Real Laporan Kasus Saraf

  • Uploaded by: YogaApriyanto
  • 0
  • 0
  • August 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Real Laporan Kasus Saraf as PDF for free.

More details

  • Words: 6,841
  • Pages: 38
LAPORAN KASUS TETANUS GENERALISATA

Oleh : Reza Rakhmat Al-Amin H1AP13006

Pembimbing: dr. Iman Indrasyah, Sp.S

KEPANITRAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUD Dr. M. YUNUS BENGKULU FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS BENGKULU 2019

BAB I LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN : Nama : Tn. I Umur : 23 Tahun Jenis Kelamin : Laki-Laki Pekerjaan : Petani Suku : Rejang Agama : Islam Alamat : Desa Air Napas Lebong Selatan Status : Menikah No CM. : 792298 MRS : 10 Februari 2019 Tanggal Pemeriksaan : 11 Februari 2019 II. ANAMNESIS : Keluhan utama

: Nyeri perut

Riwayat penyakit sekarang

:

Pasien datang dari RSUD Lebong dengan keluhan nyeri perut sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri perut dirasakan mendadak dan berulang. Keluhan disertai kejang tanpa disertai dengan demam. Awalnya, 5 hari yang lalu, pasien merasa kaku didaerah wajah dan leher sehingga sulit menggerakan kepala ke arah kanan-kiri, dan merasa kesulitan membuka mulut. Saat kejang seluruh tubuh kaku dari leher, dada, punggung, perut, kedua tangan dan kaki, dengan posisi kedua tangan mengepal dan lengan menekuk ke arah dada, kedua kaki lurus, tubuh sedikit menekuk kearah belakang. Kejang berlangsung ± 5 detik, kejang dengan kaku berulang lebih dari 5x saat pasien berada dirumah, kejang timbul saat ada sentuhan, cahaya maupun rangsangan suara, mata tidak mendelik keatas, tidak keluar busa dari mulut, setelah kejang pasien membuka mata dan menangis. Keluarga pasien mengatakan 1 minggu yang lalu, pasien terkena sengatan binatang yang pasien yakini sengatan ulat bulu dan 3 hari setelah kejadian tersebut pasien berobat ke bidan untuk mengeluarkan duri ulat. BAK normal berwarna kuning jernih, lancar, BAB normal, tidak ada kesulitan.

Riwayat Penyakit Dahulu : 

Riwayat sakit kencing manis disangkal



Riwayat darah tinggi disangkal



Riwayat sakit TBC disangkal



Riwayat sakit jantung disangkal



Riwayat sakit ginjal disangkal



Riwayat kanker disangkal



Riwayat Imunisasi saat bayi disangkal



Riwayat epilepsi disangkal

Riwayat Pemakaian Obat Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga 

Riwayat sakit kencing manis disangkal



Riwayat darah tinggi disangkal



Riwayat sakit TBC disangkal



Riwayat sakit jantung disangkal



Riwayat sakit ginjal disangkal



Riwayat kanker disangkal



Riwayat kelainan hematologi disangkal

Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 78 x/mnt reguler, isi dan tegangan cukup

Pernapasan

: 20 x/menit

Temperatur

: 36,8 oC (aksiler)

Kulit

: Ikterik (-), kulit pucat (-), turgor kulit cukup, hipopigmentasi (-), petechie (-), granulasi (-), kulit kering (-), striae (-).

Kepala

: Bentuk mesocephal, rambut warna hitam (+), uban (-), rambut rontok (-), luka (-), benjolan abnormal (-).

Wajah

: Moon face (-), atropi muskulus temporalis (-), malar rash (-).

Mata

: Ptosis (-), oedem palpebra (-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor Ø (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+), katarak (-/-), Visus 6/6.

Telinga

: Tofus (-), serumen (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), gangguan fungsi pendengaran (- ), telinga berdenging (-)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), gangguan fungsi pembauan (), septum deviasi (-), polip nasi (-), nyeri tekan sinus frontalis (-), sinus ethmoidalis (-),

Mulut

: Bibir sianosis (-), bibir kering (-), ulkus oral (-), tepi lidah hiperemis (-), papil lidah atrofi (+), lidah tremor (-), stomatitis (-), pulpitis (-), gangren (-), periodontitis (-), palatoschisis (-), halitosis (-), perdarahan gusi(-).

Leher

: Kaku kuduk (-), trakea di tengah, JVP R-2 cm, buffalo hump (-)

Dada

: Bentuk normochest, simetris, retraksi (-), spider naevi (-), atrofi muskulus pektoralis (-), pembesaran kelenjar limfe supraklavikuler (-), subklavikuler (-).

Paru-paru: Paru Depan kanan-kiri Inspeksi

: Statis : simetris, sela iga tidak melebar Dinamis : pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: Fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: Paru kanan : sonor Paru kiri

Auskultasi

: sonor

: Paru kanan : suara dasar vesikular normal. suara tambahan: Paru kiri

: suara dasar vesikuler normal.

suara tambahan: Paru belakang kanan-kiri Inspeksi

: Statis : simetris, sela iga tidak melebar. Dinamis : pengembangan dada kanan = kiri.

Palpasi

: Fremitus raba dada kanan = kiri.

Perkusi

: Paru kanan : sonor, peranjakan diafragma sulit dinilai. Paru kiri

Auskultasi

: sonor,

peranjakan

diafragma

sulit

dinilai.

: Paru kanan : suara dasar vesikular normal suara tambahan: Paru kiri

: suara dasar vesikular normal suara tambahan:-

Jantung I

: Ictus cordis tidak tampak.

Pa : Ictus cordis tidak teraba Pe : Batas jantung kanan atas di SIC II linea sternalis dextra Batas jantung kanan bawah di SIC IV linea sternalis dextra Batas jantung kiri atas di SIC II Linea parasternalis sinistra Batas jantung kiri bawah di SIC V 1cm medial LMCS Pinggang jantung di SIC III linea parasternalis sinistra Kesan : konfigurasi jantung tidak melebar A

: Bunyi jantung I-II murni, intensitas normal, bising (-), gallop (-), denyut jantung 78 x/menit

Abdomen I

: Dinding perut // dinding dada, distended (-), venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), darm steifung (-), darm contour (-)

A

: Peristaltik usus (+) 20 x/ menit, bruit hepar (-), borborigmi (-), metalic sound (-)

Pe : Timpani, pekak sisi (-) normal, pekak alih (-). Pa : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien sulit teraba, nyeri ketok kosto vertebral (-/-), tidak teraba massa.

Ekstremitas

Superior

Inferior

Luka

+/-

-/-

Pitting Oedem

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

STATUS NEUROLOGI

Kesadaran kuantitatif

: GCS (E4 V6 M5)

Orientasi

: Baik

Refleks Fisiologis Pemeriksaan

Kanan

Kiri

Bisep

+2

+2

Trisep

+2

+2

Patela

+2

+2

Achiles

+2

+2

Kanan

Kiri

Hoffman Trommer

-

-

Babinski

-

-

Chaddock

-

-

Gordon

-

-

Schaeffer

-

-

Openheim

-

-

Klonus patella

-

-

Klonus achilles

-

-

Sup dan Inf

Refleks Patologis Pemeriksaan Sup dan Inf

Tanda Rangsang Meningeal Kaku kuduk

:-

Brudzinski I

: -/-

Brudzinski II : -/Kernig

: -/-

Laseq

: -/-

Peningkatan Tekanan Intrakranial Penurunan Kesadaran

: (-)

Muntah proyektil

: (-)

Sakit kepala hebat

: (-)

Edema papil

: tidak dilakukan pemeriksaan

Saraf Kranial Nervus I Olfaktorius

: Normosmia

Nervus II Optikus Kanan

Kiri

Ketajaman penglihatan

Baik

Baik

Menilai warna

Baik

Baik

Funduskopi

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Papil

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Retina

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Medan penglihatan

Baik

Baik

Kanan

Kiri

Ptosis

-

-

Gerakan mata ke medial

+

+

Gerakan mata ke atas

+

+

Gerakan mata ke bawah

+

+

Bentuk Pupil

Bulat, isokor 3mm

Bulat,isokor 3mm

Reflek Cahaya Langsung

+

+

Reflek Cahaya Tidak Langsung

+

+

Reflek Akomodatif

+

+

Strabismus Divergen

-

-

Diplopia

-

-

Nervus III Okulomotorius

Nervus IV Troklearis Kanan

Kiri

Gerakan mata ke lateral bawah

+

+

Strabismus konvergen

-

-

Diplopia

-

-

Nervus V Trigeminus Kanan

Kiri

Menggigit

+

+

Membuka mulut

+

+

Ophtalmik

Baik

Baik

Maxilla

Baik

Baik

Mandibula

Baik

Baik

Reflek Kornea

Baik

Baik

Bagian Motorik

Bagian Sensorik

Nervus VI Abdusen Kanan

Kiri

Gerakan mata ke lateral

+

+

Strabismus konvergen

-

-

Diplopia

-

-

Nervus VII Fasialis Kanan

Kiri

Mengerutkan dahi

+

+

Mengangkat alis

+

+

Memejamkan mata

+

+

Menyeringai

+

+

Mengembungkan pipi

+

+

Fungsi Motorik

Mencucurkan bibir

+

+

Reflek Glabella

-

-

Tanda Chovstek

-

-

Baik

Baik

Fungsi Pengecapan 2/3 depan lidah Nervus VIII Vestibulokoklearis Kanan

Kiri

Mendengar suara berbisik

+

+

Tes Rinne

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tes Weber

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tes Swabach

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Nistagmus

-

-

Past Pointing

-

-

Kanan

Kiri

Nervus IX dan X Glossofaringeus dan Vagus

Arkus faring

Sulit dinilai

Uvula

Sulit dinilai

Refleks muntah

Tidak dilakukan

Tersedak

-

Disartria

-

Daya kecap 1/3 lidah

Baik

Nervus XI Aksesorius Mengangkat bahu & Menoleh Kanan

+

Kiri

+

Nervus XII Hipoglosus Menjulurkan lidah

Lurus kearah depan

Atrofi

-

Artikulasi

Baik

Tremor

-

Sistem Motorik Ekstremitas Superior Kekuatan Motorik

:

1

5

Kanan

Kiri

Tonus otot

: normotonus

normotonus

Trofi

: eutrofi

eutrofi

Gerakan

: aktif

aktif

Ekstremitas Inferior Kekuatan Motorik

: 1

5

Kanan

Kiri

Tonus otot

: normotonus

normotonus

Trofi

: eutrofi

eutrofi

Gerakan

: aktif

aktif

Gerakan involunter : Tremor

:

-

-

Chorea

:

-

-

Ballismus

:

-

-

Athetose

:

-

-

Sistem Sensorik Rasa Tajam

Kanan

Kiri

Rasa Halus

Kanan

Kiri

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Eusthesia

Fungsi Keseimbangan dan Koordinasi Test Rhomberg

: Tidak dilakukan

Disdiadokinesia

: Tidak dilakukan

Jari-jari

: Baik

Jari-hidung

: Baik

Tumit lutut

: Tidak dilakukan

Rebound Phenomenon

:-

Tremor

:-

Khorea

:-

Fungsi Vegetatif Miksi

:+

Inkontinensia urine

:-

Defekasi

:+

Inkontinensia alvi

:-

Fungsi Luhur Astereognosia

:-

Apraksia

:-

Afasia

:-

Keadaan Psikis 

Intelegensia

: Baik



Demensia

:-



Tanda regresi

:-

LABORATORIUM DARAH LENGKAP -

Leukosit

: 9.600

-

Hemoglobin

: 13,9 g/dL

-

Hematokrit `

: 43 %

-

Trombosit

: 168.000

-

GDS

: 89

-

SGOT

: 210 U/L

-

SGPT

: 58

U/L

-

Ureum

: 49

mg/dL

-

Kreatinin

: 0,9 mg/dl

-

Natrium

: 150 mmol/L

-

Kalium

: 3,6 mmol/L

-

Klorida

: 109 mmol/L

KIMIA KLINIK mg/dL

SERO IMUNOLOGI -

HBsAG

: NEGATIF

RESUME

Dari anamnesis didapatkan : Pasien laki-laki, 23 tahun, dengan keluhan nyeri perut sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri perut dirasakan mendadak dan berulang. Keluhan disertai kejang tanpa disertai dengan demam. Awalnya, 5 hari yang lalu, pasien merasa kaku didaerah wajah dan leher sehingga sulit menggerakan kepala ke arah kanan-kiri, dan merasa kesulitan membuka mulut. Saat kejang seluruh tubuh kaku dari leher, dada, punggung, perut, kedua tangan dan kaki, dengan posisi kedua tangan mengepal dan lengan menekuk ke arah dada, kedua kaki lurus, tubuh sedikit menekuk kearah belakang. Kejang berlangsung ± 5 detik, kejang dengan kaku berulang lebih dari 5x saat pasien berada dirumah, kejang timbul saat ada sentuhan, cahaya maupun rangsangan suara, mata tidak mendelik keatas, tidak keluar busa dari mulut, setelah kejang pasien membuka mata dan menangis.

Keluarga pasien mengatakan 1 minggu yang lalu, pasien terkena sengatan binatang yang pasien yakini sengatan ulat bulu dan 3 hari setelah kejadian tersebut pasien berobat ke bidan untuk mengeluarkan duri ulat. BAK normal berwarna kuning jernih, lancar, BAB normal, tidak ada kesulitan.

Dari Pemeriksaan fisik didapatkan : Keadaan umum kesadaran compos mentis, tampak sakit sedang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 78x /menit, pernapasan 20x /menit teratur, Suhu 36,8O, status gizi normal. Pada pemeriksaan kepala, wajah tampak simetris. Pemeriksaan leher, thoraks, dan abdomen dalam batas normal

Dari Pemeriksaan neurologi didapatkan : 

GCS (E4 V6 M5)



Refleks Fisiologis :

BPR +2/+2

KPR +2/+2

TRP +2/+2

APR +2/+2



Refleks Patologis :

Babinsky -/-



Fungsi Motorik 1

5

1

5



Fungsi Sensorik baik



Tanda rangsang meningeal (-)

Chaddock -/-

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan : Pemeriksaan darah lengkap : Peningkatan pada SGOT, SGPT, Natrium, dan Klorida

DIAGNOSIS Diagnosis klinis

: Trimus et causa C. Tetanii, kaku pada tangan dan kaki kanan

Diagnosis topis

: Neuromuscular junction

Diagnosis etiologis

: C. Tetanii

TATALAKSANA :

Medikamentosa :

2.

a.

Infus RL 20 tetes per menit

b.

Ranitidin 2x1 amp (IV)

c.

Ketorolac 3x1 amp (IV)

d.

Diazepam 8x1 amp (IV)

e.

Drip antrain 2 amp/kolf

f.

Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO)

g.

Eperison 3x1 tab (PO)

Non-Medikamentosa : 

Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.



Tirah baring



Perawatan kamar gelap

PROGNOSIS : Ad Vitam

: Ad Bonam

Ad Fungsionam : Ad Bonam Ad Sanationam : Ad Bonam Phillip’s Score Waktu Masuk

Skor Selama Perawatan

Masa Inkubasi

Skor

Spasme

> 14 hari

1

Hanya trismus

1

> 10 hari

2

Kaku seluruh badan

2

5 – 10 hari

3

Kejang terbatas

3

2 – 5 hari

4

Kejang seluruh badan

4

< 48 jam

5

Optistotonus

5

Imunisasi

Frekuensi Spasme

Lengkap

0

6 x dalam 12 jam

1

< 10 tahun

2

Dengan rangsangan

2

> 10 tahun

4

Terkadang spontan

3

Ibu diimunisasi

8

Spontan < 3x per 15 menit

4

Tidak diimunisasi

10

Spontan > 3x per 15 menit

5

Luka Infeksi Suhu

Suhu

Tidak diketahui

1

36.7 - 37 C

1

Distal/perifer

2

37.1 – 37.7 C

2

Proksimal

3

37.8 – 38.2 C

4

Kepala

4

38.3 – 38.8 C

8

Badan

5

> 38.8 C

10

Komplikasi

Pernafasan

Tidak ada

1

Sedikit berubah

0

Ringan

2

Apnea saat kejang

2

Tidak membahayakan

4

Kadang apnea setelah kejang

4

Mengancam Nyawa (tidak langsung)

8

Selalu apnea setelah kejang

8

Mengancam nyawa

10

Perlu trakeostomi

10

FOLLOW UP 12-2-19

Kaku pada Sens : CM rahang (+), kejang (+), nyeri TD : 130/70 mmHg (+) N : 82x/m

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

2x1

amp

(IV)

P : 20 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO) Eperison 3x1 tab (PO)

13-2-19

Kaku pada Sens : CM rahang (+), kejang (+), nyeri TD : 130/70 mmHg (+) N : 88x/m

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

2x1

amp

(IV)

P : 22 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO) Eperison 3x1 tab (PO) Pindah ruang ICU

14-2-19

Kejang berkurang

Sens : Somnolen TD : 120/80 mmHg

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

N : 78x/m

2x1

amp

(IV)

P : 18 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Metronidazole 4x500 mg (IV) Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO) Eperison 3x1 tab (PO) 15-2-19

Kejang berkurang

Sens : Somnolen TD : 130/70 mmHg N : 84x/m

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

2x1

amp

(IV)

P : 18 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Metronidazole 4x500 mg (IV) Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO) Eperison 3x1 tab (PO)

16-2-19

Kejang berkurang

Sens : CM TD : 130/70 mmHg

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

N : 82x/m

2x1

amp

(IV)

P : 20 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Metronidazole 4x500 mg (IV) Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO) Eperison 3x1 tab (PO) Pindah ruang biasa 17-2-19

Kejang Sens : CM berkurang, nyeri TD : 130/70 mmHg (-) N : 82x/m

Tetanus generalisata

Infus RL 20 tetes per menit Ranitidin

2x1

amp

(IV)

P : 20 x/m

Ketorolac 3x1 amp

T : 36,8 0C

(IV) Diazepam 8x1 amp (IV) Drip

antrain

2

amp/kolf Metronidazole 4x500 mg (IV) Racikan nyeri otot 3x1 caps (PO)

Eperison 3x1 tab (PO) 18-2-19

Kejang hampir Sens : CM tidak ada TD : 130/70 mmHg N : 82x/m P : 20 x/m T : 36,8 0C

Tetanus generalisata

Pasien pulang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tetanus Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah, sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi pula(1). Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui. Karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus memang banyak dijumpai di sejumlah negara tropis dan negara yang masih memiliki kondisi kesehatan rendah(2). Spora Clostridium tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang. Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian. Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus(3).

2.2 Definisi Definisi Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot(4).

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem

saraf

pusat

yang

menyebabkan

spasme

otot

dan

kejang(5).

2.3 Patofisiologi Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat(6). Kuman ini dapat membentuk metaloexotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP(6). Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum belakang terjadi kekakuan yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul kejang(6). Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuskular. Spame larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi, hyperhydrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan

karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti(6).

Mekanisme kerja toksin tetanus: 1. Jenis toksin Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut. 2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui secara jelas. Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf. 3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi

sensitifitas

terhadap

kalsium

dan

proses

eksositosis(6).

Perubahan akibat toksin tetanus: 1. Susunan saraf pusat Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan

ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin(6). Rasa sakit Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron. Fungsi Luhur Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan(6).

2.

Aktifitas neuromuskular perifer Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n.fasialis lebih sensitif terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi. Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa: 1. Neuropati perifer 2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan

nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu. 3.

Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu. 4.

Gangguan Sistem pernafasan Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat : a.

Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis. c.

Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus. e. Gangguan pusat pernafasan Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus adalah : 

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.



Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.



Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa. 5. Gangguan hemodinamika. Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena : 

Kendala etik



Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi



Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil penelitian.

6.

Gangguan metabolik Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin(7). 7.

Gangguan Hormonal Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar endokrin(8).

8.

Gangguan pada sistem lain Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu. Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada

organ

tertentu.

2.3 Manifestasi klinis dan diagnosis 1. Manifestasi Klinis Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik(9). Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu: a. Tetanus lokal Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum. b. Tetanus sefal Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek. c. Tetanus umum Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik. d. Tetanus neonatorum Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.

Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru(9). Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s : a. Derajat I (ringan) Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi. b. Derajat II (sedang) Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan c. Derajat III (berat) Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi d.

Derajat IV (sangat berat) Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV. 2. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi: - Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka. - Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap - Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan. - Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek - Kejang umum episodik dicetuskan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium : - Lekositosis ringan - Trombosit sedikit meningkat - Glukosa dan kalsium darah normal - Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat - Enzim otot serum mungkin meningkat - EKG dan EEG biasanya normal - Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan. - Kreatinin fosfokinase

dapat

meningkat

karena

aktivitas

kejang

(>

3U/ml)

2.4 Diagnosis banding dan komplikasi 1. Diagnosis banding Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah Meningitis bakterialis, Rabies, Poliomielitis, Epilepsi, Ensefalitis, Sindrom Shiffman, Efek samping fenotiazin, Peritonsiler abses(10).

2. Komplikasi Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia,

bronkopneumonia

dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik(10).

2.5 Penatalaksanaan 1. Dasar

a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah. Antibiotik Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari. Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari. Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G. Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang. Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral. Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari(10). Perawatan luka Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi. b. Netralisasi toksin

1. Anti tetanus serum Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV. Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU. 2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG) Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala. Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama. Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka. c. Menekan efek toksin pada SSP 1. Benzodiazepin Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang

diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam. 2. Barbiturat Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik. 3.Fenotiazin Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan. Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea. Bantuan ventilator diberikan pada : 1.Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2.Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 < > 3.Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus a. Tetanus ringan Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas. b.Tetanus sedang Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral. c. Tetanus berat Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolol(10). 2.6 Prognosis Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus(10). Tabel 1. Philip’s Score Waktu Masuk

Skor Selama Perawatan

Skor

Masa Inkubasi

Spasme

> 14 hari

1

Hanya trismus

1

> 10 hari

2

Kaku seluruh badan

2

5 – 10 hari

3

Kejang terbatas

3

2 – 5 hari

4

Kejang seluruh badan

4

< 48 jam

5

Optistotonus

5

Imunisasi

Frekuensi Spasme

Lengkap

0

6 x dalam 12 jam

1

< 10 tahun

2

Dengan rangsangan

2

> 10 tahun

4

Terkadang spontan

3

Ibu diimunisasi

8

Spontan < 3x per 15 menit

4

Tidak diimunisasi

10

Spontan > 3x per 15 menit

5

Luka Infeksi Suhu

Suhu

Tidak diketahui

1

36.7 - 37 C

1

Distal/perifer

2

37.1 – 37.7 C

2

Proksimal

3

37.8 – 38.2 C

4

Kepala

4

38.3 – 38.8 C

8

Badan

5

> 38.8 C

10

Komplikasi

Pernafasan

Tidak ada

1

Sedikit berubah

0

Ringan

2

Apnea saat kejang

2

Tidak membahayakan

4

Kadang apnea setelah kejang

4

Mengancam Nyawa (tidak langsung)

8

Selalu apnea setelah kejang

8

Mengancam nyawa

10

Perlu trakeostomi

10

2.7 Pencegahan Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: 1. Imunisasi aktif

Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia< 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10]Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis: - Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu - Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. - Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35, 45 dan seterusnya. 2. Perawatan Luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini : - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab

DAFTAR PUSTAKA

1. Ningsih

S,

Witarti

N.

Tetanus.

2007.

Available

from:

www.pediatrik.com/pediatrik/061031-joiq163.doc. Accessed: 18 Agustus 2015. 2. Lubis

UN.

Tetanus

Lokal

pada

Anak.

2004.

Available

from:

www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15. Accessed: 18 Agustus 2015. 3. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213. 4. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871 5. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004 6. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305 7. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia. 8. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157 9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 1777-1784

10. Widoyono.

Penyakit

Tropis

epidemiology,

penularan,

pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33.

pencegahan

dan

Related Documents


More Documents from "Intan Ekaverta"