1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit tropis kronik terabaikan (chronic neglected tropical disease) yang disebabkan oleh cacing filaria yang bersifat parasitik.1Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menahun yang disebabkanoleh cacing filaria. Penyakit yangditularkan dari berbagai jenis nyamuk.Diperkirakan 1/5 penduduk di dunia atau1,1 miliar penduduk di 83 negara berisikoterinfeksi filariasis, terutama di daerahtropis dan daerah subtropis.Penyakit inidapat menyebabkan
kecacatan,
stigmasosial,
hambatan
psikososial
dan
penurunanproduktivitas kerja penderita, keluarga danmasyarakat sehingga menimbulkankerugian ekonomi yang besar. Penderita menjadi beban keluarga dan negara.2 Filariasis atau penyakit kaki gajahmerupakan salah satu penyakit menular, adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan cacing filaria yang hidup dalam kelenjar getah bening (limfa) dan darah manusia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (vectorborne disease). Penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, tetapi dapat mengakibatkan kecacatan seumur hidup. Kecatacatan berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki, sehingga menimbulkan stigma sosial, hambatan psikososial serta menurunkan produktivitas kerja penderita, keluarga, dan masyarakat yang menimbulkan kerugian ekonomi yangbesar.3 Penyakit ini ditularkan oleh nyamuk dari genus Culex, Aedes, Anopheles atau Mansonia. Di Afrika, filariasis sebagian besar ditularkan oleh nyamuk Anopheles, yang juga mentransmisikan malaria. Diperkirakan 1,3 miliar orang di 73 negara (65% di Asia Selatan dan Tenggara dan 30% di Afrika) tinggal di daerah endemik filariasis dengan total kasus lebih dari 120 juta jiwa.1
2
Terdapat 1,1 miliar penduduk yang tertular filariasisterutama di daerah tropis dan beberapa subtropics (lebihdari 83 negara) Sedangkan di Indonesia sampai dengantahun 2004 diperkirakan 6 juta orang terinfeksi filariasisdan
2
dilaporkan lebih dari 8.243 diantaranya menderitaklinis filariasis kronis.Kabupaten Pekalongan termasuksalah satu daerah endemis filariasis. Hasil surveiendemisitas filariasis oleh Dinas Kesehatan KabupatenPekalongan pada tahun 2007 menunjukkan hasil tertinggiterdapat di Kecamatan Buaran dengan angka mikrofilaria(mf) rate 3,9%. Hasil Survey Darah Jari (SDJ) pada tahun2015di Kecamatan Buaran ditemukan mikrofilariaadalah sebanyak 37 orang.3 Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutamawilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000hingga 2009 dilaporkan kasus kronisfilariasis sebanyak 11.914 kasus yangtersebar di 401 kabupaten/kota dan diestimasikan prevalensi Microfilaria rate(Mf rate) sebesar 19%.2 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa filariasis adalah penyebab terbesar kedua untuk kecacatan kronis di seluruh dunia setelah trauma akibat kecelakaan. Saat ini, lebih dari 15 juta orang yang kebanyakan wanita, hidup dengan limfedema dan 25 juta orang menderita pembengkakan urogenital, terutama hidrokel di skrotum. 1 Berdasarkan Rapid Mapping filariasispada tahun 2000, angka kesakitan penyakitkaki gajah di Indonesia masih tinggi dantersebar luas hampir di seluruhkabupaten/kota. Jumlah penderita kakigajah yang dilaporkan dari 231kabupaten/kota sebanyak 6233 orang telahterinfeksi, tersebar di 674 Puskesmas dan1153 Desa. Data ini belum mencakupseluruh wilayah, karena tidak semuakabupaten/kota melaporkannya yaituhanya 42,16 %.4 Spesies nyamuk yang berperan sebagai vek-tor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. Karena inilah filariasis dapat menular dengan sangat cepat. Sedangkan di Provinsi Jawa Tengah terdapat 9 kabupaten/kota yang endemis filariasis yaitu Kota Pekalongan, Kabupaten Peka-longan, Brebes, Wonosobo, Semarang, Grobogan, Blora, Pati dan Demak. Kasus kronis filariasis selalu ditemukan setiap tahunnya. Kota Pekalongan me-rupakan daerah dengan kasus filariasis tertinggi di Jawa Tengah. Kasus filariasis di Kota Pekalongan tahun
3
2017 mencapai 409 kasus dengan 37 kasus termasuk ka-tegori kronis yakni sudah berdampak ke fisik seperti bagian tubuh yang sudah membesar. Kasus tersebut tersebar di 12 kelurahan endemis Kota Pekalongan, salah satunya adalah Kelurahan Kertoharjo.5
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria (microfilaria) yang bisa menular melalui perantara nyamuk sebagai vektor. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidup berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki- laki yang menimbulkan dampak psikologis bagi penderita dan keluarga. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.6 Penyakit Filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (limfe) serta mengakibatkan gejala akut, kronis dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenomalimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali, dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan meninggalkan parut. Dapat terjadi limfedema dan hidrokel yang berlanjut menjadi stadium kronis yang berupa elefantiasis yang menetap dan sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki (seperti kaki gajah) lengan, payudara, buah zakar (scrotum) dan kelamin wanita.7
Gambar 1. Penyakit Kaki Gajah (Filariasis)
5
2.2 ETIOLOGI Agentpenyakit adalah suatu substansi atau elemen-elemen tertentu yang keberadaannya bisa menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit. dalam hal ini filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu : a.
W. bancrofti
b.
B. malayi
c.
B. timori Cacing filaria (Nematoda: Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik,
mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut: dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk). Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filaria.7 Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe, yaitu: 1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Cx. quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex. 3. Brugia malayi tipe periodik nokturna
6
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. 4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansoniauniformis yang ditemukan di hutan rimba. 6. Brugia timori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup disaluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 7
Gambar 2. Penyebaran Filariasis menurut Spesies di Indonesia Tahun 2009
7
Morfologi Cacing Filaria Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup disaluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 1. Makrofilaria Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55–100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ekor melingkar. Makrofilaria dapat bertahan hidup cukup lama di dalam kelenjar limfe, dan dapat terjadi kerusakan sistem limfe ditempat tinggal cacing ini. Makrofilaria akan mati dengan sendirinya setelah 5-7 tahun, tetapi kerusakan sistem limfe yang berat tidak dapat pulih kembali.
Gambar 3. Morfologi 3 Jenis Cacing Filariasis
2. Mikrofilaria Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200- 600 μm x 8 μm dan mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor. Morfologi atau karakteristik dari 3 jenis cacing filaria dalam sediaan darah dengan pewarnaan giemsa dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
8
Tabel 1. Dalam Sediaan Darah dengan Pewarnaan Giemsa
Gambar 4. W. Bancrofti
9
Gambar 5. Brugia Malayi
Gambar 6. Brugia Timori
Karakteristik Vektor Filariasis 1. Vektor Aedes Nyamuk Aedes merupakan salah satu jenis nyamuk yang dapat ditemui pada kawasan tropis. Nama Aedes diambil dari bahasa Yunani yang memiliki arti “tidak menyenangkan”, dikarenakan nyamuk ini membawa atau menyebarkan virus penyakit seperti demam berdarah dan demam kuning. Ada 2 jenis nyamuk Aedes yang sering ditemui, yakni Ae. albopictus yang biasa ditemui di wilayah Asia (ciri fisiknya adalah kakinya belang-belang hitam putih). Dan Ae aegypti yang mungkin banyak dari kita sudah mengenalnya sebagai nyamuk penyebar virus dengue dan demam kuning.7
10
Gambar 7. Vektor Aedes 2. Vektor Culex Nyamuk Culex merupakan salah satu jenis nyamuk yang biasanya akan mengginggit anda pada malam hari. Nyamuk ini juga bisa memberikan penyakit yang berbahaya bagi anda apabila anda terkena gigitannya. Berikut ini anda akan diajak untuk mengenal lebih jauh mengenai jenis nyamuk yang satu ini sehingga anda akan mengetahui bahaya apa yang akan diberikan oleh nyamuk dengan jenis yang satu ini. Nyamuk Culex merupakan nyamuk yang pola hidupnya mirip dengan Aedes aegypti. Mereka sangat suka hinggap di pakaian yang taruh atau digantung disembarang tempat.
Gambar 8. Vektor Culex
11
3. Vektor Anopheles Telur Anopheles sp berbentuk seperti perahu yang bagian bawahnya konveks dan bagian atasnya konkaf dan diletakkan satu per satu di atas permukaan air serta memiliki sepasang pelampung yang terletak dibagian lateral. Ditempat perindukan, larva Anopheles mengapung sejajar dengan permukaan air dengan bagian badan yang khas yaitu spirakel pada bagian posterior abdomen, batu palma pada bagian lateral abdomen, dan “tergal plate” pada bagian tengah setelah dorsal abdomen. Pada stadium pupa terdapat tabung pernafasan yang disebut respiratory trumpet yang berbentuk lebar dan pendek yang berfungsi untuk mengambil O2 dari udara.7
Gambar 9. Vektor Anopheles 4. Vektor Mansonia Nyamuk Mansonia berasosiasi dengan rawa-rawa, sungai besar di tepi hutan atau dalam hutan, larvae dan pupa melekat dengan sifonnya pada akar-akar ranting tanaman air, seperti enceng gondok, teratai, kangkung, dan sebagainya. Nyamuk Mansonia berada di wilayah hutan dan rawa endemik, lingkungan kotor dan area peternakan ikan yang tidak terpakai. Nyamuk Mansonia bersifat agresif dan menghisap darah saat manusia berada dalam aktivitas malam hari khususnya di luar rumah.
12
Gambar 10. Vektor Mansonia
2.3 EPIDEMIOLOGI Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah Indonesia yang menempati peringkat tertinggi kejadian filariasis adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1.908 dan 1.706 kasus kronis. Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh cacing W. bancrofti dan B. timori. Selain itu, penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi, di Kalimantan, dan Sumatera. Penyebab penyakit kaki gajah yang ditemukan di ketiga pulau tersebut adalah dari jenis B. malayi.4 Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara umum, filariasis W. Bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. W. Bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. Bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. B. Malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. B. Timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.7 Menurut Ditjen PPM & PL (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan) Direktorat P2B2, Subdit Filariasis dan
13
Schistosomiasis (2002), selain ke tiga wilayah kepulauan tersebut di atas endemisitas kejadian filariasis juga terdapat dibeberapa provinsi lainnya di Indonesia, diantaranya Provinsi Jawa Barat (khususnya Kabupaten Bekasi), Provinsi Jawa Tengah (khususnya Kabupaten Pekalongan), Provinsi Banten (khususnya Kabupaten Lebak Tangerang), Provinsi Lampung (khususnya Lampung), Provinsi Sulawesi Barat (Khususnya Mamuju), Provinsi Sulawesi Tengah (Khususnya Donggala), Provinsi Kalimantan Barat (Khususnya Kabupaten Pontianak), Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Kapuas), dan Provinsi Kalimantan Selatan (Khususnya Kabupaten Kotabaru).4
Gambar 11. Kasus Filariasis Klinis Per Tahun di Indonesia Tahun 2002-2014.6 Dari data yang dilaporkan oleh dinas kesehatan provinsi dan hasis survei di Indonesia kasus filariasis kronis 10 tahun terakhir cenderung meningkat. Kasus klinis dilaporkan cenderung meningkat dari tahun ketahun disebabkan banyaknya kasus yang baru ditemukan seiring dengan kabupaten/kota yang melaksanakan pendataan sasaran sebelum pemberian obat pencegahan massal filariasis (PPOM).6 Pada hasil grafik kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat per provinsi di Indonesia tahun 2010-2014 menunjukkan bahwa kasus tertinggi filariasis pada
14
provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu 3.175 kasus sedangkan provinsi dengan angka filariasis terkecil pada provinsi Kalimantan Utara yaitu 13 kasus.6
Gambar 12. Kumulatif Kasus Filariasis Kronis yang Cacat Per Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2014.7
Gambar 13. Kasus Filariasis Klinis di Indonesia Tahun 2014.6 2.4
RANTAI PENULARAN Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya
ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot
15
dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12–14 hari. L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembang biak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk disuatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.7 Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu: 1.
Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis (silent infection). Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus)
2.
Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.
16
Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor W. Bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe perkotaan. 3.
Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Perilaku dan kebiasaan manusia dapat mempermudah penularan filariasis. Aktivitas pada malam hari dengan beragam kegiatan seperti meronda, tidak menggunakan pakaian panjang atau obat nyamuk dapat memperbesar risiko tertular filariasis (Febrianto, 2008). Berdasarkan hasil penelitian dari Ardias (2012) membuktikan bahwa kebiasaan keluar rumah pada malam hari berisiko menderita filariasis dan berdasarkan penelitian Nasrin (2007), melakukan pekerjaan pada jam-jam nyamuk mencari darah juga meningkatkan risiko tertular filariasis. Jika nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosis dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Larva L3 B. Malayi dan B. Timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan W. bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5–7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Hal ini menunjukkan bahwa sulit terjadi penularan filariasis dari nyamuk ke manusia. Disamping itu, kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
17
Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban dipengaruhi oleh kondisi meteorologi.7 Banyak spesies yang bersifat musiman, dengan puncak kepadatan nyamuk dewasa pada pertengahan musim panas dan tidak ada ada musim dingin, sedangkan di negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun.Suhu dan kelembaban menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat (Achmadi, 2012). Suhu dan kelembaban sangat berpengaruh umur nyamuk, sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak memiliki cukup waktu untuk berkembang menjadi larva infektif (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B. malayi dan B. timori antara 8-10 hari. Curah hujan dan kecepatan arah angin serta suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam perkembangbiakan nyamuk di wilayah perkotaan. Namun, kecepatan dan arah angin bukan merupakan pengukuran yang utama. Pengukuran pada ketinggian tanah (2-10 m) dapat membantu menjelaskan mengapa spesies tertentu terkumpul pada daerah yang jauh dari tempat perkembangbiakan. Selain
itu,
periodisitas
mikrofilaria
dan
perilaku
menggigit
nyamukberpengaruh terhadap risiko penularan. Di Indonesia filariasis dapat ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk, yang hidup aktif pada waktu siang atau malam hari. Sesuai dengan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal periodiknokturnal, subperiodik diurnal dan subperiodik nokturnal. 1. Periodik nokturnal (nocturnal periodic): mikrofilaria hanya ditemukan di dalam darah pada waktu malam hari. 2. Subperiodik diurnal (diurnal subperiodic): mikrofilaria terutama dijumpai siang hari, jarang ditemukan malam hari. 3. Subperiodik
nokturnal
(nocturnal
subperiodik):
dijumpai malam hari, jarang ditemukan siang hari.7
mikrofilaria
terutama
18
Gambar 14. Rantai Penularan Filariasis 2.5
PATOFISIOLOGI Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik antara lain7 : 1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-
19
luka kecil maupun besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).7 2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack). 4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut. a) Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersamasama dengan bakteri, yaitu:
Limfangitis, peradangan di saluran limfe.
Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe.
Adeno limfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.
Abses, penumpukan nanah pada satu daerah tubuh, meskipun juga dapat muncul pada daerah yang berbeda (misalnya, jerawat, karena bakteri dapat menyebar ke seluruh kulit ketika mereka tertusuk). Di sisi lain, nanah adalah cairan yang kaya dengan protein dan mengandung sel darah putih yang telah mati.
Peradangan oleh spesies W. bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b) Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah dan lain-lainnya. 5.
Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
20
6.
Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting).7
2.6 DIAGNOSA Diagnosa pasti hanya dapat diperoleh melalui pemeriksaan parasit dan hal ini cukup sulit. Cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah ening atau kelenjar getah bening sulit dijangkau sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan parasit. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah , cairan hidrokel, atau terkadang di cairan tubuh lainnya. Cairan tersebut dapat diperiksa secara mikroskopik.8 Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai 10-30%. Di sebagian besarbelahan dunia mikrofilariasis aktif di malam hari terutama dari jam 10 malam – 2pagi. Namun disebagian daerah Asia dan Pasifik timbul subperiodik, yaitu timbul hamper sepanjang hari dengan puncak beberapa kali sehari. Pada kasus dengan periodisistas subperiodik diurnal ( infeksi Bancrofti di daerah Pasifik Selatan, Kepulauan Andaman, pulau Nikobar) puncaknya pada pagi hari dan sore hari. Oleh karena itu pengambilan specimen darah untuk pemeriksaan microfilaria harus sesuai dengan puncaknya microfilaria aktif didalam darah. Mikrofiaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tpis yang dipulas dengan pewarnaan Giemsa atau Wright. Specimen darah yang diambil lebih baik darah kapiler diandingkan darah vena. Terdapat beberapa bukti bahwa konsentrasi microfilaria di darah kapiler lebih tinggi dibandingkan darah vena. Volume darah yang digunakan untuk pulasan sekitar 50µl dan jumlah microfilaria 20mf/ml atau lebih merupakan petunjuk adanya microfilaria dalam darah.8 Akhir- akhir ini penggunaan mikroskopik untuk mendeteksi microfilaria sudah mulai tergantikan oleh penggunaan membrane filtrasi yang ditemukan oleh Bell tahun 1967. Keuntungan dari alat ini adalah sampel yang dapat disimpan dalam waktu lama. Selain itu karena menggunakan formalin maka dapat dilakukan fiksasi microfilaria dalam darah dan pembuangan mikroorganisme yang
21
tidak diinginkan seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada episode akut, filariasis limfatik harus dibedakan dengan tromboflebitis, infeksi, dan trauma.8 Pemeriksaan terhadap antigen W. bancofti yang bersirkulasi dapat membantu menegakkan diagnosis. Dua tes yang tersedia antara lain ELISA dan ICT. Sensitivitas keduanya berkisar antara 96-100% dan spesifitas mendekati 100%. Pemeriksaan serologi antibodi juga telah digunakan untuk mendeteksi W.bacrofti, namun spesifitasnya yang rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya reaksi silang dengan parasit yang lain. Selain itu hasil yang didapatkan juga tidak dapat membedakan antara infeksi saat ini dan infeksi lampau.8 Pencitraan
limfoskintigrafi
dengan
radionuklir
pada
ekstremitas
menunjukkan abnormalitas sistem limfatik, baik pada penderita yang asimtomatik mikrofilaremik maupun pada penderita dengan manifestasi klinis. Pada kasus filariasis limfatik, pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria dan payudara pada wanita memperlihatkan adanya cacing dewasa yang bergerak aktif dalam pembuluh getah bening yang mengalami filariasis.cacing dapat dilihat di pembuluh getah bening spermatika hampir pada 80% pria. Cacing dewasa hidup memberikan gambaran khas di dalam pembuluh darah, dikenal dengan filarial dance sign.8
2.7
GEJALA KLINIS Perkembangan penyakit filariasis terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap
inkubasi, tahap akut, dan tahap kronis. Di daerah endemis filariasis sebagian besar penderita filariasis tidak menunjukkan gejala namun positif mikrofilaremia. Gejala filariasis dapat dibagi menjadi periode atau tahapan yang berlangsung yaitu tahap akut dan kronis. Kedua tahap ini dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: 1. Gejala Klinis Akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B. malayi dan B. timori dibandingkan karena infeksi W. bancrofti, demikian
22
juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis, tetapi sebaliknya, pada infeksi W. bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis), dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). 2. Gejala Klinis Kronis Gejala kronis terdiri dari limfedema, lymp scrotum, kiluria, dan hidrokel:
a) Limfedema Pada infeksi W. bancrofti, terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku tetapi siku dan lutut masih normal.7 b) Lymph Scrotum Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Hal ini berisiko tinggi terhadap terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar. c) Kiluria Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W. bancrofti, sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut: Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak dan terkadang disertai darah, Sukar kencing, Kelelahan tubuh, dan Kehilangan berat badan.
23
d) Hidrokel Hidrokel adalah pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulnya cairan limfe di dalam tucina vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut: Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sehingga penis tertarik dan tersembunyi, Kulit pada skrotum normal, lunak, dan halus, Terkadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu cyhlocele, haematocele, atau pyocele. Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih, Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis W. bancrofti dan dapat digunakan sebagai indikator adanya infeksi W. bancrofti.7 2.8 PENATALAKSANAAN Pengobatan infeksi. Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan
angka
mikrofilaemia dengan pemberian dosis satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini WHO menetapkan Dieticarbamazine (DEC) sebagai satu- satunya obat yang efektif, aman, relative murah. Pengobatan dilakukan dengan pemberian DEC6 mg/kgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat dapat diulang 1- 6 bulan kemudin bila perlu, atau DECselama 2 hari perbulan (6-8 mg/kgBB/hari).8 Obat lain yang digunakan adalah ivermektin.meski invermektin sangat efektif menurunkan kadarmikrofilaremia, tampaknya tidak dapat membunuh cacing dewasa ( non- makrofilarisidal), sehingga terapi tersebut tidak dapat diharapkan menyembuhkan infeksi secara menyeluruh. Albendazol bersifat makrofirasidal untuk W. bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3 minggu. Namun, dari
24
penelitian dikatakan obat ini masih belum optimal. Jadi untuk mengobati individu, DEC masih digunakan.8 Pengobatan penyakit. Hidrokel besar yang tidak mengalami regresi spontan sesudah terapi adekuat harus dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika vaginalis yang terjebak untuk melancarkan aliran limfe. Tindakan yang dilakukan untuk untuk mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan operasi. Aspirasi cairan hidrokel tidak dianjurkan karena selain angka kekambuhannya tinggi, kadang kala dapat menimbulkan penyulit berupa infeksi.8
2.9 PENCEGAHAN Pencegahan penyakit filariasis dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk infektif dan memberantas risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis misalnya yang berasal dari lingkungan.Dalam hal ini, pengendalian vektor penting untuk dilakukan. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun tempat perkembangbiakannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal sebagai alternatif.7 1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat di daerah endemis mengenai cara penularan dan cara pengendalian vektor nyamuk. 2. Mengidentifikasi vektor dengan mendeteksi adanya larva infektif dalam nyamuk dengan menggunakan umpan manusia; mengidentifikasi waktu dan tempat menggigit nyamuk serta tempat perkembangbiakannya. Jika penularan terjadi oleh nyamuk yang menggigit pada malam hari di dalam rumah maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan penyemprotan, menggunakan pestisida residual, memasang kawat kasa, tidur dengan menggunakan kelambu (lebih baik yang sudah dicelup dengan insektisida piretroid), memakai obat gosok anti nyamuk (repellents) dan membersihkan tempat perindukan nyamuk seperti kakus yang terbuka, ban-ban bekas, batok kelapa dan membunuh larva dengan larvasida. Jika ditemukan Mansonia sebagai vektor pada suatu daerah, tindakan yang dilakukan adalah dengan
25
membersihkan kolam-kolam dari tumbuhan air yang enjadi sumber oksigen bagi larva tersebut. 3. Pengendalian vektor jangka panjang mungkin memerlukan perubahan konstruksi rumah dan termasuk pemasangan kawat kasa serta pengendalian lingkungan untuk memusnahkan tempat perindukan nyamuk. 4. Melakukan pengobatan dengan menggunakan diethilcarbamazine citrate (DEC, Banocide, Hetrazan, Notezine ) : Diberikan DEC 3x1 tablet 100 mg selama 10 hari berturut-turut dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 hari pertama. Pengobatan ini ini terbukti lebih efektif bila diikuti dengan pengobatan setiap tahun sekali menggunakan DEC dosis rendah (25-50 mg/kg BB) selama 5 tahun berturut-turut atau konsumsi garam yang diberi DEC (020,4 mg/ kg BB) selama 5 tahun. Namun pada beberapa kasus timbulnya reaksi samping dapat mengurangi partisipasi masyarakat, khususnya di daerah endemis onchocerciasis. Invermectin dan albendazole juga telah digunakan; saat ini pengobatan dosis tunggal setahun sekali dengan kombinasi obat ini akan lebih efektif. Di daerah endemis filariasis dimana onchocerciasis tidak endemis WHO menyarankan dilakukan pengobatan massal menggunakan obat dosis tunggal sekali setahun selama 5-7 tahun yaitu kombinasi DEC 6 mg/ kg BB dengan 400 mg albendazole, atau garam DEC dalam bentuk fortifikasi yang biasanya diberikan secara reguler selama 5 tahun. Di daerah endemis onchocerciasis dianjurkan pemberian invermectin dengan albendazole (400 mg). Wanita hamil dan anak <2 tahun, tidak boleh diberikan DEC + albendazole. Anak yang tingginya <90 cm dan ibu menyusui minggu pertama tidak boleh diberikan invermectin + albendazole.7
26
BAB III KESIMPULAN
Filariasis (Penyakit Kaki Gajah) adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria (microfilaria) yang bisa menular melalui perantara nyamuk sebagai vektor. Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapat pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidup berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki- laki yang menimbulkan dampak psikologis bagi penderita dan keluarga. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.6 Perkembangan penyakit filariasis terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap inkubasi, tahap akut, dan tahap kronis. Di daerah endemis filariasis sebagian besar penderita filariasis tidak menunjukkan gejala namun positif mikrofilaremia.7 Pengobatan infeksi. Fokus pengobatan yang terbukti efektif adalah pengobatan di komunitas. Hal ini dilakukan melalui penurunan
angka
mikrofilaemia dengan pemberian dosis satu kali per tahun. Pengobatan perorangan ditujukan untuk menghancurkan parasit dan mengeliminasi, mengurangi, atau mencegah kesakitan. Hingga saat ini WHO menetapkan Dieticarbamazine (DEC) sebagai satu- satunya obat yang efektif, aman, relative murah. 8 Pencegahan penyakit filariasis dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk infektif dan memberantas risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis misalnya yang berasal dari lingkungan.Dalam hal ini, pengendalian vektor penting untuk dilakukan.7
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhsin, Safarianti & Maryatun, 2017. Peran Sel Granulosit Pada Penyakit Filariasis. Jurnal Kedoketran Syiah Kuala. Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala 2. Agus dkk, 2016. Faktor-Faktor
Yang
Berhubungan
Dengan
Cakupan
Menelan Obat Massal Pencegah Filariasis. Journal Endurance. Pekan Baru Riau. 3. Suryo dkk, 2017. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan.Jurnal Kesehayan Lingkungan Indonesia. Jawa Tengah : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro 4. Noerjoedianto D, 2016. Dinamika Penularan Dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis Di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2014. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. Jambi : Universitas Jambi. 5. Sandra L & Sofwan, 2017. Analisis Pengetahuan, Sikap Dan Praktik Pencegahan Filariasis Di Kelurhan Kertoharjo Kota Pekalongan Tahun 20162017.
Unnes Journal Of Public Health. Semarang : Universitas Negri
Semarang. 6. Kemenkes RI, 2017. Filariasis. Jakarta : Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. 7. Arsunan A, 2016. Epidemiologi Filariasis Di Indonesia. Makasar : Masagena Press. 8. T Pohan Herdiman, 2014. Filariasisi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I. PAPDI. Jakarta : Interna Publishing.