PROSIDING SEMINAR NASIONAL ENERGI HAYATI SEBAGAI SOLUSI KRISIS ENERGI: PELUANG DAN TANTANGANNYA DI INDONESIA SURAKARTA, 8 APRIL 2006
KETUA PANITIA:
DR. SUGIYARTO, M.SI.
JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNS SURAKARTA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL ENERGI HAYATI SEBAGAI SOLUSI KRISIS ENERGI: PELUANG DAN TANTANGANNYA DI INDONESIA SURAKARTA, 8 APRIL 2006
ii
DAFTAR ISI SEMINAR NASIONAL “ENERGI HAYATI SEBAGAI SOLUSI KRISIS ENERGI; PELUANG DAN TANTANGANNYA DI INDONESIA” SURAKARTA 8 APRIL 2006 SAMBUTAN KETUA PANITIA MAKALAH UTAMA 1. Makalah Kunci: Prospek Pemanfaatan Kekayaan Hayati sebagai Sumber Energi Utama Masa Depan oleh Prof. Dr. Ir. Martin Djamin, M.Eng (Staf Ahli Menteri Riset dan Teknologi RI/Peneliti BPPT) 2. Makalah I: Prospek Pengembangan Industri Biodiesel di Indonesia Ditinjau dari Aspek Ilmiah dan Bisnis oleh Dr. Ir. Tatang Hernas Soerawidjaja (Ketua Forum Biodiesel Indonesia/Staf Pengajar Departemen Teknik Kimia ITB) 3. Makalah II: Kebijakan Pertamina dalam Pengembangan Biodiesel oleh Ir. Mutia Ekasari (PT PERTAMINA) 4. Makalah III: Potensi dan Kendala Pemanfaatan Limbah Industri Kelapa Sawit untuk Sumber Energi Hayati oleh Dr. Siswanto, DEA APU (Peneliti BPBPI Bogor) 5. Makalah IV: Menggagas Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan Komoditas Tanaman Sumber Energi di DAS Solo oleh Dr. Ir. Harry Santosa (Direktur Pengelolaan DAS Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutaan, Departeman Kehutanan RI) 6. Makalah V: Merintis Pemanfaatan Bahan Organik sebagai Sel Surya di Daerah Tropis, Kendala dan Harapan ke Depan oleh Dr. Ir. Ari Handono Ramelan, M.Sc (Peneliti Sel Surya; Pengajar Jurusan Fisika FMIPA UNS) 7. Makalah VI: Keanekaragaman Hayati Indonesia dan Pemanfaatannya untuk Sumber Energi oleh Prof. Drs. Sutarno, M.Sc.Ph.D (Penelitia Biodiversitas/ Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNS) MAKALAH PENUNJANG 1. Fermentasi Etanol dari Pati Singkong oleh Saccharomyces cerevisiae yang dikokultur dengan Rhizopus oryzae oleh Tjahjadi Purwoko, M.Si (Jurusan Biologi FMIPA UNS) 2. Fotodegradasi Fenol dengan Katalis Titanium Oksida dan Titanium Silikat Mesopori-Mesostruktur oleh Hari Sutrisno, Retno Arianingsih dan Ariswan (Jurusan Kimia FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta)
iii 1
9
16 20
24
30
38
43
47
iii
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Identifikasi Asam Lemak Hasil Hidrolisis Asam Klorida pada Berbagai Metode Preparasi Minyak dari Biji Jarak Pagar (Ricinus communis Linn.) oleh Padmono Citroreksono, Rizal Alamsyah, & Djumhawan Ratman Permana (Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI, Cibinong-Bogor) Pembuatan Bahan Bakar Biodiesel dari Minyak Jarak; Pengaruh Suhu dan Konsentrasi KOH pada Reaksi Transesterifikasi Berbasis Katalis Basa oleh Triana Kusumaningsih, Pranoto, dan Ragil Saryoso (Jurusan Kimia FMIPA UNS Surakarta) Biodisel yang Harus Dikembangkan dan Upaya-upaya yang Perlu Dilakukan Pemerintah untuk Mendorong Pemanfaatannya di Indonesia oleh Hendrawan Abdillah (Mahasiswa UGM Yogyakarta) Identifikasi Potensi Produksi Biogas dari Limbah Cair Tahu dengan Menggunakan Reactor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) oleh Wagiman (Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM Yogyakarta) Pemanfaatan Energi Hayati dalam Pembuatan Genteng dan Bata di Desa Pejaten, Kediri, Tabanan-Bali oleh I Dewa Putu Darma & Siti Fatimah Hanum (Kebun Raya Eka Karya Bali) Studi Pemanfaatan Proses Biokonversi Sampah Organik sebagai Alternatif Memperoleh Biogas oleh Agung Nugroho Catur Saputro, Sri Yamtinah, Budi Utami, & Lina Mahardiani (P. Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta)
MAKALAH POSTER 1. Fermentasi Tepung Ganyong (Canna edulis Ker.) untuk Produksi Etanol oleh Aspergillus niger dan Zymomonas mobilis oleh Susanti Eni Purwantari, Ari Susilowati, Ratna Setyaningsih (Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta) 2. Fermentasi Etanol Sari Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) oleh Zymomonas mobilis dengan Penambahan Urea oleh Etrin Sapariantin, Tjahjadi Purwoko, Ratna Setyaningsih (Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta) 3. Fermentasi Etanol dari Limbah Padat Tapioka (Onggok) oleh Aspergillus niger dan Zymomonas mobilis oleh Siti Juariah, Ari Susilowati, Ratna Setyaningsih (Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta) 4. Fermentasi Etanol dari Ubi Jalar (Ipomoea batatas) oleh Kultur Campuran Rhizopus oryzae dan Saccharomyces cerevisiae oleh Dian Aryani, Tjahjadi Purwoko, Ratna Setyaningsih (Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta) 5. Energi Alternatif FAME 818 (Biodiesel) oleh Immanuel Sutarto (PT Eterindo Wahanatama Tbk. Jakarta)
iv
51
57
64
72
77
84
90
95
101
107
113
SAMBUTAN KETUA PANITIA
Energi dapat diibaratkan sebagai ‘ruh’ dari ekosistem bumi beserta seluruh komponenkomponennya, termasuk manusia. Semakin terbatasnya energi sebagai penopang keberlanjutan kehidupannya, maka semakin besar upaya yang dilakukan untuk mengantisipasinya. Pada hakekatnya manusia diberi ‘amanah’ untuk menjaga kelestarian ekosistem bumi ini. Hal inilah yang menyebabkan munculnya gejolak sosial yang luar biasa ketika terjadi krisis energi, terutama yang berasal dari bahan bakar minyak (BBM). Harga BBM yang selalu naik dan terjadinya krisis energi sebenarnya hanyalah suatu akibat dari ‘kesalahan paradigma’ yang digunakan manusia selama ini, terutama setelah dimulainya eksploitasi sumberdaya alam berupa fosil (sebagai bahan baku BBM) secara besar-besaran untuk berbagai kepentingan kehidupan manusia. Fosil sebagai ‘deposit’ energi di bumi yang berstatus sebagai ‘unrenewable resources’ telah dianggap sebagai sumber energi utama, sedangkan sumber energi lainnya yang umumnya berstatus ‘renewable resources’ dianggap sebagai sumber energi alternatif. Agar tidak terjadi kesalahan yang ke-sekian kalinya, sudah saatnya manusia mengubah paradigma energi: fosil sebagai sumber energi alternatif, dan sumber energi lainnya sebagai sumber energi utama. Di negara-negara tropis, termasuk Indonesia, kekayaan sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai sumber energi jumlahnya luar biasa. Selain memiliki keragaman dan kekayaan sumber energi non-hayati, misalnya panas bumi, angin, ombak dan sinar matahari
yang melimpah, Indonesia juga termasuk negara ‘megabiodiversity’ terbesar ketiga yang berfungsi sebagai ‘lumbung energi hayati’. Sumberdaya hayati (biomassa) selain berfungsi sebagai penyimpan energi, juga dapat difungsikan sebagai agen untuk menangkap, mengatur dan meningkatkan efisiensi sumber energi non-hayati lainnya. Kelebihan utama sumberdaya hayati sebagai sumber energi adalah sifatnya yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga manusia dapat mengelolanya sesuai dengan kebutuhan. Penelitian-penelitian maupun aplikasi pemanfaatan energi hayati untuk berbagai kepentingan hidup manusia sudah dimulai sejak lama, namun ‘pamor’ dan gaungnya sangat rendah. Produksi biogas, bioethanol dan biodiesel dalam skala industri menengah dan besar sudah dirintis dan mulai mendapatkan pasar yang mapan. Industri-industri yang menggunakan bahan baku bahan organik, misalnya kelapa, kelapa sawit, tapioka, gula dan sebagainya, juga intensif menggalang kemitraan untuk mengolah limbahnya agar menjadi produk berguna, termasuk biogas dan biodiesel. Teknologi biomembran juga sudah menjadi pilihan untuk peningkatan efisiensi produksi pada berbagai perusahaan. Terakhir juga sudah dikenal dan mulai dilakukan penelitian secara intensif tentang penggunaan bahan organik tumbuhan sebagai ‘solar sel’ yang diharapkan dapat digunakan sebagai penangkap energi surya secara langsung secara berkelanjutan. Banyak faktor yang berpotensi menjadi kendala dalam peningkatan pemanfaatan energi hayati, baik dari aspek politis, kelembagaan, ekonomis, sosial-budaya, teknis hingga dasarv
dasar ilmiahnya. Kepedulian pemerintah untuk memberikan arah kebijakan dan prioritas program yang tepat dalam hal ini masih jauh dari harapan yang pada gilirannya akan berpengaruh sangat dominan pada tatanan/sistem perokonomian dan sosial budaya masyarakatnya. Kesiapan lembaga-lemabaga terkait, baik sebagai produsen maupun distributor dan konsumen perlu dipetakan dan ditingkatkan koordinasinya. Penguasaan IPTEK tentang energi hayati masih perlu ditingkatkan, baik dari penguasaan ilmu dasar, teknologi proses produksi maupun penggunaanya, termasuk pengembangan rancang bangun untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas seoptimal mungkin. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diperlukan peningkatan upaya penyebaran-luasan informasi (sosialisasi) penggunaan energi hayati sebagai sumber energi utama yang berkelanjutan, terutama di daerah tropis. Guna memberikan informasi yang utuhmenyeluruh (‘comprehenships’), sosialisasi perlu dilakukan dari berbagai sudut pandang dan
vi
kepentingan mulai dari hulu sampai hilirnya. Untuk itu maka pada “Seminar Nasinal Energi Hayati sebagai Solusi Krisis Energi; Peluang dan Tanatangannya di Indonesia” ini diundang pembicara-pembicara utama dari instansi pemerintah, akademisi dan praktisi serta pembicara-pembicara penunjang yang terdiri dari para peneliti, praktisi maupun pengguna energi hayati. Seminar Nasional ini bertujuan untuk: (1) menyampaikan informasi perkembangan IPTEK di bidang energi hayati terkini dan arah kebijakan pemerintah terkait energi; (2) menjalin kerjasama antar lembaga untuk peningkatan ‘pamor’ energi hayati; dan (3) sosialisasi/promosi produk-produk energi hayati bagi para pengguna.
Surakarta, 8 April 2006 Ketua Panitia,
Dr. Sugiyarto, M.Si.
PROSPEK PEMANFAATAN KEKAYAAN HAYATI SEBAGAI SUMBER ENERGI MARTIN DJAMIN Staf Ahli Menristek Bidang Energi Alternatif dan Terbarukan. www.ristek.go.id
LATAR BELAKANG • • • • • • •
•
PROVED OIL RESERVES AT END 2004
Cadangan energi fosil terbatas Kebutuhan meningkat, cadangan menipis Indonesia sudah menjadi net oil importer Harga minyak mentah meningkat Tahun 2002 konsumsi minyak diesel Indonesia 24.2 jut kl, 40% impor Tahun 2005 kebutuhan premium 16,05 juta kl Pencemaran udara akibat kendaraan bermotor : Kontribusi NOx sekitar 30%; Kontribusi CO dan HC lebih dari 90% Indonesia kaya dengan sumber hayati
POTENSI ENERGI NASIONAL 2004
PROYEKSI KEBUTUHAN ENERGI NASIONAL
DISTRIBUTION OF PROVED (OIL) RESERVES 1984,1994, 2004 Source: Markal Study, BPPT June 2005
PROYEKSI KEBUTUHAN ENERGI PER SECTOR
Source: Markal Study, BPPT June 2005
1
• • •
Kebutuhan energi didominasi oleh sektor kelistrikan dan transportasi Sektor Transportasi dan Rumahtangga akan meningkat 3 kali Indikasi penting: sektor kelistrikan akan meningkat 5 kali pada tahun 2025
RENEWABLE ENERGY RESOURCES
PROYEKSI NERACA MINYAK BUMI
Source: DGEEU-Directorate General for Electricity and Energy Utilization * By the Year 2003 ** Green Energy Policy Document-DEMR Department of Energy and Mineral Resources *** National Energy Management Blueprint (BPPEN) 2005-2025, DEMR
MAJOR GOALS OF NATIONAL ENERGY POLICY BAURAN ENERGI UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
• • • • • • •
Pengurangan/pencabutan subsidi Rasionalisasi harga energi Ratio kelistrikan 90% pada tahun 2020 Peningkatan share EBT (especially geothermal, biomass and micro/mini hydro) Peningkatan pemanfaatan batubara termasuk yang berkualitas rendah Perbaikan efisiensi energi Peningkatan local content, termasuk SDM
ALTERNATIF BIOENERGI
2
BIOMASS CONVERSION
REFINING AND PROCESSING TECHNOLOGY ENGINEERING CENTER BPPT
TANAMAN YANG BERPOTENSI UNTUK BIOFUEL (> 50 SPESIES)
TECHNOLOGY STATUS
•
•
•
•
Tanaman Pangan • Leguminosa (a.l. kedelai, kacang tanah) • Umbi-umbian (a.l. singkong, ubi jalar) • Biji-bijian (a.l. jagung, tan. serealia, bunga matahari) Tanaman Perkebunan • Palma (a.l. kelapa, k. sawit, sagu) • Tebu Tanaman Non-Pangan • Jarak pagar (Jatropha curcas L.) • Jarak kepyar • Kapuk randu
BIODISEL (METHYL ESTER) Adalah bahan bakar cair yang diformulasikan khusus untuk mesin diesel, terbuat dari minyak hayati, tanpa perlu modifikasi mesin. Pemakaian Biodiesel dapat digunakan 100% (pure Biodiesel) sebagai Bahan Subsitusi pada petrodiesel maupun campuran 5-20%.
•
Important Milestones o Construction of Biodiesel Plants with capacities of 1.5 tons/day (batch) and 3 tons/day (continuous in Puspiptek Serpong o Construction of 8 tons/day continuous biodiesel Plant in Riau is projected on line in 2006. o Those Biodiesel Plants designed to produce standard quality Biodiesel o Feed stock : CPO base oils and other various plant oils Future Work o Engineering Design of Biodiesel Commercial Plant cap. 30.000 ton/year o Further Testing of Biodiesel performance at various blends
BIODIESEL DEVELOPMENT
1.5 Tons/day Prototype Plant
3
ROAD TEST • •
Sosialisasi Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif minyak diesel Gambaran umum performance mesin diesel : o Emisi (Regulasi dan Non regulasi) o Fuel Consumption o Power dan Torsi o Efek terhadap minyak pelumas o Efek terhadap ketahanan Mesin
ROAD TEST I (2002) TOYOTA KIJANG LX 2.5 L (2001) JAKARTA-PEKANBARU, 5000 KM
UJI EMISI
KESIMPULAN ROAD TEST I • • •
Biodiesel dapat menurunkan emisi gas buang secara signifikan Biodiesel merupakan bahan bakar yang cukup efisien Perlu dilakukan pengujian yang lebih detail dalam emisi, performa, dan rating/metrologi kompenen mesin
ROAD TEST II PADA 23 BUS BPPT
HASIL UJI SMOKE NUMBER
KESIMPULAN ROAD TEST II • • •
4
Hasil uji emisi menunjukkan penurunan yang nyata Hasil quisioner pada pengemudi menunjukkan hasil positif Penggunaan Biodiesel pada Bis BPPT telah dilanjutkan dan menjadi program BPPT
ROAD TEST III 2004 ISUZU PANTHER LV 2.5 L (2004) JAWA-BALI 20.000 KM PROPERTY TEST
Pengujian kendaraan pada chassis dynamometer, meliputi pengukuran torsi, daya, konsumsi bahan bakar, dan emisi regulasi (EURO II). Dilakukan pada 0 km dan 20.000 km. ROAD TEST 20.000 KM
Note: Acceptable Value is taken from ASTM Standards for Biodiesel and Pertamina Diesel Oil Specification
ROAD TEST 20.000 KM CHASSIS DYNAMOMETER
Piston condition after 20.000 km. Rating scale : 8 - 9
70
15.0
65
14.0
60 13.0 55
P ow er (kW )
45
11.0
40
10.0
35
Torq ue (kg.m )
12.0 50
9.0 30 8.0 25 7.0
20 15 500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
6.0 4500
Engine Speed (rpm) ADO Power 0 km ADO Torque 0 km
B30 Power 0 km B30 Torque 0 km
Engine Power and Torque, 0 km
5
ROAD TEST 20.000 KM KONSUMSI BAHAN BAKAR DI CHASSIS DYNAMOMETER
PRODUCT TESTING BTMP - BPPT
450
50
400
45
350
40
300
35
250
30
200
25
150
20 500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
Spec. Fuel Consump., SFC (gr/kW.hr
Thermal Efficiency, TE (%)
Konsumsi bahan bakar dan efisiensi termal jarak 20.000 km 55
100 4500
Engine Speed (rpm) TE Solar 20rb km
TE B30 20rb km
SFC Solar 20rb km
SFC B30 20rb km
ROAD TEST 20.000 KM
Balai Termodinamika dan Motor Propulsi (BTMP) of BPPT is focusing its work on diesel engine bench and non-stationary operation tests for performance and emissions of biodiesel.
Uji emisi
Uji Kebisingan, tidak terdapat perubahan yang signifikan
6
• • • •
Torque and Power Fuel consumption Noise Emission
PENGEMBANGAN SELANJUTNYA 2006-2007 Desain enjiniring pabrik biodiesel kap. 30.000 ton/year
• • •
Process Research and Optimization Road Test Socialization & Commercialization
BAHAN BAKU BIO-ETHANOL •
•
Artist Drawing: Biodiesel Plant Cap. 30.000 ton/year
INTEGRATED BIODIESEL PLANT
•
Starch contained materials: Sorghum grains (corn, cantel), hanjeli, sago, sweet potato, cassava/gaplek (dried cassava), ganyong, garut), dahlia tuber. Sugar contained materials: nira (sap) and sugar cane plants, sap of nipa palm, sap of sweet sorghum, essence of cashew, sap of siwalan, sap of sugar palm. Cellulose contained materials (ligno cellulose): wood, straw, bark of banana tree, bagas, etc.
ANHYDROUS ETHANOL • •
•
Ethyl Alcohol : CH3CH2OH or C2H5OH Secara kimiawi: senyawa hidrokarbon berupa larutan jernih tak berwarna, dengan bau yang dapat diterima, merupakan gugus hydroxyl (-OH) dengan 2 atom karbon (C) Anhydrous;tidak mengandung air. mengacu pada alkohol yang telah di-dehidrasi supaya tidak mengandung air, untuk keperluan khusus, termasuk bahan bakar
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI BIOETANOL (BPPT, LIPI, SWASTA)
PRODUKSI BIOETANOL DI INDONESIA
7
→ Semuanya menggunakan bahan baku tetes tebu: 650.000 ton/th. Etanol yang diproduksi adalah technical grade dan raw spirit (high impure ethanol) 95-96 % v/v
100KG/HR BIO-OIL PILOT PLANT
ROAD TEST BIOETHANOL (GASOHOL)
Description PH Viscosity [cP] Density [kg/m³] Heating Value [MJ/kg]
Literature 2.8-3.8 25-1000 1110-1250 15-35
Assessment 4.2 59 1124 30-32
BTG 2.8 29 1168 17-19
SASARAN PENGEMBANGAN ENERGI TERBARUKAN Jenis Energi
Satuan 2010
Kilo liter Kilo Gasohol liter Kilo Bio oil liter Panas bumi MW Angin MW Surya MW Mikrohidro MW Biodiesel
2015
2020
720.000 1.500.000 550.000 850.000
4.700.000 1.500.000
400.000 700.000 3.442 24,8 169
4.600 25,6 50,4 298
2025
900.000 6.000 67,5 488
9.500 255 78,6
BIO-OIL •
•
Directly from the crops producing vegetable oil: palm oil, jatropha oil, coconut oil - straight vegetable oil to replace or mix diesel oil - alternative fuel for cooking to replace or mix kerosene Indirectly be produced from biomass waste such as rice husk, coconut shell, bagasse by using the technology of fast pyrolysis - alternative fuel for steam generation or heating to replace fuel oil (heavy oil) - replace or mix kerosene
ACTION PLAN SAMPAI TAHUN 2010 •
•
• •
8
25 unit pabrik biodiesel harus dibangun dibeberapa tempat yang berbeda, dan tergantung ketersediaan bahan baku (misal CPO di Sumatra, Jatropha curcas di NTT & NTB, kelapa di Sulawesi). Setiap pabrik mempunyai kapasitas rata-rata 30,000 ton per tahun. 25 pabrik bioethanol harus dibangun di berbagai provinsi dengan kapasitas masingmasing 60 kilolitres per hari. 91.000 ha perkebunan singkong akan menyerap 650,000 tenaga kerja 30 pabrik bio-oil dengan kapasitas produsi 30 ton/jam harus dibangun didekat pabrik CPO yang mempunyai kapasitas produksi 30-90 ton/jam.
PROSPEK DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BIODIESEL DI INDONESIA TATANG HERNAS SOERAWIDJAJA Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, dan Ketua Forum Biodiesel Indonesia
BIODIESEL • • •
• • • •
Bahan bakar mesin diesel yang berupa ester metil/etil asam-asam lemak. Dibuat dari minyak-lemak mulus (≡ minyak goreng) dengan proses metanolisis/ etanolisis. Atau dari asam lemak bebas (≡ produk samping pemulusan minyak-lemak) via proses esterifikasi dgn metanol/etanol. Kompatibel dengan solar, berdaya lumas lebih baik. Berkadar belerang hampir nihil,umumnya < 15 ppm. BXX = camp. XX%-vol biodiesel dengan (100XX)%-vol solar. Contoh: B5, B20, B100. Sudah efektif memperbaiki kualitas emisi kendaraan diesel pada level B2 !.
Biodiesel dapat menjadi unggul bagi solar !.
JIKA TARGET PEMANFAATAN BIODIESEL ≡ 720.000 KL PADA TAHUN 2009 (2% DARI KONSUMSI NASIONAL SOLAR), MAKA: •
•
• •
MENGAPA INDONESIA MEMERLUKANNYA? •
•
•
• •
Seiring dengan kian langkanya minyak bumi, harga sejati Bahan Bakar Minyak (BBM) makin tinggi. Indonesia sudah mengimpor solar ≈ 7 milyar liter/tahun (≈ 30% kebutuhan nasional) !. Æ Keterjaminan penyediaan solar di dalam negeri kian rawan. Negara ini kaya dengan sumber bahan mentah biodiesel: o Salah satu penghasil minyak sawit dan kelapa terbesar di dunia (2 tumbuhan minyak paling produktif). o Memiliki puluhan tumbuhan penghasil minyak-lemak yang belum termanfaatkan dengan baik (paling potensial: jarak pagar, kapok/randu, malapari). Negara tropik kita ini juga berkawasan darat relatif amat luas. Teknologi produksi biodiesel relatif tidak rumit. Perangkat lunak dan kerasnya mudah dikembangkan & dikuasai bangsa kita.
pensubstitusi
Sekitar 25 pabrik biodiesel berkapasitas ratarata 30 ribu m3/tahun harus sudah berproduksi pada tahun itu. Jika diandaikan bahan mentahnya minyak sawit, akan dibutuhkan ≈ 650.000 ton CPO; ini dihasilkan dari 210 ribu ha kebun sawit. Î 70 ribu tenaga kerja di perke-bunan + 5000 orang di produksi CPO + biodiesel. Jika 1 pekerja menanggung 3 anggota keluarga, maka 225 ribu orang dapat ‘terhidupi’. Impor 720.000 kL solar dapat dihindarkan; → menghemat 288 juta US$ devisa (asumsi harga solar di pasar curah = US$0.40/liter).
BAHAN MENTAH UTAMA/TULANG-PUNGGUNG? •
•
•
•
Mestinya adalah minyak-lemak non-pangan: jarak pagar, kapok/randu, malapari, nimba, nyamplung, dan lain-lain. Yang paling potensial/populer sekarang, jarak pagar (Jatropha curcas); produktif, dapat di lahan kering. Pada kondisi normal, minyak-lemak pangan (sawit, kelapa, kacang, dan lain-lain.) tak akan dapat bersaing, karena harga minyaklemak mentahnya lebih ditentukan oleh permintaan dari sektor pangan (harga tinggi, karena pangan ≡ kebutuhan paling vital). Tetapi industri biodiesel dapat menjadi pendukung keuletan daya saing industri minyak pangan nasional, menampung surplus minyak-lemak pangan di kala pasokan melonjak tinggi di atas permintaan.
9
Tabel 1. Tumbuhan Indonesia penghasil minyak-lemak. Nama
Nama Latin
Sumber
Kadar,%-b kr
P / NP
Ricinus communis Jarak kaliki Biji (seed) 45-50 NP Jatropha curcas Jarak pagar Inti biji 40-60 NP Arachis hypogea Kacang suuk Biji 35-55 P Ceiba pentandra Kapok/randu Biji 24-40 NP Hevea brasiliensis Karet Biji 40-50 NP Psophocarpus tetrag. Kecipir Biji 15-20 P Cocos nucifera Kelapa Daging buah 60-70 P Moringa oleifera Kelor Biji 30-49 P Aleurites moluccana Kemiri Inti biji (kernel) 57-69 NP Sleichera trijuga Kusambi Daging biji 55-70 NP Azadirachta indica Nimba Daging biji 40-50 NP Adenanthera pavonina Saga utan Inti biji 14-28 P Elais guineensis Sawit Sabut + Dg buah 45-70 + 46-54 P Hodgsonia macrocarpa Akar kepayang Biji P ≈ 65 Persea gratissima Alpukat Dg buah 40-80 P Theobroma cacao Cokelat Biji 54-58 P Samadera indica Gatep pait Biji NP ≈ 35 Sterculia foetida Kepoh Inti biji 45-55 NP Madhuca mottleyana Ketiau Inti biji 50-57 P Pongamia pinnata Malapari Biji 27-39 NP Callophyllum inophyllum Nyamplung Inti biji 40-73 NP Bombax malabaricum Randu alas/agung Biji 18-26 NP Madhuca utilis Seminai Inti biji 50-57 P Xanthophyllum lanceatum Siur (-siur) Biji 35-40 P Shorea stenoptera Tengkawang tungkul Inti biji 45 -70 P Isoptera borneensis Tengk. terindak Inti biji 45 -70 P Sesamum orientale Wijen Biji 45-55 P Ximenia americana Bidaro Inti biji 49-61 NP Cerbera manghas/odollam Bintaro Biji 43-64 NP Gmelina asiatica Bulangan Biji ? NP Croton tiglium Cerakin/Kroton Inti biji 50-60 NP Hernandia peltata Kampis Biji ? NP Aleurites trisperma Kemiri cina Inti biji ? NP Cucurbita moschata Labu merah Biji 35-38 P Madhuca cuneata Mayang batu Inti biji 45-55 P Mesua ferrea Nagasari (gede) Biji 35-50 NP Pepaya Carica papaya Biji 20-25 P Nephelium mutabile Pulasan Inti biji 62-72 P Nephelium lappaceum Rambutan Inti biji 37-43 P Annona muricata Sirsak Inti biji 20-30 NP Annona squamosa Srikaya Biji 15-20 NP Hibiscus cannabinus Kenaf Biji 18-20 NP Hibiscus esculentus Kopi arab (Okra) Biji 16-22 NP Hibiscus sabdariffa Rosela Biji NP ≈ 17 Cinnamomum burmanni Kayu manis Biji P ≈ 30 Oryza sativa Padi Dedak P ≈ 20 Zea Mays Germ Jagung P ≈ 33 Litsea sebifera Tangkalak Biji P ≈ 35 Taractogenos kurzii ? Inti biji 48-55 NP Vernonia anthelmintica Kursani Biji NP ≈ 19 Keterangan: kr ≡ kering; P ≡ minyak/lemak Pangan (edible fat/oil), NP ≡ minyak/lemak Non-Pangan (nonedible fat/oil). ⊗ Hanya beberapa dari puluhan tumbuhan ini (misalnya: sawit, kelapa, kacang suuk) sudah termanfaatkan sebagai sumber komersial minyak/lemak !.
10
Tabel 2. Produktifitas berbagai sumber minyak-lemak nabati Nama Indonesia Sawit Kelapa Alpokat K. Brazil K. Makadam Jarak pagar Jojoba K. pekan Jarak kaliki Zaitun Kanola Opium
Nama Inggris Oil palm Coconut Avocado Brazil nut Macadamia nut Physic nut Jojoba Pecan nut Castor Olive Rapeseed Poppy
Nama Latin Elaeis guineensis Cocos nucifera Persea americana Bertholletia excelsa Macadamia ternif. Jatropha curcas Simmondsia califor. Carya pecan Ricinus communis Olea europea Brassica napus Papaver somniferum
kg-/ha/thn 5000 2260 2217 2010 1887 1590 1528 1505 1188 1019 1000 978
KEKONTRASAN SISTEM PRODUKSI DAN PASOKAN SOLAR DENGAN BIODIESEL
Setiap kabupaten di Indonesia dapat memiliki pabrik biodiesel untuk memasok kebutuhannya sendiri !. Sembarang surplus atau minyak ‘off-spec’ dari industri minyak-lemak pangan dapat ditampung oleh industri biodiesel !.
Prospek lain: peningkatan kesejahteraan rakyat banyak via pengem-bangan UKM-UKM pemasok minyak-lemak mentah 11
Jika koperasi petani memiliki sendiri unit pemerah (+ ekstraksi) minyak, bungkil dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan biogas (bahan bakar lokal) dan unsur hara (anorganik) dikembalikan untuk melestarikan daya dukung tanah.
Pembangkitan biogas dari bungkil memungkinkan produsen minyak-lemak mentah memaksimalkan penjualan produk tsb. (tidak menggunakan minyak-lemak mentah sebagai bahan bakar rumah-tangga pengganti minyak tanah).
Industri biodiesel berbasis IPTEK ≡ minimal mampu mencampur-campur aneka minyak-lemak (bahan mentah) guna menghasilkan biodiesel yang tepat memenuhi persyaratan standar kualitas/mutu. Æ ¾ Jadi akan juga mampu menampung minyak-lemak yang diperah/ diekstraksi dari biji-biji limbah industri makanan-minuman maupun biji-biji pohon penghias atau peneduh. Produksi minyak-lemaknya dapat menjadi lahan bisnis Usaha Kecil Menengah !. MANFAAT PEMASUKAN BIODIESEL KE DALAM LIQUID FUEL MIX DI INDONESIA • • • •
• 12
Mengurangi impor ADO (Automotive Diesel Oil). Menguatkan security of supply bahan bakar diesel. Memperbesar basis sumber daya bahan bakar cair. Mempertangguh struktur dan keuletan (resiliency) daya saing industri sawit dan kelapa dalam negeri. Meningkatkan kesempatan kerja.
• • • • •
Mengurangi ketimpangan pendapatan antar individu dan antar daerah. Meningkatkan kemampuan nasional dalam teknologi pertanian dan industri. Meningkatkan kemampuan dan volume produksi barang modal. Memupuk komoditi ekspor baru. Mengurangi kecenderungan pemanasan global dan pencemaran udara (bahan bakar ramah lingkungan).
•
KEBUTUHAN LAHAN UNTUK MENGHASILKAN 1 LITER BIODIESEL? • •
•
•
Sangat bergantung pada produktifitas tanaman minyak !. Untuk jarak pagar (belum ada budidaya dan riset ekstensif), 4 ton biji per hektar (sesudah tahun ke-4), 0,3 m3 minyak mentah per ton biji, 0,95 liter biodiesel per liter minyak mentah. Î ≈ 0,9 hektar/m3-biodiesel !. Untuk sawit (sudah ada budidaya dan riset ekstensif), 15-20 ton TBS per hektar (mulai tahun ke-4), 0,20-0,22 m3 minyak mentah, 0,95 liter biodiesel per liter CPO. Æ ≈ 0,3 hektar/m3-biodiesel (3 m2/liter-biodiesel) !. Afrika Selatan mentargetkan mencapai produktifitas 12 ton biji jarak pagar per hektar pada tahun 2012 !.
UPAYA MEREALISASIKAN PROSPEK: •
• •
•
HARGA? •
•
Jika harga eceran biodiesel jarak pagar Rp. 4300/liter (sama dengan harga solar PSO di SPBU-SPBU), harga minyak jarak pagar mentah Rp. 2800-3000 per liter, dan harga biji jarak kering Rp. 600-700 per kg. Produksi biodiesel dari CPO untuk penjualan di SPBU masih belum menarik bagi para pengusaha sawit, karena harga pasar (permintaan) CPO tak berbeda jauh dari Rp. 4300/liter (sekalipun harga pokok produksi CPO cukup jauh di bawah ini).
Tetapi produsen-produsen CPO kini berminat membuat biodiesel dari CPO untuk memenuhi kebutuhan sendiri, karena mereka harus membeli solar dengan harga ≈ Rp. 6000,- per liter (harga solar industri).
•
•
•
Tahun 2002: Forum Biodiesel Indonesia (FBI) dibentuk dan berpromosi ke DPR, Kementerian-Kementerian, dan GAIKINDO. Tahun 2003, menyusun peta aneka kegiatan ke arah komersialisasi biodiesel di Indonesia. Berbagai lembaga litbang dalam negeri kemudian aktif dalam pembuatan biodiesel dan pengujiannya pada mesin. Dilakukan demonstrasi penggunaan rutin B5 dan B10 pada kendaraan pribadi maupun instansi dan road-test jarak jauh; hasilhasilnya memuaskan. 2005: DJLPE-DESDM melakukan sosialisasi penggunaan B10 pada kendaraan dinas DESDM, bus-bus Perum DAMRI, dan mobilmobil anggota FBI. Standar mutu biodiesel disiapkan dan diajukan. Kini sudah disahkan Kepala BSN (tanggal 22 Februari 2006). Biodiesel Technology Roadmap 2005-2025 disusun dan disertakan ke dalam Cetak-biru Pengelolaan Energi Nasional DESDM.
PETA ANEKA KEGIATAN KE ARAH KOMERSIALISASI BIODIESEL DI INDONESIA Komersialisasi
Demonstrasi Skala Besar (Eksis 1-3 SPBU Penjualan)
Pabrik Skala Demonstrasi
Demonstrasi Skala Kecil (1-5 Mobil)
Penelitian Skala Pabrik Percontohan
Teknologi Formulasi Biodiesel
Standar dan Metode Uji Resmi Biodiesel
Standar dan Metode Uji Tentatif Biodiesel Analisis Mutu dan Bench Test pada Mesin
PERUMUSAN STANDAR & METODE UJI BIODIESEL
PEMBENTUKAN PASAR
Penelitian Skala Laboratorium
PENEGAKAN TEKNOLOGI PRODUKSI BIODIESEL
Penelitian Eksplorasi dan Pengembangan Aditif
Budidaya dan Ekstraksi Minyak Non-Sawit yang Sudah Dikenal
Penelusuran/ Penemuan Kembali Tumbuhan Potensial yang Terlupakan
DIVERSIFIKASI BAHAN MENTAH
13
PERSYARATAN MUTU BIODIESEL DI INDONESIA (SNI-04-7182-2006) Parameter dan satuannya Massa jenis pada 40 oC, kg/m3 Viskos. kinem. pd 40 oC, mm2/s (cSt) Angka setana Titik nyala (mangkok tertutup), oC Titik kabut, oC Korosi bilah tembaga (3 jam, 50 oC) Residu karbon (%-b), - dalam contoh asli - dalam 10% ampas distilasi Air dan sedimen,%-vol. Temperatur distilasi 90%, oC Abu tersulfatkan,%-b Belerang, ppm-b (mg/kg) Fosfor, ppm-b (mg/kg) Angka asam, mg-KOH/g Gliserol bebas,%-b Gliserol total,%-b Kadar ester alkil,%-b Angka iodium,%-b (g-I2/100 g) Uji Halphen
Batas nilai 850-890 2,3-6,0 min. 51 min. 100 maks. 18 maks. no. 3
Metode Uji ASTM D 1298 ASTM D 445 ASTM D 613 ASTM D 93 ASTM D 2500 ASTM D 130
Metode setara ISO 3675 ISO 3104 ISO 5165 ISO 2710 ? ISO 2160
maks. 0,05 (maks. 0,3)
ASTM D 4530
ISO 10370
maks. 0,05 maks. 360 maks. 0,02 maks. 100 maks. 10 maks. 0,8 maks. 0,02 maks. 0,24 min. 96,5 maks. 115 negatif
ASTM D 2709 ASTM D 1160 ASTM D 874 ASTM D 5453 AOCS Ca 12-55 AOCS Cd 3-63 AOCS Ca 14-56 AOCS Ca 14-56 dihitung AOCS Cd 1-25 AOCS Cb 1-25
? ? ISO 3987 prEN ISO 20884 FBI-A05-03 FBI-A01-03 FBI-A02-03 FBI-A02-03 FBI-A03-03 FBI-A04-03 FBI-A06-03
SNI-04-7182-2006 disusun dengan mengacu pada Standar-Standar Syarat Mutu Biodiesel Di A.S., Eropa, dan Australia serta memperhatikan kondisi Indonesia. Contoh: Persyaratan Uji Halphen hanya pada pada SNI-04-7182-2006, karena ada beberapa sumber daya khas Indonesia yang masih harus diteliti cermat.
ROADMAP TEKNOLOGI BIODIESEL (sesuai dengan Perpres No. 5 Tahun 2006)
Year Market
2005 - 2009
2010 -2015
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 2% Konsumsi Solar 720.000 kL
2016 - 2025
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 3% Konsumsi Solar 1.5 juta kL
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 5% Konsumsi Solar 4.7 juta kL
STANDARD BIODIESEL NASIONAL
Product
Technology
R&D
Biodiesel Sawit & Jarak Pagar
Commercial Plant Kapasitas 30.000 s/d 100.000 Ton/tahun
Biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar & tumbuhan lain
Teknologi Blending, (bio-) teknologi (ekses) gliserin
14
High/superior performance Biodiesel (angka setan tinggi, titik tuang rendah)
Biodiesel Sawit, Jarak Pagar, Tumbuhan lain. Etanol dari (ekses) gliserin
“High Performance Biodiesel Product Commercial Plant”
Commercial Plant Kapasitas > 100.000 Ton/tahun
Test Property, Performance & standarisasi
Plant Desain Enjiniring Test Property, Performance Dan standarisasi
Optimasi & Modifikasi Desain plant Teknologi Pembuatan aditif
Sumber : ESDM, 2005
SEBAGIAN BESAR BIODIESEL MENCAPAI KONSUMEN AKHIR DALAM BENTUK CAMPURAN DENGAN SOLAR (SAMPAI B10): •
Andaikan harga biodiesel = Rp6000,-/liter (dari minyak sawit mulus atau RBDPO; dari bahan mentah lain seperti jarak pagar akan lebih murah !). • Pada harga solar Rp4300/liter, maka harga B10 = (0,9 x Rp4300,- + 0,1 x Rp6000) = Rp4470/liter ≈ Rp4500/liter. • Masih dalam jangkauan promosi para pengusaha untuk ‘membujuk’ konsumen agar mau membelinya (kualitas lebih baik, emisi lebih bersih, produk dalam negeri, dan lain-lain). Renungkan perbedaan harga Pertamax dgn premium !. FBI (didukung oleh Kementerian Ristek, Pertanian, In-dustri, dan Perdagangan) mendesak pemerintah (cq Kementerian ESDM) menyatakan (1). B10 sebagai bahan bakar sah kendaraan diesel dan (2). Solar yang menjadi basis pembuatan B10 adalah solar bersubsidi/PSO.
•
BAHAN-BAHAN MENTAH NON-PANGAN PALING POTENSIAL: MINYAK2 JARAKPAGAR, KAPOK, DAN MALAPARI •
•
•
KEBIJAKAN BARU PEMERINTAH • •
•
•
Dipicu oleh kenaikan drastis harga minyak mentah tahun lalu. PerPres. No. 5/2006: pada 2025, bahan bakar hayati (biofuel) harus ≥ 5% dari pasokan total bahan bakar. InPres No. 1/2006: Menteri2 dan gubernur2 harus mendukung dan mempromosikan industri bahan bakar hayati domestik. Direktur Jenderal MIGAS baru-baru ini (17 Maret 2006) menerbitkan spesifikasi baru solar yang a.l. mengizinkan solar mengandung sampai 10%-volume biodiesel. Æ B2, B5, B10 dapat dijual di SPBU-SPBU. Æ ¾Gong awal peniagaan resmi sudah dipukul. Dunia usaha dapat memanfaatkannya !.
TANTANGAN-TANTANGAN SEKARANG: •
•
pada kapasitas-kapasitas kecil (≤ 15 ton/hari). Untuk mampu berkompetisi dengan teknologi luar negeri, perlu dibuktikan pada 100-400 ton/hari. Bahan-bahan mentah yang paling tersedia: minyak-minyak sawit, kelapa, dan inti sawit. Tetapi, ketiganya minyak pangan (tidak kompetitif jika permintaan dari sektor pangan sedang tinggi).
•
•
•
•
Minyak jarak pagar: Perkebunan baru dimulai; pasokan minyak belum ada. Bibit unggul belum ada. Teknik-teknik pembibitan dan budidaya relatif belum dikenal. Minyak kapok: sumber (beberapa perkebunan) ada, tetapi minyak kapok (dan biodiesel kapok) bereaksi positif terhadap uji Halphen. Bagaimana menanggulanginya (hidrogenasi dan lain-lain.)?. Minyak malapari (dari Pongamia pinnata/glabra): minyak mengandung pula bahan-bahan potensial untuk insektisida dan obat-obatan, tetapi pohon relatif tak dikenal oleh kebanyakan rakyat (India sudah mulai mengeksploitasinya). Teknik pembuatan biodiesel langsung dari (biji) sumber harus dikembangkan untuk memanfaatkan sumber yang mengandung ≤ 30% minyak (termasuk bungkil perahan). Dibutuhkan upaya kreatif untuk mengeksploitasi (hampir) semua sumber daya minyak nabati agar dapat dicampurkan dengan bahan-bahan mentah utama seperti minyak sawit, kelapa, dan jarak pagar. Contoh: kebanyakan biji yang dibuang industri sari buah (sirsak, jambu, pepaya, rambutan, dan lain-lain) mengandung cukup banyak minyak-lemak. Jika semua tantangan di atas dapat diatasi, industri biodiesel dapat membantu pembangunan ekonomi semua propinsi (pulau) di Indonesia.
Kebijakan baru pemerintah membuka lebar peluang bisnis, tetapi juga menyodorkan tantangan-tantangan teknologi. Teknologi domestik untuk memproduksi biodiesel sampai sekarang baru terbukti
15
KEBIJAKAN PERTAMINA DALAM PENGEMBANGAN BIODIESEL MUTIA EKASARI PT. Pertamina Jakarta
LATAR BELAKANG • • •
•
Tingginya harga minyak dunia Cadangan energi fosil terbatas Konsumsi bahan bakar yang semakin meningkat. Kebutuhan Solar Indonesia saat ini 65.000 kilo liter per hari atau 23,7 jt kilo liter per tahun (30 % import) Program Pemerintah Dalam Pemanfaatan Biodiesel
•
PENGEMBANGAN PROYEK BIODIESEL BERBAHAN DASAR MINYAK JARAK • • •
KEBIJAKAN PEMERINTAH • •
•
•
•
16
PERPRES No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional INPRES No. 1 Tahun 2006 Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain Menginstruksikan dan memberi tugas yang spesifik 1. Menko Perekonomian 2. Menteri ESDM 3. Menteri Pertanian 4. Menteri Kehutanan 5. Menteri Perindustrian 6. Menteri Perdagangan 7. Menteri Perhubungan 8. Meneg Ristek 9. Meneg Koperasi 10. Meneg BUMN 11. Menteri Dalam Negeri 12. Menteri Keuangan 13. Menteri LH 14. Gubernur 15. Bupati dan Walikota Road map biodiesel pada buku Blue Print Pengelolaan Energi Nasional yang dikeluarkan oleh ESDM Badan Standardisasi Nasional (BSN). Spesifikasi Biodiesel SNI 04-7182-2006 Tanggal 22 Pebruari 2006
Departemen ESDM (Dirjen Migas). Standar Dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Solar 48 dan minyak Solar 51 yang mengandung FAME maksimum 10 %
PT PERTAMINA (PERSERO) INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG (ITB) PT REKAYASA INDUSTRI Tanggal 18 Agustus 2005
PERJANJIAN POKOK: •
•
•
PT PERTAMINA (PERSERO) o Sebagai penyandang dana pembangunan pabrik. o Sebagai pembeli Biodiesel (B10). o Sebagai distributor Biodiesel (B10). PT REKAYASA INDUSTRI o Sebagai pengelola perkebunan dan o EPC kontraktor INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG o Sebagai Technology Licensor
PEMBANGUNAN AWAL PABRIK BIODIESEL PERTAMINA • • • • •
1 unit kapasitas 15.000 M3/hari Desain dibuat oleh PT Rekayasa Industri bersama Dit. Pengolahan Pertamina Lokasi Indramayu (berdekatan dengan kilang UP-VI Balongan) Rencana selesai pertengahan tahun 2007. Sosialisasi penyediaan lahan (pertanian dan pabrik) dan bibit dengan Bupati Indramayu, Subang dan Manajemen Pertamina UP VI Balongan.
•
•
•
PT Rekayasa Industri telah menanam pohon jarak pagar diatas lahan seluas 150 hektar (5,55%) di Indramayu dan pembibitan di Ciawi Lahan yang diperlukan 2700 hektar. Lokasi lahan yang tersedia : Subang : 400 hektar; Indramayu : 5000 hektar Pembangunan selanjutnya disesuaikan dengan perkembangan tersedianya bahan baku
Perbandingan harga BBM nonsubsidi MaretApril 2006 (Rp/liter)
Sumber: Pertamina. Ket. * transportasi, ** industri
ROADMAP TEKNOLOGI BIODIESEL (sesuai dengan Perpres No. 5 Tahun 2006)
Year Market
2005 - 2009
2010 -2015
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 2% Konsumsi Solar 720.000 kL
2016 - 2025
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 3% Konsumsi Solar 1.5 juta kL
Pemanfaatan Biodiesel Sebesar 5% Konsumsi Solar 4.7 juta kL
STANDARD BIODIESEL NASIONAL
Product
Technology
R&D
Biodiesel Sawit & Jarak Pagar
Commercial Plant Kapasitas 30.000 s/d 100.000 Ton/tahun
Biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar & tumbuhan lain
Teknologi Blending, (bio-) teknologi (ekses) gliserin
High/superior performance Biodiesel (angka setan tinggi, titik tuang rendah)
Biodiesel Sawit, Jarak Pagar, Tumbuhan lain. Etanol dari (ekses) gliserin
“High Performance Biodiesel Product Commercial Plant”
Commercial Plant Kapasitas > 100.000 Ton/tahun
Test Property, Performance & standarisasi
Plant Desain Enjiniring Test Property, Performance Dan standarisasi
Optimasi & Modifikasi Desain plant Teknologi Pembuatan aditif
Sumber : ESDM, 2005
17
PABRIK BIODIESEL DI LUAR NEGERI
ENERGEA: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Biodiesel is an ecologically friendly fuel. Biodiesel is produced from renewable materials. Biodiesel contains practically no sulfur (0.001%) Biodiesel considerably decreases soot emissions (up to 50%) When burnt, biodiesel emits the same amount of CO2 as the plants absorb in growth (closed CO2 cycle). Biodiesel contains no benzole or other carcinogenic polyaromatic components Biodiesel easily decomposes biologically and in the case of an accident no harm is done to the soil or ground water. Biodiesel is not considered a hazardous material (flashpoint above 110°C). Biodiesel has superior lubrication capabilities and increases engine life. Biodiesel is an ecologically beneficial alternative to conventional diesel fuel.
ENERGEA PLANT
18
PABRIK BIODIESEL DI DUNIA
Germany: MUW Bitterfeld - 150.000 t (rapeseed)
Slovakia: EkOil-50.000 t (rapeseed + recycled oils)
France: Diester / Grand Couronne - 250.000 t (rapeseed)
19
POTENSI DAN KENDALA PEMANFAATAN LIMBAH INDUSTRI KELAPA SAWIT UNTUK SUMBER ENERGI HAYATI SISWANTO Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Jl. Taman Kencana No. 1, Bogor, Telp. 0251-348921
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber energi, namun ironisnya rakyat masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan minyak tanah. Seperti dilaporkan oleh Departemen ESDM, sebetulnya Indonesia memiliki potensi sumber daya energi non fosil yang cukup melimpah, namun hingga saat ini kapasitas terpasang masih jauh lebih rendah dibanding potensinya (Tabel 1). Mikrohidro, tenaga angin, tenaga matahari, panas bumi, dan biomassa adalah sebagian dari potensi energi terbarukan yang melimpah di Indonesia. Sementara batu bara yang dicairkan maupun pengolahan gas metan dari lapisan batu bara menjadi sumber mineral yang diperhitungkan juga melimpah dan bernilai ekonomis amat tinggi. Sumber energi hayati yang berasal dari biomassa memiliki potensi 50.000 MW, namun kapasitas terpasang hanya 302 MW (Ariati, 2001). Tabel 1. Potensi dan kapasitas terpasang dari energi terbarukan di Indonesia (Ariati, 2001)
Sumber energi Large Hydro Panas bumi Mini/micro hydro Energi surya Energi angin Biomassa Total
Potensi (MW) 75.000 MW 20.000 MW 459 MW 4.5 kWh/m2/hari 3-6 m/detik 50.000 MW
Kapasitas terpasang (MW) 4.200 812 54 5 0,5 302 5.373,5
Pemakaian BBM yang cukup besar memaksa Indonesia juga menjadi negara importir BBM. Walaupun nilai ekspor minyak mentah Indonesia mencapai 514.000 barrel per hari, tetapi nilai impornya mencapai 487.000 barrel per hari. 20
Kenaikan harga BBM dunia beberapa waktu yang lalu telah menimbulkan kepanikan bagi masyarakat, dan dunia industri. Pemerintah sangat serius dalam menanggapi hal tersebut terbukti bahwa pada tgl. 25 Januari 2006, telah diterbitkan Peraturan Presiden No. 5/ 2006 tentang kebijakan energi nasional dengan tujuan untuk keamanan pasokan energi dalam negeri. Pada saat yang bersamaan juga diterbitkan Instruksi Presiden No.1/2006 yang ditujukan kepada sejumlah menteri terkait, Gubernur dan Bupati untuk melaksanakan percepatan dalam penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain. Sasaran Kebijakan Energi Nasional pada Tahun 2025, bahwa jenis energi bahan bakar nabati (biofuel) diharapkan dapat mencapai 5% dari kebutuhan energi nasional (Tabel 2). Tabel 2. Sasaran Kebijakan Energi Nasional Tahun 2025 (Perpres No.5/2006) Jenis Energi Minyak bumi Gas bumi Batubara Bahan bakar nabati (biofuel) Panas bumi Energi baru & terbarukan (biomassa, nuklir, tenaga air, tenaga surya & tenaga angin) Batubara dicairkan (liquefied coal)
% ase < 20% > 30% > 33% > 5% > 5% > 5% > 2%
Potensi bahan baku untuk pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) yang bersifat terbarukan, a.l.: minyak sawit, dan jarak pagar untuk biodiesel serta singkong, ubi dan tetes tebu untuk bioetanol. Untuk energi terbarukan, biodiesel berbasis minyak sawit diprediksi menjadi primadona baru karena ketersediaannya yang cukup dibanding jarak pagar.
Pemanfaatan limbah padat industri kelapa sawit untuk sumber energi hayati Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dan pada tahun 2003 mencapai lebih dari 5,2 juta ha, dengan total produksi lebih dari 9,8 juta ton minyak sawit yang dihasilkan dari 320 pabrik kelapa sawit yang sebagian besar terdapat di Sumatera (258 pabrik), dan lainnya di Kalimantan, Sulawesi dan Jawa (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2004). Untuk mendapatkan minyak dari tandan buah segar (TBS) dilakukan proses fisik melalui berbagai tahapan sebagai berikut: perebusan, pembantingan, penghancuran, pengempaan, klarifikasi dan pemecahan biji. Proses pengolahan tersebut menghasilkan limbah padat dan limbah cair dalam jumlah yang besar. Setiap ton TBS yang diproses di pabrik untuk menghasilkan minyak sawit, maka akan dihasilkan limbah padat TKKS sebanyak 230 kg, serat buah sawit 120 kg, tempurung inti sawit 60 kg dan LCPKS 6-7 m3. Dengan demikian jika luas areal TM (Tanaman Menghasilkan) sawit pada tahun 2005 mencapai ± 5,2 juta Ha dan produksi rata-rata ± 20 ton TBS/Ha/tahun, maka total produksi yang diperoleh sebanyak 104,8 juta ton TBS dan akan dihasilkan limbah padat sebanyak ± 43 juta ton terdiri dari TKKS sebanyak 24,1 juta ton, serat buah sawit 12,6 juta ton, tempurung inti sawit 6,3 juta ton dan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) sebanyak 63 juta m3. Selain TKKS, limbah padat kelapa sawit juga berasal dari batang dan pelepah batang yang biasanya tidak dimanfaatkan dan hanya dibakar atau dibenamkan di kebun. TKKS umumnya tidak dimanfaatkan secara maksimal dan kadang hanya ditebar di sekitar pohon sawit atau dibuang di sekitar pabrik sebagai land fill yang memerlukan biaya dan tenaga yang cukup besar atau dibakar dalam insinerator yang menyebabkan polusi asap. Padahal batang dan pelepah batang sawit tersebut juga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber selulosa dalam ransum pakan ternak sapi. Tandan kosong kelapa sawit terdiri dari tiga komponen utama, yaitu lignin, selulosa dan hemiselulosa. Lignin merupakan polimer kompleks fenilpropan yang berikatan silang secara kuat dengan selulosa dan hemiselulosa. Oleh karena itu hidrolisis lignoselulosa adalah proses yang sangat kompleks. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk pemanfaatan TKKS antara lain untuk: (a) produksi kompos (Goenadi et al., 1998) dan kompos bioaktif (Siswanto dkk,
2005), (b) produksi makanan ternak (Khair, 1998), (c) media jamur konsumsi (Awang et al., 1998; Siswanto, 2005 unpublished), (d) pembuatan pulp kertas (Eriksson et al, 1990; Away et al., 1997), (e) dan produksi etanol (Eriksson et al., 1990). Di setiap pabrik kelapa sawit, kebutuhan listrik untuk operasional pabrik umumnya dapat tercukupi menggunakan boiler 1-2 MW dengan bahan bakar serabut buah sawit. Namun kebutuhan serabut buah sawit untuk boiler tersebut tidak terlalu banyak sehingga masih tersisa. Pada dasarnya limbah padat sawit di Indonesia sebanyak ± 43 juta ton/tahun (TKKS, serat buah sawit, dan tempurung inti sawit) tersebut dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit listrik boiler di wilayah pedesaan di sekitar pabrik. Seperti halnya tempurung kelapa, cangkang kelapa sawit termasuk bahan berlignoselulosa yang berkadar karbon tinggi dan mempunyai berat jenis yang lebih tinggi daripada kayu sehingga karakteristik ini memungkinkan bahan tersebut baik untuk dijadikan briket arang, karbon aktif dan diperoleh asap cair sebagai hasil samping. Balai Penelitian Karet Sembawa, Palembang telah memproduksi asap cair ”Diorub” skala komersial sebagai bahan pembeku karet dan sekaligus dapat menghilangkan bau dengan harga ± Rp. 6.500,-/liter Asap cair juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet makanan yang tidak berbahaya sebagai pengganti formalin seperti ikan, daging, bakmi, tahu dan lain-lain. Namun penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan bau asap. Setiap ton cangkang sawit dapat menghasilkan ± 250 kg briket atau karbon aktif serta ± 250 L asap cair. Kendala yang dihadapi para investor untuk bergerak dibidang energi hayati adalah karena harga BBM yang masih disubsidi, serta lambannya penerbitan peraturan pemerintah tentang regulasi dan insentif bagi industri yang memproduksi energi hayati. Subsidi silang BBM memungkinkan terbentuknya pasar dalam negeri untuk memacu pengembangan energi alternatif. Saat ini para investor masih menunggu kebijakan regulasi dari Pemerintah terutama mengenai policy harga untuk dapat bersaing dengan BBM yang disubsidi dan standar produksi
21
Pemanfaatn limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) untuk produksi biogas Produksi minyak dari tandan buah segar (TBS) dihasilkan limbah cair dalam jumlah besar. Produksi satu ton minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 ton limbah organik cair yang berasal dari proses separasi, klarifikasi dan sterilisasi (Loebis dan Tobing 1989). Proses pengolahan tersebut menghasilkan LCPKS yang berasal dari air kondensat rebusan 36 persen (150-175 kg/ton TBS), 60 persen, air drab klarifikasi (350-450 kg/ton TBS) dan 4 persen air hidrosiklon (100-150 kg/ton TBS). Sebagai contoh sebuah pabrik kelapa sawit dengan kapasitas olah 45-50 ton TBS/jam menghasilkan limbah cair sebanyak 700 m3 per hari dan diperlukan kolam pengolah limbah seluas ± 10 Ha. LCPKS tersebut dengan pH rendah, konsentrasi BOD, COD, TS dan SS yang tinggi sehingga berpotensi mencemari air sungai, mengurangi kadar oksigen terlarut, menurunkan kesehatan ikan dan udang pada badan air permukaan sekitarnya. Tabel 1. Karakteristik Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) Parameter pH BOD (mg/L) COD (mg/L) TS (mg/L) SS (mg/L) Lemak (mg/L)
Rata-rata 4,2 25.000 50.000 40.000 18.000 6.000
Penanganan LCPKS di Indonesia sampai saat ini biasa diolah dengan sistem kolam dan umumnya dibedakan ke dalam tiga tahap yakni kolam pengendapan, kolam anaerob dan kolam aerob. Penanganan limbah dengan metode demikian membutuhkan lahan luas dan biaya tinggi, tanpa ada manfaat lain diperoleh. Di samping itu gas metana, CO2 dan emisi gas rumah kaca lain dari limbah kolam terbuka berdampak negatif terhadap meningkatnya pemanasan global dan perubahan iklim. Ironis Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto sejak 1998, sehingga upaya pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam kegiatan pembangunan patut didukung. Biogas merupakan salah satu alternatif sumber energi terbarukan yang dapat diproduksi dari LCPKS melalui fermentasi anaerob dengan bioreaktor UASB maupun sistim kolam. Hasil percobaan skala 100 m3 kolam tertutup (covered 22
lagoon) dengan volume inlet ± 4 m3/hari dan masa tinggal 25 hari di PT. Pinago Utama Palembang (Siswanto dkk, 2005), dapat diperoleh biogas sebanyak 50 m3/ hari. Biogas yang diperoleh mengandung gas metan 55-60% dan CO2 40-45%, sedikit uap air dan H2S. Menurut perhitungan project FELDA di Malaysia potensi 1m3 LCPKS dapat menghasilkan = 24 m3 biogas. Jika LCPKS di 1 pabrik tersebut sebanyak 700 m3/hari maka akan dihasilkan biogas = 700 m3/ hari x 24 m3 biogas = 16.800 m3 biogas/hari. Jika 1m3 biogas ekuivalen dengan 0,7 L bahan bakar minyak, maka pengolahan limbah dengan sistem covered lagoon tersebut akan menghasilkan energi sebanyak 16800 m3 biogas X 0.7 Liter = 11760 Liter BBM x Rp. 5500,- = Rp. 64.680.000,-/ hari. Biogas yang diperoleh dari kolam sudah diujicobakan untuk: 1. Kompor pengganti LPG. Untuk memanaskan air 2 L dengan LPG atau biogas diperlukan waktu ± 8 menit, konsumsi biogas sebanyak 2 bar dari tabung biogas ukuran 35 L. 2. Untuk kompresor merk Honda 1,5 pk. Kompresor dapat tetap hidup jika aliran bahan bakar bensin ditutup penuh dan digantikan dengan Biogas. Kompresor tersebut digunakan untuk mengkompres gas metan kedalam tangki 5000m3 sehingga dapat diangkut ke pabrik karet di PT. Pinago untuk diujicobakan sebagai pengganti burner/ alat pemanas yang biasanya menggunakan LPG atau di bengkel las serta pembangkit listrik. 3. Bengkel las di pabrik yang biasanya menggunakan LPG dapat digantikan sepenuhnya dengan biogas. DAFTRA PUSTAKA Ariati R, 2001. Indonesian Energy Policy: Towards Greater Local Manufacturing for Renewable Energy. Asean energy bulletin, 3rd Quarter 2001, Vol. 5, No. 3: 4-6. Awang MR, Atan Y, Omar M, Hashim A, Kume T, & Hasimoto S. 1998. Biodegeneration of oil palm empty fruit bunch by composite microorganisms. JSNM, 16, 1: (abstract) Away Y, Goenadi DH & Pasaribu RA. 1997. Optimum incubation period of EFBOP biolignification for mediumpaper pulping. Menara Perkebunan 65:43-52. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2004. Statistik Perkebunan. Dit.Jend.Bina Produksi Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Eriksson KEL, Blanchette RA & Ander P.1990. Microbial and enzymatic degradation of wood components. pp. 407. Goenadi DH, Suswanto & Romli M. 1998. Kajian aspek teknoekonomi produksi kompos bioaktif tandan kosaong kelapa sawit di PSK Kertajaya PT. Perkebunan Nusantara VIII. Warta Penelitian Biologi perkebunan 4:29-41.
Instruksi Presiden No.1/2006, tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain, tanggal 25 Januari 2006: 6 pp. Khair N. 1998. Upgrading of oil palm wastes by radiation processing-project over view. Nuclear Science Journal of Malaysia, Vol. 16, 7 pp. Loebis, B. dan P.L. Tobing. 1989. Potensi pemanfaatan limbah kelapa sawit. Buletin Perkebunan, 20:49-56.
Peraturan Presiden No. 5/ 2006 tentang kebijakan energi nasional, tanggal 25 Januari 2006: 8 pp. Shi-Zong Li., Engineered Bacteria for Ethanol Production from Lignocellulose. Center for biomass Engineering, China Agricultural University. Siswanto, S. Marsudi, Suharyanto, E. Mahajoeno, Isroi. 2005. Pemanfaatan Limbah Padat dan Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Produksi Kompos Bioaktif & Gas Bio. Laporan akhir RUK 2005. Jakarta: KMNRT.
23
MENGGAGAS REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DENGAN KOMODITAS TANAMAN SUMBER ENERGI DI DAS SOLO HARRY SANTOSO Direktur Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan
PENDAHULUAN 1. Kebijakan Energi Nasional sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 dalam rangka menjamin keamanan pasokan energi dalam negeri serta guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Pada tanggal yang sama juga telah diterbitkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. 2. Sebagaimana diuraikan dalam Perpres tersebut di atas, biomassa merupakan salah satu sumber energi yang berasal dari sumber daya alam selain minyak dan gas bumi, batubara, air, panas bumi, gambut dan lain-lain. baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagaii energi. Secara khusus biomassa dan bahan bakar nabati (biofuel) juga digolongkan sebagai sumber energi terbarukan yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik, selain panas bumi, aliran air sungai, panas surya, angin, biogas, ombak laut dan lain-lain. 3. Komoditas tanaman sumber energi pada dasarnya dapat berasal dari biomassa yaitu tanaman kayu-kayuan dan bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) misalnya tanaman pagar. 4. Sehubungan dengan itu, telaahan tentang potensi pengembangan sumber-sumber energi terbarukan berupa tanaman kayu-kayuan dan tanaman pagar tersebut akan bermanfaat dalam mendukung upaya mewujudkan keamanan pasokan energi nasional yang dewasa
24
ini masih sangat menggantungkan pada energi minyak, gas bumi dan batubara. 5. Dalam pada itu kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang selama ini telah dilaksanakan di wilayah DAS Solo, selain mengintrodusir teknik konservasi tanah dengan metoda sipil teknik yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air berupa dam pengendali, dam penahan, gully plug dan sumur resapan, juga dilakukan dengan metoda vegetatif yaitu pembuatan tanaman terutama jenis kayukayuan dan tanaman unggulan lokal (multi purpose tree species/MPTS) melalui kegiatan hutan rakyat, hutan kota, turus jalan di luar kawasan hutan, serta reboisasi dikawasan hutan. 6. Guna mengkaji sejauh mana upaya rehabilitasi hutan dan lahan tersebut dapat diintegrasikan dengan upaya pengembangan sumber energi dari biomassa dan bahan baku untuk bahan bakar nabati lanilla, tulisan ini sebagai kontribusi untuk menjawab pertanyaan tersebut, sekaligus sebagai tindak lanjut Perpres dan Inpres yang telah ditetapkan tersebut di atas, dengan fokus bahasan di wilayah DAS Solo. PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN SUMBER 7. Apabila dieksplorasi, kayu yang digunakan untuk bahan baku energi di wilayah DAS Solo dapat bersumber dari: a. Areal lahan yang ditanami dalam bentuk tegakan, limbah eksploitasi, dan hasil pembukaan lahan (land clearing); dan b. Limbah proses industri pengolahan kayu seperti penggergajian kayu, kayu lapis dan lainlain. 8. Dari areal lahan, sumber kayu tegakan dapat berasal dari: (i). lahan produktif, seperti
kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani, atau di luar kawasan hutan yaitu lahan milik berupa tegalan, kebun, talun, pekarangan atau di tanggul sawah; dan (ii). lahan non produktif, seperti lahan kritis, tanah kosong, atau alangalang. 9. Dari limbah industri, sumber kayu dapat berasal dari industri hulu misalnya kayu lapis, penggergajian kayu dan lain-lain. serta industri hilir seperti meubel, komponen rumah dan lainlain., dengan jenis limbah sebagai bahan energi yang dapat berbentuk serbuk, sebetan, serpihan dan potongan kayu. 10. Kegiatan pembinaan sumber energi ini agar lebih terencana dan terarah, memerlukan langkah-langkah: a. Inventarisasi dan identifikasi, untuk mengetahui lebih akurat tentang potensi dan kondisi saat ini, guna menentukan pembinaan selanjutnya; kegiatan yang perlu dilakukan antara lain adalah: pengumpulan data luas areal lahan yang tersedia, data konsumsi biomassa untuk berbagai keperluan (industri, rumah tangga, bahan bangunan, arang, tenaga listrik dan lain-lain.), memantau kerusakan (degradasi) sumber yang terjadi karena bencana alam, aktivitas manusia dan lain-lain.; dan data upaya penanaman jenis komoditi yang telah dilakukan (realisasi dan tingkat keberhasilan); b. Peningkatan mutu sumber, untuk mengembangkan potensi tegakan melalui pemilihan jenis bibit dan pemeliharaan tanaman serta pemangkasan dan penjarangan. c. Penelitian dan pengembangan, untuk mengarahkan efisiensi dan efektivitas pengusahaan sumber energi, dengan menelaah dari aspek teknis, sosial ekonomi dan lingkungan 11. Khusus untuk pengumpulan data luas lahan yang tersedia untuk pengembangan jenisjenis tanaman, agar lebih akurat perlu diawali dengan analisis penilaian kesesuaian lahan (land suitability assessment) di wilayah DAS Solo. Analisis ini secara lengkap mencakup 2 (dua) tahap yaitu (i). penilaian kualitatif yaitu penilaian kesesuaian tanaman secara agro/sylvoekologi (agro/sylvo ecological crop suitability assessment); dan (ii). penilaian kuantitatif yaitu penilaian kesesuaian tanaman secara agro/sylvoekonomi (agro/sylvo economic crop suitability assessment). Dari hasil analisis tahap pertama tersebut akan dihasilkan informasi detail tentang luas sebaran kesesuaian lahan (di lahan kritis) di DAS Solo untuk penanaman sumber energi khususnya jenis-jenis komoditi biomassa dan bahan baku untuk bahan bakar nabati baik
numerik maupun spatial. Sedangkan dari hasil analisis tahap kedua akan diperoleh informasi tentang jenis-jenis tanaman tertentu dari beberapa alternatif jenis yang sesuai untuk ditanam pada areal yang dianalisis yang memberikan keuntungan ekonomi (economic return) untuk diusahakan secara komersial. POTENSI WILAYAH 12. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat s/d tahun 2003 (Baplanhut, 2005), satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS Solo mencakup areal seluas 1.986.829 Ha meliputi 15 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaran luas penutupan vegetasi (lampiran peta 2) didominasi oleh areal sawah 26,65%, hutan tanaman 24,19%, pertanian lahan kering 18,45%, pertanian lahan kering campuran 16,70% dan permukiman 9,74% 13. Dari sebaran fungsi kawasan (lampiran peta-3) wilayah DAS Solo didominasi oleh areal diluar kawasan hutan seluas 77,88%, hutan produksi 19,90%, dan sisanya hutan lindung 1,71%, hutan produksi terbatas 0,23%, kawasan hutan konservasi 0,02% dan tubuh air 0,27% 14. Sebaran lahan kritis di wilayah DAS Solo (lampiran peta– 4) meliputi areal potensial kritis seluas 535.633 Ha (26,96%), agak kritis 447.984 Ha (22,55%), areal kritis 86.561 Ha (4,36%) dan sangat kritis 4.360 Ha (0,22%). Apabila sasaran pengembangan tanaman biomassa dan tanaman pagar diarahkan pada lahan agak kritis, kritis dan sangat kritis, maka total luas areal yang dapat digarap adalah 588 905 Ha. Untuk mendapatkan areal neto sasaran pengembangan, maka angka luas potensial lahan kritis tersebut perlu dikurangi luas areal yang telah direhabilitasi baik melalui kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/GERHAN) dan kegiatan lainnya sejak tahun 2003 hingga 2005. KEGIATAN YANG TELAH DILAKSANAKAN 15. Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/GERHAN) yang dilaksanakan di wilayah DAS Solo sejak tahun 2003 hingga 2005 dapat dikatakan sebagai upaya rehabilitasi lahan kritis yang bersifat masal. Total luas realisasi penanaman tanaman kayu-kayuan dan tanaman unggulan lokal (multi purpose tree species/MPTS) melalui kegiatan hutan rakyat 25
(murni dan pengkayaan tanaman) adalah seluas 83 214 Ha dengan rincian tahun 2003 seluas 25 764 Ha, tahun 2004 seluas 41 340 Ha dan tahun 2005 seluas 16 110 Ha (lampiran tabel-1). Apabila tingkat keberhasilan diperkirakan rata-rata sebesar 70%, maka areal penanaman pada lahan kritis melalui GN RHL/GERHAN tahun 2003 s/d 2005 adalah seluas 58 498 Ha. 16. Apabila diasumsikan bahwa kegiatan rehabilitasi lahan non GN RHL/GERHAN yang berhasil sejak tahun 2003 adalah seluas 10% dari luas areal penanaman GN RHL/GERHAN yaitu seluas 5 850 Ha, maka total luas penanaman pada lahan kritis s/d tahun 2005 termasuk GN RHL/GERHAN adalah 64 348 Ha. Dengan mengurangkan angka dari butir 7 di atas, maka lahan kritis yang tersedia di DAS Solo sebagai sasaran pengembangan tanaman biomassa dan bahan baku untuk bahan bakar nabati masih cukup luas yaitu 524 557 Ha. 17. Adapun jenis komoditi yang telah ditanam melalui GN RHL/GERHAN tahun 2003 s/d 2005 di DAS Solo meliputi (i). kayu-kayuan sebanyak lebih dari 30 juta batang tersebar di 14 kabupaten meliputi Jati, Mahoni, Suren, Pinus, Gmelina, Accacia mangium, Sengon laut, Sonokeling, Eucalyptus, Mindi, Accacia auriculiformis, Angsana, Filisium, Rhizophora, Aviecenia, dan Bruguiera; (ii). MPTS sebanyak lebih dari 4 juta batang meliputi Kemiri, Belimbing, Nangka, Mete, Mangga, Durian, Rambutan, Apokat, Melinjo, Sukun, Sawo, Jambu, Pete, Matoa, Duku, Srikaya, Klengkeng dan lain-lain. Hasil-hasil penanaman ini sudah tentu merupakan input nyata bagi mendukung pengembangan energi biomassa sesuai kepentingannya. BENTUK PASOKAN ENERGI KAYU 18. Kayu yang diolah untuk energi dapat berbentuk padat, cair atau gas. Yang berbentuk padat antara lain kayu bakar, serpih (chip), pelet atau briket dan arang. Untuk yang berbentuk cairantara lain minyak kayu, tar dan alkohol. Sedangkan yang berbentuk gas adalah gas kayu yaitu CO, CH4 dan lain-lain. Macam energi yang dihasilkan dari bahan-bahan tersebut dapat berupa panas, listrik dan tenaga mekanis. 19. Penggunaan bahan energi tersebut dapat untuk sektor rumah tangga, sektor industri, sektor transportasi dan perdagangan. Di sektor rumah tangga misalnya untuk memasak dan untuk penerangan, memerlukan pengembangan 26
peralatan tepat guna dan kultur yang sesuai terutama pada masyarakat di perdesaan. Untuk sektor industri, memerlukan energi dalam bentuk panas, listrik atau tenaga penggerak yang membutuhkan pula rekayasa peralatan yang sesuai untuk menghasilkan kapasitas produksi yang optimal. Pada sektor transportasi, energi kayu untuk tenaga penggerak sangat dibutuhkan baik di perdesaan maupun di areal pertanian/perkebunan/perikanan.
POLA PENGEMBANGAN TANAMAN 20. Pengembangan tanaman biomassa dalam GN RHL/GERHAN yang diuraikan pada butir 17 di atas, pada tahun 2003 dan 2004 dilakukan dengan komposisi jenis tanaman pokok (kayu-kayuan) 70% dan MPTS 30%, sedangkan tahun 2005 berubah menjadi tanaman pokok 60% dan MPTS 40%. 21. Khususnya pengembangan bahan baku untuk bahan bakar nabati seperti tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas L), ada beberapa alternatif yang dapat dilaksanakan dalam rangka rehabilitasi hutan dan lahan sbb.: a. Reboisasi di kawasan hutan, pada areal hutan rusak, alang-alang dan semak belukar, dapat ditanam secara murni dengan jarak tanam 2 x 2 m (2 560 btg/Ha); hal ini perlu dibahas dengan Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan; b. Hutan rakyat pada tanah yang dibebani hak, Jarak pagar sebagai tanaman MPTS dapat ditanam pada anggelan teras, pematang atau pada batas pemilikan tanah; c. Alternatif lain, Jarak pagar dapat ditanam dalam kegiatan percontohan (model) sebagai tanaman pengisi, tanaman sela, tanaman tepi dan tanaman pagar dari hamparan tanaman pokok yang ditanam. 22. Departemen Kehutanan c/q Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, mulai tahun 2005 dengan dana DIPA kegiatan Social Forestry telah mengembangkan model penanaman Jarak pagar di Kab. Lombok Timur (NTB) seluas 300 Ha. Pada DIPA 2006 dialokasikan penanaman seluas 1200 Ha tersebar di NTB (350 Ha), NTT (350 Ha), Sulsel (250 Ha), dan Sulteng (250 Ha).
TINDAK LANJUT PENGEMBANGAN
c. Khusus untuk pengembangan Jarak pagar, yang perlu disiapkan dengan baik adalah rencana aksi dan payung hukum yang jelas serta kelembagaan budidaya, pemasaran, dan kesiapan teknologi pengolahan agar tidak terulang kegagalan fatal dan tragis yang terjadi dalam rencana pengembangan Rice Estate pada lahan gambut 1 juta Ha di Kalimantan Tengah.
23. Beberapa aspek kiranya perlu ditindaklanjuti agar program pemerintah untuk mewujudkan keamanan pasokan energi mendatang dapat tercapai, namun dilain pihak juga memberikan manfaat ganda baik dalam rangka keberhasilan rehabilitasi dan konservasi lahan maupun untuk meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat perdesaan khususnya dan para usahawan ybs.: a. Perencanaan yang akurat memerlukan tersedianya data dasar yang juga harus akurat tentang peta sebaran lokasi yang potensial untuk sumber biomassa dan bahan baku untuk bahan bakar nabati baik dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh maupun ground check dalam rangka species site matching; b. Analisis suplai dan demand energi dari kayu di perkotaan/ perdesaan harus dilakukan agar diperoleh data aktual kondisi sekarang;
DAFTAR PUSTAKA Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain Laporan Penyelenggaraan GN RHL/GERHAN Tahun 2003 s/d 2005. BP DAS Solo. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
PETA PENGELOMPOKAN WILAYAH DAS SOLO TUBAN
GRESIK
110 26' 52.79'' BT
112 O 40' 5.79'' BT
PETA KEDUDUKAN KABUPATEN TERHADAP W ILAYAH SWP DAS SOLO
Laut Jawa
WILAYAH KERJA BALAI PENGELOLAAN DAS SOLO
O
6 45' 16.2'' LS
6 45' 16.2'' LS
O
O
Tuban Tuban # TUB AN
#
Ma
NGAWI
Se l
at
Gresik
ra du
KARANGANYAR SUB DAS T EM UL US SOL OAN
K. Ke
ng ni ga b u
SUB DAS K ENING
r
ond an g
CEPU
BOJ ONEG ORO
#
K
ce t .P a
ngg
K .B l em
K.Bb i si
K . W at ug al h i
g
ne ng
K.T r in il
h
LEGENDA :
Sukoharjo # Sukoharjo
MADIUN
K. Go nd ang SUB DAS MADI UN
MAG ET AN
Magetan Magetan
G.JO BOL ARANGAN 229 8 m
K. Jl an t ah
K. Ke
nt e ng
at ur K. C
K. D en gk en g
$
l ki a K. W a n
SUB DAS JL ANT A H
K. B en gga
$
ng
s
$
$
K. K ed u an
#
g .T K
e
a p ur n m
PONOROGO
Batas Propinsi
Ponorogo Ponorogo K.M n ga n ung ku
MAGETAN
ro
Wd.GAJAHM UNGKUR SUB DAS KEDUW ANG
yan t o
K. W ir o ko
G.L IMBUNG
growo K. N
K. Je m p
Ke y K.
$
t
ri
SUKOHARJO
Batas DAS
$
K. W at en
SUB DAS W URYBOYO ANTO RO G.G ADINGARGO K. W ur
Jalan Raya
G.PATAKBANTEN G
. M K
Kotamadya Kabupaten Jalan Kereta Api
Wd. NGEBEL
K
id er
$
MADIUN
G.MANYUTAN K. A si n
h G.G IYONO . Gal a
eme
Wonogiri Wonogiri
K . Tr
GUNUNG KIDUL
#
SUB DAS W AL I KA N
% #
iun
G.BL EGO WONOGI RI
KLATEN
ad M
B en g
G.KUKU SAN
SLEMAN
DAS BRANTAS (JAWA TIMUR)
% Madiun Madiun #
$
K. Ran ji n g
SUKOHARJO
KL ATEN
a ng
$ G.L AWU $ 326 5m
#
KARA NGANY AR
i in K. S am SUB DAS S AM IN
#
oa n K.Je r g Te ra n .J u K
G.DO RO WATI
aw a n
K. K en ar
K. Gaw e
S
BOJONEGORO
Mu K.
oy o
Karanganyar Karanganyar
K. B r amb an g
Klaten Klaten
$
s Ke K.
K. Sr
SURAKARTA
E
G.PAND AN
on A nd K.
on go
SUB DAS PEPE
%
m be SUB DAS B LE MBE M
$
SURAKARTA SUB DAS B RAM BA NG
W
G.L ILI RAN
pe K. P e
#
SUB DAS DE NGKENG
g pran am K. Jl
Boyolali BOYOL AL I
G.MERAPI 301 1 m
N
gk al i
Sa w
SUB DAS K ENAT A N
KAB .SEMARA NG
SUB DAS GROMPOL
ran
Wd. PACAL
ur
at an
o
K.
K . K en
K. C e mor
S. La mo ng
K.
G.MERBABU 311 9 m
$ $
la n nt a B
# Ngawi
NGAW I SUB DAS SAW UR
#
K . Pa
Bu K.
Sragen Sragen SRAGEN
LAMONGAN
an g
K
SUB DAS P ACAL S EMA R MENDE M
SUB DAS BANB AN TIDU
Be nga BENGAWAN wa n So loS OLO
SUB DAS K EDUNGDOW O
Kab.Semarang Kab.Semarang
% Surabaya Mojokerto
Wd. PRIJI RAN K . P ara ng
K. K ed ut
K .P a ca l
ng da on
K. G il i ng
i K. J
ng g on g
t a pe K.K
K.G
K. W ul un g
BOYOLALI
LAMONGA N
DAS LAMONG
Bojonegoro Bojonegoro
an ro bo g
BLORA
#
Lamongan Lamongan
K. G
DAS JRATUN SELUNA (JAWA TENGAH)
K.G
Cepu
u . Bes k i
SURAKARTA
K. N
SRAGEN
Batas Kabupaten Waduk
ang
SE UB DAS WI ROK O Ben
gaw
an S
ol o
Sungai
Hu l u
SUB DAS T EM ON
$
a mb i K. S
r K.G
G.BADU D
G.SUR OLO YO
$
DEPARTEMEN KEHUTANAN
PONOROGO
DIREKTORAT JENDERAL REHABI LITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAH SUNGAI SOLO
SUB SO LO HULU
DAS OPAK PROGO (D.I.JOGJAKARTA)
K
en al d
Pacitan
K.
#
PACI TAN
Gunung Berapi DAS SOLO HULU
SU MBER DATA : 1. Peta Topografi Skala 1 : 50.000
DAS BAS OKO
Tahun 1972
DAS SOLO HILIR
O
2. Peta Administra si Kabupaten Tahun 1999
O
Samudera Indonesia 110 O 26' 52.79'' BT
$
DAS SOLO TENGAH
DAS LOROG
DA S GRIN DUL U
K . Lo rog
8 16' 43.2'' LS
WONOGIRI
i nd ul u
8 16' 43.2'' LS
K . N gl er e p
SUB DAS ALANG NGUNGGAHAN
PACITAN
Skala 1: 50.000
112 O 40' 5.79'' BT
27
28
29
MERINTIS PEMANFAATAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI SEL SURYA DI DAERAH TROPIS: KENDALA DAN HARAPAN KE DEPAN ARI HANDONO RAMELAN Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
PENDAHUHULAN Krisis moneter yang dialami Indonesia dewasa ini secara langsung akan membawa dampak yang semakin nyata terhadap berbagai program pemerintah seperti distribusi penggunaan tenaga listrik ke seluruh wilayah Indonesia dan berbagai pengembangan teknologi lainnya termasuk di dalamnya program riset yang merupakan embrio bagi lahirnya revolusi teknologi. Dengan realita tersebut maka pengembangan listrik tenaga surya yang berbasis kepada efek photovoltaic dari piranti sel surya (solar cell) sebagai salah satu sumber tenaga listrik yang murah, bebas polusi, dan alami menjadi suatu pilihan yang tepat. Namun realita yang ada sekarang ini penggunaan sel surya sebagai sumber listrik masih sangat minim dan belum dapat diandalkan sebagai suatu sumber tenaga alternatif yang dapat mengganti tenaga listrik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti: kemampuan sel surya yang belum optimal dalam menghasilkan tenaga listrik, proses pembuatan sel surya yang memerlukan operasi pembiayaan yang mahal, apalagi jika sel surya tersebut masih harus diimpor bagi pembuatan modul sel surya [1], dan lain sebagainya. Berbagai bahan inorganik telah dibuat untuk piranti sel surya seperti Si, GaSb/GaAs, AlGaSb, ZnO, dan lain-lain dengan struktur yang komplek [2-7]. Desain sel tersebut biasa dilakukan dengan menggunakan teknik pemendapan bahan thin film (lapisan tipis) seperti Metal Organic Chemical Vapour Deposition (MOCVD), Molecular Beam Epitaxy (MBE) dan lain-lain [8]. Tentu saja beberapa keuntungan dan kerugian akan diperoleh untuk masing-masing 30
teknik. Untuk mendapatkan bahan sel tersebut diperlukan beaya yang tidak murah juga proses pembuatannya tidak sederhana. Jika ada alternatif lain untuk mendapatkan bahan dan teknik pembuatan sel yang relatif mudah dan dapat dilakukan di Indonesia maka akan semakin besar peluang dapat memfabrikasi sel surya sehingga akan terjadi kompetisi yang konstruktif bagi pengembangan teknologi tersebut. Dalam penelitian ini akan diusulkan pembuatan sel surya dengan menggunakan bahan organik. Bahan organik relatif mudah diperoleh di Indonesia dengan harga yang relatif murah mengingat sumber alam yang melimpah yang ada perlu untuk dioptimalkan penggunaannya. Selain itu teknik yang dipergunakan untuk mengendapkan lapisan tipis (thin film) bahan tersebut adalah menggunakan teknik yang relatif sederhana, tidak memerlukan teknologi yang rumit sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran bagi variasi pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Indonesia. Lebih dari 90% modul sel surya sekarang ini dibuat dari silikon. Meskipun pasar sel surya mengalami pertumbuhan yang kontinu, tetapi penggunaan sel surya yang lebih luas sangat dibatasi oleh tinggi harga modul sel surya yang dibuat dari bahan silikon. Kita harus mengembangkan sel surya dengan teknologi yang mudah dilakukan dan biaya yang murah. Selain biaya produksi, maka faktor lain yang penting diperhitungkan adalah efisiensi dan umur pakai dari sel surya. Keunggulan sel surya menggunakan bahan organik adalah umur pemakaian yang lama. Selama beberapa puluh tahun yang usahausaha pengembangan sel surya berbahan organik telah dilakukan. Pengembangan sel surya bahan
organik dilakukan karena beberapa keunggulannya, yaitu lebih ringan dibandingkan dengan sel surya inorganik (silikon, germanium dan lain-lain.), biaya pembuatan yang murah, celah energi yang dapat diubah (tuneable) dengan sintesis kimia, dan pembuatan dengan cara mudah ukuran yang besar serta dapat disesuaikan dengan bentuk. Tetapi efisiensi sel surya berbahan organik yang masih rendah dibandingkan dengan sel surya inorganik. Hal ini disebabkan karena rendahnya efisiensi fotogenerasi dari muatan (carriers) dan juga resistivitas yang tinggi dari bahan organik (disebabkan densitas bahan yang rendah dan mobilitas muatan juga rendah). Sampai saat ini efisiensi sel surya berbahan organik tertinggi yang dicapai adalah sebesar sekitar 3% [9,10] PERMASALAHAN Pada asasnya sel surya fotovoltaik merupakan suatu dioda semikonduktor yang berkerja dalam proses tak seimbang dan berdasarkan efek fotovoltaik. Dalam proses itu sel surya menghasilkan tegangan 0,5-1 volt tergantung intensitas cahaya dan zat semikonduktor yang dipakai. Sementara itu intensitas energi yang terkandung dalam sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi besarnya sekitar 1000 Watt. Tapi karena daya guna konversi energi radiasi menjadi energi listrik berdasarkan efek fotovoltaik baru mencapai 10%, maka produksi listrik maksimal yang dihasilkan sel surya baru mencapai 100 Watt per m2. Dari sini terlihat bahwa PLTS itu membutuhkan lahan yang luas. Hal itu merupakan salah satu penyebab harga PLTS menjadi mahal. Ditambah lagi harga sel surya fotovoltaik berbentuk kristal mahal, hal ini karena proses pembuatannya yang rumit. Namun, kondisi geografis Indonesia yang banyak memiliki daerah terpencil sulit dibubungkan dengan jaringan listrik PLN. Kemudian sebagai negara tropis Indonesia mempunyai potensi energi surya yang tinggi. Hal ini terlihat dari radiasi harian yaitu sebesar 4,5 kWh/m2/hari. Berarti prospek penggunaan fotovoltaik di masa mendatang cukup cerah. Untuk itulah perlu diusahakan menekan harga fotovoltaik misalnya dengan cara sebagai berikut. Pertama menggunakan bahan semikonduktor lain seperti Galium Antimoni (GaSb) dan Galium Arsenik (GaAs) yang lebih kompetitif. Kedua meningkatkan efisiensi sel
surya dari 15% menjadi 20%. Ketiga mendesain dan memfabrikasi sel surya dengan cara yang mudah dan biaya yang murah serta bahan yang mudah didapat di Indonesia. Prospek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia Energi baru dan terbarukan mulai mendapat perhatian sejak terjadinya krisis energi dunia yaitu pada tahun 70-an dan salah satu energi itu adalah energi surya. Energi itu dapat berubah menjadi arus listrik yang searah yaitu dengan menggunakan silikon yang tipis. Sebuah kristal silindris Si diperoleh dengan cara memanaskan Si itu dengan tekanan yang diatur sehingga Si itu berubah menjadi penghantar. Bila kristal silindris itu dipotong stebal 0,3 mm, akan terbentuklah sel-sel silikon yang tipis atau yang disebut juga dengan sel surya fotovoltaik. Sel-sel silikon itu dipasang dengan posisi sejajar/seri dalam sebuah panel yang terbuat dari alumunium atau baja anti karat dan dilindungi oleh kaca atau plastik. Kemudian pada tiap-tiap sambungan sel itu diberi sambungan listrik. Bila sel-sel itu terkena sinar matahari maka pada sambungan itu akan mengalir arus listrik. Besarnya arus/tenaga listrik itu tergantung pada jumlah energi cahaya yang mencapai silikon itu dan luas permukaan sel itu. Sinar matahari dapat diubah menjadi arus listrik dengan melalui sel surya (sel photovoltaic). Sel surya ini selama satu abad terakhir ini juga mengalami perkembangan yang pesat. Sehingga dengan mudah diperoleh arus listrik langsung dari foton sinar matahari. Sel-sel ini dirakit satu sama lain dalam apa yang disebut modul atau bidang modul. Satu bidang modul mampu mengubah sinar matahari yang ditampung langsung menjadi beberapa watt arus listrik. Sel surya itu terdiri dari lapisan yang terbuat dari keping-keping bahan kristal silikon dengan garis tengah 10 sentimeter. Setiap keping dapat menghasilkan arus listrik 1 watt, dari sinar matahari yang diterimanya. Jadi kalau 30 keping kristal silikon dirakit dalam satu modul, akan menghasilkan sekitar 30 watt listrik. Selanjutnya jika sejumlah besar modul dihubungkan dalam kemasan bidang modul, akan mampu membangkitkan beberapa kilowatt, bahkan dapat sampai megawatt. Energi listrik yang berasal dari energi surya pertama kali digunakan untuk penerangan rumah tangga dengan sistem desentralisasi yang dikenal dengan Solar Home System (SHS), 31
kemudian untuk TV umum, komunikasi dan pompa air. Sementara itu evaluasi program SHS di Indonesia pada proyek Desa Sukatani, Bampres, dan listrik masuk desa menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan dengan keberhasilan penerapan secara komersial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sampai tahun 94 jumlah pemakaian sistem fotovoltaik di Indonesia sudah mencapai berkisar 2,5-3 MWp [11]. Pemakaiannya meliputi kesehatan 16% ; hibrida 7% ; pompa air 5% ; penerangan pedesaan 13% ; Radio dan TV komunikasi 46,6% dan lainnya 11,8%. Kemudian dari kajian awal BPPT diperoleh proyeksi kebutuhan sistem PLTS diperkirakan akan mencapai 50 MWp. Sementara itu menurut perkiraan yang lain pemakaian fotovoltaik di Indonesia 5-10 tahun mendatang akan mencapai 100 MW terutama untuk penerangan di pedesaan. Sedangkan permintaan fotovoltaik diperkirakan sudah mencapai 52 MWp. Pembangkit Listrik Sistem Fotovoltaik Komponen utama sistem surya fotovoltaik adalah modul yang merupakan unit rakitan beberapa sel surya fotovoltaik. Untuk membuat modul fotovoltaik secara fabrikasi dapat menggunakan teknologi kristal dan thin film. Modul fotovoltaik kristal dapat dibuat dengan teknologi yang relatif mudah, sedangkan untuk membuat sel fotovoltaik diperlukan teknologi tinggi. Modul fotovoltaik tersusun dari beberapa sel fotovoltaik yang dihubungkan secara seri dan paralel. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat modul sel surya yaitu sebesar 60% dari biaya total. Jadi, jika modul sel surya itu dapat diproduksi di dalam negeri berarti akan dapat menghemat biaya pembangunan PLTS. Untuk itulah, modul pembuatan sel surya di Indonesia tahap pertama adalah membuat bingkai (frame), kemudian membuat laminasi dengan sel-sel yang masih diimpor. Jika permintaan pasar banyak maka pembuatan sel dilakukan di dalam negeri. Hal ini karena teknologi pembuatan sel surya dengan bahan silikon single dan poly kristal secara teoritis sudah dikuasai. Dalam bidang fotovoltaik yang digunakan pada PLTS, Indonesia ternyata telah melewati tahapan penelitian dan pengembangan dan sekarang menuju tahapan pelaksanaan dan instalasi untuk elektrifikasi untuk pedesaan. Teknologi ini cukup bersih, mudah dipasang dan dioperasikan dan mudah dirawat. Sedangkan kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan energi surya fotovoltaik adalah investasi awal yang 32
besar dan harga per kWh listrik yang dibangkitkan relatif tinggi, karena memerlukan subsistem yang terdiri atas baterai, unit pengatur dan inverter sesuai dengan kebutuhannya. PLTS dengan sistem sentralisasi artinya pembangkit tenaga listrik dilakukan secara terpusat dan suplai daya ke konsumen dilakukan melalui jaringan distribusi. Sistem ini cocok dan ekonomis pada daerah dengan kerapatan penduduk yang tinggi. Contohnya PLTS di Desa Kentang Gunung Kidul mempunyai kapasitas daya 19 kWp, kapasitas baterai 200 volt dan beban berupa penerangan yang terpasang pada 85 rumah. Sementara itu PLTS dengan sistem individu daya terpasangnya relatif kecil yaitu sekitar 48-55 Wp. Jumlah daya sebesar 50 Wp per rumah tangga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan penerangan, informasi (radio) dan komunikasi. Melihat kencenderungan harga sel surya yang semakin menurun dan dalam rangka memperkenalkan sistem pembangkit yang ramah lingkungan, pemanfaatan PLTS dengan sistem individu semakin ditingkatkan. Pada tahap pertama direncanakan akan dipasang 36.000 unit SHS selama tiga tahun dengan prioritas 10 propinsi di kawasan timur Indonesia. Paling tidak ada 5 keuntungan pembangkit dengan surya fotovoltaik. Pertama energi yang digunakan adalah energi yang tersedia secara cuma-cuma. Kedua perawatannya mudah dan sederhana. Ketiga tidak terdapat peralatan yang bergerak, sehingga tidak perlu penggantian suku cadang dan penyetelan pada pelumasan. Keempat peralatan bekerja tanpa suara dan tidak berdampak negatif terhadap lingkungan, sedangkan kelima dapat bekerja secara otomatis [13]. Material Organik Untuk Sel Surya Material elektronik organik adalah suatu zat padat terkonjugasi dimana serapan optik dan transport muatan didominasi oleh sebagian orbit terdelokasi π dan π * . Bahan-bahan organic yang digunakan untuk aplikasi sel surya terdiri film krsital atau polikristal dengan molekul kecil, yaitu dengan berat molekul sekitar 100, film amorf dengan molekul kecil yang dihasilkan dengan cara deposisi vakum atau proses cairan, atau film polimer terkonjugasi atau oligomer yang dihasilkan dari proses cairan (solution) dan juga kombinasi dari bahan organik dan bahan inorganik.
Material organik untuk sel surya berbeda dengan bahan semikonduktor inorganik seperti berikut ini: • Eksitasi fotogenerasi (exciton) secara kuat terikat dan tidak secara spontan terdesosiasi (terputusnya ikatan) menjadi pasangan muatan electron-hole. Energi disosiasi yang digunakan untuk bahan organik adalah sekitar 100 meV, sedangkan untuk bahan semikonduktor inorganik hanya beberapa meV. Hal ini berarti bahwa terjadi muatan tidak harus dari hasil serapan sinar. • Transport muatan terjadi karena loncatan (hopping) antara tingkat keadaan energi yang terlokalisir (localised state) dan bukan karena transpor muatan pada pita energi. Oleh karena itu mobilitas muatan dalam bahan organik sel surya sangat kecil. • Rentangan spektra serapan optik sangat sempit dibandingkan dengan spektrum cahaya matahari. • Koefisien serapan sangat tinggi ( ~ 10 7 cm −1 ) sehingga densitas optik yang tinggi dapat dicapai pada panjang gelombang puncak didalam film organik dengan ketebalan 10 nm. • Sebagian besar bahan organik mudah terdegradasi karena oksigen atau air. Bahan organik untuk sel surya ikatan antarmolekul gaya van der Waals sangat lemah dibandingkan dengan ikatan kristal bahan semikonduktor inorganik. Sebagai akibatnya maka semua keadaan elektronik (electronic states) terlokalisir pada molekul tunggal dan tidak membentuk pita. Bahan organik juga mempunyai mobilitas yang rendah karena karena derajad ketidak-aturan (disorder) yang tinggi. Transisi optik disebabkan energi foton dari cahaya tampak karena transisi dari π dan π * . Kebanyakan bahan zat padat terkonjugasi menyerap cahaya biru atau hijau, sedangkan serapan untuk sinar merah dan sinar infra-merah sangat sulit terjadi. Bagaimanapun lebar pita serapan tergantung dari derajad konjugasi dan sensitivitas dapat dicapai didalam molekul pewarna (dye) terkonjugasi. Sifat-sifat tersebut diatas menyebabkan terbatasnya piranti sel surya dengan bahan organik: (i) Gaya yang besar seperti medan listrik dibutuhkan untuk memutuskan exciton yang terjadi karena fotogenerasi (ii) Mobilitas pembawa muatan yang rendah membatasi kegunaan ketebalan dari piranti sel surya bahan organik (iii) Serapan cahaya yang terbatas dari
spektrum sinar matahari membatasi arus yang disebabkan foton (photocurrent) (iv) Piranti dengan lapisan bahan organik yang tipis akan menyebabkan interferensi (v) Arus-foto (photocurrent) adalah sensitif terhadap temperatur melalui transport loncatan. Prinsip Operasi Sel Surya Organik Struktur yang paling sederhana dari sel surya adalah bahan organik di kedua permukaan dilapisi dengan bahan konduksi yang berbeda, yaitu biasanya ITO (indium tin oxide) dan bahan mental dengan fungsi kerja yang rendah seperti Al, Ca atau Mg. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Beda fungsi kerja (work function) antara kedua elektroda akan menyebabkan medan listrik yang akan menyebabkan terjadinya pemisahan muatan (elektron-hole) menuju masing-masing elektroda seperti terjadi pada silikon amorf dengan konfigurasi p-i-n. Medan listrik yang terjadi jarang cukup kuat untuk memisahkan pasangan elektron-hole (exciton). Sebagai gantinya, eksiton akan terdifusi didalam lapisan organik sampai mencapai elektroda dimana eksiton tersebut akan terputus untuk menambah jumlah muatan atau terekombinasi. Karena panjang difusi dari eksiton pendek, yaitu sekitar 1-10 nm, maka difusi eksiton membatasi terjadi muatan pembawa (carriers) didalam sel surya. Oleh karena itu terjadi ”photocarrier” merupakan fungsi dari serapan optik dan adanya mekanisme disosiasi eksiton. Faktor lain yang menyebabkan terjadi muatan pembawa adalah terjadinya rekombinasi non-radiasi pada antarmuka dan adanya jebakan muatan (trapped charges).
Gambar 1. Diagram pita energi dari sel surya yang terdiri dari bahan organik dengan elektroda di kedua permukaannya.
33
Sel surya dengan lapisan tunggal seperti dijelaskan diatas hanya mempunyai efisiensi quantum (QE) sekitar 1% dan efisiensi pengubahan daya sekitar 0,1%. Sedangkan QE didefinisikan sebagai ratio jumlah elektron yang dialirkan ke rangkaian dengan jumlah foton pada panjang gelombang tertentu yang jatuh di permukaan sel surya. QE yang tinggi sangat dibutuhkan untuk mendapatkan efisiensi sel surya dengan efisiensi yang tinggi. Pada sel surya dengan bahan inorganik nilai efisiensi quantum (QE) dapat mencapai 80-90%. Pengembangan dari sel surya bahan organik berdasarkan pada hubungan tidak sama (heterojunction) donor-akseptor. Pada antarmuka dari dua bahan yang berbeda, gaya elektrostatik terjadi dari perbedaan didalam afinitas elektron dan potensial ionisasi. Jika kedua-duanya (afinitas elektron dan potensial ionisasi) adalah lebih besar didalam satu material (akseptor elektron) dibandingkan dengan material lainnya (donor elektron), maka medan listrik yang terjadi di antar-muka (interface) akan menyebabkan pemisahan muatan seperti ditampilkan pada Gambar 2. Medan listrik lokal yang kuat dan akan memutus eksiton fotogenerasi dengan syarat bahwa adanya perbedaan potensial energi dari energi ikat eksiton. Pada sel surya dengan hubungan tidak-sama (heterojunction), antar-muka dari bahan organik donor-akseptor akan memisahkan eksiton secara efisien dibandingkan untuk lapisan tunggal. Pemisahan eksiton ini akan menyebabkan kenaikan efisiensi sel surya organik.
Gambar 2. Pita energi sel surya organik dengan struktur hubungan tidak-sama (donor-acceptor heterojunction).
34
Perkembangan sel surya bahan organik mengalami suatu loncatan yang besar pada pertengahan tahun 1990 dimana bahan yang dapat memberikan (donor) elektron dan bahan yang menerima (akseptor) elektron dicampur menjadi satu. Bila panjang campuran kedua bahan tersebut adalah sama dengan panjang difusi dari eksiton, kemudian bilamana eksiton tereksitasi secara ”photogeneration” pada kedua material tersebut, maka akan terdifusi dan terputus di antar-mukanya. Bila lintasan eksiton tersebut selalu ada pada setiap bahan dari antarmuka (interface) ke masing-masing elektroda, maka pembawa muatan (elektron dan hole) akan bergerak ke kontak dan akan mengalirkan arus listrik seperti ditampilkan pada Gambar 3. Fenomena ini juga dilaporkan dari hasil kajian yang dilakukan oleh beberapa peneliti lainnya [14-16] untuk bahan organik yang terdiri 2 campuran bahan yang berbeda (bahan organik donor dan akseptor). Bahan organik campuran tersebut dapat meningkatkan efisiensi sel surya sekitar 3-4% dibandingkan bila bahan tersebut tidak dicampur yang hanya mempunyai efisiensinya sekitar 1%. Pada waktu yang sama Yu et.al. [17] melaporkan suatu kajian bahan yang mempunyai efisiensi quantum (QE) sebesar 29% untuk campuran bahan pembawa hole (hole transporter), PPV dan turunan dari C60, dimana bahan C60 bertindak sebagai komponen yang dapat mengalirkan elektron. Kemudian kemajuan lainnya adalah peningkatan efisiensi quantum (QE) dicapai dari campuran dengan kristal inorganik dan kristal bahan pewarna organik [18].
Gambar 3. Bahan organik donor dan akseptor dicampur menjadi bahan heterojunction terdispersi.
Proses Kerja Sel Surya Organik Proses operasi dari sel surya organik terdiri dari 3 tahapan, yaitu (a) absorpsi cahaya surya (energi foton), (b) terjadinya pemisahan muatan (electron dan hole) pada permukaan antara donor-akseptor, dan (c) aliran dari kedua muatan tersebut didalam bahan organik (bulk) ke kedua elektrodanya. Syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan efisiensi yang tinggi, pengubahan energi foton (cahaya) menjadi arus listrik adalah bahwa elektron dan hole tidak terjadi rekombinasi (bersatu) sebelum dibawa/dialirkan ke rangkaian eksternal. Untuk mengurangi proses rekombinasi electron-hole, maka electron dan hole ditransportasikan (dibawa) oleh bahan yang yang berbeda. Sebagai contoh untuk piranti donor-akseptor, maka material akseptor mempunyai sifat konduktivitas elektron yang baik. Sebaliknya untuk bahan donor mempunyai konduktivitas hole yang baik. Oleh karena itu bahan organik yang mudah menghasilkan pasangan electron-hole dan bahan organik mobilitas muatan yang tinggi adalah merupakan faktor yang penting dalam menentukan besarnya efisiensi sel surya bahan organic. Karena kebutuhan transport muatan didalam piranti organik, maka adanya hubungan yang kuat antara efisiensi dan morfologi. Kualitas dan homogenitas bahan organik yang digunakan akan menyebabkan efisiensi yang semakin tinggi dari sel surya. Bahan organik sel surya yang tidak homogen dengan lapisan yang terdapat lubang-lubangnya dan resistivitas seri (serial resistivity) akan menyebabkan “faktor pengisi” (FF: fill factor) kecil, penguatan kecil dan tegangan terbuka (VOC). Sebagai tambahan bahwa dengan semakin tipis ketebalan piranti (devices) pada nilai optimum, maka efisiensi sel surya dapat naik dengan nilai yang cukup berarti [19]. Untuk mendapatkan suatu lapisan tipis bahan organik untuk sel surya, maka proses deposisi dengan kontrol yang baik harus dilakukan. Hasil kajian yang baru-baru ini dilakukan menyatakan bahwa efisiensi kuantum (efisiensi pengubahan cahaya menjadi elektron) diatas 50% dan juga efisiensi daya sebesar 2,5% pada kondisi penyinaran AM1,5 (80 mW/m2) telah dicapai untuk sel surya dengan bahan polimer heterojunction [20]. Meskipun efisiensi sel surya sebesar 2,5% adalah nilai yang besar untuk efisiensi sel surya bahan organik, kesepadanan antara nilai spektrum serapan bahan organik dengan spektrum cahaya matahari adalah sedikit kecil dan selanjutnya juga sangat sulit
mendapatkan bahan organik (polimer) dengan celah energi (band-gap) yang nilainya kecil. Molekul pewarna (dye) termasuk merocyanine, dan metallophtalocyanine merupakan bahan-bahan organik yang sangat menjajikan dijadikan bahan pembuatan sel surya. Keunggulan dari bahan ini organik dengan berat molekul (molecular weight) yang kecil adalah mempunyai nilai koefisien serapan yang tinggi (> 105 cm-1) dengan spektrum cahaya matahari, sedangkan sifat transport pembawa muatan (transport properties) mempunyai korelasi yang kuat dengan kristalinitas bahan organik. Efisiensi sel surya lebih besar dari 3% dengan intensitas iluminasi sebesar 150 mW/cm2 telah dibuat dengan cara evaporasi vakum dengan menggunakan bahan Cu-pthalocyanine/C60 telah dibuat [21]. Sel Surya Berbahan Organik Prinsip dari sel surya berbahan organik terdiri dari suatu komponen/bahan yang melepaskan electron (sebagai donor) karena sinar yang datang pada bahan tersebut dan material lainnya yang akan menerima elektron (sebagai akseptor). Setelah terjadinya pasangan electron-hole pada sisi antar muka (interface) donor-akseptor, maka muatan listrik akan mengalir ke kedua elektrodanya sebagai arus listrik yang lebih dikenal sebagai “photocurrent”, arus listrik yang terjadinya karena cahaya yang jatuh pada permukaan bahan semikonduktor. Pada tahun 2001 [22-23] dilaporkan bahwa sel surya yang dibuat dengan menggunakan polimer (PPV) dan molekul acceptor berupa C60 telah menghasilkan suatu bahan sel surya organik dengan efisiensi sebesar 3% dengan kondisi iluminasi AM1,5. Masih rendahnya efisiensinya sel surya ini karena absorpsi yang relatif kecil dari 2 komponen bahan organik yang digunakan untuk pembuatan sel surya. Sel surya bahan organik dibuat dari film yang bersifat semikonduktor dan lapisan elektroda dideposisikan pada ke-2 permukaan lapisannya. Bila sinar datang ke sel surya tersebut, maka elektron akan tereksitasi dan akan meninggalkan partikel positif yang disebut “holes”. Sebagai akibatnya adalah terjadi medan listrik diantara ke-2 elektrodanya dan selanjutkan akan terjadi arus listrik bila kedua elektroda tersebut dihubungkan. Pada polimer elektron terikat sangat kuat dengan “hole” dan untuk bahan-bahan organik mempunyai suatu struktur jebakan (traps) yang akan menghalangi mobilitas elektron dalam 35
bahan organik tersebut. Sebagai tambahan bahwa bahan organik sangat kecil mengabsorpsi sinar matahari yang datang di permukaan bahan organik tersebut. Sejauh ini sel surya yang terbuat dari bahan plastik baru mencapai efisiensi sebesar 2,5% dibandingkan dengan bahan semikonduktor inorganik (Si, GaAs dan GaSb) yang mempunyai efisiensi sebesar 17%. Akan tetapi karena bahan polimer/plastik sangat murah pembuatannya dan dapat dilakukan pada suhu kamar dibandingkan dengan bahan sel surya inorganik yang pembuatan sangat sulit dan mahal (pada suhu tinggi dan sangat komplek), maka sel surya dengan bahan organik adalah merupakan hal yang sangat prospektif untuk dikembangkan. Dari hasil kajian yang telah dilakukan [24], bahwa tingkat kemurnian dari bahan-bahan pembuatan sel surya akan mempengaruhi sifatsifat listriknya. Untuk menghindari ketidakmurnian lapisan sebagai bahan aktif sel surya, maka material yang akan digunakan dapat dideposisikan dengan menggunakan thermal evaporasi system vakum. Sebagai contoh adalaha bahan Zn-Phthalocyanine and C60 dapat digunakan sebagai pasangan donor-akseptor. Sel surya berbahan organik (polimer) dibuat menggunakan proses cetakan yang memungkinkan modul sel surya baru. Lapisan fotoaktif dari sel surya mempunyai ketebalan 100 nm, sekitar 1/200 dari ketebalan rambut. Karena polimer dicetak dalam bentuk lembaran tipis, maka modul sel surya dengan bahan organik sangat ringan dan dapat dibuat untuk berbagai bentuk sesuai dengan penggunaannya. Schmidt-Mende et. al. [25] mengembangkan sel surya dari bahan organik berupa dye perylene yang lebih dikenal dengan HBC-PhC12, yang berbentuk kristal cair. Bila sinar surya jatuh pada bahan tersebut, maka akan terjadi generasi pasangan elektron-hole yang selanjutnya akan menimbulkan arus listrik. Bahan ini hanya baik untuk konversi efisiensi pada jenis sinar biruhijau, padahal sel surya yang baik harus mempunyai respons pada rentangan sinar tampak. PENUTUP Teknologi sel surya merupakan salah satu jenis teknologi masa depan yang hingga kini para peneliti dari berbagai negara berlombalomba untuk memperoleh piranti sel surya yang murah dengan kualitas yang rasional serta dapat 36
dijadikan produk industri yang dapat dipasarkan. Dengan beberapa faktor tersebut di atas diharapkan juga akan semakin mendorong para peneliti Indonesia di bidang ini untuk lebih memfokuskan kemampuan membuat sel surya secara nyata yang kompetitif dengan berbagai cara termasuk mencari terobosan baru yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Sel surya berbasis bahan organik mempunyai efisien sangat rendah (sekitar 4%) dibanding dengan sel surya berbahan semikonduktor anorganik (Si, GaAs, GaSb dan lain-lain) yang efisiensinya mencapai 27%. Hal ini yang menjadi kendala pengembangan sel surya berbahan organik, terutama sumber energi lain masih tersedia dalam jumlah banyak. Harapan ke depan pengembangan sel surya berbahan organik, yaitu bahan dasar banyak tersedia di daerah tropis, biaya produksi relatif murah dan teknologi lebih sederhana. Selain itu sifat dari bahan organik yang fleksibel dan ringan memungkinkan untuk digunakan bermacammacam keperluan. DAFTAR PUSTAKA 1.
Zuhal,1995, Policy & Development Programs on Rural Electrication for the Next 10 Years, Ditjen. Listrik & Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta. 2. A.H. Ramelan, K.S.A. Butcher, E.M. Goldys, (2002). Conference on Optoelectronic and Microelectronics Materials and Devices, 11-13 December 2002, Sydney, NSW. 3. A.H. Ramelan and E.M. Goldys, (2002). Journal of Applied Physics-USA, 92, 6051 (2002). 4. A.H. Ramelan, K. Drozdowicz-Tomsia, E.M. Goldys, T.L. Tansley (2001). Journal of Electronic Materials-USA, 30, 965 (2001). 5. A.H. Ramelan, K. Drozdowicz-Tomsia, E.M. Goldys, T.L. Tansley, (2000). Conference on Optoelectronic and Microelectronics Materials and Devices, 6-8 December 2000, Melbourne, Victoria. 6. A.H. Ramelan, K. Drozdowicz-Tomsia, E.M. Goldys, T.L. Tansley, (2000). Eleventh Conference on Semiconducting and Insulating Materials, 3-7 July 2000, Canberra, ACTU. 7. Wilson W. Wenas, A. Setiawan, F. Adriyanto, and H. Sangian. The Conference Optoelectronic and Microelectronic Materials and Devices (COMMAD 1998), Perth, Western Australia, 14th to 16th December 1998. 8. A.H. Ramelan, (2001). PhD. Thesis, Division of Information and Communication Sciences, Macquarie University, Sydney, Australia. 9. Kuwat Triyana, T. Yasuda, K. Fujita, and T. Sutsui. Japan.J.Appl.Physics. 44, 4A, 100 (2005). 10. J. Rostalki dan Meissner, Sol. Energy. Mater. Sol. Cells, 61, 87 (2000). 11. Lima puluh tahun Pertambangan dan Energi dalam membangun, Deptamben RI, Agustus 1995, Jakarta. 12. Publikasi Ilmiah "Peranan energi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan", Direktorat teknologi energi BPPT, Mei 1995, Jakarta.
13. Wilson Walery Wenas, Teknologi Sel Surya: Perkembangan Dewasa Ini dan yang akan Datang, Elektro Indonesia No. 12, 1996. 14. Yu G. and Heeger A.J., J. Appl. Phys. 78 (1995) 4510-5. 15. Halls J.J.M., Walsh CA, and Greenham MC. Nature 376 (1995) 498-500. 16. Yoshino K., Tada K., and K. Fuji. IEEE Trans.Electron.Dev. 44 (1997) 1315-24. 17. Yu G., Hummelen JC., and Wudl F. Science 270 (1995) 1789-91. 18. Petritsch K, Dittmer JJ., and Marseglia EA. Sol. Energy Mater Sol Cells 61 (2000) 63-67. 19. T. Fromherz, F. Panginer, D. Gebeyehu, C. Brabec, J.C. Hummalen, N.S. Sariciftci, Sol. Energy Mater.Sol.Cells, 63 (2000) 61.
20. S.E. Shaheen, C.J. Brabec, F.Padinger, T.Fromherz, J.C.Hummelen, N.S. Sariciftci, App.Phys.Lett. 78 (2001) 841. 21. P. Pneumas and S.R. Forrest, Appl.Phys.Lett. 78 (2001) 841. 22. C..J.Brabec, N.S.Sariciftci,and J.C.Hummelen, “Plastic Solar Cells”, Adv. Funct. Mater. 2001,11,No.1,February, pp. 15-25. 23. S.E.Shaheen, C.J.Brabec, N.S.Sariciftci, F.Padinger, T. Fromherz, J.C.Hummelen, “2.5% Efficient Organic Solar Cells ”, Appl.Phys.Lett.78:841-843 (2001). 24. P. Peumans, S.R. Forrest, Appl. Phys. Lett. 79 (2001) 126. 25. Schmidt-Mende, L. et al. Self-organized discotic liquid crystals for high-efficiency organic photovoltaics. Science, 293, 1119-1122, (2001).
37
KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA DAN PEMANFAATANNYA UNTUK SUMBER ENERGI SUTARNO DAN SUGIYARTO Jurusan Biologi FMIPA dan Prodi Biosains PPs UNS Surakarta Peneliti pada Puslitbang Bioteknologi dan Biodiversitas UNS Surakarta
PENDAHULUAN Negara Indonesia yang luasnya hanya sekitar 1.3 persen dari keseluruhan luas permukaan bumi memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, di antaranya: Indonesia memiliki 10 persen dari jenis tanaman berbunga di dunia, 12 persen spesies mamalia dunia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia dunia, 17 persen spesies burung di dunia, dan bahkan mencapai 25 persen dari spesies ikan di dunia, serta memiliki keanekaragaman jenis pohon palm tertinggi di dunia. Letak geografis negara Indonesia yang sangat menguntungkan ini mampu mendukung habitat-habitat untuk tumbuh suburnya berbagai jenis flora fauna. Namun demikian, keanekaragaman yang berlimpah ini belum digali dan dimanfaatkan secara optimal, serta belum diterapkannya teknologi yang memadai dalam pemanfaatan, pengelolaan maupun usaha pelestariannya. Salah satu potensi besar pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa tersebut adalah sebagai sumber energi. Selain memiliki keragaman dan kekayaan sumber energi nonhayati, misalnya panas bumi, angin, ombak dan sinar surya yang melimpah, Indonesia termasuk negara ‘megabiodiversity’ terbesar ketiga yang berfungsi sebagai ‘lumbung energi hayati’. Selain berfungsi sebagai penyimpan energi, sumberdaya hayati (biomassa) juga dapat difungsikan sebagai agen untuk menangkap, mengatur dan meningkatkan efisiensi sumber energi non-hayati lainnya. Masyarakat sejak lama telah menggunakan bahan organik (kayu bakar, sekam padi, tempurung dan lain-lain) sebagai bahan bakar. Selain itu penggunaan pupuk hijau serta pupuk kandang dalam system pertanian terbukti mempunyai andil yang sangat besar 38
guna mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia yang dalam pembuatannya tergantung pada energi fosil. Produksi biogas, bioethanol dan biodiesel dalam skala industri menengah dan besar sudah dirintis dan mulai mendapatkan pasar yang mapan. Teknologi biomembran juga sudah menjadi pilihan untuk peningkatan efisiensi produksi pada berbagai perusahaan. Bahan organik tumbuhan juga telah mulai dilirik untuk dimanfaatkan sebagai ‘solar sel’ yang diharapkan dapat digunakan sebagai penangkap energi surya secara langsung yang berkelanjutan. KEANEKARAGAMAN HAYATI INDONESIA Negara Indonesia yang terletak di daerah tropis memiliki keuntungan tersendiri dalam kaitannya dengan kekayaan keanekaragaman hayati. Indonesia yang memiliki luas sekitar 1.3 persen dari keseluruhan luas permukaan bumi ini memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, diantaranya: Indonesia memiliki 10 persen dari jenis tanaman berbunga di dunia, 12 persen spesies mamalia dunia, 16 persen spesies reptilia dan amfibia dunia, 17 persen spesies burung di dunia, dan bahkan mencapai 25 persen dari spesies ikan di dunia (Haeruman, 1993). Indonesia juga merupakan negara yang memiliki keanekaragaman jenis pohon palm tertinggi di dunia, memiliki lebih dari 400 jenis spesies dipterocarp, suatu jenis tanaman kayu yang bernilai komesial tinggidi Asia Tenggara, dan diperkirakan terdapat sekitar 25.000 jenis tanaman berbunga, seperti disajikan pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Perkiraan jumlah spesies komponen biotik utama di Indonesia dan dunia.
Sumber: Mc Neely dalam Haeruman 1993
Kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia tersebut sebagian besar merupakan sumber daya alam yang memiliki nilai ekonomi penting, bahkan beberapa diantaranya bernilai ekonomi penting secara nasional maupun internasional. Diperkirakan terdapat 6000 spesies tanaman dan hewan digunakan oleh penduduk Indonesia untuk kebutuhan sehari-hari baik yang bersumber dari flora-fauna alami maupun yang dibudidayakan. Banyak sekali jenis tanaman dan hewan alami yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dan komesial sebagai bahan pangan, obatobatan, kerajinan, bahan bangunan maupun bahan bakar. SUMBERDAYA HAYATI POTENSIAL SEBAGAI SUMBER/PENGHASIL ENERGI Kebutuhan dan ketergantungan dunia akan bahan bakar fosil yang ketersediaannya semakin menipis dan tidak dapat diperbarui, telah menjadikan masalah ini menjadi masalah yang secara internasional perlu dicarikan alternatif penyelesaiannya. Penggunaan bensin dalam berbagai jenis peruntukan dapat diganti dengan ethanol, sedangkan penggunaan solar dapat digantikan dengan biodisel. Ethanol dapat dibuat melalui proses fermentasi jenis-jenis bahan dari tanaman tertentu seperti singkong, tebu, jagung dan lain sebagainya, sedangkan biodiesel dapat dibuat melalui esterfikasi asam lemak pada minyak nabati, seperti dari biji jarak pagar, rambutan, sirsak, kelapa sawit, dan kelapa. Kesemua jenis tumbuhan ini, serta tanaman lain yang berpotensi untuk dimanfaatkan untuk penghasil ethanol dan biodisel ini, banyak tumbuh secara alami maupun dibudidayakan di Indonesia.
Ketersediaan lahan yang sangat luas di Indonesia, dan ketersediaan sinar matahari yang berlimpah di daerah tropik Indonesia ini, maka peluang untuk menyediakan bahan mentah bersumber pada tumbuhan yang ketersediaannya dapat diperbarui menjadi sumber energi alternatif merupakan kemudahan tersendiri bagi Negara Indonesia. Kemudahan syarat tumbuh bagi tanaman tertentu, seperti jarak pagar, yang bahkan dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah lahan kritis sekalipun, sangat menjanjikan untuk dikembangkan menjadi energi alternatif di Indonesia. Dibandingkan negara lain, Indonesia sebenarnya mempunyai banyak keunggulan dalam memproduksi biofuel seperti bioethanol dan biodiesel karena mempunyai sarana lahan yang luas, dapat ditumbuhi berbagai tanaman penghasil bahan baku hayati seperti pohon jarak, kelapa, kelapa sawit, jagung, tebu, ketela pohon dan lainnya serta mempunyai banyak tenaga kerja/petani (Purnama dalam Sulistyo, 2006). Di beberapa negara telah menggunakan jenis tumbuhan tertentu untuk dijadikan sumber energi ini, antara lain: Amerika Serikat, menggunakan jagung sebagai sumber untuk memproduksi ethanol. Produksi etanol di Amerika serikat pada tahun 1996 mencapai sekitar 7,6 miliar liter dengan menggunakan teknik fermentasi. pemanfaatan hasil panen jagung ini, disamping dapat menghasilkan energi alternatif yang sangat besar perannya dalam mendukung kebutuhan energi nasional yang tergantung pada minyak import, juga dapat meningkatkan pemasukan hasil ekonomi pertanian serta mengurangi polusi udara. Brazil, menggunakan tanaman tebu sebagai sumber untuk memproduksi ethanol. Negara ini telah mencanangkan program bahan bakar ethanol dalam skala besar sejak terjadinya krisis minyak pada tahun 1970-an. Bagian tanaman yang tidak digunakan dalam produksi gula / ethanol, yakni bagasse, digunakan pula sebagai bahan bakar untuk distilasi ethanol dan untuk menghasilkan listrik. Di Indonesia, telah dimulai beberapa tahun yang lalu untuk mencari sumber bahan mentah yang dapat dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan energi alternatif. Kementerian Riset dan Teknologi dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi telah menemukan 60 jenis tanaman potensial penghasil energi alternatif yang bisa diproduksi secara komersial, diantaranya adalah tanaman penghasil biodiesel atau solar di antaranya sawit, kelapa, dan jarak 39
pagar (Jatropha curcas), serta tanaman yang bisa diolah menjadi bioetanol atau premium misalnya singkong beracun dan tebu. Untuk tanaman pangan yang bisa menjadi bioetanol, antara lain leguminosa (kacang tanah, kedelai dan sejenisnya), umbi-umbian (singkong, ubi jalar dan sejenis), serta biji-bijian (jagung, tan, serealia, dan bunga matahari). Tanaman perkebunan yang bisa menjadi biodiesel dan bioetanol, yaitu jenis palma, seperti kelapa, kelapa sawit, sagu serta berbagai tanaman berjenis tebu. Kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi daripada tumbuhan sejenis yang juga memproduksi minyak lemak. Kelapa sawit mengkonversi energi cahaya menjadi minyak dengan efisiensi transformasi yang amat tinggi. Tanaman non pangan yang potensial menjadi biodiesel, antara lain jarak pagar, jarak kepyar dan kapuk randu. Tanaman lontar, juga dapat dijadikan sebagai tanaman sumber energi alternative di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai "kepulauan lontar" karena di kepulauan ini terdapat ratusan ribu pohon lontar dengan pemanfaatan yang masih sangat rendah, yaitu sekitar sebagai 1-2 persen saja untuk gula lontar dan minuman beralkohol Sebelum membahas masalah potensi sumberdaya hayati, penting untuk diketahui tentang definisi energi. Kata energi berasal dari bahasa Yunan, en berarti dalam dan ergon yang berarti kerja. Energi dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan pengaruh atau akibat, baik itu berupa panas yang ditimbulkan maupun berupa akibat mekanik (Sugito, 1993). Energi dapat dibedakan menjadi energi primer (energi matahari, panas bumi), energi sekunder (energi angin, listrik, biomassa, fosil dan lainlain) dan energi tersier (pupuk, herbisida,insektisida, mesin-mesin dan lain-lain). Semua energi yang memasuki system hidup, baik sel, individu organisme, populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi tersimpan atau terlepaskan serta dapat diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain tetapi tidak dapat hilang, dihancurkan atau diciptakan. Konservasi energi di ekosistem bumi dapat dilakukan dengan cara peningkatan efisiensi pemakaiannya, yaitu melalui cara (a) meningkatkan intensitas konversi dan (b) mengadakan penghematan input energi, baik dengan cara mengurangi pemborosan input maupun diversifikasi.
40
Fungsi sumberdaya hayati untuk me’manage’ energi di bumi bisa dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu: 1. Ekosistem atau komunitas berperan sebagai ‘modifier’ energi; dalam arti ekosistem yang baik akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi melalui pengurangan energi yang terbuang, mengatur fungsi energi angin, panas bumi dan sebagainya 2. Tumbuhan-hewan berperan sebagai ‘deposit’ energi karena tumbuhan dapat mengkonversi energi matahari dan kimia menjadi energi tersimpan di dalam biomassanya sendiri maupun pada hewan yang memakannya melalui rantai makanan. Enwergi tersimpan ini bias dimanfaatkan langsung oleh manusia, misalnya untuk makanan, bahan bakar, pupuk dan lain-lain atau dimanfaatkan secara tidak langsung setelah menjadi produk tertentu misalnya bioetanol, biodiesel, biogas, biofertilizer dan lain-lain. 3. Mikrobia berperan sebagai pelepas/pembebas dan pemroses energi tersimpan menjadi energi termanfaatkan melalui proses fermentasi Dengan demikian bisa kita lihat bahwa pemanfaatan sumberdaya hayati untuk sumber energi bagi kepentingan manusia dapat dilihat dari nilai ekonomi maupun nilai ekologinya. Atau dapat dikatakan energi hayati dapat dinikmati secara langsung dalam bentuk makanan, bahan bakar (kayu bakar, biogas, biodiesel, bioethanol, dan lain-lain) serta secara tidak langsung (sebagai ecosystem engineer, pupuk dan lain-lain). Tumbuhan sebagai sumber energi Pada prinsipnya semua jenis tumbuhan dan mikrobia berkhlorofil berpotensi sebagai sumber energi, karena memiliki biomassa, namun demikian karena kandungan biomassa dari berbagai jenis tanaman berbeda-beda, maka peluangnya untuk dijadikan sebagai sumber energipun bervariasi. Energi biomassa pada dasarnya adalah energi matahari yang ditangkap oleh tanaman melalui proses fotosintesis dan disimpan secara kimiawi dalam sel-sel tanaman. Jenis-jenis tanaman tertentu menghasilkan biji/ buah/ umbi/ batang dengan kandungan jenis karbohidrat tertentu yang tinggi, sedangkan jenis yang lain memiliki kandungan jenis lemak nabati tinggi, sementara jenis tumbuhan lain ada yang memiliki kandungan protein tinggi. Dari bahan yang dihasilkan inilah, dengan mempertimbangkan berbagai faktor lain yang
mempengaruhi produksi energi yang terkait dengan proses teknologinya serta pertimbanganpertimbangan untung ruginya, maka peluang jenis-jenis tumbuhan untuk dijadikan sebagai sumber energi menjadi sangat bervariasi. Sebagai penghasil energi, berbagai jenis tumbuhan dapat dimanfaatkan antara lain untuk: bahan bakar langsung, bahan biodiesel, bahan bioetahnol, bahan biogas dan bahan pupuk/pestisida organik. Semua tumbuhan berkayu dapat dimanfaatkan langsung sebagai kayu bakar. Kelompok tumbuhan ini merupakan penyumbang terbesar biomassa tumbuhan di bumi. Kelompok tumbuhan ini didominasi oleh keluarga Dypterocarpaceae, Anacardiaceae, Apocynaceae, Leguminoceae (Prosea, 1994). Tanaman pangan yang menghasilkan produk dengan kandungan karbohidrat tinggi meliputi kelompok tumbuhan sereal (padi, jagung, sorgum), umbi-umbian/tuber crop (ubi jalar, ubi kayu, uwi, garut, balitung, talas, gadung, dan gembili) dan berbagai jenis buah-buahan berserat merupakan sumber utama bahan pembuatan bioethanol. Singkong atau ubikayu merupakan contoh produk ubi-ubian yang sangat melimpah, selain dapat digunakan sebagai bahan makanan, bahan baku industri maupun pakan ternak juga untuk sumber energi. Singkong mengandung air sekitar 60%, pati (25-35%), protein, mineral, serat, kalsium, dan fosfat. Ubi kayu merupakan sumber energi yang lebih tinggi dibanding padi, jagung, ubi jalar, dan sorgum (Somantri dkk, 2006). Berbagai jenis tumbuhan penghasil biji-bijian dan buah-buahan berminyak adalah sebagai sumber pembuatan biodiesel. Salah satu jenis yang sudah sangat popular untuk kepentingan industri ini adalah tanaman jarak (Jathropa sp, Ricimus communis) dan kelapa sawit (Suntoro, 2006). Dilihat dari karakternya diduga masih banyak lagi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai sumber pembuatan biodiesel ini tetapi belum tereksploitasi, yaitu terutama kelompok tumbuhan yang menghsilkan biji-biji berminyak (Palmae dan Leguminoceae). Selain itu sisa-sisa biomassa tumbuhan yang lainnya adalah sumber pembuatan biogas maupun pupuk organik. Untuk keperluan pembuatan sel surya dari bahan organic tumbuhan masih relatif terbatas dan efisiensinya relatif rendah. Hewan sebagai sumber energi. Fungsi hewan sebagai penghasil energi memang relatif sedikit, terutama jika dilihat dari kacamata ekonomi maupun skala industri. Pada
umumnya pemanfaatan hasil samping dari peternakan berskala rumah tangga atau subsisten. Akan tetapi sebenarnya fungsi hewan sebagai sumber energi juga cukup penting misalnya sebagai penghasil bioarang, biogas maupun sebagai penghasil pupuk kandang (Setiawan, 1996). Dalam hal pembuatan biogas dari kotoran ternak hanya bias dilakukan untuk peternakan skala besar atau dalam system peternakan kolektif yang banyak dilakukan di Daerah Istimewa Jogyakarta akhir-akhir ini. Adapun peran terbesar penggunaan hewan dalam menghasilkan energi adalah difungsikannya kotoran hewan sebagai pupuk organic yang secara tidak langsung akan mengurangi penggunaan energi fosil (Sugito dkk, 1995). Peran mikrobia dalam produksi energi hayati Perlu disadari bahwa proses pembuatan energi yang berskala industri misalnya bioethanol, biodiesel, pupuk organic maupun biogas tidak terlepas dari peran mikrobia sebagai decomposer atau fermentatornya. Kelompok terbesar mikrobia yang berguna dalam prosesproses tersebut adalah kelompok jamur, khamir dan beberapa jenis bakteri. Peluang penggunaan mikrobia ini untuk peningkatan efisiensi proses industri sangat besar karena masih banyak hal yang belum diketahui. Hal ini akan lebih prospektif lagi dengan berkembangnya bioteknologi, khususnya di bidang rekayasa genetika akhir-akhir ini. PENUTUP Didukung oleh posisi geografis dan karakter geologisnya, Indonesia memiliki kekayaan hayati yang melimpah. Dengan melihat besarnya potensi sumberdaya hayati untuk menghasilkan energi untuk kepentingan manusia, maka tidak selayaknya potensi tersebut dinomor-duakan sebagai sumber energi masa depan kita. Sudah saatnya kita membangun paradigma: energi hayati sebagai energi utama dan energi fosil sebagai energi alternatif. DAFTAR PUSTAKA Haeruman. H. (chairman). 1993. Biodiversity Action plan for Indonesia. Ministry of National Development Planning, Jakarta Prosea. 1992. Plant Resources of South-East Asia 2: Edible fruits and nuts. Prosea.Bogor.
41
Prosea. 1994.. Plant Resources of South-East Asia 5: Timber trees: Major commercial timbers. Prosea. Bogor. Somantri, I.H., Hasanah, M., Adisoemarto, S., Thohari, M., Nurhadi, A., dan Orbani, I.N. (2006). Mengenal Plasma Nutfah Tanaman Pangan. Biogen online, Komisi Nasional Plasma Nutfah, 25 Maret 2006..
42
Sugito, Y. 1993. Energi dan Produksi Pertanian. Fakultas Pertanian UNIBRAW. Malang. Sulistyo, H.S. 2006. Pertanian perlu Fokus pada Tanaman untuk Bioenergi. Detiknet. Suntoro. 2006. Potensi Pertanian dalam Mengatasi Krisis Energi. Orasi Ilmiah Dies Natalis XXX UNS. Surakarta.
FERMENTASI ETANOL DARI PATI SINGKONG OLEH Saccharomyces cerevisiae YANG DIKO-KULTUR DENGAN Rhizopus oryzae Ethanol fermentation from cassava starch by Saccharomyces cerevisiae grown in cocultures with Rhizopus oryzae TJAHJADI PURWOKO Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami 36 A Surakarta 57126. Tel & fax 62 271 663375, email
[email protected]
ABSTRACT This experiment was to study ethanol fermentation from cassava starch by Saccharomyces cerevisiae grown in co-culture with Rhizopus oryzae. Media of 2, 4, 6, 8, 10 and 12% cassava starch were separated using synthetic sponges. The bottom side of media was inoculated with S. cerevisiae and the upper side with R. oryzae. The cultures were incubated for 72 hours using shaker (60 rpm) at 30°C. Starch consumptions, and concentrations of ethanol of cultures were increased following increasing fermentation times. The highest starch consumption was 63.30 g/L and obtained from 12% cassava starch media. The highest ethanol concentration was 26.00 g/L and obtained from 12% cassava starch media after 72 hours fermentation. Key words: co-culture, ethanol fermentation, Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae
PENDAHULUAN Alkohol sebagian besar dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan pelarut. Sebagai pelarut, alkohol diminati karena mudah bercampur dengan air, sehingga dapat diterapkan dalam pelarut obat-obatan. Selain itu, alkohol dimanfaatkan sebagai sumber energi. Alkohol yang paling banyak dipakai sebagai sumber energi, adalah metanol. Namun tidak tertutup kemungkinan etanol dapat menggantikan metanol sebagai sumber energi. Etanol juga dipakai sebagai reaktan dalam menghasilkan biodiesel yang berasal dari minyak nabati. Keunggulan alkohol sebagai sumber energi
adalah hanya menghasilkan air dan karbondioksida sebagai produk buangan. Alkohol, khususnya etanol merupakan hasil fermentasi gula oleh khamir dan bakteri dalam suasana anaerob. Kemampuan khamir dalam memproduksi etanol telah lama dimanfaatkan oleh manusia. Khamir yang sering digunakan dalam fermentasi etanol, adalah Saccharomyces cerevisiae. Namun kemampuan S. cerevisiae dalam menggunakan jenis-jenis karbohidrat terbatas pada sakarida sederhana, misalnya glukosa, fruktosa, dan sukrosa. Glukosa, fruktosa, dan sukrosa merupakan karbohidrat paling banyak ditemukan di buah-buahan. Oleh karena itu, S. cerevisiae dimanfaatkan dalam pembuatan alkohol dari buah-buahan. Alkohol yang berasal dari buah, disebut wine. Polisakarida, khususnya pati dan selulosa merupakan komponen terbesar dalam umbiumbian dan daun. Sampai saat ini, umbi-umbian hanya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat penganti beras. Tumbuhan penghasil pati terbesar adalah singkong. Kandungan pati dalam umbi singkong kering adalah 90%. S. cerevisiae tidak mampu memfermentasi pati menjadi etanol. Beberapa usaha untuk memanfaatkan pati sebagai substrat dalam pembuatan etanol, yaitu mengisolasi jenis-jenis khamir baru yang mampu memfermentasi pati menjadi etanol (Sharma et al., 2002), mengombinasi enzim amilolitik dengan S. cerevisiae (Giordano et al., 2000), menyisipkan gen penghasil enzim amilolitik ke dalam DNA S. cerevisiae (Kim & Kim, 1996; Ma et al., 2000), dan mengombinasi mikroba amilolitik dengan dengan S. cerevisiae (Fuji et al., 2001; Ariani, 2004).
43
Kultur campuran yang mengandung khamir, lebih banyak menghasilkan etanol dibandingkan kultur tunggal khamir (Athanasiadis et al., 2002). Beberapa mikroba penghasil enzim amilolitik adalah Rhizopus oryzae (Kondo et al., 2002) dan Aspergillus awamori (Fuji et al., 2001; Farid et al., 2002). Di Indonesia, R. oryzae lebih populer dibandingkan A. awamori karena R. oryzae sering dimanfaatkan sebagai inokulum dalam pembuatan makanan terfermentasi, misalnya tempe. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi etanol dari pati singkong oleh S. cerevisiae yang ko-kultur dengan R. oryzae. BAHAN DAN METODE Rhizopus oryzae FNCC 6078 diperoleh dari PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saccharomyces cerevisiae diisolasi dari ragi tape. Pati singkong diperoleh dari PT. Indofood Sukses Makmur, Indonesia. Fermentasi ko-kultur. Variasi media pati singkong masing-masing adalah 20, 40, 60, 80, 100, dan 120 g/L dan ditambah 0,25 g/L MgSO4, 0,1 g/L FeSO4, 2,5 g/L K2H2PO4, dan 10 g/L Amonium tartat. Media pati singkong (200 mL) dimasukkan pada bagian bawah fermentor berkapasitas 1 L. Spons sintetik setebal 2 cm dimasukkan ke dalam fermentor, sehingga membagi media menjadi dua bagian (Gambar 1). Setelah disterilisasi (121°C, 15 menit), bagian atas media diinokulasi dengan R. oryzae (± 108 cfu) dan bagian bawah diinokulasi dengan S. cerevisiae (± 108 cfu). Kultur diinkubasi pada suhu 30°C selama 72 jam di atas penggoyang dengan kecepatan 60 rpm. Analisis konsumsi pati dan kadar etanol dilakukan setiap 12 jam.
Gambar 1. Desain fermentor ko-kultur S. cerevisiae (a) dan jamur R. oryzae (b) dengan menggunakan spons sintetik (c) sebagai pemisah.
44
Analisis pati. Sampel (50 mL) disentrifuse dengan kecepatan 3.000 rpm selama 5 menit. Bagian cair (supernatan) diambil dan ditambah 5.000 unit amilase (Westmont Pharmaceuticals, Bogor, Indonesia) dan dibiarkan selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 6.000 selama 5 menit. Sampel (1 mL) diukur penyerapan cahaya (absorbansi) pada panjang gelombang 510 nm dengan UV-VIS spektrofotometer (Alexander & Griffiths, 1992). Nilai absorbansi dikonversi ke kadar pati berdasarkan persamaan standar amilum. Analisis etanol. Sampel (50 mL) didestilasi pada suhu 70°C selama 1 jam. Berat destilat dibandingkan dengan berat air. Hasil perbandingan dikonversi ke kadar etanol berdasarkan Tabel Konversi Etanol. Analisis data. Semua analisis dilakukan dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh, dianalisis menggunakan analis sidik ragam (Anava) dengan tingkat kepercayaan 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan spons dalam penelitian dimaksudkan untuk memisahkan kultur aerob R. oryzae dan anaerob S. cerevisiae. Selain itu, spons berperan sebagai pembatas bagi S. cerevisiae, sehingga S. cerevisiae tidak dapat melakukan respirasi. Namun spons tidak menghalangi difusi nutrient, sehingga nutrient dapat tersebar merata dalam media. Konsumsi pati oleh S. cerevisiae dan R. oryzae meningkat seiring bertambahnya waktu fermentasi pada semua media pati singkong (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa sampai 3 hari fermentasi masih terdapat pertumbuhan dan belum memasuki fase kematian. Konsumsi pati juga meningkat seiring dengan bertambahnya kadar pati singkong dalam media. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ariyani (2004). Pati dipecah oleh amilase R. oryzae menjadi monomer glukosa. Selanjutnya, glukosa dikonsumsi oleh S. cerevisiae dan R. oryzae untuk pertumbuhan dan pembentukan energi. Terdapat perbedaan pembentukan energi antara S. cerevisiae dan R. oryzae. S. cerevisiae membentuk energi via fermentasi, sedangkan R. oryzae membentuk energi via respirasi dan fermentasi. Konsumsi pati tertinggi diperoleh dari media pati singkong 8-12% setelah 72 jam fermentasi, yaitu 55.23-63.30 g/L.
Tabel 1. Konsumsi pati oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae pada media pati singkong.
2). Namun pada media pati singkong 4% terlihat bahwa produksi etanol pada 72 jam fermentasi lebih kecil Media pati singkong daripada 60 jam fermentasi. Hal ini Waktu 2% 4% 6% 8% 10% 12% Rerata menunjukkan bahwa S. cerevisiae fermentasi (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) pada media pati singkong 4% telah 12 jam 4.10 5.67 6.93 11.83 15.23 16.27 10.01a memasuki fase stationer. 24 jam 10.60 13.33 13.10 17.37 20.37 22.17 16.16b Penggoyangan fermentor dengan 36 jam 13.73 16.03 21.50 33.20 30.77 33.57 24.80c 48 jam 18.13 23.60 28.00 42.30 40.63 42.40 32.51d kecepatan 60 rpm dimaksudkan 60 jam 20.50 32.73 42.83 48.30 49.77 52.87 41.17e untuk menunda S. cerevisiae 72 jam 23.83 31.10 46.60 56.77 55.23 63.30 46.14f memasuki fase stationer. Hal ini Rerata 15.16p 20.41q 26.49r 34.96s 35.33s 38.43s karena penggoyangan 90 rpm dapat Keterangan: a-f: Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan mempercepat S. cerevisiae memasuki perbedaaan nyata (α=0.05); p-s: Angka yang diikuti huruf berbeda fase stationer setelah 48 jam menunjukkan perbedaaan nyata (α=0.05) fermentasi (Ariani, 2004). Produksi etanol tertinggi diperoleh dari media pati singkong Tabel 2. Produksi etanol oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan 8-12% selama 72 jam fermentasi, R. oryzae pada media pati singkong. yaitu 24.00-26.00 g/L. Kultur Media pati singkong campuran S. cerevisiae dan R. oryzae Waktu 2% 4% 6% 8% 10% 12% Rerata pada media ubi jalar mampu fermentasi (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) menghasilkan etanol sampai 22.5 12 jam 2.00 2.33 3.00 5.33 7.00 7.00 4.44a g/L (Ariyani, 2004), sedangkan 24 jam 4.33 5.67 5.67 8.33 9.00 10.67 7.28b Kultur campuran S. cerevisiae dan A. 36 jam 6.00 7.00 10.00 15.67 14.33 15.67 11.44c awamori mampu menghasilkan 48 jam 8.00 11.00 13.67 20.33 19.00 20.33 15.39d etanol sampai 25 g/L (Farid et al., 60 jam 7.67 15.33 18.67 22.67 22.67 24.00 18.50e 2002). Jika S. cerevisiae disisipi gen 72 jam 10.00 14.00 21.00 24.67 24.00 26.00 19.94f amilase, maka S. cerevisiae mampu Rerata 6.33p 9.22q 12.00r 16.17s 16.00s 17.28s menghasilkan etanol sampai 75 g/L Keterangan: a-f: Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan perbedaaan nyata (α=0.05); p-s: Angka yang diikuti huruf berbeda (Kim & Kim, 1996). menunjukkan perbedaaan nyata (α=0.05) Efisiensi produksi etanol teoritis adalah 50%, jika tidak terjadi penambahan biomassa. Secara Tabel 3. Efisiensi produksi etanol oleh S. cerevisiae yang diko-kultur teoritis produksi biomassa dapat dengan R. oryzae pada media pati singkong. dihambat, jika waktu fermentasi Media pati singkong dipersingkat. Secara riil fermentasi Waktu 2% 4% 6% 8% 10% 12% Rerata etanol selalu menghasilkan fermentasi (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) (g/L) biomassa. Efisiensi produksi etanol 12 jam 49.21 40.89 42.66 44.85 45.87 42.95 44.40ab pada penelitian ini cukup tinggi, 24 jam 40.92 42.54 43.18 48.19 44.17 48.03 44.51ab yaitu di atas 40% (Tabel 3). Tidak 36 jam 43.81 43.53 46.50 47.13 46.60 46.70 45.71b 48 jam 44.05 46.61 48.78 48.07 46.81 47.95 47.05b maksimalnya efisiensi produksi 60 jam 37.51 46.84 43.64 46.94 45.54 45.40 44.31ab etanol karena sekitar 15% pati 72 jam 33.61 45.04 45.06 43.45 43.47 41.21 41.97a diubah menjadi biomassa dan Rerata 41.52p 44.24pq 44.97q 46.44q 45.41q 45.37q energi. Biomassa R. oryzae lebih Keterangan: a-b: Angka yang diikuti huruf berbeda menunjukkan tinggi daripada S. cerevisiae (data perbedaaan nyata (α=0.05); p-q: Angka yang diikuti huruf berbeda tidak ditampilkan). menunjukkan perbedaaan nyata (α=0.05) Laju produksi etanol oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae pada media pati singkong 8Dalam melakukan fermentasi untuk 12% lebih tinggi dibandingkan pada media pati membentuk energi, maka S. cerevisiae singkong 2-6% (Gambar 2). Hal ini menunjukkan menghasilkan etanol sebagai by product bahwa secara umum S. cerevisiae mampu fermentasi. Produksi etanol oleh S. cerevisiae yang menghasilkan etanol dari media sekitar 10% diko-kultur dengan R. oryzae meningkat seiring (Farid et al., 2002). Stabilnya laju produksi etanol dengan bertambahnya waktu fermentasi (Tabel menunjukkan bahwa sistem fermentasi etanol 45
oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae pada penelitian ini dapat diaplikasi dalam industri, sehingga dapat menekan biaya produksi sekecil mungkin. 700 600 500 400 300 200 100 0 12 jam
24 jam
36 jam
48 jam
60 jam
72 jam
M ed ia p at i sing ko ng
2%
4%
6%
8%
10%
12%
Gambar 2. Laju produksi etanol oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae pada media pati singkong.
KESIMPULAN Produksi etanol tertinggi oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae diperoleh dari media pati singkong 8-12%. Namun secara individu produksi etanol tertinggi oleh S. cerevisiae yang diko-kultur dengan R. oryzae diperoleh dari media pati singkong 12% selama 72 jam fermentasi, yaitu 26.00 g/L.
46
DAFTAR PUSTAKA Alexander, R.R. & J.M. Griffiths. 1992. Basic biochemical methods. Ed ke-2. New York: John Wiley & Sons Inc. Ariani, D. 2004. Fermentasi etanol dari ubi jalar (Ipomoea batatas) oleh kultur campuran Rhizopus oryzae dan Saccharomeces cerevisiae. Skripsi FMIPA UNS, Solo. Athanasiadis, I., D. Boskou, M. Kanellaki, V. Kiosseoglou & A.A. Koutinas. 2002. Whey liquid waste of the dairy industry as raw material for potable alcohol production by kefir granules. J Agric Food Chem. 50:7231-7234. Farid, M.A., H.A. El-Enshasy & A.M.N. El-Deen. 2002. Alcohol production from starch by mixed cultures of Aspergillus awamori and immobilized Saccharomyces cerevisiae at different agitation speeds. J Basic Microbiol.42:162-171. Fuji, N., T. Oki, A. Sakurai, S. Suye & M. Sakakibara. 2001. Ethanol production from starch by immobilized Aspergillus awamori and Saccharomyces pastorianus using cellulose carriers. J Ind Microbiol Biotechnol. 27:52-57. Giordano, R.L., P.C. Hirano, L.R. Goncalves & W.S. Netto. 2000. Study of biocatalyst to produce ethanol from starch: Coimmobilization of glucoamylase and yeast in gel. Appl Biochem Biotechnol. 63:643-654. Kim, T.G. & K. Kim. 1996. The construction of a stable starchfermenting yeast strain using genetic engineering and rare-mating. Appl Biochem Biotechnol. 59:39-51. Kondo, A., H. Shigechi, M. Abe, K. Uyama, T. Matsumoto, S. Takahashi, M. Ueda, A. Tanaka, M. Kishimoto & H. Fukuda. 2002. High-level ethanol production from starch by a flocculent Saccharomyces cerevisiae strain displaying cell-surface glucoamylase. Appl Microbiol Biotechnol. 58:291-296. Ma, Y.J.,.L.L Lin, H.R. Chien & W.H. Hsu. 2000. Efficient utilization of starch by a recombinant strain of Saccharomyces cerevisiae producing glucoamylase and isoamylase. Biotechnol Appl Biochem. 31:55-59. Sharma, S., M. Pandey & B. Saharan. 2002. Fermentation of starch to ethanol by an amylolytic yeast Saccharomyces diastaticus SM-10. Indian J Exp Biol. 40:325-328.
FOTODEGRADASI FENOL DENGAN KATALIS TITANIUM OKSIDA DAN TINANIUM SILIKAT MESOPORI-MESOSTRUKTUR HARI SUTRISNO1, RETNO ARIANINGRUM1, ARISWAN2 1) 2)
Jurdik Kimia, FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Jurdik Fisika FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRACT The objective of this research is to study the fotodegradation of phenol by titanium dioxide and titanium silicate mesoporous-mesostructure accelerated by hydrogen peroxide (H2O2). Photodegradations were carried out in stirred slurries of mesoporous-mesostructure titanium dioxide and titanium silicate: 0.15 g TiO2-layered macrostructure, 0.35 g TiO2/MCM-41 and 0,5 g Ti-MCM-41 in deionized water respectively. Phenol solution (0,5 g/L) was illuminated by 160 W from mercury lamp at times various: 20, 40, 60 and 80 minute. The results show that TiO2-layered mesostructure followed by TiO2/MCM-41 are the two most active photocatalyst, while Ti-MCM-41 is not active photocatalyst. Organic substances produced from phenol fotodegradation include phenol → p-benzoquinon, hydroquinon → catecol → maleat acid → asetat aciddan formiat acid → water and carbon dioxide. Keywords: photodegradation, phenol, mesoporousmesostructure, titanium dioxide, titanium silicate
PENDAHULUAN Pencemaran perairan berbahaya umumnya berasal dari senyawa organik yang berasal rumah tangga dan industri. Detergent merupakan salah satu contoh jenis pencemar kimia dari rumah tangga, sedangkan fenol dan turunannya berasal dari industri kimia, industri pulp, kertas, kayu lapis, migas, plastik, tekstil dan rumah sakit. Grup fenol dan kresol merupakan salah satu grup senyawa dari sembilan grup senyawa organik yang sangat diproteksi dilingkungan oleh United States EPA (Environmental Protection Agency) (Ollis et al., 1986). Konsentrasi fenol yang dapat dibolehkan diperairan sebesar 0,005-0,010 g/L (Uyi
Sulaeman & Hermawan, 2002), sedangkan konsentrasi fenol yang ada dalam limbah cair pada berbagai macam proses industri berkisar 0,035-8,000 g/L. Senyawa fenol bersifat karsinogenik dan terurai sangat lambat oleh sinar matahari. Fenol diperairan masuk ke dalam tubuh manusia melalui ikan yang dimakan manusia atau air minum yang diolah dari perairan, kemudian terakumuliasi dalam tubuh dan dapat mengganggu metabolisme tubuh. Efek toksik fenol terhadap manusia dengan menyerang organ: ginjal, hati, limpa, pangkreas, paru-paru dan otak (Ollis et al., 1986). Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi polutan fenol di atas, antara lain: dengan adsorpsi dengan karbon aktif, oksidasi kimiawi, dan oksidasi secara biologi. Adsorbsi dengan karbon aktif hanya menyerap polutan tetapi tidak dapat menghilangkannya, oksidasi secara biologi digunakan terbatas dan berlangsung secara lambat, sedangkan oksidasi kimiawi hanya tepat untuk polutan yang memilki konsentrasi tinggi padahal fenol dengan konsentrasi rendah sangat berbahaya. Fenol dalam lingkungan perairan teroksidasi secara sangat lambat oleh oksigen, sehingga untuk mempercepat reaksi degradasi diperlukan suatu katalis yang efektif dan efisien untuk polutan dengan konsentrasi rendah. TiO2 merupakan senyawa semikonduktor yang stabil dan bertindak sebagai katalis untuk degradasi senyawa organik dengan konsentrasi rendah, karena melibatkan spesies radikal aktif. Berdasarkan hal di atas, sangat menarik merekayasa struktural dan porositas TiO2 dan turunannya yang efektif dan efisien sebagai pendegradasi polutan femol atau organik di lingkungan perairan. Material mesopori-mesosruktur menjadi perhatian para peneliti pada tahun 1990-an 47
setelah peneliti-peneliti dari group Mobil Oil menggunakan konsep baru dalam sintesis material silikat berpori. Mereka menggunakan surfaktan sebagai agen strukturasi dan berhasil mendapatkan material silikat dan alumino silikat dengan struktur lapis (lamellar), heksagonal dan kubik (Alfredson et al., 1994; Kresge et al., 1992). Penemuan tersebut mendorong untuk mengembangkan material mesoporimesostruktur dari logam titanium oksida dan campuran titanium-silikon oksida (Hari Sutrisno, Retno Arianingrum dan Ariswan, 2005). Senyawa titanium oksida dan titanium silikat mesopori-mesostruktur yang dihasilkan diaplikasikan untuk degradasi senyawa fenol secara simulasi dan senyawa organik di lingkungan perairan. Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fotodegradasi larutan fenol tanpa maupun adanya kehadiran hidrogen peroksida (H2O2) dengan fotokatalis titanium oksida dan titanium silikat mesopori-mesostruktur. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini: air, fenol, H2O2, kloroform, sedangkan alat-alat yang digunakan: peralatan gelas, sinar UV, penyaring Buchner, timbangan, pengaduk magnet, labu ukur, reaktor fotokatalitik dilengkapi dengan lampu Hg (merk Osram, 160 watt), pompa vakum. Instrumen yang digunakan untuk karakterisasi, meliputi: spektrofotometer UV-Vis cair, dan GC (Gas Chromatography). Cara kerja Degradasi fenol oleh TiO2-layer mesostruktur, TiO2/MCM-41 dan Ti-MCM-41 Senyawa organik yang digunakan untuk studi degradasi dengan katalis titanium silikat dan titanium oksida mesopori-mesostruktur yaitu fenol. Dibuat larutan fenol berkadar 0,5 g/L dengan cara dilarutkan 0,25 g fenol dalam akuades 500 ml dalam labu ukur, ternyata laarutan ini memiliki pH sebesar 5. Larutan tersebut dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing sebanyak 100 ml dalam labu erlenmeyer berukuran 100 ml. Erlenmeyer pertama yang berisi 100 ml larutan fenol, ditambahkan sebanyak 0,15 g TiO2-layer mesostruktur dan kemudian diaduk agar homogen selama 10 menit. Selanjutnya larutan disaring dan filtratnya 48
diambil sebanyak 50 ml untuk analisis kuantitatif kadar fenol dengan kormatografi gas dan spektrofotometer UV-Vis. Erlenmeyer kedua yang berisi 100 mL larutan fenol, ditambahkan sebanyak 0,15 g TiO2-layer mesostruktur dan kemudian diaduk agar homogen selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan uji degradasi melalui penyinaran dengan sinar UV selama 20 menit. Setelah penyinaran dengan sinar UV, larutan disaring dan filtratnya diambil sebanyak 50 mL untuk analisis kuantitatif kadar fenol dengan kormatografi gas dan spektrofotometer UV-Vis. Prosedur diatas diulang pada bagian tahap penyinaran dengan sinar UV masingmasing selama: 40, 60 dan 80 menit. Prosedur di atas diperlakukan juga untuk katalis lain: 0,35 g TiO2/MCM-41 dan 0,50 g TiMCM-41. Katalis TiO2/MCM-41 berisi sekitar 30% berat TiO2, sedangkan katalis Ti-MCM-41 mengandung sekitar 5% berat TiO2. Uji degradasi dilakukan dalam reaktor fotokatalitik (Gambar 1), dengan bantuan penyinaran sinar UV dari lampu UV yang berasal dari lampu merkuri 160 W merk Osram. Reaktor fotokatalitik berupa kotak kayu berukuran 50x75x75 cm3 yang didalamnya dilapisi oleh aluminium foil. Analsis kadar fenol dilakukan melalui ekstraksi 50 mL filtrat dengan kloroform, kemudian dirotavapor hingga mendapatkan fenol pekat. Sebelum diekstraksi dengan kloroform, pH filtrat larutan diturunkan hingga pH = 2 melalui penambahan H2SO4 pekat.
Gambar 1. Reaktor fotokatalitik
Kehadiran hidrogen peroksida (H2O2) pada degradasi fenol dengan katalis TiO2-layer mesostruktur, TiO2/MCM-41 dan Ti-MCM-41 Studi pengaruh penambahan H2O2 pada degradasi fenol dengan TiO2-layer mesostruktur,
TiO2/MCM-41 dan Ti-MCM-41 melalui prosedur yang sama sebagaimana pada studi degradasi felol di atas. Perbedaannya pada studi ini dilakukan panambahan H2O2 dengan konsentrasi tertentu dalam larutan fenol yang berkadar 0,5 g/L. Sebanyak 0,25 g fenol dan 0,5 g larutan 30% H2O2 dimasukkan ke dalam labu ukur 500 mL, kemudian ditambahkan akuades sampai tanda dan selanjutnya larutan tersebut dibagi menjadi 5 bagian, selanjutnya diperlakukan sebagaimana prosedur di atas, melalui penyinaran dengan sinar UV masing-masing selama: 0, 20, 40, 60 dan 80 menit untuk masing-masing katalis: TiO2layer mesostruktur, TiO2/MCM-41 dan Ti-MCM41. Karakterisasi hanya dilakukan dengan spektrofotometer sinar UV, tidak dilakukan dengan GC. HASIL DAN PEMBAHASAN Spektra UV Larutan fenol telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti sebagai tes fotokatalik dari sifat katalis titanium oksida. Molekul ini merupakan perwakilan yang baik sebagai polutan organik aromatik di dalam air. Rekaman spektra UV pada berbagai waktu penyinaran untuk katalis TiO2-layer mesostruktur, TiO2/MCM-41 dan TiMCM-41 dalam proses degradasi larutan fenol. Semua spektra UV pada panjang gelombang 200500 nm untuk larutan fenol dengan konsentrasi 0,5 g/L sebelum dan sesudah penyinaran menunjukkan adanya pita absorbsi lebar antara 240 sampai 290 nm berupa dua puncak sekitar 270 nm. Rekaman spektra UV pada berbagai waktu penyinaran untuk katalis TiO2-layer mesostruktur, TiO2/MCM-41 dan Ti-MCM-41 dalam proses degradasi larutan fenol dengan kehadiran H2O2. Degradasi fenol dengan katalis TiO2-layer mesostruktur menunjukkan adanya pita absorbsi UV yang lebar antara 240 sampai 290 nm berupa dua puncak sekitar 270 nm, sedangkan katalis TiO2/MCM-41, disamping kemunculan dua puncak disekitar 270 nm, juga suatu puncak sekitar 290 dan 359 nm. Pita absorbsi UV pada panjang gelombang sekitar 270, 359 dan 381 nm diperoleh pada degradasi fenol dengan katalis Ti-MCM-41. Kromatografi Gas Analisis secara kuantitatif menggunakan kromatografi gas menunjukkan adanya penurunan konsentrasi fenol seiring peningkatan
lamanya penyinaran (Tabel 1). Berdasarkan hasil kromatografi gas menunjukkan bahwa terjadi penurunan kuantitas larutan fenol secara tajam pada penggunaan katalis TiO2-layer mesostruktur dan TiO2/MCM-41 dengan waktu penyinaran yang sama, sedangkan Ti-MCM-41 penurunan yang sangat lambat. Tabel 1. Konsentrasi dalam larutan setelah variasi waktu penyinaran Jenis Katalis Lama Penyinaran (menit) 0 20 40 60 80
TiO2-layer TiO2/MCM-41 Ti-MCM-41 Kadar fenol Kadar fenol Kadar fenol dalam larutan dalam dalam (%) larutan (%) larutan (%) 100,0 95,6 92,0 51,2 25,6
100,0 91,2 82,0 45,8 28,6
100,0 96,7 97,6 93,3 94,1
Pembahasan Pita absorbsi UV berupa dua puncak sekitar 270 nm pada waktu penyinaran 0 menit menunjukkan adanya larutan fenol, yang teridentifikasi pada panjang gelombang 270 nm. Kemunculan absorbsi pada panjang gelombang 290 nm merupakan absorbsi dari campuran senyawa p-bensokuinon, hidroksibensokuinoin dan hidrokuinon. Absorbsi hidrokuinon murni terjadi antara 250 dan 310 nm dengan panjang gelombang maksimal 285 nm, p-bensokuinon mengabsorsi sangat kuat dibawah 260 nm dan pada daerah dengan panjang gelombang maksimal 290 nm (Znaidi et al., 2001). Spektra absorbsi yang sangat berbeda terjadi dengan katalis Ti-MCM-41 yaitu munculnya pita absorbsi sekitar 359 dan 810 nm. Hal ini mengindikasikan terbentuknya suatu senyawa antara (transisi) yang lain. Fotodegradasi fenol oleh titanium oksida yang teremban silika menghasilkan hidrokuinon, katekol, asam maleat, selannjutnya teroksidasi menjadi asam asetat dan asam formiat, kemudian berubah menjadi air dan karbon dioksida. Hubungan fenol yang tersisa dengan waktu penyinaran digambarkan seperti pada Gambar 2. Berdasarkan grafik tersebut, hubungan konsentrasi fenol dengan waktu penyinaran, degradasi fenol dengan katalis TiO2-layer mesostruktur, TiO2/MCM-41, dan Ti-MCM-41 mengikuti persamaan adsorpsi LangmuirHinshelwood (Ollis et al., 1986). Proses yang terjadi pada waktu penyinaran hingga 40 menit berjalan lambat karena adanya proses pembangkitan muatan-transfer muatan antar 49
muka dan degradasi fenol dipermukaan, sedangkan setelah waktu penyinaran 40 menit berlangsung cepat akibat proses degradasi telah berlangsung dipermukaan dan dipori-pori.
MCM-41. Kecepatan degradasi fenol tanpa kehadiran H2O2, paling besar pada katalis TiO2mesostruktur (TiO2-layer), diikuti TiO2/MCM-41 dan terkecil pada Ti-MCM-41 (non aktif). Reaksi yang terjadi pada degradasi fenol dengan atau tanpa kehadiran H2O2 meliputi: fenol → pbensokuinon, hidrokuinon → katekol → asam maleat → asam asetat dan asam format → air dan karbaon dioksida. UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 2. Hubungan konsentrasi fenol yang tersisa (g/L) dengan waktu penyinaran (●: TiO2-layer, ■: TiO2/ MCM-41, dan ▲: Ti-MCM-41) tanpa kehadiran H2O2
Perhitungan harga konstanta kecepatan reaksi (k) degradasi fenol masing-masing dengan katalis TiO2-layer mesostruktur dan TiO2/MCM41 ditentukan berdasarkan waktu paruhnya. Waktu paruh degradasi fenol dengan katalis TiO2-layer mesostruktur sebesar 57 menit, sedangkan dengan katalis TiO2/MCM-41 sebesar 60,5 menit. Dengan demikian harga konstanta kecepatan reaksi (k) degradasi fenol dengan katalis TiO2-layer mesostruktur dan TiO2/MCM41 secara berurutan:1,216 x 10-2 dan 1,145 x 10-2 menit-1. Berdasarkan kehadiran senyawa yang terjadi melalui karakterisasi dengan spektrofotometer UV, mekanisme reaksi degradasi fenol dengan atau tanpa kehadiran H2O2 meliputi: fenol → p-bensokuinon, hidrokuinon → katekol → asam maleat → asam asetat, asam format → air dan karbon dioksida. KESIMPULAN Fenol dapat terdegradasi menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya dengan katalis TiO2mesostruktur (TiO2-layer), TiO2/MCM-41 dan Ti-
50
Peneliti mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada Dit. LITABMAS-Ditjen DIKTI, Depdiknas melalui Proyek Penelitian Hibah Bersaing tahun 2004/2005 dengan surat perjanjian penelitian: 035/SPPP/PP/DP3M/IV/2005. DAFTAR PUSTAKA Alfredson, V., Keung, M., Monnier, A., Stucky, G, D., Unger, K. K. & Schüth, F (1994). High-Resolution Transmission Electron Microscopy of Mesoporous MCM-41 Type Materials. J. Chem. Soc. Chem. Commun. 921-922. Hari Sutrisno, Ariswan & Retno Arianingrum (2005). Silikat dan Titanium Silikat Mesopori-mesostruktur Berbasis Struktur Heksagonal dan Kubik. Jurnal Matematika dan Sains (JMS), 10(2): 69-74. Kresge, C. T., Leonowicz, M. E., Roth, W. J., Vartuli, J. C. & Beck, J. S (1992). Ordered Mesoporous Molecular Sieves Synthesized by a Liquid-crystal Template Mechanism. Nature (359): 710-712. Ollis, D.F., Pelizzetti, E., & Serpone, N (1986). Heterogeneous Photocatalysis in the Environment: Application to Water Purification. Chemical Review. 18: 603-637. Sulaiman, U. dan D. Hermawan (2002). Degradasi Fotokatalitik Fenol Dalam Sampel Air Sungai Donan Cilacap. Prosiding Semnas Kimia 2002 dalam rangka Dies Natalis 46 Jurdik Kimia FMIPA UNY. 84-88. Znaidi, L., Seraphimova, R., Bocqouet, J.F., Colbeau-Justin, C., & Pommier, C (2001). A Semi-Continous Process for the Synthesis of Nanosize TiO2 Powders and Their Use as Photocatalysts. Materials research Bulletin (36): 811-825.
IDENTIFIKASI ASAM LEMAK HASIL HIDROLISIS ASAM KLORIDA PADA BERBAGAI PREPARASI MINYAK DARI BIJI JARAK PAGAR (Ricinus communis L.) PADMONO CITROREKSOKO1, RIZAL ALAMSYAH2, DJUMHAWAN RATMAN PERMANA3,♥ 1Lembaga
Penelitian dan Pengembangan, Universitas Pakuan Bogor. Besar Industri Agro, BBIA, Bogor 3 Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI – Cibinong-Bogor 2Balai
ABSTRACT Identifikasi asam lemak hasil hidrolisis asam yang diekstrak pada suhu preparasi minyak berbeda telah dilakukan, pertama biji jarak dioven pada suhu 600C selama 1 jam, kedua dikukus pada suhu 900C selama 10 menit, dan ketiga biji jarak disangrai terlebih dahulu pada suhu 1200C selama 10 menit. Setelah itu dipres menggunakan hidraulik pressing sehingga diperoleh minyak jarak kasar. Minyak yang dihasilkan mengalami proses hidrolisis minyak dengan HCL yang dilanjutkan dengan proses pemurniaan dengan urea terlebih dahulu diesterifikasikan sehingga menghasilkan ester asam lemak. Analisis ester asam lemak dilakukan dengan menggunakan kromatrografi gas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air rata-rata minyak jarak sebesar 3,43%, kadar asam lemak bebas sebesar 0,43%, bilangan iod sebesar 82,2019 dan bilangan penyabunan 181,3872. Sementara contoh minyak jarak hasil analisis kromotografi gas diperoleh komposisi asam lemak C8, C10, C12, C14, C16: 1, C16: 0, C18: 0, C18: 1, C18: 2 dan C18: 3. Diketahui peranan urea untuk memurnikan asam lemak tak jenuh dari asam lemak jenuh ditunjukkan pada minyak A dan B menghasilkan total PUFA dan MUFA yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak C. Key words: identifikasi asam lemak, hidrolisis asam klorida, metode preparasi minyak, biji jarak pagar.
PENDAHULUAN Minyak nabati belakangan ini di samping sebagai sumber pangan (minyak sawit, kelapa, bunga matahari, dan sebagainya) juga sebagai bahan industri deterjen, pangan kesehatan, obatobatan dan yang terakhir sebagai sumber industri energi alternatif, dimana energi lebih mudah diperbaharui (renerable resources). Sumber
energi ini merupakan energi masa kini maupun mendatang agar dapat menggantikan sumber energi fosil (minyak bumi, batu bara). Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor biji jarak. Sebagian besar biji jarak Indonesia diekspor dalam bentuk biji kering. Pada tahun 1997 ekspor biji jarak Indonesia tercatat sebesar 75 ton dengan nilai ekspor US $ 1462, di lain pihak kebutuhan minyak jarak dikenal dengan nama Castor Oil. Minyak tersebut banyak digunakan untuk industri-industri seperti cat, vernis, pelumas dan tinta cetak. Di samping itu minyak jarak juga dimodifikasi dengan proses lanjutan dan dapat digunakan sebagai bahan baku tung oil. Produk hasil oksidasi minyak jarak dapat digunakan sebagai bahan baku plastik dan nilon. Dalam jumlah kecil digunakan untuk pembuatan semir, kosmetik dan lilin. Pesatnya perkembangan teknologi menyebabkan penggunaan minyak jarak dalam industri-industri tersebut semakin meningkat pula. Menurut Deswert (1997), permintaan minyak jarak mengalami peningkatan sebesar 5% pertahun, sedangkan produk dunia belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut Tanaman jarak (Ricinus communis L.) termasuk dalam famili euphorbiceae, banyak dijumpai dan tumgbuh di daerah tropik maupun subtropik, baik secara liar maupun terpelihara dan dapat tumbuh pada ketinggian 0-800 m di atas permukaan laut (Anonim, 1975). Menurut Biro Pusat Statistik, luas perkebunan jarak yang diusahakan oleh rakyat pada tahun 1985 seluas 1.000 ha. Dari data ini pula diketahui bahwa produk biji jarak pada tahun 1985 sebesar 400 ton biji jarak kering. Negara penghasil utama biji jarak antara lain India, Brazil dan Argentina. 51
India dan Brazil mempunyai produk masingmasing setiap tahunnya sebesar 150.000 ton dan 250.000 ton kering. Biji jarak berasal dari buah jarak yang beruang tiga dan berduri pada bagian luarnya. Biji jarak berbentuk oval dan pada umumnya sama besar tetapi lebih besar dari bijibiji tanaman lain, sedangkan beratnya bervariasi antara 0,1-1,0 g. Kulit biji berwarna hita berbintik-bintik dan ada juga yang cokelat terang, tetapi ciri-ciri ini bervariasi tergantung dari varietasnya. Biji jarak tidak dapat dimakan karena mengandung racun berupa asam risinoleat. Biji jarak terdiri dari 75% kernel (daging biji), dan 25% sisanya adalah kulit. Menurut Kirk et.al., (1964) menyatakan bahwa komposisi biji jarak terdiri dari 5% air, 54% minyak, 13% karbohidrat, 12,5% serat, 2,5% abu dan 18% protein. Secara rinci komposisi minyak jarak teridiri dari asam lemak dan gliserida. Asam-asam lemak tersebut terdiri dari palmitat, stearat, oleat, linoleat, risinoleat dan dihidroksistearat, sedangkan gliseridanya terdiri dari trisinoleat, dirisinoleat saturated, dirisinoleat oleat dirisinoleat dihidroksistearat. Minyak jarak terdiri dari sebagian besar asam risinoleat yang merupakan asam lemak tidak jenuh dengan titik lelehnya sebesar 5,5oC dan adanya ikatan rangkap menurunkan titik leleh atau sebaliknya menaikkan bilangan iod (Swern, 1979). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi asam lemak hasil hidrolisis yang diekstrak pada suhu preparasi minyak yang berbeda.
Penetapan kadar air Cawan porselin dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Selanjutnya 2g contoh dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya kemudian cawan diisi dengan contoh lalu dimasukkan ke dalam oven selama 6 jam pada suhu 105oC sampai bobot konstan. Besarnya kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumur sebagai berikut: a − b x 100% Kadar air = a a adalah bobot contoh basah (g) dan b bobot contoh kering (g). Penetapan kadar asam lemak bebas Kadar asam lemak bebas dinyatakan sebagai jumlah asam-asam lemak bebas yang terkandung di dalam minyak atau lemak. Minyak atau lemak yang akan diuji ditimbang sebanyak 1-2g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250ml lalu ditambahkan 50ml alkohol netral 95% selanjutnya dipanaskan selama 10 menit di atas pemanas air sambil diaduk. Larutan didinginkan kemudian dititrasi dengan larutan 0,1N NaOH dengan indikator 1% pp sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang selama 10 detik. Kadar asam lemak bebas dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar asam lemak bebas:
= BAHAN DAN METODE Bahan baku penelitian yaitu minyak jarak kasar dari biji (Ricinus communis Linn) berasal dari Lombok. Bahan kimia yang diperlukan adalah heksan teknis, N-heksan pa, klorofom, 0,2M Na2HPO4, 0,2M NaH2PO4, 4% NaOH, KI, larutan Wijs, etanol, petroleum eter, NaCl kristal, buffer fosfat, 0,1N HCl, 14%BF3/metanol, Na2SO4 anhidrat dan akuades. Preparasi contoh Biji jarak yang telah kering disortasi (dipilih biji yang baik) diambil masing-masing sebanyak 2 kg. Selanjutnya biji jarak mengalami tiga perlakuan yang berbeda (dioven pada suhu 60oC selama 1jam, disangrai pada suhu 90oC 10 menit dan dikukus pada suhu 120oC selama 10 menit). Setelah itu dipress menggunakan hidraulic pressing sehingga diperoleh minyak jarak untuk proses selanjutnya. 52
ml NaOH x N NaOH x 200 x 100% 1000 x berat contoh
Bilangan 200 adalah berat molekul asam risinoleat. Penetapan bilangan iod Bilangan iod dinyatakan sebagai jumlah iod yang diserap oleh 100g minyak atau lemak, jumlah iod yang diserap membutuhkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod dapat dihasilkan dari rumus berikut: (B - S) x N tio x 12,69 Bilangan iod = g B = jumlah ml natriumtiosulfat blanko 0,1N, S = jumlah ml natriumtiosulfat contoh, dan g = gram contoh. Penetapan bilangan penyabunan Bilangan penyabunan dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk
menyabunkan 1g minyak/lemak. Sebanyak 2g contoh minyak yang akan diuji ditimbang di dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 50ml larutan KOH beralkohol 0,5N setelah itu erlenmeyer dihubungkan dengan pendingin tegak dan contoh dididihkan dengan hati-hati sampai semua contoh tersabunkan dengan sempurna, yaitu jika diperoleh larutan yang bebas dari butir-butir lemak, larutan kemudian didinginkan, dititrasi dengan 0,5N HCl dengan indikator 1% pp sampai warna merah jambu. Perhitungan penyabunan dapat dicari dengan rumus: Bilangan penyabunan =
(A - B) x N HCl x 56,1 g
A = jumlah ml 0,5N HCl untuk blanko, B = jumlah 0,5N HCl untuk titrasi contoh, g = berat contoh minyak (g) 56,1 = setengah dari berat molekul KOH. Hidrolisis dengan HCl Minyak kasar sebanyak 25ml dicampur dengan 100 ml buffer fosfat pH 7, lalu ditambahkan asam askorbat sebagai antioksidan. Sebanyak 50ml 5% HCl ditambahkan ke dalam emulsi tersebut lalu diinkubasi pada suhu 40oC selama 1,5 jam. Selanjutnya 10ml petroleum eter ditambahkan untuk memisahkan bagian yang tidak terhidrolisis. Dikocok beberapa saat dan dibiarkan hingga fase petroleum eter terpisah dari fase eqeus, lalu dipisahkan fase petroleum eter dengan corong pisah. Kemudian fase eqeus diasamkan dengan 5% H2SO4 4M ditambahkan pula 2g NaCl untuk salting out fase organik. Kedua lapisan atas dipisahkan masing-masing lapisan atas petroleum eter yang mengandung asam lemak dan lapisan bawah yaitu H2SO4. Lapisan atas dievaporasi untuk mendapatkan minyak yang telah dihidrolisis. Pemurnian dengan urea Sebanyak 10 ml asam lemak dimasukkan kedalam 25ml larutan 20% urea dalam etanol panas 70%. Urea dan senyawa kompleks ureaasam lemak dibiarkan mengkristal dengan cara didinginkan pada suhu 40oC selama satu malam. Kristal dipisahkan dengan penyaringan vakum menggunakan corong buchner dan filtratnya dipekatkan. Filtrat ditambahkan dengan heksana dan HCl 0,1 sebanyak (1:1). Setelah bercampur kedua cairan tersebut lalu HClnya dibuang kembali dan diuapkan.
Esterifikasi dan analisis kromatografi Sebelum analisis contoh diubah menjadi metil ester terlebih dahulu. Selanjutnya fraksi-fraksi CHCl3 yang sudah jernih dipekatkan hingga volume 1ml. Selanjutnya contoh siap disuntikkan ke dalam kromatografi gas. Kromatografi gas yang dipergunakan adalah type KG HP 5890 series II dilengkapi dengan FID, kolom kapiler, HP – FFAP 30 x 0,53mm x 50 μL, gas pembawa Gas Nitrogen, gas pembakaran Oksigen, suhu injector 200oC, suhu detector 250oC, suhu kolom suhu terprogram 150oC, neik 10oC/menit hingga suhu akhir 250oC (9 menit). Setelah semua kondisi yang diperlukan dicapai, injeksikan sebanyak 3μL standar pada injector dan ditekan run. Ditunggu hingga muncul peak pada layar monitor. Luas daerah contoh dan standar dihitung kemudian ditentukan asam lemak dari minyak jarak dari standar masing-masing asam lemak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis lipida/minyak Hasil analisis lipida/minyak dengan metode pengepresan diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengepresan berbagai metode persiapan contoh biji jarak Metode Bobot Contoh Hasil Minyak % (v/b) (g) (ml) A 2000 600 30 B 2000 750 35 C 2000 550 27,5 Keterangan: A: Biji jarak dioven pada suhu 60oC selama 1 jam, B: Biji jarak disangrai pada suhu 90oC selama 10 menit, C: Biji jarak dikukus pada suhu 120oC selama 10 menit.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan menghasilkan kandungan minyak jarak tertinggi yakni 750ml/bb dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan adanya faktor pemanasan suhu yang berbeda. Bahwa suhu pemanasan dengan metode penyangraian pada suhu 90oC memberikan hasil yang optimum dalam proses pengeringan dimana molekulmolekul air yang terkandung dalam biji jarak dapat memecah, menguap dan juga disertai lingkungan sekitarnya yang cukup mendukung. Kondisi metode penyanggraian mampu mengkonsentrasikan pada minyak biji jarak. Sebaliknya kondisi ini berlawanan dalam sistem pengukusan, dimana faktor kadar air dan kelem-
53
baban relatif memberikan pengaruh penurunan terhadap koloid lemak pada biji jarak tersebut. Kadar air minyak jarak kasar ternyata lebih tinggi bila dibandingkan kadar air minyak jarak netral yaitu 3,34%. Tingginya kadar air minyak dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis yang akan menguraikan minyak sehingga membentuk asam lemak bebas dan gliserida. Sedangkan penurunan kadar air disebabkan air menjadi media reaksi penyabunan dan membentuk larutan sabun yang pada akhirnya membentuk emulsi dengan minyak sehingga pada waktu pemisahan minyak, air akan turut terbuang bersama larutan sabun. Pada Tabel 2 berikut hasil analisis minyak jarak.
selama 10 menit menghasilkan kadar minyak paling besar yaitu 23,2%. Namun demikian, pengurangan hasil ini dikarenakan pada saat hidrolisis minyak turut terbuang dan minyak tidak lagi sebanyak sebelum hidrolisis. Tabel 3. Hasil asam lemak hidrolisis dengan HCl. Minyak Hasil hidrolisis (ml)* A 21,5 B 22,7 C 23,2 Keterangan: A: Minyak hasil pemanasan dari suhu oven 60oC selama 1 jam, B: Minyak hasil pemanasan dari suhu sangrai 90oC selama 10 menit, dan C: Minyak hasil pemanasan dari suhu kukus 120oC selama 10 menit. *) Contoh minyak diambil 25ml
Tabel 2. Hasil analisis minyak jarak. Karakteristik Kadar air Asam lemak bebas Bilangan iod Bilangan penyabunan
Nilai 3,43% 0,43% 82,2019 181,3872
Standar 5% 21% 82 – 88 176 - 181
Kadar asam lemak bebas pada minyak jarak kasar berkisar 0,43% (Tabel 2). Hasil ini menunjukkan nilai yang rendah di bawah 1%, dimana bilangan asam yang kecil dikarenakan proses pemurnian minyak jarak tidak melalui proses netralisasi. Indikasi mutu minyak jarak juga ditentukan oleh bilangan iod karena menyatakan derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Hasil analisis bilangan iod minyak jarak diperoleh 82,2019%, sedangkan berdasarkan standar bilangan iod adalah 82-88%. Dengan demikian hasil analisis bilangan iod minyak jarak tergolong dalam mutu nomor 1. Hasil bilangan penyabunan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2 akan tergantung kepada berat molekul minyak. Berat molekul tinggi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih rendah daripada minyak yang mempunyai berat molekul rendah. Tingginya bilangan penyabunan dapat disebabkan minyak mengalami penguraian pada rantai gliserida menjadi rantai yang lebih pendek sehingga menghasilkan senyawa berat molekul yang rendah. Asam lemak yang dihidrolisis HCl Hasil hidrolisis dengan HCl memperlihatkan hasil yang lebih rendah pada tiga perlakuan dibandingkan dengan literatur yang mencapai 35-55%. Sementara hasil dari tiga metode tersebut maka dengan cara pengukusan 120oC 54
Pemurnian dengan Urea Penambahan urea dimaksudkan untuk memisahkan asam lemak tak jenuh dengan asam lemak jenuh. Proses ini akan terjadi pengendapan asam lemak jenuh yang terpisah dari asam lemak tak jenuh dalam larutan, karena urea dapat mengikat asam lemak jenuh bersama bentuk kristal putih dari urea. Sedangkan asam lemah tak jenuh akan berbentuk filtrat. Kandungan urea yang masih berada dalam asam lemak tak jenuh akan terurai oleh HCl sehingga benar-benar tidak urea yang mengikat asam lemak tak jenuh. Hasil perolehan minyak setelah pemurnian dengan urea ditunjukkan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Peroleh minyak setelah pemurnian dengan urea. Minyak Hasil Pemurnian ( ml )*) A 3 B 2,8 C 3,5 Keterangan: A: Minyak hasil pemanasan dari suhu oven 60oC selama 1 jam, B: Minyak hasil pemanasan dari suhu sangrai 90oC selama 10 menit, dan C: Minyak hasil pemanasan dari suhu kukus 120oC selama 10. *) Untuk minyak diambil 10 ml.
Hasil yang diperoleh pada minyak C lebih besar yaitu 3,5 ml. Pada contoh minyak di atas yang diambil masing-masing sebanyak 10ml, setelah dimurnikan dengan urea maka hasil yang diperoleh tidak sama dengan hasil contoh yang pertama (Tabel 4). Komposisi asam lemak dengan kromatografi gas Dengan membandingkan luas puncak kromatogram KG empat belas jenis standar asam
lemak yang digunakan dapat diidentifikasi setiap asam lemak dari minyak jarak pada berbagai contoh Hasil Hidrolisi minyak A menghasilkan asam lemak linoleat dan merupakan asam lemak tertinggi (18:2) yang teridentifikasi yaitu sekitar 1,9 %, diikuti dengan asam lemak linoleat (18:3) dengan kadar sebesar 1,8%, total PUFA sebesar 3,7%, total MUFA sebesar 0,24% dan jumlah asam lemak yang terkandung pada minyak A sebesar 5,38%. Hasil inklusi area minyak A adalah terdapat 8 jenis asam lemak, asam lemak stearat (18:0) adalah salah satu asam lemak yang teridentifikasi tertinggi yaitu 2,47%, asam linoleat (18:2) dengan kadar asam lemak sebesar 1,8%, total PUFA 3,6%m, total MUFA 0,39%, dan jumlah asam lemak yang terkandung pada minyak A urea sebesar 6,96% (Gambar 5). Sedangkan komposisi minyak B yang dihasilkan dari proses pengukuran 90°C selama 10 menit. Hasil hidrolisis minyak B adalah terdapat 6 jenis asam lemak. Asam lemak lenoleat (18:3) merupakan asam lemak yang tertinggi yaitu sekitar 1,6%, asam palmitoleat (16:1) sebesar 0,67%, total PUFA 1,6%, total MUFA 0,24% dan jumlah asam lemak 3,08%. Minyak hasil inklusi maka tersusun atas 6 jenis asam lemak. Asam lemak stearat (18:0) merupakan tertinggi yaitu 2,47%, asam linoleat (18:3) 1,70%, total PUFA 1,7% dan jumlah asam lemak yang terkandung pada minyak B urea 4,9% (Gambar 6).
Gambar 7. Hasil Kromatografi Gas Minyak C.
Komposisi minyak C yang dihasilkan dari proses penyangraian pada suhu 120°C selama 10 menit adalah terdapat delapan jenis asam lemak. Asam palmitat (16:0) salah satu asam lemak tertinggi 0,7%, asam lemak palmitoleat 0,7%, total PUFA 0,37%, total MUFA sebesar 0,7% dan asam lemak minyak C sebesar 2,63%. Sedangkan minyak C hasil inklusi urea terdapat 10 jenis asam lemak dengan komponen asam palmitat (16:0) 0,7%, asam oleat (18:1) 0,5%, total PUFA 0,68%, total MUFA 0,73% dan asam lemak minyak C urea 2,92%. Komposisi minyak C yang berasal dari proses pengukusan 120°C selama 10 menit di antaranya menghasilkan asam ricinoleat 80%, asam oleat (18:1) 4-9%, asam linoleat 2-7 %, asam palmitat 2-3%, asam olenat 2-7%, total PUFA 0,67%, total MUFA 0,84% dan jumlah asam lemak 2,63%. Sementara asam lemak yang dihasilkan melalui proses urea adalah asam palmitat 0,7%, asam oleat 0,5%, asam pentadekanoat 0,4%, asam linolenat 0,38%, asam linoleat 0,3%, asam meristat 0,15%, asam kaproat 0,1%, tridekanoat 0,05%, total PUFA 0,68%, total MUFA 0,88% dan jumlah asam lemak 2,92% (Gambar 7). KESIMPULAN
Gambar 5. Hasil Kromatografi Gas Minyak A.
Gambar 6. Hasil Kromatografi Gas Minyak B.
Kadar air rata-rata minyak jarak sebesar 3,34%, kadar asam lemak bebas 0,43%, bilangan iod 82,2019 dan bilangan penyabunan 181,3872. Hasil analisis minyak jarak dengan kromatografi gas contoh minyak A, B dan C diperoleh komposisi asam lemak sebagai berikut C8, C10, C12, C14, C16;0, C16;1, C18;0, C18;1, C18;2, dan C18;3. Pemurnian dengan urea menghasilkan kadar total asam dan total PUFA yang relatif besar yaitu pada minyak A 6,96% dan 3,6%. Hidrolisis minyak dengan menggunakan HCl menghasilkan kadar asam lemak yang cukup tinggi. Hidrolisis pada suhu 60°C selama 1 jam terhadap minyak A menghasilkan kadar asam 55
lemak sebesar 5,38% pada suhu pengukusan 90°C selama 10 menit terhadap minyak B menghasilkan kadar asam lemak 3,08%, sedangkan pada suhu penyangraian 120°C selama 10 menit terhadap minyak C menghasilkan kadar asam lemak 2,63%.
56
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1975. Enzyme at Work. Novo Katalog. Novo Industry. Bagsuared. Setwert, 1997. Tinjauan Singkat Mengenai Tanaman Jarak. Lembaga Penelitian Tanaman Industri. Bogor. Indonesia. Kirk, R,E and Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol 4. Intersience Encyclopedia Inc. New York. Swern, D, 1979. Bailey Industry Oil and Fat Product, Vol.1. Fourth Edition. John Willey and Son.
PEMBUATAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI MINYAK JARAK; PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI KOH PADA REAKSI TRANSESTERIFIKASI BERBASIS KATALIS BASA TRIANA KUSUMANINGSIH, PRANOTO, RAGIL SARYOSO Jurusan Kimia FMIPA UNS Surakarta 57126
ABSTRAK Telah dilakukan pembuatan biodiesel dari minyak jarak melalui reaksi transesterifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu dan konsentrasi optimal katalis KOH pada reaksi transesterifikasi minyak jarak untuk menghasilkan produk dengan kandungan asam lemak tak jenuh terbanyak serta mempelajari sifat-sifat ester minyak jarak berdasarkan spesifikasi bahan bakar mesin disel. Transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan minyak jarak dan metanol pada perbandingan volume 1: 2 selama 2 jam berdasarkan variasi suhu dan konsentrasi KOH. Variasi suhu dilakukan pada suhu kamar, suhu 55 oC dan suhu 65oC. Variasi konsentrasi KOH dilakukan pada 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g, 0,5 g, 0,6 g, 0,7 g, 0,8 g dan 0,9 g. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bilangan penyabunan minyak jarak adalah 180,455. Analisis dengan Gas Chromatography Mass Spectroscopy (GC-MS) diperoleh metil ester oleat (Rt 15,45 menit dan SI 88), metil ester linoleat (Rt 13,250 menit dan SI 89), metil ester 11-oktadekenoat (Rt 13,333 menit dan SI 94) dan metil ester risinoleat (Rt 11,383 menit dan SI 91) sebagai bentuk ester asam lemak tak jenuh dominan yang terkandung dalam minyak jarak. Reaksi transesterifikasi minyak jarak dalam media metanol mempunyai kandungan asam lemak tak jenuh terbesar pada pada suhu 65oC dan konsentrasi katalis KOH optimum pada 0,178 M (0,4 g). Analisis menggunakan metode American Society for Testing Materials (ASTM) dihasilkan nilai pour point –8oF, kinematic viscosity 16,324 cSt, water content 0,015%vol, conradson carbon residue 0,204%wt. Sifatsifat tersebut sangat dekat dengan spesifikasi minyak disel sehingga dapat digunakan sebagai biodiesel. Kata kunci: minyak jarak, reaksi transesterifikasi, biodiesel.
PENDAHULUAN Biodiesel merupakan suatu bahan bakar alternatif yang dapat digunakan secara langsung maupun dicampur dengan solar pada mesin disel. Biodiesel diproduksi dari minyak nabati ataupun lemak hewani. Minyak nabati merupakan bahan baku yang sangat potensial sebagai sumber biodiesel karena keberadaannya dapat diperbaharui. Minyak nabati yang dapat digunakan untuk produksi biodiesel antara lain: minyak jagung, minyak jambu monyet, minyak kelapa, minyak bunga matahari, minyak zaitun, minyak kedelai dan minyak jarak (Pflumm, 2001). Minyak jarak adalah minyak nabati yang diperoleh dari biji tanaman jarak dengan cara pengepresan atau ekstraksi pelarut. Minyak jarak mempunyai sifat sangat beracun. Racun tersebut terdapat dalam bentuk risin (suatu protein), risinin (suatu alkaloid) dan heat-stable allergen yang dikenal dengan CB-IA. Kandungan asam lemak essensialnya juga sangat rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai minyak makan dan bahan pangan (Ketaren, 1986). Formo (1962) melakukan analisis kandungan asam lemak minyak jarak menggunakan kromatografi gascair diperoleh asam risinoleat 87%, asam palmitat 2%, asam stearat 1%, asam oleat 7% dan asam linoleat 3%. Asam lemak penyusun minyak jarak dapat diubah menjadi ester-esternya untuk digunakan sebagai biodiesel. Mutu biodiesel ditentukan oleh banyaknya fraksi minyak yang teresterkan karena viskositasnya menjadi lebih rendah. Banyaknya asam lemak tak jenuh yang ada menyebabkan minyak jarak mudah teresterkan (Pflumm, 2001). Ester-ester ini dapat diperoleh dengan mereaksikan trigliserida dan alkohol 57
fraksi ringan berkatalisis asam maupun basa. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi transesterifikasi yaitu reaksi pertukaran bagian alkohol dari suatu ester yang bersifat dapat balik (reversible) (Alloysius, 1999). Reaksi transesterifikasi disebut juga reaksi alkoholisis yang melibatkan peruraian atau pemaksapisahan (cleavage) oleh alkohol sehingga dibutuhkan alkohol dengan kereaktifan besar. Menurut Bannon (1988), alkohol yang digunakan adalah metanol karena alkohol dengan jumlah atom karbon sedikit mempunyai kereaktifan lebih besar daripada alkohol dengan atom karbon lebih banyak. Eder et al (1982) melakukan transesterifikasi phospholipid dalam tabung sentrifuge 50 mL dengan katalis sodium metoksida pada suhu kamar selama 1 jam diperoleh efisiensi metil ester asam lemak 98%. Freedman (1984) melakukan transesterifikasi minyak kedelai dalam media metanol dengan perbandingan volume minyak terhadap metanol adalah 1: 2 menggunakan katalis NaOCH3 pada suhu 60oC selama 1 jam. Ia menyimpulkan bahwa penggunaan katalis pada reaksi transesterifikasi minyak kedelai akan efektif pada jumlah 1-5% berat minyak. Menurut Hart (1983), reaksi transesterifikasi berjalan lambat sehingga untuk mempercepat reaksi dipengaruhi oleh suhu dan jumlah katalisator yang digunakan. Kedua faktor tersebut berhubungan dengan energi aktivasi (Ea) reaksi yang bersangkutan. Suatu reaksi dapat berlangsung bila sudah melewati energi aktivasinya (Irma, 1990). Persamaan Arrhenius menunjukkan bahwa dengan naiknya suhu akan memperbanyak fraksi molekul yang bertumbukan sehingga energi aktivasinya akan cepat tercapai (Irma, 1990). Katalisator dalam suatu reaksi berperan menurunkan harga energi aktivasi (Ea) sehingga reaksi berjalan lebih cepat. Katalisator basa bekerja dengan cara menaikkan sifat nukleofilitas, biasanya digunakan logam alkali alkoksida (Hart, 1983). Candra (2000) mempelajari pengaruh suhu dan konsentrasi katalis zeolit pada reaksi transesterifikasi untuk pembuatan biodiesel dari minyak jarak. Ia menyimpulkan bahwa konversi minyak jarak menjadi ester akan optimal dengan naiknya suhu dan konsentrasi katalis. Pada batas suhu dan konsentrasi katalis tertentu, konversi tidak lagi bertambah walaupun kedua faktor tersebut ditingkatkan. Parlan (1996) melakukan transesterifikasi minyak jarak dengan metanol menggunakan katalis natrium metoksida pada 58
beberapa suhu untuk mengisolasi ester risinoleat. Hasil dari reaksi transesterifikasi masih merupakan campuran ester dengan produk dominannya adalah ester risinoleat. Naiknya suhu reaksi akan memperbesar kandungan ester risinoleat yang dihasilkan. Pembuatan biodiesel dari minyak jarak dengan pereaksi methanol dan katalis KOH belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini mempelajari pengaruh suhu dan konsentrasi katalis KOH optimum pada pembuatan bahan bakar biodiesel dari minyak jarak. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah: peralatan gelas lab., kromatografi gas (Hewlett Packard 5890 Series II), kromatografi gas spektrofotometer massa (Shimadzu QP-5000), sentrifuge (Hettich Zentrifuger EBA 30), kompor pemanas (Cole Parmer 4658-02), timbangan elektrik (Sartorius BP-110), termometer, stopwatch, seperangkat alat pengukur pour point (ASTM D-87), viscometer (SETA 83201-2), seperangkat alat pengukur water content (ASTM D-95), seperangkat alat pengukur conradson carbon residue (ASTM D-189), pH meter (Corning 430). Bahan yang digunakan adalah: HCl pekat p.a (E. merck), Aquades (Lab. Pusat Kimia F. MIPA UNS), Dietil eter p. a (E. merck), Metanol p. a (E. merck), Minyak jarak (Brataco), Na2SO4 anhidrous p. a (E. merck), KOH anhidrous p. a (E. merck). Cara Kerja Penentuan Bilangan Penyabunan Sampel minyak jarak ditimbang 5 gram dan dimasukkan ke dalam labu ekstraksi 100 mL. Secara perlahan-lahan ditambahkan 50 mL KOH 0,5 M (1,4025 g dalam metanol) dengan pipet. Labu ekstraksi dihubungkan dengan pendingin tegak dan sampel dididihkan dengan hati-hati selama 2 jam. Ke dalam larutan ini ditambahkan 1 mL larutan indikator phenolphtalein kemudian dititer dengan HCl 0,5 M sampai warna merah jambu hilang. Pengaruh Suhu Reaksi Pembuatan Larutan Potasium Metanolat. Sebanyak 40 mL metanol dimasukkan dalam labu alas bulat kapasitas 100 mL yang dilengkapi pengaduk magnet. Ke dalam metanol
dimasukkan KOH anhidrat sebanyak 0,4 g sambil dilakukan pengadukan sampai semua KOH larut. Mulut labu ditutup untuk mencegah penguapan. Transesterifikasi Minyak Jarak. Sebanyak 20 mL minyak jarak dimasukkan ke dalam 40 mL larutan K-metanolat yang telah dibuat sebelumnya, dimasukkan sedikit demi sedikit disertai pengadukan. Suhu divariasi pada suhu kamar, 55oC dan 65oC. Selang waktu reaksi 2 jam didinginkan kemudian dilakukan pemisahan hasil. Pemisahan Hasil. Sampel yang berupa campuran metil ester dan sisa-sisa reaktan dimasukkan dalam corong pisah kapasitas 250 mL, ditambahkan 10 mL akuades dan ditambahkan 1 mL HCl 5 M. Lapisan yang terbentuk yaitu lapisan atas (lapisan organik) dan lapisan bawah (lapisan air) dipisahkan. Lapisan organik yang masih mengandung ester dan minyak diekstrak dengan 10 mL dietil eter, terbentuk dua lapisan lagi yaitu lapisan organik dan air. Lapisan organik kemudian dicuci dengan 10 mL akuades (2 kali) lalu ditambahkan Na2SO4 anhidrous secukupnya. Larutan disaring dan pelarut diuapkan pada udara terbuka. Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan GC, GCMS dan IR. Hasil analisis dengan kandungan asam lemak tak jenuh terbanyak digunakan untuk penentuan konsentrasi KOH optimal. Penentuan Konsentrasi Katalis KOH Optimal Pembuatan Larutan Potasium Metanolat. Sebanyak 40 mL metanol dimasukkan dalam labu alas bulat kapasitas 100 mL yang dilengkapi pengaduk magnet, kemudian dimasukkan KOH anhidrat bervariasi 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g, 0,5 g, 0,6 g, 0,7 g, 0,8 g dan 0,9 g sambil dilakukan pengadukan sampai semua KOH larut. Mulut labu ditutup untuk mencegah penguapan. Transesterifikasi Minyak Jarak. Sebanyak 20 mL minyak jarak dimasukkan ke dalam 40 mL larutan K-metanolat yang telah dibuat sebelumnya, dimasukkan sedikit demi sedikit disertai pengadukan. Suhu diatur pada suhu optimal pada proses sebelumnya. Selang waktu reaksi 2 jam didinginkan kemudian dilakukan pemisahan hasil. Pemisahan Hasil. Sampel yang berupa campuran metil ester dan sisa-sisa reaktan dimasukkan dalam corong pisah kapasitas 250 mL, ditambahkan 10 mL akuades dan 1 mL HCl 5N. Lapisan yang terbentuk yaitu lapisan atas (lapisan organik) dan lapisan bawah (lapisan air) dipisahkan. Lapisan organik yang masih mengandung ester dan minyak diekstrak dengan
10 mL dietil eter, terbentuk dua lapisan lagi yaitu lapisan organik dan air. Lapisan organik kemudian dicuci dengan 10 mL akuades (2 kali) lalu ditambahkan Na2SO4 anhidrous secukupnya. Larutan disaring dan pelarut diuapkan pada udara terbuka. Hasil yang diperoleh digunakan untuk analisis menggunakan GC. Hasil analisis dengan kandungan asam lemak tak jenuh terbanyak digunakan untuk pengukuran analisis sifat fisik biodiesel. Pengukuran Sifat Kimia Penentuan Bilangan Asam. Sebanyak 5 g minyak jarak dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL kemudian ditambahkan 50 mL metanol. Campuran dipanaskan selama 1 jam sambil distirer untuk melarutkan asam lemak bebasnya. Setelah dingin dilakukan titrasi dengan KOH 0,1 M menggunakan indikator fenolftalein sampai terbentuk warna merah muda. Penentuan Asam Lemak Total. Sebanyak 5 g minyak jarak dimasukkan dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 50 mL larutan 0,5 M KOH dalam alkohol. Campuran dididihkan selama 2 jam. Setelah dingin ditambahkan 2 tetes indikator fenolftalein kemudian dititrasi dengan HCl 0,5 M dalam metanol yang sebelumnya untuk mengetahui sisa KOH yang tidak tereaksikan. Jumlah KOH mula-mula diketahui melalui titrasi blanko dengan cara sama tanpa cuplikan (minyak jarak). Pengukuran Parameter Biodiesel. Pengukuran parameter biodiesel dilakukan pada minyak jarak sebelum reaksi transesterifikasi dan ester hasil reaksi transesterifikasi. Pengukuran tersebut meliputi pour point, kinematic viscosity, water content dan conradson carbon residue. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Hasil Menggunakan GC-MS Identifikasi hasil reaksi transesterifikasi minyak jarak dengan GC-MS dilakukan untuk mengetahui jenis asam lemak yang terkandung dalam minyak jarak. Kromatogram produk transesterifikasi ditampilkan pada Gambar 1. Berdasarkan spektrum massa hasil GC-MS maka puncak nomor 1 dengan waktu retensi 11,383 menit adalah metil ester risinoleat dengan rumus C21H38O4. Puncak nomor 2 dengan waktu retensi 13,250 menit adalah metil ester linoleat dengan rumus C19H34O2. Puncak nomor 3 dengan waktu retensi 13,333 menit adalah metil ester 11-oktadekenoat dengan rumus C19H36O2. Puncak nomor 4 dengan waktu retensi 13,617 59
Jumlah katalis yang diusulkan oleh Freedman (1984) dapat diterapkan pada prosedur selanjutnya karena kurang dari jumlah KOH yang dibutuhkan pada bilangan penyabunan 20 mL minyak jarak.
menit adalah metil ester stearat dengan rumus C19H38O2. Puncak nomor 5 dengan waktu retensi 115,45 menit adalah metil ester oleat dengan rumus C19H36O2.
Pengaruh Suhu Reaksi Reaksi transesterifikasi dilakukan pada suhu kamar, 55oC dan 65oC. Hasil reaksi dianalisis dengan kromatografi gas dimaksudkan untuk mengetahui jumlah komposisi asam lemak yang terkandung dalam produk transesterifikasi minyak jarak. Kromatogram pada Gambar 2 adalah kromatogram hasil reaksi transesterifikasi pada suhu 65oC menggunakan KOH 0,4 g (0,178 M). Kromatogram pada suhu kamar dan suhu 55oC tidak ditunjukkan karena puncak yang dihasilkan mirip dengan kromatogram reaksi pada suhu 65oC.
Gambar 1. Kromatogram produk transesterifikasi
%kandungan ester
Penentuan Bilangan Penyabunan Reaksi transesterifikasi dengan katalis basa mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan sabun yang menyebabkan produk esternya tidak dapat diterapkan dalam biodiesel. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya sabun adalah jumlah KOH yang digunakan sebagai katalis sehingga perlu diketahui jumlah KOH maksimal yang digunakan agar pada reaksi transesterifikasi tidak dihasilkan sabun. Jumlah HCl yang dibutuhkan adalah 17,833 mL sehingga besarnya bilangan penyabunan dari sampel minyak jarak adalah 180,455. Jumlah KOH pada reaksi transesterifikasi dengan perbandingan volume minyak jarak dan metanol 20 mL: 40 mL kurang dari 3,374 gram. Menurut Freedman (1984), penggunaan katalisator basa pada reaksi transesterifikasi minyak nabati akan efektif pada jumlah 1-5% dari berat minyak. Berat untuk 20 mL minyak jarak adalah 18,701 g.
Gambar 2. Kromatogram hasil reaksi transesterifikasi pada suhu 65oC
Puncak 1 dan 2 pada kromatogram di atas merupakan puncak yang diberikan oleh dietil eter sebagai ekstraktan. Ekstraktan tersebut dinolkan untuk keperluan analisis kuantitatif sehingga didapat data pada Tabel 1.
50 40 30 20 10 0 19.2
20.4
20.8
21.2
23.9
25.9
26.1
28.1
Waktu Retensi
Gambar 3. Perbedaan kandungan metil ester pada variasi suhu
60
29.2
31.7
32.9
33.3
36.2
Suhu kamar Suhu 55 Suhu 65
Tabel 1. Persentase kandungan metil ester hasil transesterifikasi minyak jarak (%). Waktu retensi 19,2 20,4 20,8 21,2 23,9 25,9 26,1 28,1 29,2 31,7 32,9 33,3 36,2
Persentase kandungan ester minyak jarak (%) Suhu 65oC Suhu kamar Suhu 55oC 8,008 10,758 10,401 0,057 0,053 0,069 0,175 0,087 0,234 tidak terdeteksi tidak terdeteksi 0,242 12,588 9,277 12,321 34,968 22,665 30,259 3,053 3,766 tidak terdeteksi 0,290 0,392 0,419 32,327 42,691 43,978 0,135 tidak terdeteksi 0,127 1,932 1,302 1,870 5,3430607 5,968 3,600 0,372 0,388 0,272
Perbedaan kandungan metil ester yang diperoleh dari masing-masing suhu dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 3. Paduan antara kromatogram hasil GC dan GC-MS menghasilkan informasi tentang metil ester dari asam lemak tak jenuh. Grafik di atas menunjukkan kandungan metil ester oleat terbesar pada suhu 65oC (43,9786159%, waktu retensi 29,243 menit), kedua pada suhu 55oC (42,691053%, waktu retensi 29,196 menit) dan yang paling rendah adalah pada suhu kamar (32,3268551%, waktu retensi 29,220 menit). Kandungan metil ester 11-oktadekenoat terbesar pada suhu 65oC (43,9786159%, waktu retensi 25,979 menit), kedua pada suhu 55oC (42,691053%, waktu retensi 25,925 menit) dan yang paling rendah adalah pada suhu kamar (32,3268551%, waktu retensi 25,942 menit). Kandungan metil ester linoleat terbesar pada suhu 65oC (12,588%, waktu retensi 23,931 menit), kedua pada suhu 55oC (12,321%, waktu retensi 23,876 menit) dan yang paling rendah adalah pada suhu kamar (9,277%, waktu retensi 23,894 menit). Kandungan metil ester risinoleat terbesar pada suhu 65oC (10,758%, waktu retensi 19,143 menit), kedua pada suhu 55oC (10,401%, waktu retensi 19,141 menit) dan yang paling rendah adalah pada suhu kamar (8,008%, waktu retensi 19,201 menit). Hasil di atas menunjukkan bahwa suhu optimal reaksi transesterifikasi minyak jarak dengan alkohol adalah 65oC. Fenomena tersebut sesuai dengan persamaan Arrhenius bahwa dengan naiknya suhu reaksi maka konstanta kecepatan reaksi akan bertambah. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi kecepatan molekulmolekul reaktan bertambah besar sehingga
kemungkinan besar.
terjadinya tumbukan semakin
Penentuan Konsentrasi KOH Optimal Penentuan konsentrasi KOH optimal ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi KOH terbaik dimana didapatkan kandungan asam lemak tak jenuh yang paling banyak. Penentuan konsentrasi KOH optimal reaksi diamati pada kisaran jumlah katalis 0,2 g, 0,3 g, 0,4 g, 0,5 g, 0,6 g, 0,7 g, 0,8 g dan 0,9 g. Pemisahan hasil pada penggunaan KOH sebanyak 0,5 g, 0,6 g, 0,7 g, 0,8 g dan 0,9 g terbentuk asam lemak yang ditandai dengan warna zat hasil kuning keruh seperti susu. Semakin banyak jumlah KOH yang digunakan maka semakin keruh produk yang dihasilkan mendekati warna pada pembentukan sabun. Asam lemak terbentuk karena HCl tersebut tidak dapat menetralkan ion hidroksida yang dihasilkan sehingga diteliti pengaruh KOH pada kisaran 0,2 g (0,089 M), 0,3 g (0,134 M) dan 0,4 g (0,178 M). Campuran metil ester yang dihasilkan dimurnikan kemudian dianalisis menggunakan kromatogafi gas (GC). Berdasarkan kromatogram yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kecilnya konsentrasi katalis (0,2 g dan 0,3 g) yang digunakan menyebabkan reaksi transesterifikasi berjalan kurang cepat sehingga banyak fraksi minyak yang tidak teresterkan. Adanya fraksi minyak yang tidak teresterkan juga dapat dilihat dari puncak-puncak yang tidak saling berimpit. Katalisator basa (:B-) menaikkan sifat nukleofilitas alkohol (R′OH) dengan cara mengubahnya dari nukleofil yang netral menjadi bermuatan negatif. Konsentrasi katalis yang digunakan kecil maka jumlah molekul-molekul reaktan yang dinaikkan sifat nukleofilitasnya juga sedikit dan sebaliknya. Fenomena ini terlihat pada perbedaan kandungan metil ester minyak jarak di atas. Tetapi pada konsentrasi katalis yang terlalu tinggi (>0,4 g), jumlah nukleofil yang diaktifkan berlebih dibandingkan pereaksi yang ada sehingga akan terbentuk asam lemak. Penentuan Bilangan Asam Bilangan asam minyak jarak sebesar 5,61 dan setelah reaksi transesterifikasi terjadi penurunan menjadi 1,4. Adanya asam lamak bebas mengindikasikan bahwa minyak jarak tersebut telah mengalami penurunan kualitas walaupun sangat sedikit. Hal ini tidak dapat dihindari karena minyak mudah mengalami autooksidasi 61
bila bereaksi dengan udara. Penurunan bilangan asam setelah dilakukan reaksi transesterifikasi mengindikasikan bahwa asam lemak bebas yang terbentuk sebelumnya bereaksi dengan ion metoksida membentuk ester. Fenomena tersebut memberikan informasi bahwa reaksi transesterifikasi dapat mengurangi jumlah asam lemak bebas sebagai penyebab kerusakan minyak. Penentuan Asam Lemak Total Jumlah asam lemak minyak jarak sebesar 0,58 g (11,6%) dan setelah reaksi transesterifikasi terjadi penurunan menjadi 0,23 g (4,6%). Penurunan jumlah asam lemak total mengindikasikan terjadinya pemaksapisahan asam lemak oleh alkohol menjadi ester. Masih adanya asam lemak dalam produk transesterfikisi disebabkan adanya asam lemak jenuh pada minyak jarak yang tidak dapat diuraikan karena kereaktifannya sangat rendah. Asam lemak yang masih terkandung dalam ester akan berpengaruh terhadap tingginya viskositas produk transesterifikasi. Tingginya viskositas ini karena adanya gugus –COOH yang membentuk ikatan hidrogen sangat kuat. Pengukuran Parameter Biodiesel Hasil pengukuran biodiesel dengan metode ASTM meliputi pour point, kinematic viscosity, water content dan conradson carbon residue disajikan oleh Tabel 2: Tabel 2. Pengukuran Parameter Biodiesel
No. 1 2
3 4
Parameter yang diukur
Ester Metode Minyak Minyak pengukuran Jarak Jarak ASTM D 97 11 -8 ASTM D 445 291,9 16,324
Pour Point (oF) Kinematic Viscosity, at 100oF (cSt) Water Content ASTM D 95 0,03 (%vol) ASTM D 189 0,325 Conradson Carbon Residue (%wt)
0,015 0,204
Pengukuran Pour Point Pour point adalah suhu terendah yang dinyatakan sebagai kelipatan 5oF dimana minyak yang diamati mengalir apabila minyak didinginkan dan diperiksa pada kondisi tertentu. Poir point yang tinggi akan mengakibatkan mesin sulit dinyalakan pada suhu rendah. Pour point 62
ester minyak jarak yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada spesifikasi yang diperbolehkan. Rendahnya nilai pour point ini menunjukkan bahwa produk ester minyak jarak dapat digunakan pada daerah yang sangat dingin. Pengukuran Kinematic Viscosity Bahan bakar disel yang terlalu rendah viskositasnya akan memberikan pelumasan yang buruk dan cenderung mengakibatkan kebocoran pada pompa. Sebaliknya, viskositas yang terlalu tinggi akan menyebabkan asap kotor karena bahan bakar lambat mengalir dan lebih sulit teratomisasi. Viskositas ester minyak jarak jauh lebih rendah daripada minyak jarak awal. Menurut standar ASTM, viskositas ester minyak jarak masih memenuhi standar minyak disel grade 4-D tetapi berdasarkan standar spesifikasi minyak disel menurut Dirjen Migas No. 002/P/DM/Migas/1979 viskositas ester minyak jarak masih jauh lebih tinggi. Tingginya viskositas ini disebabkan karena adanya asam lemak yang masih terdapat dalam produk transesterifikasi dan tidak berubah menjadi metil ester. Pengukuran Water Content Kandungan air yang tinggi menyebabkan mesin sulit dinyalakan karena menghambat pengiriman bahan bakar ke piston. Air yang terdapat pada minyak jarak mengakibatkan terbentuknya asam lemak. Penambahan Na2SO4 anhidrat dapat menurunkan kandungan air pada ester minyak jarak. Kandungan air yang terdapat pada ester minyak jarak jauh lebih rendah dari standar spesifikasi minyak disel menurut Dirjen Migas No. 002/P/DM/Migas/1979. Pengukuran Conradson Carbon Residue Residu karbon bahan bakar yang tinggi menyebabkan silinder cepat terabrasi. Selain itu akan menyebabkan terbentuknya deposit karbon dan zat yang kenyal pada piston silinder. Hal ini dapat menyebabkan lekatnya ring piston dan valve stem. Residu karbon ester minyak jarak dan minyak jarak jauh lebih rendah daripada yang disyaratkan. Rendahnya residu karbon yang terdapat dalam ester minyak jarak mengindikasikan rantai karbon ester minyak jarak lebih pendek daripada rantai karbon minyak jarak, sehingga memudahkan pembakaran pada mesin.
KESIMPULAN Kandungan asam lemak tak jenuh terbesar pada reaksi transesterifikasi minyak jarak dalam media metanol optimal suhu 65oC. Kandungan asam lemak tak jenuh terbesar pada reaksi transesterifikasi minyak jarak dalam media metanol optimal pada konsentrasi katalis KOH 0,178 M (0,4 g). Analisis menggunakan metode ASTM dihasilkan nilai pour point –8oF, kinematic viscosity 16,324 cSt, water content 0,015%vol, conradson carbon residue 0,204%wt. Sifat-sifat tersebut sangat dekat dengan spesifikasi minyak disel sehingga dapat digunakan sebagai biodiesel. DAFTAR PUSTAKA Alloysius H.P., 1999, Kimia Organik, Jilid 2, Edisi ketiga, Terjemahan: Organic Chemistry, Fessendens, R.J. and Fessendens J.S., Jakarta: Erlangga. American Society for Testing Materials, 1958, ASTM Standars on Petroleum Products and Lubricants, Balltimore. ASTM. Bannon, C.D., Craske, J.D., and Norman, L.M. 1988, Limitation of Ambient Temperature Methods for the
Methanolysis of Triacylglycerols in the Analysis of Fatty Acid Methyl Esters With High Accuracy and Realibility, Journal of American Oil Chemist, vol. 65 no 2 Brady, J.E., and Humiston, G.E. 1975. General Chemistry Principle and Structure, New York: John Wiley & Sons. Candra S.S., 2000, Pembuatan Bio Diesel-Oil dari Minyak Jarak Sebagai Substitusi Minyak Diesel Asal Petroleum dengan Katalis Zeolit Aktif. [Skripsi]. Yogyakarta: FTEKNIK-UGM. Eder, K., Rechlamays, L. and Kirchgessner, T.N., 1982, Studies on the Methanolysis of Purified Phospholipids for Gas Chromatography Analysis of Fatty Acids Methyl Ester, Journal of Chromatography, vol. 607, 55-67. Formo, M. N., Jungermann, E., Nornis, F. A., Sonntag, N. O. V., 1969, Bailey’s Industrial Oil and Fat Products, vol. 1, 4th edition, New York: John Wiley & Sons, Inc. Freedman, B., 1984, Variables Affecting the Yield of Fatty Esters from Transesterfied Soybeans Oils, Journal of American Oil Chemist, vol. 61, No. 10. Hart, H., 1983, Organic Chemictry, Sixth edition, Michigan: Houghton Mifflin Co,. Irma I.K., 1996, Kimia Fisika, Jilid 2, Edisi keempat, Erlangga, Jakarta, Terjemahan Physical Chemistry, Atkins, P.W., 1990. Ketaren, S. 1986, Minyak dan Lemak Pangan, Jakarta: UI Press. Parlan, 1996, Mempelajari Reaksi-reaksi Oksidasi Asam Risinoleat Hasil Isolasi dari Minyak Jarak (Castor Oil), [Tesis]. Yogyakarta: F MIPA-UGM. Pflumm, R., 2001, A 100% Soybean Oil-based Biodiesel Fuel, www.soygold.com
63
BIODIESEL YANG HARUS DIKEMBANGKAN DAN UPAYAUPAYA YANG PERLU DILAKUKAN PEMERINTAH UNTUK MENDORONG PEMANFAATANNYA DI INDONESIA HENDRAWAN ABDILLAH Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
state expectation in fulfilling energy requirement.
ABSTRACT Biodiesel is potential to become diesel fuel blend or substitute. The real fact is, its have used in other countries, evensome countries have obliging to use it. Conditions in our country, especially in diesel fuel supply condition, expressing that biodiesel is must be exploited to ensure security of diesel fuel supply. In this time, there have some company developing biodiesel usage in Indonesia. But unhappily they are a lot of pursued because not yet the existence of policy supporting development of biodiesel usage in Indonesia. May even some exist policy have the negative effect in biodiesel development. So that, ls need to be revealed constraints which are becoming resistors of development biodiesel in Indonesia and effort input which require to be done by government so that biodiesel usage can be impelled and expand on an ongoing basis later on can accommodate the
Keywords: biodiesel
PENDAHULUAN Sudah banyak orang yang tidak meragukan lagi kehandalan biodiesel sebagai bahan bakar campuran ataupun sebagai pengganti solar. Bukti nyata adalah sudah banyak negara-negara lain seperti Jerman, Austria, bahkan negara tetangga kita, Thailand, telah memanfaatkan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif pengganti atau campuran solar. Namun mengapa pengembangan dan pemanfaatan biodiesel di Indonesia tidak seberkembang di negara-negara lain, padahal biodiesel sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia yang memiliki lahan yang luas dan daya dukung tanah yang baik.
Tabel 1. Pabrik Pembuat Biodiesel yang Didirikan di Berbagai Negara
Sumber: Engineering Center BPPT
64
Pemanfaatan biodiesel di negara-negara lain cukup berkembang dengan pesat karena mereka memang melihat potensi yang besar pada biodiesel dan melihat bahwa biodiesel merupakan salah satu sumber energi yang dapat diandalkan untuk masa depan yang harus dipersiapkan sejak dari sekarang. Dengan diketahuinya berbagai kendala yang mengahambat pengembangan biodiesel di Indonesia diharapkan akan terumuskan beberapa solusi untuk mendorong pemanfaatan biodiesel di Indonesia. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan secara sintesis terfokus (focused syntesis) dengan mencari sumber pustaka yang relevan. Juga dilakukan diskusi dengan berbagai kalangan, seperti dengan pakar perkebunan dari LRPI (Lembaga Riset Perkebunan Indonesia), ahli teknologi biodiesel dari BPPT (Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi), pelaku pengembang biodiesel, PT Energi Alternatif Indonesia, pihak-pihak terkait dalam pengembangan biodiesel, seperti Forum Biodiesel Indonesia (FBI), serta dengan melihat langsung kondisi nyata di lapangan. Sehingga akan didapat dan terumuskan kendala-kendala yang secara nyata telah menghambatan pengembangan biodiesel di Indonesia. Dari hasil diskusi dan pencarian sumber pustaka seperti melihat pengalaman negara lain, akan didapat beberapa masukan bagi pemerintah dalam mendorong pemanfaatan biodiesel di Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketika penulis melakukan kerja praktek di PT Energi Alternatif Indonesia, salah satu perusahaan yang sedang mengembangkan biodiesel di Indonesia, yakni pada bulan februari 2006, terdapat fakta bahwa hambatan yang muncul dalam pengembangan pemanfaatan biodiesel ternyata banyak terkendala karena tidak adanya dukungan kebijakan yang cukup untuk mendorong pengembangan biodiesel. Bahkan saat ini, ada beberapa produk kebijakan yang justru mempunyai efek negatif terhadap pengembangan biodiesel.Yang pada akhirnya bila tidak ada perubahan pada kebijakan itu, artinya kita membiarkan biodiesel untuk tumbuh sendiri maka besar kemungkinan pemanfaatan biodiesel tidak akan bisa berkembang. Padahal ibarat bayi yang baru dilahirkan, sudah seharusnya bila biodiesel ingin cepat tumbuh dan berkembang tidak hanya harus dijaga dari hal-hal yang mengganggu pertumbuhannya saja, tetapi juga harus diberi dukungan untuk memberi awalan agar biodiesel bisa tumbuh sehat dan ceria. Dukungan ini
sangat diperlukan karena tantangan biodiesel untuk tumbuh memang tidak mudah. Untuk tumbuh dan berkembang, biodiesel harus bisa tampil bersama dengan solar yang telah ada lebih dahulu. Nampaknya perlu dijelaskan sedikit disini tentang potensi strategis biodiesel sebagai bahan bakar alternatif. Hal ini perlu dijelaskan agar dapat tergambarkan bahwa biodiesel mempunyai posisi yang sangat strategis terhadap keamanan pasokan energi di Indonesia di masa yang akan datang. Yang pada akhirnya akan membawa pada suatu kesimpulan bahwa pemanfaatan biodiesel menjadi suatu keharusan. Biodiesel merupakan bahan bakar hayati yang dapat dijadikan campuran solar dengan berbagai perbandingan. Atau juga dapat dijadikan pengganti solar dalam keadaan murni. Kemampuannya yang dapat langsung dijadikan subtitusi solar (directsubstitutor), artinya tidak diperlukan modifikasi mesin dalam pemanfaatannya, menjadi satu potensi kunci biodiesel sebagai pengganti solar. Yang berarti bahwa biodiesel dapat juga dianggap sama dengan solar menurut sifat dan kedudukannya. Infrastruktur baru yang dibutuhkan dalam pendistribusianya relatif tidak dibutuhkan. Sehingga switching-cost dari solar ke biodiesel atau dari solar ke campuran solar-biodiesel akan relatif kecil. Kehandalan biodiesel sebagai pengganti solar tidak perlu diragukan lagi, bukti paling nyata adalah sudah banyak negara yang telah memanfaatkan biodiesel dan bahkan ada negaranegara yang telah mewajibkan pemanfaatannya. Dan yang terakhir, biodiesel dapat dibuat dari berbagai macam minyak nabati. Artinya, biodiesel tergolong pada golongan sumber energi yang terbarukan (renewable), sebuah sifat yang ideal sebagai andalan sumber energi masa depan. Namun, apalah arti potensi biodiesel yang begitu besar bila ternyata solar masih bisa diandalkan. Bila kondisi mengatakan bahwa solar bisa terus diandalkan, maka biodiesel tidak akan mempunyai posisi strategis apapun untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Namun kenyataan kondisi mengatakan lain, kondisi suplai-konsumsi solar di Indonesia, juga untuk produk bahan bakar lain yang berasal dari minyak bumi, sudah sampai pada kondisi yang perlu untuk diperhatikan dan untuk selanjutnya perlu dilakukan langkah lebih lanjut untuk mengatasinya. Seperti yang ditunjukan data dari BP, perusahaan global pengeksplorasi minyak bumi, dalam BP Statistical Review of World Energy 2005, terungkap bahwa jumlah produksi minyak bumi indonesia telah mencapai puncak (peak-oil). Dan saat ini telah menunjukan indikasi penurunan tingkat produksi. Berikut adalah grafik suplai-konsumsi minyak bumi Indonesia dari tahun 1965 sampai 2004 berdasarkan data dari BP
65
Dibawah ini adalah grafik keadaan suplai-konsumsi solar Indonesia berdasarkan data dari ditjen migas.
1800 1600 1400
grafik produksi-konsumsi-impor solar
1200 produksi
1000 800
30000
400 200 0
tahun
jumlah (kilo liter)
konsumsi
600
1966 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004
jumlah (ribu barrel per hari)
grafik produksi-konsumsi minyak bumi Indonesia
66
produksi
20000
impor
15000
konsumsi
10000 5000 0 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03
Gambar 1. Suplai-konsumsi minyak bumi Indonesia dari tahun 1965 sampai 2004 (BP)
tahun
Gambar 2. Keadaan suplai-konsumsi solar Indonesia berdasarkan data dari ditjen migas
Dari grafik di atas dapat kita lihat bahwa konsumsi, produksi, dan impor minyak sama-sama bergerak naik. Hanya saja untuk produksinya, sejak tahun 2000 sudah terlihat gejala stagnasi. Sekarang bila kita lihat pergerakan impor solar, variabel ini menjadi indikator tingkat kemampuan produksi dalam negeri dalam memenuhi kebutuhannya, terlihat bahwa pergerakan impor solar mempunyai trend yang terus naik. Dari grafik ini mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa ini bisa jadi merupakan suatu indikasi produksi dalam negeri memang sudah tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan solar. Lebih jelas lagi pergerakan trend impor solar dapat kita lihat seperti gambar dibawah ini. impor solar 12000 jumlah (kilo liter)
10000 8000 impor solar
6000 4000 2000 0 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03
Seperti tampak pada grafik di atas, bahwa pada tahun 1977 produksi minyak Indonesia telah mencapai puncak produksi. Terbukti, setelah tahun itu produksi minyak Indonesia bergerak secara mendatar (stagnan). Dan mulai tahun 1993 telah terlihat adanya gejala penurunan produksi minyak bumi. Bahkan dengan pergerakan konsumsi yang terus naik, pada tahun 2004 terjadi cross point antara garis produksi dan konsumsi, sehingga kini secara hitungan bersih negara kita telah berstatus net-importir minyak bumi. Juga dari laporan BP, bahwa pada tahun 2004 cadangan minyak bumi Indonsia yang terbukti adalah sebanyak 4 miliar barrel. Sedangkan dari data ditjen migas, cadangan minyak Indonesia yang terbukti pada tahun 2004 juga sebesar 4 miliar barrel dan cadangan minyak potensialnya sebanyak 4,4 miliar barrel. Bila saja kita menganggap cadangan minyak potensial ini benar-benar ada, sehingga jumlah cadangan minyak yang kita punya adalah sebesar 8,8 miliar barrel. Maka, bila kita mencoba memproyeksikan garis produksi dan konsumsi Indonesia beberapa tahun kedepan dengan tingkat produksi-konsumsi tahuntahun berikutnya sama dengan tahun 2004 (bergerak secara flat),maka dari proyeksi didapat bahwa 21 tahun lagi cadangan minyak Indonesia akan habis. Sebenarnya pada tahun 2004 pun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah diberikan memorandum oleh Kelompok Kerja Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PA-PSDA) dan Koalisi Ornop Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan yang berjudul “Usulan Kebijakan Energi Untuk Keamanan Pasokan Energi Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan”. Memorandum ini mengatakan bahwa minyak bumi Indonesia akan habis dalam waktu 15-20 tahun, gas alam dalam waktu 35-40 tahun dan batubara dalam waktu 60-75 tahun. Untuk solar sendiri, gejalanya pun sama dengan minyak bumi, karena solar sendiri adalah salah satu produk dari minyak bumi. Namun untuk melihat lebih jelas keadaan kondisi suplai-konsumsi solar, perlu kita lihat pergerakan suplaikonsumsi solar di Indonesia.
25000
tahun
Gambar 3. Pergerakan impor solar yang mempunyai trend terus naik
Dari data konsumsi-produksi-impor dapat kita buat sebuah grafik lagi untuk melihat pergerakan pertumbuhan untuk tiaptiap variabel. Ini untuk melihat bagaimana sebenarnya keadaan pertumbuhan tiap-tiap variabel. Grafik pergerakan pertumbuhan konsumsi, produksi, dan impor minyak terlihat seperti pada gambar dibawah ini.
grafik pergerakan pertumbuhan produksi-konsumsi-impor solar
100% konsumsi impor
50%
produksi 20 03
20 01
20 02
20 00
19 98
19 99
19 97
19 96
19 95
19 94
19 93
19 92
19 91
0% 19 90
pertumbuhan
150%
-50% tahun
Gambar 4. Pergerakan pertumbuhan produksi, dan impor minyak
konsumsi,
Untuk grafik pergerakan pertumbuhan ini, yang kita lihat bukan lagi trend-nya, tapi yang perlu diperhatikan adalah ratarata pertumbuhan, range fluktuasi dari tiap-tiap variabel dan posisi titik yang paling sering ditempati, yang semua tergambar bila kita membuat distribusi nilai-nya. Ini akan memberikan gambaran kondisi pertumbuhan dari tiaptiap variabel yang menjadi dasar untuk memprediksi pola pergerakan tiap-tiap variabel kedepan. Rangkuman pertumbuhan tiap-tiap variabel yang telah dibuat distribusi nilai-nya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini Tabel 1. Pertumbuhan tiap-tiap variabel yang telah dibuat distribusi nilai-nya
Untuk rata-rata pertumbuhan, variabel impor berada di urutan pertama yaitu sebesar 16%, lalu diikuti dengan konsumsi dan produksi sebesar 6% dan 3,5%. Dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi yang lebih besar daripada produksi, apalagi posisi level konsumsi juga di atas level produksi, maka secara empiris pergerakan variabel konsumsi akan terus menjauh dari variabel produksi. Kemungkinan tingkat konsumsi untuk tumbuh (pertumbuhan berada di range >0) juga lebih besar dibandingkan kemungkinan pertumbuhan, yaitu dengan kemungkinan sampai 0,72 untuk konsumsi dan 0,08 untuk produksi. Sedangkan untuk pertumbuhan negatif (pertumbuhan berada dirange < 0) produksi dan konsumsi mempunyai range yang sama. Sehingga terbukti bahwa kemampuan produksi dalam negeri memang sudah tidak dapat mengimbangi pertumbuhan konsumsinya. Apalagi jika ternyata ada kenyataan juga bahwa cadangan minyak terbatas. Bila hal ini dibiarkan terus dan tidak ada langkah lanjut dalam mengatasinya, maka kondisi ini akan membawa Indonesia pada kerawanan suplai energi solar (security of supply). Apakah kita akan terus
mengandalkan impor solar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Padahal, mengandalkan impor juga masih memunculkan berbagai kerawanan pasokan. Selain beban devisa yang harus ditanggung pemerintah, bagaimana bila pasokan dari luar terhambat atau memang sengaja dihambat? Melihat kondisi-kondisi suplai solar seperti ini dan potensi biodiesel yang begitu besar dalam menggantikan solar maka pemanfaatan biodiesel nampaknya kini telah menjadi suatu keharusan. Selama tidak ada sumber energi lain yang lebih potensial untuk dikembangkan sebagai andalan pengganti solar. Lalu mengapa sampai saat ini pengembangan biodiesel di Indonesia belum di optimalkan. Kita bersyukur bahwa ternyata dari saudarasaudara kita setanah-air telah ada yang menyadari pentingnya pemanfaatan biodiesel ini dan saat ini sedang berusaha mengembangkan biodiesel. Namun sayangnya, ternyata saat ini, usaha mereka banyak terhambat karena belum adanya kebijakan-kebijakan yang mendukung dalam mendorong pemanfaatan biodiesel ini,. Bahkan ada beberapa produk kebijakan yang justru mempunyai efek negatif terhadap pengembangan biodiesel di Indonesia. Sehingga nampaknya perlu dikemukakan tentang hal-hal yang menghambat pengembangan biodiesel di Indonesia juga beberapa hal yang diperlukan untuk mendorong pemanfaatan biodiesel di Indonesia Berikut adalah beberapa kendala pengembangan pemanfaatan biodiesel di Indonesia: 1. Belum disahkannya biodiesel sebagai bahan bakar resmi di Indonesia Hal pertama yang menjadi kendala pemanfaatan biodiesel di Indonesia yaitu belum disahkannya biodiesel sebagai bahan bakar resmi di tanah air. Ini menyebabkan produsen biodiesel tidak bisa menjual biodieselnya dalam konsep sebagai produk bahan bakar, seperti menjualnya lewat SPBU melalui stasiun-stasiun pengisian. Yang banyak dilakukan sekarang adalah menjual biodiesel dengan konsep sebagai zat additive. Konsekuensinya produk biodiesel tersebut harus mempunyai kemasan dan berlabel. Sehingga membuat biodiesel menjadi lebih mahal dan menjadi tidak kompetitif lagi.Dapat dipahami, bahwa untuk melindungi pengguna bahan bakar di tanah air maka wajar saja bila ESDM mengeluarkan aturan bahwa bahan bakar yang boleh diperdagangkan adalah bahan bakar yang telah memenuhi spesifikasi dari ESDM. Dan saat ini memang belum ada ketentuan resmi untuk spesifikasi biodiesel di Indonesia. Namun sebenarnya ini bukanlah hal yang sulit, karena untuk membuat standar dan metode uji apa yang dipakai kita bisa mengadopsi standar dan metode uji dari luar, seperti. Kita bisa menggunakan standar dan metode uji seperti yang ada diluar, seperti DIN E 51.606 yang diberlakukan di Jerman. Jika memang diperlukan bisa dilakukan beberapa penyesuaian sesuai dengan 67
kondisi yang ada di Indonesia. Dengan disahkannya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk biodiesel maka akan menjadi sebuah langkah besar dalam komersialisasi biodiesel di Indonesia. Namun ini bukan berarti kita harus secepat-cepatnya mensahkan biodiesel sebagai bahan bakar resmi, asas kehatihatian tetap perlu dipegang. Semua dampak dan akibat perlu dikaji terlebih dahulu. Contohnya jangan sampai bila nanti pasar biodiesel telah terbuka biodiesel akan dikuasai oleh pemain asing yang relatif mempunyai dukungan teknologi dan modal yang kuat. 2. Subsidi solar menjadikan biodiesel menjadi tidak kompetitif Solar impor yang saat ini disubsidi pemerintah menjadi suatu kendala besar dalam pengembangan pemanfaatan biodiesel. Hal ini membuta biodiesel menjadi tidak kompetitif lagi. Dengan asumsi harga jual biodiesel Rp. 5.180 (hasil perhitungan Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, sudah termasuk pajak dan keuntungan sebesar 20%), maka biodiesel menjadi tidak kompetitif lagi dengan harga solar yang saat ini Rp. 4.300. Apalagi solar merupakan barang komoditi (non-brand good) sehingga bila biodiesel lebih mahal dari solar dan tidak mempunyai nilai lebih apa-apa di mata konsumen, maka pengembangan biodiesel akan sulit dilakukan. Dan saat ini, keunggulan biodiesel yang ramah lingkungan belum menjadikan sesuatu yang berarti bagi konsumen di Indonesia. Harga masih menjadi prioritas yang utama. 3. Belum adanya kebijakan yang mendorong pemanfaatan biodiesel Sebagai industri baru tentu akan banyak bebanbeban yang berat di awal pengembangan, sehingga untuk merangsang pertumbuhannya diperlukan kebijakan untuk meringankannya. Kebijakan yang dibutuhkan antara lain keringanan pajak untuk kegiatan-kegiatan di bidang pengembangan biodiesel (bisa dibuat dalam jangka waktu tertentu), memberikan kemudahan kredit dan bunga kredit bagi pengembang biodiesel dan memberikan penghapusan pajak barang mewah untuk peralatan yang menggunakan biodiesel. Selain kendala-kendala yang telah disebut diatas, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah agar pemanfaatan biodiesel ini mempunyai manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan bisa berjalan secara berkelanjutan. Upaya-upaya yang perlu dilakukan yaitu: 1. Membentuk tim nasional koordinasi pengembangan biodiesel Pengembangan biodiesel akan sangat terkait dengan berbagai pihak sehingga diperlukan tim koordinasi untuk menyelaraskan gerak dalam mendorong pengembangan biodiesel. Tim inilah yang nantinya akan membuat roadmap (grand strategy) pengembangan biodiesel. 68
2. Membuat roadmap pengembangan pemafaatan biodiesel dan mensosialisasikannya Hal ini penting untuk memberikan arah pengembangan pemanfaatan biodiesel yang jelas. Sehingga menjaga keamanan pasokan energi solar dapat terjaga. Maka, harus ada target-target yang jelas dalam pengembangan biodiesel yang tergambar dalam roadmap pengembangan biodiesel. Sehingga perkembangan biodiesel bisa tumbuh secara berkesinambungan yang seterusnya dapat menjaga keamanan pasokan energi solar. Setelah roadmap terbentuk, maka perlu dilakukan sosialisasi-sosialisasi dan penggerakan untuk mencapai target-target pengembangan yang telah dibuat di dalam roadmap. Tanpa sosialisasi dan penggerakan, maka roadmap tidak ada artinya apa-apa 3. Biodiesel diwajibkan sebagai campuran solar Ada banyak model yang bisa dibuat dalam mekanisme pemanfaatan biodiesel. Untuk mempermudah dalam mendorong pemanfaatan biodiesel dan mempermudah dalam membuat perencanaan dan pencapaian target-target pengembangan biodiesel, maka akan lebih baik jika pemanfaatan biodiesel dilakukan dengan mewajibkan biodiesel sebagai campuran solar dengan kadar tertentu (BXX). Seperti contohnya pada tahun 2010 misalnya ditargetkan campuran biodiesel pada solar mencapai 2%, pada tahun 2015 sebesar 3%, dan seterusnya. Dasar untuk menggunakan mekanisme ini dalam pemanfaatan biodiesel yaitu: a. Mempermudah dalam perencanaan pengembangan dan pemanfaatan biodiesel. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pemanfaatan biodiesel menjadi sesuatu yang harus dilakukan demi keamanan pasokan solar (security of supply). Untuk mencapai tujuan ini, maka pemanfaatan biodiesel harus terencana dengan membuat target-target dengan jadwal tertentu. Untuk memudahkan dalam penyusunan rencana pemanfaatan biodiesel maka mekanisme mewajibkan biodiesel sebagai menjadi campuran solar menjadi pilihan yang cukup ideal. Karena dengan begini, akan diketahui seberapa seberapa banyak biodiesel yang harus diproduksi dengan membandingkan dengan permintaan solar. Dengan mekanisme ini juga diharapkan pencapaian pemanfaatan biodiesel sebagai 100% pengganti solar, dimana saat itu solar sudah sulit didapat, akan berjalan lancar. b. Mempermudah dalam realisasi pemanfaatan biodiesel. Karena solar yang dipakai pengguna telah tercampur biodiesel, maka dengan sendirinya pemananfaatan biodiesel telah terealisasikan. c. Mempermudah distribusi dan mengurangi pembangunan infrastruktur baru. Dengan mekanisme ini, maka relatif tidak dibutuhkan lagi stasiun pengisian bahan bakar yang baru, karena mendistribusikan solar sama saja telah
mendistribusikan biodiesel d. Mempermudah dalam pembuatan skenario pemanfaatan bodiesel yang diinginkan dan mempermudah dalam pengontrolannya. Biodiesel merupakan komoditi strategis dipandang dari sudut security of supply dan mempunyai posisi strategis dalam kerangka potensinya yang mampu menggerakan perekonomian kerakyatan. Sehingga perlu dibuat perencanaan yang baik implementasinya yang ditujukan sebasar-besarnya untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat. Dengan mekanisme solar wajib dicampur biodiesel maka akan lebih mudah dalam membuat skenario yang diinginkan dan juga mempermudah pengontrolannya. Penjelasan skenario yang diinginkan, salah satu contohnya dapet dilihat seperti pada masukan upaya-upaya yang perlu dilakukan pemerintah di poin yang ke-5. e. Mempermudah mekanisme pemberian subsidi dan penetapan harga. Bila dipakai mekanisme pemanfaatan biodiesel dengan model pasar terbuka, maka akan cukup sulit untuk menjalankan mekanisme pemberian subsidi. Apakah yang disubsidi harus solar, solar dengan campuran biodiesel sekian persen, ataukah hanya biodiesel yang murni saja. Dengan mengikuti mekanisme “solar wajib dicampur biodiesel” maka subsidi ke biodiesel dapat dilakukan dengan cara yang sama seperti pada subsidi solar. 4. Membuat roadmap bahan baku biodiesel Ketersedian bahan baku adalah sesuatu yang vital bagi ketersediaan biodiesel yang kemudian berujung pada security of supply. Untuk itu perlu dibuat perencanaan skenario atau road map penggunaan bahan bakunya. Memang banyak sekali tanaman yang dapat dijadikan sumber bahan baku biodiesel. Namun, hendaknya dipilih satu jenis tanaman yang paling potensial untuk dijadikan andalan tanaman energi. Sehingga nantinya ketersediaan bahan baku akan bisa terkontrol dan terjamin. Tanaman yang dipilih hendaknya harus bisa diandalkan untuk seterusnya sebagai sumber energi yang tidak terpengaruh oleh waktu dan keadaaan. Saat ini ada dua jenis tanaman yang mempunyai potensi yang besar untuk dijadikan andalan tanaman sumber energi, yaitu tanaman sawit dan jarak pagar. Sawit sangat potensial sebagai sumber energi karena saat ini telah tersedia dalam jumlah yang cukup memadai. Apalagi saat ini juga telah ada varietas sawit dengan kualitas yang unggul dan telah tersertifikasi. Namun sayangnya, pemanfaatan sawit untuk bahan baku biodiesel dapat terganggu oleh pemanfaatan sawit untuk kebutuhan pangan, apalagi jika suatu saat harga CPO sedang dalam posisi yang tinggi. Sehingga sawit kurang cocok untuk dijadikan tanaman andalan sumber energi. Sehingga kini yang potensial untuk dijadikan tanaman andalan sumber energi adalah tanaman jarak pagar. Pemanfaatan jarak tidak akan terganggu karena jarak merupakan tanaman non-pangan (non-edible). Selain itu jarak juga mampu
tumbuh di lahan-lahan kritis dan tidak memerlukan perawatan yang intensif. Ini sangat mendukung terhadap ketersediaan bahan baku biodiesel. Namun sayangnya sampai saat ini belum ditemukan varietas jarak pagar yang unggul sehingga bila dibandingkan dengan sawit, produktivitas jarak untuk menghasilkan minyak nabati masih lebih rendah dibandingkan dengan sawit. Selain itu, juga belum ada kajian tentang penanaman jarak secara monokultur sehingga mempunyai resiko besar terhadap bahaya hama dan penyakit. Sampai saat ini pun juga belum ada sertifikasi terhadap tanaman jarak. Padahal menurut UU NO 12/1992 tentang sistem budidaya, tanaman yang dijual haruslah telah tersertifikasi yang telah jelas asal-usulnya. Dengan kondisi yang seperti ini, strategi yang dapat diambil adalah memanfaatkan keunggulan kedua tanaman ini untuk menutupi kekurangan dari keduanya. Dengan potensi jarak pagar yang tidak terpengaruh oleh kebutuhan di sktor lain dan mampu ditanam dengan kondisi lingkungan yang minim maka jarak tetap sangat potensial untuk dijadikan tanaman andalan sumber energi. Namun sebelum itu, perlu dilakukan penelitian terhadap jarak terlebih dahulu untuk menemukan jarak jenis unggul dan mengkaji berbagai macam kajian tentang jarak. Sementara jarak tidak dulu disebarluaskan sebagai tanaman energi, kita bisa memanfaat potensi sawit sebagai bahan baku biodiesel. Untuk mencapai target 2% campuran biodiesel pada tahun 2009, maka akan dibutuhkan biodiesel sebanyak 720.000 kl. Jumlah sebanyak ini dapat dipenuhi dengan areal sawit seluas 216.000 ha (asumsi produktivitas sawit 3,5 kg CPO/ha/th, data dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia). Jumlah ini hanyalah sebesar 3,8 % dari areal sawit yang diproyeksikan pada tahun 2009 seluas 5.561.486 ha. Pemerintah perlu hati-hati dalam mensosialisasikan potensi jarak sebagai bahan baku biodiesel. Jangan sampai terjadi eforia penanaman jarak secara besar-besaran di masyarakat sebelum benar-benar telah dilakukan penelitian terhadap jarak dan ditemukannya jarak varietas unggul. Sampai kemudian ditandai dengan disertifikasikannya tanaman jarak oleh departemen pertanian. Karena eforia ini ini mempunyai resiko yang besar terhadap munculnya hal-hal yang tidak diinginkan dan bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, petani juga pun yang akan terugikan. Asas kehati-hatian tetap perlu dipegang dan sebenarnya undang-undang pun melarang perdagangan tanaman yang varietasnya belum disertifikasi. Tanaman yang terpilih ini, nantinya perlu dilakukan penelitian yang berkelanjutan secara intensif untuk lebih meningkatkan kemampuan mensuplai bahan baku biodiesel. Sehingga nantinya tanaman jarak yang boleh dijual adalah jenis jarak yang telah disertifikasi yang mutunya telah terjamin dan diharapkan akan terus meningkat. Sehingga petanipun bisa menikmati hasil usaha taninya karena 69
mutu bibit yang dipakai terjamin mutunya dengan hasil panen yang dapat diperkirakan dan terjamin. Dengan ini juga pasokan bahan baku biodieselpun juga dapat terjaga. Juga untuk menjaga kestabilan ketersediaan bahan baku, nampaknya pemerintah juga perlu ikut campur dengan menetapkan harga atas dan harga bawah untuk biji jarak. Kasus yang terjadi di lapangan dengan tidak adanya penetapan harga batas atas dan bawah jarak adalah ketika pertama kali ada perusahaan yang menawarkan akan membeli biji jarak dengan harga Rp.500 rupiah/kg, banyak petani yang tidak bergairah untuk menanamnya. Namun akhirnya ada yang tergerak juga dengan terpaksa karena lahannya memang kurang layak untuk ditanami tanaman lain. Namun ketika ada eforia pemanfaatan biji jarak sebagai bahan baku biodiesel, harga biji jarak langsung melonjak bahkan pernah mencapai Rp.8000/kg. Hal ini tentu akan menggangu kestabilan produksi biodiesel yang berujung pada kerawanan pasokan. Pengkhususan satu jenis tanaman sebagai pemasok utama bahan baku biodiesel bukan dimaksudkan bahwa bahan baku biodiesel hanya boleh dari satu jenis tanaman saja. Tapi untuk memudahkan untuk menjaga kestabilan pasokan. Pasokan bahan baku dari tanaman lain tetap mungkin dilakukan, seperti misalnya untuk tanaman sawit. Biodiesel dapat dijadikan buffer market bila produksi sawit berlebih. Begitu juga untuk tanaman yang lain. 5. Mendorong pembangunan pabrik biodiesel kapasitas kecil di tahun-tahun pertama pemanfaatan biodiesel Biodiesel merupakan komoditi strategis dipandang dari sudut security of supply dan mempunyai posisi strategis dalam kerangka potensinya yang mampu menggerakan perekonomian kerakyatan. Sehingga perlu dibuat skenario pengembangan biodiesel yang ditujukan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai itu, walaupun biodiesel memang harus dimanfaatkan, namun jangan sampai kita terlalu terobsesi secara berlebihan untuk segera memanfaatkan biodiesel ini. Perlu dibuat skenario yang baik agar pengembangan biodiesel dapat memenuhi kepentingan negara dan juga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk masa-masa awal pemanfaatan biodiesel, sebaiknya kita tidak membuka pasar biodiesel terlalu bebas. Karena hal ini akan memudahkan pihak dari luar yang telah mempunyai teknologi dan modal yang kuat, untuk mudah masuk dan menguasai pengelolaan biodiesel di Indonesia, sementara SDM kita belum siap dalam menguasai teknologi biodisel. Walaupun sebenarnya teknologinya relatif mudah. Perlu dibuat skenario pengembangan biodiesel yang mampu mengakomodasi tujuan-tujuan itu. Caranya dengan membuat target pengembangan 70
biodiesel secara bertahap yang berkesinambungan. Yaitu dengan membuat target secara bertahap yang disesuaikan dengan kemampuan SDM Indonesia dalam mengikutinya, terutama untuk tahuntahun pertama pengembangan biodiesel.. Misalnya untuk 5 tahun pertama pengembangan biodiesel biodiesel ditargetkan dapat menjadi campuran solar sebanyak 2%. Dan kemudian pengembangan biodiesel memang diarahkan hanya sampai untuk memenuhi target itu. Maka untuk mencapai itu produksi biodiesel dapat dilakukan oleh pabrikpabrik biodiesel berkapasitas kecil yang harapannya dapat dilakukan oleh SDM dari dalam negeri. Untuk mendorong pembangunan pabrik biodiesel skala kecil perlu dikeluarkan kebijakankebijakan yang mampu mendorong pembangunan pabrik biodiesel berkapasitas kecil. Yaitu dengan memberi kemudahan kredit dan keringanan bunga kredit untuk pembangunan pabrik biodiesel skala kecil. Juga perlu dikeluarkan kebijakan pelarangan investasi pembangunan pabrik biodiesel dengan kapasitas produksi yang besar untuk tahun-tahun pertama pemanfaatan biodiesel. Dengan cara ini diharapkan SDM kita mampu mengikuti alur pengembangan biodiesel dan kemudian bisa tumbuh dan menjadi pelaku utama pengelolaan biodiesel di Indonesia. Dan target pengembangan biodiesel untuk mencapai keamanan pasokan energi solar pun juga dapat tercapai. Dengan pembangunan pabrik dengan skala kecil ini pula kita dapat menghindari resiko yang besar bila ternyata pemanfaatan biodiesel mempunyai efek samping yang lain. Dengan upaya-upaya ini diharapkan pemanfaatan biodiesel di Indonesia bisa berkembang secara terarah dan berkelanjutan serta dapat memenuhi kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat. Yang tentunya menjadi harapan bagi kita semua. KESIMPULAN Pengembangan biodiesel di Indonesia ternyata banyak terkendala oleh belum adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan-kebijakan bahkan ada produk kebijakan yang justru mempunyai efek negatif terhadap pengembangan biodiesel di Indonesia. Sehingga perlu diberikan masukanmasukan bagi pemerintah untuk mendorong pemanfaatan biodiesel. Upaya-upaya yang perlu dilakukan pemerintah yaitu: 1. mensahkan biodiesel sebagai bahan bakar resmi di Indonesia ditandai dengan disahkannnya SNI untuk biodiesel 2. membentuk tim nasional koordinator pengembang biodiesel 3. membuat roadmap pengembangan biodiesel dan bahan bakunya 4. menunjuk 1 jenis tanaman sebagai tanaman utama pemasok bahan baku biodiesel 5. mewajibkan pencampuran solar dengan biodiesel
dengan konsep BXX 6. merevisi subsidi pada solar dengan mensubsidi biodiesel atau campuran solar-biodiesel 7. mengarahkan pembangunan pabrik-pabrik berskala kecil di tahun-tahun awal pemanfaatan biodiesel 8. mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong pengembangan biodiesel di Indonesia
Anonim. 2006. Prosiding Rumusan Seminar dan Dialog Tuntas; Biodiesel Kembalilah ke Jalan yang Benar. Jakarta: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Danim, S. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara Hermawan, Tj. 2006. Pembangunan Pilot Plant Biodiesel Berbahan Baku Kelapa Sawit. Jakarta: Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. www.bp.com. BP Statistical Review of World Energy 2005 www.esdm.go.id. Data Energi di Sektor Rumah Tangga, Sektor Transportasi, Sektor Industri Energi Minyak Bumi
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Kajian Kebijakan dan Kumpulan Artikel Penelitian Biodisel. Jakarta: KMNRT
71
IDENTIFIKASI POTENSI PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH CAIR TAHU DENGAN MENGGUNAKAN REACTOR UPFLOW ANAEROBIC SLUDGE BLANKET (uasb) WAGIMAN Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM Yogyakarta 55281
ABSTRAK Limbah cair tahu mengandung bahan organik sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produksi biogas. Sebagai produk samping sistem pengolahan limbah secara anaerobik, biogas masih belum banyak dikaji nilai tambahnya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi potensi tersebut dengan menggunkan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Dari aspek teknik dilihat laju produksi biogas dan laju degadasi bahan organik (COD), sedangkan dari sisi ekonomis dihitung nilai finansial kalor yang dikandung biogas. Penelitian menunjukkan bahwa biogas yang dapat diproduksi sebesar 0,13 liter per gram COD dengan waktu tinggal 4 hari dan volume reaktor 8,5 liter. Nilai tambah yang dihasilkan adalah 0,24 rupih/l limbah/hari. Hasil lainnya adalah peningkatan pH dari 3-4 menjadi 7,0-7,5 (netral) yang berarti juga meningkatkan keamanan efluen. Kata kunci: Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB), Biogas, Chemical Oxygen Demand (COD)
PENDAHULUAN Industri tahu telah berkembang secara turun temurun di berbagai wilayah Indonesia khususnya Jawa pada skala mikro dengan proses produksi secara tradisional. Kondisi tersebut menyebabkan limbahnya sangat besar yaitu 12 m3 per ton kedelai (Zamroni, 2004) dan kandungan bahan organiknya juga tinggi (COD: 5.000-8.000 mg/L, Wagiman, 2001). Sebagian besar limbah dibuang langsung ke lingkungan, misalnya di DIY industri tahu yang memiliki IPAL hanya 17,65% dengan pengoperasian yang tidak maksimal. Beberapa penyebab industri tahu tidak melakukan pengolahan limbah cairnya antara 72
lain: (i) keterbatasan dana untuk membangun dan mengoperasikan IPAL, (ii) tidak tersedia teknologi pengolahan limbah untuk industri kecil, (iii) pengusaha tidak melihat kemanfaatan pengolahan limbah cair, (iv) tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidupnya masih rendah, (v) dampak pembuangan limbah terhadap lingkungan tidak muncul spontan sehingga masyarakat seakan resisten. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan pengembangan teknologi yang mengedepankan aspek nilai tambah bagi pengusaha. Polutan di dalam limbah cair tahu terdiri dari air 90,74%, protein 1,8%, lemak 1,2%, serat kasar 7,36% dan abu 0,32% (Rahardjo dalam Trismila et al., 2001). Komposisi tersebut memungkinkan pengembangan biogas dari limbah cair tahu menjadi alternatif untuk industri kecil-menengah. Biogas dapat dikonversi menjadi energi yang sangat dibutuhkan pada proses produksi tahu, ramah lingkungan dan termasuk kategori energi terbarukan. Dengan demikian, ada keuntungan ganda produksi biogas yaitu menghasilkan energi bagi industri bersangkutan dan menurunkan tingkat bahaya limbah cair. Produksi biogas di atas menggunakan UASB dengan pertimbangan alat termasuk high-rate reactor dan efisiensinya tinggi yaitu 70-90%, waktu tinggal hirolik rendah, kebutuhan energi kecil, tidak memerlukan media, dan teknologi telah teruji. Teknologi UASB sudah tersebar di seluruh dunia dan banyak dipakai untuk penanganan berbagai macam limbah khususnya limbah industri pertanian seperti industri gula, pengolahan kentang, pengalengan daging, kertas, sari buah, dan industri makanan (Laubscher et al., 2001). UASB juga sudah dipakai
pada industri tahu di Indonesia dengan hasil yang cukup memuaskan (Sujarwo, 2004). Pengolahan limbah secara anaerobik akan menghasilkan biogas yang terdiri dari CO2 dan CH4. Fraksi metana bervariasi tergantung substrat yang terkandung di dalam limbah (Marchaim, 1992), tetapi pada umumnya berkisar antara 0,2-0,7 (Anonim, 2004). Produksi gas juga tergantung pada kinerja bakteri metanogen yang dipengaruhi oleh pH, suhu, kandungan nutrien, keberadaan faktor penghambat dan waktu retensi. Menurut Mulligan et al (1993), untuk pembebanan 36,5 kg COD/m3/hari dapat menghasilkan gas sebesar 12,0 m3/m3/hari. Pengolahan limbah cair industri tapioka dengan menggunakan UASB dapat menghasilkan metana 83,6% dari COD (Amatya, 1996). Gas metana dapat juga diproduksi dari limbah cair industri pengolahan minyak zaitun, 1 liter limbah tersebut menghasilkan 15,1 ± 1,5 liter gas metana. Tanticharoen, et.al (2003) berhasil memproduksi biogas dari limbah cair industri tepung tapioka dan industri tepung beras dengan menggunakan Anaerobic Fixed Film (AFF). Keuntungan yang diperoleh dari produksi biogas untuk industri tepung beras dan tapioka masingmasing adalah 6,1 dan 14,4 juta bath/tahun, dan payback period 4 dan 3 tahun. Penambahan Biofilm Suport Systems (BSS) pada reaktor teraduk secara kontinyu dapat meningkatkan produksi biogas dari limbah cair industri susu. Produksi biogas juga mulai dikembang pada skala industri seperti di Finlandia pada tahun 2000 ada 15 pabrik penghasil biogas dari limbah domestik maupun industri, pada tahun yang sama di Jerman berkembang 5 perusahaan biogas sejenis (Leinonen dan Kuittinen, 2001). Anaerobik sangat cocok untuk mengolah limbah cair yang mengandung bahan organik kompleks seperti limbah dari industri makanan, minuman, bahan kima dan obat-obatan (anonim, 2003). Bahan organik tersebut didegradasi menjadi senyawa sederhana dan stabil melalui empat tahap yaitu hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan methanogenesis (Beteau, 1997). Senyawa kompleks seperti lemak, polisakarida dan protein dihidrolisis menjadi asam lemak, monosakarida, dan asam amino. Pada tahap asidogenesis, senyawa hasil hidrolisis dirubah menjadi senyawa bermassa molekul sedang seperti propionat, butirat, laktat dan etanol. Metanogenesis sebagai tahap akhir, merupakan konversi senyawa bermassa molekul sedang menjadi metana dan karbondioksida. Pembentukan metan dapat melalui konversi
hidrogen dan karbondioksida, dan konversi asetat menjadi metan dan karbondioksida. Metana merupakan hasil akhir proses anaerobik sehingga dapat digunakan sebagai parameter atau indikator keberhasilan proses tersebut (Michaud et al., 2002) Biogas merupakan hasil akhir dari proses anaerobik dengan komponen utama CH4 dan CO2, H2, N2, dan gas lain seperti H2S. Nilai kalor biogas lebih tinggi dibandingkan sumber energi lainnya, seperti batubara (586 K.cal/m3) ataupun uap air (302 K.cal/m3), tetapi lebih rendah dari gas alam yaitu 967 K.cal/m3. Setiap satu meter kubik biogas setara dengan setengah kilogram gas alam cair (liquid petroleum gases), atau setengah liter bensin atau setengah liter minyak diesel. Biogas sanggup membangkitkan tenaga listrik sebesar 1,25-1,50 kilo watt hour (kwh). BAHAN DAN CARA KERJA Bahan Bahan utama untuk produksi biogas ini berupa limbah cair dari salah satu tahap di dalam pembuatan tahu yaitu proses penggupalan. Bahan ini dikenal dengan sebutan whey dan mempunyai karakteristik pH 4-5, COD 6.000-10.000 mg/L. Alat Reaktor didesain dalam bentuk UASB (Gambar 1) dengan volume operasional 8,5 liter, dibuat dari bahan paralon. Alat ini dilengkapi dengan sistem sirkulasi dan penampung gas berupa erlenmeyer.
Gambar 1. Skema konfigurasi UASB
73
Prosedur Pelaksanaan Empat liter massa mikroorganisme yang telah tumbuh (granular) kemudian dimasukkan ke reaktor untuk start-up dan biasanya membutuhkan waktu yang lama. Waktu start- up dianggap cukup bila laju degradasi bahan organik dan gas yang terbentuk sudah stabil. Limbah dari industri tahu ditentukan CODnya berada pada kisaran 5000-8000 mg/L, pH dijaga 4-5 kemudian dimasukkan ke reaktor anaerobik mengikuti aliran seperti pada gambar di atas. Ada dua sistem yang dilakukan yaitu Sistem Batch Tanpa Sirkulasi (SBTS) dan Sistem Batch Dengan Sirkulasi (SBDS). Sampel diambil baik pada influen maupun efluen anaerobik kemudian diuji kandungan bahan organik (COD), dan nilai pHnya. Demikian juga volume biogas dicatat setiap hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Biogas untuk SBTS dan SBDS Sistem Batch Tanpa Sirkulasi (SBTS) adalah metode yang memperlakukan limbah cair tertampung dalam reaktor selama waktu tertentu tanpa dilakukan sirkulasi. Untuk SBDS menggunakan sirkulasi dengan tujuan memperbesar frekuensi kontak antara bakteri dengan bahan organik. Bahan organik kontak paling banyak dengan mikroba saat pemasukan influen ke dalam reaktor yang sudah berisi lumpur mikroba sebanyak setengah reaktor. Produksi biogas pada SBTS ternyata lebih tinggi dibanding SBDS (Gambar 2 (a)) meskipun pada awalnya sama dan mencapai kondisi konstan setelah hari ke-8 dengan total produksi masing-masing 11,115 liter dan 6,575 liter atau ada selisih 5.063 liter. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa sirkulasi justru menurunkan produksi biogas karena total sirkulasi menjadi sangat tinggi. Dengan terbentuknya biogas maka sirkulasi secara alamiah sudah cukup sehingga tidak perlu penambahan sirkulasi eksternal. Sistem tanpa sirkulasi dapat menghasilkan biogas tertinggi terjadi pada hari pertama yaitu 2,979 l/hari (Gambar 2 (b). Produksi biogas pada hari kedua tidak berbeda jauh dibandingkan hari pertama. Penurunan laju produksi biogas pada hari ketiga dan seterusnya sangat signifikans yaitu 66,67-90,32% dan 41,39-86,25%. Penurunan tersebut disebabkan oleh kandungan bahan organik tinggal sedikit yang ditandai dengan nilai COD yang rendah. 74
Gambar 2. Produksi biogas dengan UASB untuk SBTS dan SBDS.
Volume biogas secara kumulatif bertambah dalam jumlah besar sampai hari kedelapan kemudian laju produksi hanya 0,335 l/hari. Setelah 8 hari tersebut, total biogas yang dihasilkan sebesar 11,115 liter atau 95,48% dari total biogas yang dihasilkan selama 12 hari. Menurut Yuli (2005), biogas mempunyai komposisi gas metana sebesar 54-70%. Sehingga jumlah metana yang dihasilkan selama 8 hari berkisar 6,286-8,149 liter. Pada sistem pengolahan dengan sirkulasi laju produksi biogas tinggal 0,056 l/hari dalam rentang waktu 8 hari. Produksi biogas sampai dengan hari kedelapan ini adalah 6,575 liter atau 99,96% dan metana yang dihasilkan 3,551-4,603 liter. Waktu 8 hari merupakan waktu efektif untuk menghasilkan biogas tetapi peningkatan laju produksi dari hari keempat sampai dengan hari kedelapan relatif kecil sehingga hari keempat dapat digunakan sebagai dasar
penentuan waktu produksi biogas.
tinggal
hidrolik
untuk
Penyisihan Bahan Organik Penurunan COD yang sangat besar dari hari pertama sampai hari kedelapan yaitu 87,13% dan 95,00% (Gambar 3) menunjukkan bahwa dalam rentang waktu tersebut banyak bahan organik yang dirombak oleh bakteri. Setelah 12 hari, sistem dengan sirkulasi dapat merombak 77,88 kg bahan organik, sedangkan sistem tanpa sirkulasi hanya sebesar 58,99 kg. Dengan demikian, meskipun dilihat dari persentase penurunan, sistem tanpa sirkulasi lebih baik tetapi dari jumlah bahan organik yang dirombak maka sistem dengan sirkulasi jauh lebih baik.
Kons. COD (mg/l)
10000 8000
9400 7000 SBDS
6000
SBTS
4000 2000
1380 540
1210 350
290 100
4
8
12
0 1
Hari ke
Gambar 3. Penyisihan bahan organik (dinyatakan dengan COD)
Menurut Wilkie (2003), setiap kilogram COD akan dikonversi menjadi 0,35 m3 CH4 atau ekuivalen dengan 12.000 BTU. Berdasarkan konversi tersebut, untuk sistem dengan sirkulasi dihasilkan 27,257 m3 CH4 dan pada sistem tanpa sirkulasi sebanyak 20,645 m3. Tidak semua asamasam volatil hasil asedogensis dikonversi menjadi biogas tetapi sebagian menjadi bagian atau komponen efluen (Leggett et al., 2005). Penyebab sedikitnya bahan organik menjadi biogas kemungkinan terkait dengan sifat bakteri pembentuk metana yang sangat peka dengan asam (pH rendah). Perubahan pH Produksi metana oleh bakteri metanogenik terjadi dengan baik pada kisaran pH 5,5-8,3 (Lettinga, 1980). Apabila pH limbah dalam reaktor anaerobik kurang dari 5,5 maka aktivitas mikrobia dalam mendegradasi bahan organik dan mengubah menjadi biogas kurang optimum (Anonim,1994). Oleh karena itu bila limbah yang diolah terlalu asam maka dinaikkan dahulu pHnya dengan larutan kapur pada permukaannya saja sampai kondisi steady state,
setelah itu biasanya pH akan stabil (Djarwanti et al., 1994). Pada kedua sistem, pH limbah cair meningkat masing-masing sebesar 98,23% dan 84,75% sampai hari keempat, kemudian relatif stabil sampai hari keduabelas. Peningkatan tersebut karena senyawa hasil fermentasi maupun asetogenesis sudah dikonversi menjadi H2, CO2, H2O, dan CH4, serta pemecahan protein menjadi NH4+ yang kemudian mudah membentuk senyawa yang bersifat basa. Menurut FAO (1996), pH pada sebuah digester biogas juga merupakan fungsi waktu tinggal. Pada periode awal cenderung rendah lalu naik pada periode berikutnya yang menunjukan bahwa proses asidogenesis dan metanogenesis berlangsung secara terpisah (Bell dan Buckley, 2003). Bakteri pembentuk metana mengkonsumsi asam asetat dan mengubahnya menajdi metana dan CO2 (Boone, 1985) sehingga konsentrasi asam asetat dalam air limbah turun dan pH naik (Anonim, 1994). Proses digesti yang berlanjut menyebabkan konsentrasi NH4+ meningkat sehingga dapat menaikkan nilai pH di atas 8 (FAO, 1996). Ion NH4+ ini akan membentuk senyawa basa dan sekaligus menaikkan alaklinitas dan pH sehingga pH dalam reaktor menjadi netral (Suryandono, 2004). Produksi biogas optimum tercapai saat nilai pH input dalam digester berkisar anatara 6 dan 7 (FAO, 1996). Penelitian ini menunjukkan bahwa produksi biogas mencapai maksimal pada hari pertama atau beberapa jam setelah penambahan influen, berarti proses hidrolisis dan asidifikasi berlangsung cepat dan kenaikan pH menjadi 6 dan 7 terjadi pada hari itu juga. McLean (1995) menyatakan bahwa waktu tinggal limbah dalam UASB selama 8,5 jam dengan efisiensi penurunan COD sebesar 70-90%. Reaksi metanogenik tersebut dapat dideteksi dengan timbulnya biogas beberapa jam setelah penambahan influen. Potensi Produksi Biogas Berdasarkan faktor laju produksi biogas, laju degradasi bahan organik, nilai pH maka waktu 4 hari dan sistem tanpa sirkulasi (SBTS) merupakan pilihan terbaik untuk analisis potensi produksi biogas. Data-data yang digunakan dalam perhitungan antara lain: waktu tinggal 4 hari, volume reaktor UASB 8,5 liter, COD terolah 55,220 gram, biogas yang dihasilkan 8,754 liter. Dengan data tersebut maka dapat diketahui efisiensi reaktor yaitu 92,81% dan biogas yang dihasilkan sebanyak 0,13 liter per gram COD. 75
Nilai tersebut masih dibawah hasil penelitian Wilkie (2003) yaitu 0,21 l/g COD dengan asumsi kandungan CH4 sebesar 60%. Jika suatu industri tahu mengolah 100 kg kedelai per hari dan setiap kg kedelai menghasilkan 75-150 liter limbah cair (Damanhuri et al., 1997), maka dalam waktu 4 hari akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 16 615. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa limbah tahu sangat potensial digunakan sebagai bahan baku biogas baik dari sisi teknis maupun ekonomis. KESIMPULAN Limbah tahu, sebagai salah satu produk samping proses pengolah tahu, dapat dipakai untuk bahan baku produksi biogas. Dengan menggunakan reaktor UASB tanpa sirkulasi, biogas yang dihasilkan sebesar 0,13 liter per gram COD limbah cair tahu. Nilai tambah yang diperoleh dengan sistem tersebut adalah 0,24 rupiah/liter COD/hari. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta yang telah mendanai penelitian ini melalui Dana Masyarakat Tahun Anggaran 2005. DAFTAR PUSTAKA Ajit, P.A. and P.L. Amatya. 2000. UASB Treatment of Tapioca Starch Wastewater. Journal of Environmental Engineering. Desember, p: 1149-1152 Amatya, P.L. 1996. Anaerobic Treatment of Tapioca Starch Industry Wastewater by Bench Scale Upflow anaerobic Sludge Blanket (UASB). [Thesis]. Bangkok, Thailand: AIT. Anonim. 2003. Dampak dari Sentra Industri Terhadap Lingkungan Hidup. www.bi.go.id/sipok/lm/md/tempe_tahu/dampak_ling kungan.htm. akses 11 April 2003
76
Damanhuri, T.P., N. Halim, and S. Nurtiono. 1997. The Role of Effluent recirculation in Increasing Efficiency of Anaerobic and Aerobic Wastewater Treatment of Tofu Industry. Proceedings of the Indonesian Biotechnology Conference, Jakarta. Horn, M.A., C. Matthies, K. Kusel, A. Schramm, and H.L. Draken. 2003. Hydrogenotrophic Methanogenesis by Moderately Acid–Tolerant Methanogens of a MethaneEmitting Acidic Peat. Applied Environmental Microbiology 29 (1): 74-83. Lay, J.J., Y.Y. Li, T. Noike, J. Endo and S. Ishimoto. 1997. Analysis of environmental factors affecting methane production from high-solids organic waste (abstrak). Water Science and Technology 36 (6-7): 493-500. Leggett, J., R.E. Graves, and L.E. Lanyon. 2005. Anaerobic Digestion: Biogas Production and Odor Reduction from Manure. College of Agricultural Science, Amerika. http://server.age.psu.edu., akses: 24 Oktober 2005. Leinonen, S and V. Kuittinen. 2001. Finnish Biogas Register IV. University of Joensuu, Karelian Institute. Marchaim, U. 1992. Biogas Processes for Sutainable Development. MIGAL, Galilee Technological Centre, Kiryat Shmona, Israel. Moo-Young, M. 1985. Comprehensive Biotechnology, vol. 4, Oxford: Pergamon Press. Sujarwo, A. 2004. Aplikasi Teknologi Pengolahan Limbah Cair. Pelatihan Dasar Teknologi Tepat Guna Pengolahan Limbah Cair. 7-16 Juni 2004. Yogyakarta: Pusteklim. Suryandono dan Wagiman. 2004. Laju produksi Biogas dari Limbah Cair Tahu. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM. Tanticharoen, P., Nopharatana, A., Chayawattana, T., Wangnai, C., Rukruem, W., Kullavanijaya, P., Bhumiratana, S., and Chaiprasert. 2003. Thai Biogas PalntsHigh Rate Anaerobic Fixed Film Technology for Agroindustrial Wastewater. Thonburi, Thailand: King Mongkut’s University of Technology Thonburi (KMUTT). Wagiman dan Suryandono. 2004. Kajian Kombinasi Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Sistem Lumpur Aktif untuk Pengolahan Limbah Cair Tahu. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM. Wagiman, A.S. dan Jumeri. 2001. Optimasi Kebutuhan Lumpur Aktif untuk Proses Pengolahan Limbah Cair pada Sentra Industri Tahu “Ngudi Lestari. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UGM. Wilkie, A.C. 2003. Anaerobic Digestion of Flushed Dairy Manure. Proceeding of the Anaerobic Digester Technology Application in Animal Agriculture, Water Environment Ferderation, Virginia, p. 350-354. Wiloso, E.I, T. Basuki, and S. Aiman. 1995. Utilization of Agricultural wastes for Biogas Production in Indonesia. Proceeding of the UNESCO-University of Tsukuba International Seminar on Traditional Technolgy for Environmental Conservation and Sustainble Development in the Asia-Pasific Region, 11-12 December, Japan.
PEMANFAATAN ENERGI HAYATI DALAM PEMBUATAN GENTENG DAN BATA DI DESA PEJATEN, KEDIRI, TABANANBALI
I DEWA PUTU DARMA & SITI FATIMAH HANUM Kebun Raya “Eka Karya” Bali Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bedugul, Baturiti, Tabanan-Bali 82191
ABSTRACT Pejaten village is a well known tile producer in Bali. The production of tile and brick have been developed as home industry. Today the marketing of this product has reached Lombok island, Sumba, Flores and Java. The Research is conducted by quitionary and field survey methods to home industry that produce tile and brick at Pejaten Village. The production of tile and brick are still done traditionally by using fuel from the plant. The quality of tile and brick that have been produced determined by the process of tile and brick combustion. It is very determined by the type of the fuel that have been used. The best fuel type for the making of tile is shell (40%), coconut fiber (35%), mixture firewood (20%) and dadap (Erytrina hypaphorus) (5%) while for the making of brick, society use chaff (85%) and shell (15%). If we want to use a single fuel, we must consider the type and hardness of plant shares because it will give an effect to the quality of combustion of brick and tile but If we want to use firewood as burn mixture, it is depend on the way of combining firewood types by paying attention to the hardness and softness of firewood structure. Agroforestry is one of the alternative solution for the continuity of raw material as a fuelwood. Key word: Tile and brick production, bio energy, agroforestry
PENDAHULUAN Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat pula. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya rumah yang dibangun, baik dalam bentuk komplek perumahan maupun rumah individu. Keadaan ini berdampak pada
semakin meningkatnya kebutuhan bahan-bahan yang diperlukan untuk pembangunan rumah seperti genteng dan bata. Genteng merupakan bahan potensial untuk atap sedangkan bata dapat digunakan untuk tembok. Genteng dan bata mempunyai prospek dalam pengembangan industri rumah tangga karena proses pembuatannya sangat sederhana dan mudah dilakukan oleh masyarakat, seperti yang sudah dilakukan masyarakat di Desa Pejaten. Desa Pejaten terletak di Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Desa ini cukup terkenal sebagai desa penghasil keramik dengan produksi gentengnya di Bali. Saat ini masyarakat di Desa Pejaten menggunakan bahan bakar yang berasal dari tumbuhan dalam memproduksi genteng dan bata. Jenis energi final yang digunakan di Indonesia pada saat ini adalah Bahan Bakar Minyak (BBM), gas bumi, Bahan Bakar Gas (BBG), Liquid Petroleum Gas (LPG), batu bara, briket, listrik, kayu dan arang. Kebutuhan energi pada tahun 2010, apabila rata-rata pertumbuhan PDB tahun 2000–2010 diperkirakan sebesar 3%7% pertahun maka permintaan energi final komersial pada tahun 2010 diperkirakan akan menjadi 600-900 juta SM. Pada pertumbuhan PDB yang moderat sebesar rata-rata 5% pertahun, permintaan energi final tahun 2010 adalah 750 juta SBM (Anonim 2003). Keadaan ini dapat mengakibatkan krisis energi di masa yang akan datang, mengingat sebagian besar kebutuhan bahan bakar saat ini dipenuhi dari bahan bakar yang berasal dari minyak bumi. Bahan bakar ini tentu akan cepat habis karena termasuk dalam sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Oleh karena itu maka usaha untuk memperoleh energi 77
dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) semakin dibutuhkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun yang lalu mengakibatkan banyak industri yang harus gulung tikar, namun usaha dalam skala rumah tangga masih banyak yang bertahan. Salah satunya adalah industri rumah tangga pembuatan genteng dan bata di Desa Pejaten. Mereka berhasil bertahan karena menggunakan bahan bakar yang berasal dari tumbuhan. Pada kesempatan ini penulis ingin menginventaris jenis–jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil energi hayati yang digunakan dalam pembakaran pada proses pembuatan genteng dan bata di Desa Pejaten. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang usaha pemanfaatan kekayaan hayati yang ada di sekitar kita. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan dengan metode kuisioner dan pengamatan secara langsung di lapangan. Kuisioner diisi oleh penulis yang melakukan wawancara terhadap sebagian pengrajin bata dan genteng di desa pejaten yang berjumlah 20 orang kemudian hasilnya dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui jenis tumbuhan terbaik yang dapat digunakan sebagai bahan bakar genteng dan bata di Desa Pejaten. Waktu penelitian dimulai dari bulan Februari hingga Maret 2006. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pembuatan Bata dan Genteng Dari hasil pengamatan di lapangan, pembuatan genteng dan bata di Desa Pejaten termasuk dalam skala industri rumah tangga. Proses pembuatannya terdiri dari 4 tahap yaitu pembuatan adonan, pencetakan, pengeringan dan pembakaran. Mutu genteng dan bata tergantung dari jenis tanah dan proses pembuatannya. Pembuatan adonan. Pembuatan adonan (luluh) dipilih dari tanah liat yang diaduk sampai halus. Semakin halus adonan tersebut kualitas genteng atau bata semakin baik. Bahan baku berupa tanah liat diperoleh dari ladang-ladang di sekitarnya bahkan sekarang sudah mendatangkan tanah liat dari desa-desa yang lain. 78
Pencetakan. Pada proses pencetakan genteng, umumnya masyarakat mengunakan minyak pelumas yang berasal dari minyak tanah dicampur dengan miyak kelapa sawit (1: 1) dengan tujuan untuk memudahkan mengeluarkan genteng dari cetakan sedangkan pada pencetakan bata tidak menggunakan minyak pelumas karena sudah ditaburi abu sekam sebelumnya di atas tanah atau lantai untuk memudahkan mengambil bata yang telah di cetak Pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menyusun genteng atau bata sedemikian rupa pada tempat yang telah disediakan. Pengeringan dilakukan secara tradisional dengan cara mengangin-anginkan genteng dan bata yang sudah dicetak, yang oleh pengrajin setempat disebut kering angin. Setelah genteng atau bata kering dilakukan proses pembakaran. Pembakaran. Pada proses pembakaran, jenis bahan bakar sangat berpengaruh terhadap mutu genteng dan bata yang dihasilkan. Para pengrajin masih mengerjakan pembakaran genteng dan bata secara tradisional yaitu dengan menggunakan tumbuhan sebagai sumber energi. Jenis-jenis tumbuhan yang digunakan sebagai sumber energi Dari hasil inventarisasi jenis-jenis tumbuhan yang digunakan oleh pengrajin sebagai bahan bakar genteng dan bata maka dalam pemanfaatannya dapat digolongkan menjadi dua jenis bahan bakar yaitu: Bahan bakar tunggal yaitu bahan bakar yang berasal dari satu jenis tumbuhan. Jenis dan kekerasan bagian tumbuhan yang digunakan menentukan panas yang dihasilkan dalam pembakaran Jenis tumbuhan yang termasuk bahan bakar tunggal yang sering digunakan oleh pengrajin adalah serabut kelapa, tempurung kelapa, kayu dadap (Erytrina hyphaporus) dan sekam padi. Bahan bakar campuran yaitu bahan bakar yang berasal lebih dari satu jenis tumbuhan. Komposisi kekerasan jenis kayu mempengaruhi hasil panas yang dihasilkan. Jenis tumbuhan yang termasuk bahan bakar campuran yang sering digunakan oleh pengrajin adalah kayu hasil tebangan di ladang masyarakat seperti lamtoro (Leucaena leucophala), Adpokat (Persea americana), gempinis/mindi (Melia azedarach), albasia (Albizia falcataria (L.) Fosberg. Hasil kuisioner menyebutkan bahwa hasil pembakaran genteng terbaik adalah dengan mengunakan bahan bakar yang berasal dari
tempurung kelapa (40%) kemudian dikuti oleh serabut kelapa (35%), kayu bakar campuran (20%) dan kayu dadap (Eritrina hyphaporus) (5%) Sedangkan untuk pembakaran bata 85% masyarakat menyatakan menggunakan bahan bakar dari sekam padi dan 15% masyarakat menggunakan tempurung kelapa. Dari hasil di atas terlihat bahwa mutu genteng dan bata tergantung dari jenis dan bagian tumbuhan yang digunakan dalam proses pembakaran. Kayu kopi dan termpurung kelapa kurang baik digunakan untuk membakar genteng dan bata, karena panasnya terlalu tinggi sehingga genteng atau bata yang berada dekat dengan bara api akan meleleh atau hancur, sebaliknya kayu yang memiliki struktur lunak seperti kayu Albizia falcataria (L.) Fosberg memberikan panas yang rendah dan menghasilkan banyak asap. Tempurung kelapa merupakan bahan bakar yang terbaik sebagai energi hayati yang digunakan untuk membakar genteng di Desa Pejaten. Dari fakta tersebut dapat dianalisis sebagai berikut: tempurung kelapa memiliki dua komponen yaitu serabut dan tempurung. Kombinasi keduanya menghasilkan panas yang lebih ideal untuk pembakaran genteng. Tempurung dapat menghasilkan energi panas yang tinggi sedangkan serabut menghasilkan energi panas yang rendah dan banyak menghasilkan asap. Energi panas yang tinggi dari tempurung dapat diredam oleh energi panas yang rendah yang dihasilkan oleh serabut. Asap dari serabut dapat membantu pendistribusian energi panas ke seluruh bagian ruang pembakaran. Tempurung kelapa merupakan bahan bakar tunggal yang pemakaiannya sebagai sumber energi hayati ditentukan oleh jenis dan bagian tumbuhan yang digunakan. Pada pembakaran bata 85% masyarakat mengunakan sekam padi karena sekam gampang diperoleh dan abunya dapat digunakan dalam proses pencetakan bata. Sekam padi merupakan limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai sumber energi hayati yang mudah diperoleh karena di Desa pejaten banyak dijumpai penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Simon (1999) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan di desa-desa di Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan bahwa peranan limbah pertanian untuk bahan bakar rumah tangga selama dasawarsa terakhir ini sudah cukup besar, yaitu dapat mencapai 50% dari seluruh kebutuhan energi. Limbah pertanian malah sudah banyak
dipakai dalam industri tradisional seperti industri tahu tempe, pembakaran bata, genteng dan sebagainya yang pada waktu-waktu sebelumnya tidak banyak dijumpai. Analogi dengan tempurung kelapa, kita dapat mengunakan bahan bakar campuran untuk memperoleh hasil genteng yang baik, tetapi tergantung dari cara mengkombinasikannya, yaitu dengan memperhatikan kekerasan kayu bakar yang sangat ditentukan oleh jenis tumbuhan yang digunakan. Kayu bakar (firewood) merupakan salah satu energi hayati. Menurut Soemarwoto (1985) dasar sumber daya energi hayati adalah fotosintesis. Jadi Energi itu merupakan energi matahari yang ditransformasikan menjadi energi kimia oleh tumbuhan hijau. Energi tersebut dapat dimanfaatkan langsung dari tumbuhan hijau atau setelah ditransformasikan lebih lanjut menjadi energi manusia dan hewan. Termasuk dalam biomas semua bahan organik tumbuhan seperti kayu, ranting, daun serta pati, gula dan getah susu yang terdapat dalam tubuh tumbuhan. Biomas berupa kayu merupakan sumber energi yang telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Dari hasil inventarisasi jenis tumbuhan yang digunakan sebagai energi hayati untuk pembuatan genteng dan bata di desa Pejaten, Kediri, Tabanan Bali adalah sebagai berikut: Kelapa (Cocos nucifera Linn) Kelapa adalah salah satu tumbuhan yang banyak dijumpai di daerah tropis. Kelapa menurut Heyne (1987) paling baik tumbuh di dataran rendah. Seluruh bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan oleh manusia. Menurut Rhumpius dalam Heyne (1987) akar kelapa hijau banyak digunakan orang sebagai obat disenteri. Batang kelapa berguna sebagai bahan bangunan (kusen pintu), rusuk dan reng bangunan rumah penduduk. Penyadapan pohon kelapa dapat menghasilkan nira yang dapat diolah sebagai cuka atau arak dan gula. Sirip daunnya digunakan untuk bermacam anyaman keperluan rumah tangga yang bersifat sementara. Lidinya dipakai untuk membuat sapu dan anyaman. Bunga kelapa yang masih muda dapat digunakan untuk mengobati penyakit nanah. Bunga yang mekar menurut Roorda van Eysinga dalam Heyne (1987) dipakai untuk mengobati kuda yang sakit batuk. Serabut buah yang tua dapat digunakan sebagai tali. Tempurungnya dapat dibuat piala, geluk,centong. Tempurung yang dibakar menjadi arang sangat padat disukai 79
oleh pandai emas. Air kelapa diminum dapat menyegarkan tubuh. Air kelapa menururt Van der Burg dalam Heyne (1987) mempunyai daya penyembuh kematus paru-paru dan penyakit kelamin. Di Boorsma air kelapa terutama kelapa ijo adalah obat spesifik terhadap keracunan dan kolera. Daging kelapanya dapat digunakan sebagai kopra. Ampas kempaan kopra yang berupa bungkil bernilai tinggi dan dianggap sebagai makanan yang menguatkan bagi ternak sapi. Erythrina hypaphorus Boerl Nama lokalnya adalah dadap termasuk suku Fabaceae. Tumbuhan ini berupa pohon deciduous, tingginya mencapai 5-25 m dengan diameter mencapai 60 cm. Di Indonesia saat ini masih ditanam dalam skala kecil sebagai naungan di perkebunan kakao, kopi, teh dan sebagai tempat bergantung batang sirih (piper betle L.), lada (piper nigrum L.) dan vanila (vanila planifolia H. Andrews). Daun yang sangat muda dikukus dan dimakan sebagai lalap di Jawa. Kulit kayu dan daunnya dapat digunakan sebagai obat. Jamujamuan yang berasal dari daun yang direbus digunakan sebagai obat batuk. Kayunya digunakan untuk membuat kano dan rakit. Daunnya merupakan makanan ternak yang bagus tetapi bila dimakan kelinci dapat menyebabkan steril dan kematian. Potongan E hyphaporus menghasilkan pupuk hijau yang cepat membusuk. Dalam berat kering /100 gram terdapat N: 1,5-3g P: 0,2-0,35g; K: 1-2 g. Tumbuhan ini tidak mudah terserang hama dan penyakit. Merupakan salah satu pohon naungan dan penyangga bagi beragam tanaman pertanian,cepat tumbuh, mengikat N dari atmosfir, menyediakan sampah yang mudah membusuk dan naungannya dapat memenuhi kebutuhan tanaman pertanian utama. Tumbuhan ini mudah diperbanyak dengan setek. Menurut Heyne (1987) Erythrina hypaphorus Boerl tumbuh pada tempat dengan ketinggian 300-1500 m dpl. Baik sebagai pohon naungan untuk kebun kopi. Daun hasil gugurannya digunakan untuk penutup tanah yang baik hingga bunga tanah dapat mempertahankan/ mendapatkan kebaikan struktur longgar yang diharapkan. Tumbuhan ini menekan pertumbuhan gulma pengganggu, pada akarnya terdapat bintil2 Nitrogen dan meninggikan produksi tanaman teh
80
Gliricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp Menurut Faridah Hanum et.al (1997) Gliricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp memiliki nama lokal gamal termasuk suku Fabaceae. Gliridicia dianggap sebagai pohon multifungsi yang banyak dibudidayakan setelah Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit. Di waktu dahulu sering digunakan sebagai pohon naungan untuk tanaman pertanian, tetapi sekarang Gliricidia menjadi pohon yang multi fungsi yang banyak dibudidayakan secara bersama dalam beberapa sistem pertanaman (cropping) seperti naungan di perkebunan teh, kakao, atau kopi, sebagai tanaman penopang lada hitam, vanila dan ubi rambat (di Afrika Barat), sebagai pagar dan pupuk hijau dalam sistem intercropping seperti alley cropping system. Tumbuhan ini ditanam untuk menstabilkan tanah, mencegah erosi dan untuk reklamasi lahan gundul atau lahan yang dipenuhi oleh imperata cylindrica (L.) Raeuschel. Kayunya sering digunakan sebagai kayu bakar, untuk produksi arang, atau sebagai tonggak, membuat alat pertanian, furnitur, dan konstruksi. Daun, batang yang hijau dan kulit kayu Gliricida dapat digunakan sebagai makanan ternak. Biji, kulit kayu, daun dan akar dapat digunakan sebagai rodentisida dan pestisida setelah mengalami fermentasi. Jus daun, kulit kayu dan akar digunakan sebagai anti dermatophyte tradisional untuk mengontrol eksema dan untuk mengurangi penyakit gatal dan luka. Inti kayu Gliricidia dibakar perlahan menghasilkan bara api yang bagus dan mengeluarkan sedikit asap dan bunga api. Nilai energinya 19.800-20.600 kJ/kg. Tumbuhan ini berupa pohon deciduous kecil yang tingginya dapat mencapai 12 m dengan diameter mencapai 50 cm, Gliricidia dapat tumbuh di tempat lembab hingga curah hujan tahunan mencapai 3500 mm tanpa diputuskan oleh musim kering. Gliricidia lebih toleran terhadap tanah yang asam dan miskin kesuburan daripada Leucaena leucocephala. Tumbuhan ini tumbuh secara alami pada jenis vegetasi suksesi awal dan pertengahan di ketinggian mencapai 1500 m dpl. Tumbuhan ini mudah diperbanyak dengan biji dan setek. Leucaena leucocephala (Lamk) de Wit Menurut Faridah Hanum et. al (1997) Leucaena leucocephala (lamk) de Wit memiliki nama lokal lamtoro, petai cina termasuk suku Fabaceae. Leucaena merupakan pohon yang memiliki fungsi serbaguna. Di Asia selatan hingga timur Leucaena digunakan sebagai bahan kayu bakar, naungan, makanan ternak, pupuk hijau, mulsa, tonggak,
makanan dan kadang kombinasi dari produk tersebut. Leucaena mungkin merupakan spesies yang digunakan dalam alley cropping yaitu leucaena ditanam sebagai pagar di sepanjang kontur dengan interval 3-10 m dengan tanaman pertanian diantaranya. Kegunaan yang lainnya yaitu sebagai pagar, tempat penopang batang yang menjalar seperti lada, vanila, ubi rambat; barisan peneduh; dan pohon naungan bagi kopi dan kakao. Di daerah tropis Leucaena merupakan komponen utama yang mengikat N di dataran rendah, tanah kosong dan hutan. Leucaena merupakan sumber pengikat N di ekosistem. Di Indonesia Leucaena kadang ditanam di pekarangan. Daunnya merupakan makanan binatang pemamah biak dan dapat dicampur dengan makanan hijau ternak lainnya. Kayunya dipanen untuk bahan bakar kayu dan digunakan dalam rumah tangga dan industri seperti keramik; dapat diubah menjadi arang. Di Indonesia biji yang masak dimakan mentah atau dimasak dan disajikan sebagai tambahan protein dan vitamin dari pekarangan. Tumbuhan ini diperbanyak dengan menebarkan biji secara langsung atau memindahkan semaian. Leucaena merupakan pohon yang cepat pertumbuhannya dan menghasilkan kayu bakar dan arang yang bagus. Nilai energi dari kayu 19.250 kJ/kg, arang 48.400 kJ/kg. Tumbuhan ini merupakan pohon dengan ketinggian dapat mencapai 20 m. Tumbuhan ini ditemukan hingga ketinggian 1000 m. Menurut Heyne (1987) Pada budidaya kopi tumbuhan ini dianggap sangat berjasa karena dalam bentuk pagar dapat menahan angin. Melia azedarach Linn Menurut Faridah Hanum et. al (1997) Melia azedarach L mempunyai nama lokal mindi termasuk suku Meliaceae. Di Asia Selatan hingga Timur penggunaan utamanya sebagai bahan bakar kayu (seperti di filipina) dan juga ditanam sebagai pohon naungan bagi perkebunan kopi dan abaka (Musa textilis Nee) dan sebagai pohon pinggir jalan. Di asia selatan melia azedarach lebih dikenal untuk kegunaan obat. Beragam bagiannya memiliki anthelmintic, antimalaria, cathartica, emetic, emmenagogi dan digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Beberapa bahan beracun terdapat dalam minyak biji, memakannya secara langsung dapat menyebabkan beberapa reaksi dan kadang kematian. Kayunya dapat digunakan untuk alatalat pertanian furnitur, kereta, dan konstruksi karena tahan terhadap rayap. Kayu Melia
azedarach memiliki nilai energi 24.000-25.000 kJ/kg. Tumbuhan ini merupakan pohon deciduous yang memiliki ketinggian hingga 45 m dengan diameter 60 (-120) cm. Di bawah kondisi optimum tumbuhan ini tumbuh cepat. Di Uganda tumbuhan ini tumbuh tinggi 1,7 m tiap tahun selama beberapa tahun setelah penanaman. Habitat alami M. Azedarach di hutan musiman, termasuk semak-semak bambu umumnya ditemukan di ketinggian 0-1200 m. Pertumbuhan yang cepat dan ukuran yang kecil membuat M. Azedarach merupakan pilihan yang baik untuk produksi bahan bakar bagi kebutuhan rumah tangga. Kemampuannya untuk tumbuh di bawah kondisi optimal membuat m. Azedarach cocok untuk penanaman reforestation dan reklamasi lahan marginal di daerah semi arid di daerah dataran tinggi dan temperate.Tumbuhan ini biasa diperbanyak dengan biji. Menurut Heyne (1987) Tumbuhan ini merupakan pohon yang cepat pertumbuhannya. Van Romburg dalam Heyne (1987) menganjurkannya sebagai pohon peneduh bagi kebun kopi. Backer dalam Heyne (1987) menganjurkan budidaya kayu melia azedarach linn sebagai kayu bakar. Kayunya cocok untuk kotak dan batang korek api Durio zibethinus Murr. Menurut Heyne (1987) tumbuhan ini mempunyai nama lokal Durian termasuk suku bombacaceae. Tumbuhan ini merupakan pohon buah tingginya sampai 30 m, tumbuh di daerah pegunungan rendah dan di dataran rendah, banyak ditanam orang di bawah ketinggian 1000 m dpl. Pembiakannya dilakukan khusus dengan biji. Akarnya berguna sebagai obat luar maupun obat dalam demam jujuh. Kayu digunakan sebagai perabot rumah murah dan papan, namun tidak awet. Baik sekali untuk dijadikan peti kemas. Orang bogor menggunakannya sebagai bahan bangunan rumah bagian dalam. Buahnya dimakan, rasanya enak Oryza sativa L. Padi menurut Faridah Hanum et.al (1997) ditanam di seluruh daerah tropis yang lembab dan beberapa subtropical dan daerah temperate dengan periode bebas beku lebih dari 130 hari. Padi merupakan makanan pokok bagi 40% populasi dunia dan makanan utama seluruh Asia Selatan-Timur. Tepung dari beras digunakan untuk makanan bayi, roti, kosmetik, produk 81
tepung, dan campuran kue. Bir, anggur, minuman keras diproduksi dari beras. Sekam dapat digunakan sebagai bahan bakar. Sekam yang hangus digunakan untuk menyaring kotoran dalam air, membuat media buat hidroponik. Batang padi dapat digunakan untuk makanan hewan, media tumbuh jamur, untuk penutup tanaman pertanian seperti bawang putih, bawang dan labu. Albizia falcataria (L.) Fosberg Menurut Sastrapradja et al (1979) albizia falcataria memiliki nama lokal jeungjing, termasuk ke dalam suku mimosaceae. Umumnya hidup di tempat terbuka pada ketinggian hingga 1600 m dpl. Pohonnya cepat tumbuh dapat mencapai ketinggian 45 m dan diameter batangnya sekitar 80 cm. Di Jawa Barat jenis ini ditanam untuk diusahakan kayunya. Umumnya jenis ini terdapat di dekat perkampungan, tepi jalan, tepi sungai, ladang, pematang sawah, perkebunan teh, karet, kopi, maupun tegalan. Kayu jeungjing digunakan untuk papan, pagar, tiang bangunan rumah, peti sabun, perabotan rumah tangga, bahan mainan, kayu lapis, bahan pembungkus, tangkai dan kotak korek api, pulp, kertas dan kadang-kadang digunakan juga dalam pembuatan sampan Peranan agroforestry sebagai alternatif penyedia sumber energi hayati Selama ini bahan bakar yang digunakan dalam proses pembakaran genteng dan bata diperoleh dari kecamatan-kecamatan di sekitar Kabupaten Tabanan. Demi kelangsungan produksi genteng dan bata maka perlu diperhatikan sumber ketersediaan bahan baku. Ada baiknya apabila bahan baku tersebut dapat dihasilkan secara berkelanjutan sehingga tidak menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem agroforestry di lahan pertanian penduduk. Agroforestry menurut Lendgren dan Rantree dalam Nair (1993) didefinisikan sebagai nama bersama bagi sistem penggunaan lahan dan tekonologi dimana tanaman berkayu tahunan(pohon, semak, palem, bambu dan lainlain) yang secara sengaja digunakan pada unti pengelolaan lahan yang sama seperti lahan pertanian dan atau hewan dalam bentuk penyusunan ruang atau urutan yang sementara. Dalam sistem agroforestry terdapat hubungan secara ekologi dan ekonomi diantara komponen yang berbeda. Kondisi iklim mendukung sebagian besar pertumbuhan spesies tanaman 82
sehingga beragam tipe asosiasi tanaman agroforestry dapat ditemukan di daerah dengan jumlah penduduk yang tinggi dalam bentuk pekarangan, tanaman perkebunan, dan kebun dengan strata yang berlapis. Menurut Arifin et. al (2000) penerapan sistem agroforestry di daerah perdesaan terlihat dari pola pertanaman yang dilakukan masyarakat khususnya pada lahan darat. Pola pertanaman dengan sistem tumpang sari, tumpang gilir, tanam campur antara tegakan tinggi tanaman tahunan dengan tanaman semusim dan cara lainnya merupakan cara pemanfaatan energi yang optimal, mengurangi resiko kegagalan panen dan juga upaya mempertahankan jenis yang tinggi. Menurut Simon (1999) Jenis-jenis tanaman yang cocok untuk dijadikan kayu bakar misalnya Gliricidia maculata, acacia auriculiformis, Acacia arabica, Clliandracalothirsus dan leucaena leucocephala. Pohon-pohon pada umumnya memerlukan nitrogen lebih sedikit dibanding dengan tanaman semusim. Jenis tanaman yang dapat mengikat N bebas dari udara adalah keluarga leguminoceae yang mampu berasosiasi dengan bakteri dari genus rhizobium. Bakteri tersebut hidup bebas di dalam tanah melukai akar rambut tanaman legum lalu berkembang biak akhirnya membentuk bintil-bintil akar. Jenis-jenis tanaman pengikat N bebas ini biasanya mempunyai ciri-ciri multiple uses mulai dari penghasil kayu perkakas, kayu bakar, bahan pulp, pupuk hijau, makanan ternak, sampai bahan makanan buat manusia. Jenis-jenis tanaman pengikat N bebas yang penting berasal dari genera Acacia, Amherstia, Alnus, Erythrina, Calliandra, Casuarina, Dalbergia, Delonix. Enterolobium, Gliridicia, Inga, Instia, Leucaena, Mimosa, Parkia, Pterocarpus, Perisosia, Samanea dan sesbandia KESIMPULAN Pemanfaatan kayu bakar dalam proses pembakaran genteng yang berasal dari bahan campuran tergantung dari cara mengkombinasikan jenis-jenis kayu bakar dengan memperhatikan kekerasan dan kelunakan struktur kayu bakar. Penggunaan bahan bakar tunggal dalam pembakaran genteng dan bata sangat ditentukan oleh jenis dan kekerasan bagian tumbuhan yang digunakan. Agar terjadi kesinambungan dalam produksi bata dan genteng serta lingkungan tetap lestari maka disarankan agar penduduk yang memiliki
lahan menerapkan sistem agroforestry dalam pengelolaannya. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Status Lingkungan Hidup Indonesia, Kementerian Lingkungan hidup. Arifin,H.S., K. Sakamoto and K. Takeuchi. 2000. Struktur lansap pedesaan berdasarkan kondisi bioklimat yang berbeda di Daerah Aliran Sungai Cisaokan, kabupaten CianJurusan Jawa Barat. Indonesia. Lokakarya Tahun III RUBRD-UT IPB. Bogor. 11p. Faridah Hanum, I., Van der Maesen, L.J.G (editors) 1997. Plant Resources of South-East Asia No 11. Auxiliary
plants. Backhuys Publishers. Leiden. The Netherland. 389p. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid II. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta. Nair, P.K.R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht/Boston/London. 499p Sastrapradja, S.,K. Kartawinata, U. Soetisna, Roemantyo, H. Wiriadinata, S. Soekardjo, 1979. Kayu Indonesia. Lembaga Biologi Nasional-LIPI. 116 p Simon,H. 1999. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bagian Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Soemarwoto, O. 1985. Ekologi: Lingkungan hidup dan Pembangunan. 356 p
83
STUDI PEMANFAATAN PROSES BIOKONVERSI SAMPAH ORGANIK SEBAGAI ALTERNATIF MEMPEROLEH BIOGAS AGUNG NUGROHO CATUR SAPUTRO, SRI YAMTINAH, BUDI UTAMI, LINA MAHARDIANI Program Studi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP UNS Surakarta 57126
ABSTRAK Dengan meningkatnya tumpukkan sampah di berbagai wilayah baik kota besar maupun daerah dan menjadi permasalahan yang sangat penting, maka perlu dipikirkan solusi cara penanganannya seperti dapat menjadikan sampah memiliki nilai tambah yang bermanfaat. Nilai tambah ini bukan hanya untuk memperlambat laju eksploitasi sumber daya alam, seperti lewat konsep Reuse, Recycle, and Recovery, namun juga pemanfaatan sampah dari produk proses pengolahan sampah itu sendiri. Pemanfaatan sampah antara lain sebagai sumber pupuk organik, misalnya kompos maupun bahan pembuat biogas dengan biokonversi oleh mikroorganisme. Penulisan makalah ini bertujuan untuk: 1). Mengetahui proses pembuatan Biogas dari sampah organik, 2). Memprediksi prospek penggunaan Biogas sebagai sumber energi alternatif, 3). Mengetahui desain teknologi pembuatan Biogas dari proses biokonversi sampah organik. Kesimpulan dari tulisan ini adalah: 1). Biogas dapat dibuat dari bahan-bahan organik yang dikonversi oleh mikroorganisme secara anaerob.,2). Biogas mempunyai prospek baik untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif.,3). Teknologi pembuatan Biogas cukup sederhana dan tidak memerlukan biaya yang tinggi. Kata kunci: Biokonversi, sampah organik, biogas.
PENDAHULUAN Sampah merupakan salah satu permasalahan utama dalam suatu wilayah. Jumlah sampah di kota-kota besar semakin banyak sedangkan metode pengolahannya belum cukup optimum dalam mengatasi laju pertambahan sampah. Di kota Surabaya sampah yang dihasilkan pada tahun 2002 rata-rata perhari mencapai 2.400 ton di mana 1.075,44 ton merupakan sampah organik. Kota Bandung menghasilkan sampah 84
relatif setengah jumlah total sampah di kota Surabaya dan metode pengolahannya masih konvensional (Sulistyo P, 2003). Menurut berita di harian pagi Riau Pos, (3/1/2006),selama tahun 2005 volume sampah yang dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Muara Fajar mencapai 1.171 meter kubik per hari. Sementara itu, dengan jumlah rumah tangga 150 ribu maka diasumsikan akan ada sebanyak 0,015 meter kubik volume sampah per hari untuk setiap keluarga. Namun dari 2.250 meter kubik sampah rumah tangga, yang terangkut hanya 39 persen sedangkan 61 persen masih menumpuk. Kepala Bappeda Kota Pekanbaru, Ir Dedi Gusriadi MT, mengatakan bahwa sampah tidak mungkin lagi dilakukan pembakaran karena akan menimbulkan polusi udara dan tidak akan memberikan manfaat apapun bagi masyarakat. Dari 1.372,5 meter kubik sampah kota yang belum terangkut, 70 persen adalah sampah organik, 20 persen lagi sampah plastik, serta 10 persen adalah sampah pilihan seperti kaca, plastik, kertas, dan logam (www.riaupos.com). Dengan meningkatnya tumpukkan sampah di berbagai wilayah tersebut, maka perlu dipikirkan solusi cara penanganannya seperti dapat menjadikan sampah memiliki nilai tambah yang bermanfaat. Nilai tambah ini bukan hanya untuk memperlambat laju eksploitasi sumber daya alam, seperti lewat konsep Reuse, Recycle, and Recovery, namun juga pemanfaatan sampah dari produk proses pengolahan sampah itu sendiri. Sampah apa pun jenis dan sifatnya, mengandung senyawa kimia yang sangat diperlukan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun yang terpenting, bagaimana kita dapat menggunakan dan memanfaatkan sampah tersebut. Pemanfaatan sampah antara lain sebagai sumber pupuk organik, misalnya kompos yang sangat
dibutuhkan oleh petani, selain itu juga berfungsi sebagai sumber humus. Manfaat lain yang dapat diambil dari sampah adalah bahan pembuat biogas. Penggunaan sampah untuk penyediaan energi telah lama dicoba, misalnya saja sebagai bahan bakar untuk penggerak mesin pembangkit listrik. Sampah juga dijadikan bahan baku untuk proses fermentasi non alkoholik dalam pembuatan biogas. Makalah ini merupakan studi pendahuluan tentang bagaimana memanfaatkan proses biokonversi sampah organik sebagai sumber biogas. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk: (i) Mengetahui proses pembuatan Biogas dari sampah organik, (ii) Memprediksi prospek penggunaan Biogas sebagai sumber energi alternatif, (iii) Mengetahui desain teknologi pembuatan Biogas dari proses biokonversi sampah organik. SAMPAH ORGANIK DAN MIKROORGANISME Sampah Organik Sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Pada kenyataannya sampah menjadi masalah yang selalu timbul baik di kota besar maupun di daerah-daerah. Beberapa alternatif bagaimana cara memanfaatkan sampah kota, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi antara lain sampah dapat dimanfaatkan menjadi kompos, biogas (energi alternatif), papan komposit (komposit serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam pembuatan bata (briket), pengisi tanah, penanaman jamur, media produksi vitamin, media produksi Protein Sel Tunggal (PST), dan lain-lain. Sampah kota sebagian besar merupakan jenis sampah organik. Hal ini terlihat pada Tabel berikut. Tabel 1. Komposisi sampah di tiga kota besar, Semarang, Bandung, Jakarta. Komposisi (%) Bahan organik Kertas Plastik Logam Kulit Kayu Tekstil Gelas Lain-lain
Semarang 68,75 5,45 14,15 0,16 5,97
Bandung 73,25 9,70 8,58 0,50 0,40 3,60 0,90 0,43 2,64
Jakarta 73,92 10,18 7,86 2,04 0,55 0,98 1,57 1,75 1,22
(Sulistyo P, 2003)
Dari Tabel di atas tampah bahwa dengan mengolah bahan organik dari sampah kota, maka permasalahan sampah dapat direduksi lebih dari 60% total sampah yang dibuang tiap harinya. Berdasarkan beberapa data analisis yang telah dilakukan peneliti, kandungan kimia yang terdapat di dalam sampah sisa tanaman (Sulistyo, 2003) adalah sebagai berikut: Tabel 2. Kandungan kimia dalam sampah sisa tanaman (Sulistyo, 2003). Kandungan
Persentase
Air Senyawa Organik Nitrogen Fosfor Kalium Kapur Karbon
10-60% 15-35% 0,4-1,2% 0,2-0,6% 0,8-1,5% 4-7% 12-17%
Pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos merupakan biokonversi yang sangat baik dimana sampah yang merupakan masalah dikonversi menjadi pupuk tanaman yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi dimana unsur hara ini merupakan komponen utama metabolisme pada tanaman. Biokonversi Sampah Organik oleh Mikroorganisme Keberadaan mikroorganisme di alam mempunyai arti penting dan dampak positif terhadap pencemaran lingkungan. Kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi limbah dan polutan adalah sangat esensial untuk menjaga kualitas dan plingkungan. Keberadaan mikroorganisme tersebut menyebabkan bahanbahan sisa di lingkungan dapat menghilang atau berubah bentuk. Berdasarkan kemampuan degradatif terhadap bahan organik, beberapa jenis bakteri telah dikomersialisasikan sebagai pupuk biologi atau konsorsia bakteri sebagai inokula penanganan limbah secara aerobik maupun anaerobik (Myrold & Nason dalam Sutariningsih,2002), antara lain Bacillus megaterium sebagai bakteri pelarut fosfat, Rhizobum melioti dan metanogen sebagai agensia penanganan limbah secara anaerobik dan pembuatan biogas. Penggunaan mikroorganisme untuk penanganan limbah memerlukan berbagai persyaratan yang perlu diperhatikan, antara lain 85
komposisi limbah, teknik atau proses yang dikerjakan (dalam kondisi aerob atau anaerob) dan alat yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lokal. Optimasi aktivitas mikrobia pada dekomposisi sampah mempunyai implikasi ekonomi penting. Sebagai contoh, pemanfaatan gas metana dari lanfill dan digester anaerob dapat merupakan hasil aklhir yang dapat dipasarkan sebagai sumber tenaga. Di dalam pengomposan, hasil dekomposisi oleh mikroorganisme dapat mereduksi volume sampah, dan menghasilkan bahan yang mempunyai nilai ekonomi sebagai bahan pembenam tanah. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari perombakan sampah oleh mikrobia adalah timbul panas. Panas tersebut dapat menurunkan bahkan membunuh mikrobia patogen. Pengertian Biogas Biogas atau gas bio merupakan salah satu jenis energi yang dapat dibuat dari banyak jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran ternak, jerami, eceng gondok serta banyak bahan-bahan lainnya lagi. Pendeknya, segala jenis bahan yang dalam istilah kimia termasuk senyawa organik, entah berasal dari sisa dan kotoran hewan ataupun sisa tanaman, dapat dijadikan bahan biogas. Biogas merupakan campuran beberapa gas dengan komposisi sekitar 40-75% metana (CH4), 25-60% karbon dioksida (CO2), dan sekitar 2% gas lain (hidrogen, hidrogen sulfida dan karbon monoksida). Pembuatan dan penggunaan biogas sebagai energi seperti layaknya energi dari kayu bakar, minyak tanah, gas, dan sebagainya sudah dikenal sejak lama, terutama di kalangan petani Inggris, Rusia dan Amerika Serikat. Sedangkan di Benua Asia, tercatat negara India sejak masih dijajah Inggris sebagai pelopor dan pengguna energi biogas yang sangat luas, bahkan sudah disatukan dengan WC biasa. Di Indonesia, pembuatan dan penggunaan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970-an, terutama karena bertujuan memanfaatkan buangan atau sisa yang berlimpah dari benda yang tidak bermanfaat menjadi yang bermanfaat, serta mencari sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah. Berdasarkan bahan-bahan untuk membuat biogas, cara dan lingkungan untuk menghasilkannya, sebenarnya biogas dapat dihasilkan di manapun. Pembuatan biogas dapat 86
dalam bentuk yang sederhana (untuk kepentingan rumah-tangga terbatas) ataupun dalam bentuk yang sedang atau besar (untuk kepentingan bersama beberapa rumah atau lebih). Juga menyangkut tempat atau bejana untuk membuatnya. Secara sederhana dari drum bekas yang masih kuat atau sengaja dibuat dalam bentuk bejana dari tembok atau bahanbahan lainnya (http://www.pikiranrakyat.com). BIOGAS Proses Pembuatan Biogas Biogas dibuat melalui fermentasi anaerobik. Selama proses ini, bahan-bahan organik didekomposisi oleh mikroorganisme. Pada awal proses dekomposisi, bahan organik dipecah menjadi molekul –molekul lain seperti glukosa, asam amino, gliserin, dan asam lemak. Pada proses pembuatan biogas, mikroorganisme mengubah (konversi) bahan-bahan organik menjadi gas hidrogen dan gas karbon dioksida yang kemudian lebih lanjut diubah menjadi gas metana dan air (http://www.fnrserver.de/cms35/Biogas.399.0.html) menurut reaksi: CO2 + 4H2 Æ CH4 + 2H2O. Akibat penguraian bahan organik yang dilakukan jasad renik tersebut, maka akan terbentuk zat atau senyawa lain yang lebih sederhana (kecil), serta salah satu di antaranya berbentuk CH4 atau gas metan. Gas metan yang bergabung dengan CO2 atau gas karbondioksida kemudian disebut biogas dengan perbandingan 65: 35. Seperti sampah atau jerami yang diproses menjadi kompos memerlukan persyaratan dasar tertentu, demikian pula dalam proses pengubahan sampah atau buangan menjadi biogas. Pembuatan biogas memerlukan persyaratan tertentu yang menyangkut: 1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan. Hal ini menyangkut nilai atau bandingan antara unsur C (karbon) dengan unsur N (nitrogen) yang secara umum dikenal dengan nama rasio C/N. Perubahan senyawa organik dari sampah atau kotoran kandang menjadi CH4 (gas metan) dan CO2 (gas karbon dioksida) memerlukan persyaratan rasio C/N antara 20-25. Sehingga kalau menggunakan bahan hanya berbentuk jerami dengan rasio-C/N di atas 65, maka walaupun CH4 dan CO2 akan terbentuk, perbandingan CH4: CO2 = 65: 35 tidak akan tercapai. Mungkin perbandingan tersebut
bernilai 45: 55 atau 50: 50 atau 40: 60 serta angkaangka lain yang kurang dari yang sudah ditentukan, maka hasil biogasnya akan mempunyai nilai bakar rendah atau kurang memenuhi syarat sebagai bahan energi. Juga sebaliknya kalau bahan yang digunakan berbentuk kotoran kandang, semisal dari kotoran kambing dengan rasio C/N sekira 8, maka produksi biogas akan mempunyai bandingan antara CH4 dan CO2 seperti 90: 10 atau nilai lainnya yang terlalu tinggi. Dengan nilai ini maka hasil biogasnya juga terlalu tinggi nilai bakarnya, sehingga mungkin akan rnembahayakan pengguna. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini merupakan proses biologis yang memerlukan persyaratan hidup tertentu, seperti juga manusia. 2. Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti rasio C/N harus tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan persyaratan yang berlaku, maka bahan yang digunakan berbentuk kotoran kambing kering dicampur dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan bahan lainnya yang juga kering, maka diperlukan penambahan air. Tapi berbeda kalau bahan yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan yang sudah mengandung bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa pemotongan hewan yang dicampur dengan sampah. Dalam bahannya sudah terkandung air, sehingga penambahan air tidak akan sebanyak pada bahan yang kering. Air berperan sangat penting di dalam proses biologis pembuatan biogas. Artinya jangan terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit (kekurangan). 3. Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut "kesenangan" hidup bakteri pemroses biogas antara 27�-28�C. Dengan temperatur itu proses pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan waktunya. Tetapi berbeda kalau nilai temperatur terlalu rendah (dingin), maka waktu untuk menjadi biogas akan lebih lama. 4. Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Dalam kotoran kandang, lumpur selokan ataupun sampah dan jerami, serta bahan-bahan buangan lainnya, banyak jasad renik, baik bakteri ataupun jamur pengurai bahan-bahan tersebut didapatkan. Tapi yang menjadi masalah adalah hasil uraiannya belum
tentu menjadi CH4 yang diharapkan serta mempunyai kemampuan sebagai bahan bakar. Maka untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat biogas (umumnya disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan atau substrat yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba metan sesuai yang dibutuhkan. 5. Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat. Keberadaan udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu maka bejana pembuat biogas harus dalam keadaan tertutup rapat. Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas sesuai dengan persyaratan. Tetapi kelima syarat tersebut sudah merupakan syarat dasar agar proses pembuatan biogas berjalan sebagaimana mestinya (http://www.pikiran-rakyat.com). Syarat dasar dalam proses pembuatan biogas adalah C/N rasio antara 20-25, sedangkan pada sampah di atas 40. Karena itu, untuk menurunkan kelebihan tersebut diperlukan sumber N baru, baik berbentuk kotoran maupun pupuk (urea). Sebagai gambaran dalam skala kecil, sampah rumah menghasilkan 1.000 liter sampah atau 300 kg sampah, sudah dapat menghasilkan sekitar 50-60 persen gas CH4, metan, dan sisanya karbon dioksida. Dalam satu bulan sudah dapat menghasilkan biogas. Jelas kalau sudah dimanfaatkan untuk kompor gas sudah dapat menghemat bahan bakar yang harganya cukup mahal. Sementara sampah dari bioreaktor yang tidak dapat dikonversi dan berupa limbah dapat dimanfaatkan untuk kompos. Limbah kompos itu dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman (www.riaupos.com/web/content/view/5793/7 / -) Prospek Penggunaan Biogas sebagai Alternatif Energi Masa Depan Biogas seperti pula gas lain yang sudah umum digunakan sebagai energi, dapat digunakan untuk banyak kepentingan, terutama untuk kepentingan penerangan dan memasak. Masalahnya sekarang karena lampu atau kompor yang sudah umum dan biasa dipergunakan untuk gas lain selain biogas tidak cocok untuk pemakaian biogas, sebelumnya memerlukan perubahan atau penyesuaian tertentu terlebih dahulu. Hal ini berkaitan karena
87
bentuk dan sifat biogas berbeda dengan bentuk dan sifat gas lain yang sudah umum. Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) ITB misalnya, telah sejak lama membuat lampu atau kompor yang dapat menggunakan biogas, yang asalnya dari lampu petromak atau kompor yang sudah ada. Perubahan dan penyesuaian dari lampu petromak atau kompor gas biasa yang dapat menggunakan biogas didasarkan kepada pertimbangan keselamatan dan penggunaan. Seperti misalnya sifat biogas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat cepat menyala. Karenanya kalau lampu atau kompor mempunyai kebocoran, akan sulit diketahui secepatnya. Berbeda dengan sifat gas lainnya, sepeti gas-kota atau elpiji, maka karena berbau akan cepat dapat diketahui kalau terjadi kebocoran pada alat yang digunakan. Sifat cepat menyala biogas, juga merupakan masalah tersendiri. Artinya dari segi keselamatan pengguna. Sehingga tempat pembuatan atau penampungan biogas harus selalu berada jauh dari sumber api yang kemungkinan dapat menyebabkan ledakan kalau tekanannya besar. Kompor biogas yang telah disusun dan diujicoba PTP ITB tersusun dari rangka, pembakar, spuyer, cincin penjepit spuyer dan cincin pengatur udara, yang kalau sudah diatur akan mempunyai spesifikasi temperatur nyala api dapat mencapai 560�C dengan warna nyala biru muda pada malam hari, dan laju pemakaian biogas 350 liter/jam, serta harganya diperkirakan antara Rp 2.500,00 sampai Rp. 3.000,00 saja (catatan tahun 1978). Sedang lampu biogas yang juga telah diubah dan diujicoba dari lampu petromak yang terdiri dari tiang pipa dan katup pengatur jarum spuyer, tiang pipa dan nosel spuyer, pipa pencampur gas dan udara, mur penjepit reflektor, ruang pembakar, kaus, semprong (kaca pelindung berbentuk silinder) dan reflektor, ternyata mempunyai harga antara Rp 4.500,00 sampai Rp 6.000,00 saja (tahun 1973). Teknologi Sederhana Pembuatan Biogas dari Proses Biokonversi Sampah Organik Sampah-sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan biogas melalui proses biokonversi energi, seperti yang telah dilakukan beberapa peternak sapi perah. Proses pembuatan biogas ini dengan bantuan mikroorganisme bakteri pembusuk Clostridium butyrinum, Bacteroides, atau bakteri perut Escherechia coli, serta bakteri penghasil gas metan yaitu Methanobacter dan Methanobacilus. 88
Mikroorganisme pengurai sampah pada umumnya merupakan kelompok bakteri heterotrof. Bakteri jenis ini memanfaatkan sampah-sampah organik atau sisa makhluk hidup sebagai sumber energinya. Bakteri yang sering dijumpai dalam sampah antara lain bakteri nitrit (Nitrosococcus), bakteri nitrat (Nitrobacter), Clostridium, dan sebagainya. Bakteri Clostridium merupakan mikroorganisme pembusuk utama, berperan dalam menguraikan asam amino dalam protein makhluk hidup, baik dari sampah tumbuhan maupun sampah hewan menjadi suatu senyawa amoniak (http://www.pikiran-rakyat.com). Seperti sudah diuraikan sebelumnya, biogas dapat dibuat dari sisa, buangan ataupun kotoran. Yang penting sisa dan buangan tersebut berbentuk senyawa organik, seperti yang berasal dari tanaman ataupun hewan. Bahan yang dapat digunakan untuk membuat bak, alat atau bejana pembuat dan penampung biogas, juga tidak perlu dari bahan yang mahal atau sukar untuk didapatkannya. Drum bekas asal masih kuat, merupakan bahan yang paling umum dipergunakan. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan sangat tinggi dan cepat daya nyalanya. Karenanya sejak biogas berada pada bejana pembuatnya sampai digunakan untuk penerangan ataupun memasak, harus selalu dihindari kehadirannya dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kebocoran pada peralatan yang tidak diketahui. Membuat biogas bukan semata-mata tergantung kepada bahan yang dipergunakan, kepada alat atau bejana yang digunakan, tetapi juga masih ada faktor-faktor lain yang menyertainya, yang langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil. Misalnya kita sudah memasukkan bahan-bahan yang diperlukan dalam bejana pembuat yang disertai dengan starter yang dibutuhkan. Tetapi ternyata beberapa hari kemudian, bejana penampung hasil tidak naik-naik. Kalau hal ini terjadi ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama bejana penampung hasil bocor, hingga secepatnya harus dicari dan ditambal atau proses pembuatan biogas tidak berjalan. Bahan pembuat biogas merupakan bahan organik berkandungan nitrogen tinggi. Selama proses pembuatan kompos yang akan keluar dan tergunakan adalah unsur-unsur C, H, dan 0 dalam bentuk CH4 dan CO2. Karenanya nitrogen yang ada akan tetap bertahan dalam sisa bahan,
kelak menjadi sumber pupuk (http://www.pikiran-rakyat.com).
organik
KESIMPULAN Biogas dibuat dari berbagai jenis bahan buangan dan bahan sisa, semacam sampah, kotoran ternak, jerami, eceng gondok serta banyak bahan-bahan lainnya lagi yang masih termasuk senyawa organik, entah berasal dari sisa dan kotoran hewan ataupun sisa tanaman, melalui fermentasi anaerobik oleh mikroorganisme yang mengubah (konversi) bahan-bahan organik menjadi gas hidrogen dan gas karbon dioksida yang kemudian lebih lanjut diubah menjadi gas metana dan air menurut reaksi: CO2 + 4H2 Æ CH4 + 2H2O. Biogas merupakan campuran beberapa gas dengan komposisi sekitar 40-75% metana (CH4), 25-60% karbon dioksida (CO2), dan sekitar 2% gas lain (hidrogen, hidrogen sulfida dan karbon monoksida). Biogas mempunyai prospek bagus untuk dikembangkan sebagai sumber energi alternatif karena banyak kegunaannya, seperti sebagai bahan bakar kompor mauoun lampu biogas
sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Pusat Teknologi Pembangunan ITB. Teknologi pembuatan Biogas sangat sederhana dan tidak memerlukan biaya yang tinggi sehingga dapat dilakukan oleh setiap orang, khususnya petani dan peternak. DAFTAR PUSTAKA Alternatif Pengolahan Sampah di Pekanbaru. www.riaupos.com/web/content/view/ 5793/7/ diakses 20 maret 2006 Biogas.http://www.fnr-server.de/cms35/Biogas.399.0.html. diakses 20 maret 2006 Briket Limbah Menghilangkan Sampah. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005 /0405/07/cakrawala/penelitian03.htm diakses 20 maret 2006 Menuai Biogas dari Limbah. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0405/07/ cakrawala/penelitian03.htm diakses 20 maret 2006 Sulistyo, P.H. 2003. Studi Biokonversi Sampah Organik oleh Mikroba Probiotik Menggunakan Model Sampah Organik dalam Reaktor Sederhana. Proseding Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia II. LIPI Jakarta Sutariningsih Soetarto,E. 2002. Penggunaan Mikroorganisme sebagai Agensia Bioremedasi, Sanitasi dan Perombak Limbah. Makalah seminar sosialisasi Fakultas Biologi UGM ke beberapa SMU di Surakarta. Surakarta, 3 Agustus 2002
89
FERMENTASI TEPUNG GANYONG (Canna edulis Ker.) UNTUK PRODUKSI ETANOL OLEH Aspergillus niger DAN Zymomonas mobilis Ethanol fermentation from solid waste of tapioca (onggok) by Aspergillus niger and Zymomonas mobilis SUSANTI ENI PURWANTARI, ARI SUSILOWATI♥, RATNA SETYANINGSIH Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
ABSTRACT1 The aims of this research were to know the concentration of arrowroot flour which produced the highest reducing sugar in saccharification process by A. niger, as well as to know the efficiency of ethanol production by Z. mobilis. The framework of this research was the increasing needs of ethanol; meanwhile ethanol could be obtained from the fermentation arrowroot. This research was carried out in two stages. In the saccharification stage, there are four concentrations, namely: 10%, 20%, 30% and 40%, and A. niger concentration of 10% (v/v) for each arrowroot flour concentration with spores amount 3,3x106/mL. The parametric measurement includes: starch concentration in the starting day and the sixth day, while the reducing sugar concentration and pH was measured every 24 hours during 6 days. In the ethanol fermentation, Z. mobilis concentration have been used 10% (v/v) with cells amount 5,1x107/mL and it was used in solution product of arrowroot starch saccharification and parametric measurement carried out during 72 hours includes: ethanol and reducing sugar concentration and the growth of Z. mobilis cells. The data resulted from parametric measurement. The result of the research showed that arrowroot flour concentration of 10% produced the highest reducing sugar in process of saccharification with reducing sugar concentration was 1,230 g/100 mL in four days and the efficiency of ethanol production by Z. mobilis during 72 hours was 83,03%.
Naskah asli sebelumnya pernah diterbitkan pada Bioteknologi Vol. 1, No. 2, Nopember 2004, hal. 37-41; diterbitkan dengan seijin penerbit. ♥ Penulis pada presentasi makalah poster 1
90
Keywords: arrowroot starch, Aspergillus fermentation, ethanol, Zymomonas mobilis.
niger,
PENDAHULUAN Kebutuhan bahan bakar semakin meningkat, sementara itu persediaan bahan bakar petroleum dan batu bara semakin menipis. Kondisi ini meyebabkan negara-negara industri berlomba mencari sumber energi bahan bakar alternatif. Dalam penelitian diperoleh bahwa etanol dapat dijadikan sebagai sumber alternatif untuk bahan bakar. Etanol dapat diperoleh melalui fermentasi bahan berkarbohidrat seperti tepung ganyong dengan menggunakan bantuan mikroba A. niger guna memecah pati menjadi glukosa dan Z. mobilis guna mengubah glukosa menjadi etanol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (i) konsentrasi tepung ganyong yang menghasilkan gula reduksi paling tinggi pada proses sakarifikasi oleh A. niger; (ii) efisiensi pembentukan etanol dari gula reduksi hasil sakarifikasi pati ganyong dalam fermentasi oleh Z. mobilis. BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilakukan di Sub Lab Biologi Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Laboratorium Bioteknologi Fakultas Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Penelitian dikerjakan pada bulan Januari-Mei 2003. Bahan dan alat Bahan pati ganyong (Canna edulis Ker), biakan murni Zymomonas mobilis (FNCC 056) dan Aspergillus niger (FNCC 6018) dari PAU Pangan dan Gizi UGM Yokyakarta; medium starter Zymomonas mobilis; medium PGY (Pepton Glukosa Yeast Eksract) dan PDA (Potato Dextrosa Agar); akuades. Alat yang diperlukan: tabung reaksi, pH meter, lup inokulasi, kulkas, erlenmeyer, rotary shaker, gelas baker, sentrifus, kompor listrik, inkubator, pipet, autoklaf, gelas ukur, waterbath, spektrofotometer, perangkat distilasi mikroskop, haemocytometer, coloni counter. Cara kerja Penyiapan alat dan bahan. Semua alat dan medium yang digunakan disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Penyediaan inokulum Aspergillus niger. Isolat A. niger ditumbuhkan pada medium PDA selama 3-5 hari pada suhu 35-37°C. Setelah terbentuk massa spora, spora disuspensikan dalam akuades, kemudian diambil 1 mL untuk dihitung sampai didapatkan jumlah spora dalam 10% inokulum A. niger di medium PGY sebanyak 3,3x106/mL dan diinkubasi dengan rotary shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 24 jam sehingga spora A. niger berbentuk pelet. Pembuatan bubur tepung ganyong. Bubur dibuat empat variasi konsentrasi yaitu 10%, 20%, 30%, dan 40%, masing-masing bervolume 150 mL dan dibuat dua ulangan setiap proses. Bubur kemudian dipanaskan selama 10 menit dan disterilisasi. Tahap sakarifikasi. Inokulum A. niger yang berbentuk pelet diinokulasikan ke dalam tiaptiap konsentrasi bubur tepung ganyong, kemudian diinkubasi selama 6 hari pada suhu 50°C dengan penggoyangan. Sebelum penginokulasian A. niger terlebih dahulu bubur tepung ganyong diberi 1 tetes HCl 25%. Untuk menghitung besarnya pati yang terhidrolisis digunakan rumus (Kumalaningsih dan Hidayat, 1995): Pati yang terhidrolisis = pati awal-pati akhir Peningkatan volume larutan hasil sakarifikasi untuk fermentasi etanol. Dari pengamatan hasil sakarifikasi pati ganyong dapat diketahui konsentrasi tepung ganyong yang menghasilkan gula reduksi paling tinggi. Dari data tersebut kemudian dibuat perlakuan yang sama untuk memperbanyak larutan hasil sakarifikasi.
Kemudian larutan hasil sakarifikasi disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Penyediaan inokulum Z. mobilis. Satu loop Z. mobilis diinokulasikan pada medium starter sebanyak 80 mL. Kemudian inokulum Z. mobilis diinkubasi pada suhu kamar dengan penggoyangan selama 4 jam sehingga didapatkan jumlah sel 5,1x107/mL. Tahap fermentasi etanol. Ke dalam larutan hasil sakarifikasi diinokulasikan 10% inokulum Z. mobilis. Fermentasi dilakukan selama 72 jam pada suhu kamar. Besarnya laju pembentukan etanol dan efisiensi pembentukan etanol dapat dihitung dengan persamaan (Crueger dan Crueger, 1984): Produk(etanol) Laju pembentukan etanol = ---------------------------Waktu (jam) Yield (produk/substrat) Efisiensi fermentasi = ----------------------------------- x 100% alkohol yang dihasilkan secara teoritis dari glukosa
Teknik pengumpulan data Data diperoleh melalui pengukuran parameter. Pada tahap sakarifikasi yang berlangsung selama 6 hari, pengukuran meliputi: (i) Konsentrasi pati (metode “Direct Acid Hydrolysis”), pada hari ke-0 dan ke-6 sakarifikasi (ii) Konsentrasi gula reduksi (metode Nelson-Somogyi cara spektrofotometri), dilakukan tiap 24 jam selama 6 hari proses sakarifikasi (iii) pH (pHmeter), dilakukan tiap 24 jam selama 6 hari proses sakarifikasi. Tahap fermentasi etanol, pengukuran dilakukan tiap 24 jam selama 72 jam, meliputi: (i) Konsentrasi etanol (metode destilasi) (ii) Konsentrasi gula reduksi (metode NelsonSomogyi cara spektrofotometri) (iii) Jumlah sel Z. mobilis (metode turbidimetrik). Analisis data Data dianalisis dari grafik yang diperoleh dari setiap pengukuran parameter tiap 24 jam, kemudian membandingkan tiap grafik untuk mengetahui konsentrasi tepung ganyong yang menghasilkan gula reduksi paling tinggi dalam proses sakarifikasi. Besarnya efisiensi pembentukan etanol dari gula reduksi hasil sakarifikasi dalam fermentasi oleh Z. mobilis diperoleh melalui penghitungan berdasarkan data dari tiap pengukuran.
91
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses pemecahan pati ganyong menjadi gula reduksi oleh A niger Hasil pengukuran konsentrasi pati pada tiap konsentrasi tepung ganyong dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsentrasi pati (g/100 mL) dari bubur tepung ganyong pada berbagai konsentrasi hari ke-0 dan ke-6 sakarifikasi oleh A. niger. Waktu (hari) 0 6
10%
20%
30%
40%
5,51 0,50
10,71 3,60
12,88 8,30
17,44 11,50
Hasil pengamatan selama 6 hari proses sakarifikasi menunjukkan terjadinya penurunan konsentrasi pati. Penurunan konsentrasi pati disebabkan adanya enzim yang dihasilkan oleh A. niger yaitu α-amilase dan glukoamilase yang mampu menghidrolisis pati. Enzim α-amilase mampu memutus ikatan α-1,4 secara acak di bagian dalam dari pati, baik dalam amilosa maupun amilopektin. Akibat dari aktivitas tersebut rantai pati terputus-putus menjadi maltosa, maltotriosa, glukosa dan dekstrin. Sedangkan enzim glukoamilase akan memecah ikatan α-1,4 maupun α-1,6 glikosida pada molekul pati menjadi gula reduksi (Stewart, 1984; Fardiaz, 1988). Dari Tabel 1 berdasarkan pengurangan pati awal dan pati akhir diperoleh bahwa pada konsentrasi 10% besarnya pati yang terhidrolisis 5,01 g/100 mL Pada konsentrasi 20% pati yang terhidrolisis sebesar 7,11 g/100 mL. Pada konsentrasi 30% pati yang terhidrolisis sebesar 4,58 g/100 mL dan konsentrasi 40% pati yang terhidrolisis sebesar 5,94 g/100 mL. Hasil tersebut menunjukkan bahwa A. niger memiliki kemampuan menghidrolisis pati yang hampir sama pada setiap konsentrasi tepung ganyong. Pati yang terdapat pada umbi-umbian memiliki dua jenis polimer, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa terdiri dari rantai unit-unit D-gula reduksi yang panjang dan tidak bercabang, digabungkan oleh ikatan α(1→4) sehingga amilosa akan terlarut dalam air panas. Amilopektin memiliki berat molekul yang tinggi tetapi strukturnya bercabang. Ikatan glikosida yang menggabungkan rantai amilopektin adalah ikatan α(1→6), sehingga amilopektin tidak mudah larut dalam air panas melainkan akan terjadi pengentalan jika dipanaskan (Lehninger, 1982). Komposisi amilopektin pada pati ganyong 92
lebih besar dari pada amilosa, sehingga semakin besar konsentrasi tepung ganyong bubur pati akan semakin mengental yang akhirnya akan menggumpal dan menjadi keras. Adanya aktivitas enzim α-amilase dan glukoamilase yang dihasilkan dari A. niger menyebabkan pati terhidrolisis menjadi gula reduksi, sehingga pada proses sakarifikasi pati ganyong terjadi penurunan konsentrasi pati dari hari ke-0 dan hari ke-6 sakarifikasi dan terjadi peningkatan konsentrasi gula reduksi. Perolehan konsentrasi gula reduksi dari hari ke-0 sampai hari ke-6 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi gula reduksi (g/100 mL) pada berbagai konsentrasi tepung ganyong selama 6 hari proses sakarifikasi oleh A.niger. Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5 6
10%
20%
30%
40%
0,152 0,458 0,596 1,178 1,230 1,150 1,194
0,125 0,357 0,550 0,943 0,946 1,120 1,120
0,108 0,467 0,577 0,820 0,787 0,974 0,996
0,086 0,275 0,321 0,867 0,688 1,040 0,886
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa konsentrasi gula reduksi terbesar diperoleh dari konsentrasi tepung ganyong 10% di hari ke-4, yaitu sebesar 1,230 g/100 mL. Sedangkan konsentrasi tepung ganyong 20% gula reduksi terbesar 1,120 g/100 mL pada hari ke-5, konsentrasi tepung ganyong 30% gula reduksi terbesar 0,996 g/100 mL di hari ke-6, konsentrasi tepung ganyong 40% gula reduksi terbesar 1,040 g/100 mL di hari ke-5. Berdasarkan besarnya pati yang terhidrolisis diperoleh bahwa konsentrasi tepung ganyong 20% paling banyak terhidrolisis yaitu 7,11 g/100 mL, namun konsentrasi gula reduksi terbesar diperoleh dari konsentrasi tepung ganyong 10%. Hal tersebut disebabkan kondisi substrat 10% lebih cair dari pada konsentrasi 20%, sehingga proses sakarifikasi oleh A. niger terjadi lebih merata pada seluruh substrat dibanding dengan 20%. Pada konsentrasi 20% pati yang terhidrolisis masih banyak dalam bentuk dekstrin. Sardjoko (1991) serta Hendersen dan Norman (1995) melaporkan bahwa α-amilase dan glukoamilase bekerja optimal pada konsentrasi pati jagung mentah 30%, namun dalam penelitian ini diperoleh konsentrasi 10% yang optimal. Perbedaan ini disebabkan pati yang dipakai berbeda.
Penurunan pH juga terjadi pada tiap konsentrasi ganyong selama proses ini berlangsung, meskipun perubahan pH ini relatif kecil. Perubahan pH selama proses sakarifikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perubahan pH bubur tepung ganyong pada berbagai konsentrasi selama 6 hari proses sakarifikasi oleh A. niger. Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5 6
10%
20%
30%
40%
4,4 3,9 3,2 3,0 2,8 2,9
4,5 3,9 3,3 3,0 2,8 2,9
4,4 4,0 3,3 3,0 2,9 2,9
4,5 4,0 3,3 3,1 2,9 3,1
2,9
3,0
3,0
3,0
Aktivitas kerja enzim α-amilase dan glukoamilase terjadi pada pH 4,0-5,0 (Yasmeen et al, 2002). Untuk menyediakan pH tersebut maka sebelum A. niger diinokulasikan, substrat terlebih dulu ditambah HCl 25%. Dalam hal ini penambahan HCl bertujuan untuk membantu terhidrolisisnya pati di awal proses dan menyediakan pH untuk aktivitas kerja enzim αamilase dan glukoamilase. Pada hari ke-0 pH tiap konsentrasi berkisar antar 4,4-4,5 dan tiap hari mengalami sedikit penurunan sampai pada pH 3,1-3,3 pada hari ke6. Terjadinya penurunan pH selama proses sakarifikasi berlangsung karena A. niger juga mampu mengubah glukosa untuk menghasilkan senyawa organik lain terutama asam sitrat (Rogers et al, 1993), sehingga diperoleh pH yang sangat asam. A. niger memiliki pH optimum untuk pertumbuhan 4,0-6,5, sehingga penurunan pH sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan A. niger. Pada hari ke-4 sakarifikasi pH diperoleh sangat asam yang dapat mematikan A. niger, akibatnya produksi enzim α-amilase dan glukoamilase oleh A niger juga terhambat. Penghambatan tersebut akhirnya menghambat proses pemecahan pati menjadi gula reduksi. Gula reduksi terbesar yang dihasilkan pada proses sakarifikasi hanya 1,230 g/100 mL, hal ini disebabkan suhu dan pH yang digunakan tidak menyesuaikan untuk pertumbuhan optimal A. niger melainkan suhu dan pH optimum untuk kerja α-amilase dan glukoamilase, sehingga A. niger tidak dapat bekerja secara optimal.
Peningkatan volume larutan hasil sakarifikasi untuk fermentasi etanol Dari hasil sakarifikasi selama 6 hari didapat bahwa konsentrasi tepung ganyong 10% yang menghasilkan gula reduksi paling tinggi, yaitu sebesar 1,230 g/100 mL pada hari ke-4. Oleh karena itu konsentrasi tepung ganyong 10% selanjutnya digunakan untuk produksi gula reduksi yang akan digunakan dalam fermentasi etanol. Setelah proses produksi berlangsung 4 hari, didapat volume larutan hasil sakarifikasi sebanyak 800 mL dengan konsentrasi gula reduksi sebesar 1,996 g/100 mL. Fermentasi etanol oleh Z. mobilis Fermentasi etanol berlangsung selama 72 jam. Konsentrasi inokulum Z. mobilis yang digunakan sebesar 10% (v/v) dengan jumlah sel sebanyak 5,1 x 107/mL. Parameter yang diukur dalam fermentasi etanol meliputi: konsentrasi gula reduksi, konsentrasi etanol dan jumlah sel Z. mobilis yang diukur setiap 24 jam selama 72 jam. Pengukuran konsentrasi gula reduksi dan etanol bertujuan untuk mengetahui efisiensi dan laju pembentukan etanol dari gula reduksi oleh Z. mobilis. Dalam proses ini akan terjadi pengubahan gula reduksi menjadi etanol. Perubahan konsentrasi gula reduksi dan etanol dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi gula reduksi (g/100 mL) dan etanol (%) selama 72 jam fermentasi etanol oleh Z. mobilis. Waktu (jam) 0 24 48 72
Gula reduksi (g/100 mL) 1,996 0,623 0,428 0,272
Etanol (% v/v) 0 0,53 0,67 0,73
Dari Tabel 4 terlihat bahwa gula reduksi sebagai substrat fermentasi setiap harinya semakin menurun tetapi etanol semakin meningkat. Besarnya gula reduksi awal, yaitu 1,996 g/100 mL turun menjadi 0,272 g/100 mL setelah 72 jam fermentasi. Sedangkan etanol mengalami kenaikan dari 0% (v/v) pada awal fermentasi menjadi 0,73% (v/v) setelah 72 jam fermentasi. Penurunan gula reduksi yang diiringi dengan meningkatnya konsentrasi etanol disebabkan adanya enzim yang dihasilkan oleh Z. mobilis, diantaranya yaitu glukokinase dan fruktokinase yang mampu mengubah gula reduksi menjadi 93
etanol (Pak-Lam-Yu, 1990). Enzim glukokinase dan fruktokinase yang dihasilkan Z. mobilis mampu mengubah gula reduksi menjadi etanol melalui jalur Entner-Doudoroff (ED) yang melakukan metabolisme gula reduksi melalui 2keto-3deoksi-6-fosfoglukonat membentuk piruvat, kemudian piruvat oleh piruvat dekarboksilase diubah menjadi asetaldehid yang kemudian direduksi menjadi etanol (Fardiaz, 1988). Dalam fermentasi etanol juga dilakukan penghitungan jumlah sel Z. mobilis untuk melihat pertumbuhan sel pada gula reduksi hasil sakarifikasi pati ganyong selama 72 jam fermentasi berlangsung. Banyaknya jumlah sel selama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah sel Z. Mobilis (mL) selama 72 jam fermentasi etanol. Waktu (jam) 0 24 46 72
Log jumlah sel 7,70 8,70 8,18 7,74
Jumlah sel 5,1 x 107 5,0 x 108 1,5 x 108 5,5 x 107
Peningkatan jumlah sel Z. mobilis pada 24 jam pertama disebabkan adanya gula reduksi sebagai substrat yang masih cukup banyak (1,996 g/100 mL). Kenaikan jumlah sel Z. mobilis dan konsentrasi etanol menunjukkan bahwa gula reduksi hasil sakarifikasi dapat digunakan sebagai substrat oleh Z. mobilis untuk pertumbuhan dan produksi etanol. Konsentrasi etanol yang diperoleh dan jumlah sel menunjukkan bahwa pada 24 jam pertama proses fermentasi, konsentrasi etanol naik dengan cepat (dari 0% menjadi 0,53%) diiringi juga dengan kenaikan jumlah sel yang besar (dari 5,1x107/mL menjadi 5,0x108/mL). Sedangkan pada jam ke-48 dan ke-72 proses fermentasi, jumlah sel menurun dan etanol yang dihasilkan terjadi kenaikan. Penurunan jumlah sel terjadi karena gula reduksi yang ada tinggal sedikit (0,623 g/100 mL) sehingga dalam metabolisme selnya gula reduksi dipakai untuk menghasilkan energi daripada untuk pelipatgandaan jumlah sel maka yang terjadi jumlah sel mengalami penurunan dan etanol mengalami peningkatan. Besarnya laju pembentukan etanol selama 72 jam adalah 0,24% per 24 jam dan efisiensi pembentukan etanol oleh Z. mobilis selama 72 jam sebesar 83,03%. Rendahnya konsentrasi etanol disebabkan konsentrasi gula reduksi yang
94
dijadikan substrat sangat kecil (1,996 g/100 mL). Tinggi rendahnya konsentrasi etanol selain ditentukan oleh mikroba juga sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya konsentrasi gula reduksi yang digunakan sebagai substrat dalam fermentasi (Wen and Cheng, 2000). Sehingga semakin tinggi konsentrasi gula reduksi yang digunakan sebagai substrat makin tinggi juga konsentrasi etanol yang dihasilkan dalam fermentasi oleh Z. mobilis. KESIMPULAN Pati ganyong dapat dimanfaatkan untuk produksi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi etanol. Pada proses sakarifikasi dengan A. niger, konsentrasi tepung ganyong 10% menghasilkan gula reduksi yang paling tinggi, yaitu 1,230 g/100 mL dalam waktu yang lebih singkat (4 hari) dibandingkan dengan konsentrasi tepung ganyong 20%, 30%, dan 40%. Efisiensi pembentukan etanol dari gula reduksi hasil sakarifikasi oleh Z. mobilis yaitu 83,03% dengan besarnya laju pembentukan etanol 0,24% per 24 jam. DAFTAR PUSTAKA Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB. Hendersen, S and B.E. Norman. 1995. Enzymatic Modification of Food Carbohydrates, In Chemical Aspects of Food Enzymes. New York: Marcell Dekkes Inc. Lehninger, A.L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Penerjemah: Thenawidjaja, M. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pak, Lam-Yu. 1990. Fermentation Technologies-Industrial Application. New York: Elsevier Applied Science. Roger, S., D. Michael, and A.A. Edward. 1993. The Microbial World. New Jersey: Practice-Hall Inc. Sardjoko. 1991. Bioteknologi, Latar Belakang dan Beberapa Penerapannya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Stewart, G.G., Panchal,C.J., Russel,I and Sills,A.M. 1984. Biology of Ethanol Producing Microorganisms. Critical Review Biotechnol. Wen, C.L., and T.H. Cheng. 2000. Modeling of ethanol using Zymomonas mobilis ATCC 10988 grown on media containing glucose and fructose. Biochemical Engineering. Journal 217- 227. Yasmeen, A., R. Shahid, F. Latif, and M.I. Rajoka. 2002. Ethanol Production from Raw Corn Strach by Saccharification with Glucoamylase from Aspergillus niger Mutant M115 and Fermentation with Saccharomyces cerevisiae. Pakistan: National Institute for Biotechnology and Genetic Engineering (NIBGE). www.cl.orime.gov/symposium/indec_files/porter06.23. htm [03/01/02].
FERMENTASI ETANOL SARI BUAH SEMU JAMBU METE (Anacardium occidentale L.) OLEH Zymomonas mobilis DENGAN PENAMBAHAN UREA Ethanol fermentation from cashew juice (Anacardium occidentale L.) by Zymomonas mobilis using urea ETRIN SAPARIANTIN, TJAHJADI PURWOKO♥, RATNA SETYANINGSIH Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126.
ABSTRACT2 Cashew present in abundant amount in Indonesia but they had not much been exploited. This research was to study ethanol fermentation from cashew juice by Zymomonas mobilis using urea as nitrogen source. The aims of this research was to know the best urea concentration and optimum fermentation duration to produce the highest content of ethanol in ethanol fermentation from cashew juice by Z. mobilis. The urea concentration in media was prepared 0%; 0.2% and 0.4%. The media cashew juice + urea (100 mL) was inoculated with 1 mL Z. mobilis 2x108 cell/mL. Initial pH, reducing sugar, amount of microorganism and concentration of ethanol was calculated everyday during 3 days. It could be concluded that 0.2% of urea produced the highest content of ethanol that was an amount 40.51%, followed by urea 0% was 30.59% and urea 0.4% was 25.63%. The optimum fermentation duration to produce the highest content of ethanol was 2 days. Keywords: ethanol fermentation, cashew Zymomonas mobilis, urea concentration.
juice,
PENDAHULUAN Indonesia memiliki areal perkebunan jambu mete (Anacardium occidentale L.) seluas 560.813 ha, tersebar di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa
Naskah asli sebelumnya pernah diterbitkan pada Bioteknologi Vol. 2, No. 2, Nopember 2005, hal. 51-56; diterbitkan dengan seijin penerbit. ♥ Penulis pada presentasi makalah poster 2
Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Pada tahun 2000, produksi gelondong mete (biji mete kering) diprediksikan mencapai 92.390 ton (Departemen Pertanian RI, 1979). Di Indonesia, buah semu jambu mete belum banyak dimanfaatkan. Padahal hampir semua bagian tanaman jambu mete dapat dimanfaatkan, mulai dari buah sejati, buah semu, kulit biji dan kulit ari, akar, batang dan daun. Buah semu dapat diolah menjadi aneka makanan dan minuman. Menurut Mulyoharjo (1990) buah semu jambu mete dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan manisan, selai, rujak, bahkan airnya dapat digunakan untuk membuat cuka atau jelly. Di Brasil, buah semu jambu mete banyak diolah menjadi sari buah, sedangkan di Goa (India) dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi minuman beralkohol yang disebut feni (Morton, 1987). Ampas buah semu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku abon dan sebagai bahan campuran untuk pakan ternak (Mulyoharjo, 1990; Kihn et al., 1996). Saccharomyces cereviseae mampu memfermentasi gula dalam sari buah semu jambu mete menjadi etanol (Hermawan dkk, 2000) Etanol umumnya diproduksi melalui fermentasi mikroorganisme etanologenik. Menurut Gunasekaran dan Raj (2002), meskipun beberapa mikroorganisme telah dimasukkan sebagai mikroorganisme etanologenik, tetapi khamir S. cereviseae dan bakteri Z. mobilis merupakan mikroorganisme terbaik untuk produksi etanol. Pada penelitian ini dilakukan fermentasi sari buah semu jambu mete menggunakan Z. mobilis. 95
Bakteri Z. mobilis dianggap sebagai mikroorganisme alternatif dalam produksi etanol karena mempunyai sifat-sifat yang sesuai untuk produksi etanol secara efisien, sifat-sifat tersebut antara lain, toleransi terhadap kadar gula sampai 400 g/L dan etanol sampai 100 g/L, produksi etanol yang tinggi, sedikit akumulasi produk samping, pembentukan etanol lebih cepat dibandingkan dengan khamir, dan manipulasi genetik Z. mobilis lebih sederhana daripada khamir (Doelle, 1990; Hobley dan Pamment, 1994; Nowak, 2000; Wijono, 1988). Buah semu jambu mete memiliki kandungan protein rendah yaitu 4,6%. Hal itu menyebabkan rendahnya kandungan nitrogen, padahal sumber nitrogen merupakan salah satu unsur makro yang penting untuk pertumbuhan dan produksi metabolit oleh mikroorganisme. Untuk itu pada fermentasi sari buah semu jambu mete perlu dilakukan penambahan sumber nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar urea yang perlu ditambahkan dan lama fermentasi yang maksimal untuk menghasilkan kadar etanol tertinggi dalam fermentasi etanol sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis. BAHAN DAN METODE Bahan. Buah semu jambu mete (Anacardium occidentale L.) varietas merah, diperoleh dari daerah Tawangsari, Sukoharjo. Umur buah semu jambu mete ± 4 bulan. Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media glukosa sebagai media penumbuh Z. mobilis. Biakan murni yang digunakan dalam penelitian ini adalah Z. mobilis FNCC 056 dari Laboratorium Mikrobiologi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Bahan kimia yang digunakan adalah glukosa anhidrat; gula pasir; larutan Arsenomolibdat; larutan Nelson A larutan Nelson B; urea; MgSO4; NaOH; gula pasir. Penyediaan inokulum Z. Mobilis. Satu loop Z. mobilis diinokulasikan ke media glukosa sebanyak 30 mL. Inokulum diinkubasi di suhu kamar dengan penggoyangan sampai diperoleh jumlah sel sebanyak ± 108 sel/mL. Pembuatan sari buah jambu mete. Buah semu jambu mete yang telah dicuci bersih dipotong kecil-kecil kemudian diblender, setelah itu bubur buah semu jambu mete diperas menggunakan kain (Hermawan dkk., 2000). Pembuatan media fermentasi. Komposisi media fermentasi terdiri dari sari buah (100 mL), 96
MgSO4 0,1% (b/v), urea (0; 0,2; 0,4 g/L) dan gula pasir 11 g. Fermentasi diatur pada nilai pH 6. Media yang telah dibuat, disaring menggunakan kertas saring untuk menyaring kotoran. Media fermentasi sebanyak 100 mL dimasukkan ke dalam tabung duran 100 mL kemudian disterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 80oC selama 30 menit. Fermentasi etanol. Media fermentasi (100 mL) ditambah 1 mL inokulum Z. mobilis (± 108 sel/mL) kemudian diinkubasi selama 3 hari di suhu kamar (± 30oC). Analisis nilai pH, kadar gula reduksi, jumlah mikroorganisme dan etanol dilakukan setiap 24 jam Analisis data. Analisis data menggunakan metode statistik analisis variansi (ANAVA) dan untuk mengetahui beda rata-rata karena pengaruh perlakuan dilakukan dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf signifikansi 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai pH Nilai pH merupakan suatu simbol untuk derajat keasaman atau alkalinitas suatu larutan. Nilai pH sangat penting untuk pertumbuhan mikroorganisme, karena kerja enzim sangat dipengaruhi oleh pH. Hasil penelitian menunjukan bahwa variasi kadar urea memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap nilai pH. Nilai pH tertinggi diperoleh pada kadar urea 0%. Hal itu ditunjukkan nilai pH kadar urea 0% berbeda nyata dengan kadar urea 0,2% dan 0,4%. Tabel 1. Nilai pH pada fermentasi etanol sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea. Fermentasi Urea Urea RataUrea 0% sampai hari ke 0,2% 0,4% rata 1 6,08 5,86 5,96 5,96C 2 6,09 5,91 5,96 5,98C 3 6,15 5,84 6,02 6,00C b a a Rata-rata 6,11 5,86 5,97 Keterangan: a-b: angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata untuk faktor kadar urea (α= 0,05); C: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata untuk faktor lama fermentasi (α= 0,05).
Pada fermentasi ini nilai pH awal adalah 6, karena menurut Worden et al (1983) pertumbuhan maksimum Z. mobilis pada nilai pH 5,6-7,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan urea cenderung menyebabkan nilai pH menjadi rendah. Hal ini terlihat dengan nilai
Kadar gula reduksi Kadar gula reduksi dari sari buah semu jambu mete yang terukur adalah 6 g/100 mL. Penambahan sukrosa sebesar 11 g/100 mL ini mempertimbangkan agar kadar gula reduksi tidak lebih rendah dari 10%. Menurut Kirsop dan Hilton dalam Hermawan dkk (2000) kadar substrat minimal 10% agar mendapatkan produk yang ekonomis. Setelah sterilisasi kadar gula reduksi naik menjadi 13 g/100 mL. Kadar gula reduksi yang terukur selama fermentasi adalah kadar gula reduksi sisa yang tidak dimanfaatkan oleh Z. mobilis. Hasil penelitian menunjukkan kadar urea 0%; 0,2%; 0,4% memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar gula reduksi. Kadar gula reduksi lebih tinggi diperoleh pada kadar urea 0% dan 0,4%. Hal itu ditunjukkan kadar gula reduksi pada kadar urea 0% dan 0,4% berbeda nyata dengan kadar urea 0,2%. Lama fermentasi media dengan variasi kadar urea memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar gula reduksi. Kadar gula reduksi tertinggi diperoleh pada media dengan lama fermentasi 1 hari. Kombinasi kedua jenis perlakuan, yaitu kadar urea dan lama fermentasi media dengan variasi kadar urea juga
memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar gula reduksi. Konsumsi gula reduksi diperoleh dari pengurangan kadar gula reduksi sebelum fermentasi dengan kadar gula reduksi selama fermentasi. Kadar gula reduksi terendah terdapat pada kadar urea 0,2%, maka konsumsi gula reduksi tertinggi terdapat pada kadar urea 0,2% (Tabel 2). Penambahan kadar urea 0,2% hanya sedikit meningkatkan konsumsi gula reduksi. Tabel 2. Kadar gula reduksi (g/100 mL) selama fermentasi etanol sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea. Fermentasi Urea Urea RataUrea 0% sampai hari ke 0,2% 0,4% rata 1 9,397 8,572 9,765 9,250D 2 8,951 8,439 8,962 8,784C 3 8,962 8,602 8,962 8,842C b a b Rata-rata 9,103 8,538 9,23 Keterangan: a-b: angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata untuk faktor kadar urea (α= 0,05); C: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata untuk faktor lama fermentasi (α= 0,05).
kadar gula reduksi (g/100m l)
pH pada kadar urea 0% berbeda nyata dengan kadar urea 0,2% dan 0,4% (Tabel 1). Selama fermentasi perubahan pH dapat disebabkan oleh hasil fermentasi yang merupakan asam atau basa yang dihasilkan selama pertumbuhan mikroorganisme dan komponen organik dalam media. Pada penelitian ini nilai pH dalam media dengan penambahan urea lebih rendah disebabkan oleh adanya ion amonium dalam media fermentasi yang dihasilkan dari degradasi urea. Ion amonium dapat bersifat asam disebabkan oleh adanya reaksi yang menghasilkan ion H3O+. + Penambahan ion H3O ini menyebabkan pH media menjadi rendah, karena H3O+ (ion hidronium) merupakan asam terkuat yang dapat berada dalam air (Keenan dkk, 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama fermentasi media dengan variasi kadar urea memberikan hasil yang berbeda tidak nyata terhadap nilai pH. Hal itu menunjukkan bahwa nilai pH cenderung stabil dan tidak mengalami perubahan seiring bertambahnya lama fermentasi. Kombinasi kedua jenis perlakuan, yaitu kadar urea dan lama fermentasi media dengan variasi kadar urea memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap nilai pH.
14 12
urea 0%
10
urea 0,2% urea 0,4%
8 6 0
1
2
3
waktu fermentasi (hari)
Gambar 1. Kadar gula reduksi selama fermentasi etanol sari semu buah jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea.
Gambar 1 menunjukkan bahwa konsumsi gula reduksi tertinggi secara harian terjadi pada hari ke-1, dan pada hari ke-2 konsumsi gula reduksi lebih rendah dibandingkan hari ke-1. Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 terjadi kenaikan kadar gula reduksi. Kenaikan kadar gula reduksi tersebut kemungkinan disebabkan karena penurunan konsumsi gula reduksi dan terjadi fermentasi sukrosa. Dalam fermentasi ini selain mengkonsumsi gula reduksi, Z. mobilis juga melakukan fermentasi sukrosa yang ditambahkan ke dalam media. Menurut Gunasekaran dan Raj (2002) fermentasi sukrosa oleh Z. mobilis akan menghasilkan fruktosa, 97
Jumlah mikroorganisme Jumlah inokulum yang digunakan dalam fermentasi sari buah semu jambu mete adalah 2x108 sel/mL, sehingga jumlah mikroorganisme pada awal fermentasi adalah 2x106 se/mL. Menurut Rahman (1992) tujuan pembuatan inokulum untuk fermentasi menggunakan bakteri adalah menyediakan inokulum yang berada dalam keadaan aktif, sehingga dapat mempersingkat fase adaptasi pada waktu fermentasi. Kadar urea masing-masing variasi memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap jumlah sel Z. mobilis. Jumlah sel Z. mobilis tertinggi diperoleh pada kadar urea 0,2%. Hal itu ditunjukkan jumlah sel Z. mobilis pada kadar urea 0,2% berbeda nyata dengan kadar urea lainnya. Kadar urea yang tinggi dapat meracuni Z. mobilis. Jumlah sel Z. mobilis tertinggi dihasilkan dari kadar urea 0,2%. Menurut Torres dan Barrati (1988) sumber nitrogen terbaik untuk Z. mobilis adalah ekstrak khamir, ammonium sulfat atau campuran ekstrak khamir dan ammonium sulfat. Tabel 3. Jumlah Z. mobilis selama fermentasi etanol sari buah semu jambu mete. Fermentasi Urea 0% Urea 0,2% Urea0,4% Rata-rata sampai hari (x (x (x (x ke 107sel/mL) 107sel/mL) 107sel/mL) 107sel/mL) 1 3,0 7,1 2,5 4,2C 2 24,0 30,1 20,7 25,0D 3 48,0 51,0 44,0 48,0E Rata-rata 25,0a 29,0b 22,0a (x107sel/mL) Keterangan: a-b: angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata untuk faktor kadar urea (α= 0,05); C: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata untuk faktor lama fermentasi (α= 0,05).
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah sel Z. mobilis pada kadar urea 0% tidak berbeda nyata dengan kadar urea 0,4% namun berbeda nyata dengan kadar urea 0,2%, yaitu lebih rendah. Hal itu disebabkan sumber nitrogen pada kadar urea 0% rendah, padahal nitrogen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksi metabolit. 98
Kadar urea 0,4% jumlah sel Z. mobilis yang rendah disebabkan adanya kadar urea yang terlalu tinggi. Kadar urea yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan sel Z. mobilis. Menurut Bartley et al (1976) jika urea dikonsumsi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat akan membentuk NH3-N yang bersifat racun dan dapat menghambat pertumbuhan suatu organisme. Hasil ini berbeda dengan penelitian oleh Hermawan dkk (2000), bahwa penambahan urea sampai 0,8 g/L mampu meningkatkan produksi sel S. cereviseae. Jumlah sel Z. mobilis meningkat seiring bertambahnya lama fermentasi. Hal itu ditunjukkan lama fermentasi media dengan variasi kadar urea berbeda nyata terhadap jumlah sel Z. mobilis. Jumlah sel Z. mobilis tertinggi diperoleh pada media dengan lama fermentasi 3 hari. Kombinasi kedua jenis perlakuan, yaitu kadar urea dan lama fermentasi media dengan variasi kadar urea juga memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap jumlah mikroorganisme. jum lah m ikroorganism e (x log sel/m l)
glukosa dan levan. Hal itu menyebabkan penambahan kadar gula reduksi ke dalam media fermentasi. Menurut Kim et al (2000) Z. mobilis cenderung akan mengkonsumsi monosakarida terlebih dahulu ketika tumbuh dalam media campuran antara monosakarida dan disakarida.
9 8
urea 0%
7
urea 0,2% urea 0,4%
6 5 0
1
2
3
waktu fermentasi (hari)
Gambar 2. Jumlah Z. mobilis selama fermentasi etanol sari buah semu jambu mete
Gambar 2 menunjukkan peningkatan jumlah sel Z. mobilis tertinggi secara harian terjadi dari hari ke-0 sampai hari ke-1. Pada kadar urea 0,2% peningkatan jumlah sel dari hari ke-1 sampai hari ke-2 lebih rendah dibandingkan kadar urea 0% dan 0,4%. Hal itu disebabkan karena adanya pengurangan nutrien dalam media fermentasi pada kadar urea 0,2% lebih tinggi dibandingkan kadar urea 0% dan 0,4%. Kadar etanol Kadar urea masing-masing variasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap kadar etanol. Kadar etanol tertinggi diperoleh pada kadar urea 0,2%. Kadar etanol pada kadar urea 0,2% berbeda nyata dengan kadar urea 0% dan 0,4%. Lama fermentasi media dengan variasi kadar urea memberikan hasil yang berbeda
nyata. Kombinasi kedua jenis perlakuan, yaitu kadar urea dan lama fermentasi media dengan variasi kadar urea juga memberikan hasil yang berbeda nyata. Tabel 4. Kadar etanol (g/L) hasil fermentasi sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea. Fermentasi Urea Urea RataUrea 0% sampai hari ke 0,2% 0,4% rata 1 23,98 30,68 22,60 25,72C 2 30,59 40,51 25,63 32,25D 3 25,91 39,67 30,59 31,23D Rata-rata 26,83a 36,10b 26,27a Keterangan: a-b: angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata untuk faktor kadar urea (α= 0,05); C: angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata untuk faktor lama fermentasi (α= 0,05).
kadar etanol (g/l)
Faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar etanol selama proses fermentasi, adalah ketersediaan substrat yaitu gula reduksi dan jumlah mikroorganisme Z. mobilis (Presscott dan Dunn, 1959). Pada penelitian ini besarnya substrat untuk masing-masing perlakuan sama yaitu sebesar 17 g/100 mL, yang berasal dari 6 g/100 mL kadar gula reduksi dan 11 g/100 mL penambahan gula pasir. Jumlah sel Z. mobilis tertinggi diperoleh pada kadar urea 0,2%. Konsumsi gula reduksi tertinggi juga terjadi pada kadar urea 0,2%. Hal itu menyebabkan produksi etanol tertinggi dihasilkan pada kadar urea 0,2% (Tabel 4). 50 40 urea 0% urea 0,2%
30 20
urea 0,4%
10 0 0
1
2
3
waktu fermentasi (hari)
Gambar 3. Kadar etanol selama fermentasi etanol sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea.
Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar etanol dari kadar urea 0% dan 0,2% mengalami peningkatan sampai fermentasi hari ke-2. Sedangkan untuk kadar urea 0,4% mengalami peningkatan sampai hari ke-3. Secara kumulatif kadar etanol telah mencapai maksimum pada fermentasi hari ke-2. Hal itu ditunjukkan dengan
kadar etanol pada hari ke-2 berbeda tidak nyata dengan fermentasi hari ke-3 (Lampiran 7). Produksi etanol pada hari ke-3 untuk masingmasing kadar urea tidak berbeda nyata dengan produksi etanol pada hari ke-2 (Tabel 6), hal itu kemungkinan karena pada hari ke-3 Z. mobilis lebih banyak melakukan fermentasi sukrosa. Menurut Wijono (1988), fermentasi sukrosa oleh Z. mobilis menghasilkan produksi etanol yang rendah. Hal itu karena fermentasi sukrosa atau campuran glukosa-fruktosa akan mengakibatkan pembentukan produk samping seperti levan. Laju pembentukan etanol didapatkan dari hasil fermentasi per waktu fermentasi (Crueger dan Crueger, 1984). Laju pembentukan etanol tertinggi secara harian untuk masing- masing kadar urea 0%; 0,2%; 0,4% dari hari ke-0 sampai hari ke-1 berturut-turut yaitu 0,99 g/ jam; 1,28 g/jam dan 0,94 g/jam. Hal itu karena selama waktu tersebut konsumsi gula reduksi tinggi, sehingga laju pembentukan etanol menjadi tinggi. Dari hari ke-2 sampai hari ke-3 terjadi penurunan konsumsi gula reduksi dan pembentukan produk samping, sehingga laju pembentukan etanol antara hari ke-2 dan hari ke3 lebih rendah dibandingkan dengan laju pembentukan etanol antara hari ke-0 dan hari ke1. Laju pembentukan etanol selama waktu tersebut untuk masing-masing kadar urea 0%; 0,2%; 0,4% berturut-turut yaitu sebesar 0,36 g/jam; 0,55 g/jam; 0,42 g/jam. Hal itu sesuai dengan pernyataan Doelle (1990), bahwa waktu fermentasi etanol untuk Z. mobilis adalah 24-34 jam. Kadar etanol pada kadar urea 0% dan 0,4% di hari ke-3 turun. Menurut Hart dan Suminar (1983) hal itu disebabkan oleh adanya oksidasi alkohol menjadi aldehid atau keton. Pada oksidasi ini, nikotamida adenin dinukleotida (NAD) merupakan merupakan oksidator penting. Dengan bantuan NAD, enzim mengoksidasi alkohol menjadi senyawa-senyawa karbonil, dan NAD tereduksi menjadi NADH. Etanol dapat dioksidasi menjadi asetaldehid. Pada penelitian ini pada hari ke-1, etanol yang dihasilkan sebesar 30,68 g/L pada kadar urea 0,2%. Penelitian oleh Jesus dan Nghiem (2000), menggunakan rekombinan Z. mobilis mampu menghasilkan 48 g/L etanol dari fermentasi jerami yang dihidrolisis dengan arkenol. Menurut Najafpour dan Lim (2002), Z. mobilis mampu menghasilkan 49 g/L etanol saat tumbuh dalam 100 g/L glukosa. Fermentasi etanol sari buah semu jambu mete telah memberikan produksi etanol yang cukup, karena 99
sari buah jambu mete merupakan bahan dasar etanol yang murah. Penambahan urea menyebabkan nilai pH lebih rendah, tetapi hal ini tidak menghambat proses fermentasi. Produksi etanol tertinggi terjadi pada kadar urea 0,2%. Z. mobilis merupakan mikroorganisme yang mampu hidup pada kisaran nilai pH 3,7-7,5. Penelitian oleh Ishizaki et al (1994), menunjukkan bahwa penggunaan nilai pH minimum dan maksimum pada fermentasi Z. mobilis tidak mempengaruhi produksi etanol. Menurut Worden et al (1983) pada Z. mobilis produksi etanol maksimum pada nilai pH 5,2-7,5. Menurut Torres dan Barrati (1988) produksi etanol oleh Z. mobilis akan berhenti pada nilai pH 3. Pada penelitian ini penambahan urea 0,2% mampu meningkatkan produksi etanol sebesar 30,68 g/L selama 1 hari fermentasi. Penelitian Torres dan Barrati (1988) menunjukkan fermentasi etanol oleh Z. mobilis menggunakan ammonium sulfat memberikan hasil etanol 34,7 g/L; fermentasi etanol oleh Z. mobilis menggunakan yeast ekstrak memberikan hasil etanol sebesar 28,0 g/L. KESIMPULAN Pada fermentasi etanol dari sari buah semu jambu mete oleh Z. mobilis dengan penambahan urea, kadar urea 0,2% menghasilkan etanol tertinggi yaitu sebesar 40,51 g/L, dibandingkan kadar urea 0% dan 0,4% masing-masing sebesar 30,59 g/L dan 25,63 g/L selama 2 hari fermentasi. DAFTAR PUSTAKA Bartley, E.E., A.D. Davidovich, G.W. Barr, G.W. Griffell, A.D. Dayton, C.W. Deyoe, and R.M. Bechtle. 1976. Ammonia toxicity in cattle. I. rumen and blood changes associated with toxicity and treatment methods. Journal of Animal Science 43: 835-841. Crueger, W. and A. Crueger. 1984. Biotechnology: A Text Book of Industrial Microbiology. Madison: Science Technology Inc. Departemen Pertanian Republik Indonesia. 1979. Pedoman Teknologi Pengolahan Mete.. Jakarta: Departemen Pertanian Republik Indonesia. Doelle, H.W. 1990. Zymomonas Ethanol Process-Laboratory To Commercial Evaluation. Fermentation Technologies Industrial Aplication. New York: Elsevier Applied Science.
100
Gunasekaran, P. and C.K. Raj. 2002. Ethanol Fermentation Technology-Zymomonas mobilis. Madurai: Madurai Kamaraj University. Hart, A. dan A. Suminar, 1983. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hermawan, D.R.W.A., T. Utami, dan M.N. Cahyanto. 2000. Fermentasi etanol dari buah semu jambu mete (Anacardium occidentale L.) oleh Saccharomyces cereviseae FNCC 3015 menggunakan ammonium sulfat dan urea sebagai sumber nitrogen. Agritech. 20 (2): 93-98. Hobley, T.J. and N.B. Pamment. 1994. Differences in response of Zymomonas mobilis and Saccharomyces cereviseae to change in extracellular ethanol concentration. Biotechnology and Bioenginnering 43 (2): 155-158. Ishizaki, A., S. Tripecthkul, M. Tonokawa, S. Zhong-Ping, and S. Kayuzuki. 1994. pH mediated control methods for continuous ethanol fermentation using Zymomonas mobilis. Journal of Fermentation Bioengineering 77: 541-547 Jesus, D.D. and N.P. Nghiem, 2000. Ethanol Production From Rice_Straw Hydrolyzate Using Zymomonas mobilis in a Continuous Fluidized_Bed Reaction (FBR). www.scied.science.doe.gov/scied/Abstracts2000/ORNL chem.htm [19 Oktober 2005] Keenan, C. W., D. C. Kleinfelter, dan J. H. Wood. 1990. Kimia Untuk Universitas. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kihn, L.V., V.V. Do, and D.D. Phuong. 1996. Chemical Composition of Cashew Apple and Cashew Apple Waste Ensiled with Poultry Litter. www.cipav.org.co/Irrd/I/Kihn91.htm. [1 Mei 2004] Kim, I.S., K.D. Barrow, and P.L. Rogers. 2000. Kinetic and Nuclear Magnetic Resonance Studies of Xylose Metabolism by Recombinant Zymomonas mobilis zm4(pZB5). Applied and Environmental Microbiology 66 (1): 186-193. Morton, J. 1987. Cashew Apple (Anacardium occidentale). www.hort.purdue.edu/newcrop/morton/cashew_apple. html [2 Mei 2004] Mulyoharjo, M. 1990. Jambu Mete dan Teknologi Pengolahannya. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Najafpour, G.D. and J. K. Lim. 2002. Evaluation and Isolation of Ethanol Producer strain SMP-6, Regional Symposium on Chemical Engineering. www.andrew.cmu.edu/user/ jitkangl/fermentation_20of_20Ethanol/Fermentation_20o f_20Ethanol.htm [19 Oktober 2005] Nowak, J. 2000. Ethanol Yield and Productivity of Zymomonas mobilis in Various Fermentation Methods. www.ejpau.media.pl/series/volume3/issue2/food/art04.html [2 Juni 2004]. Presscott, M.C. and C.G. Dunn. 1959. Industrial Microbiology. London: McGrawHill Book. Rahman, A. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Jakarta: PAU Pangan dan Gizi IPB. Torres, E.F. and J. Barrati, 1988. Ethanol Production From Wheat Flour by Zymomonas mobilis. Journal of Fermentation Technology 66 (2): 167-172. Wijono, D. 1988. Evaluasi Kinetika Proses Fermentasi Etanol oleh Zymomonas mobilis ZM 4 *. Fak TP UGM dalam Bioproses dalam Industri Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM. Worden, R.M., T.L. Donaldson, S.E. Shumate, and G.W. Strandberg. 1983. Kinetic Study of Ethanol Production by Zymomonas mobilis. www.osti.gov/energycitations/ product.biblio.isp?osti_id=5380194 [28 Oktober 2005].
FERMENTASI ETANOL DARI LIMBAH PADAT TAPIOKA (ONGGOK) OLEH Aspergillus niger DAN Zymomonas mobilis Ethanol fermentation from solid waste of tapioca (onggok) by Aspergillus niger and Zymomonas mobilis SITI JUARIAH, ARI SUSILOWATI♥, RATNA SETYANINGSIH Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
ABSTRACT3 The aims of this research were to know the best concentration of onggok flour to produce maximum reduction sugar concentration by Aspergillus niger and efficiency of ethanol production from reduction sugar as the product of onggok flour saccharification by Zymomonas mobilis, and the ethanol concentration which produced. The framework of this research was cassava starch in onggok can be used as substance which yielded ethanol by fermentation. The ethanol yielded serves as an alternative substitution fuel for fossil fuel. This research was done in two stages; they were saccharification by A. niger and ethanol fermentation by Z. mobilis. At saccharification stage there were four level of onggok flour concentration: 10%, 20%, 30% and 40%. The inoculum concentration of A. niger 10% (v/v) and the amount of spore about 3.3x106 spore/mL, was inoculated each concentration of onggok flour, with the temperature of incubation 500C and this process taken five days. Parameters have been used were starch concentration before and after saccharification process, reduction sugar concentration, and pH conducted by each, every 24 hours. Stage of ethanol fermentation used concentration of Z. mobilis 10% (v/v), with the cell amount 5.1x107 cell/mL. Reduction sugar concentration from saccharification product that used 1.9352% and fermentation was done in 72 hours. Parameters were concentration of ethanol and reduction sugar each, every 24 hours and the growth of Z. mobilis cell every 24 hours. This research concluded that concentration of onggok flour 10% produced maximum reduction sugar concentration on the third day that was 1.1842%. Ethanol
Naskah asli sebelumnya pernah diterbitkan pada Bioteknologi Vol. 1, No. 1, Mei 2004, hal. 7-12; diterbitkan dengan seijin penerbit. ♥ Penulis pada presentasi makalah poster 3
concentration yielded was 0.7% (v/v) and efficiency of ethanol that was produced from reduction sugar from saccharification of onggok flour was 83% during 72 hours fermentation. Keywords: onggok flour, saccharification, Aspergillus niger, ethanol fermentation, Zymomonas mobilis.
PENDAHULUAN Etanol yang dapat digunakan sebagai bahan bakar yaitu etanol 10%. Campuran etanol-bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor dengan perbandingan 10% etanol: 90% bensin disebut gasohol. Konsentrasi etanol untuk bahan bakar dapat ditingkatkan sampai dengan 85% (E85) (Wang, 2002). Etanol sebagai bahan bakar kendaraan mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: (i) etanol diproduksi dari sumber daya yang dapat diperbaharui, terutama dari produk pertanian atau dari sampah pertanian, (ii) pembakaran etanol lebih bersih daripada bahan bakar fosil, (iii) etanol dapat mengurangi efek rumah kaca (Wang, 2002). Etanol dapat dihasilkan secara fermentatif oleh mikroba dari bahan-bahan organik maupun secara sintetik dari bahan-bahan anorganik. Menurut Tjokroadikoesoemo (1993), dengan menggunakan enzim-enzim hidrolase, maka bahan pati, serat, sukrosa dan oligosakarida lainnya dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang siap difermentasikan. Fungi A. niger menghasilkan enzim α-amilase dan enzim glukoamilase yang mampu memecah pati menjadi glukosa (Crueger and Crueger, 1984). Kandungan karbohidrat ubi kayu di dalam onggok masih cukup tinggi, yaitu mencapai 101
67,93-68,30%, sementara kadar airnya 19,7020,3% (BPPI, 1997). Dengan tingginya kandungan karbohidrat maka onggok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk memproduksi alkohol. Bakteri Zymomonas mobilis mempunyai banyak keunggulan, antara lain tumbuh lebih cepat daripada yeast dan toleran pada konsentrasi etanol tinggi sampai 10%. Zymomonas mobilis dapat memfermentasikan substrat glukosa, fruktosa atau sukrosa (Wijono, 1988). Gula-gula tersebut terfermentasi melalui jalur yang sama yaitu “Etner-Doudoroff pathway” (Doelle, 1990). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui konsentrasi tepung onggok yang terbaik untuk memproduksi gula reduksi yang maksimum oleh A. niger dan (2) mengetahui konsentrasi etanol dan efisiensi pengubahan gula reduksi hasil sakarifikasi maksimum tepung onggok menjadi etanol oleh Z. mobilis. BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi, Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM dan di Sub Laboratorium Biologi, Laboratorium Pusat UNS. Waktu penelitian mulai bulan Januari sampai bulan Mei 2003. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (i) Isolat A. niger, isolat Z. mobilis yang diperoleh dari Laboratorium Pangan dan Gizi, PAU UGM, (ii) Onggok yang diperoleh dari industri tapioka PT. Tainesia Jaya yang terletak di Sonoharjo, Wonogiri, dan (iii) Medium Potato Dextrosa Agar (PDA), medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY) dan medium glukosa. Cara kerja Persiapan alat dan bahan. Alat dan medium yang digunakan disterilisasikan dengan autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Penyiapan inokulum A. niger Isolat A. niger terlebih dahulu ditumbuhkan pada medium PDA miring selama 3-5 hari pada suhu 35-370C. Setelah terbentuk massa spora, spora diambil dengan cara mensuspensikan dengan menambahkan 5 mL aquades steril, 102
kemudian spora diambil dengan jumlah spora sekitar 3,3x106 spora/mL untuk diinokulasikan ke dalam medium PGY. Suspensi spora tersebut diinkubasi pada suhu kamar dengan kecepatan penggoyangan 200 rpm selama 48 jam sampai terbentuk pelet dengan menggunakan rotary shaker. Setelah pelet terbentuk maka pelet dimasukkan ke dalam substrat bubur onggok sebagai inokulum. Penyediaan inokulum Z. mobilis Isolat Z. mobilis sebanyak 1 ose diinokulasikan ke dalam medium glukosa 10 mL, lalu digoyang dengan kecepatan penggoyangan 100 rpm selama 24 jam pada suhu kamar. Suspensi sel kemudian dimasukkan ke dalam medium glukosa 90 mL, lalu digoyang lagi dengan kecepatan yang sama. Setelah 4 jam, suspensi sel sebanyak 10% (v/v) dengan jumlah sel sekitar 5,1x107 sel/mL dimasukkan ke dalam medium gula reduksi hasil sakarifikasi tepung onggok sebagai inokulum. Pembuatan tepung onggok Tepung onggok dibuat dengan cara, onggok basah dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2-3 hari kemudian digiling. Setelah itu diayak dan tepung onggok siap untuk digunakan. Proses sakarifikasi tepung onggok menjadi gula reduksi Medium yang digunakan adalah tepung onggok yang telah dibuat bubur, dengan 4 konsentrasi tepung onggok, yaitu: konsentrasi tepung onggok 10% (b/v), 20% (b/v), 30% (b/v) dan 40% (b/v). Pembuatan bubur onggok dengan mencampur tiap konsentrasi tepung onggok dalam aquades volume 150 mL lalu diaduk sampai homogen. Kemudian larutan onggok dipanaskan sambil diaduk sampai semua onggok tercampur. Setelah dingin bubur onggok ditambah HCL sebanyak 1 tetes. Substrat bubur onggok disterilkan pada suhu 1210C selama 15 menit. Setelah dingin, pelet A. niger 10%(v/v) dengan jumlah spora sekitar 3,3x106 spora/mL diinokulasikan ke dalam medium kemudian diinkubasi pada water bath shaker dengan kecepatan penggoyangan 150 rpm, suhu 500C selama 5 hari. Pengambilan sampel tiap 24 jam selama 5 hari dengan 2 kali ulangan untuk analisis konsentrasi gula reduksi dan pH. Konsentrasi pati substrat bubur onggok diukur
sebelum pelet A. niger dimasukkan dan setelah proses sakarifikasi selama 5 hari selesai. Produksi gula reduksi Produksi gula reduksi dilakukan setelah mengetahui substrat bubur onggok yang menghasilkan gula reduksi maksimum selama proses sakarifikasi. Dengan konsentrasi substrat, jumlah inokulum spora A. niger dan kondisi lingkungan yang sama perlakuan diulangi sekali lagi. Volume substrat bubur onggok yang digunakan untuk produksi gula reduksi ditambah sampai dengan 300 mL. Proses fermentasi etanol Volume medium gula reduksi untuk fermentasi adalah 400 mL. Inokulum Z. mobilis 10% (v/v) dengan jumlah sel 5,1x107 sel/mL, ditambahkan pada medium gula reduksi hasil sakarifikasi lalu diinkubasi pada suhu kamar selama 72 jam. Pengambilan sampel tiap 24 jam untuk analisis konsentrasi gula reduksi, konsentrasi etanol dan jumlah sel. Penghitungan laju pembentukan etanol selama proses fermentasi etanol oleh Z. mobilis adalah dengan rumus (Crueger and Crueger, 1984): Produk (etanol) Laju pembentukan etanol = ---------------------------Waktu (jam)
Untuk mengetahui efisiensi pembentukan etanol selama proses fermentasi etanol oleh Z. mobilis adalah dengan rumus (Kumalaningsih dan Hidayat, 1995): Banyaknya hasil alkohol Efisiensi fermentasi = ----------------------------------- x 100% alkohol yang dihasilkan secara teoritis dari glukosa
Pengukuran parameter Analisis konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan selama proses sakarifikasi. Analisis konsentrasi gula reduksi dengan metode NelsonSomogyi. Konsentrasi gula reduksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Analisis konsentrasi pati sebelum dan sesudah proses sakarifikasi. Analisis konsentrasi pati dengan metode NelsonSomogyi. Konsentrasi pati diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm.
Analisis konsentrasi etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Analisis konsentrasi etanol dengan metode destilasi. Analisis pH. pH diukur dengan menggunakan pH meter. Jumlah sel Z. mobilis selama proses fermentasi. Pertumbuhan sel Z. mobilis diukur dengan metode turbidimetri, dan diukur dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 400 nm. Analisis data Data dianalisis berdasarkan grafik yang diperoleh dari setiap pengukuran parameter dan tiap grafik yang diperoleh untuk melihat hasil yang terbaik dari proses sakarifikasi dan proses fermentasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Sakarifikasi tepung onggok Konsentrasi pati tepung onggok sebelum dan sesudah sakarifikasi Penurunan konsentrasi pati sesudah proses sakarifikasi berlangsung dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Konsentrasi pati tepung onggok (g/100mL) sebelum dan sesudah proses sakarifikasi oleh A. niger selama 5 hari. Waktu sakarifikasi (hari ke-) 0 5
Konsentrasi tepung onggok (%) 10
20
30
40
3,52 0,565
4,97 0,962
6,48 2,579
12,25 4,518
Tabel 1 menunjukkan konsentrasi pati tepung onggok mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa pati terpecah menjadi gula reduksi oleh aktivitas enzim α-amilase dan glukoamilase dari A. niger. Angka penurunan konsentrasi pati yang paling tinggi adalah 7,732 g/100mL pada konsentrasi substrat 40%. Diikuti konsentrasi substrat 20% sebanyak 4,019 g/100mL, konsentrasi substrat 30% sebanyak 3,901 g/100mL dan konsentrasi substrat 10% sebanyak 2,955 g/100mL. Banyaknya pati yang terpecah pada konsentrasi substrat 40% tidak menjadi dasar untuk produksi gula reduksi, karena pada konsentrasi substrat 40% gula reduksi yang dihasilkan lebih sedikit daripada gula reduksi 103
yang dihasilkan pada substrat 10%. Hal ini disebabkan pada konsentrai substrat 40%, substrat menjadi padat dan keras, sehingga pelet A. niger tidak bercampur dengan substrat dan hanya tumbuh dipermukaan substrat. Gula reduksi yang dihasilkan dari pemecahan pati digunakan oleh A. niger untuk tumbuh secara generatif dipermukaan substrat dan ada yang diubah menjadi asam sitrat. Sedangkan pada konsentrasi substrat 10%, substrat lebih cair sehingga pelet A. niger dapat bercampur dengan substrat dan tidak tumbuh dipermukaan. Didalam substrat, A. niger tumbuh secara vegetatif dan lebih banyak menghasilkan enzim α-amilase dan glukoamilase. Konsentrasi gula reduksi selama sakarifikasi tepung onggok Hasil pengukuran konsentrasi gula reduksi dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi gula reduksi (g/100mL) hasil proses sakarifikasi oleh A. niger selama 5 hari. Waktu (hari) 0 1 2 3 4 5
Konsentrasi tepung onggok (%) 10 20 30 40 0,0202 0,0500 0,0501 0,0579 0,6255 0,5695 0,5251 0,6647 0,7196 0,7229 0,7157 0,6886 1,1842 0,9518 0,9381 0,6401 0,9095 0,9317 0,6929 0,6464 0,5534 0,6781 0,4478 0,3358
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi substrat 10%, 20% dan 30% rata-rata mengalami peningkatan konsentrasi gula reduksi sampai hari ke-3 lalu mengalami penurunan sampai hari ke-5. Sedangkan konsentrasi substrat 40% mengalami peningkatan konsentrasi gula reduksi sampai hari ke-2, lalu mengalami penurunan sampai hari ke-5. Dari konsentrasi gula reduksi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat tepung onggok, maka konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan juga semakin rendah. Hal ini disebabkan pada konsentrasi pati lebih tinggi, substrat menjadi padat dan keras sehingga pelet A. niger tidak bercampur dengan substrat dan tumbuh dipermukaan substrat secara generatif menghasilkan spora. Sedangkan pada konsentrasi pati rendah, substrat dapat lebih mengembang pada waktu pemanasan dan kadar airnya juga masih banyak sehingga A. niger dapat bercampur dengan substrat. Enzim αamilase dan glukoamilase yang dihasilkan A. 104
niger dapat bekerja lebih maksimum pada konsentrasi pati rendah. Menurut Berka (1992), enzim glukoamilase dari Aspergillus sp. digunakan untuk sakarifikasi pada substrat pati cair. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan pada penelitian ini sedikit yaitu hanya sebesar 1,1842 g/100 mL. Hal ini disebabkan pH dan suhu yang digunakan merupakan pH dan suhu optimum untuk aktivitas enzim tetapi bukan pH dan suhu optimum untuk pertumbuhan A. niger. Pada suhu 500C, A. niger tidak dapat tumbuh optimum sehingga tidak dapat menghasilkan banyak enzim. Apabila pada suhu optimum pertumbuhan maka A. niger dapat tumbuh membentuk hifa lalu menghasilkan banyak enzim α-amilase dan glukoamilase yang digunakan untuk memecah pati menjadi gula reduksi. Proses pemanasan dan penambahan asam (HCl) pada substrat sangat berguna untuk A. niger. Proses pemanasan dan penambahan asam akan menghasilkan glukosa yang dapat digunakan oleh A. niger untuk tumbuh dan berkembang dulu. Menurut Reed (1975), ketika mengembang pasta campuran pati air sangat peka pada pengaruh bahan kimia, tekanan mekanik dan aktivitas enzim. Sebagian molekul rantai lurus dan pendek amilosa akan pecah dan berdifusi keluar dari granula pati yang mengembang. Perubahan pH selama sakarifikasi tepung onggok Aktivitas optimum enzim glukoamilase terjadi pada pH 4-5 (Reed,1975). Tabel 3 menunjukkan bahwa semua substrat mengalami penurunan pH mulai hari ke-1 sampai hari ke-5. Penurunan pH disebabkan adanya pemecahan pati menjadi gula reduksi. Proses sakarifikasi oleh enzim α-amilase dan glukoamilase pada substrat pati cair menyebabkan pH substrat akan turun menjadi lebih asam daripada pH optimum enzim ini (Priest, 1992). Hal ini disebabkan A. niger selama proses sakarifikasi berlangsung selain menghasilkan glukosa juga menghasilkan asam amino organik lain terutama asam sitrat (Rogers et al, 1993). Tabel 3. Perubahan pH selama proses sakarifikasi oleh A. niger selama 5 hari. Waktu (hari)
Konsentrasi tepung onggok (%) 10 20 30 40
0 1 2 3 4 5
5,06 4,96 4,56 4,48 3,93 3,62
4,90 4,78 4,28 4,25 4,19 3,79
5,10 4,71 4,25 4,14 3,99 3,85
5,00 4,50 4,31 4,09 3,90 3,88
Penurunan pH selama proses sakarifikasi berlangsung, berpengaruh pada proses pemecahan pati menjadi gula reduksi selanjutnya. Apabila pH substrat di bawah pH optimum maka enzim α-amilase dan glukoamilase dari A. niger tidak dapat bekerja dengan maksimum. Menurut Reed (1975), aktivitas α-amilase pada tepung gandum turun dengan cepat apabila pH di bawah 4,0 dan aktivitas lebih rendah di atas 5,0. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa selama pH masih diatas 4, aktivitas pemecahan pati menjadi gula reduksi masih berlangsung dan konsentrasi gula reduksi masih terus meningkat (gambar 2 dan gambar 3). Waktu pH dibawah 4 konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan juga menurun. Produksi gula reduksi Konsentrasi tepung onggok yang telah diketahui menghasilkan konsentrasi gula reduksi maksimum digunakan untuk produksi gula reduksi. Dari proses sakarifikasi, yang paling maksimum menghasilkan gula reduksi adalah konsentrasi substrat tepung onggok 10% pada hari ke-3. Dengan konsentrasi substrat, jumlah spora A. niger sebagai inokulum dan kondisi lingkungan yang sama, substrat 10% diperlakukan sekali lagi untuk memproduksi gula reduksi. Pemanenan gula reduksi dilakukan pada hari ke-3, dengan disentrifus untuk mengendapkan substrat tepung onggok yang masih ada dan dilakukan penyaringan. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan dari proses produksi gula reduksi yaitu 1,9352 g/100mL sebanyak 400 mL. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan sedikit lebih tinggi karena volume untuk produksi gula reduksi diperbanyak sampai 300 mL. Waktu pemanenan gula reduksi, tidak dilakukan pengenceran dengan aquades steril, sehingga konsentrasi gula reduksinya dapat lebih tinggi.
Tabel 4. Jumlah sel bakteri Z. mobilis dan konsentrasi etanol (%) selama 72 jam fermentasi etanol. Jam 0 24 48 72
Jumlah sel/mL 5,1x107 7,2x107 1,5x107 4,7x106
Log jumlah sel 7,7075702 7,8573325 7,1760913 6,6720979
Konsentrasi etanol (%) 0,0 0,3 0,5 0,7
Dari Tabel 4 terlihat jumlah sel bakteri mengalami peningkatan pada jam ke-24 dan mengalami penurunan pada jam ke-48 dan ke-72 jumlah sel. Jumlah sel Z. mobilis pada jam ke-24 mengalami peningkatan disebabkan tersedianya gula reduksi sebagai substrat yang masih cukup banyak yaitu 1,9253 g/100mL. Sedangkan penurunan jumlah sel pada jam ke-48 dan ke-72 disebabkan substrat gula reduksi yang ada tinggal sedikit, sehingga gula reduksi yang ada tidak cukup untuk pertumbuhan sel Z. mobilis. Peningkatan jumlah sel pada jam ke-24, diikuti dengan peningkatan konsentrasi etanol. Hal ini menunjukkan bahwa gula reduksi yang ada dimanfaatkan oleh Z. mobilis untuk tumbuh dan menghasilkan etanol. Peningkatan jumlah sel dan konsentrasi etanol efektif pada 24 jam pertama. Etanol merupakan hasil samping pemecahan glukosa oleh Z. mobilis sehingga pada waktu jumlah sel meningkat maka etanol yang dihasilkan juga meningkat. Pada jalur ED, terbentuk suatu unit antara yaitu 2 keto-3 deoksi6 fosfoglukonat (KDFG). Komponen ini akan dipecah oleh aldolase menjadi gliseraldehid-3P dan piruvat (Fardiaz, 1988). Pada keadaan anaerob gliseraldehid-3P akan diubah menjadi piruvat, sehingga pada jalur ED akan dihasilkan 2 mol piruvat dan 1 mol ATP. 2 mol piruvat yang dihasilkan akan diubah menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2 (Lee and Huang, 2000). Sedangkan pada jam ke-48 dan ke-72, jumlah sel Z. mobilis mengalami penurunan. Penurunan jumlah sel menyebabkan laju pembentukan etanol juga melambat (0,2/24 jam). Karena menurut Mc Lellan (1999), produksi etanol mengalami penurunan ketika biomassa sel mulai turun.
Fermentasi etanol oleh Z. mobilis
Konsentrasi gula reduksi dan etanol selama fermentasi oleh Z. mobilis
Pertumbuhan sel Z. mobilis selama fermentasi Penghitungan jumlah sel bakteri untuk mengetahui pertumbuhan bakteri selama proses fermentasi berlangsung.
Tabel 5. Konsentrasi gula reduksi (g/100mL) dan etanol (%) selama 72 jam fermentasi etanol oleh Z. mobilis
105
Jam 0 24 48 72
Kons. gula reduksi (g/100mL) 1,9253 0,4043 0,3834 0,2813
Kons. etanol (%) 0,0 0,3 0,5 0,7
Laju pembentukan etanol / 24 jam 0,0 0,3 0,2 0,2
Tabel 5 menunjukkan penurunan konsentrasi gula reduksi diikuti dengan adanya kenaikan konsentrasi etanol. Konsentrasi gula reduksi pada jam ke-24 mengalami penurunan sebanyak 1,52 100 g/100mL. Sedangkan pada jam ke-48 dan ke-72 mengalami penurunan sebanyak 0,0219 g/100mL dan 0,1021 g/100mL. Hal ini menunjukkan bahwa Z. mobilis bekerja optimum pada 24 jam pertama. Laju pembentukan etanol yang paling tinggi adalah pada jam ke-24 yaitu 0,3/24 jam. Pada jam ke-48 dan ke-72, konsentrasi etanol masih mengalami peningkatan tetapi laju pembentukan etanolnya tidak setinggi pada jam ke-24. Penurunan konsentrasi gula reduksi dan kenaikan konsentrasi etanol yang paling tinggi pada 24 jam pertama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Doelle (1990), bahwa waktu fermentasi etanol untuk Zymomonas adalah 24-34 jam. Tersedianya gula reduksi sebagai substrat fermentasi yang masih banyak pada 24 jam pertama sehingga bakteri Z. mobilis dapat tumbuh dan menghasilkan etanol. Pada penelitian ini, efisiensi pembentukan etanol selama 72 jam yaitu sebesar 83%. Efisiensi pembentukan etanol oleh Z. mobilis selama 72 jam sudah bagus, karena menurut Doelle (1990), industri besar melakukan percobaan dengan menggunakan Zymomonas pada bioreaktor sampai 586.000 L, prosesnya menunjukkan perubahan efisiensi sebesar 96-98%. KESIMPULAN Pada penelitian fermentasi etanol dari limbah padat tapioka (onggok) oleh A. niger dan Z. mobilis ini menghasilkan: (i) Konsentrasi tepung onggok 10% yang terbaik untuk menghasilkan
106
gula reduksi maksimum oleh A. niger. Konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan sebesar 1,1842 g/100mL pada hari ke-3 (ii) Konsentrasi etanol yang dihasilkan selama proses fermentasi adalah 0,7% (v/v) dan efisiensi pengubahan gula reduksi hasil sakarifikasi menjadi etanol oleh Z. mobilis adalah 83% selama 72 jam fermentasi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1981. Microbial Processes: Promising Technology for Developing Countries. Washington: National Academy of Science. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Semarang. 1997. Laporan Teknologi Pengolahan Air Buangan Industri Tapioka. Semarang: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Berka, R.M., D Nigel, and W. Michael, 1992. Industrial Enzymes from Aspergillus spesies. In Bennett, J.W., and M.A. Klich, (Eds.) Aspergillus Biology and Industrial Applications. New York: Butterworth-Heinemann. Crueger, W. and A. Crueger, 1984. Organic Feedstrocks Produced by Fermentation. In Thomas, D.B (ed.) Biotechnology: A Texbook of Industrial Microbiology. Madison: Sinauer Associates Inc. Doelle, H.W. 1990. Zymomonas Ethanol Process Laboratory to Commercial Evaluation. In Yu, P.L (ed.). Fermentation Technologies Industrial Aplication. New York: Elsevier Applied Science. Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB. Kumalaningsih, S dan N. Hidayat, 1995. Mikrobiologi Hasil Pertanian. Malang: IKIP Press. Lee, W and C. Huang, 2000. Modelling of Ethanol Fermentation Using Zymomonas mobilis ATCC 10988 Grown on The Media Containing Glucose and Fructose. Biochemistry Engineering Journal 4 (3): 217-227. Mc Lellan, P.J., A.J. Daugulis, and J. Li, 1999. The Incidence of Oscillatory Behavior in The Continous Fermentations of Z. mobilis. Biotechnology Progress 15 (4): 667-680. Priest, F.G. 1992. Enzymes extracelluler. In Lederberg, J (ed.) Encyclopedia of Microbiology. San Fransisco: Academic Press Inc. Reed, G. 1975. Enzymes in Food Processing. 2nd ed. London: Academic Press Inc. Roger, S., D. Michael, and A.A. Edward, 1993. The Microbial World. New Jersey: Practice-Hall Inc. Tjokroadikoesoemo, P.S. 1993. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wang, M., C. Saricks, and M. Wu, 2002. Fuel-Cycle Fossil Energy Use and Greenhause Gas Emisions of Fuel Ethanol Produced from U.S.M Corn. www.ejpau.media.pl/series/art-04.html. Wijono, D. 1988. Evaluasi Kinetika Proses Fermentasi Etanol oleh Zymomonas mobilis ZM 4*. FTP UGM dalam Bioproses dalam Industri Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
FERMENTASI ETANOL DARI UBI JALAR (Ipomoea batatas) OLEH KULTUR CAMPURAN Rhizopus oryzae DAN Saccharomyces cerevisiae Ethanol fermentation from sweet potato (Ipomoea batatas) by mixture culture of Rhizopus oryzae and Saccharomyces cerevisiae DIAN ARYANI, TJAHJADI PURWOKO♥, RATNA SETYANINGSIH Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126
ABSTRACT4 Saccharomyces cerevisiae was known to ferment glucose into ethanol, but S. cerevisiae could not ferment starch into ethanol. This research was to study ethanol fermentation from sweet potato by mix cultures of Rhizopus oryzae and S. cerevisiae. The medium was prepared 10, 15 and 20%(b/v) sweet potato in aquadest into jam’s bottle. The media (50 mL) was inoculated with 1 mL S. cerevisiae 1x106 cfu/mL. After covered by Whatman paper No.41, the bottle added with another 50 mL medium and inoculated with 1 mL R. oryzae 1x105 cfu/mL. Concentration of reducing of sugar, starch, ethanol and biomass was measured everyday. The result showed that 10% sweet potato medium produced the highest content of ethanol that was an amount 2.647% followed by 15% sweet potato medium was 2.623% and 20% sweet potato medium was 2.163%. The optimum fermentation duration to produce the highest content of ethanol was 5 days. Keywords: ethanol fermentation, sweet potato,
mixture culture, Rhizopus oryzae, Saccharomyces cerevisiae. PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Berbagai tanaman budidaya telah dikembangkan di Indonesia. Tanaman ubi jalar merupakan
Naskah asli juga diterbitkan pada Bioteknologi Vol. 1, No. 1, Mei 2004, hal. 13-18; diterbitkan dengan seijin penerbit. ♥ Penulis pada presentasi makalah poster 4
tanaman yang mengandung karbohidrat tinggi. Pada tahun 1968 Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor 4 di dunia, karena berbagai daerah di Indonesia menanam ubi jalar (Rukmana, 1997). Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar tahun 2002, tanah pertanian di Kecamatan Matesih paling banyak ditanami ubi jalar sekabupaten Karanganyar, yaitu 207 ha lahan pertanian dan 86 ha lahan kering. Ubi jalar varietas bestak dan ciceh banyak ditanam di Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah. Jumlah ubi jalar yang melimpah tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan etanol. Menurut Schlegel dan Schmidt (1994) etanol disebut juga dengan etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH mempunyai nilai ekonomis tinggi, karena dapat digunakan sebagai bahan bakar, alat pemanas, penerangan, pelarut bahan kimia, obat-obatan, detergen, oli, dan lilin. Menurut Pelczar dan Chan (1988) masalah kekurangan energi telah meningkatkan minat terhadap penggunaan etanol sebagai campuran bahan bakar konvensional. Gasohol merupakan campuran 90% bensin tanpa timbal dengan 10% etanol dan sudah digunakan beberapa daerah di Amerika Serikat dan diproduksi dalam skala lebih besar di Brazil. Penggunaan bahan bakar campuran itu secara luas ditentukan oleh faktor ekonomis yaitu biaya produksi etanol. Untuk menjadikan gasohol sebagai bahan bakar yang ekonomis, maka harus tersedia bahan mentah yang murah dan berjumlah banyak. Etanol dapat dibuat dari glukosa yang difermentasi oleh khamir. Khamir yang penting dalam proses fermentasi etanol adalah Saccharomyces. Khamir 107
tersebut banyak digunakan untuk produksi etanol karena memenuhi kriteria, antara lain produksi etanol tinggi, toleransi terhadap kadar etanol dan substrat tinggi, dan tumbuh baik pada pH netral (Pelczar dan Chan, 1988). Khamir mempunyai kemampuan fermentasi etanol menggunakan gula-gula sederhana seperti glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan rafinosa. Pati dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk fermentasi etanol. Pati lebih dulu dihidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat difermentasi oleh khamir (Pelczar dan Chan, 1988). Enzim yang dapat menghidrolisis pati menjadi gula sederhana adalah amilase. Enzim tersebut tidak dimiliki khamir, tetapi dimiliki oleh jamur. Salah satu jamur yang mempunyai enzim amilase adalah Rhizopus. Di Indonesia, Rhizopus dikenal sebagai jamur tempe. Dalam keadaan aerob, Rhizopus banyak menghasilkan enzim amilase (Dwidjoseputro, 1990; Rahayu dan Sudarmadji, 1986). Sebagian besar fermentasi etanol dari pati dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah hidrolisis pati menjadi gula sederhana oleh jamur penghasil enzim amilase. Tahap kedua adalah fermentasi gula sederhana menjadi etanol oleh khamir. Jika enzim amilase diekstrak dari sel jamur, fermentasi etanol dari pati dapat dilakukan dalam satu tahap. Untuk mengekstrak enzim amilase memerlukan teknik dan biaya tambahan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan fermentasi etanol dari ubi jalar oleh kultur campuran dalam satu tahap. Jamur yang digunakan pada penelitian ini ditumbuhkan secara aerob, sedangkan khamir ditumbuhkan secara anaerob dalam satu fermentor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar etanol yang dihasilkan dalam proses fermentasi kultur campuran dari ubi jalar oleh Rhizopus oryzae dan Saccharomyces cereviseae. BAHAN DAN METODE Mikrobia yang digunakan pada penelitian ini adalah biakan murni Rhizopus oryzae dan Saccharomyces cerevisiae FNCC 3014 dari PAU Pangan dan Gizi UGM Yogyakarta. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: ubi jalar dari Matesih, medium PDA miring, medium PGY cair dan akuades. Penyiapan biakan. Inokulum R. oryzae diperoleh dari suspensi spora R. oryzae yang berumur (± 5 hari) pada medium PDA miring. Inokulum S. cerevisiae diperoleh dari suspensi sel 108
S. cerevisiae yang berumur (± 5 hari). S. cerevisiae pada medium PDA miring. Suspensi S. cerevisiae pada medium PGY cair. Pembuatan bubur ubi jalar. Bubur ubi jalar dibuat dengan mencampur parutan ubi jalar dan akuades sampai volume 100 mL dengan 3 variasi konsentrasi medium, yaitu 10%, 15%, dan 20%. Bubur ubi jalar disterilisasi dengan autoclave pada suhu 1210C, selama 15 menit, sebelum diinokulasikan R. oryzae dan S. cerevisiae. Fermentasi R. oryzae dan S. cerevisiae. Bubur ubi jalar steril (50 mL) dimasukkan ke dalam botol jam kemudian diinokulasi dengan 1 mL inokulum S. cerevisiae sebanyak 106 cfu/mL. Sampel ditutup dengan kertas Whatman No. 41, di atasnya dituangkan lagi bubur ubi jalar 50 mL, dan diinokulasi dengan 1 mL inokulum R. oryzae (± 105 cfu/mL), selanjutnya diinkubasi selama 6 hari pada suhu 30oC dan digoyang dengan shaker (60 rpm). Tiap hari sampel dianalisis kadar pati, gula reduksi, dan etanol. Pengukuran berat kering Berat kering R. oryzae dan S. cerevisiae diperoleh dengan cara sentrifugasi medium atas dan bawah (3000 g) selama 10 menit kemudian pelet diambil dan dikeringkan. Berat debris = berat pelet medium tanpa mikrobia-berat pati medium tanpa mikrobia Berat kering sel = berat kering pelet medium umur 0-6 hari-berat debris-berat pati medium umur 0-6 hari. Kadar gula reduksi. Analisis gula reduksi menggunakan metode Nelson-Samogyi. Tahaptahap analisis gula reduksi menurut Sudarmadji (1997) adalah sebagai berikut: 5 ml sampel ditambah 95 mL akuades kemudian digojog. Larutan sampel diambil 1 mL ditambah 1 mL larutan Nelson C (campuran dari larutan Nelson A dan larutan Nelson B; 25:1 v/v). Kemudian sampel dipanaskan pada hot plate pada suhu 1000C selama 20 menit. Larutan sampel didinginkan sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditambah 1 mL arsenomolybdat, digojog dengan vortex dan ditambah 7 mL akuades kemudian digojog lagi. Sampel diukur absorbansi cahaya tampak (visible) pada panjang gelombang 540 nm, kemudian dikonversi ke mmol/l gula reduksi berdasarkan persamaan regresi senyawa standar glukosa monohidrat. Kadar pati. Analisis kadar pati merujuk Sudarmadji (1997) dengan cara sampel 1 mL ditambah 100 μL enzim amilase (10.000 unit Westmont Pharmaceuticals, Ltd Bogor) dan dibiarkan selama 2 jam, kemudian diencerkan
sampai volume akhir 100 mL. Sampel diambil sebanyak 1 mL kemudian diukur kadar gula reduksinya. Kadar pati diperoleh dari kadar gula reduksi dikalikan dengan 0,9. Kadar etanol. Analisis kadar etanol merujuk Waluyo (1984) dengan penetapan berat jenis menggunakan metode piknometer. Piknometer kosong yang telah diketahui beratnya (a gram) diisi dengan air suling sampai miniskus, kemudian ditimbang dengan teliti (b gram). Air suling dikeluarkan dan piknometer dikeringkan sampai benar-benar kering lalu diisi dengan etanol sampai miniskus dan ditentukan dengan teliti (c gram). Berat jenis= c − a b−a
a = berat piknometer kosong b = berat piknometer berisi akuades c = berat piknometer berisi etanol berat jenis yang didapat ditera dengan tabel kadar etanol. HASIL DAN PEMBAHASAN Gula reduksi dan pati. Ketiga medium ubi jalar yang telah selesai difermentasi tampak keruh pada hari keenam. Kekeruhan tersebut disebabkan adanya zat padat yang melayanglayang dalam larutan ubi jalar. Menurut Prescott dan Dunn (1981), secara alami zat padat tersebut akan hilang apabila dilakukan penyimpanan, penyaringan dan pematangan (aging). Namun cara ini dapat dipercepat dengan proses pasteurisasi maupun distilasi. Larutan ubi jalar dengan medium ubi jalar 20% tampak paling keruh, diikuti dengan medium ubi jalar 15% dan yang terakhir medium ubi jalar 10%. Tabel 1 menunjukkan kadar gula reduksi dan pati dalam medium ubi jalar selama fermentasi. Selama fermentasi, kadar gula reduksi dan pati mengalami penurunan. Penurunan kadar pati disebabkan aktivitas enzim amilase yang dihasilkan R. oryzae. Hasil hidrolisis pati oleh enzim amilase adalah gula reduksi. Kadar gula reduksi hasil hidrolisis pati. Kadar gula reduksi hasil hidrolisis pati diperoleh dari penurunan kadar pati dibagi 0,9. Kadar gula reduksi harian hasil hidrolisis pati pada medium ubi jalar 10% sampai 3 hari awal fermentasi relatif tinggi (Tabel 2). Namun aktivitas hidrolisis pati menurun sampai hanya menghasilkan 0,056 g/100 mL gula reduksi pada fermentasi hari ke6. Kadar gula reduksi harian hasil hidrolisis pati pada medium ubi jalar 15 dan 20% relatif tinggi sampai 4 hari fermentasi awal, kemudian
menurun sehingga hanya menghasilkan masingmasing sebesar 0,222 g/100 mL dan 0,400 g/100 mL gula reduksi pada fermentasi hari ke-6. Hal itu karena pada awal fermentasi, R. oryzae membutuhkan sumber energi yaitu gula reduksi untuk aktivitas pertumbuhannya sehingga aktivitas hihrolisis pati juga tinggi. Namun pada akhir fermentasi kebutuhan akan energi berkurang karena R. oryzae mengalami sporulasi, sehingga kadar gula reduksi harian hasil hidrolisis pati juga berkurang. Kadar medium fermentasi ubi jalar terhadap perlakuan kadar pati masing-masing medium 10,15 dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing medium berpengaruh terhadap kadar pati. Kadar gula reduksi kumulatif hasil hidrolisis pati tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 20%, ditunjukkan dengan kadar gula reduksi kumulatif hasil hidrolisis pati pada medium ubi jalar 20% berbeda nyata dengan medium lainnya. Hal itu karena pada medium ubi jalar 20% mengandung pati tertinggi. Tidak ada aktivitas hidrolisis pati pada fermentasi hari ke-5 dan ke-6. Hal itu ditunjukkan dengan kadar gula reduksi kumulatif pada fermentasi hari ke-5 dan ke-6 tidak berbeda nyata dengan pada fermentasi hari ke-4. Hal itu karena pada fermentasi hari ke-5 R. oryzae mengalami sporulasi, sehingga terjadi sedikit aktivitas hidrolisis pati. Konsumsi gula reduksi. Konsumsi gula reduksi diperoleh dari penurunan kadar gula reduksi selama fermentasi dengan kadar gula reduksi hasil hidrolisis pati. Tabel 3 menunjukkan konsumsi gula reduksi oleh R. oryzae dan S. cerevisiae. Konsumsi gula reduksi harian pada semua medium ubi jalar selama fermentasi relatif tinggi, yaitu lebih dari 0,900 g/100 mL, kecuali pada medium ubi jalar 10% pada fermentasi hari ke-6 hanya 0,166 g/100 mL. Hal itu karena suplai gula reduksi untuk fermentasi hari ke-6 rendah. Suplai gula reduksi tersebut hanya 1,574 g/100 mL dan diperoleh dari kadar gula reduksi pati dari fermentasi hari ke-5 sebesar 1,518 g/100 mL dan kadar gula reduksi hasil hidrolisis pati pada fermentasi hari ke-6 sebesar 0,056 g/100 mL. Kadar medium fermentasi ubi jalar terhadap perlakuan kadar gula reduksi masing-masing medium ubi jalar 10%, 15%, dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing medium ubi jalar berpengaruh terhadap kadar gula reduksi. Konsumsi gula reduksi kumulatif tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 20%. Hal itu ditunjukkan dengan konsumsi gula 109
Tabel 1. Kadar gula reduksi dan pati (g/100 mL) pada medium selama fermentasi etanol dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. Cerevisiae. Lama Fermentasi (hari) 0 1 2 3 4 5 6
Ubi jalar 10% Gula Reduksi 4,983 4,511 4,201 3,494 2,653 1,518 1,413
Pati 2,680 2,107 1,460 1,047 0,762 0,694 0,646
Ubi jalar 15% Gula Reduksi 5,107 4,636 4,554 3,223 3,223 1,930 1,223
Pati 4,043 3,380 2,549 2,135 1,685 1,349 1,146
Ubi jalar 20% Gula Reduksi 5,433 5,134 5,033 4,660 4,652 3,977 2,943
Pati 6,812 5,649 4,222 3,619 2,737 2,270 1,913
Tabel 2. Kadar gula reduksi (g/100mL) hasil hidrolisis pati pada medium selama fermentasi etanol dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae. Lama Fermentasi (hari) 1 2 3 4 5 6
Ubi jalar 10%
Ubi jalar 15%
Ubi jalar 20%
Harian Kumulatif Harian Kumulatif Harian Kumulatif 0,637 0,719 1,092 0,322 0,067 0,056
0,637 1,356 1,811 2,133 2,200 2,256
0,733 0,926 0,463 0,500 0,367 0,222
0,733 1,659 2,122 2,622 2,989 3,211
1,292 1,586 0,670 0,985 0,511 0,400
1,292 2,878 3,548 4,533 5,044 5,444
Tabel 3. Konsumsi gula reduksi (g/100 mL) oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisise selama fermentasi etanol dari ubi jalar. Lama Fermentasi (hari) 1 2 3 4 5 6
Ubi jalar 10%
Ubi jalar 15%
Ubi jalar 20%
Harian
Kumulatif
Harian
Kumulatif
Harian
Kumulatif
1,110 1,026 1,165 1,162 1,197 0,166
1,110 2,136 3,301 4,463 5,660 5,826
1,209 1,006 1,273 1,014 1,667 0,922
1,209 2,215 3,488 4,502 6,169 7,091
1,588 1,690 1,043 0,992 1,221 1,408
1,588 3,278 4,321 5,313 6,534 7,934
Tabel 4. Biomassa (g/100 mL) R. oryzae dan S. cerevisiae selama fermentasi etanol dari ubi jalar. Lama Fermentasi (hari) 0 1 2 3 4 5 6
110
Ubi jalar 10% R. oryzae 0,060 0,072 0,204 0,215 0,292 0,434 0,546
S. cerevisiae 0,111 0,176 0,226 0,268 0,293 0,396 0,436
Ubi jalar 15% R. oryzae 0,112 0,118 0,162 0,252 0,321 0,485 0,746
S. cerevisiae 0,146 0,156 0,199 0,245 0,273 0,383 0,420
Ubi jalar 20% R. oryzae 0,145 0,178 0,373 0,336 0,415 0,764 0,886
S. cerevisiae 0,124 0,131 0,166 0,212 0,236 0,338 0,376
reduksi kumulatif pada medium ubi jalar 20% berbeda nyata dengan medium lainnya. Konsumsi gula reduksi tergantung pada aktivitas hidrolisis pati dan jumlah mikrobia yang ditunjukkan dengan biomassa total mikrobia. Semakin tinggi biomassa total mikrobia, maka semakin tinggi aktivitas hidrolisis pati, sehingga semakin tinggi juga konsumsi gula reduksi. Konsumsi gula reduksi kumulatif tinggi selama fermentasi sehingga konsumsi gula reduksi kumulatif tertinggi diperoleh dari fermentasi hari ke-6. Hal itu ditunjukkan dengan konsumsi gula reduksi kumulatif pada fermentasi hari ke-6 berbeda nyata dengan fermentasi hari lainnya. Biomassa. Biomassa R. oryzae dan S. cerevisiae meningkat seiring bertambahnya lama fermentasi. Biomassa R. oryzae lebih tinggi daripada biomassa S. cerevisiae (Tabel 4). Hal itu karena R. oryzae mampu menghasilkan energi melalui respirasi, sedangkan S. cerevisiae menghasilkan energi melalui fermentasi. Energi yang dihasilkan respirasi lebih banyak daripada yang dihasilkan fermentasi. Kadar medium ubi jalar terhadap biomassa R. oryzae masingmasing medium ubi jalar 10, 15, dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing medium ubi jalar berpengaruh
terhadap biomassa R. oryzae. Biomassa R. oryzae tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 20%. Hal itu ditunjukkan dengan biomassa R. oryzae pada medium ubi jalar 20% berbeda nyata dengan medium lainnya. Karena R. oryzae mampu memanfaatkan pati sebagai sumber karbon, maka biomassa R. oryzae tertinggi dihasilakan dari medium ubi jalar 20%. Kadar medium ubi jalar terhadap biomassa S. cerevisiae masing-masing medium ubi jalar 10, 15, dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing medium ubi jalar berpengaruh terhadap biomassa S. cerevisiae. Biomassa S. cerevisiae, yaitu tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 10%. Hal itu ditunjukkan dengan biomassa S. cerevisiae pada medium ubi jalar 10% berbeda nyata dengan medium lainnya. Karena S. cerevisiae tidak mampu memanfaatkan pati sebagai sumber karbon dan pertumbuhan S. cerevisiae terbaik pada medium mengandung gula 10%, maka biomassa S. cerevisiae tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 10%. Kadar medium ubi jalar terhadap biomassa R. oryzae dan S. cerevisiae masing-masing variasi medium ubi jalar 10, 15, dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing variasi medium ubi jalar terhadap biomassa R. oryzae dan S. cerevisiae juga berbeda nyata. Karena biomassa R. oryzae lebih tinggi daripada biomassa S. cerevisiae, maka biomassa total mikrobia tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 20% (Tabel 5). Hal itu ditunjukkan dengan biomassa total mikrobia pada medium ubi jalar 20% berbeda nyata dengan medium lainnya. Kadar etanol. Etanol merupakan hasil fermentasi yang dilakukan S. cerevisiae. Tabel 6 menunjukkan bahwa kadar etanol dari 3 medium ubi jalar mengalami peningkatan sampai fermentasi hari ke-5, kemudian menurun pada fermentasi hari ke-6. Kadar etanol telah mencapai maksimum pada fermentasi hari ke-4. Hasil penelitian ini lebih lama 1 hari fermentasi dibandingkan penelitian Farid (2002). Kadar medium ubi jalar terhadap kadar etanol masing-masing medium ubi jalar 10, 15, dan 20% berbeda nyata. Lama fermentasi masing-masing medium ubi jalar berpengaruh terhadap kadar etanol. Medium ubi jalar 10% mampu menghasilkan etanol tertinggi selama 6 hari fermentasi daripada medium lainnya. Hal itu ditunjukkan dengan kadar etanol pada medium 10% berbeda nyata dengan medium lainnya. Menurut Prescott dan Dunn (1981) faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar etanol selama proses fermentasi, adalah
ketersediaan substrat yaitu gula reduksi dan jumlah mikrobia, yaitu S. cerevisiae. Meskipun kadar gula reduksi tertinggi dihasilkan dari medium ubi jalar 20%, tetapi kondisi medium masih relatif padat, sehingga kurang dapat dimanfaatkan S. cerevisiae untuk menghasilkan etanol. Selain itu jumlah S. cerevisiae tertinggi diperoleh dari medium ubi jalar 10%. Hal itu menyebabkan produksi etanol selama 6 hari fermentasi tertinggi dihasilkan dari medium ubi jalar 10%. Pada penelitian ini dihasilkan etanol sebesar 2,553% selama 4 hari fermentasi pada medium ubi jalar 10%. Farid (2002) mampu menghasilkan etanol sebesar 2% selama 3 hari fermentasi pada medium pati jagung 12%. Tabel 5. Biomassa total mikrobia (g/100 mL) selama fermentasi etanol dari ubi jalar. Lama fermentasi (hari) 0 1 2 3 4 5 6
Medium ubi jalar 10% 0,171 0,248 0,430 0.483 0,585 0,830 0.982
Medium ubi jalar 15% 0,258 0,532 0,361 0,497 0,594 0,868 1,166
Medium ubi jalar 20% 0,269 0,309 0,539 0,548 0,651 1,102 1,262
Tabel 6. Kadar etanol (%) selama fermentasi dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae. Lama fermentasi (hari) 1 2 3 4 5 6
Medium ubi jalar 10% 1,907 2,293 2,520 2,553 2,647 2,503
Medium ubi jalar 15% 1,753 2,077 2,127 2,483 2,623 2,590
Medium ubi jalar 20% 1,683 1,913 1,947 2,093 2,163 2,097
Tabel 7. Koefisien bersih (yield) etanol selama fermentasi dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae. Lama fermentasi (hari) 1 2 3 4 5 6
Medium Ubi Jalar 10% 1,72 1,07 0,76 0,57 0,47 0,43
Medium Ubi Jalar 15% 1,45 0,94 0,61 0,55 0,43 0,37
Medium Ubi Jalar 20% 1,06 0,58 0,45 0,39 0,33 0,26
111
Menurut Moat dan Foster (1979) S. cerevisiae memfermentasi glukosa menghasilkan etanol, dan CO2 dengan rasio 1:2:2 seperti reaksi di bawah ini: C6H12O6 --> 2C2H5OH + 2CO2 BM 180 46 44 Jika secara teori 1 gram glukosa memproduksi etanol hanya setengah dari konsumsi glukosa, maka diperoleh koefisien bersih etanol (yield) etanol adalah 0,51. Yield etanol pada fermentasi kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae diperoleh dari perbandingan produksi etanol dan konsumsi gula reduksi. Jika koefisien bersih di atas 0,51, maka terdapat sejumlah substrat yang tidak terukur. Jika koefisien bersih di bawah 0,51, maka terdapat bentuk lain hasil perubahan subsrat. Bentuk lain itu adalah biomassa dan senyawa organik lainnya. Koefisien bersih etanol fermentasi hari ke-5 pada medium ubi jalar 10, 15, dan 20% masing-masing sebesar 0,47, 0,43, dan 0,33 (Tabel 7). Koefisien bersih (yield) dari produksi etanol selama fermentasi dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae mengalami penurunan selama 6 hari fermentasi. Penurunan koefisien bersih tersebut disebabkan berkurangnya medium fermentasi.
112
KESIMPULAN Pada fementasi etanol dari ubi jalar oleh kultur campuran R. oryzae dan S. cerevisiae, medium ubi jalar 10% menghasilkan etanol tertinggi yaitu sebesar 2,647% dibandingkan medium ubi jalar 15% dan 20% masing-masing sebesar 2,623 dan 2,163% selama 5 hari fermentasi. DAFTAR PUSTAKA Dwidjoseputro, D. 1990. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan. Farid. 2002. Natural and Microbial Product Dept, National Reasearch Centre, Tahrir Street, Dokki, Cairo, Egypt.
[email protected] Moat, A.G. dan.W. Foster, J1979. Microbial Physiology. New York: John Wiley and Sons. Pelczar dan Chan, C.S.1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Cetakan 1. Jakarta: Penerbit UI Press. Prescott, M.C. dan C.G. Dunn, 1981. Industrial Microbiology. New York: Mcgraw-Hill Book Compny. Rahayu, K dan S. Sudarmadji. 1986. Proses-proses Mikrobilogi Pangan. Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar Budi Daya dan Pasca Panen. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Schlegel, H. dan K. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Edisi 6. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press. Sudarmadji, S. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi 4. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
ENERGI ALTERNATIF FAME 818 ( BIODIESEL ) IMMANUEL SUTARTO PT ETERINDO WAHANATAMA TBK Jakarta
SEKILAS ETERINDO PT Eterindo Wahanatama Tbk (“Eterindo”) didirikan pada tahun 1992, berkedudukan di Jakarta yang bergerak dalam industri kimia dan saat ini melakukan usaha perdagangan dan distribusi produk-produk kimia yang dihasilkan oleh perusahaan asosiasi Eterindo yaitu : 1. PT Eternal Buana Chemical Industries (EBCI), memproduksi Synthetic Latex Resins, Unsaturated Polyester Resins dan Alklyd & Amino Resins, Plasticizers, lokasi pabrik berada di Cikupa, Tangerang; 2. PT Eterindo Nusa Graha (ENG), anak perusahaan EBCI, produksi sama dengan EBCI, lokasi pabrik berada di Kawasan Industri Gresik, Jawa Timur 3. PT Petrowidada (PWD), memproduksi Phthalic Anhydride, yaitu bahan baku utama dalam produksi Plasticizers, Unsaturated Polyester Resins dan Alkyd Resins, dan Maleic Anhydride, lokasi pabrik berada di Kawasan Industri Gresik, Jawa Timur; 4. PT Anugerahinti Gemanusa (AG), memproduksi Specialty Plasticizers dan Biodiesel, lokasi pabrik berada di Kawasan Industri Gresik, Jawa Timur PROFILE PT ANUGERAHINTI GEMANUSA (AG) •
• •
•
Tahun 1994, PT Anugerahinti Gemanusa (AG) didirikan, berkedudukan di Gresik, Jawa Timur PT Anugerahinti Gemanusa memproduksi Specialty Plasticizers dan produk-produk lain Tahun 2004, PT Anugerahinti Gemanusa menjadi PMA dan merupakan salah satu perusahaan asosiasi PT Eterindo Wahanatama Tbk (Eterindo), perusahaan publik yang bergerak dalam industri kimia. Memperoleh Sertifikat ISO 9001 : 2000
PROFILE PT ANUGERAHINTI GEMANUSA •
• •
•
• •
Sejak pertengahan tahun 2005, PT Anugerahinti Gemanusa melakukan diversifikasi produk dengan menghasilkan FAME 818 (BIODIESEL). Dukungan teknologi bekerjasama dengan badan riset di Singapura sejak tahun 2002. Bahan baku utama: CRUDE PALM OIL dan turunannya atau MINYAK JARAK dan minyak nabati lainnya. Kapasitas produksi 50,000 MTPA dan dapat dikembangkan menjadi 200,000 MTPA untuk group Eterindo. Untuk memproduksi 1 MT FAME 818 dibutuhkan +/- 1 MT minyak nabati. FAME 818 sedang diuji coba intern di group Eterindo pada boiler, furnace, incinerator, kendaraan mesin diesel, forklift.
WHAT IS BIODIESEL? •
Biodiesel is manufactured from most vegetable oils, animal fats, and recycled greases. • Composed of fatty acid alkyl esters. • Transesterification, organically derived oils are combined with alcohol (ethanol or methanol) and chemically altered to form fatty esters such as ethyl or methyl ester. Biodiesel Raw Materials Oil or Fat • Soybean • Rapeseed • Palm • Jatropha • Cottonseed • Sunflower • Corn Alcohol • Methanol • Ethanol Catalyst • Potassium hydroxide • Sodium hydroxide 113
BASIC REACTION
AVERAGE BIODIESEL EMISSIONS COMPARE TO CONVENTIONAL DIESEL
FAME 818 SPECIFICATION
114
PERTANYAAN • • • • • •
Apakah pemerintah (Pertamina, PLN, Busway) bisa menampung produk kita (Super Diesel, B5)? Bisakah mengisi kekurangan Solar dari Pertamina karena adanya quota sehingga memperlancar proses produksi? Adakah support dari Pemerintah ke produsen biodiesel? Berapa lahan yang dialokasikan (road map) untuk pemenuhan bahan baku biodiesel? Bentuk kerjasama? Kapan tata niaga biodiesel dikeluarkan ? Dibawah departemen mana? Oleh siapa? Banyak investor ingin investasi.. Bagaimana pola kebijakan dalam penerapan pemakaian Bio?
115