BAB I PENDAHULUAN Pielonefritis adalah infeksi saluran kemih ascending yang telah mencapai pyelum (panggul) dari ginjal (nephros). Pielonefritis umumnya disebabkan oleh Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar). Bakteri ini merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari 50% infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang naik ke kandung kemih. Pielonefritis menunjukkan adanya infeksi bakteri pada parenkim ginjal. Pielonefritis ini termasuk dalam infeksi saluran kemih bagian atas. 1,2 Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih (misalnya batu ginjal) atau arus balik air kemih dari kandung kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal.3 Pielonefrits kronik lebih sering terjadi pada wanita. Faktor esiko pielonefrits meningkat pada pasien dengan kelainan anatomi seperti refluks vesika urinaria, obstruksi traktus urinarius, infeksi saluran kemih berulang, penyakit ginjal, trauma ginjal, kehamilan, ganguan metabolisme seperti diabetes melitus. Resiko penyakit meningkat pada pasien dengan pengunan kateter.
1
Pielonefrits kronik merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal kronik yangmungkin membutuhkan terapi penganti ginjal seperti transplantasi atau dialisis. Sebanyak 25% kasus gagal ginjal kronik disebabkan oleh pielonefrits kronik.3
2
BAB II PEMBAHASAN
A. DEFINISI Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal dimana terjadi reaksi inflamasi pada pielum dan parenkim ginjal yang sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang disebut dengan pielonefritis kronis. Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara hematogen atau retrograd aliran ureterik.1
B. ANATOMI GINJAL Ginjal terletak di ruang retroperitoneal antara vetebra torakal dua belas atau lumbal satu dan lumbal empat. Panjang dan beratnya bervariasi ± 6 cm dan 24 gram pada bayi lahir cukup bulan, sampai 12 cm atau lebih dari 150 gram pada orang dewasa. Pada bayi baru lahir ginjal sering dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal terdiri atas 8-12 lobus berbentuk piramid. Ginjal memiliki lapisan luar, yaitu korteks yang mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok dan duktus koligens, serta lapisan dalam yaitu medula, yang mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal.2 Puncak piramid medula menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang merupakan ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada duktus pipalaris Bellini yang ujungnya bermuara di papil ginjal dan mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang muara duktus Bellini pada ujung 3
papil maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan beras dan disebut area kribrosa.4,5 Antara dua piramid terdapat jaringa korteks tempat masuknya cabangcabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal dan kemudian bermuara ke dalam ureter. Ureter kanan dan kiri bermuara di vesika urinaria. Urin dikeluarkan dari vesika urinaria melalui uretra4,5
Gambar 1. Anatomi ginjal
Tiap tubulus ginjal dan glumerulusnya membentuk satu kesatuan (nefron). Nefron adalah unit fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar satu juta nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.4,5 Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kava inferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola 4
interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus. Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah autoregulasi aliran darah melalui ginjal arteriol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan. 4,5
C. EPIDEMIOLOGI Meskipun prevalensi ISK telah dipelajari di berbagai populasi pasien, lebih sedikit data mengenai prevalensi pielonefritis yang sebenarnya karena terdapat kesulitan dalam membedakannya dari ISK bagian atas atau bagian bawah. Prevalensi ISK dipengaruhi oleh faktor seperti usia, jenis kelamin, sampel populasi, metode pengumpulan urin, pengujian metodologi, kriteria diagnostik, dan budaya. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang paling penting. Pada bayi baru lahir, prevalensi ISK pada bayi preterm (2,9%) melebihi dari bayi aterm (0,7%). ISK lebih sering terjadi pada anak-anak usia prasekolah (1% - 3%) daripada di usia anak sekolah (0,7% - 2,3%). Jenis kelamin memiliki dampak yang besar terhadap prevalensi ISK. Dalam sebuah retrospektif populasi berdasarkan studi, tingkat kejadian kumulatif selama 6 tahun pertama kehidupan adalah 6,6% untuk anak perempuan dan 1,8% untuk anak laki-laki. Pada 3 bulan pertama postnatal, ISK lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan 5-10 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang tidak disunat daripada anak laki-laki disunat. Setelah itu, perempuan jauh lebih mungkin untuk terjadi ISK simptomatik. Tingkat prevalensi ISK adalah 1% - 3% pada anak perempuan 1 5
sampai 5 tahun dan 1% pada usia anak-anak sekolah. Tingkat prevalensi di usia sekolah anak laki-laki adalah 0,03%. 4 Walaupun faktor risiko untuk terjadinya pielonefritis belum dapat dijelaskan dengan baik, faktor risiko untuk terjadinya ISK termasuk riwayat ISK, saudara kandung yang memiliki riwayat UTI, jenis kelamin perempuan (mungkin karena uretra perempuan pendek), pemasangan urin kateter, preputium utuh pada anak laki-laki, dan kelainan struktural ginjal dan saluran kemih bawah. Sampai dengan 50% bayi mungkin memiliki dasar struktural atau kelainan fisiologis saluran kemih terdeteksi pada saat mereka ISK pertama. Refluks vesicoureteral adalah faktor risiko yang paling umum dan penting untuk terjadinya pielonefritis.4 Meskipun banyak Enterobacteriaceae dan organisme lainnya dapat menyebabkan ISK pada anak-anak, Escherichia coli adalah patogen yang paling umum. E. coli dapat diisolasi kira-kira 90% dari pasien pada saat awal mereka mengalami ISK dan lebih dari dua pertiga dari pasien yang telah ISK berulang. Organisme lain yang biasa ditemukan pada pasien komunita ISK yang didapat yaitu Enterobacter, Proteus, dan Klebsiella sp. Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan pielonefritis pada neonatus. Enterococcus sp dapat menyebabkan ISK sampai 5% dan sering dikaitkan dengan kelainan saluran genitourinaria yang lebih kompleks. Coagulase-negative staphylococcus dan Lactobacillus sp penyebab langka cystitis atau pielonefritis. 4
D. ETIOLOGI Penyebab terbanyak ISK, baik pada yang simtomatik maupun yang asimtomatik,termasuk pada neonatus adalah Escherichia coli (70-80%). Penyebab
yang
lainnya
seperti:
Klebsiella,
Proteus,
Staphylococcus
saphrophyticus, coagulase-negative staphylococcus, Pseudomonas aeroginosa, Streptococcus fecalis dan Streptococcus agalactiiae, jarang ditemukan.2
6
Pada uropati obstruktif dan pada kelainan struktur saluran kemih pada anak laki-laki, sering ditemukan Proteus species. Pada perempuan remaja dan pada perempuan seksual aktif, sering ditemukan Staphylococcus saprophyticus.2
E. FAKTOR PEJAMU Pada beberapa anak, predisposisi terjadinya ISK adalah karena adanya kelainan anatomi kongenital atau yang didapat, sedangkan pada anak yang lainnya kemungkinan kelianan itu tidak ditemukan, walaupun sudah diteliti. Pada kelompok yang terakhir ini diduga yang menjadi faktor predisposisi adalah virulensi bakteri atau karena kelainan fungsional saluran kemih.6 Tabel 1. Faktor pejamu dan predisposisi
Faktor anatomi: Refluks vesiko ureter dan refluks intarenal Obstruksi saluran kemih Benda asing dalam saluran kemih (kateter urin) Duplikasi collecting system Ureterokel Divertikulum kandung kemih Meningkatnya perlekatan ke sel uroepitel Nonsecretors with P blood group antigen Nonsecretors with Lewis blood group phenotype
Pada anak yang normal, perlekatan dan proliferasi bakteri pada mukosa kandung kemih dapat dicegah oleh adanya aliran urin yang deras dan adanya mekanisme pertahanan lokal mukosa kandung kemih. 6
Tabel 2. Faktor pejamu yang berhubungan dengan pencegahan perlekatan bakteri ke uroepitel.
7
Mekanisme pencucian karena aliran urin Tamn-Horsfall protein Interferensi bakteri oleh endogenous periurethal flora Urinary oligosaccharides Eksfoliasi spontan dari sel uroepitel Urinary immunoglobulins Mukopolosakarida yang melapisi dinding kandung kemih
Mekanisme pertahanan lokal ini dapat terganggu bila ada kelainan anatomi kongenital atau yang didapat, dan dapat meninggikan risiko terjadinya ISK. Secara keseluruhan kelainan radiologik yang dapat ditemukan pada ISK hanya berkisar 40-50%. Refluks vesiko ureter merupakan kelainan saluran kemih yang paling sering ditemukan pada ISK, itupun hanya bisa ditemukan sekitar 30%. Adanya refluks mengakibatkan anak mudah mendapat ISK, dan dari urin yang terinfeksi tersebut, infeksi dapat naik ke parenkim ginjal. Pada tempat refluks tersebut bakteri dapat bertahan lama, dan merupakan sumber infeksi dalam saluran kemih.2 Statis urin karen adanya obstruksi saluran kemih, dan adanya residu urin, merupakan faktor lainnya yang mempermudah bakteri tinggal lebih lama dan dapat berproliferasi. Adanya divertikulum kandung kemih, ureterokel, lambatnya aliran urin pada collecting system yang duplikasi, mengakibatkan timbulnya nidus sehingaa bakteri dapat lebih lama tinggal berproliferasi dalam saluran kemih. Adanya benda asing dalam saluran kemih seperti kateter juga memmudahkan terjadinya ISK. Lebih dari 90% ISK nosokomial pada anak yang dirawat disebabkan pemasangan kateter urin. 6 Bila tidak ditemukan adanya defek anatomi saluran kemih, dianggap penyebab resiko ISK adalah faktor pejamu. Melekatnya bakteri ke sel uroepitel,merupakan prasyarat untuk timbulnya kolonisasi bakteri. Sel uroepitel
8
pada anak sangat rentan terhadap infeksi, karena memiliki kapasitas untuk mengikat bakteri, disebabkan oleh adanya reseptor pada sel tersebut. Jadi pada anak yang mempunyai struktur anatomi saluran kemih yang normal, timbulnya kerentanan terhadap infeksi karena sel uroepitelnya mempunyai kapasitas pengikat bakteri yang masuk ke saluran kemih. Mekanisme molekuler mengenai perlekatan bakteri ini ke sel uroepitel tersebut masih belum diketahui dengan pasti.2
F. PATOGENESIS Pada periode neonatus, bakteri mencapai saluran kemih melalui aliran darah atau uretra, yang selanjutnya bakteri naik ke saluran kemih dari bawah. Perbedaan individu dalam kerentanannya terhadap infeksi saluran kemih dapat diterangkan oleh adanya faktor hospes seperti produksi antibodi uretra dan servikal (Ig A), dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perlekatan bakteri pada epitel introitus dan uretra. Beberapa di antara faktor –faktor ini, seperti fenotip golongan darah P, ditentukan secara genetik. Imunosupresi, diabetes, obstruksi saluran kemih, dan penyakit granulomatosa kronik adalah faktor lain yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Bila organisme dapat masuk ke dalam kandung kemih, beratnya infeksi dapat menggambarkan virulensi bakteri dan faktor anatomik seperti refluks vesikouretra, obstruksi, stasis urin, dan adanya kalkuli. Dengan adanya stasis urin, kesempatan untuk berkembang biak bakteri meningkat, karena urin merupakan medium biakan yang sangat baik. Lebih-lebih lagi, pembesaran kandung kemih dan dapat menurunkan resistensi alami kandung kemih terhadap infeksi.6 Infeksi akut atau infeksi kronik vesika urinaria akibat infeksi yang berulang mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan dapat mengakibatkan inkompetensi dari katup vesikoureter. Akibat rusaknya katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada waktu berkemih (waktu kontraksi kandung kemih). Akibat refluks 9
ini ureter dapat melebar atau urin sampai ke ginjal dan mengakibatkan kerusakan pielum dan perenkim ginjal (pielonefritis). Infeksi parenkim ginjal dapat juga terjadi secara hematogen atau limfogen.2 Flora usus ↓ Munculnya tipe uropatogenik ↓ Kolonisasi di perineal dan uretra anterior ↓ Barier pertahanan mukosa normal ↓ Sistitis VIRULENSI BAKTERI
Faktor pejamu (host) 1. Memperkuat perlekatan ke uroepitel 2. Refluks vesiko ureter 3. Refluks intrarenal 4. Tersumbatnya saluran
sel
kemih 5. Benda asing (kateter urin) Pielonefritis akut ↓ ↓ Parut ginjal Urosepsis Gambar 2. Patogenesis dari ISK asending 2
Pada bayi infeksi secara hematogen lebih sering terutama bila ada kelainan struktur traktus urinarius. Bakteri patogen ataupun bakteri yang nonpatogen di daerah tubuh lainnya (kolon, mulut, kulit) bila berkembang biak di parenkim ginjal akan menghasilkan amoniak yang dapat menghalangi pertahanan tubuh yang normal yaitu dengan menghalangi sistem komplemen dan dapat menghalangi
migrasi
leukosit
PMN
dan
fagositosis,
karena
amoniak
meninggikan hipertonisistas medula. Bila sudah terdapat infeksi parenkim, fungsi ginjal dapat terganggu.2
10
Penderita dengan golongan darah P1 dapat menderita pielonefritis asendens berulang tanpa adanya refluks vesikoureter, karena E.coli terikat spesifik dengan antigen P1 pada sel epitel.7 Pielonefritis akut bisa ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal membengkak, edematous, dan banyak ditemukan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dalam jaringan interstisial, akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Bila tidak diobati, perubahan-perubahan ini dapat mengakibatkan pembentukan miroabses pada ginjal, yang dapat menyatu. Pielonefritis akut biasanya lebih hebat bila terdapat obstruksi. Perubahan ini dapat mengakibatkan terbentuknya jaringan parut ginjal, dengan penemuan histologis yang biasanya dikenal sebagai pielonefritis kronik; Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk dari bakteri, atau adanya zat mediator toksik yang dihasilkan sel yang telah rusak, akan mengakibatkan parut ginjal (renal scarring).2 Secara histologis, pielonefritis kronik seringkali sulit dibedakan dari sebab-sebab lain jaringan parut ginjal stadium akhir, seperti penyakit kistik medularis, iskemia, iradiasi, penyalahgunaan analgesik, dan lain-lain. Jaringan parut ini dapat setempat atau difus. Temuan khas pielonefritis kronik adalah jaringan parut korteks dengan deformitas kaliks yang mendasarinya. Secara mikroskopik, lesi ini berupa bercak-bercak dengan fibrosis glomeruler, radang kronis interstitial, dan fibrosis serta atrofi tubulus. Kondisi lokal medula ginjal, seperti osmolalitas tinggi, yang mengganggu aktivitas fagosit leukosit, menyebabkan daerah ginjal ini lebih rentan terhadap infeksi daripada korteknya.7 Jaringan parut ginjal seperti itu juga ditemukan pada anak dengan refluks vesikouretra yang tidak mempunyai riwayat infeksi saluran kemih; untuk alasan ini beberapa ahli lebih memilih istilah refluks nefropati daripada pielonefritis kronik. Pada setiap kasus, 90% anak dengan lesi pielonefritis kronik mengalami atau telah mengalami refluks vesikoureter. Refluks nefropati atau pielonefritis kronik adalah penyebab utama hipertensi arterial pada anak; beberapa perubahan vaskuler dan glomeruler mungkin lebih sebagai akibat 11
sekunder hipertensi daripada proses radang. Pada hewan percobaan, refluks nefropati
hanya
terjadi
didaerah–daerah
ginjal
yang
papila
ginjalnya
memungkinkan refluks urin dari kaliks ke tubulu skolektivus (refluks intrarenal), yang dipermudah oleh adanya konfigurasi anatomis papila yang datar pada penggabungan kaliks; papila kronis yang biasanya terdapat didalam kaliks sederhana membantu mencegah terjadinya refluks intrarenal. Respon autoimun terhadap protein Tamm-Horsfall mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan dan pengembangan jaringan parut pielonefritis.7 Sebagai tambahan dari perubahan peradangan yang telah disebutkan diatas, infeksi oleh mikroorganisme pemecah urea seperti Proteus dapat mengakibatkan pembentukan batu ginjal. Amonia yang berasal dadri urea menyebabkan urin sangat alkalis dan mengakibatkan endapan kalsium fosfat dan tripel kalsium,magnesium, dan amonium fosfat. Kalkuli bekerja sebagai benda asing dan mendukung mengabaikan infeksi. Dengan adanya obstruksi ureter, infeksi ginjal dapat dengan cepat menyebabkan septikemia, pionefrosis, dan pembentukan abses ginjal dan perirenal.7 Pielonefritis xanthogranulomatosa adalah jenis infeksi ginjal yang secara histolik jelas ditandai dengan radang granulomatosa dengan sel-sel raksasa dan histiosit berbusa. Secara klinis hal ini dapat terlihat sebagai suatu massa ginjal atau sebagai infeksi akuta atau kronis. kalkuli ginjal, obstruksi, dan infeksi oleh Proteus dan E.coli mendukung terbentuknya lesi yang jarang ini, yang biasanya memerlukan nefrotomi.7
G. MANIFESTASI KLINIK Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri bila buang air kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi saluran kemih bagian atas biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang. Namun demikian sulit
12
membedakan infeksi saluran kemih bagian atas dan bagian bawah berdasarkan gejala klinis saja.8 Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut : -
0-1 Bulan: Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang, koma, panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus (sepsis).
-
1 bln-2 th: Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), air
kemih berbau/berubah warna, kadang-kadang disertai nyeri
perut/pinggang. -
2-6 thn:
Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan
kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta anoreksia. -
6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.8 Pada pielonefritis akut, biasanya terjadi demam yang timbul
mendadak, menggigil, malaise, muntah, sakit panggul atau perut, nyeri tekan di daerah kostovertebral, leukositosis, piuria dan bakteriuria. Biasanya disertai dengan adanya toksik sistemik. Ginjal dapat membesar.7 Demam dan iritabel adalah gejala paling umum yang ditunjukkan pada bayi yang memiliki pielonefritis. Temuan lain termasuk nafsu makan yang buruk, letargi dan nyeri perut. Pada biasanya, dugaan terjadi pielonefritis pada bayi atau anak adalah yang mengalami demam, emesis, panggul sakit, atau nyeri CVA pada pemeriksaan fisik dan kultur urin positif.4 Anak-anak dengan pielonefritis kronik seringkali tidak bergejala. Hipertensi arterial biasanya berkaitan dengan jaringan parut ginjal.7
13
H. DIAGNOSIS Biakan air kemih : Dikatakan infeksi positif apabila : - Air kemih tampung porsi tengah : biakan kuman positif dengan jumlah kuman ≥105/ml, 2 kali berturut-turut. -
Air kemih tampung dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman
patogen yang tumbuh pasti infeksi. Pembiakan urin melalui pungsi suprapubik digunakan sebagai gold standar. Dugaan infeksi : - Pemeriksaan air kemih : ada kuman, piuria, silinder leukosit - Uji kimia : TTC, katalase, glukosuria, lekosit esterase test, nitrit test. Mencari faktor resiko infeksi saluran kemih : - Pemeriksaan ultrasonografi ginjal untuk mengetahui kelainan struktur ginjal dan kandung kemih. -
Pemeriksaan Miksio Sisto Uretrografi/MSU untuk mengetahui adanya
refluks. - Pemeriksaan pielografi intra vena (PIV) untuk mencari latar belakang infeksi saluran kemih dan mengetahui struktur ginjal serta saluran kemih.8 Diagnosis kerusakan ginjal dapat diketahui dengan pielogram intravena (PIV). Dengan pemeriksaan PIV dapat diketahui besar ginjal, adanya parut ginjal (renal scar) dan keadaan dari sistem pelviokalises (pyelocalyceal system). PIV dulu merupakan baku emas (gold satandar) untuk mengevalusi penderita ISK. Sedangkan untuk menegakkan diagnosis refluks, metode definitif adalah dengan miksio sisto uretrografi (MSU). Untuk mengetahui lokalisasi infeksi pada ginjal dipakai radioisotop sintigrafi dengan menggunakan DMSA (dimercaptosuccinic acid). Pemeriksaan DMSA saat ini lebih banyak dipakai untuk diagnostik parut ginjal daripa PIV karena radiasinya lebih rendah.9 Penegakan diagnosis pielonefritis akut dilihat dari gejala dan tanda yang biasanya didahului oleh disuria, urgensi dan sering berkemih yang 14
menunjukkan bahwa infeksi dimulai pada bagian bawah traktus urinarius. Adanya silinder leukosit membuktikan infeksi terjadi di dalam ginjal. Gambaran ginjal secara makroskopik dan mikroskopik pada pielonefritis akut adalah Ginjal membengkak dan tampak adanya abses kecil dalam jumlah banyak dipermukaan ginjal tersebut. Pada potongan melintang, abses tampak sebagai goresan-goresan abu-abu kekuningan di bagian piramid dan korteks. Secara mikroskopik tampak PMN dalam jumlah banyak di daerah tubulus dan dalam intertisium disekitar tubulus. Segmen-segmen tubulus hancur dan leukosit dikeluarkan ke dalam urine dalam bentuk silinder leukosit.10
Gambar 2. Makroskopik ginjal pada pielonefritis11
Berbeda dengan pielonefris akut, gambaran klinis pielonefritis kronik sangat tidak jelas. Diagnosis biasanya ditegakkan apabila pasien memperlihatkan gejala insufisiensi ginjal kronik atau hipertensi, atau temuan proteinuria saat pemeriksaan rutin. Anamnesis yang teliti pada beberapa kasus lain, mungkin dapat, menemukan adanya riwayat disuria, sering kencing atau kadang-kadang nyeri pada selangkangan yang tidak jelas. Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala sampai penyakit mencapai tahap lanjut. Beberapa temuan khas pada pielonefritis kronik adalah baktetriuria intermiten dan leukosit, atau adanya
15
silinder leukosit dalam urin. Proteinuria biasanya minimal. Pielonefritis kronik terutama merupakan penyakit interstisial medula sehingga kemampuan ginjal untuk memekatkan urin sudah mengalami kemunduran pada awal perjalanan penyakit sebelum terjadi kemunduran GFR yang bermakna. Akibatnya poliuria, nokturia dan urin berberat jenis rendah merupakan gejala dini yang menonjol.9 Pemeriksaan PIV memperlihatkan pembengkakan tabuh (clubbing) pada kaliks, korteks menipis dan ginjal kecil, bentuknya tidak teratur dan biasanya tidak simetris. Pada pielonefritis kronik perubahan patologi yang terjadi adalah permukaan ginjal tampak bergranul kasar dengan lekukan-lekukan berbentuk huruf U, jaringan parut subkapsular, dan pelvis yang fibrosis dan berdilatasi serta kaliks terlihat pada penampang melintang. Pemeriksaan mikroskopik potongan jaringan memperlihatkan perubahan-perubahan parenkim yang khas; banyak sel radang kronik terdiri dari sel-sel plasma dan limfosit (berupa titik-titik berwarna gelap), tersebar diseluruh interstisium. Glomerulus tetap utuh dan dikelilingi oleh banyak tubulus kecil dan telah mengalami atrofi dan dilatasi. Tampak pula fibrosis interstisial di dekat glomerulus. Tampak pula daerah-daerah luas yang mengalami tiroidisasi (,tampak seperti jaringan kelenjar tiroid), terdiri dari tubulus-tubulus yang mengalami dilatasi dibatasi oleh sel-sel epitel gepeng dan terisi silinder seperti kaca.9
Gambar.Mikroskopik pada pielonefritis kronik12
16
Refluks vesiko ureter (RVU) dan Nefropati Refluks (NR) Menurut International study gradasi refluks vesikoureter dabagi dalam deraja I-V -
Derajat I
- Derajat II
Zat kontras sampai ureter saja, ureter tidak dilatasi Kontras sampai pielum dan kaliks, juga tidak ada dilatasi, dan
kaliks masih normal
- Derajat III
Ureter dan pelvis dilatasi dan berkelok-kelok, (bisa ringan atau
sedang)
- Derajat IV
Ureter dilatasi sedang, dan berkelok-kelok, pielum dan kaliks
dilatasi sedang. Sudut forniks menjadi tumpul.
- Derajat V
Ureter berdilatasi hebat dan berkelok-kelok, pielum dan
kalikses berdilatasi dan pada beberapa kalises terlihat papilary inpressions
- Derajat IV dan V. Jelas ada refluks intrarenal.2
I.
PENATALAKSANAAN Ada 3 prinsip penatalaksanaan: -
Memberantas infeksi
-
Menghilangkan faktor predisposisi
-
Memberantas penyulit Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi dengan ISK dan untuk anak
dengan ISK disertai gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk dibiakkan, diberi antibiotik parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Sebaiknya anak dirawat di rumah sakit terutama bula disertai tanda toksik.2 Pemberian antibiotik parenteral diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral selama 10-14 hari,disesuaikan dengan hasil biakan urin dan uji sensitivitasnya. Biakan urin ulang dilakukan setelah 48 jam tidak makan obat 17
untuk melihat hasil pengobatan, apakah bakteriuria masih ada. Antibiotik profilaksis diberikan sampai dilakukan MSU, dan bila ditemukan refluks antibiotik profilaksis diteruskan.2 Tabel 3. Dosis antibiotika parenteral (A), oral (B), dan profilaksis (C)2 Obat
Dosis mg/kgBB/hari
Frekuensi/ (umur bayi)
(A) Parenteral Ampisilin
100
tiap 12 jam (bayi < 1 minggu) tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)
Sefotaksim
150
Gentamisin
5
dibagi setiap 6 jam tiap 12 jam (bayi < 1 minggu) tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)
Seftriakson
75
Seftazidim
150
dibagi setiap 6 jam
Sefazolin
50
dibagi setiap 8 jam
Tobramisin
5
dibagi setiap 8 jam
100
dibagi setiap 6 jam
Ticarsilin
sekali sehari
(B) Oral Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar) Amoksisilin
20-40 mg/kgBB/hari
q8h
Ampisilin
50-100 mg.kgBB/hari
q6h
Augmentin
50 mg/kgBB/hari
q8h
Sefaleksin
50 mg/kgBB/hari
q6-8h
(C) Terapi propilaksis
Sefiksim
4 mg/kg
q12h
1x malam hari
Nitrofurantoin*
6-7 mg/kgBB/hari
q6h
1-2 mg/kg
Sulfisoksazole*
120-150 mg
q6-8h
50 mg/kg
Trimetoprim*
6-12 mg/kg
q6h
2 mg/kg
18
Sulfametoksazole
30-60 mg/kg
q6-8h
10 mg/kg
* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginjal
Bedah Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan untuk menghilangkan faktor predisposisi. 6 Suportif Selain pemberian antibiotik, penderita perlu mendapat asupan cairan cukup, perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, pencegahan konstipasi.8 Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll) Rujukan ke Bedah Urologi sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Rujukan ke Unit Rehabilitasi Medik untuk buli-buli neurogenik.8
J. PROGNOSIS Pengobatan segera pielonefritis akut dapat mencegah timbulnya jaringan parut ginjal. Anak-anak dengan infeksi saluran kemih yang berulangulang kambuh seringkali menimbulkan masalah yang sulit dan mengecewakan dalam pengobatan dan profilaksisnya. Konsekuensi utama kerusakan ginjal kronis yang disebabkan oleh pielonefritis adalah hipertensi arterial dan insufisiensi ginjal; bila hal ini terjadi maka harus diobati dengan tepat. 7 Anak dengan abses ginjal atau perirenal atau dengan infeksi saluran kemih yang tersumbah memerlukan tindakkan bedah atau drainase perkutan disamping pengobatan dengan antibiotik dan tindakan pendukung lainnya.7
K. KOMPLIKASI Pielonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal, hidronefrosis gagal ginjal kronik dan sepsis (Pielonefritis berulang timbul karena adanya faktor predisposisi).8 19
L. PENCEGAHAN PIELONEFRITIS Seseorang yang sering mengalami infeksi ginjal atau penderita yang infeksinya kambuh setelah pemakaian antibiotik dihentikan, dianjurkan untuk mengkonsumsi antibiotik dosis rendah setiap hari sebagai tindakan pencegahan. 8 Lamanya pengobatan pencegahan yang ideal tidak diketahui, tetapi seringkali dihentikan setelah 1 tahun. Jika infeksi kembali kambuh, maka pengobatan ini dilanjutkan sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan.8
20
BAB III KESIMPULAN
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal dimana terjadi reaksi inflamasi pada pielum dan parenkim ginjal yang sifatnya akut maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Pielonefritis kronis merupakan lanjutan dari pielonefritis akut
Refluks vesicoureteral ini merupakan faktor risiko yang paling penting dalam terjadinya pielonefritis pada anak-anak. Refluks vesicoureteral terdeteksi pada sekitar 10% sampai 45% dari anak-anak yang memiliki gejala ISK.
Penyebab adalah Escherichia coli (70-80%). Penyebab yang lainnya seperti: Klebsiella,
Proteus,
staphylococcus,
Staphylococcus
Pseudomonas
saphrophyticus,
aeroginosa,
coagulase-negative
Streptococcus
fecalis
dan
Streptococcus agalactiiae, Proteus species jarang ditemukan.
Infeksi akut/kronik vesika urinaria akibat infeksi yang berulang mengakibatkan perubahan pada dinding vesika dan dapat mengakibatkan inkompetensi dari katup vesikoureter. Akibat rusaknya katup ini, urin dapat naik kembali ke ureter terutama pada waktu berkemih (waktu kontraksi kandung kemih). Akibat refluks ini ureter dapat melebar atau urin sampai ke ginjal dan mengakibatkan kerusakan pielum dan perenkim ginjal (pielonefritis).
Pada pielonefritis akut terjadi demam yang timbul mendadak, menggigil, malaise, muntah, sakit panggul atau perut, nyeri tekan di daerah kostovertebral, leukositosis, piuria dan bakteriuria. Biasanya disertai dengan adanya toksik sistemik. Demam dan iritabel adalah gejala paling umum yang ditunjukkan pada bayi yang memiliki pielonefritis. Temuan lain termasuk nafsu makan yang buruk, letargi dan nyeri perut.
Penegakan diagnosis pielonefritis akut dilihat dari gejala dan tanda yang biasanya diadahului oleh disuria, urgensi dan sering berkemih yang menunjukkan bahwa 21
infeksi dimulai pada bagian bawah traktus urinarius. Adanya silinder leukosit membuktikan infeksi terjadi di dalam ginjal.
Diagnosis
pielonefritis
ktronik
biasanya
ditegakkan
apabila
pasien
memperlihatkan gejala insufisiensi ginjal kronik atau hipertensi, atau temuan proteinuria saat pemeriksaan rutin. Anamnesis yang teliti pada beberapa kasus lain, mungkin dapat, menemukan adanya riwayat disuria, sering kencing atau kadang-kadang nyeri pada selangkangan yang tidak jelas. Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala sampai penyakit mencapai tahap lanjut.
Pengobatan pielonefritis akut, disertai gejala sistemik infeksi, setelah sampel urin diambil untuk dibiakkan, diberi antibiotik parenteral (tanpa menunggu hasil biakan urin) untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Sebaiknya anak dirawat di rumah sakit terutama bula disertai tanda toksik.
Pemberian antibiotik parenteral diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral selama 1014 hari,disesuaikan dengan hasil biakan urin dan uji sensitivitasnya. Biakan urin ulang dilakukan setelah 48 jam tidak makan obat untuk melihat hasil pengobatan, apakah bakteriuria masih ada. Antibiotik profilaksis diberikan sampai dilakukan MSU, dan bila ditemukan refluks antibiotik parofilaksis diteruskan
22
DAFTAR PUSTAKA 1. Sjamsuhidayat, R dan Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3. EGC: Jakarta 2. Alantas, Husein. dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 4. Balai Penerbit FK UI. 2014. Jakarta. 3. Raszka, William V.,Jr, Omar Khan. Pyelonephritis. Pediatrics in Review. Vol.26. 2014. . 4. Abraham, N. A., Donna JL, 2013, Practical Renal Pathology : A Diagnostic Approach, United States of America : Saunders Elsevier. 5. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin, Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Editor,. Editor edisi bahasa Indonesia A, Samik Wahab. Edisi 15. EGC, 2010 Jakarta. 6. Dunphy, L. N., 2011, Primary Care: The Art and Science of Advanced Practice Nursing, United Stated of America : Davids Company. 7. Price, Slvia A. Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. EGC. 2011. Jakarta. 8. Purnomo, B.B., 2010, Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua, Jakarta: CV Sagung Seto 9. Suzanne, et al., 2010, Brunnerand Suddarth’s Textbooks of Medical Nursing, USA: Lippincott Williams and Wilkins. 10. Tortora, G. J. Dan Bryan D., 2013, Principles of Anatomy and Physiology, USA: John Wiley Ana Son’s Inc 11. Kellerman, Rakel dan Rope, 2011, Conn’s Current Therapy 2011, United States of America: Saunders Elsevier. 12. Kumar,V., Ramzi S. C., Stanley L. B., 2007, Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7, Jakarta: EGC
23