B050109

  • Uploaded by: Biodiversitas, etc
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View B050109 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,444
  • Pages: 5
BioSMART Volume 5, Nomor 1 Halaman: 38-42

ISSN: 1411-321X April 2003

Pengaruh Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria Rosc.) terhadap Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) The effect of zedoary extract (Curcuma zedoaria Rosc.) on spermatogenesis and quality of sperms of Mus musculus L. TUTIK SISWANTI, OKID PARAMA ASTIRIN, TETRI WIDIYANI Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 6 Agustus 2002. Disetujui: 15 Januari 2003

ABSTRACT The aims of the study were to know the effect of zedoary or temu putih extract (Curcuma zedoaria Rosc.) on mice spermatogenesis (Mus musculus L.) and the quality of sperms. Male mice were treated with zedoary extract orally for 34 days, then testis sperms were collected, and the histological section was made using paraffin and Hematoxyllin-Eosin (HE) method. The results indicated that the extract affect spermatogenesis by decreasing spermatogonia cells, spermatocyte and spermatid, as well as decreasing spermatogenic cell layer of mice (Mus musculus L.), sperm viability, and tend to decrease sperm motility. Key words: zedoary extract (Curcuma zedoaria Rocs.), spermatogenesis, sperm quality.

PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE

Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan tumbuhan obat. Obat tradisional merupakan salah satu alternatif dalam pengobatan karena efek sampingnya dianggap lebih kecil dan harganya lebih murah dibandingkan obat modern. Salah satu rempah yang banyak tumbuh di Indonesia dan dimanfaatkan untuk obat tradisional adalah temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.). Temu putih termasuk dalam familia Zingiberaceae, memiliki kandungan kimia berupa minyak atsiri 1-1,5%, kurkumin, gum, resin, amilum, dan tanin. Temu putih dapat digunakan sebagai antikanker, antibakteri, antitrombik, antifungal, antioksidan, dan hepatoprotektif (Nurrochmad dan Murwanti, 2000). Adapun wujud efek toksik kurkumin in-vivo adalah antifertilitas (Garg dalam Listyaningsih dkk., 2000). Agar dapat dimanfaatkan secara luas dan bertanggungjawab, perlu dilakukan penelitian obat tradisional yang mencakup pengujian, pengembangan khasiat, dan keamanannya (Sumarjan, 1992). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (i) pengaruh pemberian ekstrak temu putih terhadap spermatogenesis dan kualitas spermatozoa mencit (Mus musculus L.) yang meliputi kecepatan gerak, motilitas, morfologi, dan viabilitas, serta (ii) pengaruh variasi dosis ekstrak temu putih yang diberikan pada mencit terhadap spermatogenesis dan kualitas spermatozoa. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diketahui tingkat keamanan ekstrak temu putih sebagai salah satu obat tradisional terutama terhadap proses reproduksi jantan, serta memberikan informasi kepada masyarakat tentang kemungkinan adanya efek samping penggunaan obat tradisional temu putih.

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli s.d Oktober 2001 di BPTO Tawangmangu, PPOT UGM Yogyakarta, UPHP UGM Yogyakarta, dan sub Lab. Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Cara kerja dalam penelitian ini meliputi persiapan, preparasi temu putih dengan metode soxletasi, serta perlakuan pemberian ekstrak temu putih dengan menggunakan disposable syringe 2,5 ml yang ujungnya diganti dengan kanul dan dimasukkan secara per oral selama 34 hari. Penelitian dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: (i) dosis 0 mg/kg BB/hari (diberi akuades), (ii) dosis 100 mg/kg BB/hari, (iii) dosis 200 mg/kg BB/hari, dan (iv) dosis 300 mg/kg BB/hari. Setelah diberi ekstrak temu putih selama 34 hari, mencit dibedah dan diambil testisnya untuk dibuat preparat histologis dengan metode parafin dan pewarnaan HE, sedangkan spermatozoa diambil dari sel epididimis. Pemeriksaan kualitas spermatozoa meliputi pengamatan motilitas, morfologi, viabilitas dan pemeriksaan kecepatan gerak. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan dilanjutkan dengan DMRT. HASIL DAN PEMBAHASAN Spermatogenesis Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa yang terjadi dalam tubulus seminiferus. Pada proses ini terjadi serangkaian tahapan pembentukan sel-sel yang terdiri dari sel spermatogonia, spermatosit dan © 2003 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 38-42

spematid (Frandson, 1993). Penghitungan jumlah sel-sel ini dilakukan dengan cara menghitung sel-sel spermatogenik pada tubulus seminiferus testis dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 200 kali (Tabel 1). Tabel 1. Jumlah rata-rata sel spermatogenik mencit per tubulus seminiferus setelah perlakuan dengan ekstrak temu putih. Perlakuan Spermatogonia Spermatosit (mg/kg M ± SD M ± SD BB/hari) 0 45,2 ± 1,72a 39,8 ± 2,14a 100 39,8 ± 2,56 a 35,0 ± 3,40a 200 33,6 ± 2,87b 29,4 ± 2,58b 300 31,6 ± 2,15 b 27,6 ± 2,50b

39

ini sel-sel spermatogenik mulai tersusun tidak teratur dan susunan sel mulai tidak rapat. Selain itu membrana basalis antara tubulus seminiferus sudah saling merapat satu dengan yang lain dan lapisan sel sudah mulai berkurang, sehingga lumen tubulus terlihat lebih lebar dibandingkan kelompok kontrol dan tampak kososng, tidak berisi spermatozoa (Gambar 2).

Lapisan sel Spermatid spermatogenik M ± SD M ± SD 49,6 ± 3,0 a 6,6 ± 0,8 a 41,2 ± 4,26a 4,2 ± 0,4 b 35,8 ± 3,25b 4,2 ± 0,4 b 34,0 ± 1,90b 3,4 ± 0,49 b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata.

Dari Tabel 1 diketahui adanya penurunan jumlah sel spermatogenik pada tubulus seminiferus mencit setelah diberi ekstrak temu putih, baik spermatogonia, spermatosit mau-pun spermatid dibandingkan kontrol. Semakin tinggi dosis temu putih yang diberikan, maka jumlah sel-sel sperma-togen semakin menurun. Berdasarkan uji statistik terhadap sel spermatogonia, spermatosid, spermatid, dan lapisan sel spermatogenik terdapat beda nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak temu putih mempengaruhi spermatogenesis dan lapisan sel spermatogenik mencit. Penurunan jumlah sel spermatogenik ini, menurut Winarni (1996), kemungkinan dikarenakan terganggunya sintesis testosteron pada sel Leydig (Gambar 3B.), sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi sel Sertoli. Lebih lanjut oleh Sudomo dan Tamtomo (1979), dikatakan bahwa dengan terganggunya sel Sertoli dapat mengakibatkan terjadinya degenerasi sel-sel spermatogenik. Hal ini terjadi karena salah satu fungsi sel Sertoli adalah memberi nutrisi sel-sel spermatogenik. Akibat kekurangan nutrisi, sel-sel spermatogenik tidak dapat berkembang secara optimal. Semakin tinggi dosis temu putih yang diberikan, akan mengakibatkan semakin banyak sel Sertoli yang rusak dan sel spermatogenik yang terbentuk juga semakin sedikit. Selain itu, penurunan sel spermatogenik dapat pula disebabkan adanya zat sitotoksik dalam temu putih, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan jaringan sel (Purwaningsih dan Susmiarsih, 1998). Akibat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan jaringan ini, maka jumlah sel spermatogenik menurun karena sel-sel spermatogen merupakan sel yang aktif melakukan pembelahan. Hasil pengamatan terhadap tubulus seminiferus menunjukkan terjadinya perbedaan struktur tubulus seminiferus antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Tubulus seminiferus kelompok kontrol tersusun atas sel-sel spermatogenik yang tersusun kompak dan padat. Lapisan sel pada kelompok ini rata-rata terdiri dari 6 lapis sel. Lumen tubulus seminiferus kelompok kontrol terlihat lebih sempit karena jumlah lapisan sel pada kelompok ini lebih banyak dan penuh berisi spermatozoa daripada kelompok perlakuan (Gambar 1). Struktur histologis tubulus seminiferus mencit kelompok perlakuan I (dosis 100 mg/kg BB/hari) sudah mulai menunjukkan terjadinya kerusakan. Pada kelompok

Gambar 1. Struktur tubulus seminiferus mencit kelompok kontrol. Pewarnaan HE. Perbesaran 200 kali. Keterangan: a. membranan basalis, b. sel interstiil, c. spermatogonia, d. spermatosit, e. spermatid, dan f. sel sertoli.

Gambar 2. Struktur tubulus seminiferus mencit kelompok I (dosis 100 mg/kg BB/hari). Pewarnaan HE. Perbesaran 200 kali. Keterangan: a. membranan basalis, b. sel interstiil, c. spermatogonia, d. spermatosit, e. spermatid, dan f. sel sertoli.

Struktur tubulus seminiferus mencit pada kelompok perlakuan II (dosis 200 mg/kg BB/hari) (Gambar 3A) dan III (dosis 300 mg/kg BB/hari) (Gambar 3B) menunjukkan kerusakan yang semakin terlihat nyata. Sel-sel spermatogenik pada kelompok perlakuan II tersusun agak jarang dan pada kelompok perlakuan III struktur tubulus seminiferus mencit sudah mengalami kerusakan yang semakin komplek. Selain jumlah sel-sel spermatogenik mengalami penurunan, sel Leydig pada kelompok perlakuan III ini juga mengalami degradasi dan jarak antara tubulus seminiferus makin rapat sehingga sukar untuk dibedakan jarak antar tubulus. Lapisan sel spermatogenik pada kelompok ini juga semakin menurun dan sel-sel tersusun lebih jarang, sehingga lumen juga terlihat semakin lebar.

40

SISWANTI dkk. – Pengaruh Curcuma zedoaria pada testis Mus musculus

A

B Gambar 3. A. Struktur tubulus seminiferus mencit kelompok perlakuan II (dosis 200 mg/kg BB/hari). B. Struktur tubulus seminiferus mencit kelompok perlakuan III (dosis 300 mg/kg BB/hari). Pewarnaan HE. Perbesaran 200 kali. Keterangan: a. membranan basalis, b. sel interstiil, c. spermatogonia, d. spermatosit, e. spermatid, dan f. sel sertoli.

Pengamatan terhadap tubulus seminiferus menunjukkan terjadi perubahan struktur tubulus seminiferus antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Penurunan jumlah sel spermatogenik yang terjadi dapat dilihat pada lapisan sel spermatogenik dalam tubulus seminiferus yang berkurang akibat terganggunya spermatogenesis. Menurut Gufron dan Herwiyanti (1995), hambatan atau gangguan spermatogenesis dapat dilihat dari letak sel spermatogenik yang tidak teratur sehingga lumen tidak mempunyai batas yang tegas. Menurut Yen dan Jaffe (dalam Gufron dan Herwiyanti, 1995), terganggunya spermatogenesis ini kemungkinan karena adanya zat dalam temu putih yang bersifat kompetitif terhadap reseptor FSH (Follicle Stimulating Hormone), sehingga mengganggu keseimbangan FSH pada aksis hipotalamus-hipofisis dan selanjutnya menghambat spermatogenesis. Lebih lanjut oleh Junqueira, dkk. (1995), dijelaskan bahwa spermatogenesis dipengaruhi oleh kerja FSH dan hormon lutein (LH) dari hipofisis pada sel-sel testis. LH mempengaruhi sel interstitiil merangsang produksi testosteron yang diperlukan untuk perkembangan normal sel spermatogenik. Jika sel ini mengalami degenerasi, maka sintesis testosteron akan terganggu, sehingga pemasakan sel saat spermatogenesis menjadi terganggu juga, karena hormon ini merupakan hormon yang mutlak diperlukan untuk spermatogenesis selain FSH. FSH juga meningkatkan sintesis dan sekresi ABP (Androgen Binding Protein). ABP berikatan dengan testosteron dan mengangkutnya ke dalam lumen tubulus seminiferus.

Dengan terganggunya keseimbangan hipotalamus-hipofisis, maka kerja FSH menjadi tidak optimal dan mempengaruhi sel Sertoli sebagai pemberi nutrisi sel spermatogenik, akibatnya spermatogenesis terhambat dan sel-selnya mengalami degenerasi. Semakin tinggi dosis ekstrak temu putih yang diberikan, maka degenerasi sel semakin banyak. Menurut Lu (1995), terganggunya spermatogenesis ini dapat menyebabkan atrofi testis. Untuk mengetahui apakah terganggunya spermatogenesis yang terjadi menyebabkan atrofi testis, maka setelah diberi perlakuan testisnya ditimbang terlebih dahulu. Berdasarkan uji ANOVA terdapat beda nyata pada berat testis. Menurut Turner dan Bagnara (1988), hipofungsi sel Leydig ditunjukkan dengan adanya atrofi organ-organ seks, yang diikuti disorganisasi epitel tubulus seminiferus dan dapat berakibat berhentinya spermatogenesis. Ekstrak temu putih dapat mengakibatkan hipofungsi dari sel Leydig yang ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah sel ini. Selain penurunan jumlah sel, hipofungsi sel Leydig juga ditunjukkan dengan penurunan berat testis (atrofi). Gambar 1-4 menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis ekstrak temu putih yang diberikan, semakin tinggi disorganisasi epitel tubulus seminiferus. Penurunan ratarata berat testis mencit antara kelompok kontrol dan perlakuan ditunjukkan Tabel 2. Tabel 2. Berat rata-rata testis kanan mencit setelah perlakuan dengan ekstrak temu putih. Berat rata-rata testis (gram) M ± SD 0,2072 ± 0,020a 0,1766 ± 0,019 a 0,1722 ± 0,034ab 0,1546 ± 0,013c yang diikuti huruf yang sama menunjukkan

Dosis Perlakuan 0 mg/kg BB/hari 100 mg/kg BB/hari 200 mg/kg BB/hari 300 mg/kg BB/hari Keterangan: angka tidak beda nyata.

Kualitas spermatozoa Spermatozoa yang diamati diambil dari bagian epididimis yang dipotong dan dibuat suspensi dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%) bersuhu 40oC. Pemeriksaan kualitas spermatozoa dilakukan secara mikroskopis meliputi motilitas, kecepatan gerak dan viabilitas (Tabel 3, 4 dan 5.). Pemeriksaan kualitas spermatozoa yang pertama adalah kecepatan gerak. Menurut Soekarno dan Pietersono (dalam Fitria, 2000), kecepatan gerak spermatozoa merupakan variabel penting untuk menguji kemampuan motilitas spermatozoa. Kecepatan gerak spermatozoa tergantung kecepatan pukulan dan gerakan ekor spermatozoa. Spermatozoa yang kekurangan energi bergerak lambat, meskipun arahnya tetap ke depan dan ekor bergerak teratur (Hafez dalam Panghiyangani, 1994). Pemeriksaan kecepatan gerak spermatozoa dilakukan dengan menggunakan bilik hitung hemositometer Neubeuer dengan cara mengambil spermatozoa yang telah diencerkan dengan NaCl 0,9% dan diperiksa di bawah mikroskop perbesaran 400 kali. Kecepatan gerak spermatozoa dinyatakan dalam satuan µm/detik (Tabel 3.).

BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 38-42 Tabel 3. Rata-rata kecepatan gerak spermatozoa mencit setelah perlakuan dengan ekstrak temu putih. Kecepatan gerak (µm/dt) M ± SD 175,2 ± 40,78a 156,6 ± 16,80 a 128,4 ± 21,59ab 120,8 ± 42,83c yang diikuti huruf yang sama menunjukkan

Dosis Perlakuan 0 mg/kg BB/hari 100 mg/kg BB/hari 200 mg/kg BB/hari 300 mg/kg BB/hari Keterangan: Angka tidak beda nyata.

Tabel 3 menunjukkan adanya penurunan kecepatan gerak spermatozoa setelah pemberian ekstrak temu putih. Semakin besar dosis ekstrak temu putih yang diberikan, maka kecepatan gerak spermatozoa semakin menurun. Berdasarkan analisis statistik, secara umum tidak terdapat beda nyata kecepatan gerak spermatozoa antara kelompok kontrol dan perlakuan, meskipun antara kontrol dan perlakuan III (dosis 300 mg/kg BB/hari) terdapat beda nyata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak temu putih baru mempengaruhi kecepatan gerak spermatozoa secara nyata pada dosis 300 mg/kg BB/hari. Untuk mengetahui gerakan spermatozoa baik atau buruk, maka dilakukan pemeriksaan motilitas spermatozoa dengan cara melihat gerakan spermatozoa di bawah mikroskop perbesaran 200 kali. Adapun yang dimaksud spermatozoa dengan motilitas baik adalah spermatozoa yang bergerak lincah lurus ke depan (progesif), sedangkan spermatozoa dengan motilitas buruk adalah spermatozoa dengan gerakan apapun selain gerak tersebut. Tabel 4. Motilitas spermatozoa mencit setelah perlakuan dengan ekstrak temu putih. Dosis Perlakuan

Baik (%)

Buruk (%)

0 mg/kg BB/hari 28,8 ± 5,78 a 38,0 ± 5,18a 100 mg/kg BB/hari 30,0 ± 14,14 a 36,0 ± 8,0 a 200 mg/kg BB/hari 29,8 ± 11,79 a 22,2 ± 6,64ab 300 mg/kg BB/hari 30,0 ± 6,32b 28,8 ± 6,76 a Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak beda nyata.

Immotil (%) 34,4 ± 7,12 a 34,0 ± 8,0 a 48,0 ± 9,27 a 42,0 ± 11,66 a menunjukkan

Tabel 4 menunjukkan persentase spermatozoa yang motilitasnya baik cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya dosis temu putih yang diberikan, artinya ekstrak temu putih dapat menyebabkan spermatozoa menjadi immotil atau bergerak tak teratur. Rata-rata spermatozoa immotil paling banyak ditemukan pada kelompok dosis 200 mg/kg BB/hari. Spermatozoa yang tidak bergerak ini belum tentu mati. Immotilitas spermatozoa ini dapat saja terjadi karena spermatozoa tidak memiliki energi yang cukup. Keterbatasan energi ini mungkin disebabkan kondisi spermatozoa itu sendiri sejak sebelum dilakukan pemeriksaan. Untuk mengetahui spermatozoa yang tidak bergerak ini masih hidup atau sudah mati, dilakukan pengecatan supravital. Penurunan motilitas spermatozoa ini kemungkinan disebabkan adanya zat toksik dalam temu putih yang dapat menurunkan motilitas spermatozoa. Menurut Soeharso (1985), perangkat motilitas spermatozoa atau aksonem disusun oleh mikrotubulus dan protein-

41

protein kontraktil lain. Susunan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga dapat mengorganisasi gerakan-gerakan yang pada akhirnya tampak sebagai simpangan ke kanan dan ke kiri ekor spermatozoa. Tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan aksonem itu diperoleh dari pemecahan ATP oleh enzim ATP-ase melalui proses respirasi atau glikolisis. Selain itu, motilitas spermatozoa juga dipengaruhi oleh fisiologi spermatozoa itu sendiri, yang antara lain distribusi ion dalam sel. Zat toksik dalam temu putih mungkin dapat mengganggu respirasi atau glikolisis dalam aksonem sehingga mengganggu aktivitas enzim ATP-ase pada membran spermatozoa. Kemungkinan lain dapat juga disebabkan terganggunya aktivitas protein dinein, salah satu protein pada ekor spermatozoa, yang mempunyai aktivitas ATP-ase (Grady dan Nelson, 1972), sehingga energi yang dihasilkan tidak maksimal dan motilitas spermatozoa terganggu. Kecenderungan penurunan motilitas spermatozoa ini setelah dianalisis statistik tidak menunjukkan adanya beda nyata. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak temu putih sampai dosis 300 mg/kg BB/hari tidak menyebabkan penurunan motilitas spermatozoa secara nyata. Untuk mengetahui apakah spermatozoa immotil pada kelompok perlakuan hidup atau mati dilakukan pewarnaan diferensial dengan menggunakan zat warna neutral red. Setelah diwarnai, selanjutnya diamati di bawah mikroskop perbesaran 200 kali dan dihitung spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna sampai berjumlah 100. Menurut Nalbandov (1990), terdapat perbedaan afinitas menghisap zat warna antara sel spermatozoa hidup dan mati, sehingga memberi kemungkinan untuk menaksirkan jumlah spermatozoa hidup atau mati. Perbedaan afinitas menghisap zat warna ini karena selsel yang mati akan menyerap warna. Hal ini disebabkan karena permeabilitas membran sel spermatozoa mati meningkat terutama di daerah kepala yang tidak tertutup akrosom, sedangkan pada spermatozoa hidup membran sel utuh dan sukar ditembus zat warna (Nalbandov, 1990). Tabel 5. Viabilitas spermatozoa setelah perlakuan temu putih. Spermatozoa hidup Spermatozoa mati (%) M ± SD (%) M ±SD 0 mg/kg BB/hari 26,4 ± 1,62 a 73,6 ± 1,62a 100 mg/kg BB/hari 31,8 ± 2,12 b 68,2 ± 2,71 b c 200 mg/kg BB/hari 41,0 ± 3,52 c 59,0 ± 3,49 d 300 mg/kg BB/hari 50,8 ± 3,25 49,2 ± 3,25 d Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata Dosis Perlakuan

Tabel 5 menunjukkan adanya penurunan viabilitas (kemampuan hidup) spermatozoa sejalan dengan penambahan dosis ekstrak temu putih. Penurunan motilitas dan viabilitas spermatozoa akibat pemberian ekstrak temu putih, kemungkinan disebabkan adanya zat toksik dalam temu putih khususnya yang bersifat antifertilitas, sehingga menurunkan motilitas atau bahkan mematikan spermatozoa dan menurunkan viabilitasnya (Purwaningsih dan Susmiarsih, 1998). Zat toksik ini kemungkinan berupa kurkumin (Listaningsih, 2000). Kemungkinan lain adalah terganggunya fungsi sel Sertoli sebagai penunjang, pelindung dan pengatur nutrisi bagi spermatozoa yang

42

SISWANTI dkk. – Pengaruh Curcuma zedoaria pada testis Mus musculus

berkembang (Junqueira, dkk., 1995). Terganggunya fungsi sel Sertoli menyebabkan terganggunya pertukaran dan metabolisme sel sehingga dapat mematikan spermatozoa. Dari uji ANOVA untuk viabilitas spermatozoa, secara umum dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ekstrak temu putih bersifat toksik sehingga dapat mematikan spermatozoa. Jadi, meskipun ekstrak temu putih tidak mempengaruhi motilitas atau kecepatan gerak, tapi justru dapat mematikan spermatozoa mencit. Untuk mengetahui abnormalitas spermatozoa setelah perlakuan ekstrak temu putih, maka dibuat preparat apus yang diwarnai dengan neutral red dan dilihat dibawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Morfologi spermatozoa mencit normal terdiri dari kepala, badan dan ekor. Kepala spermatozoa mencit berbentuk kait dan mempunyai panjang ± 0,008 mm. Panjang keseluruhan spermatozoa mencit ± 0,1226 mm (Rugh, 1968). Bentuk abnormalitas yang muncul setelah perlakuan ekstrak temu putih dapat dibedakan menjadi abnormalitas primer dan sekunder. Abnormalitas primer merupakan abnormalitas yang berasal dari gangguan testis dan biasanya terjadi pada daerah kepala (Partodihardjo, 1980). Kelainan pada kepala umumnya berupa kelainan tudung akrosom (Purwaningsih, 1996). Kelainan ini dapat terjadi pada fase spermiogenesis, dimana terjadi pembelahan sel secara meiosis yang salah satu tahapannya adalah pembentukan tudung akrosom. Tudung akrosom berperan menembus sel telur pada saat pembuahan. Selain pada kepala, bentuk abnormalitas primer dapat pula terjadi pada daerah leher. Kelainan ini akan menyebabkan penurunan motilitas spermatozoa, karena selain di bagian ekor pada bagian leher spermatozoa juga terdapat berkas fibril yang penting untuk pergerakan spermatozoa. Abnormalitas sekunder menurut Toelihere (1985), dapat terjadi setelah spermatozoa meninggalkan tubulus seminiferus, selama perjalanan melalui saluran epididimis dan vas deferens, selama ejakulasi atau dalam perjalanan melalui saluran urethra. Tetapi abnormalitas sekunder dapat juga disebabkan perlakuan yang terlalu keras pada saat pembuatan preparat.Bentuk abnormalitas sekunder pada penelitian ini antara lain spermatozoa tanpa kepala atau tanpa ekor, dan ekor melingkar atau pertautan pada kepala. Spermatozoa tanpa kepala atau tanpa ekor ini mungkin disebabkan kesalahan pembuatan preparat. Menurut Lu (1995), suatu toksikan dapat menurunkan jumlah sel-sel spermatogenik dan menyebabkan abnormalitas spermatozoa. Hal ini dapat dimengerti karena spermatozoa merupakan hasil akhir dari spermatogenesis, sehingga apabila proses ini dihambat atau dipengaruhi oleh suatu zat, maka spermatozoa yang dihasilkan juga megalami gangguan yang dapat dilihat sebagai abnormalitas. Dengan demikian selain mempengaruhi spermatogenesis dan menurunkan kualitas spermatozoa, ekstrak temu putih juga mengakibatkan abnormalitas spermatozoa mencit.

KESIMPULAN Ekstrak temu putih (C. zedoaria Rosc.) dapat mempengaruhi spermatogenesis mencit dengan menurunkan jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan lapisan sel spermatogenik, serta menurunkan kualitas spermatozoa mencit dengan menurunkan kecepatan gerak, motilitas dan viabilitasnya. Pemberian dosis temu putih sebanyak 300 mg/kg BB/hari secara nyata mempengaruhi spermatogenesis dan kualitas spermatozoa. DAFTAR PUSTAKA Fitria, L. 2000. Pengaruh Ekstrak Kuda Laut (Hippocampus kuda Blecker) terhadap Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa Mencit Jantan (Mus musculus). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM Frandson, A. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Yogyakarta: UGM Press Grady, A.V. dan L. Nelson, 1972. Cationic influences on sperm biopotential. Experimental Cell Research 73: 192-195. Gufron, M, dan S. Herwiyanti. 1995. Gambaran Histologik Spermatogenesis Tikus Putih (Rattus norvegicus) setelah Diberi Makan Terong Tukak (Solanum torvum). Jurnal Kedokteran Yarsi 2 (3): 28-35. Junqueira, L.C., J Carneiro dan R.O Kelley. 1995. Histologi Dasar. Edisi 8. Penerjemah: Tambayong, J. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Listyaningsih, S., B. Widjokongko dan O.P Astirin. 2000. Pengaruh Pemberian Ekstrak Kunyit Putih terhadap Perkembangan Folikel Ovarium Mencit. Surakarta: Fakultas Kedokteran UNS. Lu, F.C. 1995. Toksikologi Dasar Azas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Penerjemah: Nugroho, E. Jakarta: UI Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia dan Unggas Penerjemah: Keman, S. Jakarta: UI Press. Nurrochmad, A dan R. Murwanti. 2000. Efek hepatoprotektif ekstrak alkohol rimpang temu putih (Curcuma zedoaria Rosc.) pada tikus putih jantan. Pharmacon 1 (1): 31-36. Panghiyangani, R. 1994. Struktur Histologis Tubulus Seminiferus Testis dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) setelah Perlakuan Kafein. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM. Partodihardjo, S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Penerbit Mutiara Purwaningsih, E dan T. Susmiarsih. 1998. Efek spermatisida ekstrak biji oyong (Luffa acutangula Roxb.) terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa in-vitro. Jurnal Kedokteran Yarsi 6 (3): 54-65. Purwaningsih, E. 1996. Morfologi Spermatozoa : Adakah Kaitannya dengan Keberhasilan Kehamilan?. Jurnal Kedokteran Yarsi 4 (1): 1727. Soeharso, P. 1985. Beberapa aspek biokimia plasma semen dan spermatozoa. Dalam Nukman, M. dan T. Arjatmo (ed). Proses Reproduksi, Kesuburan dan Seks Pria dalam Perkawinan. Jakarta: FKUI. Sudomo, A dan D.G. Tamtomo. 1979. Perubahan Struktur Histologis Testis sesudah Vasektomi. Dalam Hadi, K. (ed): Spermatologi. Surabaya: Perkumpulan Andrologi Indonesia. Sumarjan, S. 1992. Jamu suatu tinjauan dari sudut sosiologi. Dalam Agoes, A. dan Jacob (ed): Antropologi Kesehatan Indonesia. Jilid I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Toelihere, M.R. 2985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa. Turner, C.D. dan Bagnara. 1988. Endokrinologi Umum. Surabaya: Universitas Airlangga. Winarni, D. 1996. Kadar lutenaizing hormon serum dan spermatogenesis tikus putih (Rattus norvegicus L.) dewasa setelah pemberian estrogen dengan lama waktu berbeda. Berkala Penelitian Hayati, Journal of Biological Researches 2 (1): 15-24.

Related Documents

B050109
December 2019 3

More Documents from "Biodiversitas, etc"

B010105
December 2019 2
B040215
December 2019 2
B050102
December 2019 2
B050103
December 2019 2
B050108
December 2019 2
B050109
December 2019 3