Qowaid Fiqhiyah
Disusun Sebagai Tugas pada Mata Kuliah Qowaid Fiqhiyah dengan dosen Bpk Fuad Thohari MAg pada Jurusan Muamalah Perbankan Syariah
Oleh: Saumi Rizqiyanto Siti Susanti Syarah Syafira
F AKULTAS S YARIAH DAN H UKUM U NIVERSITAS I SLAM N EGERI S YARIF H IDAYATULLAH J AKARTA 2 007
BAB I PENDAHULUAN Bagi sebagian orang tradisi terkadang dianggap sebagai belenggu suatu kemajuan peradaban, tapi bagi sebagian yang lain, kultur merupakan sebuah kebanggaan. Ambil contoh seperti yang tengah terjadi pada sebagian besar masyarakat yakni masalah pernikahan pada masyarakat sumatera barat alias suku minangkabau. Bagi masyarakat tradisional minang, meminang adalah hak bagi seorang perempuan dan mereka bangga akan hal itu dan berusaha mempertahankan budaya itu terus menerus. Hal ini berimplikasi pada hukum perdata yang memang mengatur secara khusus masalah pernikahan. Namun adat ini jika dilihat dari kacamata budaya yang lain merupakan budaya yang tidak cocok. Banyak yang memandang sebelah mata adat ini, bahkan bagi sebagian orang secara terang-terangan mengatakan adat itu tidak sesuai dengan hukum alam yang menetapkan bahwa laki-lakilah yang seharusnya meminang. Diskursus ini memang tidak bermaksud membenturkan satu budaya dengan budaya yang lain. Hanya saja, merupakan kasus yang paling mudah untuk menggambarkan bahwa adat bagaimanapun kondisinya asalkan tidak bertentangan dengan syara bisa dijadikan landasan hukum.
1
BAB II PEMBAHASAN
" Kebiasaan( tradisi) itu bisa menjadi hukum"
A. DALIL DAN SUMBER PEMBENTUKAN Qaidah ini adalah qaidah yang masyhur karena terbentuk dari ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits. Kebiasaan (tradisi) adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya transformasi hukum syar'i. Diatas kebiasaan (tradisi) ini, banyak terbangun hukum-hukum fiqh dan Qaidah-qaidah furu'. Adapun dibawah ini terdapat dalil-dalil, baik dari ayat al-Qur'an maupun dari Hadits Nabi SAW yang secara makna tersirat mendukung kaidah ini, diantaranya: Surat an-Nisa ayat 19 : " Dan pergaulilah mereka dengan cara yang patut (menurut kebiasaan yang sudah diketahui)". Dalam ayat ini Allah menunjukkan tentang cara bergaul diantara suami-istri dan cara pemenuhan hak bagi masing-masing dari keduanya, yang tentunya mengacu pada kebiasaan yang berlaku dan yang telah diketahui serta kebiasaan yang diterima oleh akal. Menurut Izzuddin Abdul al-Salam dalam kitab Qawaid al-ahkam, Hadits Rasulullah yang mendukung keberadaan 'urf adalah: "Ambilah makanan yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan ukuran umum yang sudah diketahui" Hadits ini menceritakan tentang seorang wanita bernama Hindun yang tidak mengerti tentang seberapa besar nafkah yang harus ia terima dari suaminya, maka Rasulullah menjawab, bahwa ukurannafkah yang harus ia terima adalah disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku secara umum.1 Umumnya, hukum-hukum yang batas ukurannya tidak dijelaskan oleh nash alQuran atau Hadits dikembalikan pada adat yang berlaku asalkan tidak bertentangan dengan syar'i.
B. PENGERTIAN QA'IDAH Dalam mendefinisikan "Al-"adah" , terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama, diantaranya: a. Al-Zarqa "Al-'adah adalah sesuatu yang terus menerus (kontinyu) dilakukan, diterima oleh tabiat yang sehat, serta terjadisaecara berulang-ulang." b. Ali Haidar "Al-'adah adalah sesuatu yang menetap didalam hati, dan terulang-ulangnya sesuatu itu bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki tabiat yang sehat." 1
DR. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Qawa'id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Pedoman Ilmu Jaya dengan Anglo Media Jakarta, 2004), Cet I, h.158
2
c. Al-Hindi "Al-'adah adalah sesuatu yang menetap dalm hati, berupa peerkara (perbuatan) yang terjadi beerulang-ulang, serta diterima oleh tabiat yang sehat." Al-'adah secara bahasa diambil dari mashdar Al-'audu atau Al-mu'awadah yang artinya adalah "berulang-ulang kembali". Al-'adat adalah sebuah nama yang dperuntukkan untuk sebuah perbuatan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga karena seringnya perbuatan itu menjadi sangat dilakukan, bahkan karena mudahnya sampai menyerupai tabiat atau karakter yang alamiah. Al-'adah atau al-'urf adalah sesuatu yang memiliki suatu kesamaan dengan apa yang dianggap benar oleh kalangan ahli agama yang memiliki akal sehat (ulil albab) dan mereka tidak mengingkarinya. Menurut al-Zarqa, suatu kebiasaan, baik yang berlaku secara umum (adat al-'am) atau yang berlaku secara khusus (adat al-khosh) dapat dijadikan penentu didalam menetapkan suatu hokum syar'I yang tentunya hukum syar'I yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash. Didalam bahasa syar'I antara kata al-'adat dan al-'urf tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi perbedaan antara keduanya terjadi di kalangan para ulama, namun pada hakikatnya keduanya memiliki unsur pengertian yang serupa yaitu keduanya adalah sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan disepakati serta dilakukan oleh suatu komunitas tertentu secara umum. Al-'adat lebih luas cakupannya (umum) bila dibandingkan dengan al-'urf, maka setiap 'urf pasti disebut al-'adat, dan tidak semua al-'adat disebut 'urf.
C. PEMBAGIAN AL-'ADAT Secara garis besar dan berdasarkan kuantitas, al-'adat dibagi menjadi dua; 1. Al-'Adat al-'am, adalah kebiasaan yang berlaku secara luas dan mendominasi pada semua daerah, seperti kebiasaan menggunakan jasa pemandian umum (MCK) tanpa dibatasi oleh waktu. 2. Al-'Adat al-khash adalah kebiasan yang berlaku dan mendominasi pada sebagian daerah. Seperti; penyediaan roti buaya yang berlaku pada masyarakat daerah betawi pada saat menjelang pernikahan. Al-'adat (al-'urf), dipandang dari sisi bentuknya doibagi menjadi dua; 'urf Lafdzi dan 'urf 'amaliy. 1. 'Urf Lafdzi, adalah menggunakan kata-kata atau susunan kata-kata yang masyhur dikalangan masyarakat, untuk menunjukkan arti tertentu, sekiranya kata itu diucapkan, maka tanpa dijelaskan dan tanpa berfikir panjang, semua orang dengan mudah bisa memahami maksud dari pengucapan. Contohnya; penggunaan kata "pamali" pada masyarakat sunda. 2. 'Urf 'amaliy, adalah kebiasaan masyarakat dalam melaksanakan rutinitas seharihari, atau kebiasaan dalam melakukan interaksi kepentingan diantara mereka. Contohnya; makan, minum, berpakaian, berkendaraan dll.
3
D. QAIDAH FURU' Pertama: " Apa yang dilakukan oleh masyarakat secara umum, bisa dijadikan dalil (hujjah) yang wajib diamalkan" Adat yang dilakukan oleh masyarakat secara umum bisa dijadikan dalil (hujjah) oleh masyarakat secara umum pula. Begitu pula menurut sebagian ulama, apa yang dilakukan dan disepakati oleh masyarakat secara mnyeluruh disuatu daerah, maka bisa dijadikan dalil hukum di wilayah tersebut, selama tidak bertentangan dengan syar'I. Misalnya: apabila seseorang diberikan makanan yang diletakkan diatas piring, maka ia wajib mengembalikan piring tersebut. Kedua: " Al-'adat yang diperhitungkan (oleh syar'i) hanyalah apabila berlaku dan umum" Al-'adat/ 'urf agar dapat diterima oleh syar'I dan bisa mempengaruhi hukum harus berlaku secara umum dan menyeluruh. Sebagai contoh: jual beli buah beserta pohonnya.
Ketiga: " Setiap perkara yang dikemukakan oleh syar'I (dengan secara mutlak), namun tidak ada pembatasan didalamnya, baik secara syar'i sendiri atau secara bahasa, maka perkara tersebut harus dikembalikan kepada 'urf" Aplikasi dari kaidah ini: Membagi ongkos (gaji) kerja dengan dua kali pembayaran. Seberapa besar kadar pembagiannya dan seberapa lama tenggat waktunya, jika hal itu tidak disebutkan ketika akad, maka dikembalikan kepada 'urf. Keempat: " Sesuatu yang sudah diketahui secara umum hukumnya sama dengan syarat yang disyaratkan" Misalnya: Seorang pembeli pada saat melakukan transaksi hanya mengatakan " saya mau membeli mobil anda", tanpa menjelaskan perangkat atau fasilitas dari mobil yang akan dibeli maka ucapan semacam itu telah termasuk kedalamnya. Kelima: " Sesuatu yang ditentukan oleh kebiasaan umum, sama dengan sesuatu yng ditentukan oleh dalil nash" Contohnya: memanfaatkan atau memakai barang-barang yang disewa, dipinjam atau dititipkan, yang tidak dijelaskan pada waktu akad. Maka boleh dan tidaknya pemanpaatan atas barang tersebut dikembalikan pada adapt kebiasaan yang berlaku. Keenam: " Sesuatu yang sudah diketahui oleh kalangan pedagang adalah sama dengan sesuatu yang disyaratkan dikalangan mereka" Sebenarnya aplikasi dari Qaidah ini tidaklah jauh berbeda dari Qaidah sebelumnya, hanya saja menurut Al-Zarqa Qaidah ini lebih terfokus pada adat komunitas pedagang. Misalnya: seorang pedagang menjual dagangan, dan kebiasaan yang berlaku disana adalah pembayaran suatu barang tidak dengan kontan.
4
Ketujuh: " Tidak bisa dipungkiri bahwa berubahnya hukum, disebabkan berubahnya zaman" Contohnya: Memungut upah dari amal ibadah yang pada awalnya tidak diperbolehkan berubah menjadi diperbolehkan, misalnya memperbolehkan memungut gaji bagi orang yang mengajar al-Qur'an.
5
DAFTAR PUSTAKA Abbas, A. Sudirman, Dr., MA., Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh. 2004. Jakarta; Pedoman Ilmu Jaya Khallaf, A. Wahab, Prof., Dr., Kaidah-kaidah Hukum Islam. 1996. Jakarta; Raja Grafindo Utama
6