ayunan lengan.
Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan yang
kronis progresif yang ditandai oleh adanya tremor, bradikinesia, rigiditas, dan ketidakstabilan postural.
Chorea Huntington = Chorea Mayor
Merupakan gangguan herediter yang bersifat autosomal dominan, onset pada usia pertengahan dan berjalan progresif hingga menyebabkan kematian dalam waktu 10 – 12 tahun. Dapat terjadi pada usia muda (tipe juvenile) dimana gejalanya kurang tampak dan didominasi oleh gejala negatif (rigiditas, demensia, perubahan kepribadian, gangguan afektif, psikosis, hipotonus, reflex primitif) .
14
BAB III DIAGNOSIS
3.1
Diagnosis Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesis pasien. Pemeriksaan yang
dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda–tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pasien dengan distonia simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya antipsikotik tidak tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak berkorelasi dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada pengobatan akut. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, kreatinin kinase-MM , nitrogen danurea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan hipoglikemi sebagai penyebab kelainan sensorium. Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang terlihat dari peningkatan kalium, asam urat, dan kreatinin kinase-MM. Perusakan otot juga menghasilkan myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.
3.2
Diagnosis Banding Diagnosis banding dari sindrom ekstrapiramidal adalah sindroma putus
obat,
penyakit
Parkinson,
distonia
primer,
tetanus,
gangguan
gerak
ekstrapiramidal primer, penyakit Huntington, chorea Syndenham, anxietas dan gejala psikotik yang memburuk. Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding dengan penyakit Huntington dan chorea syndenham.
15
BAB IV PENATALAKSANAAN
4.1
Nonfarmakologis Tatalaksana sindroma ekstrapiramidal salah satunya adalah dengan
menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif. Dengan cara ini maka dapat meminimalkan efek samping obat antipsikotik dan mendapatkan efek primer dan sekunder yang tepat.
4.2
Farmakologis Terapi yang diberikan pada pasien yang mengalami efek samping dari
penggunaan antipsikotik dapat diberikan pengobatan sebagai berikut: 1. Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa. Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet. 2. Pada pasien muda diberikan DA (dopamine antagonist) -
Pemberian dopamine agonist :
-
Contoh:
Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5 dosis.
Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
-
Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari
Contoh lainnya:
Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 39 mg/ hari
16
3. Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine 4. Pemberian antikolinergik seperti : -
Trihexyphenidil (THD), 4-6 mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
5. n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis 6. Enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B contoh selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor. 7. COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) : entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg, tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.
4. 3
Pedoman Umum Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli
menganjurkan terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadin dapat mengeksaserbasi gejala psikotik. Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.
a. Reaksi Distonia Akut (ADR) Medikasi antikolinergik merupakan terapi ADR bentuk primer dan praterapi dengan salah satu obat-obat ini biasanya mencegah terjadinya penyakit.
17
Paduan obat yang umum meliputi benztropin (Congentin) 0,5-2 mg dua kali sehari (BID) sampai tiga kali sehari (TID) atau triheksiphenidil (Artane) 2-5 mg TID. Benztropin mungkin lebih efektif daripada triheksiphenidil pada pengobatan ADR dan pada beberapa penyalah guna obat triheksiphenidil karena “rasa melayang” yang mereka dapat daripadanya. Seorang pasien yang ditemukan dengan ADR berat, akut harus diobati dengan cepat dan secara agresif. Bila dilakukan jalur intravena (IV) dapat diberikan benztropin 1 mg dengan dorongan IV. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin (Benadryl) 50 mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
b. Akatisia Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin (Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol (Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam (Ativan) mungkin sangat membantu. Sehingga pengobatan akatisia ini dapat menggunakan propanolol yang dikombinasikan dengan Trihexyphenidil (THD).
c. Sindrom Parkinson Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat.
d. Tardive Diskinesia Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat berkurang dengan peningkatan dosis medikasi
18
antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua tahun. Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien, kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi kegunaannya masih diperdebatkan. Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang berat,
sementara
pengobatan
pada
dosis
efektif
terendah
dapat
mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi kita harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
4.4
Komplikasi Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu
sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.
4.5
Prognosis Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih
baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada
19
pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
20
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Synopsis Psikiatri Jilid 1. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997 Kaplan H.I.MD, Saddock B.M.JD, Grebb J.A.MD. Sinopsis Psikiatri Jilid 2. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. 1997 Maslim. R, SpKJ. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikiatri edisi Ketiga. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007