Rasa Berharga Dalam Islam.docx

  • Uploaded by: bagus
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rasa Berharga Dalam Islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,542
  • Pages: 6
Rasa Berharga dalam Islam Rasa berharga dalam pandangan Islam bisa dilihat dari faktor penciptaan manusia itu sendiri. Hal ini bisa ditinjau dari perspektif al-Qur’an dan hadis. Dalam kapasitasnya sebagai petunjuk (hudan) dan penjelasan (mubin), al-Qur’an memuat tema kemanusiaan, termasuk penjelasan tentang rasa berharga. Sejatinya, rasa berharga sudah melekat pada diri manusia sejak pertama kali diciptakan Allah. Manusia diciptakan Allah dalam bentuk sebaik-baiknya (QS. At-Tin: 4), dalam rupa yang bagus (QS. Ghafir: 64/ QS. At-Taghabun: 3), makhluk paling sempurna dan berharga di atas makhluk lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah, “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami Lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami Ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra’: 70). Keunggulan dan kesempurnaan manusia tersebut menjadi modal awal yang berharga bagi setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Inilah rasa berharga pertama kali yang sudah didapatkan bayi sejak lahir. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi dengan dua potensi amal, amal baik dan buruk (QS. Al-Baqarah:30). Catatan amal baik dan buruk selama hidup di dunia ini—meski sekecil biji dzarrah—akan dihitung dan mendapat balasannya kelak di akhirat (QS. Az-Zalzalah: 7-8). Namun dalam komposisi manusia yang sempurna itu sendiri ada beberapa hal yang bisa menyebabkan derajat manusia mulia atau hina. Dalam kondisi terbaik manusia bisa lebih mulia dari malaikat. Sedangkan dalam kondisi jahat, manusia lebih hina dari binatang. Manusia dibekali ruh, nafsu, akal dan hati. Ruh adalah sesuatu yang agung dan mulia sebagai sumber kehidupan dan moral yang baik. Ruh juga sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu. Sedangkan nafsu adalah bentuk kepribadian dan keakuan manusia. Nafsu al-amarah bi al-su’ adalah model nafsu manusia yang menyebabkan derajatnya lebih rendah dari binatang. Nafs al-muthmainnah adalah model nafsu manusia

yang menyebabkan derajatnya lebih mulia dari malaikat. Akal merupakan suatu aktivitas atau proses dan bukan berupa materi. Ia merupakan aktivitas memahami, memikirkan atau esensi dari fungsi akal itu sendiri. Manusia yang tidak berakal derajatnya lebih rendah dari binatang. Hati berarti bagian dari manusia yang menampung berbagai perasaan dan hal-hal bersifat spiritual.1 (Sayyid Husein Nasr, 1991) Apabila manusia dikuasai nafsu amarah ia akan berada pada posisi rendah dan hina. Dirinya berlumuran dosa di hadapan Tuhan. Al-Qur’an sering mengkritik manusia dengan menyebutkan berbagai kelemahannya. Di antaranya adalah sangat zalim dan bodoh (QS. AlAhzab: 72), sangat mengingkari nikmat (QS. Al-Hajj:66), melampaui batas karena melihat dirinya serba cukup (QS. Al-Alaq: 6-7), bersifat tergesa-gesa (QS. Al-Isra: 11), sangat kikir (QS. Al-Isra: 100), makhluk paling sering membantah (QS. Al-Kahfi: 54), bersifat keluh kesah saat ditimpa musibah (QS. Al-Maarij: 19-20). Saat mengalami susah ia berdoa setiap waktu, namun saat bahaya dihilangkan ia kembali pada jalannya yang sesat (QS. Yunus: 12). Dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa rasa berharga dalam perspektif Islam tidak bisa dilihat dari materi keduniawian. Bukan berbentuk kekayaan materi, kesuksesan bisnis, jabatan mentereng, ataupun martabat tinggi di tengah masyarakat. Karena hal-hal kenikmatan yang bersifat duniawi itu sifatnya cobaan, tidak kekal dan akan rusak. Dan tiadalah kehidupan dunia ini hanyalah main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kehidupan akhirat itu tempat berlabuhnya manusia yang kekal (QS. Al-An’am: 32). Artinya, rasa berharga perpektif Islam, hanya bisa diukur dengan yang bersifat akhirat. Dengan semikian rasa berharga diukur dengan rasa kecukupan dan ketenangan jiwa seorang hamba di hadapan Tuhannya. Adapun variabel agar terwujud rasa berharga manusia itu bisa dilihat dari ketakwaan pada Allah, kesabaran menghadapi cobaan, sikap qanaah, rasa syukur menjalani kehidupan. 1

Sayyid Husein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991) hlm. 7.

1. Takwa Kepada Allah. Sahabat mulia Ali bin Abi Thalib mendefinisikan bahwa takwa adalah

tidak

mengulangi perbuatan maksiat dan tidak terperdaya dengan merasa puas melakukan ketaatan. Takwa adalah rasa takut kepada Allah, mengamalkan al-Qur’an, qanaah dengan yang sedikit dan mempersiapkan diri untuk hari kematian (Al-Shalaby, 2005: 396).2 Sedangkan at-Tabari menjelaskan definisi orang bertakwa pada surah al-Baqarah ayat 2 dengan mengatakan orang-orang yang bertakwa adalah yang berhati-hati dengan balasan Allah bila meninggalkan petunjuk yang telah mereka ketahui, dan mengharapkan rahmat-Nya dengan meyakini apa yang diturunkan-Nya. (At-Tabary, 2000: 1/233).3 Sedangkan definisi secara umum sebagaimana dikemukakan Muhammad al-Buzy, bahwa takwa adalah rasa takut orang beriman kepada Tuhannya yang didasari oleh ilmu, senantiasa tetap dalam ketaatan kepadaNya dengan melakukan segala kewajiban dan perbuatan-perbuatan yang dapat mendekatkan diri pada-Nya, serta menjauhi semua larangan, untuk mengharapkan pahala-Nya dan keselamatan dari balasan-Nya (Al-Buzy, 2011: 120).4 Dari beberapa definisi tersebut maka bisa dipahami bahwa rasa berharga manusia akan sendirinya muncul bila manusia berada pada jalur menuju takwa pada Allah. Takwa menjadi poros segala amal ibadah. Takwa menjadi jalan diterimanya segala amalan, jalan menuju ridha Allah dan surga-Nya. Hingga predikat bertakwa menjadi impian semua umat Islam. 2. Sabar Menghadapi Cobaan Semua manusia pasti akan merasakan cobaan kehidupan, baik fisik maupun non fisik, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu 2

Ali Muhammad Al-Shalaby, Siraah Amir al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib, Cet I. Muhammad bin Jarir at-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Cet. I, Muassasah ar-Risalah. 4 Muhamamd al-Buzy, Mafhum al-Taqwa fi al-Quran wa al-Hadits. 3

tidak ada seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 155-157). Manusia juga perlu sabar menghadapi gejolak hawa nafsu. Nafsu selalu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, godaan wanita, anak-anak, harta melimpah, jabatan tinggi dan banyak lagi kemegahan dunia lainnya (QS. Al-Munafiqun: 9). Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (2003: 206) mendefinisikan sabar sebagai upaya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan. Dengan demikian, sabar yang benar ialah sabar yang menyerahkan diri kepada Allah dan menerima ketetapan-Nya dengan dada yang lapang, bukan karena terpaksa. Sabar ialah tahan menderita atas yang tidak disenangi dengan rela dan menyerahkan diri kepada Allah. Sabar itu membentuk jiwa manusia menjadi kuat dan teguh tatkala menghadapi bencana (musibah). Jiwanya tidak bergoncang, tidak gelisah, tidak panik, tidak hilang sikap keseimbangannya.5 3. Qanaah Qanaah secara bahasa adalah menerima segala hal yang diberikan Allah atau merasa puas dengan apapun yang diterimanya. Dalam sebuah hadis dijelaskan, “Qanaah adalah harta yang tak akan pernah rusak.” (HR. Thabrani). Sedangkan pada hadis lainnya Rasulullah bersabda, “Jadilah orang yang wara’, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli beribadah. Jadilah orang yang qanaah, maka engkau akan menjadi orang yang paling ahli bersyukur. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai diri sendiri, maka engkau akan menjadi orang mukmin yang baik. Berbuatlah baik kepada tetanggamu, maka engkau akan menjadi orang Islam yang baik. Sedikitkanlah tertawa, karena banyak tertawa akan

5

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), 188.

mematikan hati.” (HR. Abu Hurairah).6 Dari beberapa penjelasan tersebut bisa dipahami bahwa qanaah adalah ridha dengan rezeki yang diberikan Allah tak memandang jumlah atau penilaian lainnya. Maksudnya rezeki yang diperoleh dari Allah dirasa cukup dan disyukuri. Berapapun penghasilan yang didapat, ia terima dengan ikhlas sambil terus menerus melakukan ikhtiar secara maksimal di jalan yang diridhai Allah. Bila diri manusia sudah qanaah maka dengan sendirinya rasa berharga itu hadir dalam aktivitasnya menjalani kehidupan. 4. Syukur Menjalani Kehidupan Allah menegaskan dalam firman-Nya, “Jika kalian bersyukur, maka Aku akan memberikan tambahan nikmat kepada kalian.” (QS. Ibrahim: 7). Syukur diwujudkan dalam hati yang selalu ingat Allah, lisan yang menyebut nama Allah dan anggota-anggota tubuh yang senantiasa beribadah. Jadi syukur tak cukup hanya sekadar diucapkan lewat lisan saja. Menurut al-Gazali, syukur mencakup ilmu, hal dan amal. Yang dimaksud dengan ilmu ialah pengetahuan tentang nikmat yang dianugerahkan oleh sang pemberi nikmat. Hal adalah rasa gembira yang terjadi akibat pemberian nikmat. Sedangkan amal adalah melakukan apa yang menjadi tujuan dan yang disukai oleh sang pemberi nikmat. Seseorang baru dianggap bersyukur kepada Tuhannya jika ia telah menggunakan nikmat-Nya untuk hal-hal yang disenangi-Nya. Dengan demikian, syukur atas nikmat kedua mata yang dianugerahkan Allah berarti menutupi setiap aib yang kita lihat pada seseorang. Syukur atas nikmat kedua telinga berarti menutupi setiap aib yang kita dengar mengenai seseorang. Sebaliknya, apabila seseorang menggunakan nikmat Allah itu untuk hal-hal yang tidak disenangi-Nya, maka berarti ia telah kufur (ingkar) terhadap nikmat itu. Demikian pula jika ia membiarkan nikmat itu dan tidak memfungsikannya. Walaupun hal ini lebih ringan dosanya dibandingkan dengan

6

Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, Cet III (Jakarta: Pustaka Amani, 2013), 220-221.

yang sebelumnya, namun dengan menyia-nyiakan itu, ia dianggap telah kufur terhadap nikmat Allah. Segala apa yang diciptakan Allah di dunia ini adalah dimaksudkan untuk menjadi alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiannya.7 Dari keempat variabel ini, yakni takwa, sabar, qanaah, dan syukur, manusia bisa melihat rasa berharga ada pada dirinya. Usaha dan amal manusia untuk menggapai rasa berharga akan semakin jelas bila dipandu dengan bekal agama yang sahih tersebut. Sehingga kehidupannya bebas dari berbagai himpitan masalah keduniawian. Karena poros hidupnya hanya ditujukan pada Allah. Usaha-usaha di dunia hanya sebagai bekal untuk menggapai kehidupan akhirat yang kekal. Walhasil, kehidupannya baik secara personal dengan diri sendiri maupun Allah bisa dijalani dengan baik dan tentram. Begitupun kehidupan sosialnya di tengah masyarakat bisa berjalan secara harmonis. Dengan demikian rasa berharga semakin muncul pada posisi puncaknya bila ia telah merasakan dirinya ada sebagai hamba Allah, Tuhan Semesta Alam.

7

Abu Hamid al-Gazali, Ihya' Ulumuddin , juz IV, (Beirut: Dar el-Fikr, t.t), 80-141.

Related Documents

Anandabhairava Rasa
April 2020 32
Luahan Rasa
May 2020 40
Iman Nikmat Berharga
May 2020 20
Sutashekara Rasa
April 2020 43

More Documents from ""

Jurnal Fisio.pdf
December 2019 42
Tesis Baharudin-fu.pdf
November 2019 39
Dosis Obat.docx
May 2020 32
Lamaran Kerja.docx
July 2020 24