PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN KIMIA “Peran Knowledge, Skill dan Value dalam Pendidikan Kimia di Era Globalisasi”
Editor: Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc. Dra. Rilia Iriani, M.Si. Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si. Drs. Rusmansyah, M.Pd. Drs. Maya Istiadji, M.Pd. Almubarak, S.Pd, M.Pd.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN KIMIA Peran Knowledge, Skill dan Value dalam Pendidikan Kimia di Era Globalisasi” ISBN : 9786026030610 Editor: Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc Dra. Rilia Iriani, M.Si Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si Drs. Rusmansyah, M.Pd Drs. Maya Istiadji, M.Pd Almubarak, S.Pd, M.Pd Desain Sampul: Muhammad Fakhri Nawidi Tata Letak: Ahmad Mar’ie Kurniawan Nadya Hidayati Suci Aulia Diana Pemeriksa Aksara: Rahmat Eko Sanjaya, M.Si Penerbit : Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Redaksi : Jl. Brigjend. H. Hasan Basri Laboratorium MIPA FKIP ULM Kayutangi-Banjarmasin 70123 Telp 089528398393 Email :
[email protected] Cetakan pertama, September 2017 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
i
SUSUNAN KEPANITIAAN SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN KIMIA 2017 Penanggung Jawab Ketua Pelaksana Sekretaris Bendahara
: Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc : Drs. Parham Saadi, M.Si : Drs. Syahmani, M.Si : Drs. Abdul Hamid, M.Si
Divisi Kajian Ilmiah
: 1. Arif Sholahuddin, S.Pd, M.Si 2. Drs. Rusmansyah, M.Pd 3. Drs. Maya Istiadji, M.Pd 4. Dra. Hj. Rilia Iriani, M.Si
Co. Divisi Acara Anggota
: Rahmat Eko Sanjaya, S.Pd, M.Si : 1. Ahmad Mar’ie Kurniawan 2. Suci Aulia Diana 3. Nadya Hidayati 4. Tyo Adi Samudera 5. Nur Aisyah 6. M. Hasbie
Co. Divisi Kesekretariatan Anggota
: Khairiatul Muna, S.Pd, M.Pd : 1. Yuniza Shafarina 2. Nurusshobah 3. Shinta Uky Septiyani 4. M. Haris Fadillah 5. Riska Melinda H. 6. Triana Maulida A. 7. Hidayatul 8. Nurwahyu Ningsih
Co. Divisi Humas, Publikasi dan Dokumentasi : Restu Prayogi, S.Pd Anggota : 1. Arif 2. Indah Kurniasih 3. Amalia Yunita 4. Rizaldi 5. Nuranisa 6. M. Awaluddin F. 7. Rifa Husana M.
ii
8. Siti Rahmah 9. Fitria Irliyani Co. Divisi Perlengkapan Dan Konsumsi Anggota
: Drs. Mahdian, M.Si : 1. M. Nor Aufa 2. Bety Anitasari 3. Gusti Nida N. 4. Amalia Septhyanda 5. Siti Rahmah 6. Seri Rejeki Y.
iii
KATA PENGANTAR Puji
syukur
dipanjatkan
kepada
Tuhan
Yang
Maha
Esa
atas
terselenggaranya Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017, sehingga prosiding seminar nasional pendidikan kimia ini dapat diselesaikan. Seminar Nasional Pendidikan Kimia ini merupakan agenda rutin bagi Program Studi Pendidikan Kimia yang akan diselenggarakan dua tahun sekali. Prosiding ini bertujuan mendokumentasikan dan mengomunikasikan hasil presentasi paper pada seminar nasional yang diselenggarakan oleh pendidikan kimia di Himalaya Ballroom Hotel Banjarmasin Internasional. Terima kasih disampaikan kepada pemakalah yang telah berpartisipasi pada desiminasi hasil kajian atau penelitian yang dimuat pada prosiding ini. Terima kasih juga disampaikan pada tim reviewer, tim prosiding, dan segenap yang terlibat. Akhir kata, seiring permohonan maaf, apabila dalam pelaksanaan Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017 ini, kami selaku panitia belum mampu menyajikan persembahan terbaik.
Kami selalu
bertekad untuk
memperbaiki setiap kekurangan pada kegiatan-kegiatan yang akan datang. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Banjarmasin, September 2017
Panitia
iv
SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Seminar Nasional Pendidikan Kimia tahun 2017 dengan tema “Peran Knowledge, Skill dan Value dalam Pendidikan Kimia di Era Globalisasi” yang diselenggarakan pada tanggal 16 September 2017 ini merupakan kegiatan rutin tahunan Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan atmosfer akademik di lingkungan Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM pada khususnya dan Universitas Lambung Mangkurat pada umumnya. Sebagai ajang bertukar pikiran dan berdiskusi, melalui Seminar Nasional ini diharapkan akan dihasilkan pemikiran-pemikiran baru dalam dunia pendidikan yang fokus pada inovasi pembelajaran Sains dan pembangunan karakter dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia Indonesia di era globalisasi. Seminar Nasional ini diikuti oleh 2 (dua) orang pembicara utama, yaitu Prof.H. Effendy. M.Pd, Ph. D. (Guru Besar di Universitas Negeri Malang) dan Muthia Elma, M.Sc, Ph.D. (Dosen Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat), serta pembicara dari berbagai kalangan seperti dosen dan guru Kimia dalam berbagai topik kajian yang berhubungan dengan Sains, Karakter, dan Pembelajaran. Pengkajian yang mendalam perlu dilakukan mengingat Pembelajaran Sains dan Pendidikan Karakter di sekolah menengah saat ini masih menyisakan berbagai permasalahan yang perlu untuk dipecahkan. Langkahlangkah solusi yang kreatif dan inovatif dengan memaksimalkan peran pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang dimiliki. Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan pada panitia, dosen, nara sumber, serta semua pihak yang telah terlibat dalam mensukseskan kegiatan Seminar Nasional ini. Meskipun kecil, sumbangan pemikiran yang dihasilkan dalam Seminar Nasional ini diharapkan akan menjadi oase bagi dahaga ilmu pengetahuan di tengah munculnya berbagai permasalahan pendidikan dan krisis karakter manusia Indonesia dewasa ini. Akhir kata, meskipun mungkin berupa langkah kecil, semoga hasil-hasil pemikiran dalam Seminar Nasional ini mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan dan pembangunan karakter manusia di Indonesia. Aamiin yaa Rabbal Alamiin Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh Banjarmasin, September 2017
Ketua Program Studi Pendidikan Kimia Dr. Hj. Atiek Winarti, M.Pd, M.Sc.
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................... iv SAMBUTAN KETUA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA .............v DAFTAR ISI .................................................................................................... vi MAKALAH SESI PARALEL PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 23 BANJARMASIN PADA MATERI POKOK ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF ................................. 12 Hendra SINTESIS KOMPOSIT LEMPUNG MERAH MAGNETIT SEBAGAI ADSORBEN ZAT WARNA RHODAMINE B ............................ 19 I Made Sadiana, Abdul Hadjranul Fatah, Karelius PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PUPUK UREA LEPAS LAMBAT (SLOW RELEASE) BERBASIS POLISAKARIDA ..................... 31 Ersha Mayori, Asma Nadia, Asma Fauziah, Sunardi PENGARUH KONSENTRASI TEPUNG TAPIOKA TERHADAP EKSTRAK KACANG KEDELAI PADA PEMBUATAN EDIBLE FILM ................................................................................................. 42 Nisa Afifatush Shalihah, Ihda Noor Sari, Iryanti Fatyasari Nata PENGARUH METODE PEMBERIAN TUGAS DAN LATIHAN SOAL TERMOKIMIA MENGGUNAKAN APLIKASI BERBASIS WWW DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JPMIPA FKIP UPR ............................................ 47 Nopriawan Berkat Asi, Feni Widya Halim PERFORMANSI MEMBRAN INTERLAYER FREE-P123 CARBONISED SILICA MELALUI PROSES DESALINASI AIR SUNGAI MARTAPURA......................................................................... 52 Muthia Elma, Fitriani, Arief Rakhman
SINTESIS DAN FUNGSIONALISASI XEROGEL SILICA DAN SILICA-COBALT UNTUK DESALINASI AIR .................................. 58 Muthia Elma, Rahmi Hidayati, Gesit Satriaji Saputro
vi
LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI GURU BIOLOGI DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI TINGKAT MADRASAH ALIYAH KOTA BANJARMASIN ................................................................................. 63 Nazila Rahmatina, Dharmono, Kaspul
KEEFEKTIFAN MODEL COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING (CoPS) TERINTEGRASI KECERDASAN MAJEMUK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KECERDASAN MAJEMUK SISWA SMA ............................................................................... 72 Atiek Winarti, Meida Hijriyanti
MENINGKATKAN SOFT SKILLS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING PADA PEMBELAJARAN STOIKIOMETRI DI KELAS X MIA 3 SMA NEGERI 6 BANJARMASIN .............................. 83 Iriani Bakti, Arif Sholahuddin , Siti Jainab
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING PADA MATERI HIDROLISIS GARAM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK ............................................................................................ 95 Yulia Rahmi
MENGGAGAS PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN ABAD 21 ..................................................... 105 Muhammad Fajri PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERORIENTASI AKTIVITAS SISWA (PBAS) MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI IPA PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DI SMAN 1 BANJARMASIN TAHUN AJARAN 2016/2017 ......................................................................... 113 Yuni Auliana
vii
PENGARUH PENGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR KOLOID SISWA ....................................... 119 Putri Adeyantina
MODEL PEMBELAJARAAN IDEAL PROBLEM SOLVING BERBANTUAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS.......................................................... 128 Arif Sholahuddin , Ricka Farsa Marindu
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ACCELERATED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR STOIKIOMETRI SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TAHUN AJARAN 2016/2017......................................................................................................... 139 Abdul Hamid, Leny, Febrina Rosanti Tirto
VALIDITAS INSTRUMEN PENILAIAN MATERI ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF...................................................... 145 Lia Amalia, Ahmad Rusyadi
POTENSI TANAMAN ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) UNTUK PRODUKSI BIOETANOL GENERASI DUA ................................ 151 Asma Fauziah, Asma Nadia, Ersha Mayori, Sunardi
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERORIENTASI LEARNER AUTONOMY PADA TOPIK OPTIKA GEOMETRI UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH ............................................................................ 160 Abdul Salam M., Sarah Miriam, Misbah
PENGARUH PENAMBAHAN LEMPUNG GAMBUT DAN TAR SEBAGAI PEREKAT TERHADAP KUALITAS BRIKET BIOARANG DARI ECENG GONDOK ......................................................... 166 (Eichhornia crassipes) Ajidannor, Anisa Mauliyanti, Hesty Wijayanti
viii
PENGARUH DARI MULTIPLE LAYER SILICA MEMBRANE TERHADAP PROSES DESALINASI AIR LAUT ARTIFISIAL ................................................................................ 174 Muthia Elma, Nur Riskawati, Marhamah
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KONSEP EKOLOGI TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA MA BANJARMASIN ....................................... 182 Hj. Dessy Abdumawaty, Kaspul
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN SELF EFFICACY SISWA MELALUI PENDEKATAN SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS KELAS X IPA 3 SMA NEGERI 8 BANJARMASIN ................................................................. 189 Rusmansyah , Ihda Nur Azizah
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT, OBSERVE, EXPLAIN (POE) PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA ............................ 195 Yudha Irhasyuarna, Mahdian, Evi Christina Gultom
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PROCESS ORIENTED GUIDED INQUIRY LEARNING (POGIL) MATERI LARUTAN PENYANGGA SMA NEGERI 10 BANJARMASIN ............................................................... 200 Mahdian, Rilia Iriani, Kumala Suryo Atmojo
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DENGAN PENDEKATAN CHEMO-ENTREPRENEURSHIP (CEP) BERORIENTASI GREEN CHEMISTRY PADA MATERI ASAM BASA KELAS XI MIA DI SMA NEGERI 3 BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2016/2017 .................................................................. 208 Rilia Iriani, Yudha Irhasyuarna, Alya Amini
ix
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT-DISCUSS-EXPLAINOBSERVE-DISCUSS-EXPLAIN BERBANTUAN MEDIA FLASH PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA ................................... 215 Parham Saadi , Salamat
IMPLEMENTASI MODEL ACCELERATED LEARNING TIPE MASTER BERVISI SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA ....................................... 223 Muhammad Kusasi, Atiek Winarti, Muhammad Zufri
MULTIMEDIA INTERAKTIF VERSUS KERJA LABORATORIUM UNTUK MENDORONG KETERLIBATAN SISWA BELAJAR LAJU REAKSI, MANA YANG LEBIH UNGGUL ? ............................................................... 230 Maya Istyadji, Arif Sholahuddin ,Wulandari
x
PENGARUH PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 23 BANJARMASIN PADA MATERI POKOK ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF The Effects Of Contextual Teaching And Learning Approach On Social Skills Studentsjunior High School 23 Banjarmasin Viii Grade In Basic Material Additive And Addictive Substance Hendra Magister Keguruan IPA, Universitas Lambung Mangkurat E-mail :
[email protected] Abstrak. Telah dilakukan penelitian pendahuluan tentang pengaruh pendekatan pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan CTL terhadap keterampilan sosial siswa. Metode penelitian yang digunakan adalah one grup pretest-postest eksperiment. Sampel penelitian adalah siswa kelas VIII SMP Negeri 23 Banjarmasin. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa meningkat dari kategori cukup ke kategori baik. Kata kunci: Contextual Teaching Learning (CTL), Keterampilan Sosial.
Abstract. Preliminary research has been conducted on the influence of Contextual Teaching And Learning (CTL) learning approaches on the additives and addictive substances subject. This research aimed to determine the effect of CTL approach on students’ social skills. Research method used one group pretest-postest experiment. Research sample was the students of Junior High School 23 Banjarmasin, Class VII. Data collecting Technique used observation sheet. The results showed that students' social skills increased from enough to good category. Keywords: Contextual Teaching Learning, Social Skills.
PENDAHULUAN Berbagai macam karakter yang dibawa siswa dari luar kelas memberi warna dalam proses interaksi siswa di kelas. Keberagaman tersebut dapat memunculkan banyak masalah jika tidak diorganisir dengan baik melalui suatu proses pembelajaran yang efektif. Pengorganisasian berbagai karakter yang dibawa siswa dalam pembelajaran secara efektif akan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran dan dapat mengembangkan berbagai potensi dan kebiasaan positif yang dimiliki setiap siswa. Kegiatan pengorganisasian mengarah pada pengembangan keterampilan sosial siswa di dalam kelas. Menurut Yusuf (2000) bahwa dalam Keterampilan sosial sendiri secara umum merupakan kemampuan berinteraksi dengan orang lain sesuai konteks sosial yang ada. Kemudian, dengan cara-cara tertentu yang sesuai tata nilai atau penerimaan sosial, dan pada saat yang sama dapat membuahkan manfaat personal, keuntungan bersama atau keuntungan dasar bersama orang lain. Setiap anak dilahirkan belum memiliki keterampilan sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar
1
cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman berinteraksi dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua, saudara, teman sebaya, atau orang dewasa lainnya (Yusuf, 2000). Keterampilan sosial ini dipandang penting karena berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan yang cukup erat antara keterampilan sosial siswa dengan berbagai kemampuan lainnya seperti menjalin kerjasama dalam kelompok, berinteraksi dengan sebayanya, bergabung dalam kelompok, menjalin pertemanan baru, menangani konflik, belajar bekerja sama bahkan turut menunjang hasil belajar siswa juga. Kurangnya keterampilan sosial siswa akan berdampak pada rendahnya prestasi akademik siswa tersebut, cenderung kesepian dan menampakkan self-esteem yang rendah, dan ada kemungkinan akan dropt-out dari sekolah (Muijs dan Reynolds, 2008). Selain itu menurut Ernawulan dalam Jumiatin (2015), permasalahanpermasalahan yang ditemukan pada siswa adalah ketidakmampuan bersosialisasi dan mengendalikan emosi. Permasalahan yang ditemukan apabila dibiarkan, anak akan mengalami kesulitan untuk mengembangkan dir. Fakta dilapangan menunjukkan keterampilan sosial masih belum optimal diterapakan. Para pendidik belum mengetahui bagaimana cara untuk menerapkan pembelajaran efektif yang memberikan dampak positif bagi keterampilan sosial siswa. Salah satu alternatif yang bisa dgunakan para pendidik untuk menerapkan keterampilan sosial dikelas ialah dengan pembelajaran berbasis pendekatan Contextual Teaching & Learning (CTL), atau dikenal juga sebagai Pembelajaran Kontekstual. Menurut Sihono (2004), pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, transfer pengetahuan yang lintas disiplin akademik, pengumpulan, analisis, dan sintesis informasi atau data dari berbagai sumber dan sudut pandang. Sejalan dengan pendapat tersebut, Searsh dan Hersh (2001) menyataan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan suatu pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar di mana siswa menerapkan pemahaman dan kemampuan akademis dalam berbagai variasi konteks baik di dalam maupun di luar sekolah, untuk menyelesaikan masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan secara individu maupun kelompok. Selain itu menurut Jhonson (2010) bahwa, di dalam pembelajaran kontekstual ini mampu menumbuhkan kemampuan siswa untuk berinteraksi, berkerja sama dan beromunikasi dalam setiap pembelajaranya. Menurut Borko & Ralph (1998) menyatakan bahwa pembelajaran dengan melibatkan konteks mampu meingkatkan keterampilan sosial dan penguasaan konsep siswa. Hal ini terwujud karena adanya aktivitas diskusi. Dengan adanya aktivias diskusi maka dapat membantu siswa untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi aktif secara sosial. Berdasar uraian di atas peneliti tertarik untuk menerapkan pendekatan CTL. Hal ini diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya peningkatan terhadap keterampilan sosial siswa dan kualitas pembelajaran di kelas. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dari langkah penelitian pengembangan. sampel dalam penelitian ini adalah siswa dari SMP Negeri 23 Banjarmasin. Sampel yang terlibat sebanyak 12 orang siswa kelas VIII SMP Negeri 23 Banjarmasin. Penelitian ini mengangkat topik zat aditif dan adiktif semsester I. Metode penelitian yang digunakan ialah one grup pretest-postest eksperiment. Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini berupa butir soal tes kognitif dan lembar observasi keterampilan sosial. Teknik analisis data Skor hasil belajar kognitif siswa yang telah dihitung dikonversi ke skala empat dengan rumus sebagai berikut Nilai=
𝑆𝑘𝑜𝑟 (𝑃) 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
x4
Setelah dikonversi dengan skala empat kemudian di diinterpretasikan pada Tabel 1.1 untuk memperoleh kategori dari hasil belajar kognitif siswa.
2
Tabel 1.1 Konversi Hasil Belajar Predikat Nilai Kategori A 3,68-4,00 Sangat baik A3,34-3,67 B+ 3,01-3,33 B 2,68-3,00 Baik B2,34-2,67 C+ 2,01-2,33 C 1,68-2,00 Cukup C1,34-1,67 D+ 1,01-1,33 Kurang D≤1,00 Sumber : (Permendikbud, 2013) Data hasil belajar kognitif juga disajikan secara deskriptif dengan cara melihat perkembangan n-gain dari tiap perolehan skor tes hasil belajar. Kategori skor n-gain disajikan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Kategori skor n-gain Rentang
0.7 ≤ ()≤1,0 0.3 < () < 0.7 () ≤ 0.3
Kategori Tinggi Sedang Rendah
Sumber : (Hake, 1999) Kedua untuk data hasil belajar afektif didapat dari lembar observasi dan dikonversi ke skala empat tabel 1.1 dengan rumus sebagai berikut. Nilai=
𝑆𝑘𝑜𝑟 (𝑃) 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑀𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
x4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Rekapitulasi tes hasil belajar dilakukan melalui pretest dan posttest Rekapitulasi hasil pretest pada tahap uji coba terbatas dengan materi pokok zat aditif dan zat adiktif disajikan pada Tabel 1.3. Tabel 1.3 Hasil rekapitulasi pretest Tingkat No Indikator Predikat Kategori keberhasilan 1 1 1.99 C Cukup 2 2 1,57 CCukup 3 3 1.99 CCukup 4 4 1,33 D+ Kurang 5 5 1,32 D+ Kurang 6 6 1,91 D+ Kurang Skor rata-rata 1,69 C Cukup Data rekapitulasi pretest secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.1.
3
4 3.6 3.2 2.8 2.4 2 1.6 1.2 0.8 0.4 0
1.99
1.99
1.91
1.57
1
2
3
1.33
1.32
4
5
6
Indikator
Gambar 1.2 Rekapitulasi Hasil Pretest Keterangan Indikator : 1 : Menjelaskan karakteristik zat aditif. 2 : Menjelaskan jenis-jenis zat aditif 3 :Menentukan jenis-jenis bahan aditif yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi kesehatan. 4 : Menjelaskan karakteristik zat adikif 5 : Menentukan zat adiktif bukan narkotika dan psikotropika, narkotika dan psikotropika. 6 : Menyimpulkan pengaruh/dampak yang timbul dari penggunaan zat adiktif dan cara pencegahannya. Rekapitulas hasil post-test pada tahap uji coba terbatas dengan materi pokok zat aditif dan zat adiktif disajikan pada Tabel 1.4. Tabel 1.4 Hasil Rekapitulasi Post-Test Tingkat No Indikator Predikat Kategori keberhasilan 1 1 3,54 -A Sangat baik 2 2 3,42 -A Sangat baik 3 3 3,55 -A Sangat baik 4 4 3,33 B+ Baik 5 5 3,06 B+ Baik 6 6 3,74 A Sangat baik Skro rata-rata 3,44 ASangat baik Data rekapitulasi pretest secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1.2. 4 3.6 3.2 2.8 2.4 2 1.6 1.2 0.8 0.4 0
3.54
1
3.42
2
3.74
3.55
3.33
3
4
3.06
5
6
Indikator
Gambar 1.2 Rekapitulasi Hasil Post-Test
4
Keterangan Indikator : 1. 2. 3.
1 = Menjelaskan karakteristik zat aditif. 2 = Menjelaskan jenis-jenis zat aditif. 3 = Menentukan jenis-jenis bahan aditif yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi kesehatan. 4 = Menjelaskan karakteristik zat adikif. 5 = Menentukan zat adiktif bukan narkotika dan psikotropika, narkotika dan psikotropika. 6 = Menyimpulkan pengaruh/dampak yang timbul dari penggunaan zat adiktif dan cara pencegahannya.
4. 5. 6.
Perbandingan tingkat penguasaan siswa untuk tiap indikator pada keadaan sebelum dan sesudah pembelajaran disajikan pada Gambar 1.3. 4 3.6 3.2 2.8 2.4 2 1.6 1.2 0.8 0.4 0
3.54
1.99
3.33
3.06
1.99 1.57
1
3.74
3.55
3.42
2
1.91 1.33
3 Indikator pretest
1.32
4
5
6
Indikator Post-test
Gambar 1.3Perbandingan Tiap Indikator Pretest-Post-Tes Untuk perolehan skor N-Gain pretest-post-test disajikan pada Tabel 1.5. Tabel 1.5 Perolehan Skor N-Gain Pretest-Post-Test No. Sampel N-Gain Kategori N-Gain 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Siswa 1 0,6 Tinggi Siswa 2 0,7 Tinggi Siswa 3 0,5 Sedang Siswa 4 0,4 Sedang Siswa 5 0,4 Sedang Siswa 6 0,6 Sedang Siswa 7 0,7 Tinggi Siswa 8 0,4 Sedang Siswa 9 0,4 Sedang Siswa 10 0,7 Tinggi Siswa 11 0,5 Sedang Siswa 12 0,9 Tinggi Rata-rata N-Gain 06 Sedang pretest-post-test Berdasarkan Gambar 1.5 terlihat peningkatan pemahaman dan penguasan siswa terhadap tiap-tiap indikator pembelajaran pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Peningkatan yang terjadi dalam kategori sedang apabila ditinjau dari skor Ngain sebesar 0,6. 2.
Rekapitulasi keterampilan sosial Rekapitulasi hasil keterampilan sosial pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif disajikan secara umum pada Tabel 1.5.
5
Tebel 1.5 Rekapitulasi Secara Umum Keterampilan Sosial Keterampilan No. Sampel Sosial 1 Siswa 1 Baik 2 Siswa 2 Cukup 3 Siswa 3 Baik 4 Siswa 4 Baik 5 Siswa 5 Baik 6 Siswa 6 Baik 7 Siswa 7 Cukup 8 Siswa 8 Baik 9 Siswa 9 Baik 10 Siswa 10 Baik 11 Siswa 11 Baik 12 Siswa 12 Baik Keterangan: Keterampilan sosial : Aspek yang dinilai adalah berkerja sama Berdasarkan tabel 1.5 terlihat hampil seluruh siswa menunjukkan keterampilan sosial untuk mau berkerja sama dengan baik. Berdasarkan penilaian terhadap hasil keterampian sosial dan hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa pendekatan CTL efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran dikelas. Hal ini disebabkan CTL mampu mengkonstruk pengalaman siswa secara aktif dalam pembelajaran melalui aktivitas hands-on dan mind-on yang menghubungkan konten dunia nyata dengan konten pendidikan. CTL juga membuat siswa tidak hanya memperoleh konsep yang sudah diajarkan guru, tetapi menemukan sendiri pengetahuan itu sehingga memungkinkan terbentuknya pengetahuan yang lebih bermakna. Sehingga siswa mudah me-recall kembali pengetahuan yang didapatnya. Inilah yang memberi dampak positif terhadap hasil kognitif siswa. Selain itu hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Greeno dalam Smith (2012) dengan meggunakan pendekatan CTL mampu mengtransper pengetahuan dari ruang kelas kedalam dunia nyata siswa melalui pembelajaran aktif dan berbasis masalah. Hasil dari transfer pengetahuan ini yang mampu membantu meningkatkan hasil belajar dan penguasaan konsep siswa. Sedangkan terjadinya peningkatan terihadap keterampilan sosisal siswa ini disebabkan karena adanya intraksi aktif dari siswa baik dalam hal kerja sama untuk bersam-sama menyelesaikan masalah dalam pembelajaran melalui pendekatan CTL. Temuan penelitian ini didukung hasil penelitian terdahulu oleh Borko & Ralph (1998) menyatakan bahwa pembelajaran dengan melibatkan konteks mampu meingkatkan keterampilan sosial dan penguasaan konsep siswa. Hal ini terwujud karena adanya aktivitas diskusi. Diskusi merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan aspek sosial dan penguasaan konsep dalam pembelajaran. melalui diskusi terjadi interaksi dan pemerataan pengetahuan antara siswa, bahan ajar dan konteks CTL. Hasil penelitian ini turut juga didukung oleh Wade (1998) menyebutkan CTL dengan komponen commmunity service learningnya mampu meningkatkan nilai-nilai sosial siswa. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dilapangan terdapat peningkatan keterampilan sosial dan hasil belajar pada siswa kelas VIII SMP 23 Banjarmasin dengan menggunakan pembelajaran dengan pendekatan Contextual Teaching &Learning. Dan dengan pendekatan ini pula diharapkan dapat membantu meningkatkan pembelajaran di dalam kelas.
6
DAFTAR PUSTAKA Borko,H & Ralph,P.1998. The Role of Context in Teacher Learning adn Teacher Education. Eric Clearinghouse on adult, career and vactional education, Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching and teacher education, Washington DC, No 376 ED 427 263. Jumiatin, Dedah. 2015. Pengaruh Pembelajaran Contextual Teaching & Learning (CTL) Terhadap Keterampilan Sosial Anak Usia Dini. Jurnal Tunas Siliwangi, Vol.1 No.1. Jhonson,E.B. 2010. Contextual Teaching and Learning Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan Dan Bermakna. Bandung : Kaifa Learning. Muijs dan Reynolds. 2008. Effective Teaching (Teori dan Aplikasi). Yogyakarta : Pustaka Belajar. Sears, Jones, S. & Hersh, Susan. B. 1998. Contextual Teaching and Learning: An Overview Of The Project. Eric Clearinghouse on adult, career and vactional education, Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching and teacher education, Washington DC, No 376 ED 427 263. Sihono, T. 2004. Contextual Teaching and Learning (CTL) Sebagai model Pembelajaran Ekonomi dalam KBK. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 1 Nomor 1. Smith, P. B. 2010. Instructional Strategies in Family and Consumer Sciences: Implementing the Contextual Teaching and Learning Pedagogical Model, Journal of Family & Consumer Sciences Education, 28(1), Wade,R.C.1998. Community Service Learning : Collaborating With The Community as a Context for Authentic Learning. Eric Clearinghouse on adult, career and vactional education, Columbus, OH: Eric clearinghouse on Teaching and teacher education, Washington DC, No 376 ED 427 263 Yusuf, S. (2000). Psikologi Perkembangan Anak. Bandung: Remaja Rosdakarya.
7
SINTESIS KOMPOSIT LEMPUNG MERAH MAGNETIT SEBAGAI ADSORBEN ZAT WARNA RHODAMINE B Synthesis Of Red Clay Magnetite Composite As Adsorbent Of Rhodamine B Dye I Made Sadiana1*, Abdul Hadjranul Fatah1, Karelius1 1Prodi
Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya, Kampus UPR Jl. H. Timang, Palangka Raya e-mail: [email protected] Abstrak. Sintesis komposit lempung merah magnetit telah dilakukan. Komposit kemudian diaplikasikan sebagai adsorben zat warna rhodamine B dalam larutan. Sintesis komposit lempung merah magnetit dilakukan dengan aktivasi asam terhadap lempung merah, selanjutnya dikompositkan dengan magnetit menggunakan metode kopresipitasi dengan rasio mol Fe2+ : Fe3+ = 1 : 2 pada temperatur 85οC. Karakterisasi terhadap hasil sintesis dilakukan dengan XRD dan FTIR. Adsorpsi dilakukan menggunakan sistem batch, dengan kajian adsorpsi yang dipelajari meliputi pH optimum, kinetika adsorpsi dan kesetimbangan adsorpsi. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa oksida besi Fe3O4 (magnetit) dapat terkompositkan dengan lempung merah. Lempung merah teraktivasi dan lempung merah magnetik komposit mampu mengadsorpsi rhodamine B dalam larutan dengan adsorpsi optimal terjadi pada pH 3. Adsorpsi rhodamine B oleh kedua jenis adsorben mengikuti persamaan kinetika orde dua semu dengan konstanta laju adsorpsi k2 untuk lempung merah teraktivasi dan lempung merah magnetik masing-masing sebesar 1,68 x 10-3 dan 7,13 x 10-3 g/mg.menit. Pola adsorpsi adalah isoterm Langmuir dengan kapasitas adsorpsi berturut-turut sebesar 1,72 x 10-4 mol/g dan 1,84 x 10-4 mol/g. Model kinetika reaksi ini menunjukan bahwa komposit lempung merah magnetit hasil sintesis mampu menyerap rhodamine B dalam larutan dan mempercepat proses pemisahan partikel adsorben dari larutan dengan medan magnet eksternal. Kata kunci : lempung merah, magnetit, komposit dan adsorpsi Abstract. Synthesis of red clay magnetite composite has been done. The composite applicated as adsorbent of rhodamine B dye in aqueous solution. Red clay was activated with acid solution, synthesis of red clay magnetite composite was done by coprecipitation method in the molar ratio Fe2+: Fe3+ = 1 : 2 at temperature 85οC. Characterization of the synthesis results is done by XRD and FTIR. Adsorption using batch system with the optimum pH, kinetic and equilibrium aspects of adsorption were studied. The characterization results shows that iron oxide Fe3O4 (magnetite) can be composited with red clay. The activated and red clay magnetite composite can adsorbed rhodamine B dye from aqueous solution, with the optimum adsorption at pH 3. Adsorption of those adsorbent followed the kinetic eqution of pseudo order 2 with reaction rate constant for activated and red clay magnetite composite was 1.68 x 10-3 and 7.13 x 10-3 g/mg.minute. The isotherm adsorption was Langmuir isotherm with adsorption capacity namely 1.72 x 10-4 mol/g and 1.84 x 10-4 mol/g. This kinetic reactions model showed that the red clay magnetite composite able to adsorbed rhodamine B in aqueous solution and accelerated separation of adsorbent from aqueous phase by external magnet field. Keywords : red clay, magnetite, composite and adsorption.
PENDAHULUAN Salah satu contoh zat warna yang banyak digunakan pada industri tekstil adalah rhodamine B. Dalam proses pewarnaan, senyawa ini hanya tergunakan sekitar 5% sedangkan 95% sisanya akan dibuang kealiran air sebagai limbah
8
(Purwamargapratala et al., 2013). Jika pemanfaatan zat warna tidak diimbangi dengan penanggulangan limbah yang dihasiLMan, maka akan sangat berdampak pada munculnya berbagai permasalahan lingkungan dan kesehatan, karena sifatnya yang toksik, stabil dan non-degradable (Purwamargapratala et al., 2013). rhodamine B adalah zat warna azo yang mempunyai rumus molekul C16H18NsSCl (BM = 355,85 g/mol) (Zollinger, 1987). Selain digunakan sebagai pewarna tekstil, rhodamine B juga digunakan dibidang pengobatan, bakteriologi dan mikroskopi. Rhodamine B stabil dalam air sehingga air limbah yang mengandung rhodamine Bdapat memberikan dampak negatif terhadap flora, fauna, dan ekosistem air. Meskipun tidak dianggap sebagai pewarna yang sangat beracun, rhodamine B dapat menyebabkan beberapa efek berbahaya seperti muntah, peningkatan denyut jantung, diare, shock, sianosis, ikterus, quadriplegia, dan nekrosis jaringan pada manusia (Brown & De Vito, 1993). Keberadaan zat pewarna ini dalam lingkungan khususnya perairan, membutuhkan penanganan yang serius mengingat faktor resiko yang ditimbulkan. Berbagai metode telah dikembangkan untuk mengatasi masalah pencemaran air, salah satunya ialah metode adsorpsi dengan menggunakan sistem bactch. Metode ini dipilih, karena prosesnya dinilai sederhana, efektif, efisien dan murah (Notodarmojo, 2005). Penerapan metode adsorpsi dalam prakteknya membutuhkan bahan pengikat atau penyerap kontaminan yang disebut sebagai adsorben. Bahan penyerap yang dapat digunakan salah satunya adalah lempung. Lempung alam merupakan mineral yang berasal dari pelapukan kerak bumi yang sebagian besar tersusun oleh batuan feldspatik, terdiri dari batuan granit dan batuan beku. Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki cadangan lempung cukup besar yaitu sekitar 8.900.352.000 m3. Tersebar di beberapa lokasi, seperti di Kota Palangka Raya, Kabupaten Barito Selatan, Barito Utara dan Gunung Mas. Berdasarkan warna dan tempat pembentukkannya, lempung di wilayah Kalimantan Tengah dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yaitu lempung putih, lempung merah dan lempung merah. Perbedaan karakteristik salah satunya disebabkan karena jenis mineral penyusun yang mendominasi dan kehadiran bahan lain yang terkandung di dalamnya, seperti oksida besi dan fragmen batuan. (Amarullah et al., 2002). Lempung memiliki beberapa kelebihan, yakni sifat mudah mengembang, kapasitas tukar kation yang tinggi, luas permukaan yang besar, dan stabil secara kimia dan mekanika (Ortega et al., 2013). Sebelum digunakan sebagai adsorben, lempung harus diaktivasi terlebih dahulu untuk melepaskan pengotor-pengotor dari kisi struktur sehingga secara fisik rangkaian struktur (framework) memiliki area yang lebih luas. Aktivasi dilakukan melalui dua cara, yaitu aktivasi secara kimia dan fisis. Proses aktivasi secara kimia dilakukan dengan menggunakan larutan asam dan aktivasi secara fisis dilakukan dengan pemanasan (kalsinasi) (Koyuncu, 2007). Namun aplikasi lempung sebagai adsorben menggunakan sistem batch memiliki kesulitan dalam peoses pemisahan fase padat adsorben dari larutan. Pemisahan hanya didasarkan pada proses pegendapan secara alami oleh gaya gravitasi bumi yang tentunya membutuhkan waktu lama untuk proses pemisahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut ialah dengan mengkompositkan bahan magnetik pada lempung sehingga diperoleh komposit magnetik lempung yang memiliki sifat kemagnetan. Salah satu jenis bahan magnetik yang dapat dikompositkan pada lempung adalah magnetit (Fe3O4). Fasa ini membentuk keteraturan ferimagnetik dengan nilai magnetisasi saturasi (Ms) tertinggi yaitu sebesar 92 emu/g. Sintesis komposit magnetik dapat dilakukan melalui metode kopresipitasi. (Lee et al, 2004). Sintesis komposit diharapkan dapat menghasilkan bahan baru yang mempunyai dua sifat utama yaitu, sifat adsorpsi yang berasal dari lempung dan sifat magnet yang berasal dari bahan magnetik yang terkomposit di dalam jaringan struktur lempung. Keberadaan sifat magnet ini diharapkan dapat mempermudah pemisahan
9
fase padat lempung dari larutan setelah proses adsorpsi dapat dilakukan dengan mudah dan cepat menggunakan medan magnet eksternal (Oliviera, et al., 2003). Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini akan dikaji mengenai sintesis komposit lempung merah magnetit sebagai adsorben zat warna rhodamine B. METODE PENELITIAN Persiapan sampel. Lempung alam yaitu lempung merah asal Kalimantan Tengah dibersihkan dari pengotor kasar, kemudian dioven pada temperatur 70οC selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penggerusan dan diayak dengan menggunakan ayakan lolos 60 mesh. Hasil ayakan yang terdiri dari lempung merah (LM) dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD dan BET. Aktivasi Lempung Alam Sebanyak 50 gram lempung Merah (LM) yang telah diayak, direfluks dengan 250 mL HCl 3 M selama 3 jam pada temperatur 100οC. Kemudian disaring dan dicuci dengan akuades hingga lolos uji klor menggunakan AgNO3 0,1 M. Padatan dikeringkan dalam oven pada temperatur 100οC selama 3 jam, digerus dan diayak dengan menggunakan ayakan lolos 60 mesh. Lempung yang telah diaktivasi dengan larutan asam selanjutnya dikalsinasi menggunakan furnace pada temperatur 500οC selama 3 jam. Produk lempung merah (A-LM) hasil aktivasi, selanjutnya dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD dan BET. Sintesis Komposit Magnetik Lempung Larutan Fe2+ dan Fe3+ dibuat dalam volume 100 mL dengan konsentrasi masingmasing sebesar 0,0125 M dan 0,05 M. Kedua larutan dimasukan ke dalam gelas beker 500 mL yang di dalamnya terdapat 2 gram lempung merah hasil aktivasi (A-LP). Campuran diaduk pada temperatur 85οC, kemudian ditambahkan larutan NH4OH tetes demi tetes hingga pH mencapai 10. Campuran didinginkan selama 3 jam kemudian koloid yang terbentuk dipisahkan dari larutan menggunakan medan magnet eksternal. Padatan dicuci menggunakan akuades dan dioven pada temperatur 110οC selama 2 jam, selanjutnya digerus perlahan-lahan sampai diperoleh bubuk halus. Produk komposit magnetik lempung merah (K-LM) yang telah dihasilkan, dikarakterisasi menggunakan instrument FTIR, XRD. Uji Adsorpsi Lempung Teraktivasi dan Komposit Magnetik Lempung terhadap Zat Warna Uji adsorpsi lempung teraktivasi (A-LM) dan komposit magnetik lempung (KLM) terhadap zat warna rhodamine B dilakukan dengan menggunakan sistem batch melalui 3 tahapan, yaitu penentuan pH optimum, waktu kontak optimum dan kapasitas adsorpsi. Penentuan pH Optimum Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM masing-masing digunakan untuk mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B50 ppm dengan pH awal 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Proses dilakukan menggunakan shaker selama 3 jam pada temperatur kamar. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan Waktu Kontak Optimum Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM masing-masing digunakan untuk mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B 50 ppm pada pH optimum dengan variasi waktu kontak 5, 10, 20, 40, 60, 90, 180 dan 300 menit pada temperatur kamar. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Penentuan Kapasitas Adsorpsi. Sebanyak 0,05 gram sampel A-LM dan K-LM masing-masing digunakan untuk mengadsorpsi 50 mL larutan rhodamine B pada pH dan waktu kontak optimum dengan variasi konsentrasi 10, 20, 30, 40 dan 50 ppm
10
pada temperatur kamar. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Uji Pemisahan Adsorben dalam Larutan Methylene Blue Larutan rhodamine B50 mL masing-masing dimasukan pada 6 buah botol sampel. Kemudian masing-masing botol sampel ditambahkan dengan adsorben ALM dan K-LM, diaduk dan didiamkan beberapa saat. Botol sampel yang terdapat adsorben K-LM diberi medan magnet ekternal. Kemudian diamati apa yang terjadi pada masing – masing campuran. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Lempung Merah Teraktivasi. Persiapan sampel dilakukan dengan pembersihan lempung merah dari pengotor kasar kemudian dilanjutkan dengan pemanasan pada temperatur 100οC selama 3 jam untuk hidrasi molekul air yang terperangkap diruang antar lapis. Lempung merah yang diperoleh kemudian digerus dan diayak hingga lolos ayakan 60 mesh untuk mendapatkan keseragaman ukuran butiran lempung merah. Sampel lempung merah yang telah dipersiapkan, selanjutnya diaktivasi menggunakan larutan asam. Penggunaan larutan asam ditujukan untuk memperbaiki karakteristik permukaan lempung merah yang digunakan sebagai adsorben. Proses perlakuan ini dapat melarutkan pengotor sehingga mulut pori menjadi lebih terbuka yang mengakibatkan permukaan spesifik pori meningkat. Situs aktif juga akan mengalami peningkatan oleh karena itu situs yang tersembunyi menjadi terbuka. Untuk memperoleh sifat tersebut, aktivasi asam dilakukan dengan refluks menggunakan larutan HCl 3 M pada temperatur 100οC selama 3 jam. Perlakuan dengan cara tersebut cukup efektif untuk meningkatkan aktivitas adsorpsi dari lempung merah (Koyuncu, 2008). Larutan asam klorida diketahui merupakan asam yang mampu melarutkan senyawa yang bersifat anorganik dan memiliki kemampuan dalam mendonorkan ion hidrogen (H+) yang digunakan untuk mengimbangi situs negatif yang terdapat pada ruang antar lapis lempung merah. Selama proses aktivasi, pengotor larut dalam fasa cair, kemudian terjadi pertukaran kation K+, Na+, Mg2+ dan Ca2+ pada ruang antar lapis lempung merah dengan ion hidrogen (H+) dari larutan asam, seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Koyuncu, 2007).
Gambar 1. Ilustrasi pertukaran kation pada ruang antar lapis lempung merah Lempung merah yang telah diaktivasi dengan larutan asam selanjutnya dikalsinasi menggunakan furnace pada temperatur 500οC selama 3 jam. Kemudian lempung yang telah lolos ayakan 60 mesh dikalsinasi. Kalsinasi adalah memanaskan padatan pada temperatur tinggi sehingga semua molekul yang teradsorpsi oleh padatan itu lepas. Kalsinasi dilakukan dengan tujuan dapat melepaskan molekul–
11
molekul air, senyawa volatil serta senyawa – senyawa organik yang terperangkap dalam pori – pori padatan dan guna mengkalsinasi lempung yang sudah diaktivasi yaitu untuk menghilangkan logam – logam pengotor yang ada pada didalam lempung merah. Proses kalsinasi bermanfaat untuk menjaga stabilitas termal lempung merah dan memperbesar pori – pori permukaannya. Data spektra FTIR dari sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis memberikan informasi mengenai jenis-jenis vibrasi gugus fungsional pada sampel yang secara tidak langsung juga mengindikasikan keberadaan mineral lempung dan mineral lain serta adanya senyawa pengotor lain. Spektra FTIR sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Spektra inframerah sampel (a) lempung merah, (b) lempung hasil aktivasi dan (c) lempung magnetit hasil sintesis Gambar 2 menunjukkan adanya puncak pada daerah bilangan gelombang 3695,34; 3687,63 ; dan 3363,61 cm-1 sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis secara berturut-turut. Puncak serapan di daerah sekitar 3300-3600 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi ulur –OH yang memiliki perbedaan lingkungan, yaitu –OH yang terikat pada atom Al-oktahedral, pada permukaan silikat atau pada antar lapis. Pita serapan tersebut berkorelasi dengan adanya bilangan gelombang 906,48; 914,19; dan 914,19 cm-1 masing-masing berturut-turut sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis. Puncak serapan tajam pada daerah sekitar 1000 cm-1 adalah karakteristik vibrasi ulur dari Si-O. Serapan kuat pada daerah 950-1250 cm-1 adalah vibrasi ulur dari M-O (dimana M = Si atau Al dan logam lainnya) yang melibatkan gerakan utama dari atom oksigen Si-O (Eren et al., 2009) Terjadinya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih besar pada lempung alam yaitu 995,20 cm-1dan 906,48 cm-1 yang bergeser menjadi 1002,91 cm1 dan 914,19 cm-1 pada lempung hasil aktivasi mengidentifikasikan terjadinya pengaturan struktur rangka lempung akibat terlepasnya molekul air karena kalsinasi dan aktivasi asam. Hal ini juga memperkuat dugaan semakin homogennya lingkungan dari mineral silika-alumina yang secara tidak langsung menunjukkan berkurangnya mineral dan senyawa pengotor yang ada karena proses kalsinasi dan aktivasi asam (Saikia et al., 2003). Terjadinya pergeseran bilangan gelombang ke arah yang lebih kecil mengidentifikasikan pengaturan struktur kerangka yang di akibatkan masuknya oksida besi ke dalam struktur rangka lempung setelah sintesis. Pergeseran bilangan gelombang 3687,63 cm-1 bergeser menjadi 3363,61 cm-1 menunjukkan penurunan intensitas vibrasi ulur Al-OH. Hal ini mengidentifikasikan vibrasi Al-O dalam keadaan kurang bebas yang terjadi karena terbentuknya ikatan baru antara oksigen
12
dengan besi yang menyebabkan kompetisi kekuatan ikatan antara Al-O-Fe diruang antar lapis lempung (Saikia et al., 2003). Analisis terhadap data difraktogram difraksi sinar-X digunakan untuk memperkuat dugaan tentang mineralogi lempung karena mampu memberikan informasi yang lengkap mengenai komposisi mineral penyusun lempung sebelum dan sesudah perlakukan. Difraktogram sinar-X untuk sampel lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Difraktogram XRD sampel (a) lempung merah, (b) lempung hasil aktivasi dan (c) lempung magnetit hasil sintesis
Identifikasi komponen penyusun sampel dilakukan dengan membandingkan antara posisi puncak intensitas difraksi (2θ). Difraktrogram sinar-X pada Gambar 2 menunjukkan lempung alam tersusun atas Monmorilnoit, Kaolinit,Cristobalit dan Kuarsa. Difraktrogram sinar-X pada Gambar 3 menunjukkan perbedaan yang terjadi antara puncak-puncak lempung merah, lempung hasil aktivasi. Proses kalsinasi dan aktivasi asam berpengaruh pada struktur lempung, yang ditunjukkan dengan hilangnya puncak-puncak pada difraktogram lempung alam. Hilangnya puncakpuncak, Kaolinit, dan kristobalit disebabkan proses metakaolinisasi sehingga struktur kristalnya berubah menjadi amorf. Pada difraktogram lempung hasil aktivasi masih terdapat puncak kuarsa yaitu pada 2θ = 26,468° meskipun bergeser dari sudut 2θ lempung merah yaitu 26,42°. Hal ini terjadi karena penata ulangan struktur lempung yang diakibatkan karena hilangnya molekul air Kristal dan dilusi atom-atom logam pada lempung merah akibat kalsinasi dan aktivasi asam. Struktur kristal dari kuarsa tetap muncul baik pada lempung merah, lempung hasil aktivasi dan lempung magnetit hasil sintesis. Hal ini terjadi karena mineral kuarsa tidak akan rusak pada pemanasan temperatur kalsinasi, dikarenakan kuarsa cukup stabil pada kondisi tersebut. menyatakan bahwa struktur kristal kuarsa akan mengalami kerusakan apabila dikalsinasi dengan temperatur di atas 1000 ºC dan akan terbentuk mullite (Bai,2010). Difraktrogram lempung magnetit hasil sintesis seperti terlihat pada gambar 2c menunjukkan munculnya puncak-puncak baru pada sudut 2θ yaitu pada 19,72°; 26,02° dan 68,020°. Hal ini diperkirakan karena struktur lempung telah mengalami perubahan akibat proses dimasukkannya oksida besi ke dalam struktur antar lapis lempung. Pola puncak baru yang muncul diduga merupakan akibat adanya ion Mangan yang masuk pada bidang parallel difraksi yang kemudian menghamburkan sinar datang dari sinar-X yang direkan oleh detektor (Azhara, dkk., 2016). Sintesis komposit lempung merah magnetit dilakukan dengan menginteraksikan secara serempak lempung merah dengan larutan yang mengandung Fe2+ dan Fe3+ pada rasio mol 1 : 2, dengan konsentrasi 0,0125 M dan 0,025 M. Rasio mol 1 : 2 merupakan
13
stoikiometri yang dibutuhkan dalam pembentukan FeO.Fe2O3 pada ruang antar lapis lempung merah. Ion-ion ini akan mengalami proses kopresipitasi dengan penambahan basa NH4OH yang berfungsi untuk pembentukan Fe(OH) 2 dan Fe(OH)3. Persamaan reaksi sebagai berikut (Lee et al., 2004) Fe2+(aq) + 2Fe3+(aq) + 8OH-(aq) Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s) Selanjutnya dilakukan penyaringan endapan dan pencucian menggunakan akuades untuk menghilangkan ion-ion sisa berupa kation dan anion terlarut. Tahap berikutnya adalah pemanasan yang diperlukan dalam proses dehidrasi sehingga terbentuk FeO.Fe2O3 atau yang lebih sering disebut dengan Fe3O4 sebagai partikel magnetit (Lee et al., 2004). Persamaan reaksi adalah sebagai berikut : LM + Fe(OH)2(s) + 2Fe(OH)3(s)
LM -FeO.Fe2O3(s) + 4H2O(l)
Ion-ion Fe2+ dan Fe3+ yang masuk ke dalam ruang antar lapis lempung merah terjadi melalui proses pertukaran ion atau terjerap pada permukaan lempung merah yang bermuatan negatif. Menurut Notodarmojo (2005), pertukaran kation salah satunya dipengaruhi oleh muatan ion. Muatan ion yang besar cenderung menggantikan ion dengan muatan yang lebih kecil. Fe3+ memiliki muatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan kation H+ yang terdapat di ruang antar lapis lempung merah teraktivasi sehingga Fe3+ dapat dengan mudah menggantikan kation-kation tersebut. Demikian pula dengan ion Fe2+ yang dapat mengalami pertukaran ion atau menempel pada permukaan merah yang bermuatan negatif. Fe2+ dan Fe3+ selanjutnya akan membentuk Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 ketika ditambahkan larutan NH4OH. Setelah mengalami pemanasan, Fe(OH)2 dan Fe(OH)3 teroksidasi menjadi magnetit (Fe3O4) sehingga dihasiLMan lempung merah yang memiliki sifat kemagnetan. Pada tahap modifikasi lempung merah dengan magnetit akan di kajian pengaruh konsentrasi molar Fe2+ : Fe3+ dan pengaruh temperatur sintesis terhadap ketahanan struktur dasar lempung merah dan jenis oksida besi yang terbentuk. Cara menguji adanya magnetit didalam lempung yaitu dengan medan magnet eksternal. Berdasarkan hasil pengamatan visual, warna padatan lempung merah magnetik yang berwarna hitam juga dapat digunakan untuk menentukan jenis oksida besi yang terbentuk. Jika terbentuk oksida besi fasa magnetit (Fe3O4) maka padatan akan berwarna hitam sedangkan jika terbentuk oksida besi fasa maghemit (ɣ-Fe2O3) maka padatan akan berwarna coklat. Uji adsorpsi terhadap rhodamine B dilakukan dengan kajian pengaruh pH, kinetika adsorpsi dan kesetimbangan adsorpsi terhadap lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit. Penentuan pH optimum merupakan salah satu parameter penting dalam mengontrol proses adsorpsi. Harga pH larutan dapat mempengaruhi muatan permukaan adsorben dan spesiesi adsorbat. Kajian pengaruh pH pada lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit dilakukan pada beberapa variasi pH yaitu 1, 2, 3, 4, 5 dan 6. Adsorpsi dilakukan dalam 50 ml larutan rhodamine B pada konsentrasi 50 ppm dengan 0,05 gram lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit pada waktu kontak 3 jam. Konsentrasi rhodamine B yang tidak teradsorpsi diukur dengan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis. Adapun hasil kajian pengaruh pH terhadap adsorpsi rhodamine Bpada kedua jenis adsorben dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Adsorpsi rhodamine B oleh (a) lempung merah teraktivasi dan (b) lempung merah termodifikasi magnetit sebagai fungsi pH
14
Berdasarkan Gambar 4 dapat diamati bahwa kemampuan adsorpsi dari kedua jenis adsorben menunjukan kemiripan. Terlihat bahwa adsorpsi baik oleh lempung merah teraktivasi maupun lempung merah termodifikasi magnetit mulai terjadi secara signifikan pada pH 1-3 namun pada pH 4, 5 dan 6 justru mengalami penurunan untuk lempung merah teraktivasi maupun untuk lempung merah termodifikasi magnetit. Hal ini disebabkan karena pada pH rendah (pH <3), keberadaan proton dari ion H+ akan semakin dominan yang mengakibatkan situs aktif adsorben akan terprotonasi. Hal ini menyebabkan semakin kecilnya peluang spesiesi rhodamine B berinteraksi dan mengalami ikatan elektrostatik dengan situs aktif dari permukaan lempung merah. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh lempung merah termodifikasi magnetit terhadap adsorpsi Rhodamine B. Sedangkan pada pH 3, yaitu pH optimum adsorpsi untuk kedua adsorben terjadi peningkatan kemampuan adsorpsi yang signifikan. Hal ini diduga terjadi karena pada pH tersebut sebagian besar rhodamine B berada dalam keadaan kationik sehingga meningkatkan interaksi elektrostatik dengan permukaan lempung yang bermuatan negatif. Kapasitas adsorpsi yang lebih besar pada lempung merah termodifikasi magnetit diduga karena magnetit yang berada pada ruang antar lapis lempung juga memiliki peran mengadsorpsi rhodamine B, karena magnetit merupakan oksida besi yang memiliki titik isoelektrik yang cendrung bermuatan negatif pada pH < 5. Parameter lain yang perlu dipelajari pada proses adsorpsi adalah kinetika adsorpsi. Kinetika adsorpsi lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit terhadap rhodamine B berhubungan konstanta laju adsorpsi (k), yang memberikan gambaran mengenai seberapa cepat proses adsorpsi mencapai kesetimbangan. Kajian kinetika adsorpsi dilakukan dengan menggunakan lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit sebanyak 0,05 gram dalam 50 ml larutan rhodamine B dengan konsentrasi 50 ppm pada pH 3. Variasi waktu yang digunakaan adalah 5, 10, 20, 40, 60, 90, 180, 300. Hasil adsorpsi terhadap pengaruh waktu kontak dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik hubungan antara waktu adsorpsi dengan rhodamine B teradsoprsi/gram (a) Lempung Merah teraktivasi dan (b) Lempung Merah termodifikasi magnetit
Pola adsorpsi rhodamine B untuk kedua jenis adsorben pada beberapa variasi waktu dapat diamati pada Gambar 5. Terdapat kemiripan antara pola adsorpsi untuk kedua jenis adsorben. Terlihat bahwa adsorpsi rhodamine B dalam jumlah yang relatif banyak terjadi pada menit-menit awal. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa waktu kesetimbangan lempung merah termodifikasi magnetit relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan lempung merah teraktivasi. Lempung merah teraktivasi telah mencapai kesetimbangan pada waktu 60 menit sedangkan pada lempung merah termodifikasi magnetit tercapai pada waktu 60 menit. Sesuai dengan konsep, bahwa semakin lama waktu adsorpsi yang diperlukan antara adsorben dengan zat terlarut maka akan semakin banyak zat yang teradsorpsi, tetapi jumlah zat terlarut yang diadsorpsi akan mencapai nilai batas pada waktu tertentu dimana adsorben tidak
15
mampu lagi mengadsorpsi karena terjadi kejenuhan pada permukaan adsorben tersebut. Pada saat itu lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit sudah mencapai kesetimbangan antara laju adsorpsi dengan desorpsi. Pada waktu pengadukan 300 menit konsentrasi zat warna rhodamine B teradsorpsi mengalami penurunan karena ikatan gugus yang terdapat dalam adsorben dengan gugus zat warna rhodamine B makin melemah dan akhirnya lepas kembali ke dalam larutan. Sehingga hanya gugus yang berikatan kuat dengan adsorben yang masih dapat berikatan atau disebut proses desorpsi. Selain itu, dikarenakan faktor pengadukan yang berpengaruh dan faktor shaker yang terlalu cepat atau rpmnya terlalu cepat. Dimana yang awalnya terikat, menjadi terlepas ikatannya kemudian terikat kembali lalu terlepas kembali dan tidak dapat terikat kembali karena ikatannya lemah. Ikatan lemahnya dipengaruhi oleh keberadaan zwitter ion. Dimana keberadaan rhodamine B mengalami perubahan muatan. Dalam hal ini, ikatan yang terjadi bukan ikatan kimiawi yang sangat kuat tetapi hanya berdasarkan gaya elektrotatis. Maka demikian, dapat disimpulkan bahwa waktu optimum untuk lempung merah teraktivasi adalah 60 menit dan untuk lempung merah termodifikasi magnetit yaitu 60 menit. Hasil penelitian selanjutnya diuji dengan menggunakan model kinetika adsorpsi yang didasarkan pada rumusan kinetika adsorpsi orde satu (Santoso) dan orde satu semu (Lagergen) dan orde dua semu yang dikemukan oleh Ho dan McKay. Harga konstanta laju adsorpsi orde dua semu pada Gambar 6. disajikan dalam Tabel 1. berikut. Tabel 1. Parameter kinetika orde dua semu Parameter Adsorpsi* Material
k2 (g/mg.menit)
Lempung Merah teraktivasi Lempung Merah termodifikasi magnetit
1,68 x 10-3
0,9972
7,13 x 10-3
0,9983
R2
Gambar 6. Profil Plot t/qt lawan t untuk adsorpsi rhodamine B oleh (a) lempung merah teraktivasi dan (b) lempung merah termodifikasi magnetitLempung Merah termodifikasi magnetit
Berdasarkan harga koefisien korelasi terlihat bahwa grafik adsorpsi orde dua semu untuk kedua jenis adsorben lebih linier jika dibandingkan dengan grafik orde lainnya. Dari harga koefisien korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa adsorpsi rhodamine B oleh lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi
16
magnetit merupakan model kinetika adsorpsi orde dua semu dengan harga konstanta laju k2 untuk lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit masing-masing sebesar 1,68 x 10-3 g/mg.menit dan 7,13 x 10-3 g/mg.menit. Kesetimbangan Adsorpsi Penentuan pola adsorpsi terhadap rhodamine B dilakukan pada variasi konsentrasi yaitu1 ppm, 3 ppm, 5 ppm, 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm dalam 50 ml larutan rhodamine Bdengan 0,05 lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit. Adsorpsi dilakukan pada pH 3 dan waktu kontak 60 menit untuk lempung merah teraktivasi dan 60 menit untuk lempung merah termodifikasi. Berdasarkan data yang diperoleh grafik pola isoterm Langmuir dan Freundlich.
Tabel 2. Parameter Kesetimbangan Adsorpsi
Parameter Adsorpsi Feundlich
Parameter Adsorpsi Langmuir Material
B (mol/g)
Lempung 1,72 x Merah 10-4 Teraktivasi Lempung 1 Merah Termodifikasi ,84 x 10-4 Magnetit
Km (L/mol)
R2
B
N
R2
28,05
0,98 65
2,85
1,3 67
0,9 76
29,85
0,98 53
2,75
1,4 56
0,9 97 9
E (Kj/mol)
82819, 85
1 71444,25
Parameter Adsorpsi Feundlich
Parameter Adsorpsi Langmuir Material
B (mol/g)
Lempung 1,72 x Merah 10-4 Teraktivasi Lempung 1 Merah Termodifikasi ,84 x 10-4 Magnetit
Km (L/mol)
82819, 85
1 71444,25
R2
B
N
R2
28,05
0,98 65
2,85
1,3 67
0,9 76
29,85
0,98 53
2,75
1,4 56
0,9 97 9
E (Kj/mol)
Pola adsorpsi dari kedua adsorben mengikuti pola isoterm Langmuir karena titik yang diperoleh menunjukan suatu hubungan garis lurus. Bila ditinjau dari nilai R2 maka adsorpsi pada lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit cenderung mengikuti pola isoterm Langmuir dengan kapasitas adsorpsi berturut-turut sebesar 1,72 x 10-4 mol/g dan 1,84 x 10-4 mol/g. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa situs aktif pada permukaan adsorben bersifat homogen yang berarti bahwa satu ion rhodamine B menempati satu situs aktif dan tidak ada adsorpsi lebih lanjut yang dapat dilakukan pada situs tersebut. Semakin tinggi koefisien korelasi untuk model Langmuir mempyellowiksi bahwa cakupan ion rhodamine B mungkin monolayer. Uji Pemisahan Adsorben dalam Larutan Methylene Blue Uji pemisahan dilakukan pada kedua jenis adsorben, yaitu pada adsorben lempung merah teraktivasi dan lempung merah termodifikasi magnetit. Setelah digunakan dalam proses adsorpsi rhodamine B adsorben lempung merah teraktivasi dibiarkan mengendap secara alami oleh gaya gravitasi bumi. Perlakuan yang sama
17
juga dilakukan pada adsorben lempung merah termodifikasi magnetit. Hanya saja, proses pemisahan adsorben ini dibantu dengan medan magnet eksternal. Berdasarkan uji pemisahan yang dilakukan, diperoleh bahwa setelah 2 menit, lempung merah termodifikasi magnetit telah terpisah dari dalam larutan rhodamine B. Hal yang berbeda justru ditunjukkan oleh lempung merah teraktivasi yang masih terdispersi didalam larutan dan baru terpisah setelah waktu 38 menit. Hal tersebut menunjukan bahwa lempung merah termodifikasi magnetit menerima respon terhadap medan magnet eksternal sehingga dapat terpisah dengan mudah dan cepat dari larutan. Selain itu, partikel magnetit memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga memiliki respon magnetik yang lebih tinggi. SIMPULAN Uji adsopsi lempung teraktivasi dan lempung merah magnetit terhadap zat warna rhodamine B mencapai kondisi optimum pada pH 3. Kajian kinetika adsorpsi dan kesetimbangan adsopsi menunjukkkan bahwa adsopsi rhodamine B oleh Lempung merah teraktivasi dan lempung merah magnetit mengikuti orde dua semu dengan esoterm adsopsi Langmuir. Sintesis lempung merah magnetit mampu meningkatkan kapasitas adsopsi dan mempercepat proses pemisahan absorben dari larutan menggunakan medan magnet external. DAFTAR RUJUKAN Amarullah, D., Margani, Saksono, Priatna, Priono and Sudiro., 2002, Inventarisasi dan Evaluasi Endapan Batubara Kabupaten Barito Selatan Dan Barito Utara Provinsi Kalimantan Tengah, Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral,(DIM) TA. Azhara,S. U. Setianto, Hidayat. D. 2016. Simulasi XRD Zinc Oxide Terdoping Menggunakan Metode Laue.Jurnal Material dan Energi Indonesia Vol. 06, No. 02, 7 – 13. Padjadjaran. Bai, J. 2010. Fabrication and Properties of Porous Mullite Ceramic from Calcines Carbonaceous Kaolin and α-Al2O3. Ceramics International. 36: 673678. Brown, M. A., and S. C. Devito, 1993, Pyellowicting Azo Dye Toxicity, Environ, Sci. Technol. Zollinger, H., 1987, Colour Chemistry-Synthesis, Properties And Application Of Organic Dyes And Pigments, Vch Publisher, New York. Eren, E., Afsin, B and Onal, Y, 2009, Removal of lead ions by acid activated and manganese oxide-coated bentonite, Journal of Hazardous Material, 161, 677-685. Koyuncu, H., 2007, Adsorption Kinetics of 3-Hydroxybenzaldehyde on Native and Activated Bentonite, App. Clay. Sci., 38, 279–287. Lagergren, S., 1989, Zur Theorie der Sogenannten Adsorption Geloster Stoffe. Kungliga Svenska Vetenskapsakademiens, Handlingar, 24, 1-39. Lee, S. J., Jeoung, J. R., Shin, S.C., Kim, J. C and Kim, J. D., 2004, Synthesis and Characterization of Superparamagnetic Maghemite Nanoparticles prepayellow by Coprecipitation Technique. Magnetism, Magnetic Mater, 282, 147-150. Notodarmojo, S., 2005, Pencemaran Tanah dan Aur Tanah, Bandung : ITB press. Oliveira, L.C,A., Rios, R.V.R.A., Fabris, J.D., Sapag, K., Garg, V.K. and Lago, R.M., 2003, Clay – iron oxide magnetic composites for the adsorption of contaminants in water, Appl. Clay Sci, 22, 169-177. Ortega, E., Ramos and Flores-Cano., 2013, Binary Adsorption of Heavy Metals from Aqueous Solution Onto Natural Clays. Chemical Engineering Journal, 225, 535–546. Purwamargapratala, Y., Yusuf, S and Ridwan., 2013, Degradasi Metilen Biru dengan Komposit TiO2SiO2Fe3O4, Seminar Nasional IX SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta, ISSN 1978-0176.
18
Saikia, N, J., Bharali, D, J., Sengupta, P and Bornhakun, 2003, Characterication, beneficiation and utilization of a clay from Assam, India, App.clay Sci., 24, 93-103. Zollinger, H., 1987, Colour Chemistry-Synthesis, Properties And Application Of Organic Dyes And Pigments, Vch Publisher, New York.
19
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PUPUK UREA LEPAS LAMBAT (SLOW RELEASE) BERBASIS POLISAKARIDA
Development Technology of Urea Fertilizer (Slow Release) Based on Polysaccharides Ersha Mayori, Asma Nadia, Asma Fauziah, Sunardi* Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia 70714 *email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak. Polisakarida alam seperti pati, selulosa, kitosan, dan alginat saat ini banyak digunakan sebagai material lepas lambat (slow release material) untuk pupuk, pestisida, dan bahan aktif lainnya untuk aplikasi dalam bidang pertanian. Pemanfaatan polisakarida untuk menggantikan polimer sintetik dan material anorganik merupakan solusi alternatif menguntungkan karena sifatnya yang ramah lingkungan, melimpah, murah dengan kemampuan adsorpsi tinggi. Artikel ini membahas mengenai perkembangan pemanfaatan slow release urea menggunakan biopolymer polisakarida, termasuk material dan metode yang digunakan, keuntungan dan mekanisme lepas lambat yang terjadi terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pupuk sintetik untuk meningkatkan produktifitas pertanian lahan rawa dan lahan gambut di Kalimantan. Kata Kunci : slow release, urea, biopolimer, polisakarida. Abstract. Natural polysaccharides such as starch, cellulose, chitosan, and alginate are now used as slow-release material for fertilizer, pesticides and other active ingredients in agriculture applications. Utilization of polysaccharides as synthetic polymer and inorganic material are an alternative solution because it is environtmental friendly, abundant, and inexpensive with high adsorption capability. This article discuss about development of utilization urea as slow-release using biopolymer polysaccharides, includes materials and methods, advantages and mechanisms of slow-release mainly the correlation with synthetic fertilizer supplying to increase the agricultural wetlands and peat land productivity in Kalimantan. Keywords : slow release, urea, biopolymer, polysaccharides.
PENDAHULUAN Pupuk merupakan salah satu bagian terpenting dalam pertanian. Penggunaan pupuk yang kurang tepat dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hasil panen, selain itu meningkatnya jumlah dan waktu penggunaan pupuk turut membuat masalah terhadap lingkungan (Lu et al., 2016). Unsur hara didalam tanah menjadi tidak seimbang yang ditandai dengan rusaknya kondisi tanah akibat penggunaan pupuk kimia secara terus menerus. Sebanyak 40 hingga 70 % dari pupuk urea yang digunakan oleh petani akan hilang ke lingkungan dan tidak dapat diserap oleh tanaman yang diakibatkan tingginya kelarutan urea dalam air, sehingga menyebabkan lebih besarnya biaya yang diperlukan dalam pengelolaan pertanian serta permasalahan lingkungan yang serius (Wu & Liu, 2008). Kalimantan merupakan daerah yang memiliki lahan marginal seperti lahan rawa dan gambut yang cukup luas yaitu mencapai 32% dari keseluruhan yang ada di Indonesia (Kebijakan, 2008). Pemanfaatan lahan rawa dan gambut memiliki permasalahan tersendiri yaitu terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence), penurunan pH tanah dan badan air oleh karena sulfat masam, banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan gambut yang diakibatkan dari modifikasi lahan (Poniman, 2006), menyebabkan rendahnya kandungan unsur hara makro maupun mikro yang tersedia untuk tanaman (Ratmini et al., 2012). Hal ini karena lahan basah memiliki sifat khusus yang identik dengan air, dimana lahan basah
20
memiliki tipe ekosistem yang utamanya dicirikan oleh pengaruh pasang dan surut air dari sungai/laut sekitar (Noor & Rahman, 2015). Ketika air mengalami pasang surut, pupuk yang digunakan oleh petani menjadi ikut terlarut, sehingga menyebabkan penggunaan pupuk menjadi lebih boros. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan inovasi teknologi agar sistem pertanian lebih produktif dengan meningkatnya efisiensi penggunaan pupuk. Beberapa tahun terakhir, banyak penelitian yang berfokus pada pengembangan slow-release fertilizer yang diformulasikan untuk menyediakan nutrisi ke tanaman dengan jumlah yang cukup untuk pertumbuhan sebaik-baiknya (Ding et al., 2016). Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer) dapat melepaskan nutrien dengan cara lebih perlahan daripada pupuk biasa. Slow-release fertilizer memainkan peranan penting dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dengan mengurangi frekuensi pemakaian, sehingga menghindari kerusakan lingkungan dan mengantarkan pengembangan yang berkelanjutan dalam pertanian (Ni et al., 2010). Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer) yang ideal dapat mengontrol laju pelepasan nutrisi dari pupuk berdasarkan perbedaan kondisi lingkungan, mencegah akumulasi dari sisa bahan sintetik yang tidak diinginkan didalam tanah, dan mengurangi frekuensi serta dosis pemakaian pupuk. Pupuk yang disiapkan secara fisik dengan pelapisan material pada butiran pupuk merupakan kelompok utama slow-release fertilizer (Ni et al., 2010). Jenis material yang digunakan untuk pelapisan adalah penting karena akan menentukan biaya produksi (Ibrahim & Jibril, 2005), sifat (Isiklan, 2007), dan tentunya merupakan material yang ramah lingkungan (Wang et al., 2012). Beberapa jenis material yang saat ini digunakan sebagai material slow-release, antara lain polimer biodegradabel (Wu & Liu, 2008; Ao et al., 2013; Jia et al., 2013; Lubkowski et al., 2015), polimer superabsorben (Liang et al., 2007), polimer komersial (Ma et al.,2013), kaolin dan kaolin termodifikasi (Sunardi et al, 2009; 2010; 2011), oxides (Zhang et al., 2014), dan abu layang (Dong et al., 2016). Penggunaan polimer sebagai pelapis dalam pembuatan slow-release fertilizer merupakan hal baru dalam penggunaan pupuk di pertanian dan harus diperhatikan untuk mengeksplorasi material baru dengan harga yang murah (Ibrahim & Jibril, 2005). Pupuk terlapisi polimer biasanya disebut prill dan pelepasan nutrisi dikontrol oleh komposisi kimia yang ada dan ketebalan dari lapisan polimer. Pupuk terlapisis polimer bekerja dengan mengapit inti nutrisi yang dapat larut (Landis & Dumroese, 2009). Hal ini karena hasil pupuk yang diperoleh terdiri dari 2 bagian, yaitu zat hara yang ada dibagian dalam dan bagian luar merupakan lapisan polimer sebagai pelindung. Kelebihan dari lapisan polimer lepas lambat dapat menyediakan 3 elemen pupuk, yaitu nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K), serta banyak formula lainya termasuk kalsium, magnesium, sulfur, dan nutrisi mikro lainnya (Kottegoda et al., 2011).
Pentingnya Slow Release Dua faktor utama yang mempengaruhi keefektifan dari pengaturan penyediaan nutrisi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan nutrisi dan mengurangi masalah lingkungan, yaitu mencocokkan penyediaan nutrisi dengan yang dibutuhkan oleh tanaman dan memelihara ketersediaan nutrisi. Hal ini karena interaksi komplek (kompetisi) antar akar tanaman, mikroorganisme tanah (nitrifikasi, denitrifikasi, immobilisasi), reaksi kimia tanah (penukaran, fiksasi, presipitasi, hidrolisis), dan proses fisika (tercuci, mengalir, menguap) membuat ketersediaan nutrisi didalam tanah sangat kecil. Oleh karena itu, dengan mensinkronisasikan penyuplaian nutrisi yang diinginkan tanaman menggunakan slowrelease fertilizer akan menyediakan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan tanaman dan menghindari hilangnya nutrisi dari proses-proses tersebut (Shaviv, 2001). Penggunaan polimer sebagai material slow-release fertilizer membuat nutrisi tidak akan mudah hilang atau tercuci karena mereka terekat erat pada akar tanaman termasuk menyimpan nutrisi untuk digunakan tanaman lain setelah selesai penanaman (Landis & Dumroese, 2009). Tujuan dari dibentuknya slow-release fertilizer adalah juga untuk mengatur proses pelepasan bahan aktif menuju target dengan laju yang terkontrol dan mendukung nutrisi yang cukup dengan batas optimal (Ni et al., 2011). Keuntungan yang diperoleh dari digunakannya
21
slow-release fertilizer yaitu dapat meningkatkan Nutrient Use Efficiency (NUE), meminimalisasi polusi terhadap lingkungan karena terlarutnya nutrisi pupuk ke lingkungan, dan meningkatkan hasil panen dengan melepaskan nutrisi melalui pengaturan waktu pelepasan nutrisi (Montemurro & Diacono, 2016).
Mekanisme Slow Release Beberapa jenis slow-release fertilizer yang telah dikembangkan di dunia dan terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan mekanisme pelepasan nutrisi dari pupuk tersebut. Tipe pertama yaitu slow-release fertilizer yang dienkapsulasi, kedua yaitu sistem dimana komponen aktif didispersikan kedalam matriks polimer, dan tipe ketiga yaitu adalah sistem dimana tanpa adanya penghalang fisik saat pembentukkan material polimer seperti pupuk termasuk material anorganik yang rendah larut (ammonium dan logam phosphates) dan material kimia atau biologi yang biodegradabel yang rendah larut (urea-formaldehid terkondensasi, dan diurea) (Ding et al, 2016). Mekanisme pupuk lepas lambat biasanya menghasilkan rintangan fisika dan kimia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wu & Liu (2008), mekanisme kelarutan nutrisi dari dalam pupuk lepas lambat yaitu melalui 3 tingkatan. Tahap pertama adalah proses penembusan air kedalam pori-pori lapisan, tahap kedua nutrisi terlarut secara bertahap kedalam larutan, dan tahap terakhir adalah larutan berdifusi melalui pori-pori lapisan. Dengan demikian, porositas (Tomaszewska & Jarosiewicz, 2004), ketebalan lapisan pelapis (Jia et al., 2013; Lubkowski, 2016; Lubkowski et al., 2015), dan komposisi polimer organik (Wu & Liu, 2008; Han et al., 2009) menentukan laju terjadinya difusi nutrisi dalam slow-release fertilizer menuju tanah.
Gambar 1. Mekanisme difusi slow-release fertilizer; (a) pupuk terlapisi polimer, (b) air menembus kedalam lapisan prill, (c) nutrisi terlarut dan peningkatan tekanan osmotik, (d) pelepasan lambat dari nutrisi (Azeem et al., 2014).
Pelepasan nutrisi dari slow-release fertilizer ketika berinteraksi dengan tanah juga mungkin diakibatkan dari sifat biodegradabel dari material polimer yang digunakan (Lubkowski et al., 2015) dan dari keadaan tanah yang digunakan meliputi kekuatan ionik, temperatur, dan pH tanah (Hanafi et al., 2000; Tyliszczak et al., 2009; Ahmad et al., 2015). Berdasarkan hal diatas, polimer merupakan material serbaguna yang dapat digunakan sebagai pelapis slow-release fertilizers yang potensial digunakan secara meluas pada sistem pertanian, karena mereka dirancang untuk memiliki sistem pelepasan nutrisi dengan baik secara perlahan. Penggunaanya menghasilkan keuntungan tersendiri dalam penggunaan polimer sebagai pelapis baik dalam aspek ekonomi maupun lingkungan (Du et al., 2006; Jing et al., 2016).
22
Slow Release Urea Berbasis Polimer Sintetik Polimer dapat dicampurkan dengan material anorganik dan disintesis menjadi lapisan kompleks organik-anorganik menggunakan reaksi pencampuran polimer (Zou et al., 2015). Ketika 2 material dicampur menjadi satu dan digunakan sebagai pelapis, pelepasan nutrisi dari pupuk menjadi lebih lambat daripada pupuk yang tidak terlapisi maupun terlapisi lilin. Hal ini mengindikasikan bahwa campuran pelapis memberikan pelepasan yang lebih efektif dan dengan waktu yang panjang sebelum konsentrasi kesetimbangan dicapai (Ibrahim & Jibril, 2005). Tambahan lapisan polimer juga akan meningkatkan perlawanan erosi dari prill (Shaviv, 2001). Selain itu, kombinasi optimal polimer dengan superabsorbent juga dapat meningkatkan penyediaan nutrisi yang diperlukan untuk tanaman, dan mengurangi efek lingkungan dari terlarutnya pupuk ke air dalam tanah, mengurangi pengupapan, serta mengurangi aliran irigasi (Liu et al., 2007).
Gambar 2. Klasifikasi polimer (Devassine et al., 2002)
Polimer terklasifikasi menjadi 2 tipe yaitu sintetik polimer dan polisakarida tanpa modifikasi. Polimer sintetik merupakan polimer dengan koefisien permeabilitas yang kecil, dimana memiliki K maksimal sebesar 3000 cm2 s−1 Pa−1 serta memiliki struktur hidrofobik yang lebih banyak. Sedangkan polisakarida tanpa termodifikasi memiliki koefisien permeabilitas yang lebih tinggi, yaitu dengan K sebesar 4000 cm2 s−1 Pa−1 karena adanya struktur hidrofilik (hidroksil) (Devassine et al., 2002). Tabel 1 menunjukkan pemanfaatan beberapa jenis polimer sebagai material slow release pupuk urea. Tabel 1. Pemanfaatan beberapa jenis polimer sebagai material slow release urea. Inti Pelapis Metode Keterangan Urea kopolimer asam Teknik fase Menghasilkan sifat slowakrilat (lapisan inversi release yang baik dengan pertama) dan akril meningkatkan efisiensi dan amida (lapisan pemeliharaan kapasitas kedua) kelembaban tanah pada waktu yang sama. Urea poly(acrylic acid)Pelapisan dobel Persen pelapis, suhu, dan mengandung absorbansi air berpengaruh urea(lapisan luar), terhadap pelepasan nitrogen, polystyrene (lapisan kecuali pH. Hasil tidak hanya dalam) slow-release yang baik dengan meningkatkan efisiensi tetapi juga memperbaiki kapasitas kelembaban tanah. Urea asam akrilat Polimerisasi Hasil bersifat multifungsional ternetralisasi inversi padatan sebagai material pengatur air sebagian yang dapat digunakan di
Referensi Guo et al., 2005
Liang & Liu, 2006
Liu et al., 2007
23
Urea
Urea
Urea
Urea
Urea
poly[Nisopropyl acrylami de]-copolyureth ane polyethyl ene, superabs orbenpoli (asam akrilatco-akril amida, dan poli(butil methakril at) asam akrilat, akrilamid a dan bentonit
Immersing dan sentrifugal
polivinil alkohol, silicon dioksida, dan aluminiu m silikat poliurea sintetik (campura n urea cair & isosianat (polimeti len polifenil isosianat)
Drum berputar
pertanian dengan lingkungan tanah yang gersang. Kopolimer lapisan menunjukkan variasu laju pembengkakkan pada berbagai pH dan melepaskan urea dengan cara terkontrol.
Mathews & Narine, 2010
fluidized-bed
Lapisan pertama sebagai pengontrol sifat pelepasan, lapisan tengah sebagai absorben air, dan lapisan luar sebagai pelindung. Hasil tidak hanya sebagai slow-release fertilizer, tapi juga memiliki kapasitas retensi air yang baik.
Tao et al., 2011
Polimerisasi radikal
Kemampuan membengkak dan pelepasan diakibatkan jenis dan konsentrasi larutan garam. Tambahan bentonit membuat meningkatnya absorbansi dan kapasitas retensi air, serta melepaskan nutrisi dengan pola yang lebih perlahan. Aktivasi energi dari proses kelarutan nitrogen berubah setelah pupuk urea dilapisi.
Wen et al., 2015
Resin poliurea adalah material pelapis efektif dan pelepasan nitrogen dengan jelas meningkat dengan penambahan dietilen glikol. Hasil juga bersifat biodegradabel di tanah.
Lu et al., 2016
Penyemprotan
Zou et al., 2015
Slow-Release Urea Berbasis Polisakarida Meskipun banyak polimer sintetik yang tersedia dan dapat digunakan seperti poli asam akrilat (PAA) (Liang et al., 2006), polivinil alkohol (PVA) (Zou et al., 2015), polietilen (PE) (Tao et al., 2011), memiliki banyak keuntungan, namun penggunaannya juga mengakibatkan kerusakan, seperti teknologi pembuatan yang lebih kompleks, harga material yang tinggi, pelepasan nutrisi yang tidak bersih, dan berpotensi polusi akibat material sisa yang tertinggal didalam tanah setelah pupuk terdekomposisi (Ding et al, 2016). Beberapa tahun terakhir, telah dilakukan penelitian yang berfokus pada material dengan harga yang murah, biodegradabel, and non-toksik sebagai pembawa untuk meningkatkan pelepasan terkontrol pada pertanian. Polisakarida merupakan kandidat yang menjanjikan dari semua komponen yang dapat diperbaharui (renewable) dan memainkan peranan penting khususnya dalam membentuk hidrogel dan beads. Mereka mampu melepaskan secara perlahan bahan kimia pertanian dan secara simultan meningkatkan kapasitas penyimpanan air dari dalam
24
tanah. Polisakarida juga menyediakan nutrisi di lahan pertanian setelah terdegradasi oleh mikroorganisme dalam tanah (Li et al., 2016). Tiga tipe dasar dari polimer alami yang biasanya digunakan sebagai pengantar dalam sistem lepas lambat (slow-release), yaitu hydroxypropylmethylcellulose, polimer alam kationik seperti kitosan, dan polimer alam anionik seperti karagenan dan alginat. Beberapa polimer alami termasuk dibawah ini telah digunakan sebagai material slow-release pupuk di bidang pertanian (Sempeho et al., 2014). Polimer alami seperti guar gum (GG) (Wang & wang, 2009; Ni et al., 2012), pati (Lu et al., 2009; Xiao et al., 2016; Wu et al., 2014), selulosa (Li et al., 2009; Ni et al., 2011; Mohammadi-Khoo, 2015; Swantomo et al.,2014), kitosan (Hamid et al., 2013), alginat (Ni et al., 2010; Rashidzadeh et al., 2014; Xie, 2012), dan karagenan (Wang et al., 2012) telah diteliti dalam penggunaannya sebagai material slowrelease fertilizer maupun sebagai material slow-release lainnya. Penggunaan polimer alam dan turunannya sebagai material pelapis telah diterima secara luas karena memiliki karakteristik molekul yang mampu terpolimerisasi. Selulosa adalah polimer alami yang ketersediaannya melimpah dan material mentah yang sangat menjanjikan untuk persiapan pembuatan polimer. Ni et al., (2011) mengembangkan slowrelease fetrtilizer berbasis lempung alam attapulgite (APT), etilselulosa (EC), dan hidrogel sodium carboxymethylcellulose/hydroxyethylcellulose (CMC/HEC). Sifat selulosa yang mudah digunakan, biodegradabel, biocompatibel, tidak beracun, dan harganya yang murah membuatnya banyak digunakan sebagai material slow-release. Molekul selulosa mengandung rangkaian ikatan unit β-D-glucopyranose dari ikatan kimia β-(1,4)-glycosidic (Beneke et al., 2009). Polisakarida lainnya yang memiliki sifat biodegradabel yaitu kitosan. Kitosan merupakan bahan alami bersifat biodegradabel berbasis polisakarida dengan gugus amin didalamnya. Kitosan diperoleh dari hasil deasetilasi kitin, yaitu satu dari beberapa satu dari beberapa polimer yang paling melimpah dan biodegradabel yang sering diaplikasikan dalam biomedis, farmasi, dan lading pertanian (Hamid et al., 2013). Roshanravan et al. (2015) meningkatkan karakteristik pelepasan dari pupuk urea(20%)-kaolinit dengan bahan pengikat berupa kitosan dengan berbagai macam konsentrasi. Hasil yang diperoleh yaitu berupa produk slow-release yang dapat diaplikasikan pada lahan pertanian karena memiliki sifat kontrol dalam kelarutannya ke tanah, tingginya efisiensi penggunaan nutrisi, dan berpotensi menghasilkan keuntungan dalam bidang ekonomi. Pati adalah natural biopolimer yang tersedia secara meluas yang bersumber dari tumbuhan yang mudah diperbarui, dan seutuhnya bersifat biodegradabel. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengeksplorasi penggunaannya selain pada bidang makanan yaitu sebagai matriks yang melapisi produk untuk membuat slow-release di bidang pertanian setelah terderivatisasi dan mengalami cross-linking (Niu & Li, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Han et al. (2009) yaitu membuat granuklar pupuk urea yang dilapisi oleh campuran pati/polyvinyl alcohol (PVA) menggunakan teknik cross-linking. Hasil dari penelitian tersebut berupa lapisan permukaan bertingkat dan lembut karena reaksi crosslinking dengan penggunaan formaldehid, olehnya lapisan campuran pati/PVA bersifat biodegradabel ke lingkungan. Penelitian lain dilakukan oleh Niu & Li, (2012) yang mengembangkan pelapisan pupuk urea dengan pati-g-poly(vinyl acetate) (Pt-g-PVAc) sebagai material pembawa yang bersifat biodegradable dengan teknik pelapisan yang digunakan yaitu in situ graft-copolymerization. Asam alginat adalah polisakarida anionik alami yang ketersediannya melimpah dan diekstraksi dari rumput laut cokelat. Asam alginat merupakan kopolimer linear yang tersusun atas 2 monomer yaitu poly-β-1,4-D-mannuronic acid dan α-1,4-L-guluronic acid dan terhubung dengan ikatan 1-4. Dalam keadaan cair dengan pH netral, alginat signifikan bermuatan negatif karena mengalami kehilangan proton pada gugus asam karboksilat. Muatan negatif pada alginat ini memungkinkan untuk menstimulasi secara repulsive dengan gaya elektrostatis dan untuk membengkak seperti berinteraksi dengan muatan positif pada gugus ionik (Li et al., 2016). Kombinasi penggunaan dari sodium alginat dengan polimer lainnya menghasilkan membran spesial yang telah diteliti akhir-akhir ini dalam penggunaannya sebagai pupuk ataupun dalam industri farmasi (Li et al., 2012). Seperti
25
contohnya yaitu larutan sodium alginat yang dicampur dengan larutan kalsium klorida (CaCl2), menghasilkan beads hidrogel ikat-silang dan dapat digunakan sebagai slow-release dalam bidang pertanian (Wang et al., 2012). Polimer alami lainnya yaitu Guar gum (GG) adalah polimer alam dari getah yang berasal dari sayuran, merupakan polimer bercabang dengan unit β -D-mannopyranosyl berikatan (1–4) dengan satu anggota unit α-D-galactopyranosyl yang terdapat pada samping cabang. GG dan derivatnya telah digunakan dalam berbagai aplikasi seperti pengental, resin pengganti ion, dan agen penggantungan. Sebagai matriks polimer untuk membuat sebuah superabsorbent, GG melalui sisi nonioniknya diharapkan dapat meningkatkan penyerapan air dan sifat yang resistan terhadap garam menghasilkan superabsorben (Wang & Wang, 2009). Ni et al. (2012) telah melakukan penelitian mengenai pupuk lepas lambat baru berbasis lempung attapulgit (APT) sebagai matriks, guar gum sebagai pelapis dalam, guar gum-gpoly(itaconic acid-co-acrylamide)/polimer superabsorben asam humat (GG-g-P(IAcoAM)/HA) sebagai pelapis luar. Produk yang dihasilkan efektif mengurangi hilangnya nutrisi akibat mengalir maupun tercuci air hujan , meningkatkan daya kelembaban, mengatur keasaman dan kebasaan tanah. Alginat (Ni et al., 2010; Rashidzadeh et al., 2014; Xie, 2012) Pati (Lu et al., 2009; Xiao, 2016; Wu et al., 2014)
Karagenan (Wang et al., 2012) Urea Guar gum (Wang & wang, 2009; Ni et al., 2012)
Kitosan (Hamid et al., 2013) Selulosa (Li et al., 2009; Ni et al., 2011; MohammadiKhoo, 2015; Swantomo et al.,2014)
Gambar 3. Slow-release fertilizer berbasis polisakarida
SIMPULAN Pupuk lepas lambat (slow-release fertilizer) dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengatasi permasalahan yang ada di lahan pertanian khususnya lahan basah di Kalimantan untuk meningkatkan hasil produksi dalam pertanian. Slow-release fertilizer bekerja dengan mengoptimalkan efisiensi penggunaan unsur hara yang ada didalam pupuk urea dalam waktu yang perlahan. Penggunaan slow-release fertilizer dapat mengurangi toksisitas pada tanaman, memperbaiki sistem pengairan dalam tanah, dan mengurangi polusi terhadap atmosfir. Mekanisme penyuplaian nutrisi dari slow-release fertilizer ke dalam tanaman melalui beberapa tahap, meliputi proses penembusan air kedalam pori-pori lapisan, pelarutan nutrisi secara bertahap kedalam larutan, dan larutan berdifusi melalui pori-pori lapisan. Pelepasan nutrisi dari slow-release fertilizer tergantung dari material slow-release yang digunakan. Pengembangan material slow-release pupuk urea yang bersifat ramah lingkungan berbasis polisakarida diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk untuk mendukung pengembangan pertanian lahan basah di Kalimantan.
26
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, N., Fernando, W., & Uzir, M. (2015). Parametric Evaluation Using Mechanistic Model for Release Rate of Phosphate Ions from Chitosan Coated Phosphorus Fertiliser Pellets. Biosystems Engineering , 78-86. Ao, L., Qin, L., Kang, H., Zhou, Z., & Su, H. (2013). Preparation, Properties and Field Application of Biodegradable and Phosphorus-Release Films Based on Fermentation Residue. International Biodeterioration and Biodegradation , 134-140. Azeem, B., KuShaari, K., Man, Z. B., Basit, A., & Thanh, T. H. (2014). Review On Materials and Methods to Produce Controlled Release Coated Urea Fertilizer. Journal of Controlled Release , 11-21. Beneke, C. E., Viljoen, A. M., & Hamman, J. H. (2009). Polymeric Plant-derived Excipients in Drug Delivery. Molecules , 2602-2620. Devassine, M., Henry, F., Guerin, P., & Briand, X. (2002). Coating of Fertilizers by Degradable Polymers. International Journal of Pharmaceutics , 399–404. Ding, H., Zhang, Y. S., Li, W. H., Zheng, X. Z., Wang, M. K., Tang, L. N., et al. (2016). Nutrients Release from a Novel Gel-Based Slow/Controlled Release Fertilizer. Applied and Environmental Soil Science , 1-13. Dong, Y. J., He, M., Wang, Z., Chen, W., Hou, J., Qiu, X., et al. (2016). Effects of New Coated Release Fertilizer on The Growth of Maize. Journal of Soil Science and Plant Nutrition, 637-649. Du, C.-w., Zhou, J.-m., & Shaviv, A. (2006). Release Characteristics of Nutrients from Polymer-Coated Compound Controlled Release Fertilizers. Journal Polymer Environmental, 223–230. Guo, M., Liu, M., Zhan, F., & Wu, L. (2005). Preparation and Properties of a Slow-Release Membrane-Encapsulated Urea Fertilizer with Superabsorbent and Moisture Preservation. Industrial Engineering Chemistry Research, 4206-4211. Hamid, N. N., Mohamad, N., Hing, L. Y., Dimin, M. F., Azam, M. A., Hassan, M. H., et al. (2013). The Effect of Chitosan Content to Physical and Degradation Properties of Biodegradable Urea Fertilizer. Journal of Scientific and Innovative Research , 893902. Han, X., Chen, S., & Hu, X. (2009). Controlled-Release Fertilizer Encapsulated by Starch/Polyvinyl Alcohol Coating. Desalination , 21-26. Hanafi, M., Eltaib, S., & Ahmad, M. (2000). Physical and Chemical Characteristics of Controlled Release Compound Fertiliser. European Polymer Journal , 2081-2088. Ibrahim, A. A., & Jibril, B. Y. (2005). Controlled Release of Paraffin Wax/Rosin-Coated Fertilizers. Industrial Engineering Chemistry Research , 2288-2291. Isıklan, N. (2007). Controlled Release Study of Carbaryl Insecticide from Calcium Alginate and Nickel Alginate Hydrogel Beads. Journal of Applied Polymer Science , 718–725. Jia, X., Ma, Z.-y., Zhang, G.-x., Hu, J.-m., Liu, Z.-y., & Wang, H.-y. (2013). Polydopamine Film Coated Controlled-Release Multielement Compound Fertilizer Based on Mussel-Inspired Chemistry. Journal of Agricultural and Food Chemistry , A-F. Jing, W., Song, L., Yukun, Q., Xiaolin, C., Rong’e, X., Huahua, Y., et al. (2016). Preparation and Characterization of Controlled-Release Fertilizers Coated With Marine Polysaccharide Derivatives. Chinese Journal of Oceanology and Limnology . Kebijakan, T. S. (2008). Pemanfaatan dan Konservasi Ekosistem Lahan Rawa Gambut dI Kalimantan. Pemanfaatan Inovasi Pertanian , 149-156.
27
Kottegoda, N., Munaweera, I., Madusanka, N., & Karunaratne, V. (2011). A Green SlowRelease Fertilizer Composition Based on Urea-Modified Hydroxyapatite Nanoparticles Encapsulated Wood. Current Science , 73-78. Landis, T. D., & Dumroese, R. K. (2009). Using Polymer-Coated Controlled-Release Fertilizers. Forest Nursery Notes , 5-12. Li, D., Li, P., Zang, J., & Liu, J. (2012). Enhanced Hemostatic Performance of Tranexamic Acid-Loaded Chitosan/Alginate Composite Microparticles. Journal of Biomedicine and Biotechnology , 1-10. Li, J., Lu, J., & Li, Y. (2009). Carboxylmethylcellulose/Bentonite Composite Gels: WaterSorption Behavior and Controlled Release of Herbicide. Journal of Applied Polymer Science , 261–268. Li, M., A, M., Tshabalala, & Buschle-Diller, G. (2016). Formulation and Characterization of Polysaccharide Beads for Controlled Release of Plant Growth Regulators. Journal of Materials Science , 1-9. Liang, R., & Liu, M. (2006). Preparation and Properties of a Double-Coated Slow-Release and Water-Retention Urea Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry , 1392−1398. Liang, R., Liu, M., & Wu, L. (2007). Controlled Release NPK Compound Fertilizer with The Function of Water Retention. Reactive and Functional Polymers , 769–779. Liu, M., Liang, R., Zhan, F., Liu, Z., & Niu, A. (2007). Preparation of Superabsorbent Slow Release Nitrogen Fertilizer By Inverse Suspension Polymerization. Polymer International , 729–737. Lu, D. R., Xiao, C. M., & Xu, S. J. (2009). Starch-Based Completely Biodegradable Polymer Materials. Express Polymer Letters , 366–375. Lu, P., Zhang, Y., Jia, C., Li, Y., & Mao, Z. (2016). Use of Polyurea from Urea for Coating. Springer Plus , 1-6. Lubkowski, K. (2016). Environmental Impact of Fertilizer Use and Slow Release of Mineral Nutrients As A Response to This Challenge. Polish Journal of Chemical Technology , 72—79. Lubkowski, K., Smorowska, A., Grzmil, B., & Kozowska, A. (2015). Controlled Release Fertilizer Prepared Using a Biodegradable Aliphatic Copolyester of Poly(butylene succinate) and Dimerized Fatty Acid. Journal of Agricultural and Food Chemistry , 1-34. Ma, Z.-y., Jia, X., Zhang, G.-x., Hu, J.-m., Zhang, X.-l., Liu, Z.-y., et al. (2013). pHResponsive Controlled-Release Fertilizer with Water Retention via Atom Transfer Radical Polymerization of Acrylic Acid on Mussel-Inspired Initiator. Journal of Agricultural and Food Chemistry , A-I. Mathews, A. S., & Narine, S. (2010). Poly[N-Isopropyl acrylamide]-co-Polyurethane Copolymers for Controlled Release of Urea. Journal of Polymer Science Part A Polymer Chemistry , 3236-3243. Mohammadi-Khoo, S., Moghadam, P. N., Fareghi, A. R., & Movagharnezhad, N. (2016). Synthesis of A Cellulose-Based Hydrogel Network: Characterization and Study of Urea Fertilizer Slow Release. Journal of Applied Polymer Science , 1-9. Montemurro, F., & Diacono, M. (2016). Towards a Better Understanding of Agronomic Efficiency of Nitrogen: Assessment and Improvement Strategies. Agronomy , 1-4. Ni, B., Liu, M., Lu, S., Xie, L., & Wang, Y. (2011). Environmentally Friendly SlowRelease Nitrogen Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry , 10169– 10175.
28
Ni, B., Liu, M., Lu, S., Xie, L., & Wang, Y. (2010). Multifunctional Slow-Release OrganicInorganic Compound Fertilizer. Journal of Agricultural and Food Chemistry , 12373–12378. Ni, B., Lu, S., & Liu, M. (2012). Novel Multinutrient Fertilizer and Its Effect on Slow Release, Water Holding, and Soil Amending. Industrial and Engineering Chemistry Research , 12993−13000. Niu, Y., & Li, H. (2012). Controlled Release of Urea Encapsulated by Starch-gpoly(vinylacetate). Industrial and Engineering Chemistry Research , 12173−12177. Noor, M., & Rahman, A. (2015). Biodiversitas dan Kearifan Lokal dalam Budidaya Tanaman Pangan Mendukung Kedaulatan Pangan: Kasus di Lahan Rawa Pasang Surut. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia , 18611867. Poniman, A., Nurwadjedi, & Suwahyuono. (2006). Penyediaan Informasi Spasial Lahan Basah untuk Mendukung Pembangunan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia, (pp. 120-1134). Banjarbaru. Rashidzadeh, A., Olad, A., Salari, D., & Reyhanitabar, A. (2014). On the Preparation and Swelling Properties of Hydrogel Nanocomposite Based on Sodium Alginate-gPoly(acrylic acid-co-acrylamide)/Clinoptilolite and Its Application as Slow Release Fertilizer. Journal of Polymer Research , 1-15. Ratmini, N. S. (2012). Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal , 197-206. Roshanravan, B., Soltani, S. M., Rashid, S. A., Mahdavi, F., & Yusop, M. K. (2015). Enhancement of Nitrogen Release Properties of Urea–Kaolinite Fertilizer With Chitosan Binder. Chemical Speciation and Bioavailability , 44–51. Sempeho, S. I., Kim, H. T., Mubofu, E., & Hilonga, A. (2014). Meticulous Overview on the Controlled Release Fertilizers. Advances in Chemistry , 1-17. Shaviv, A. (2001). Advances in Controlled-Release Fertilizers. pp. 1-49. Sunardi, & Arryanto, Y. (2009). Purifikasi dan Karakterisasi Kaolin Alam Asal Tatakan, Tapin, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, (pp. K-319 - K324). Yogyakarta. Sunardi, Arryanto, Y., & Sutarno. (2009). Adsorption Of Gibberellic Acid Onto Natural Kaolin From Tatakan, South Kalimantan. Indonesian Journal of Chemistry , 373 379. Sunardi, Irawati, U., & Wianto, T. (2011). Karakterisasi Kaolin Lokal Kalimantan Selatan Hasil Kalsinasi. Jurnal Fisika Flux , 59 – 65. Swantomo, D., Rochmadi, Basuki, K. T., & Sudiyo, R. (2014). Effect of Silica Fillers on Characterization of Cellulose-Acrylamide Hydrogels Matrices as Controlled Release Agents for Urea Fertilizers. Indonesian Journal of Chemistry , 116 - 121. Tao, S., Liu, J., Jin, K., Qiu, X., Zhang, Y., Ren, X., et al. (2011). Preparation and Characterization of Triple Polymer-Coated Controlled-Release Urea With WaterRetention Property and Enhanced Durability. Journal of Applied Polymer Science , 2103–2111. Tomaszewska, M., & Jarosiewicz, A. (2004). Polysulfone Coating with Starch Addition in CRF Formulation. Desalination , 247-252. Tyliszczak, B., Polaczek, J., & Pielichowski, K. (2009). PAA-Based Hybrid OrganicInorganic Fertilizers with Controlled Release. Polish Journal of Environmental Studies , 475-479.
29
Wang, W., & Wang, A. (2009). Synthesis, Swelling Behaviors, and Slow-Release Characteristics of a Guar Gum-g-Poly(sodiumacrylate)/Sodium Humate Superabsorbent. Journal of Applied Polymer Science , 2102–2111. Wang, Y., Liu, M., Ni, B., & Xie, L. (2012). k-Carrageenan Sodium Alginate Beads and Superabsorbent Coated Nitrogen Fertilizer with Slow-Release, Water-Retention, and Anticompaction Properties. Industrial Engineering Chemistry Research , 1413– 1422. Wen, P., Wu, Z., He, Y., Han, Y., & Tong, Y. (2016). Characterization of P(AA-coAM)/Bent/Urea and Its Swelling and Slow Release Behavior in A Simulative Soil Environment. Journal of Applied Polymer Science , 1-11. Wu, L., & Liu, M. (2008). Preparation and Properties of Chitosan-Coated NPK Compound Fertilizer with Controlled-Release and Water-Retention. Carbohydrate Polymers, 240–247. Wu, Z., He, Y., Chen, L., Han, Y., & Li, C. (2014 ). Characterization of Raoultella planticola Rs-2 Microcapsule Prepared With a Blend of Alginate and Starch and Its Release Behavior. Carbohydrate Polymers , 259–267. Xiao, X., Yu, L., Xie, F., Bao, X., H. L., Ji, Z., et al. (2016). One-Step Method to Prepare Starch-Based Superabsorbent Polymer for Slow Release of Fertilizer. Chemical Engineering Journal , 1-31. Xie, L., Liu, M., Ni, B., & Wang, Y. (2012). New Environment-Friendly Use of Wheat Straw in Slow-Release Fertilizer Formulations with the Function of Superabsorbent. Industrial and Engineering Chemistry Research , 3855−3862. Zhang, M., Gao, B., Chen, J., Li, Y., Creamer, A. E., & Hao. (2014). Slow-release Fertilizer Encapsulated by Graphene Oxide Films. Chemical Engineering Journal , 1-16. Zou, H., Ling, Y., Dang, X., Yu, N., Zhang, Y., Zhang, Y., et al. (2015). Solubility Characteristics and Slow-Release Mechanism of Nitrogen from Organic-Inorganic Compound Coated Urea. International Journal of Photoenergy , 1-6.
30
PENGARUH KONSENTRASI TEPUNG TAPIOKA TERHADAP EKSTRAK KACANG KEDELAI PADA PEMBUATAN EDIBLE FILM The Influence of Tapioca Starch Concentration on Soybean Extract-Based Edible Film Properties Nisa Afifatush Shalihah1*, Ihda Noor Sari1, Iryanti Fatyasari Nata1 Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Jend. Ahmad Yani KM 36, Banjarbaru Email: [email protected] Abstrak. Edible film merupakan lapisan tipis yang dapat digunakan untuk melapisi makanan atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen dan lemak. Salah satu sumber karbohidrat dan protein yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film adalah ekstrak kedelai. Tujuan penelitian ini adalah menentukan kondisi terbaik pada penambahan tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v) dalam pembuatan edible film yang ditinjau dari sifat mekanik edible film seperti ketebalan, kuat tarik, elongasi danScanning Electron Microscopy (SEM). Ekstrak kacang kedelai (100 mL) dan tepung tapioka dengan berat tertentu dipanaskan dan diaduk pada suhu 60 oC. Gliserol (4 mL) dan ekstrak jahe dengan volume tertentu ditambahkan dan diaduk sampai temperatur mencapai 65–70 oC. Edible film dituangkan dan dikeringkan pada suhu 40 oC selama 24 jam. Berdasarkan hasil uji SEM, morfologi permukaan edible film dengan meningkatnya konsentrasi tepung tapioka memberikan struktur yang semakin padat. Hasil terbaik diperoleh pada konsentrasi 15% tepung tapioka. Ketebalan dari edible film yaitu 0,153 mm, kuat tarik sebesar 0,8 MPa, pemutusan saat pemanjangan sebesar 2,63%. Penambahan tepung tapioka pada pembuatan edible film memiliki peranan terhadap karakteristik edible film. Kata kunci: ekstrak kacang kedelai, tepung tapioka, edible film Abstract. Edible film is a thin layer which is overlay the food or be placed between components that serve as a barrier to mass transfer. Carbohydrates and proteins are used as raw material for edible film production in the form of soybean extract. The purposes of this research is to investigate the best condition of tapioca starch concentration (5%, 10%, 15% and 20%, w/v) on soybean extract-based edible film which showed by mechanical properties such as thickness, tensile strength, elongation and Scanning Electron Microscopy (SEM). Soybean extract (100 mL) and certain weight of tapioca starch were heated and stirred at 60 oC. Glycerol (4 mL) were added and stirred until the temperature reached at 65-70 oC. Edible films was poured and dried at 40 oC for 24 h. Based on SEM images, the surface morphology of edible film with increasing concentration of tapioca starch provides an increasingly dense of structure. The optimum result was obtained at concentration 15% of tapioca starch. The thickness of edible film is 0,153 mm, tensile strength is 0,8 MPa, elongation at break is 2,63%. The addition of tapioca starch to edible film production has a role to improve the properties of edible film. Keywords: soybean extract, tapioca starch, edible film
PENDAHULUAN Plastik merupakan salah satu bahan pengemas makanan yang selalu digunakan oleh masyarakat karena mempunyai beberapa keunggulan seperti kuat, ringan, ekonomis dan stabil. Tetapi, sampah plastik tergolong dalam sampah non organik yang berbahaya bagi lingkungan karena membutuhkan waktu dan proses yang lama yaitu selama 1000 tahun untuk dapat diuraikan secara alami di tanah dan 450 tahun untuk terurai di air (Adiwijaya, 2009). Akibatnya, semakin banyak sampah plastik, maka semakin meningkat pencemaran lingkungan. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah lingkungan tersebut adalah dengan
31
mengembangkan jenis kemasan dari bahan organik, yaitu plastik biodegradable dalam bentuk edible film yang dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Plastik biodegradable ini termasuk ke dalam edible film karena berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik nonbiodegradable. Edible film adalah lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan, atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen dan lemak. Penggunaan edible film sebagai pengemasan dapat memperlambat penurunan mutu, karena Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik dan sebagai pembawa zat aditif (Krochta & De Mulder-Johnston, 1997). Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai bahan biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui dan memberikan karakteristik yang baik (Bourtoom, 2006). Tapioka sering digunakan sebagai bahan tambahan atau pengisi karena kandungan patinya yang cukup tinggi (Hui & Steffe, 1996). Komponen pati dari tapioka secara umum terdiri dari 29,9% amilosa dan 70,1% amilopektin (Admadi & Arnata, 2015). Amilosa berperan dalam kelenturan dan kekuatan film pada sediaan edible film. Kedelai (Glycine max) merupakan tanaman hasil pertanian yang megandung protein tingii dan pengunaannya sudah meluas di masyarakat. Kedelai memiliki kandungan protein 35% bahkan pada varitas unggul kadar proteinnya dapat mencapai 40% - 43%. Dibandingkan dengan beras, jagung, tepung singkong, kacang hijau, daging, ikan segar, dan telur ayam, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi, hampir menyamai kadar protein susu skim kering (Tri Margono, Detty Suryati, 2000). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Sinaga, Rejekina, & Sinaga, 2013) menunjukkan bahwa edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan penambahan gliserol berpengaruh pada karakteristik edible film. Karakteristik terbaik diperoleh pada 4 mL gliserol/100 mL gliserol dengan ketebal 0,288 mm. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi terbaik pada penambahan tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v) dalam pembuatan edible film yang ditinjau dari sifak mekanik edible film seperti ketebalan, kuat tarik, elongasi dan Scanning Electron Microscopy (SEM). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh penambahan tepung tapioka pada edible film dari ekstrak kacang kedelai. METODEL PENELITIAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang kedelai, tepung tapioka, gliserol dan aquadest. Alat utama yang digunakan adalah gelas beker, blender, magnetic stirrer, hot plate, oven, neraca analitik dan cetakan. Penelitian ini menggunakan variabel bebas berupa variasi konsentrasi dari tepung tapioka (5%, 10%, 15% dan 20% b/v). Kacang kedelai mula-mula disortir, lalu ditimbang sebanyak 75 gram dan dicuci. Selanjutnya, direndam dengan air mendidih selama 60 detik. Kacang kedelai dipisahkan dan ditambahkan air panas suhu 90 oC sebanyak 450 mL dan diblender. Bubur kacang kedelai dimasak dengan suhu 95-98 oC selama 10 menit. Kemudian disaring dan diperoleh susu kedelai. Susu kedelai didinginkan sampai mencaapai suhu ruangan. Susu kedelai dimasukkan ke dalam gelas beker sebanyak 100 mL. Kemudian ditambahkan tepung tapioka dengan variasi (5%, 10%, 15% dan 20% b/v). Campuran dipanaskan di atas hot plate dan diaduk dengan stirrer sampai suhu 60 oC. Gliserol ditambahkan sebanyak 4 mL. Diaduk sampai suhu 65-70 oC. Larutan dituang ke dalam cetakan yaitu teflon yang berdiameter 20 cm. Edible film yang dihasilkan kemudian diukur ketebalannya, diuji kuat tarik (tensile strength), elongasi dan Scanning Electron Microscopy (SEM). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Edible film yang terbentuk dengan konsentrasi tepung tapioka 5%, 10% dan 15% dihasilkan warna yang semakin kuning dengan semakin besarnya konsentrasi tepung tapioka. Edible film dengan konsentrasi tepung tapioka 20% tidak terbentuk karena larutan yang
32
dihasilkan terlalu kental yang disebabkan konsentrasi tepung tapioka yang berlebih. Edible film yang dihasilkan dilakukan perlakuan uji SEM yang bertujuan untuk mengamati struktur morfologi dengan skala mikroskopis. Hasil uji SEM untuk edible film dengan variasi konsentrasi tepung tapioka ditunjukkan pada Gambar 1. Menurut (Flores, Rojas, & Goyanes, 2007; Wahyu, 2009), tidak ada metode standar dalam pembuatan edible film sehingga dihasilkan film dengan fungsi dan karakteristik fisikokimia yang diinginkan akan berbeda. Gambar 1 menunjukkan mikrostruktur dari edible film dari ekstrak kacang kedelai dengan konsentrasi tepung tapioka 5%, 10%, 15% dan gliserol 4%. Pada gambar 1 (a) permukaan edible film merata ini karena tepung tapioka dan gliserol melarut sempurna dengan ekstrak kacang kedelai namun belum maksimal karena lemahnya ikatan antarmolekul yang menyebabkan edible film tidak dapat diuji tarik. Pada gambar 1 (b) tampak adanya gumpalan-gumpalan yang menunjukkan sudah semakin kuat ikatan antar molekul dimana 10% tepung tapioka yang ditambahkan mampu membuat ikatan yang lebih banyak pada edible film. Tetapi masih ada ruang kosong yang belum terisi dikarenakan ikatan dari tepung tapioka yang larut dalam ekstrak kacang kedelai belum maksimal terhadap gliserol 4% sehingga masih belum bisa diuji tarik. Pada gambar 1 (c) menunjukkan sedikitnya gumpalan yang terbentuk yang menjadikan edible film merata dan makin sedikit ruang kosong yang terbentuk. Hal ini menunjukkan sudah semakin kuat ikatan dari gugus-gugus yang terbentuk pada edible film yang dapat dilihat dari hasil uji tarik sebesar 0,8 MPa. Dengan demikian, kondisi optimum dari pembuatan edible film ektrak kacang kedelai ini adalah dengan penambahan 15% tepung tapioka dan 4% gliserol.
(b )
(a )
(c )
Gambar 1 SEM images edible film konsentrasi tepung tapioka (a) 5%, (b) 10% dan (c) 15% dengan perbesaran 500 kali
Ketebalan dari edible merupakan parameter penting yang berpengaruh terhadap sifat fisik seperti kuat tarik dan pemanjangan saat pemutusan pada edible film yang dihasilkan. Ketebalan edible film ekstrak kacang kedelai pada ketiga komposisi tepung tapioka dapat dilihat pada Gambar 2.
33
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka pada ketebalan edible film ekstrak kacang kedelai
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa penambahan komposisi tepung tapioka berbanding lurus dengan ketebalan film yang dihasilkan. Ketebalan edible film yang dihasilkan meningkat seiring dengan penambahan komposisi tepung tapioka. Ketebalan film yang dihasilkan pada setiap komposisi secara berturut adalah 0,113 mm; 0,137 mm; dan 0,153 mm. Ketebalan tersebut telah sesuai dengan standar ketebalan edible film yaitu kurang dari atau sampai 0,25 mm (Skurtys et al., 2010) . Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh (Sinaga et al., 2013) karakteristik edible film terbaik pada 4 mL gliserol/100 mL susu kedelai menghasilkan ketebalan 0,288 mm. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas area film untuk meregang atau memanjang (Krochta & De Mulder-Johnston, 1997). Pemanjangan saat pemutusan atau elongation at break menunjukkan perubahan panjang film maksimum saat memperoleh gaya tarik sampai film putus dibandingkan dengan panjang awalnya (Sinaga et al., 2013). Dari ketiga konsentrasi tepung tapioka yang memiliki kondisi terbaik adalah edible film ekstrak kacang kedelai dengan konsentrasi tepung tapioka 15%. Konsentrasi 15% tepung tapioka menghasilkan kuat tarik sebesar 0,8 MPa dan elongation at break sebesar 2,63%. Sedangkan komposisi 5% dan 10% putus/robek sebelum dilakukan uji kuat-tarik. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penambahan tepung tapioka mempengaruhi karakteristik dari edible film yang dihasilkan. Peningkatan penambahan tepung tapioka meningkatkan ketebalan edible film. Dari hasil penelitian diperoleh edible film kondisi terbaik adalah dengan penambahan tepung tapioka pada konsentrasi 15% (b/v) yang ditinjau dari sifat fisiknya kuat-tarik (tensile strength), pemanjangan saat pemutusan (elongation at break) dan ketebalan edible film. DAFTAR PUSTAKA Adiwijaya, M. (2009). Peran Pemerintah, Industri Ritel, dan Masyrakat dalam Membatasi Penggunaan Kantong Plastik Sebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Lingkungan. Universitas Kristen Petra. Retrieved from http://repository.petra.ac.id/17404/ Admadi, B., & Arnata, I. W. (2015). Studi konsentrasi tapioka dan perbandingan campuran pemlastis pada pembuatan bioplastik. Bali. Bourtoom, T. (2006). Effect of Some Process Parameters on the Properties of Edible Film Prepared from Starches. Prince of Songkla. Flores, S., Rojas, A. M., & Goyanes, S. (2007). Physical properties of tapioca-starch edible films : Influence of filmmaking and potassium sorbate ´ a Gerschenson. Food Research International, 40, 257–265. https://doi.org/10.1016/j.foodres.2006.02.004 Hui, Y. H. (Yiu H. ., & Steffe, J. F. (1996). Handbook of food science, technology, and
34
engineering. Agricultural Engineering (Vol. 23). https://doi.org/10.1016/02608774(94)90090-6 Krochta, J. M., & De Mulder-Johnston, C. (1997). Edible and Biodegradable Polymer Films: Challenges and Opportunities. Food Technology, 51, 61–74. Sinaga, L. L., Rejekina, M. S., & Sinaga, M. S. (2013). Karakteristik Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Bahan Pengemas Makanan. Teknologi Kimia, 2(4), 12–16. Skurtys, O., Acevedo, C., Pedreschi, F., Enrione, J., Osorio, F., & Aguilera, J. (2010). Food Hydrocolloid Edible Films and Coatings. Santiago: Nova Science Publishers. Tri Margono, Detty Suryati, S. H. (2000). Susu kedelai. Jakarta. Retrieved from http://www.ristek.go.id Wahyu, M. K. (2009). Pemanfaatan pati singkong sebagai bahan baku. Bandung.
35
PENGARUH METODE PEMBERIAN TUGAS DAN LATIHAN SOAL TERMOKIMIA MENGGUNAKAN APLIKASI BERBASIS WWW DI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI JPMIPA FKIP UPR The Effect of Method of Giving Task and Practice Questionthermochemistry By Using WWW-Based Applications in The Study Program of Education Biology Jpmipa FKIP UPR Nopriawan Berkat Asi1, Feni Widya Halim2 Universitas Palangka Raya, Jl.H. Timang, Palangka Raya 2 Universitas Palangka Raya, Jl.H. Timang, Palangka Raya Email: [email protected] 1
Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pengaruh antara 2 metode dan 3 frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Kedua pengaruh terhadap hasil belajar. Untuk maksud itu ditunjuk 72mahasiswa secara acak dan tiga orang tutor.Penelitian menggunakan rancangan acak faktorial. Data diperoleh dengan memberikan tes menggunakan instrumen soal pilihan ganda. Uji reliabilitas tes diperoleh nilai alpha Cronbach sebesar 0,753 yang artinya reliabel karena > 0,6. Uji validitas diperoleh semua butir soal valid karena r hitung lebih besar dari 0,4. Data dianalisis dengan uji ANOVA satu jalur menggunakan program SPSS 16.0 dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan antara metode pemberian tugas menggunakan media berbasis web dan media cetak, (2) terdapat perbedaan antara frekuensi pemberian tugas dan latihan soal, (3) terdapat perbedaan pada interaksi antara metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Persentase pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan media berbasis web adalah 77,13% lebih tinggi daripada media cetak. Kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali memiliki pemahaman 75,56%. Kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dengan kombinasi pemberian tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali memiliki pemahaman 85,83%. Kata kunci: Metode, Frekuensi, Tugas, Latihan Soal Abstract. The objective of this research is to know whether there is difference of influence between 2 method and 3 frequency of giving task and practice question. Both influence on learning outcomes. For that purpose, there were 72 students at random and three tutors. The study used factorial random design. The data were obtained by giving the test using multiple choice questions instrument. Test reliability test obtained Cronbach alpha value of 0.753 which means reliabel because> 0.6. Validity test obtained all the items valid because r count is greater than 0.4. Data were analyzed by one-way ANOVA test using SPSS 16.0 program by first performing normality test and homogeneity test. The results showed that (1) there was a difference between assignment method using web-based media and print media, (2) there was a difference between the frequency of assignment and practice questions; (3) there was a difference in the interaction between assignment method and frequency of assignment and practice questions. The percentage of students' understanding taught by using webbased media method is 77.13% higher than print media. Peserentase group understanding of students who are given tasks and exercise questions with frequency three times is 75.56%. The percentage of group understanding of students who were given the task of using web-based media and given tasks and exercise questions with frequency three times is 85.83%. Keywords: Method, Frequency, Tasks, Practice Question
36
PENDAHULUAN Teknologi dan sistem informasi dewasa ini telah mengalami perubahan yang pesat. Munculnya sistem informasi hypermedia seperti World Wide Web (WWW) telah melahirkan segudang aplikasi. Banyak aplikasi berbasis WWW yang relevan dengan ilmu pendidikan sehingga dapat dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran. Sistem seperti ini dapat diakses dari berbagai jangkauan internet dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Sistem dapat didesain untuk memfasilitasi pembelajaran bagi mahasiswa. Pengaruh dalam penelitian ini adalah daya yang ditimbulkan oleh metode pemberian tugas dan latihan soal menggunakan media berbasis web terhadap hasil belajar termokimia mahasiswa program studi pendidikan biologi jurusan pendidikan MIPA Universitas Palangka Raya. Metode adalah fasilitas untuk menyampaikan bahan pelajaran dalam upaya mencapai tujuan pengajaran. Metode adalah suatu cara yang memiliki nilai strategis dalam kegiatan pembelajaran (Rohman, 2007). Pembelajaran sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yaitu tujuan pengajaran, pengalaman belajar dan hasil belajar (Sudjana, 2010). World Wide Web (WWW) adalah sistem informasi hypermedia yang menyediakan akses online dokumen teori dan multimedia dalam jumlah tak terbatas (Janette dan Hannafin, 1997). WWW adalah sekelompok dokumen multimedia yang saling bertatutan dengan menggunakan tautan hypertext. WWW adalah semua bagian internet yang dapat diakses dengan sotware web browser. Penelitian Janette dan Hannafin (1997) menunjukkan bahwa kemampuan peserta didik dalam menggunakan sistem pencarian berbasis WWW secara signifikan mempengaruhi keberhasilan mereka, sementara peserta didik dengan pengetahuan sistem yang rendah tidak dapat mengembangkan pengetahuan menggunakan sistem tersebut. Kelas pembelajaran memiliki keanekaragaman yang besar. Salah satu cara yang dapat ditempuh guru untuk menyesuaikan pengajarannya bagi kelompok siswa yang beragam adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama dan mengerjakan tugas-tugas yang multidimensi dan menantang (Arends, 2008). Metode pemberian tugas yang diberikan menggunakan aplikasi berbasis web bersifat multidimensi dan memungkinkan siswa bekerja secara berkelompok. Bagi sebagian siswa mungkin cara ini sesuatu yang baru. Cara ini merupakan tantangan bagi mereka. Metode tutorial adalah pengajaran yang diberikan dengan bantuan tutor. Setelah mahasiswa diberikan bahan ajar, kemudian mahasiswa diminta untuk mempelajari bahan ajar tersebut. Pada bagian yang sulit, siswa dapat bertanya kepada tutor (Rohman, 2007). Toturial dapat dilaksanakan untuk memberikan latihan soal. Soal-soal yang sulit bagi mahasiswa dapat dikerjakan dengan bantuan tutor. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara 2 metode pemberian tugas dan latihan soal. Metode pemberian tugas pertama menggunakan lembar kerja (M1) cetak dan metode kedua menggunakan lembar kerja menggunakan sistem aplikasi berbasis web (M2). Pada penelitian ini juga dilihat perbedaan pengaruh antara 3 frekuensi pemberian tugas dan latihan soal (W1 = 1 kali, W2 = 2 kali, W3 = 3 kali). Kedua pengaruh tersebut terhadap hasil pembelajaran (skor tes akhir). Pembelajaran menerapkan model kooperatif tipe STAD yang sedikit dimodifikasi, untuk maksud itu 72 mahasiswa program studi biologi ditunjuk secara acak (R1, R2, . . . , R72), dan tiap tim diberi tutor teman sejawat 1 orang tutor yang dipilih dari mahasiswa program studi pendidikan kimia tingkat atas sebanyak 3 orang (T1, T2, T3). Setiap tutor membantu 3 tim, yaitu 4 siswa pada tiap tim yang setingkat untuk setiap pemberian tugas dan latihan soal, pada kedua metode. Rancangan penelitian disusun menurut rancangan acak lengkap dan faktorial blok acak. Interaksi dalam rancangan faktorial blok acak dapat ditentukan dengan menuliskan semua huruf kombinasi yang mungkin, sambil memperhatikan urutan abjad huruf-hurufnya. Pada peneltian ini di simbolkan dengan huruf M, T, W dan kombinasi MT, MW, TW dan
37
MTW. Interaksi yang melibatkan tiga huruf mewakili tiga perlakuan, sehingga dapat terjadi interaksi orde pertama, interaksi ganda ataupun interaksi ketiganya. Pada metode M1, mahasiswa diberi tugas menggunakan lembar kerja yang dicetak pada kertas. Materi pelajaran dalam bentuk media cetak atau hand out yang dicetak. Mahasiswa diberi print-outnya dan digandakan untuk setiap mahasiswa sebagai bahan pelajaran. Sedangkan pada metode M2, mahasiswa diberi tugas menggunakan aplikasi berbasis WWW atau web. Materi pelajaran dalam bentuk cetak dan bentuk digital yang dapat diakses melalui halaman www.kampus-digital.com. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester II program studi pendidikan biologi JPMIPA FKIP-UPR tahun ajaran 2016/2017. Sampel penelitian berjumlah tujuh puluh dua orang mahasiswa yaitu seluruh populasi. Sampel secara acak ditempatkan pada kelas M1 dan M2. Normalitas dan homogenitas diuji menggunakan bantuan program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5%. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah soal pilihan ganda yang terdiri dari 30 butir soal. Instrumen yang digunakan telah diuji validitas dan reliabilitasnya, yaitu soal-soal yang telah digunakan untuk tes kecil dan ujian pada tahun pelajaran sebelumnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil uji validitas menunjukkan bahwa semua butir soal valid karena r hitung lebih besar dari 0,4. Hasil uji reliabilitas menggunakan program SPSS 16.0 diperoleh nilai alpha Cronbach sebesar 0,753. Menurut Suharsimi (2001), jika nilai hasil perhitungan lebih besar dari 0,6 maka tes dapat dikatakan reliabel dengan kategori tinggi. Berdasarkan hasil uji ini dapat dikatakan bahwa tes memiliki keajegan yang tinggi. Hasil uji normalitas menggunakan program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5% diperoleh nilai Sign. 0,08. Nilai hasil perhitungan sign. > 0,05 yang artinya Ho diterima. Hasil uji menunjukkan bahwa data tes terdistribusi normal. Hasil uji homogenitas dengan taraf signifikansi 5% dua-ekor diperoleh nilai sign. 1,00 > 0,05 yang artinya Ho diterima. Jadi variansi kedua kelas homogen. Semua persyaratan uji statistika dengan demikian terpenuhi. Sumber-sumber variasinya adalah perlakuan M, W, T, dan interaksi MW, MT, WT, MWT. M merupakan faktor tetap, karena sudah ditentukan jenisnya. W adalah faktor tetap, karena sudah ditentukan frekuensinya. T adalah faktor acak, karena memang ditentukan secara acak. Data dianalisis dengan bantuan program SPSS 16.0 dengan taraf signifikansi 5%. Hasil analisis variansi (ANAVA) untuk setiap sumber variasi diringkas pada Tabel 1. Tabel 1. Ringkasan ANAVA SV SS M 931,681 W 450,750 T 12 MW 22,528 MT 0,111 WT 1 MWT 4,056
df 1 2 2 2 2 4 4
MS 931,681 225,375 6 11,624 0,056 0,25 1,014
F 0,00001 901,500 11,11 0,055 0,247 0,05
Sign. 0,000 0,000 0,023 0,947 0,898 0,995
Hasil analisis statistika signifikan jika nilai sign. < 0,05. Jadi yang signifikan adalah perlakuan M, W, dan interaksi MW. Hasil analisis data dengan bantuan program SPSS 16.0 pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa yang signifikan adalah perlakuan M, W dan interaksi MW. Jadi yang signifikan adalah (1) metode pemberian tugas, (2) frekuensi pemberian tugas, (3) interaksi antara metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kedua metode pemberian tugas. Metode pemberian tugas menggunakan media berbasis web memberikan rata-rata yang lebih tinggi dari pada media cetak.
38
Persentase pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan media berbasis web dapat dihitung dengan persamaan (3). Hasil perhitungan diperoleh persentase pemahaman mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web adalah 77,13%. Persentase pemahaman mahasiswa yang diberi tugas dengan media cetak adalah 53,15%. Mahasiswa yang diberi tugas atau lembar kerja menggunakan sistem aplikasi berbasis web memiliki keberhasilan belajar lebih tinggi dibanding mahasiswa yang tidak menggunakannya. Jadi sistem aplikasi berbasis web bukan hanya dapat dimanfaatkan sebagai sistem pencarian (Janette dan Hannafin, 1997), tetapi juga dapat digunakan sebagai media pemberian tugas atau lembar kerja bagi peserta didik. Sistem aplikasi berbasis web juga dapat digunakan oleh pendidik sebagai media bahan ajar. Oleh karena itu, pendidik/pengajar dapat berperan sebagai penyedia informasi atau materi pelajaran menggunakan sistem berbasis web. Hasil uji statistika menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara ketiga frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Kelompok mahasiswa yang diberi tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali memberikan rata-rata yang lebih tinggi. Nilai rata-rata kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 22,667. Pesersentase pemahaman kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 75,56%. Kelompok mahasiswa yang diberi tugas dua kali memperoleh pemahaman konsep 64,72%. Sedangkan kelompok mahasiswa yang diberi tugas satu kali memperoleh pemahaman konsep 55,14%. Penelitian yang dilakukan Ali (2009) mengukur aktifitas siswa yang diajar dengan media berbasis web dan yang tidak. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan. Siswa yang diajar dengan media berbasis web memiliki aktifitas belajar lebih tinggi dibanding yang tidak menggunakan media berbasis web. Sejalan dengan penilitian ini, pemberian tugas kepada mahasiswa dengan frekuensi tiga kali lebih baik dari mahasiswa yang diberi tugas dengan frekensi satu kali dan dua kali. Aktifitas belajar siswa/mahasiswa dapat ditingkatkan dengan pembelajaran menggnakan media berbasis web. Kombinasi yang diuji secara statistika adalah kombinasi MW, MT, WT dan MWT. Hasil uji statistika menggnakan program SPSS 16.0 menunjukkan bahwa interaksi yang signifikan hanya interaksi antara metode pemberian tugas dan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal. Nilai rata-rata paling tinggi adalah kelompok mahasiswa dengan interaksi M2W3, yaitu kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dan diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali. Persentase pemahaman kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dan diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 85,83%. Penelitian yang dilakukan Ali (2009) menunjukkan bahwa interaksi antara metode dan aktifitas siswa signifikan. Artinya pembelajaran yang menggunakan media berbasis web dan aktifitas siswa berpengaruh pada hasil belajar. Aktifitas siswa yang tinggi dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Namun pada penelitian tersebut tidak dijelaskan bagaimana meningkatkan aktifitas siswa pada pembelajaran menggunakan media berbasis web tersebut. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa yang signifikan hanya interaksi antara metode dan frekuensi pemberian tugas. Artinya pembelajaran yang menggunakan media berbasis web dan frekuensi pemberian tugas berpengaruh terhadap hasil belajar. Mahasiswa yang diberi tugas lebih sering memperoleh hasil belajar lebih tinggi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ali, salah satu cara meningkatkan aktifitas siswa pada pembelajaran menggunakan media berbasis web adalah memperbanyak frekuensi pemberian tugas kepada siswa atau mahasiswa. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan antara metode pemberian tugas menggunakan media berbasis web dan media cetak, (2) terdapat perbedaan antara frekuensi pemberian tugas dan latihan soal, (3) terdapat perbedaan pada interaksi antara metode pemberian tugas dengan frekuensi pemberian tugas dan latihan soal.
39
Persentase pemahaman mahasiswa yang diajarkan dengan metode menggunakan media berbasis web adalah 77,13% lebih tinggi daripada media cetak. Pesersentase pemahaman kelompok mahasiswa yang diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 75,56%. Persentase pemahaman kelompok mahasiswa yang diberi tugas menggunakan media berbasis web dan diberikan tugas dan latihan soal dengan frekuensi tiga kali adalah 85,83%. DAFTAR RUJUKAN Ali, R. K. (2009). Pengaruh Penggunaan Media pembelajaran Berbasis Web Dalam Pembelajaran Inquiry Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan lkatan Kimia. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan. Medan. Arends, R. I. (2008). Learning To Teach (7th edition). Terjemahan oleh Helly Prajitno Soetjipto. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Martini, K.,S., dkk. (2014). Pengaruh Pembelajaran Kimia Dengan Metode Student TeamsAchievement Divisions (STAD) Dan Team Assisted Individualization (TAI) Terhadap Prestasi Belajar Ditinjau Dari Kemampuan Matematik Siswa Materi Pokok Termokimia Kelas XI Semester Gasal SMA Negeri Sukoharjo Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia. Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret. P.49-56. ISSN 2337-9995. Hannafin, M.J., Janette, R.H. (1997). Cognitive Strategies and Learning from the World Wide Web. Educational Technology, Research and Development. ProQuest Education Journals. P.37. Kirk, R.E. (1995). Experimental Design: Procedures for the Behavioral Sciences. Brooks/Cole Publishing Company, USA. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Rohman, P. F., & Stikno, M. S. (2007). Strategi Belajar Mengajar. PT Refika Aditama. Bandung. Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learning: theory, research and practice. Allymand Bacon, London. Sudarsa, I.,M., dkk. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD berbantuan LKS Terhadap Pemahaman Konsep Kimia Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi. e-Jurnal Program Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA Vol.3. Sudjana, N. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Suharsimi, A. (2001). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). PT Bumi Aksara. Jakarta.
40
PERFORMANSI MEMBRAN INTERLAYER FREE-P123 CARBONISED SILICA MELALUI PROSES DESALINASI AIR SUNGAI MARTAPURA Performance of Interlayer Free-P123 Carbonised Silica Membranes thru Desalination Process of Martapura River Muthia Elma1*, Fitriani1, Arief Rakhman1 1
Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 *email: [email protected] Abstrak. Berdasarkan observasi pada air sungai Martapura diketahui kualitas fisik air ketika musim kemarau memiliki kandungan garam yang cukup tinggi dengan identifikasi awal biasanya masyarakat sekitar sungai Martapura merasakan air sungai tersebut asin pada saat musim kemarau karena pengaruh intrusi air laut. Penelitian ini bertujuan mengetahui performa membran Carbonised Silica-P123 pada proses desalinasi air sungai Martapura. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan proses desalinasi pada Membran Carbonised Silica-P123. Membran ini dibuat dengan menggabungkan silica thin film dengan polimer P-123 dan kemudian didipcoating ke membrane support sebanyak 4 layers dan kemudian membran dikalsinasi pada suhu 350C dan 600C selama 1 jam untuk setiap layer. Metode yang digunakan dalam menurunkan kadar garam air sungai pada penelitian ini adalah metode desalinasi melalui proses pervaporasi dengan mekanisme water flux dan salt rejection menggunakan membran Silica-P123. Membran ini juga diuji desalinasi menggunakan air sungai Martapura. Dari hasil pengujian ini diketahui performansi dari membran yang dikalsinasi pada suhu 350C dan 600C secara berturut-turut adalah 1,25 dan 1,67 kg.m-2.h-1serta persentase salt rejection yang diperoleh secara berturutturut adalah 96,22% dan 65,67%. Dapat disimpulkan bahwa membrane yang dikalsinasi pad suhu 350C memberikan nilai rejection yang jauh lebih baik dari membrane yang dikalsinasi pada suhu 600C. Kata kunci: desalinasi, membran Silica-P123, salt rejection, water flux. Abstract. Based on the observations of Martapura river water, it is known that physical quality of water of martapura river in the dry season have a fairly high salt content. It is due to the influence of sea water intrusion. The aims of this research is to measure the water fluxes and salt rejections of membrane Carbonised Silica-P123 via water desalination process. This membrane is fabricated by combining silica thin film with polymer P123 and it then was dipcoated onto membrane support as many as four layers. Lastly,it was then calcined at 350 C and 600 ° C for an hourfor each layer of membranes. Results show that membranes calcined at low temperatures obtain lower water fluxes and bettersalt rejectionthanmembrane calcined at higher temperature (1.250 and 1.676 kg.m-2.h-1 for water flux and 96.22 and 65.67% for salt rejection for membranes calcined at 350 and 600°C, respectively). Keywords: desalination, silica-P123 membrane, salt rejection, water flux
PENDAHULUAN Air adalah sumber daya alam yang dinamik (dynamic resources), yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang, sehingga memberikan implikasi yang relatif pelik dan khas dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Untuk menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras. Pengelolaan ini perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor dan antar generasi. Pengelolaan sungai, danau dan waduk adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi
41
sumber daya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air agar terciptanya konservasi sumber daya air. Kelangkaan air bersih merupakan masalah yang serius akhir-akhir ini di Kalimantan Selatan. Ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan iklim, dan pengelolaan air dan limbah yang tidak sesuai. Masalah ini merupakan suatu tantangan besar bagi kelangsungan serta ketersediaan air bersih di Kalimantan Selatan. Masyarakat di daerah pinggiran sungai Martapura banyak yang menggunakan air sungai langsung untuk memenuhi kebutuhan mereka. Berdasarkan observasi pada sungai Martapura air sungai sering terintrusi pada saat air laut pasang ketika musim kemarau. Ini menyebabkan air sungai menjadi asin. Adanya kandungan garam dalam air memberikan dampak negatif seperti menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh karena itu menurut Permenkes Nomor 492 Tahun 2010, parameter fisik air yang diperbolehkan adalah air yang tidak berasa apapun. Proses desalinasi adalah salah satu alternative untuk menjawab masalah ketersediaan air bersih (Sadrzadeh & Mohammadi, 2008). Pemisahan dengan proses membran dapat menghasilkan air minum meskipun berasal dari air mentah dengan konsentrasi garam yang tinggi (Gryta, 2010). Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui performansi dari membran interlayer free-P123 carbonised silica pada proses desalinasi air agar dapat dipergunakan selanjutnya untuk menghilangkan kadar garam pada air sungai terintrusi. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses Program Studi Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat, yang terdiri dari beberapa proses yaitu proses pembuatan sol gel, pembuatan xerogel, pembuatan P123-Si-sol, membrane dipcoating, membrane calcination, pervaporation experiment. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain gelas beker, pipet tetes, labu ukur, micropipet,hot plate stirrer, stirrer, labu leher tiga, kondensor gelembung, oven, furnace, gelas ukur, petridish, botol centrifuge, vacuum pump, cold trap, selang waterpass, botol kaca dan termometer. Bahanbahan yang digunakan adalah tetraethyl orthosilicate (TEOS), etanol, akuades, HNO3, NH3, Pluronic®P123, macroporous alumina substrates (α-Al2O3tubularsupport (ϕE100 nm) Ceramic Oxide Fabricates, Australia), plastic wrap, aluminium foil dan sampel air sungai Martapura. Variabel Proses Proses desalinasi pada air sungai Martapura ini terdapat 2 variabel yang digunakan, yaitu: a) Variabel bebas, yaitu temperature kalsinasi (350 C dan 600 C). b) Variabel tetap, yaitu konsentrasi TEOS:EtOH:HNO3:H2O:NH3:P123 (1:38:0.0007:5:0.003:0.0128), layer coating (4 layers), dan waktu kalsinasi. Prosedur Penelitian Sintesis Xerogel TEOS sebanyak 18.66 gram ditambahkan setetes demi setetes ke dalam 20 mL EtOH di dalam labu leher tiga dan diaduk selama 5 menit pada 0 C diikuti dengan penambahan HNO3 0.00078N secara perlahan dan direfluks selama 1 jam pada 50 C. NH3 0.0003N ditambahkan setetes demi setetes dan refluks dilanjutkan selama 2 jam setelah itu mengukur pH sol gel. 50 mL sol gel ditambahkan P123 0.6388 gram dan diaduk selama 45 menit pada suhu ruang. 20 mL P123-Si sols kemudian dikeringkan selama 24 jam pada 600 C. P123-Si xerogel kemudian dihaluskan, serbuk xerogel dikalsinasi pada 350 C selama 1 jam. Xerogel dikarakterisasi dengan analisa FTIR.
42
Pembuatan Membran 25 mL P123-Si sols dilarutkan dengan etanol 1:0.9 untuk mengurangi viskositas pada saat membrane dipcoating. Proses dipcoating dilakukan dengan cara mencelupkan macroporous α-Al2O3 tubular support ke dalam P123-Si sols dengan laju pencelupan 10 cm per menit, macroporous α-Al2O3 tubular support direndam selama 2 menit, kemudian ditarik dengan laju penarikan 5 cm permenit, kemudian membran dikalsinasi di dalam furnace selama 1 jam pada 350 °C dan 600 °C. Pervaporasi Memulai pervaporasi dengan membran suhu kalsinasi 350°C pada sampel air sungai Martapura. Selanjutnya menghitung water flux yang dapat ditentukan denganan persamaan sebagai berikut. 𝐹=
𝑚 𝐴.∆𝑡
dimana m adalah massa permeate (kg) yang terperangkap dalam cold trap, A adalah luas permukaan aktif (m2) dan Δt adalah waktu pervaporasi. Menentukan salt rejection R(%),dapat ditentukan denganan persamaan sebagai berikut. 𝑅=
𝐶𝑓−𝐶𝑝 𝐶𝑓
× 100%
dimana Cf dan Cp adalah konsentrasi garam pada umpan dan permeate (% berat). Selanjutnya menentukan konduktivitas dari larutan permeate yang dapat ditentukan dengan conductivity meter (Elma, Wang, Yacou, Motuzas, & Diniz da Costa, 2015). Langkah yang sama diulangi pada membran dengan suhu kalsinasi 600 °C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Xerogel Dalam pembuatan Si-P123dengan metode sol gel, sol yang diperoleh pada penelitian ini memiliki pH 6, dimana diketahui sol dengan pH 6 akan menghasilkan pori membran yang mesoporous (Elma, Yacou, Diniz da Costa, & Wang, 2013) dimana ukuran porinya lebih besar dibandingkan dengan ukuran molekul air namun lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran molekul garam. Silica sol yang dihasilkan berupa cairan bening tidak berwarna yang encer, dimana setelah ditambahkan dengan P123 terjadi perubahan viskos namun tidak terjadi perubahan warna. Selain memberikan kekuatan kepada pori-pori membran, penambahan P123 dalam silika sol akan mempengaruhi gugus silanol dan siloxane. Gugus silanol dan siloxane diketahui dapat mempengaruhi ukuran pori membran, sehingga penting untuk mengetahui ada tidaknya kedua gugus tersebut (Elma, Wang, Yacou, & Diniz da Costa, 2015). Untuk itu dilakukan metode analisa FTIR (Fourier Transform Infrared), dapat diketahui luas area silanol dan siloxane yang didapatkan dalam Si-P123 sol. Berikut adalah Perbedaan fisik dari xerogel yang di kalsinasi pada suhu 350 °C dan 600 °C yang dapat dilihat pada Gambar 3.
43
Gambar 3. Perbedaan xerogel yang dikalsinasi (a) suhu 350°C dan (b) suhu 600 °C
a
b
Dari hasil analisa FTIR didapatkan grafik seperti pada Gambar 4. berikut:
Gambar 4. Spektrum FTIR dari xerogel Si-P123 yang dikalsinasi
Gambar 4 menunjukkan spektrum FTIR untuk xerogel silika-P123 yang dikalsinasi pada suhu 600 °C dan 350 °C menggunakan metode RTP (Rapid Thermal Processing) selama 1 jam tanpa menggunakan ramping/cooling rates. Pada panjang gelombang 2700-700 cm-1, terdapat beberapa puncak (peak) yaitu pada panjang gelombang 2357 cm-1, 1070 cm-1, 962 cm-1 dan 802 cm-1. Puncak 802 cm-1, 1070 cm-1merupakan puncak dari grup siloxane (Si-OSi). Begitu juga dengan puncak 962 cm-1, puncak pada panjang gelombang ini merupakan grup silanol (Si-O-H). Ikatan Si-C bisa dilihat pada panjang gelombang 2357 cm-1. Xerogel yang dikalsinasi pada suhu 600 °C menunjukkan puncak Si-C sedangkan pada suhu 350 °C tidak ditemukan puncak. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu yang lebih tinggi komposisi karbon jelas terlihat terjadi dekomposisi dan menciptakan struktur pori-pori yang lebih besar dan lebih luas. Grup siloxane terbentuk akibat reaksi kondensasi air dan kondensasi alcohol yang diperoleh dari reaksi kimia selama proses sol gel berlangsung. Begitu juga dengan grup silanol, grup ini diperoleh dari rekasi hidrolisis pada tahap awal proses sol gel (Elma, Wang, Yacou, & Diniz da Costa, 2015). Proses hidrolisis ini terjadi akibat dari penambahan asam sebagai katalis. Perhitungan Water Flux dan Salt Rejection Flux digunakan untuk menyatakan tingkat dimana air menembus pada suatu membran. Nilai flux membran berbanding lurus terhadap suhu dan tekanan. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan flux adalah sebagai berikut: 𝐹=
𝑚 𝐴.∆𝑡
Salt rejection sebagai persentase dari kontaminan yangdikeluarkan dari aliran umpan dengan membran. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan persentase dari salt rejection adalah sebagai berikut: 𝑅=
𝐶𝑓−𝐶𝑝 𝐶𝑓
× 100%
Berikut adalah grafik hubungan antara water flux dan salt rejection terhadap perbedaan suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C pada umpam air sungai Martapura yang dapat dilihat pada Gambar 6.
44
Gambar 6. Performansi membran Si-P123 pada suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C.
Gambar 6 diatas, menunjukkan performansi yang dihasilkan pada membran Si-P123 terhadap perbedaan suhu kalsinasi 350 °C dan 600 °C. Membran silika murni (tidak ada P123) terbukti tidak stabil untuk desalinasi. Dari hasil penelitian, dari grafik diperoleh bahwa water flux yang diperoleh dari umpan aquadest memiliki nilai water flux sebesar 4,1 kg.m-2.h-1 pada suhu 350 °C dan 3,9 kg.m-2.h-1 pada suhu 600 °C. Sebaliknya pada umpan air sungai Martapura diperoleh nilai water flux sebesar 1,25 kg.m-2.h-1pada suhu 350 °Cdan 1,67 kg.m2 -1 .h pada suhu 600 °C. Hal ini membuktikan bahwa air sungai Martapura memiliki kandungan garam. Kandungan karbon yang ada pada permukaan membran mempengaruhi kinerja membran dalam hal water flux dan serta pengurangan polarisasi konsentrasi garam. Perolehan persentase salt rejection yang dihasilkan pada air sungai Martapura adalah 96,22% pada suhu 350 °C dan 65,67 pada suhu 600 °C. Sehingga dapat disimpulkan bahwa membran Si-P123 dengan suhu kalsinasi 350 °C merupakan yang terbaik. SIMPULAN Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa membran Si-P123 dapat mengurangi kandungan garam pada air sungai Martapura, dengan diperoleh performansi nilai water flux pada membran Si-P123 sebesar 1,25 kg.m-2.h-1 pada suhu 350 °C dan 1,67 kg.m-2.h-1 pada suhu 600 °C dengan persentase salt rejection sebesar 96,22% pada suhu 350°C dan 65,67% pada suhu 600 °C. Dari hasil performansi, membran Si-P123 pada suhu 350 °C adalah yang terbaik karena memiliki persentase salt rejection yang paling tinggi. DAFTAR RUJUKAN Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., & Diniz da Costa, J. C. (2015). Interlayer-free P123 carbonised template silica membranes for desalination with reduced salt concentration polarisation. Journal of Membrane Science, 475, 376-383. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.memsci.2014.10.026 Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., Motuzas, J., & Diniz da Costa, J. C. (2015). High performance interlayer-free mesoporous cobalt oxide silica membranes for desalination applications. Desalination, 365, 308-315. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2015.02.034 Elma, M., Yacou, C., Diniz da Costa, C. J., & Wang, K. D. (2013). Performance and Long Term Stability of Mesoporous Silica Membranes for Desalination. Membranes, 3(3). doi: 10.3390/membranes3030136 Gryta, M. (2010). Desalination of thermally softened water by membrane distillation process. Desalination, 257(1–3), 30-35. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2010.03.012
45
Sadrzadeh, M., & Mohammadi, T. (2008). Sea water desalination using electrodialysis. Desalination, 221(1), 440-447. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2007.01.103
46
SINTESIS DAN FUNGSIONALISASI XEROGEL SILICA DAN SILICACOBALT UNTUK DESALINASI AIR Synthesis and Functionalization of Silica and Silica-Cobalt Xerogels For Water Desalination Muthia Elma1*, Rahmi Hidayati1, Gesit Satriaji Saputro1 1 Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36 Banjarbaru 70714 *email: [email protected]
Abstrak. Desalinasi air merupakan suatu proses pemisahan dengan menggunakan teknologi membran. Teknologi membran merupakan teknologi pemisahan yang diketahui memiliki kemampuan untuk memisahkan molekul-molekul zat pengotor yang berbeda ukurannya. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkanhasil analisaxerogel silica dengan xerogel silica-cobalt 35%.Pembuatan xerogel dilakukan dengan menggunakan pre-cursor TEOS melalui proses sol gel, yaitu dengan menambahkansurfaktan cobalt oxide sebanyak 35% kedalam silica sol pH=6 untuk xerogel silica-cobalt dan selanjutnya dilakukan proses kalsinasipada suhu 600oC.Analisa yang dilakukan pada penelitian ini yaitu analisa FTIR dan Fityk untuk mengetahui karakteristikxerogel silica melalui gugus fungsinya. Berdasarkan hasil analisa (deconvulation) diperoleh xerogelpure silica mengandung konsentrasi siloxane lebih tinggi dibandingkanxerogelsilica-cobalt (surfaktan). Hal tersebut menunjukkan xerogel silica-cobalt memberikan karakter lebih robust dan hydrostability lebih baikdibandingkan dengan xerogel silica dan ini sangat bermanfaat untuk sebagai pelapis membran yang diaplikasikan pada proses desalinasi air Kata kunci: xerogel, sintesis, fungsionalisasi, silica, silica-cobalt Abstract.Water desalination is a separation process using membrane technology. Membrane technology is a separation technology that is popular to have the ability to separate the molecules of different impurities. The purpose of this study was to compare the results of xerogel silica analysis with xerogel silica-cobalt 35%. Xerogel preparation was done by employing TEOS as a pre-cursor through sol gel process, that is by adding 35% cobalt oxide as a surfactant into silica sol pH = 6 and it was then calcined at temperature 600oC. Analysis for this research was applying FTIR and Fityk analysis in order to investigate the characteristic of xerogel silica through its functional group. Based on the results of the analysis (deconvulation) obtained for pure silica xerogel containing siloxane concentration lower than xerogel silica-cobalt (surfactant). It shows the silica-cobalt xerogel provides more robust character and hydrostability than the pure silica xerogel itself and is particularly useful as a membrane coating applied for water desalination process Keywords: membrane, synthesis, functionalization, silica, silica-cobalt
PENDAHULUAN Teknologi membran telah lama menjadi proses pemisahan dalam dunia industri karena proses yang cepat dan efisien. Secara umum terdapat tiga jenis proses membran yang biasanya digunakan antara lain reverse osmosis (RO), distilasi membran (MD) dan pervaporasi (PV)(Elma, Yacou, Wang, Smart, & Diniz da Costa, 2012). Membran merupakan suatu lapisan tipis antara dua fasa fluida yaitu fasa umpan (feed) dan fasa permeat yang bersifat sebagai penghalang (barrier) terhadap suatu spesi tertentu, yang dapat memisahkan zat dengan ukuran yang berbeda serta membatasi transpor dari berbagai spesi berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Membran bersifat semipermeabel, berarti membran
47
dapat menahan spesi-spesi tertentu yang lebih besar dari ukuran pori membran dan melewatkan spesi-spesi lain dengan ukuran lebih kecil. Sifat selektif dari membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan. Support membran adalah membran dari bahan keramik dibuat melalui pembakaran suhu tinggi. Kestabilan dari kekuatan membran tergantung dari aspek kimia, mekanis dan kondisi termal dari membran. Silika dikenal baik sebagai oksida pembentuk gelas sedangkan Al 2O3, TiO2 dan ZrO2 adalah oksida menengah dalam klasifikasi Zachariasen (1932). Mereka tidak dapat membentuk gelas dengan sendirinya. Struktur dari gelas silika terdiri dari corner-sharing SiO4 tetrahedra kovalen terhubung dalam jaringan tiga dimensi tak terbatas yang terusmenerus tidak memiliki orde rentang panjang. Persiapan konvensional gelas dilakukan dengan mendinginkan lelehan padatan, namun fase amorf dapat juga diperoleh pada temperatur rendah dari campuran cairan atau campuran gas. Fase amorf pada hakekatnya adalah fasa metastabil (Tabel 1). Kristalisasi termal dari oksida menengah terjadi pada suhu rendah dibandingkan dengan silika (Tabel 1). Kristalisasi terkait secara sistematis dengan perubahan mikrostruktur. Pada kasus padatan microporous, itu biasanya akibat pada pembesaran signifikan dari ukuran pori-pori. Untuk silika dengan kemurnian tinggi, kristalisasi dapat dihambat pada suhu sangat tinggi (mendekati domain dari stabilitas termodinamika kristobalit). Stabilitas termal dari silika porous sebenarnya dibatasi oleh sintering aliran kental yang terjadi sekitar 800˚C dalam kasus silika microporous. Tabel 1. Data Struktural untuk Oksida Tunggal Umum (Ayral et al., 2006) SiO2 Al2O3 TiO2 Fase kristal dengan kestabilan Quartz α Corundum Rutile termodinamika pada suhu kamar Rentang Rentang Rentang 900400-700°C 150-400°C Kristalisasi termal dari 1400°C sampai sampai sampai fase amorf kristobalit alumina anatase atau transisi rutile Kristalisasi dari Tidak ada Kristalisasi Penuaan fase amorf hidroksida perubahan dari anatase dalam larutan air AlO(OH) sturktur atau rutile atau Al(OH)3
ZrO2 Baddeleyite Rentang 200400°C sampai kubus metastabil atau fase tetragonal Pembentukan oksihidroksida terhidrasi
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Proses Program Studi Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat. Bahan utama yang digunakan adalah pre-cursor silica (TEOS=Tetraortosilicate) dan cobalt (II) nitrate dekahidrate. 1. Alat dan Bahan Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat peralatan gelas lainnya, dipcoater, oven, furnace, hotplate, pH meter, conductivity meter, stirrer, vacum pump, plastik wrap, aluminium foil, neraca analitis, termometer dan statif dan klem. Sementara itu, bahan - bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah TEOS, EtOH, akuades, HNO3, NH3, membrane support (-Al2O3) dan Cobalt (II) nitrate dekahydrate. 2. Variabel Proses Pada proses, terdapat 2 variabel yang digunakan, yaitu: a) Variabel bebas, yaitu penggunaan membran cobalt-silica dengan variasi konsentrasi 5 % w/v dan 10 % w/v, proses desalinasi dengan menggunakan akuades dan konsentrasi larutan NaCl 3,5% berat.
48
b) Variabel terikat, yaitu rasio molar TEOS:EtOH: HNO3:H2O:NH3 = 1 : 38 : 0,0007 : 0,003, 4 layer thin film, waktu kalsinasi selama 1 jam, temperatur kalsinasi sebesar 600oC, waktu perhitungan desalinasi selama 20 menit/percobaan. 3. Prosedur Penelitian TEOS ditimbang sebanyak 18,66 gram dan HNO3 sebanyak 8,0699 gram. EtOH sebanyak 20 mL dimasukkan kedalam labu leher tiga. EtOH di-reflux selama 5 menit pada suhu 0°C. Setelah 5 menit, larutan TEOS diteteskan sedikit demi sedikit, dan larutan direflux kembali selama 5 menit pada suhu 0°C. Selanjutnya, larutan HNO 3 0,00078N diteteskan sedikit demi sedikit. Larutan dipanaskan pada suhu 50°C, kemudian di-reflux kembali selama 1 jam. Diteteskan sedikit demi sedikit larutan NH3 0,0003N. Sol-gel silika di-reflux selama 2 jam, kemudian sol-gel didinginkan pada suhu ruangan. Silika sol yang telah terbentuk dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama merupakan silika sol murni, sedangkan silika sol yang kedua ditambahkan dengan surfaktan oksida kobalt sebanyak 2,0111 gram (35% w/v). Kedua sol selanjutnya dipanaskan pada suhu 60°C hingga terbentuk xerogel berupa kristal bening seperti kaca. Xerogel yang telah terbentuk dihaluskan yang selanjutnya xerogel tersebut dikarakterisasi menggunakan metode FTIR dan hasilnya dianalisa menggunakan Fityk. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Membran silika berasal dari sintesis silika dengan metode sol-gel yang telah dikembangkan terutama untuk pemisahan gas dengan ukuran pori pada rentang 3-5 Å (Nair, Elferink, Keizer, & Verweij, 1996). Kesulitan menggunakan silika membran untuk desalinasi adalah terkait dengan ketidakstabilan matriks silika bila terkena air (Mikel C. Duke, Diniz Da Costa, Do, Gray, & Lu, 2006). Dalam rangka untuk menangani masalah ini, peneliti telah menanamkan dan mengarbonasikan dengan kovalen template atau surfaktan (M. C. Duke, Diniz Da Costa, Lu, Petch, & Gray, 2004) dalam matriks silika. Baru-baru ini, sejumlah kelompok penelitian melaporkan perkembangan doping logam atau oksida logam pada membran silika dengan selektivitas gas yang luar biasa, sehingga menunjukkan pengecilan ukuran pori yang baik. Oksida logam salah satunya adalah kobalt (Igi, Yoshioka, Ikuhara, Iwamoto, & Tsuru, 2008; Uhlmann, Liu, Ladewig, & Diniz da Costa, 2009). Dalam pembuatan cobalt-silica sol dengan metode sol gel, sol yang diperoleh pada penelitian ini memiliki pH 6, dimana diketahui sol dengan pH 6 akan menghasilkan pori membran yang mesoporous (Elma, Yacou, Diniz da Costa, & Wang, 2013) dimana ukuran porinya lebih besar dibandingkan dengan ukuran molekul air namun lebih kecil bila dibandingkan dengan ukuran molekul garam. Silica sol yang dihasilkan berupa cairan bening tidak berwarna yang encer, dimana setelah ditambahkan dengan kobalt warnanya akan berubah menjadi ungu bening. Selain memberikan kekuatan kepada pori-pori membran, penambahan kobalt dalam silika sol akan mempengaruhi gugus silanol dan siloxane. Gugus silanol dan siloxane diketahui dapat mempengaruhi ukuran pori membran, sehingga penting untuk mengetahui ada tidaknya kedua gugus tersebut (Elma, Wang, Yacou, Motuzas, & Diniz da Costa, 2015). Dari hasil analisa diperoleh data luas gugus siloxane dan silanol dalam kedua xerogel. Pada xerogel silika, luasan gugus siloxane sebesar 7,33188 satuan luas dan gugus silanol sebesar 0,415337 satuan luas. Sedangkan pada xerogel silika-kobalt, luasan gugus siloxane sebesar 4,54555 satuan luas dan gugus silanol sebesar 0,47911 satuan luas. Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa konsentrasi siloxane pada silika-kobalt lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi siloxane pada silika murni.
49
1079
Absorbance (a.u.)
800
1600
1400
1200
1000
800
600
-1 Panjang Gelombang (cm )
Gambar 1. FTIR Xerogel silika (garis merah) dan silica-cobalt (garis hitam)
SIMPULAN Siloxane dan silanol pada sebuah membran merupakan salah satu faktor yang menentukan karakteristik membran. Jumlah siloxane yang banyak akan memberikan membran yang memiliki pori berukuran lebih kecil, struktur lebih lebih kuat, dan memiliki hydrostability lebih tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa xerogel silika-kobalt lebih baik dibandingkan dengan xerogel silika murni dan xerogel silika-kobalt sangat bermanfaat sebagai pelapis membran yang diaplikasikan pada proses desalinasi air.
DAFTAR RUJUKAN Ayral, A., Julbe, A., Roualdes, S., Rouessac, V., Durand, J., & Sala, B. (2006). Silica membranes - Basic principles. Periodica Polytechnica: Chemical Engineering, 50(1), 67-79. Duke, M. C., Diniz Da Costa, J. C., Do, D. D., Gray, P. G., & Lu, G. Q. (2006). Hydrothermally robust molecular sieve silica for wet gas separation. Advanced Functional Materials, 16(9), 1215-1220. Duke, M. C., Diniz Da Costa, J. C., Lu, G. Q., Petch, M., & Gray, P. (2004). Carbonised template molecular sieve silica membranes in fuel processing systems: Permeation, hydrostability and regeneration. Journal of Membrane Science, 241(2), 325-333. Elma, M., Wang, D. K., Yacou, C., Motuzas, J., & Diniz da Costa, J. C. (2015). High performance interlayer-free mesoporous cobalt oxide silica membranes for desalination applications. Desalination, 365, 308-315. Elma, M., Yacou, C., Diniz da Costa, J. C., & Wang, D. K. (2013). Performance and long term stability of mesoporous silica membranes for desalination. Membranes, 3(3), 136-150. Elma, M., Yacou, C., Wang, D. K., Smart, S., & Diniz da Costa, J. C. (2012). Microporous silica based membranes for desalination. Water (Switzerland), 4(3), 629-649.
50
Igi, R., Yoshioka, T., Ikuhara, Y. H., Iwamoto, Y., & Tsuru, T. (2008). Characterization of co-doped silica for improved hydrothermal stability and application to hydrogen separation membranes at high temperatures. Journal of the American Ceramic Society, 91(9), 2975-2981. Nair, B. N., Elferink, W. J., Keizer, K., & Verweij, H. (1996). Sol-gel synthesis and characterization of microporous silica membranes .1. SAXS study on the growth of polymeric structures. Journal of Colloid and Interface Science, 178(2), 565-570. Uhlmann, D., Liu, S., Ladewig, B. P., & Diniz da Costa, J. C. (2009). Cobalt-doped silica membranes for gas separation. Journal of Membrane Science, 326(2), 316-321.
51
LITERASI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI GURU BIOLOGI DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI TINGKAT MADRASAH ALIYAH KOTA BANJARMASIN The Information and Communication Technology Literacy Of Biology Teachers in Teaching and Learning Activity at Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) Banjarmasin Nazila Rahmatina1*, Dharmono2*, Kaspul3* MAN 2 Model Banjarmasin, Jl.Pramuka RT.20 No.28 Banjarmasin 2 Pascasarjana Pendidikan Biologi ULM, Jl. H. Hasan Basry Banjarmasin 3 FKIP Pendidikan Biologi ULM, Jl. H. Hasan Basry Banjarmasin (email: [email protected]) 1
Abstrak. Literasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar biologi adalah pengenalan dan pemahaman terhadap TIK disertai dengan kemampuan dan kemauan untuk menggunakan dan memanfaatkan TIK dalam kegiatan belajar mengajar Biologi, terutama penggunaan piranti TIK, seperti pemanfaatan multimedia dan internet untuk menghasilkan sebuah pesan atau informasi.Model pembelajaran Biologi dengan memanfaatkan media dan sumber belajar berbasis TIK adalah mengkomunikasikan pembelajaran terhadap peserta didik secara aktif dan kreatif, kapan saja dan dimana saja untuk mempermudah komunikasi pembelajaran. Sehingga diharapkan peserta didik dapat mengakses pembelajaran dengan cepat dan tepat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Guru Biologi dalam Kegiatan Belajar Mengajar di Tingkat Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin. Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Pengambilan data dengan menggunakan instrumen angket meliputi 4 aspek yakni: 1) akses terhadap TIK; 2) sikap; 3)keterampilan; dan 4)pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan 100% guru telah memiliki akses terhadap TIK; sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (76,2%) dengan kategori baik; penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras (58,9%) dengan kategori kurang; dan kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogik (68,0%) dengan kategori cukup. Keempat parameter ini menunjukkan literasi TIK guru Biologi Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin sudah masuk pada kategori cukup. Kata kunci: Literasi, TIK, Kegiatan Belajar Mengajar. Abstract. ICT literacy in teaching and learning process is conducted as introduction and comprehension to ICT with the ability and willingness to use ICT in teaching and learning biology especially for ICT devices, such as the use of multimedia and internet to give messages or information. Biology as learning based on ITC is a model which has a strategy to communicate the lesson actively and creatively towards the students anywhere and everywhere. The simplication of communication is done in order to help the students can access the lesson faster and accurate. This research aimed to know how Information and Technology Communication Literacy of Biology teachers in Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) in Banjarmasin Scope. The method used is descriptive-quantitative. The data taken include 4 aspects: 1) access towards Information and Technology Communication; 2) attitude; 3) skills; and 4) knowledge. The result of this research shows that 100% of teachers have access towards ICT; Their attitude towards the use of ICT in teaching and learning process in Biology (76,2%) is categorized good; the mastering of software (application) and hardware (58,9 %) is categorized poor; and digital technology and pedagocic-knowledge competence (68,0%) is categorized fair. These four parameters showed that the ICT literacy of Biology teacher in Madrasah Aliyah (Islamic Senior High School) in Banjarmasin is in fair category. Keywords: Literacy, ICT, Teaching and Learning Activity
52
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah mentransformasi cara pembelajaran abad 21. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kemdikbud (2016) menyatakan, saat ini sumber kekuatan utama adalah pengetahuan, atau informasi dan teknologi menjadi salah satu cara untuk menjangkau semua pihak dalam memberikan informasi, termasuk dalam dunia pendidikan dan proses pembelajaran. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sudah mempengaruhi kehidupan manusia di berbagai aspek, tak terkecuali aspek pendidikan. Peluang yang ditawarkan oleh penggunaan TIK di bidang pendidikan sangat banyak, terutama mengarah pada pengalaman belajar yang lebih baik dan menarik. Tidak hanya terbatas pada ruang kelas tetapi juga transformasi model pendidikan yang menawarkan pilihan baru dalam penyampaian seperti e-learning dan blended learning. Peluang lainnya seperti layanan pelatihan guru di bidang TIK dan dukungan infrastruktur lainnya (Fitriyadi 2013). Kemajuan teknologi yang terus berkembang pesat ini menjadi tantangan bagi guru untuk literate terhadap TIK atau melek TIK dengan harapan integrasi pembelajaran menggunakan TIK dapat menciptakan guru yang professional. Literasi TIK dalam Service Educational Testing (ETS, 2007), didefinisikan menggunakan teknologi digital, alat komunikasi, dan atau jaringan untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi. Ada 5 (lima) komponen penting dalam literasi TIK meliputi: 1) Akses, mengetahui tentang dan mengetahui bagaimana mengumpulkan dan atau mengambil informasi; 2) Kelola, menerapkan organisasi yang ada atau skema klasifikasi; 3) Mengintegrasikan, menafsirkan dan mewakili informasi.; 4) Evaluasi, membuat penilaian tentang kualitas, relevansi, kegunaan, atau efisiensi informasi; dan 5) Karya, menghasilkan informasi dengan beradaptasi, menerapkan, merancang, menciptakan, atau authoring informasi. Menurut Trisdiono (2015) literasi TIK guru yang berfungsi dalam meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan pengembangan keprofesian berkelanjutan masih menunjukkan tingkat yang kurang sehingga perlu dilakukan peningkatan kompetensi guru di bidang TIK. Pengembangan kompetensi guru Biologi di bidang TIK sebenarnya memberikan keuntungan bagi guru dan bagi siswa. Guru yang memliki kompetensi baik di bidang TIK, dapat memanfaatkannya untuk meningkatkan layanan pendidikan terhadap siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan bagi siswa, selain membantu meningkatkan efisiensi dan efektifitas kegiatan pembelajaran juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk belajar lebih banyak tentang TIK. Literasi TIK mengandung tiga dimensi, yang meliputi dimensi pengetahuan, keahlian, dan perilaku. Pada dimensi pengetahuan literasi TIK ditandai dengan kesadaran pengguna tentang TIK dan apresiasi relevansi TIK baik dalam kehidupan individual maupun profesional. Sementara itu dimensi keahlian literasi TIK merujuk dan seringkali merupakan hasil dari pengalaman menggunakan teknologi. Dalam banyak hal, merupakan keahlian dalam hal memperoleh, mengolah, menyimpan, meproduksi, dan menukar informasi, mengkomunikasikan, dan melibatkan diri dalam jaringan internet. Semua itu merupakan pertanda bahwa secara individual orang yang mempunyai keahlian tersebut telah melek TIK. Sedangkan dimensi perilaku literasi TIK merepresentasikan produk dan proses dari tafsir kritis dalam penggunaan TIK untuk informasi dan pengetahuan (Wahyono, 2010). Tolak ukur literasi TIK menurut Munir (2014), dapat dikategorikan menjadi kemampuan mendefinisikan, akses, mengelola, integrasi, evaluasi, berkreasi dan berkomunikasi. Information and Communication Teknology literacy tidak sekedar pemahaman akan keterampilan teknis tetapi juga mencakup hal yang bersifat kognitif. Mengintegrasikan TIK ke dalam pembelajaran antara lain untuk meningkatkan kompetensi pengajar dalam mengajar dan meningkatkan mutu belajar peserta didik. TIK yang sifatnya inovatif dapat meningkatkan apa yang sedang dilakukan sekarang, serta apa yang belum kita lakukan tetapi akan dapat dilakukan ketika kita mulai menggunakan teknologi informasi komunikasi. Oleh karena itu pengajar hendaknya memanfaatkan seluruh kemampuan dan
53
potensi teknologi untuk meningkatkan pembelajaran, terutama melakukan pembaharuan dalam upaya mengembangkan proses belajar peserta didik. Implementasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar memerlukan beberapa kondisi yang merupakan pendukung untuk melaksanakan proses pendidikan berbasis TIK. Menurut Surjono (2010), terutama yang berkaitan dengan internet adalah 1) Guru dan siswa harus mempunyai akses yang mudah ke perangkat teknologi termasuk koneksi internet; 2) Tersedia konten digital (bahan ajar) yang mudah dipahami guru dan siswa; 3) Guru harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan menggunakan teknologi; dan 4) Sumber daya guna membantu siswa mencapai standar akademik. Guru sebagai agen perubahan dan inovasi pembelajaran diharapkan dapat menggunakan TIK untuk memfasilitasi siswa dalam mengembangkan potensi dirinya. TIK dapat digunakan sebagai media dan sumber belajar, yang memberikan kemudahan bagi guru dalam menyiapkan perangkat dan keefektifan dalam pembelajaran. Guru yang memiliki kompetensi di bidang TIK secara tidak langsung berdampak positif dalam hal pengembangan profesionalisme secara berkelanjutan. Kompetensi TIK yang dimiliki seorang guru Biologi diharapkan dapat memperjelas konsep dalam pembelajaran Biologi, sehingga penyampaian pembelajaran tidak terlalu monoton dan verbalistis, tidak melulu teori. Mengatasi keterbatasan ruang dan waktu, indra, bentuk lingkungan dan organisme, serta memunculkan kembali gairah belajar siswa dari yang pasif menjadi aktif dan meningkatkan pengalaman belajar siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi tentang literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) guru Biologi dalam kegiatan belajar mengajar Biologi di tingkat Madrasah Aliyah se-Kota Banjarmasin. Polulasi dalam penelitian ini adalah guru Biologi pada Madrasah Aliyah Negeri dan Swasta se-Kota Banjarmasin. Sedangkan objek penelitian ini adalah literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Guru Biologi dalam kegiatan belajar mengajar Biologi. Data yang diperoleh dari penelitian ini dikumpulkan menggunakan instrumen angket literasi TIK. Daftar pertanyaan meliputi: akses terhadap TIK dan internet, sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (aspek sikap), penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras (aspek keterampilan), serta kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis guru Biologi (aspek pengetahuan). Penilaian literasi TIK Guru Biologi melalui angket dinilai menggunakan skala Likert untuk data aspek sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi dengan gradasi jawaban sangat setuju sampai tidak setuju, penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras dengan gradasi jawaban sangat menguasai sampai tidak menguasai, serta kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis dengan gradasi jawaban sangat kompeten sampai tidak kompeten.setelah data diskor dan dihitungnilai persentasenya selanjutnya mengklasifikasikan data ke dalam kategori kriteria penilaian menurut Purwanto (2013) kemudian data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Tabel 1. Kategori Penilaian Literasi TIK Persentase (%) Literasi TIK Keterangan Angka (0-100) Predikat 86-100 Sangat Baik 76-85 Baik 60-75 Cukup 55-59 Kurang ≤ 54 Sangat Kurang Adaptasi dari Purwanto (2013)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data literasi teknologi informasi dan komunikasi guru biologi didapat dari instrumen angket literasi TIK yang meliputi data akses terhadap TIK, data sikap terhadap penggunaan
54
TIK dalam KBM Biologi, data penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras, serta data kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis. Data akses terhadap TIK dan internet disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 2. Akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi Jumlah Ya Jumlah No Deskripsi (%) Tidak (%) 1 Ketersediaan akses internet pada komputer 100 0 pribadi 2 Ketersediaan akses internet pada komputer 100 0 madrasah 3 Ketersediaan akses internet pada telepon 100 0 seluler/ smartphone 4 Ketersediaan LCD proyektor di madrasah 100 0 Rata-rata 100 0 Tabel 2 menunjukkan bahwa setiap guru sudah memiliki komputer pribadi baik berupa PC ataupun laptop dan semua komputer dapat digunakan untuk mengakses internet. Setiap madrasah juga sudah memiliki komputer dilengkapi akses internet yang bisa digunakan oleh guru maupun siswa. Telepon seluler milik guru pun dapat digunakan untuk mengakses internet baik di rumah maupun di madrasah, bahkan ketersediaan akses internet di lingkungan madrasah dimanfaatkan oleh guru-guru untuk memaksimalkan penggunaan telepon seluler mereka. Masing-masing madrasah juga sudah memiliki fasilitas LCD proyektor yang biasa digunakan untuk kegitan belajar mengajar. Ketersediaan komputer dan LCD proyektor di tiap madrasah berbeda dalam hal kuantitas. Berdasarkan pengamatan ada madrasah yang memiliki LCD proyektor di setiap kelasnya, dan ada pula madrasah yang tidak setiap kelas dilengkapi dengan LCD proyektor, namun jika diperlukan bisa digunakan di ruangan tertentu seperti laboratorium atau meminjamnya ke bagian sarana untuk digunakan di kelas saat kegiatan belajar mengajar. Pemanfaatan internet oleh guru madrasah masih sebagai sumber belajar, internet digunakan untuk browsing atau mencari referensi dan tambahan materi yang akan diajarkan dalam pembelajaran. LCD proyektor bukanlah sesuatu yang asing bagi guru, media ini sering digunakan untuk mendukung kegiatan belajar mengajar, baik di dalam kelas maupun di laboratorium. Setyanta (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media pembelajaran berbasis internet dengan menggunakan sarana pendukung berupa komputer dan LCD proyektor bukanlah hal yang mudah. Dalam menggunakan media tersebut, guru harus memperhatikan beberapa teknik agar media tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal dan tidak menyimpang dari tujuan media tersebut. Ketersediaan akses internet berdampak pada kemudahan dalam mengakses informasi yang dibutuhkan untuk menunjang proses pembelajaran. Internet sebagai media komunikasi dan sumber informasi menyediakan fasilitas untuk mendownload dan mengupload data, sehingga memudahkan pertukaran data dan informasi. Hal ini sejalan dengan Setyanta (2013) dalam penelitiannya tentang manfaat penggunaan internet dalam pembelajaran antara lain; dapat mentransformasi pengetahuan, fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pola pendidikan, sistem penyampaian komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Literasi TIK berdasarkan aspek sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi, aspek penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras serta kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis guru dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3. Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi Guru Biologi Skor Literasi TIK
No
Kode Guru
S (%)
K (%)
P (%)
1
S
88,64
73,68
75,00
Rata-rata (%) 77,40
Kategori Baik
55
2 NH 3 EO 4 DA 5 CN 6 ESP 7 F 8 M 9 ERP 10 R 11 DH 12 MA 13 ERD 14 EM 15 RA Rata-rata (%) Kategori
84,09 72,73 84,09 75,00 75,00 75,00 75,00 72,73 72,73 72,73 70,45 72,73 75,00 70,45 75,76 Cukup
75,00 76,32 61,84 65,79 65,79 60,53 61,84 53,95 44,74 50,00 51,32 48,68 46,05 47,37 58,86 Kurang
75,00 73,86 73,86 75,00 71,59 73,86 70,45 65,91 72,73 62,50 60,23 59,09 55,68 55,68 68,03 Cukup
76,92 74,52 71,63 71,63 70,19 69,23 68,27 62,98 62,50 60,10 59,13 58,17 56,25 55,77 66,31 Cukup
Baik Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Cukup Kurang Kurang Kurang Kurang
Keterangan: 1. Sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap) 2. Penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan) 3. Kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis (pengetahuan) Literasi TIK terkait Sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap) Berdasarkan tabel 3, literasi TIK terkait sikap terhadap penggunaan TIK dan internet sebesar 75,76% termasuk kategori cukup. Hasil pengisian angket terkait sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM memperlihatkan bahwa rata-rata guru setuju jika penggunaan TIK untuk keperluan belajar mengajar dapat meningkatkan hasil belajar siswa, meningkatkan kreatifitas dalam pembuatan media, kemampuan berinovasi dan menumbuhkan motivasi. Guru juga setuju terhadap pelatihan atau workshop penggunaan TIK. Berdasarkan respon guru terhadap pernyataan tentang sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi rata-rata guru menyatakan setuju jika penggunaan TIK untuk keperluan pribadi maupun keperluan belajar mengajar perlu mendapat perhatian. Menurut guru, menggunakan TIK pada proses belajar mengajar tidak hanya memberikan rasa percaya diri, tetapi juga dapat meningkatkan kreatifitas dalam pembuatan media pembelajaran Biologi sehingga membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar. Guru-guru juga setuju jika pelatihan atau workhsop penggunaan TIK dalam pembelajaran Biologi perlu mendapat perhatian, karena dengan pelatihan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berkreatifitas dan berinovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Terkait dengan pengelolaan informasi di internet, guru kurang setuju terhadap pernyataan melakukan copy paste informasi dan media Biologi yang ada di internet sebagai perbuatan yang tidak baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru berinisial DH, bahwa: “Boleh copy paste asal dicermati baik-baik kebenaran media dan informasinya, meskipun ada yang copy paste tanpa di edit lagi namun sebaiknya membuat media sendiri sesuai kebutuhan masing-masing. Penggunaan media pembelajaran yang selama ini diperoleh dari hasil copy paste atau download di internet sebaiknya dimodifikasi ulang”. Salah satu kelebihan dari internet sebagai media pembelajaran, dibandingkan membeli buku yang asli, penelusuran informasi melalui internet jauh lebih murah. Apalagi pada saat ini banyak situs yang menyediakan jasa informasi secara cuma-cuma. Kita tinggal mengunduh (download) atau mencetak informasi yang kita butuhkan (Faridi, 2009). Literasi TIK terkait Penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan) Literasi TIK dalam hal penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras sebesar 58,86% termasuk kategori kurang. Sebagaimana lampiran 5, umumnya guru hanya menguasai aplikasi tertentu saja seperti Microsoft Word, Microsoft Excel, Microsoft PowerPoint, tetapi masih kurang pada penguasaan desain grafis dan pengelolaan web untuk kegiatan belajar mengajar Biologi. Penguasaan terhadap perangkat keras seperti LCD
56
proyektor sudah dikuasai lebih dari 70% guru, karena semua madrasah sudah memiliki alat ini dan semua guru sudah mampu mengoperasikan sendiri LCD proyektor. Berdasarkan data yang diperoleh, penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras komputer berada pada kategori kurang (tabel 3). Aplikasi yang kurang bahkan tidak dikuasai oleh guru-guru adalah aplikasi desain grafis, perekaman gambar/video digital, flash, dan aplikasi perancangan web. Perangkat lunak atau aplikasi yang dikuasai oleh guru adalah Microsoft Word, Microsoft Power Point dan Microsoft Excel. Ketiga aplikasi ini yang paling sering dipakai untuk mendukung kegiatan pembelajaran, seperti pembuatan RPP, media presentasi, dan pengolahan nilai. Penguasaan terhadap internet seperti email, web browser, search engine, jejaring sosial, pengelolaan kelas online dan penerbitan media online bervariasi mulai dari kurang menguasai, menguasai dan sangat menguasai. Meskipun setiap guru sudah memiliki email, dalam pemanfaatannya berbeda. Ada yang sekedar tuntutan dunia kerja, ada juga yang menggunakan email sebagai penunjang pembelajaran seperti kutipan salah seorang guru ESP yang menyatakan bahwa: “Email biasanya dimanfaatkan untuk sarana berkomunikasi, maksudnya untuk mengkomunikasikan pemberian dan pengumpulan tugas antara guru dan siswa supaya jangan terlalu banyak memakai kertas. Bisa juga digunakan untuk mengakses jurnal atau referensi ilmiah yang mengharuskan kita registrasi dengan email, terakhir email digunakan untuk akses bergabung di jejaring sosial”. Sebagaimana Sujoko (2013) yang menyatakan bahwa inovasi pembelajaran dengan memanfaatkan teknologi komputer dan internet akan memberikan persepsi siswa berbeda terhadap pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pembelajaran berbasis web merupakan wujud pembelajaran e-learning (electronic learning). Pembelajaran berbasis web seperti blog mempunyai kelebihan yang dapat memberikan fleksibilitas, interaktifitas, kecepatan dan visualisasi dalam proses pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Kristiyanti (2011) dalam tulisannya menyatakan bahwa blog selain dimanfaatkan oleh guru sebagai media pembelajaran juga dapat berfungsi sebagai pusat pembelajaran. Pemanfaatan kelas online seperti Edmodo sebagai media pembelajaran Biologi masih belum dikuasai oleh guru-guru. Hal tersebut dikarenakan fasilitas wifi internet di Madrasah yang belum merata, dan belum ada pelatihan khusus penggunaan kelas online. Dalam penelitian Islamiyah (2016), ada beberapa hal yang harus diperhatikan menggunakan kelas online sebagai media pembelajaran: 1) pembelajaran e-learning perlu dipersiapkan secara matang agar pembelajaran yang dilakukan menjadi efektif; 2) perlu ketersediaan koneksi internet karena e-learning akan terlaksana jika didukung oleh koneksi internet yang baik; 3) perlu memperbaiki interaksi antara pendidik dan peserta didik dengan menyediakan tempat forum diskusi antara pendidik dan peserta didik pada e-learning yang digunakan. Literasi TIK terkait Kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis (pengetahuan) Terkait kompetensi digital dan pengetahuan pedagogis dengan nilai sebesar 68,03% termasuk kategori cukup. Data pada lampiran 5 menunjukkan bahwa guru memiliki kompetensi yang cukup dalam hal menggunakan dan mengintegrasikan TIK ke dalam pembelajaran, namun masih kurang kompeten dalam memecahkan masalah teknis menggunakan TIK dalam pembelajaran Biologi. Salah satu penyampaian materi pembelajaran khususnya dalam kegiatan belajar mengajar Biologi yakni dengan menggunakan TIK. Sebagai alat bantu pendukung proses pembelajaran, penggunaan TIK dapat divariasikan sesuai dengan kebutuhan guru dalam kegiatan belajar mengajar Biologi. Penggunaan media TIK memerlukan kompetensi pengetahuan, keterampilan dan perencanaan agar dapat menarik minat siswa dan menubuhkan motivasi belajar. Data tentang kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogik guru menunjukkan 80% guru berada pada kategori cukup dan 20% guru berada pada kategori kurang. Kompetensi yang masih kurang dikuasai guru terutama dalam hal memecahkan masalah teknis menggunakan TIK dalam pembelajaran Biologi dan kurang update terhadap
57
teknologi digital yang baru. Rendahnya kompetensi ini ada kaitannya dengan pengembangan profesi, sebagaimana hasil penelitian Marzal (2013) bahwa semakin terbuka akses pengembangan diri maka semakin tinggi penguasaan guru dalam TIK. Munadi (2012) berpendapat bahwa dalam melaksanakan kompetensi pedagogik, guru dituntut memiliki kemampuan secara metodologis dalam hal perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Termasuk di dalamnya penguasaan dalam menggunakan media pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Komariah (2016) bahwa untuk dapat mengkomunikasikan setiap data atau informasi menjadi lebih mudah dipahami dan dicerna peserta didik dalam proses pebelajaran dituntut keprofesionalan seorang pendidik, yang salah satu aspeknya adalah memiliki kompetensi pedagogik. Pemanfaatan TIK untuk kepentingn pembelajaran (kompetensi pedagogik) seperti penggunaan strategi yang tepat dalam menggabungkan konten teknologi dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran Biologi sebagian guru masih berada pada kategori kurang kompeten bahkan ada yang tidak kompeten. Begitu pula dengan kompetensi membimbing orang lain dalam mengkoordinasikan, menggunakan konten teknologi dan pendekatan pembelajaran Biologi berbasis TIK di kelas masih dalam kategori kurang kompeten. Penelitian Correos (2012) menyimpulkan rendahnya keterampilan guru dalam menggunakan TIK dalam kegiatan pembelajaran menunjukkan rendahnya integrasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan rendahnya kompetensi TIK guru, tidak cukupnya pelatihan berbasis TIK dan keterbatasan sumber daya TIK. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru-guru terkait dengan upaya pengembangan diri, bahwa guru perlu meningkatkan kompetensi TIK untuk mendukung proses kegiatan belajar megajar menjadi lebih efektif dan efisien seperti dengan mengikuti workshop atau pelatihan TIK yang selama ini sangat jarang dilakukan. Hal ini didukung pendapat Munir (2014) bahwa kapasitas guru dalam memanfaatkan TIK secara efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sangat penting. Pengembangan profesional perlu disampaikan dalam berbagai desain, termasuk dalam desain-desain belajar mandiri, publikasi akademik dan riset, lokakarya formal, kursus dan program belajar lainnya untuk mendukung pengembangan profesional guru dalam penguasaan konten mata pelajaran yang diampu. Guna menyiapkan dan melaksanakan pembelajaran yang mengintegrasikan TIK di kelas, Triyoso (2012) mengemukakan ada beberapa langkah yang harus dipersiapkan guru: 1) memiliki komputer; 2) mengintegrasikan TIK dalam KBM; 3) menyiapkan materi dengan mencari di internet, membuat media seperti powerpoint dan menyiapkan alat TIK. Untuk mempersiapkan hal tersebut, diperlukan pelatihan yang kontinyu dengan mendatangkan pakar/instruktur yang kompeten dan melengkapi fasilitas TIK yang diperlukan. Keberhasilan literasi TIK dalam kegiatan belajar mengajar menurut Buabeng (2012) sangat tergantung pada dukungan dan sikap guru. Jika guru menganggap program pembelajaran dengan TIK tidak dapat memenuhi kebutuhan guru dan siswa, kemungkinan guru tidak akan mengintegrasikan TIK ke dalam kegiatan belajar mengajar mereka. Artinya, jika guru bersikap positif terhadap penggunaan TIK dalam pembelajaran, maka dengan mudah mereka dapat memanfaatkan dan mengintegrasikan TIK ke dalam proses kegiatan belajar mengajar. Analisis Korelasi antara literasi TIK dalam aspek Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan Secara individual, guru dengan kategori literasi TIK Baik sejumlah 2 orang dengan persentase sebesar 13,33%, guru dengan kategori literasi TIK Cukup sejumlah 9 orang dengan persentase sebesar 60,00% dan guru dengan kategori literasi TIK Kurang sejumlah 4 orang dengan persentase sebesar 26,67%. Hubungan (korelasi) antara sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi, penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras serta kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogis dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4. Ringkasan Hasil Analisis Koefisien Korelasi antara Sikap, Keterampilan dan Pengetahuan Sikap Keterampilan Pengetahuan Sikap 1,00000 0,61744 0,56434 0,0142 0,0284 Keterampilan 0,61744 1,00000 0,76797
58
Pengetahuan
0,0142 0,56434 0,0284
0,76797 0,0008
0,0008 1,00000
Keterangan: Pearson Correlation Coefficients, N = 15, Prob > |r| under H0: Rho=0
Berdasarkan tabel 4, hubungan antara pengetahuan dan keterampilan sebesar 0,76 dengan angka signifikansi sebesar 0,0008 memiliki makna bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan pedagogis terhadap penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras begitupun sebaliknya. Hubungan antara pengetahuan dan sikap sebesar 0,56 dengan angka signifikansi sebesar 0,02 memiliki makna terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan pedagogis terhadap sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi. Hubungan antara keterampilan dan sikap sebesar 0,61 dengan angka signifikansi sebesar 0,01 artinya terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan pedagogis terhadap sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi, pun sebaliknya. Berdasarkan analisis korelasi antara kompetensi teknologi digital & pengetahuan pedagogis (pengetahuan), penguasaan perangkat lunak dan perangkat keras (keterampilan) dan sikap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (sikap) saling berkorelasi, meskipun kategori pada pengetahuan cukup dan keterampilannya masuk kategori kurang namun ada keinginan untuk meningkatkan atau memperbaiki sikap terhadap penggunaan TIK dalam kegiatan belajar mengajar Biologi. SIMPULAN Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi guru Biologi Madrasah Aliyah kota Banjarmasin sebagai berikut: kondisi di lapangan menunjukkan 100% guru telah memiliki akses terhadap TIK dan internet; sikap terhadap penggunaan TIK dalam KBM Biologi (76,2%) dengan kategori baik; penguasaan perangkat lunak (aplikasi) dan perangkat keras (58,9%) dengan kategori kurang; dan kompetensi teknologi digital dan pengetahuan pedagogik (68,0%) dengan kategori cukup. Keempat parameter ini menunjukkan literasi TIK guru Biologi Madrasah Aliyah kota Banjarmasin sudah masuk pada kategori cukup. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis memiliki saran yang ditujukan kepada pihak-pihak seperti: 1. Disarankan kepada instansi yang membina guru-guru di lingkungan Kementerian Agama mengadakan pelatihan pemanfaatan dan pengembangan media pembelajaran Biologi berbasis untuk meningkatkan profesionalitas guru secara berkelanjutan. 2. Disarankan kepada masing-masing madrasah untuk melengkapi fasilitas TIK seperti LCD proyektor, jaringan internet dengan kapasitas bandwith lebih besar guna mendukung pembelajaran berbasis TIK seperti kegiatan tes online. 3. Disarankan kepada para guru-guru Biologi melakukan pengembangan diri terutama terhadap literasi TIK mengingat perkembangan iptek yang semakin pesat bahwa teknologi informasi saat ini dan yang akan datang adalah suatu kebutuhan. DAFTAR PUSTAKA Buabeng-Andoh, C. (2012). Factors Influencing Teacher's Adoption and Integration of Information and Communication Technology Into Teaching . A Review of the Literature International Journal of Education and Development Using Information and Communication Technology (IJEDICT) Vol.8 ISSUE 1, 136-155. Correos, C. T. (2012). Teacher's ICT Literacy and Utilization in English Language Teaching. "ICT & Innovetion in Education" International Electronic Journal 2 (1), 1-25. ETS, E. T. (2007). Digital Transformation a Framework for ICT Literacy: A Report of the International ICT Literacy Panel. New Jersey: ETS. Faridi, A. (2009). Inovasi Pembelajaran Sastra Berbasis ICT dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pendidikan . Tesis.
59
Fitriyadi, H. (2013). Integrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan: Potensi Manfaat, Masyarakat Berbasis Pengetahuan, Pendidikan Nilai, Strategi Implementasi dan Pengembangan Profesional . Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Volume 21 Nomor 3 Mei 2013, 269-284. Husain, C. (2014). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran di SMA Muhammadiyah Tarakan. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Volume 2 Nomor 2 Juli 2014 ISSN.2337-7623; EISSN.2337-7615, 184192. Islamiyah, M. (2016). Efektifitas Pemanfaatan E-Learning Berbasis Website terhadap Hasil Belajar Mahasiswa STMIK ASia Malang pada Mata Kuliah Fisika Dasar. Jurnal Ilmiah Teknologi dan Informasi ASIA (JITIKA). Volume 10 Nomor 1 Februari 2016 ISSN.0852-730x, 41-46. Kemdikbud. (2016). Teknologi Informasi dan Komunikasi Penting untuk Proses Pembelajaran Masa Kini. Dipetik Nopember 2, 2016, dari Litbang Kemdikbud: http://litbang.kemdikbud.go.id Komariah, N. (2016). Pemanfaatan Blog Sebagai Media Pembelajaran Berbasis ICT. Jurnal I-Afkar Vol.V No.1 April 2016, 79-105. Kristiyanti, M. (2011, Mei). Blog Sebagai Alternatif Media Pembelajaran. Majalah Ilmiah Informatika Volume 2 Nomor 2, hal. 33-45 . Marzal, J. (2013). Pengembangan Skill dan Kompetensi TIK Guru Matematika dan IPA Kota Jambi Melalui E-Tutorial Berbasis Kebutuhan Guru (Teacher's Need) . Jurnal Tekno-Pedagogi Vol.3 No.1 Maret 2013 ISSN.2088-205X, 28-41. Munadi, Y. (2012). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung Persada h.1. Munir. (2014). Kerangka Kompetensi TIK Bagi Guru . Bandung: Alfabeta. Purwanto, N. (2010). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Setyanta, Y. B. (2013). Media Pembelajaran Sastra Berbasis Internet. Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya Volume 1 ISSN.2337-3253. Sujoko. (2013). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai Media Pembelajaran di SMP Negeri 1 Geger Madiun. Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Volume 1 Nomor 1 Januari 2014. ISSN.23377623;EISSN.2337-7615, 71-77. Surjono, H. D. (2010). Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Magelang: MGMP Terpadu SMP/MTs. Trisdiono, H. (2015, Maret). Analisis Kebutuhan Diklat Guru Sekolah Dasar Dalam Literasi Teknologi Informasi dan Komunikasi. Dipetik Nopember 2016, dari lpmpjogja: http://www.lpmpjogja.org Triyoso, A. (2012170-174). Profil Kompetensi Guru dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebagai Media Pembelajaran di Kabupaten Sorong . Jurnal Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Vol.2 No.1 November 2012. Wahyono, S. B. (2010). Analisis Jalur Terhadap Tingkat Melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT Literacy) pada Mahasiswa FIP UNY. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
60
KEEFEKTIFAN MODEL COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING (CoPS) TERINTEGRASI KECERDASAN MAJEMUK UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KECERDASAN MAJEMUK SISWA SMA The Effectiveness of Collaborative Problem Solving(CoPS) Multiple Intelligence integrated to Develope Problem Solving Skill and Multiple Intelligence of Senior High School Students’ Atiek Winarti1*, Meida Hijriyanti1 1
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan penggunaan model pembelajaran Collaborative Problem Solving terintegrasi kecerdasan majemuk terhadap kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa. Metode dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan desain penelitian one group pretest-posttest desain. Sampel penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 sebanyak 36 orang. Pengumpulan data menggunakan teknik tes (pretes dan postes) dan teknik nontes (angket, observasi, catatan lapangan). Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif dan inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan majemuk siswa. Analisis inferensial menggunakan uji-t berpasangan untuk menganalisis perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) model pembelajaran Collaborative Problem Solving terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dimana kemampuan pemecahan masalah siswa sesudah pembelajaran meningkat dan berkembang sangat baik, (2) model pembelajaran Collaborative Problem Solving terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan kecerdasan dimana kecerdasan siswa sesudah pembelajaran meningkat dan berkembang baik kecerdasan yang masih lemah maupun yang sudah kuat (dominan). Kata kunci:CoPS, pemecahan masalah, kecerdasan majemuk Abstract.This study aimed to find out the effectiveness of Collaborative Problem Solving (CoPS) integrated multiple intelligence to develope problem solving skill and multiple intelligence of senior high school students’. This study used pre-experimental method with one group pretest-posttest as the design. The sample of this study is the 36 students of XI IPA 2. Test (pre-test and post-test) and non-test (questionnaire, observation, field notes) are used as the instruments of this study. This study used descriptive and inferential analysis. Descriptive analysis is chosen to find out the difference of students' multiple intelligence. Inferential analysis used through paired t-test to analyze the difference of students' ability in problem solving. The result of this study shows that (1) Collaborative Problem Solving multiple intelligence integrated is effective in improving students’ ability in problem solving; it is shown in how their problem solving skill have increased and developed well after the learning, (2) Collaborative Problem Solvingmultiple intelligence integrated is effective in improving students' intelligence, in which both students, whose intelligence was low or high (the dominant ones) showed development after the learning. Keywords: CoPS, problem solving, multiple intelligences
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan seseorang dan
61
merupakan suatu kebutuhan yang multak. Pada era globalisasi sekarang, pendidikan merupakah salah satu penentu kemajuan suatu negara dan kesejahteraan rakyatnya. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006) dalam Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Sekolah Menengah - Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA menyatakan bahwa terdapat beberapa tujuan dai pembelajaran kimia. Salah satu diantaranya adalah siswa harus memiliki keterampilan dalam menyelesaikan masalah agar dapat mengaplikasikan materi kimia yang mereka peroleh dalam kehidupan sehari-hari. Hamalik (Pratiwi, 2014) menjelaskan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses berpikir sebagai upaya dalam menemukan suatu masalah dan memecahkannya berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang tepat. Kemampuan pemecahan masalah memiliki indikator yang digunakan sebagai kerangka acuan dalam menilai kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah menurut Polya (1973) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah No. Indikator Penjelasan 1. Memahami masalah Kegiatan mengidentifikasi kecukupan data untuk menyelesaikan masalah sehingga memperoleh gambaran lengkap apa yang diktahui dan ditanyakan dalam masalah tersebut. 2. Merencanakan Kegiatan menetapkan langkah-langkah penyelesaian, penyelesaian pemilihan konsep, persamaan dan teori yang sesuai untuk setiap langkah. 3. Menjalankan rencana Kegiatan menjalankan penyelesaian berdasankan langkah-langkah yang telah dirancang dengan menggunakan konsep, persamaan serta teori yang dipilih. 4. Pemeriksaan Melihat kembali apa yang telah dikerjakan, apakah langkah-langkah penyelesaian telah terealisasikan sesuai rencana sehingga dapat memeriksa kembali kebenaran jawaban yang pada akhirnya membuat kesimpulan akhir.
Menurut Mulyadi (Thobroni & Arif, 2010) pemberian keterampilan pemecahan masalah adalah hal yang penting karena merupakan salah satu cara untuk memberi keterampilan hidup pada siswa. Jika siswa sudah memiliki keterampilan pemecahan masalah yang baik maka dia akan memiliki keterampilan hidup yang baik pula dan kemampuan anak dalam belajar dan bersosialisasi akan menjadi lebih baik. Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, lemahnya kemampuan pemecahan masalah siswa di Indonesia diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya peringkat Indonesia pada hasil penilaian yang dilakukan oleh tim PISA (Programme for International Student Assessment) dimana Indonesia menduduki peringkat ke 63 dari 70 negara ikut berpartisipasi. Di sisi lain, menurut hasil penelitian Winarti (2015) dan Chandra (2015), cara yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu atau metode pembelajaran di Indonesia hanya terfokus pada kemampuan matematika dan kemampuan berbahasa siswa saja. Kemampuan matematika dan kemampuan berbahasa hanya merupakan dua dari banyak kemampuan lain yang disebut Gardner sebagai kecerdasan majemuk. Kecerdasan majemuk menurut Gardner (2003) adalah berbagai kecerdasan yang dimiliki setiap manusia yang telah dibawa sejak lahir namun memiliki kadar perkembangan yang berbeda. Gardner (2003) menyebutkan terdapat delapan kecerdasan yang termuat dalam teori kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Adapun delapan kecerdasan tersebut adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan logika matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik tubuh, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan naturalis. Kecerdasan majemuk dapat diketahui dan diukur dengan beberapa cara seperti pengisian angket atau kuisioner, survei, pemberian soal-soal dan yang terbaru adalah melalui sidik jari yang dikenal dengan istilah Dermatoglyphics Multiple Intelligence Test (DMIT).
62
Menurut hasil penelitian Winarti (2015) kemampuan berbahasa atau kecerdasan linguistik dan kemampuan matematika atau kecerdasan logika matematis adalah jenis kecerdasan yang paling sedikit dimiliki oleh siswa SMP maupun SMA. Sementara itu, kecerdasan yang paling banyak adalah kecerdasan interpersonal dan intrapersonal. Penggunaan metode belajar yang hanya berfokus pada dua jenis kecerdasan tadi, tentu akan mengakibatkan dampak negatif bagi siswa maupun bagi dunia pendidikan. Perlu adanya metode atau model pembelajaran inovatif yang menunjang yang hendaknya model pembelajaran yang dapat menghargai seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Model pembelajaran Collaborative Problem Solving (CoPS) merupakan salah satu model dari pembelajaran kolaboratif yang menekankan proses belajar siswa. Menurut penelitian Sari (2016), model CoPS memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi atau bekerja sama dengan teman sekelompoknya dalam memecahkan suatu permasalahan serta memperoleh pemahaman terhadap suatu konsep.Model ini membuat siswa aktif menggali dan menggunakan kecerdasan yang mereka miliki agar permasalahanpermasalahannya dapat terselesaikan dengan baik. Agar berkontribusi terhadap kecerdasan majemuk siswa, model pembelajaran CoPS ini akan didesain terintegrasi kecerdasan majemuk dengan harapan dapat lebih menggali dan mengembangkan kecerdasan majemuk yang siswa miliki. Sejatinya model pembelajaran CoPS memiliki dasar pembelajaran dengan menggunakan pemecahan masalah, sehingga melalui model pembelajaran ini dapat membantu siswa menggali kemampuannya untuk memecahkan masalah (Muslim, 2015). Sehingga, siswa secara otomatis dapat mengasah dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalahnya. Model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk adalah model pembelajaran memiliki tujuan agar siswa dapat meningkatkan kecerdasan-kecerdasan yang masih lemah atau mengembangkan kecerdasan yang sudah kuat pada diri mereka. Selain itu, juga untuk melatih dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah yang mereka miliki melalui sintak model CoPS secara umum. Model ini memiliki sintak sebagai berikut: (1) Pemberian apersepsi yang disesuaikan dengan jenis-jenis kecerdasan majemuk, (2) penyampaian tujuan pembelajaran dan motivasi, (3) pemberian masalah besar kepada seluruh siswa, (4) penyampaian materi secara umum dengan menggunakan prinsip kecerdasan majemuk berupa kelompok homogen, tugas-tugas kecil sesuai kecerdasan dominan dan presentasi (5) siswa kembali berkerja secara individu untuk menjawab masalah besar berdasarkan pemahaman mereka, (6) siswa mengumpulkan hasil kerja tugas besar secara individu tersebut, (7) siswa masuk dalam kelompok heterogen untuk menyamakan presepsi terhadap masalah besar, (8) membuat laporan individu untuk masalah besar dan dikumpulkan, (9) presentasi. Model ini diimplementasikan pada materi larutan penyangga dimana berdasarkan hasil wawancara dengan pengajar kimia, karakteristik materi larutan penyangga sangat cocok dengan kemampuan pemecahan masalah. Dalam materi larutan penyangga, siswa mendapati masalah atau kesulitan pada mengenali variasi sifat-sifat larutan, perhitungan pH setelah penambahan sedikit asam atau basa, serta siswa harus memahami materi larutan penyangga yang berjenjang atau runtut. Hendaknya, pembelajaran materi larutan penyangga dengan menggunakan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk akan dapat mengatasi masalahmasalah tersebut yang sekaligus dapat mengasah kemampuan pemecahan masalah siswa dan mengetahui serta mengembangkan kecerdasan yang dimilikinya METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data-data secara empirik mengenai implementasi model Collaborative Problem Solving (CoPS) terintegrasi kecerdasan majemuk dan perkembangannya terhadap kemampuan pemecahan dan kecerdasan majemuk pada materi larutan penyangga siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2016/2017. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif menggunakan metode penelitian pre-eksperimental dengan desain penelitian one group pretest-posttest desain. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMAN 1 Banjarmasin. Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Banjarmasin yang terdiri dari 36 orang, dipilih dengan teknik sampling purposive. Kelas ini dipilih berdasarkan rekomendasi
63
dari guru kimia kelas XI SMAN 1 Banjarmasin dimana kelas ini memiliki kecerdasan yang beragam dan kemampuan pemecahan masalah yang beragam pula. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik tes dan nontes. Teknik tes menggunakan instrumen berupa soal pretes dan postes untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah. Teknik nontes menggunakan instrumen berupa lembar angket, observasi, dan catatan lapangan untuk mengukur kecerdasan majemuk siswa serta penilaian kinerja siswa. Validasi instrumen pada penelitian ini berupa validitas isi (content validity) menggunakan expert judgement yang dilakukan oleh 5 orang validator. Instrumen yang divalidasi terdiri atas (1) instrument tes berupa soal pretes dan postes, (2) instrument nontes berupa rubrik penilaian kinerja tugas. Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan CVR (Content Validity Ratio) didapatkan hasil = 1 untuk validasi instrumen tes dan nontes. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen ini valid dan layak digunakan. Instrumen yang sudah valid selanjutnya diuji reliabilitasnya. Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Alpha Cronbach maka diperoleh nilai derajat instrumen tes pemahaman konsep sebesar 0,50 yang berada pada kategori sedang. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan inferensial. Data hasil angket kecerdasan majemuk, perkembangan kemampuan pemecahan masalah, uji N-Gain dan penilaian kinerja tugas dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Sementara itu, data hasil tes kemampuan pemecahan masalah dianalisis menggunakan analisis inferensial. Analisis inferensial yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik uji-t berpasangan. Untuk analisis data kecerdasan majemuk siswa yang diukur melalui skor hasil angket, kecerdasan siswa dikategorikan menjadi 3 kategori. Skor hasil angket 7-11, termasuk dalam kategori rendah. Skor hasil angket 12-16, termasuk dalam kategori sedang. Skor hasil angket 17-21, termasuk dalam kategori tinggi. Selain itu, kecerdasan majemuk siswa juga dianalisis melalui hasil observasi dan catatan lapangan. Untuk analisis data kemampuan pemecahan masalah siswa diukur melalui presentase dari hasil pretes dan postes. Kemampuan pemecahan masalah siswa dikategorikan menjadi 5 kategori. Untuk persentase 0-20, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori belum berkembang. Untuk persentase 21-40, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori sedikit berkembang. Untuk persentase 41-60, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori berkembang. Untuk persentase 61-80, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori sudah berkembang baik. Untuk persentase 81100, kemampuan pemecahan masalah siswa termasuk kategori berkembang sangat baik. Untuk uji N-Gain dianalisis dengan menghitung hasil pretes dan postes melalui rumus g faktor. Untuk hasil perhitungan kurang dari 0,30, peningkatan hasil tes siswa termasuk kriteria rendah. Untuk hasil perhitungan 0,30-0,70, peningkatan hasil tes siswa termasuk kriteria sedang. Untuk hasil perhitungan lebih dari 0,70, peningkatan hasil tes siswa termasuk kriteria tinggi. Sementara itu, untuk analisis data penilaian kinerja tugas siswa digunakan rubrik sebagai panduan penilaian. Tabel 2. Rubrik Penilaian Kinerja Skor Kemampuan Pemahaman Tugas 1 Siswa mempunyai pemahaman yang jelas tentang maksud tugas yang diberikan. 2
Siswa membutuhkan sedikit bantuan untuk memahami tujuan pemberian tugas serta mengorganisasi kerjanya.
Ketepatan Melaksanakan Tugas Siswa mampu melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikan tanpa membutuhkan bantuan. Siswa mampu melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikan dengan membutuhkan sedikit bantuan.
Kemampuan Menyelesaikan Tugas Siswa mampu menyelesaikan tugas dengan sangat baik dimana hasil pekerjaan 81-100% benar. Siswa mampu menyelesaikan tugas dengan baik dimana hasil pekerjaan 61-80% benar.
64
3
4
5
Siswa membutuhkan bantuan secukupnya untuk memahami tujuan pemberian tugas serta mengorganisasi kerjanya. Siswa banyak tergantung pada bantuan dan dukungan agar mampu memahami tujuan pemberian tugas serta mengorganisasi kerjanya. Tidak memahami tujuan pemberian tugas serta tidak mampu mengorganisasi kerjanya walaupun dengan bantuan.
Siswa kurang mampu melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikan. Siswa kurang mampu melaksanakan tugas sesuai dengan instruksi yang diberikan walaupun dengan membutuhkan bantuan. Siswa tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan.
Siswa mampu menyelesaikan tugas dengan cukup baik dimana hasil pekerjaan 41-60% benar. Siswa mampu menyelesaikan tugas dengan kurang baik dimana hasil pekerjaan 2140% benar. Siswa menyelesaikan tugas kurang baik dimana hasil pekerjaan hanya 1-20% benar.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Collaborative Problem Solving (CoPS) terintegrasi kecerdasan majemuk dalam upaya mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah pembelajaran, dilakukan pretes dan postes tentang materi larutan penyangga. Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata hasil postes lebih tinggi daripada rata-rata hasil pretes. Peningkatan rata-rata nilai tes mencapai 47,50%. Hal tersebut menyiratkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Tabel 3. Rata-Rata Nilai Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Nilai Pretes Terendah 1 Tertinggi 44 Rata-Rata 24,80
Postes 41 84 69,69
Data tersebut juga didukung dengan data hasil uji N-Gain. Berdasarkan perhitungan, rata-rata N-Gain yang diperoleh adalah 0,60 dan termasuk dalam kategori N-Gain sedang. Hal tersebut menunjukkan adanya kontribusi model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa. Sementara itu, berdasarkan data perkembangan kemampuan pemecahan masalah siswa, setelah pembelajaran menggunakan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk kemampuan pemecahan masalahnya meningkat signifikan. Kemampuan siswa sudah berada pada kategori “berkembang”, “sudah berkembang baik”, “berkembang sangat baik”. Ini dikarenakan aktivitas model yang digunakan berorientasi pada pemecahan masalah yang melatih dan membiasakan siswa dalam menyelesaikan suatu pemecahan masalah. Dengan melatih dan membiasakan siswa dalam menyelesaikan suatu pemecahan masalah pada saat pembelajaran, tentunya kemampuan pemecahan masalah siswa akan teraktifkan dan berkembang secara optimal. Peningkatan nilai rata-rata hasil tes dan perkembangan kemampuan pemecahan siswa yang signifikan mungkin juga disebabkan oleh adanya salah satu kecerdasan dari kecerdasan majemuk yang juga meningkat yaitu kecerdasan logika matematika. Menurut Uno & Kuadrat (2009) , kecerdasan logika matematis meliputi kemampuan matematis seperti bekerja dengan angka, berhitung, geometri atau aritmatika, dan kemampuan berlogika yang melibatkan banyak komponen seperti perhitungan matematis, berpikir logis, pemecahan masalah, serta ketajaman pola dan hubungan. Dengan demikian, peningkatan kecerdasan logika matematis
65
yang terjadi karena aktivitas model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini juga memberi kontribusi dalam meningkatkan hasil postes dan kemampuan pemecahan masalah siswa. Kemampuan pemecahan masalah siswa berbeda-beda pada setiap indikator materi larutan penyangga, namun tetap menunjukkan adanya peningkatan. Pencapaian kemampuan pemecahan masalah perindikator larutan penyangga ini dilihat melalui hasil pretes dan postes. Nilai maksimum untuk setiap indikator adalah 25. Indikator materi larutan penyangga ada 4, yaitu: (1) siswa dapat mengidentifikasi komposisi larutan penyangga dan pembuatannya, (2) siswa dapat menentukan pH larutan penyangga, (3) siswa dapat menjelaskan prinsip kerja larutan penyangga, (4) siswa dapat menganalisis fungsi larutan penyangga dalam kehidupan. 23,06
Rata-Rata KPM Siswa
25 19,81 20
14,78 15
11,39
12,03
11,06
10 5
2,36 0,00
0 1
2
3
4
Indikator Materi Larutan Penyangga Pretes
Postes
Gambar 1. Rata-Rata Nilai Kemampuan Pemecahan Masalah (KPM) Siswa terhadap Indikator Materi Larutan Penyangga
Secara umum kemampuan pemecahan masalah siswa mengalami peningkatan yang baik, namun nilainya belum ada yang sempurna. Pada indikator 1, banyak siswa yang kurang dalam menjalankan rencana penyelesaian. Pada indikator 2, banyak siswa yang kurang teliti dalam menjalankan rencana seperti tidak menghitung konsentrasi secara benar. Pada indikator 3, nilai KPM siswa cukup rendah dikarenakan sebagian besar siswa belum dapat memahami secara benar masalah yang terdapat pada indikator 3 ini. Pada indikator 4, saat pretes kemampuan pemecahan masalah siswa belum muncul dan teraktifkan sehingga siswa perlu waktu yang cukup banyak untu menyelesaikan soal sebelumnya. Namun, saat postes kemampuan pemecahan masalah siswa sudah teraktifkan karena siswa sudah terbiasa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah sehingga nilai rata-rata KPM indikator 4 ini yang peningkatannya paling besar. Pencapaian peningkatan tersebut dikarenakan aktivitas dari model CoPS dengan adanya pembiasaan pengerjaan soal-soal berorientasi pemecahan masalah setiap indikator pada setiap pertemuannya. Dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah, siswa juga dinilai kinerja tugasnya. Penilaian kinerja tugasnya berfungsi mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pemahaman materi pada setiap indikator tanpa harus menunggu pembelajaran berakhir (Stiggins, 1994). Jika nilai kinerja tugas siswa tinggi namun nilai kemampuan pemecahan masalahnya rendah, hal ini menandakan siswa tersebut memahami cara atau langkah-langkah memecahkan masalah tetapi belum menguasai materi pada indikator tersebut. Rata-rata nilai kemampuan pemecahan masalah siswa pada setiap pertemuannya berbeda-beda. Pada pertemuan ke-2 nilai kemampuan pemecahan masalah siswa menurun. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan siswa terhadap materi terdahulu yaitu materi larutan asam basa, sehingga siswa masih sedikit keliru dalam membedakan larutan asam dan
66
basa. Menurut teori belajar Ausubel (Siregar & Nara, 2014), pengetahuan terdahulu itu penting dalam proses belahar agar dapat lebih bermakna dan kurangnya pengetahuan terdahulu akan mempengaruhi proses belajar selanjutnya. Penurunan nilai kemampuan pemecahan masalah siswa juga terjadi pada pertemuan ke-4, dikarenakan siswa belum menguasai tentang penambahan sedikit larutan asam dan basa pada larutan penyangga. Berdasarkan penilaian hasil kinerja tugas siswa, kemampuan siswa dalam memahami tugas dan melaksanakan tugas mengalami perkembangan pada setiap pertemuannya. Pada pertemuan pertama, siswa masih banyak yang bertanya dan diberikan arahan dalam mengerjakan tugas yang diberikan. Pada pertemuan terakhir, hampir semua siswa sudah dapat mengerjakan tugas secara mandiri. Untuk kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas mengalami kenaikan dan penurunan pada setiap pertemuannya, karena skornya disesuaikan dengan nilai kemampuan pemecahan masalah siswa. Tabel 4. Nilai Rata-Rata Kemampuan Pemecahan Masalah (KPM) dan Penilaian Kinerja Tugas Siswa pada Setiap Pertemuan Rata-Rata Penilaian Kinerja Tugas Nilai Kemampuan Kemampuan Kemampuan Pertemuan KeKPM Memahami Melaksanakan Menyelesaikan Siswa Tugas Tugas Tugas 1
40,69
3
3
3
2
31,61
3
3
2
3
58,08
3
4
4
4
31,08
4
4
2
5
62,42
4
4
4
Berdasarkan hasil uji hipotesis, terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang signifikan sebelum dan sesudah pembelajaran sehingga hipotesis yang diajukan peneliti dapat terjawab. Dapat dikatakan bahwa model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk efektif dalam mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa melalui soal-soal pemecahan masalah yang diberikan pada setiap pertemuan dalam penelitian ini. Hal tersebut ditunjukkan oleh hasil analisis inferensial tes kemampuan pemecahan masalah dengan menggunakan uji-t berpasangan. Berdasarkan data hasil perhitungan uji-t menggunakan Microsoft Excel 2013 pada Lampiran 44, thitung > ttabel sehingga H0 ditolak. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang signifikan sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk pada materi larutan penyangga diterima. Untuk mengetahui perbedaan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan sesudah pembelajaran, penelitian ini menggunakan tes kecerdasan majemuk berupa angket. Angket disebar ketika sebelum dan sesudah pembelajaran. Angket sebelum pembelajaran juga berfungsi untuk membagi siswa menjadi beberapa kelompok belajar sesuai kecerdasan dominan siswa (kelompok homogen). Kelompok ini bertujuan agar siswa merasa nyaman dn tidak terbebani ketika belajar karena siswa belajar sesuai kecerdasan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya (Chen, 2005; Heming, 2008). Berdasarkan hasil tes kecerdasan majemuk yang diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran, penggunaan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini berkontribusi dalam meningkatkan kecerdasan siswa yang masih lemah dn mengembangkan kecerdasan siswa yang sudah kuat. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa siswa yang kecerdasannya ketika di tes sebelum pembelajaran masih lemah, namun setelah pembelajaran skor dari kecerdasan tersebut meningkat melampaui kecerdasan lain sehingga kecerdasan tersebut menjadi kecerdasan yang dominan. Akan tetapi, kecerdasan dominan sebelum pembelajaran dan kecerdasan lain juga tetap berkembang dikarenakan adanya peningkatan skor dari kecerdasan-kecerdasan tersebut. Sependapat dengan Nainggolan (2013) yang menyatakan bahwa penerapan strategi kecerdasan majemuk dalam
67
pembelajaran dapat mengoptimalkan seluruh kecerdasan siswa baik yang masih lemah maupun sudah kuat. Tabel 5. Hasil Angket Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Sebelum Pembelajaran Kecerdasan Jumlah Persentase
Sesudah Pembelajaran Jumlah
Persentase
Intrapersonal
16 siswa
44,44%
16 siswa
44,44%
Interpersonal
6 siswa
16,67%
4 siswa
11,11%
Logika Matematis
4 siswa
11,11%
7 siswa
19,44%
Naturalis
2 siswa
5,56%
3 siswa
8,33%
Spasial
3 siswa
8,33%
1 siswa
2,78%
Linguistik
2 siswa
5,56%
1 siswa
2,78%
Musikal
1 siswa
2,78%
1 siswa
2,78%
Kinestetik
2 siswa
5,56%
3 siswa
8,33%
Dilihat dari seluruh kecerdasan, ternyata terdapat beberapa kecerdasan yang berkembang dengan optimal pada pembelajaran ini, yaitu kecerdasan interpersonal, intrapersonal, logika matematis dan linguistik. Hal tersebut dikarenakan aktivitas pada model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini yang berulang-ulang mengasah kemampuan siswa dalam bekerja mandiri, berkelompok dan dalam menganalisis soal pemecahan masalah. Ketika berkelompok dan saling bekerja sama, kecerdasan interpersonal siswa yang bekerja secara optimal (Maryani, 2013). Pada kemampuan siswa dalam bekerja mandiri, kecerdasan intrapersonal siswa yang akan bekerja optimal (Armstrong, 2004). Adapun ketika siswa mengerjakan soal pemecahan masalah dan persentasi, kecerdasan logika matematis dan linguistik siswa yang akan bekerja (Zulfairanatama & Hadi, 2013; Rahmawati, 2016). Sementara itu, untuk kecerdasan musikal, spasial, kinestetik dan naturalis perkembangannya tidak terlalu optimal. Hal tersebut dikarenakan kecerdasan-kecerdasan tersebut kurang peka terhadap aktivitas dari model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk. Kecerdasan musikal akan berkembang secara optimal jika sebagian besar aktivitas pembelajaran menggunakan alat musik sebagai media (Anas, 2016). Kecerdasan spasial berkembang secara optimal jika dalam pembelajaran siswa diberikan latihan terus-menerus yang berfokus pada bentuk-bentuk geometri, benda dalam ruang, hubungan bentuk dan ukuran benda (Rosidah, 2014). Kecerdasan kinestetik berkembang optimal jika dalam pembelajaran siswa diberikan kegiatan fisik seperti kegiatan ekstrakurikuler dan olahraga (Mu'arofah, 2006). Kecerdasan naturalis berkembang secara optimal jika sebagian besar aktivitas pembelajaran dilakukan dengan membawa siswa belajar di luar kelas (alam) atau membawa alam ke dalam kelas (Armstrong, 2004). Berdasarkan hasil tes kecerdasan majemuk yang dibagikan sebelum dan sesudah pembelajaran, secara umum seluruh kecerdasan dapat mengurangi jumlah siswa yang berada pada kategori “rendah” dan menambah jumlah siswa yang berada pada kategori “tinggi” setelah pembelajaran berlangsung. Ini artinya jumlah siswa yang kecerdasannya berkembang semakin meningkat.
Tabel 6. Kategori Kecerdasan Majemuk Siswa Sebelum dan Sesudah Pembelajaran Rendah Sedang Tinggi Kecerdasan Tes Jumlah % Jumlah % Jumlah % Linguistik
Pretes
10
22
8
27,78% 22,22%
Postes Pretes
4
22
61,11% 61,11%
6
11,11% 16,67%
17
47,22%
14
38,89%
5
13,89%
68
Logika Matematis Musikal Spasial Kinestetik Interpersonal Intrapersonal Naturalis
Postes
12
Pretes
14
Postes
8
Pretes
13
Postes
17
Pretes
4
Postes
3
Pretes
5
Postes
4
Pretes
2
Postes
2
Pretes
9
Postes
7
33,33%
15
38,89% 22,22%
17
36,11% 47,22%
17
11,11% 8,33%
26
13,89% 11,11%
23
5,56% 5,56%
18
25,00% 19,44%
20
24 11 25 22 18 24
41,67%
9
47,22% 66,67%
5
47,22% 30,56%
6
72,22% 69,44%
6
63,89% 61,11%
8
25,00% 13,89% 11,11%
4
16,67% 22,22%
8
16,67% 22,22%
8
22,22% 27,78%
10
50,00% 50,00%
16
55,56% 66,67%
7
44,44% 44,44%
16
19,44% 13,89%
5
Hasil tersebut berkesinambungan dengan jumlah skor kecerdasan majemuk siswa secara keseluruhan. Terdapat penurunan jumlah siswa yang berada pada skor 91-110, sementara pada skor 111-130 mengalami peningkatan. Pada skor 131-150, jumlah siswa tetap saja namun skor masing-masing siswa meningkat.
Skor
Tabel 7. Skor Kecerdasan Majemuk Siswa Keseluruhan Sebelum Pembelajaran Sesudah Pembelajaran Jumlah Siswa % Jumlah Siswa %
91-100
11
30,56%
10
27,78%
101-110
11
30,56%
7
19,44%
111-120
6
16,67%
8
22,22%
121-130
6
16,67%
9
25,00%
131-140
1
2,78%
1
2,78%
141-150
1
2,78%
1
2,78%
Berkembangnya seluruh kecerdasan ini sejalan dengan hasil observasi dan catatan lapangan. Berdasarkan hasil observasi, hampir 39,72% kecerdasan interpersonal siswa sangat tampak ketika pembelajaran. Sementara itu, untuk kecerdasan intrapersonal sebanyak 30% kecerdasan intrapersonal yang tampak ketika proses pembelajaran berlangsung. Untuk kecerdasan logika matematis, sebanyak 17,39% kecerdasan logika matematis siswa yang tampak pada proses pembelajaran. Adapun untuk kecerdasan linguistik, sebesar 16,72% kecerdasan linguistik siswa dapat terlihat selama proses pembelajaran. Berdasarkan hasil catatan lapangan, kegiatan yang paling banyak dilakukan siswa adalah kegiatan yang merujuk pada kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Hal tersebut dikarenakan aktivitas dari model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk menuntun siswa banyak melakukan kegiatan individual dan sosial. Sejalan dengan hasil penelitian Campbell (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran yang berbasis kecerdasan majemuk akan meningkatkan kecerdasan interpersonal siswa. Penggunaan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini dapat menjadi salah satu alternatif untuk menjawab penelitian yang dilakukan oleh Winarti (2015). Penggunaan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk ini, tidak hanya dapat membantu siswa dalam mengembangkan kecerdasan yang sudah kuat seperti kecerdasan intrapersonal dan interpersonal saja, namun juga membantu siswa dalam meningkatkan kecerdasan siswa yang masih lemah seperti kecerdasan linguistik dan logika matematis. Oleh karena itu, model ini dirasa cocok dengan siswa serta membuat siswa merasa senang ketika belajar, merasa kecerdasannya dihargai yang tentunya akan meningkatkan prestasi siswa.
69
Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan kecerdasan yang dimiliki siswa sebelum dan sesudah pembelajaran menggunakan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Winarti, Yuanita, & Nur (2015); Siregar (2013) yang memiliki kesimpulan model pembelajaran yang mengacu pada teori kecerdasan majemuk efektif dalam mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan majemuk siswa. Penggunaan dan penerapan teori kecerdasan majemuk dalam pembelajaran juga dapat menumbuhkembangkan potensi (kecerdasan) siswa sehingga terdapat perbedaan kecerdasan majemuk siswa sebelum dan sesudah pembelajaran. Selain itu, penggunaan model CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk juga efektif dalam meningkatkan semangat dan motivasi siswa dalam belajar. Hal tersebut ditunjukkan dengan respon positif dan antusias siswa dalam pembelajaran baik ketika memasuki pembelajaran, melakukan games ketika apersepsi ataupun mengerjakan LKS sesuai kecerdasan dominan. Sejalan dengan hasil penelitian Oktavia (2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk menjadikan proses pembelajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga menumbuhkan minat siswa dalam belajar. SIMPULAN Kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sebelum pembelajaran menggunakan model pembelajaran Collaborative Problem Solving (CoPS) terintegrasi kecerdasan majemuk pada materi larutan penyangga berbeda dengan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa sesudah pembelajaran, sehingga model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk efektif meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kecerdasan majemuk siswa. Keefektifan tersebut dilihat dari meningkat dan berkembangnya kemampuan pemecahan masalah siswa sesudah pembelajaran serta kecerdasan majemuk siswa yang masih lemah maupun yang sudah kuat (dominan). Selain itu, siswa juga menyambut positif pembelajaran menggunakan model pembelajaran CoPS terintegrasi kecerdasan majemuk dikarenakan pembelajaran ini disukai siswa dan menghargai kecerdasan yang dimiliki oleh siswa sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. DAFTAR RUJUKAN Anas, M. A. (2016). Peningkatan Kecerdasan Musikal dalam Pembelajaran SBK Menggunakan Alat Musik Angklung pada SIswa Kelas IVB SD Negeri Sinduadi 1. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 33(1), 1-7. Armstrong, T. (2004). Sekolah Para Juara. Bandung: KAIFA. Campbell, L. (2006). Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Instuisi Press. Chandra, M. L. (2015, Januari 10). Lumbung Pustaka UNY. Diambil kembali dari http://eprints.uny.ac.iid/22500/ Chen, S. (2005). Cooperative Learning, Multiple Intelligences and Proficiency: Application in Collage English Language Teaching and Learning. . Perth: Australian Catholic University. Gardner, H. (2003). Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences). Batam: Interaksara. Heming, A. L. (2008). Multiple Intelligences in The Classroom. Kentucky : Western Kentucky University. Maryani, K. (2013). Meningkatkan Kecerdasan Interpersonal Melalui Entrepreneurship Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 7(2), 8-15. Mu'arofah, R. (2006). Pengembangan Kecerdasan Kinestetik Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Bulutangkis di MI Pekuncen Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. Purwokerto: IAIN Purwokerto. Muslim, M. (2015). Model Problem Solving dan Keterampilan Memecahkan Masalah. Seminar Nasional Pendidikan IPA (hal. 60-64). Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat.
70
Nainggolan, M. (2013). Pengaruh Penerapan Strategi Kecerdasan Majemuk terhadap Kemampuan Menulis Puisi oleh Siswa Kelas X SMAN 1 Kisaran. Jurnal Basatra, 2(4), 25-33. Oktavia, Y. (2013). Perbandingan Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences dengan Pembelajaran Konvensional Ditinjau dari Hasil Belajar Biologi di SMPN 2 Kartasura Kabupaten Sukoharjp. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pendidikan, B. S. (2006). Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SMA/MA. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Polya, G. (1973). How to Solve It - A New Aspectof Mathematical Method. New Jersey: Princeton University Press. Pratiwi, G. (2014). Deskripsi Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa pada Konsep Pencemaran Lingkungan. Lampung: Universitas Lampung. Rahmawati, K. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Linguistik. Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 3(1), 1-7. Rosidah, L. (2014). Peningkatan Kecerdasan Visual Spasial Anak Usia Dini Melalui Permainan Maze. Jurnal Pendidikan Usia Dini, 8(2), 7-13. Sari, J. (2016). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Collaborative Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP. Bandung: Universitas Pasundan. Siregar, E., & Nara, H. (2014). Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Siregar, L. M. (2013). Penerapan Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Majemuk dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa di Sekolah Dasar Islam Terpadu Bunayya PAdangsidimpuan. Medan: Universitas UIN Sumatera Utara. Stiggins, R. J. (1994). Student-Centered Classroom Assessment. New York: MAcmillan Publishing Company. Thobroni, M., & Arif, M. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Uno, B. H., & Kuadrat, M. (2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Winarti, A. (2015). Gambaran Kecerdasan Majemuk Siswa SMP dam SMA di Kota Banjarmasin serta Hubungannya dengan Usia dan Jenis Kelamin. Seminar Nasional Pendidikan Sains (hal. 899-904). Surabaya: Pascasarja Universitas Surabaya. Winarti, A., Yuanita, L., & Nur, M. (2015). Pengembangan Model Pembelajran "CERDAS" Berbasis Multiple Intelligences pada Pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan, 45(1), 1-8. Zulfairanatama, G., & Hadi, S. (2013). Kecerdasan Logika-Matematika Berdasarkan Multiple Intelligences terhadap Kemampuan Matematika Siswa SMP di Banjarmasin. Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1), 1-8.
71
MENINGKATKAN SOFT SKILLS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING PADA PEMBELAJARAN STOIKIOMETRI DI KELAS X MIA 3 SMA NEGERI 6 BANJARMASIN Improve Soft Skills And Learning Outcomes Thru Creative Problem Solving Model On Learning Stoichiometry In Class X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin Iriani Bakti1, Arif Sholahuddin1 , Siti Jainab1* Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia *email: [email protected]
1
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan (1) aktivitas siswa, (2) soft skills siswa yang terdiri atas keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan kepemimpinan, kekuatan kerja tim dan keterampilan berpikir memecahkan masalah (3) hasil belajar pada materi stoikiometri, dan (4) respon siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 6 Banjarmasin dengan subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 3 yang berjumlah 31. Rancangan penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). Instrumen yang diigunakan dalam penelitian berupa tes dan non tes, dengan teknik analaisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan (1) aktivitas siswa dari 58,38% menjadi 75,37%, (2) soft skills siswa dari 61,9% menjadi 79,09%, (3) hasil belajar stoikiometri secara klasikal sebesar 74,19% menjadi 87,09% dan (4) respon siswa menggunakan model pembelajaran CPS menunjukan respon positif. Kata kunci: Creative problem solving, soft skills, hasil belajar, stoikiometri Abstract. This research aimed to improve (1) student activity, (2) soft skills of students consisting of mathematical communication skills, leadership skills, teamwork and problem solving thinking skills (3) learning outcomes in stoichiometric materials, and (4) student responses. The subjects of this research were students of class X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin amounted to 31 Peoples. The design of this research using classroom action research (PTK). The instruments used in the research are test and non test, with quantitatively descriptive and qualitatively descriptive technique. The result showed that there was an increase of (1) student activity from 58,38% (moderate) in to 75,37% (good), (2) happened soft skills of student from 61,9% To be 79.09% (good), (3) there was an increase in stoichiometric learning outcomes by 74.19% to 87,09% and (4) student response using CPS learning model showed positive response. Keywords: Creative problem solving, soft skills, study result, stoichiometric.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam proses pembangunan. Proses pendidikan erat kaitannya dengan proses pembangunan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk membuat sumber daya yang berkualitas diperlukan beberapa keterampilan yang harus dimiliki seseorang yakni: hard skills dan soft skills. Dewasa ini pendidikan di berbagai sekolah lebih mementingkan hard skills dibanding dengan soft skills. Soft skill adalah keterampilan yang ada dalam diri seseorang, yang erat kaitannya dengan orang lain dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri. Kegiatan berbasis proses pembelajaran (intrakurikuler) dan kegiatan kesiswaan (ekstrakulikuler) yang dilakukan dapat mengembangkan soft skill dalam diri seseorang. Namun faktanya hanya
72
beberapa siswa yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sehingga tidak banyak siswa yang memiliki tingkat soft skill yang tinggi. Pengembangan soft skills secara intrakurikuler yakni melalui kegiatan belajar di dalam kelas memerlukan kreativitas guru dengan tetap mengacu pada indikator-indikator pencapaian suatu pembelajaran. Berdasarkan pengamatan lapangan pada saat melakukan PPL di SMA Negeri 6 Banjarmasin, ditemukan beberapa kelemahan dalam proses pembelajaran, seperti (1) umumnya siswa cenderung belajar, bekerja secara sendiri (2) proses komunikasi rendah, (3) tidak disiplin, dan (4) ketidakjujuran mengerjakan tugas. Hal tersebut mengindikasi bahwa soft skills siswa masih rendah. Soft skill rendah juga berdampak pada menghambatnya pencapaian puncak prestasi akademiknya dimana prestasi akademik ini adalah hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru pengajar dikatakan bahwa hasil belajar siswa 2 tahun terakhir persentase kelulusan pada materi stoikiometri dalam indikator yang cukup baik dengan kisaran 37% dari total seluruh siswa kelas X, dengan KKM sebesar 75. Djamarah (2011) menyatakan guru mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran maupun meningkatkan soft skills siswa. Hasil belajar rendah juga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kurang antusiasnya siswa, dan siswa berpendapat mengenai proses pembelajaran kimia sulit dan model pembelajaran yang digunakan adalah model konvensional. Sehingga siswa merasa kurang tertarik mengikuti proses pembelajaran. Bentuk-bentuk pembelajaran partisipatif dengan menerapkan metode belajar aktif dan belajar bersama sangat diperlukan dalam mengembangkan soft skills siswa karena didalam pembelajaran aktif secara tidak langsung siswa dapat mengembangkan soft skills yang mereka miliki. Pembelajaran aktif dimaksudkan untuk mengembangkan penggunaan soft skills siswa sehingga siswa dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan. Ada banyak model dalam melaksanakan pembelajaran aktif yang dapat diterapkan, salah satunya adalah model CPS. Model CPS ini adalah model yang menekankan pada kerja kelompok yang memusatkan pada pembelajaran dan keterampilan pemecahan masalah yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Hal tersebut sejalan dengan aspek soft skills dimana dalam proses pembelajaran banyak melibatkan keterampilan diantaranya keterampilan kepemimpinan, keterampilan berkomunikasi, keterampilan berpikir dalam memecahkan masalah serta kekuatan kerja tim. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk meningkatkan soft skills, aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dengan melakukan penelitian tindakan kelas pada materi stoikiometri dengan menerapkan model pembelajaran CPS serta juga mengetahui respon siswa terhadap peggunaan model pembelajaran CPS. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sudiana (2012) peneliti berencana melanjutkan penelitian yang disarankan dengan memperluas aspek soft skills yakni dengan menggunakan empat aspek yaitu: keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan berpikir memecahkan masalah, keterampilan kepemimpinan dan kekuatan kerja tim. Menurut penelitian tersebut penerapan model pembelajaran kooperatif dapat memberikan hasil yang optimal jika aspek soft skills diperluas, serta peneliti juga membatasi model pembelajaraan kooperatif karena dilihat dari banyaknya jenis model pembelajaran kooperatif yakni peneliti berencana menggunakan model pembelajaran CPS yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Aryani (2015) dengan menggunakan model pembelajaran CPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, hasil belajar dan aktivitas siswa. Peneliti juga menggunakan penellitian yang dilakukan oleh Mawaddah dan Annisah (2015) dan penelitian yang dilakukan oleh Purwati (2015) sebagai acuan dari perluasan aspek soft skills yang diteliti yakni aspek soft skills keterampilan berkomunikasi matematis. Selain itu, peneliti juga beracuan terhadap penelitian yang dilakukan oleh Alwathoni (2015) bahwa dengan penggunaan model learning cycle 5E dapat meningkatkan aktivitas dan keterampilan berkomunikasi matematis. Keterampilan berkomunikasi matematis juga merupakan hasil perluasan aspek soft skills yang diteliti. Selain itu penelliti juga mengacu pada model pembelajaran learning cycle 5E yang sifatnya sama dengan model pembelajaran CPS yakni bersifat kooperatif.
73
Penelitian yang dilakukan merupakan penetlitian tindakan kelas (PTK) dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas proses (soft skills dan aktivitas siswa) serta hasil belajar. Aspek soft skills yang diteliti dalam penelitian ini adalah keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan kepemimpinan, kekuatan kerja tim, dan keterampilan berpikir memecahkan masalah. Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini adalah hasil belajar ranah pengetahuan. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian adalah kelas X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin. Proses pelaksanaan penelitian dilakukan ±5 bulan dari pembuatan proposal sampai dengan pembuatan laporan skripsi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, tes dan angket. Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini adalah silabus, RPP, LKPD, lembar penelilaian. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes dan non tes. Instrument tes terdiri dari evaluasi hasil belajar stoikiometri siswa dan evaluasi keterampilan berpikir memecahkan masalah. Sedangkan instrumen non tes terdidri dari lembar observasi aktivitas siswa, lembar observasi soft skills siswa dan angket respon siswa terhadap penggunaan model pembelajaran CPS yang digunakan. Penilaian terhadap aspek pengamatan dalam lembar observasi menggunakan skala Likert 1-5 dengan berisi 13 butir pengamatan untuk aktivitas siswa dan 10 butir pengamatan pada soft skills siswa dan respon siswa. Sedangkan penilaian pada hasil evaluasi untuk hasil belajar ranah pengetahuan didasarkan atas KKM sekolah yakni jika ≤ 75 dikatakan tidak tuntas dan ≥ 75 tuntas. Selain pada lembar observasi soft skills siswa, juga turut digunakan tes keterampilan berpikir memecahkan masalah. Analisis tes keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa berdasarkan hasil tes tertulis soal essay terdiri dari 2 soal dengan penyelesaian soal menggunakan langkah-langkah model pembelajaran CPS yang diberikan disetiap akhir siklus dan diberi skor sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dalam menjawab soal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN AKTIVITAS SISWA Aktivitas merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperlihatkan dalam proses pembelajaran aktivitas siswa sangat diperlukan untuk meningkatkan rasa ingin tahu serta untuk melahirkan motivasi yang tinggi terhadap materi pelajaran yang diberikan guru. Proses pembelajaran siklus I menunjukan aktivitas siswa berada pada kategori cukup aktif dengan skor rata-rata 37,95. Aktivitas siswa berada pada kategori cukup dikarenakan beberapa hal yakni siswa merasa kurang termotivasi untuk belajar dengan cara model CPS, siswa masih belum bisa memahami permasalahan yang diangkat dari bahan ajar, siswa belum terlibat aktif dalam diskusi kelompok, siswa masih belum terbiasa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Keadaan tersebut dapat terjadi karena guru belum bisa memotivasi siswa secara penuh untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sehingga perlunya perbaikan dari guru. Menurut Djamarah dan Zain (2013) menjelaskan bahwa aktivitas yang dilakukan dapat menentukan hasil belajar. Diterapkannya model pembelajaran CPS sebagai pembelajaran baru juga membuat siswa merasa bingung, hal ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti karena siswa biasanya hanya diberikan materi oleh guru sehingga siswa kurang aktif / terlihat pasif baik dalam diskusi kelompok ataupun individu. Hal ini menyebabkan banyak waktu yang diperlukan untuk menjawab permasalahan karena hanya beberapa siswa yang bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Faizah (2013) bahwa apabila siswa belum terbiasa dengan model yang diterapkan dalam penelitian, membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menyelesaikan diskusi antar kelompok karena siswa masih beradaptasi dengan pembelajaran yang digunakan. Hal-hal yang belum optimal pada aktivitas siswa dalam pembelajaran disiklus I diperbaiki pada siklus berikutnya. Pada siklus II aktivitas siswa berada pada kategori aktif dengan skor rata-rata dari hasil penilaian observer sebesar 48,99. Berdasarkan hasil perhitungan penilaian observer
74
pada siklus II menyatakan bahwa aktivitas siswa mengalami peningkatan karena adanya perbaikan dalam cara mengajar guru yang mempengaruhi aktivitas siswa. Perbaikan terhadap kekurangan yang terjadi pada siklus I dan diterapkan pada siklus II. Dengan meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi hukum-hukum dasar kimia khususnya mengidentifikasi suatu hukum dasar, selain itu pada pengoprasian hitung matematika guru memberikan soal-soal latihan lebih banyak, guru bertukar pikiran dengan siswa mengenai proses pembelajaran yang dilakukan guru sebagai pertimbangan guru untuk memperbaiki proses pembelajaran. Selain itu, guru juga memberikan bimbingan belajar diluar jam pelajaran kimia. Guru juga lebih meningkatkan dan mengarahkan siswa dalam menekankan keterampilan berpikir memecahkan masalah, memacu siswa untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran dan lebih membimbing siswa yang pasif dengan menempatkan ditempat duduk dekat dengan guru agar guru lebih mudah mengawasi. Selain itu juga dengan dijelaskannya secara rinci model pembelajaran yang digunakan, siswa merasa terbiasa dengan soal berupa permasalahan yang dipecahkan melalui pembelajaran, percobaan maupun diskusi kelompok. Siswa lebih aktif berdialog dan mengeluarkan pendapat saat kegiatan diskusi berlangsung baik dengan guru maupun dengan teman sekelompok karena guru lebih mengupayakan agar siswa yang terlihat pasif dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran yang diterapkan guru. Suasana dalam model pembelajaran CPS menuntut siswa aktif Ziqri dan Supriyanto (2014) menyatakan bahwa melalui penerapan model pembelajaran CPS pada materi pernapasan dapat meningkatkan aktivitas siswa dan menunjukan aktivitas yang tinggi. Peningkatan keaktifan siswa terjadi karena setiap siswa sudah memiliki tanggung jawab terhadap tugasnya dan bekerjasama bersama kelompoknya, dalam hal bekerjasama siswa menggerakkan fisik, panca inderanya seperti dalam hal berkomunikasi, membuat semua anggota tubuh dan juga pikirannya ikut terlibat dalm proses pembelajaran. Menurut Dave Meier (Rusman, 2014) belajar dengan menggunakan semua panca indera menjadikan pembelajaran bermakna. Sesuai dengan penelitian Asikin dan Pujiadi (2008) yang menyatakan pada penggunaan model CPS membuat siswa aktif dalam kelas. Peningkatan skor rata-rata aktivitas siswa dapat dilihat pada pada Gambar 1. 80
Skor Rata-rata (%)
70 60 50
40 30 20 10 0 1
Siklus ke-
2
Gambar 1. Hasil observasi aktivitas siswa
Berdasarkan Gambar 1 terlihat peningkatan pada proses pembelajaran. Aktivitas siswa pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS meningkat dan berada dalam kategori aktif. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Aulia (2015) mengatakan bahwa melalui penerapan model pembelajaran CPS siswa menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran. SOFT SKILLS Penilaian aspek soft skills pada siswa dilakukan pada setiap kali pertemuan yang ditujukan untuk mengetahui keterampilan-keterampilan siswa berdasarkan lembar observasi yang berkaitan dengan perilaku yang ada dalam diri seseorang dengan keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain. Keterampilan-keterampilan yang dinilai yakni: keterampilan berkomunikasi matematis, keterampilan berpikir dan meyelesaikan masalah,
75
Skor Rata-rata (%)
keterampilan kepemimpinan dan kekuatan kerja tim. Keterampilan-keterampilan yang dinilai terbagi lagi atas beberapa indikator adapun indikator yang dinilai dalam keterampilan berkomunikasi matematis yaitu: mengungkapkan gagasan, menggunakan pendekatan bahasa matematis, dan menggunakan representasi matematika. Indikator yang dinilai dalam kekuatan kerja tim adalah kerjasama dan keterbukaan terhadap individu lain. Indikator yang dinilai pada keterampilan kepemimpinan adalah mampu mempengaruhi dan memberi inspirasi. Indikator yang digunakan untuk menilai keterampilan berpikir memecahkan masalah adalah identifikasi masalah, pembatasan masalah, penentuan alternatif masalah serta kesimpulan. Dari hasil observasi yang dilakukan diperoleh peningkatan rata-rata skor soft skills siswa dapat dilihat pada Gambar 2. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
Siklus ke-
2
Gambar 2 Hasil observasi soft skills siswa siklus I dan II
Soft skills siswa secara keseluruhan terjadi peningkatan, dimana pada siklus II ini ratarata skor soft skills siswa meningkat menjadi 39,27 dengan kategori aktif. Selisih skor soft skills siswa pada siklus I dan siklus II ini adalah sebesar 8,98. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan dalam cara mengajar guru dan aktivitas siswa sehingga aspek soft skills siswa berupa perilaku yang ada dalam diri siswa dengan keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain mengalami perubahan yang lebih baik dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Sudiana (2012) dengan mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif pada pembelajaran kimia dasar dapat meningkatkan soft skills siswa. Peningkatan ini akan dijelaskan secara mendalam berdasarkan aspek-aspek yang diukur, diantaranya: 1.
Keterampilan berkomunikasi matematis Selain menggunakan lembar observasi pada saat proses pembelajaran, guru juga menunjang data mengenai kemampuan berkomunikasi matematis yang dilakukan melalui analisis data terhadap LKPD yang dibagikan kepada setiap kelompok pada saat proses pembelajaran kemudian kesesuaian hasil kinerja yang ada di LKPD nilainya diakumulasi pada lembar observasi. Rata-rata nilai LKPD yang tertinggi pada LKPD pertemuan ketiga siklus II dan nilai rata-rata LKPD terendah pada LKPD pertemuan pertama pada siklus I. Rendahnya nilai LKPD pada pertemuan pertama siklus I disebabkan siswa belum terbiasa mengkomunikasikan pemahamannya, namun pada pertemuan selanjutnya siswa sudah mulai terbiasa. Hal ini menunjukan bahwa materi dikuasi dengan baik. Adapun peningkatan yang terjadi pada keterampilan berkomunikasi matematis siswa perpertemuan dilihat pada Gambar 3.
76
Skor Rata-rata
5 4
Pertemuan 1
3
Pertemuan 2
2
Pertemuan 3
1
Pertemuan 4 Pertemuan 5
0 1
2
3
Gambar 3 Hasil observasi keterampilan berkomunikasi matematis
Ket:
1: Mengungkapkan Gagasan 2: Menggunakan pendekatan bahasa matematis (notasi, lambang, istilah) Menggunakan representasi matematika (rumus, diagram, tabel, grafik)
3:
Berdasarkan Gambar 3 diatas dari setiap pertemuan untuk keterampilan berkomunikasi matematis mengalami peningkatan karena siswa semakin terlatih membangun pengetahuannya. Berdasarkan kenyataan ini dapat dikatakan siswa mengalami kemajuan pada setiap indikator keterampilan berkomunikasi matematis. Dari hasil yang diperoleh siswa, terlihat sebagian besar siswa sudah dapat memenuhi indikator-indikator dengan baik. Siswa sudah mampu menyajikan pernyataan matematika melalui gambar ataupun tulisan, melakukan manipulasi matematika serta memeriksa kebenaran suatu argumen atau pernyataan, melakukan manipulasi matematika dan menggunakan beberapa cara untuk mengecek pernyataan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ramelan, Edwin dan Armiyati (2012) menyatakan bahwa keterampilan berkomunikasi matematis siswa dengan menggunakan model yang pembelajaran interaktif lebih baik dari pada keterampilan berkomunikasi matematis menggunakan model konvensional dan penelitian yang dilakukan oleh Alwathoni (2015) menyatakan bahwa dengan menggunakan model CPS dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa dalam hitungan kimia. Penelitian yang dilakukan Kashefi, Ismail dan Yusof (2012) juga membenarkan bahwa pembelajaran yang menggunakan keterampilan berkomunikasi matematis yang dipadukan dengan model pembelajaran CPS dapat membantu memberdayakan diri dalam membangun soft skills dan pengetahuan matematika, selain itu penggunaan keterampilan berkomunikasi matematis dapat meningkatkan empat kuadran otak yang dimiliki oleh seseorang. Empat kuadran itu diantaranya: label A (matematika, analitis, pemikiran kritis), B (berurutan, terkontrol, rutin berpikir), C (pemikiran interpersonal, empati, simbolis), D (imajinatif, visual, pemikiran konseptual). 2. Kekuatan Kerja tim Selain keterampilan berkomunikasi matematis, peneliti juga mengukur soft skills dengan aspek kekuatan kerja tim. Terkadang dalam satu kelompok hanya siswa-siswa tertentu saja yang mau ikut andil dalam mengerjakan pekerjaan kelompok. Pada penelitian ini digunakan model pembelajaran CPS yang sifatnya kooperatif, sehingga jika dalam suatu kelompok/tim ada siswa yang tidak ikut bekerja dapat membuat teman sekelompoknya juga menerima dampak dari siswa yang tidak ikut berpartisipasi dalam kelompok selain itu, juga dapat menghambat proses pembelajaran. Penilaian soft skills pada aspek kekuatan kerja tim pada setiap kali pertemuan ditujukan untuk mengetahui bagaimana kerjasama serta keterbukaan siswa terhadap individu lain. Adapun peningkatan soft skills siswa yang terjadi pada aspek kekuatan kerja tim perpertemuan dilihat pada Gambar 4.
77
Skor Rata-rata
6 Pertemuan 1 4
Pertemuan 2 Pertemuan 3
2
Pertemuan 4 0 1
2
Pertemuan 5
Gambar 4. Hasil observasi aspek kekuatan kerja tim
Ket:
1 : Kerjasama 2 : Keterbukaan terhadap individu lain
Berdasarkan Gambar 4, dari setiap pertemuan soft skills pada aspek kekuatan kerja tim baik itu pada indikator kerjasama ataupun keterbukaan terhadap individu lain sama-sama mengalami peningkatan. Peningkatan yang paling siginifikan terjadi pada pertemuan 5. Hal ini terjadi karena adanya perbaikan dalam cara mengajar guru dan aktivitas siswa sehingga berdampak pada aspek kekuatan kerja tim. Siswa yang mampu bekerjasama serta terbuka terhadap individu lain dalam hal penguasaan materi pembelajaran lebih baik dalam segala hal. Siswa yang menguasai materi pembelajaran dengan baik juga dapat membantu temannya yang kurang dalam hal penguasaan materi. Hal demikian sejalan dengan tujuan pembelajaran kooperatif yakni proses pembelajaran dinyatakan selesai apabila semua teman dalam satu kelompok dapat menguasai bahan (Djatmiko,2004). Temuan dalam penelitian ini juga sejalan dengan konsep aspek sosial belajar menurut vygotsky tentang zone of proximal development (zona perkembangan terdekat). Dimana dalam proses pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial. Dimana peoses pembelajaran dapat terjadi melalui interaksi dengan teman sebaya. Bantuan dari teman sebaya lebih mampu menarik zona perkembangan terdekat dimana proses pembelajaran baru terjadi (Ibrahim & Nur, 2008). Oakley, dkk (2004) juga menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam sebuah kelompok memungkinkan siswa untuk memperdalam pemahaman mereka tentang konsep baru meskipun didalam kelompok tersebut tidak memiliki siswa yang ahli. Sejalan dengan itu Srijanti, Purwanto dan Artiningrum (2007) juga menyatakan interaksi yang terjadi pada sebuah kelompok dapat menciptakan solusi yang lebih baik jika dibandingkan dengan bekerja sendiri. 3.
Keterampilan Kepemimpinan Keterampilan kepemimpinan merupakan salah satu aspek dari soft skills yang diukur dalam penelitian ini dengan indikator mampu mempengaruhi dan memberi inspirasi. Melalui upaya dalam meningkatkan soft skill yang dipadukan dengan model pembelajaran CPS ini dapat menciptakan lingkungan sosial dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa. Terciptanya lingkungan sosial yang baik dapat menghasilkan pembelajaran yang bermakna selama proses pembelajaran. Keterampilan kepemimpinan ini erat kaitannya dengan kekuatan kerja tim, dimana kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan/kecerdasan medorong sejumlah orang agar bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan yang terarah (Rivai, 2003) untuk mencapai tujuan bersama. Antara keterampilan kepemimpinan dengan kekuatan kerja tim merupakan sesuatu yang berhubungan. Penilaian soft skills pada aspek keterampilan kepemimpinan pada setiap kali pertemuan ditujukan untuk mengetahui bagaimana siswa dalam mempengaruhi temannya, baik teman dalam sekelompok ataupun teman diluar kelompok lain. Adapun peningkatan rata-rata soft skills siswa yang terjadi pada aspek keterampilan kepemimpinan dilihat pada Gambar 5.
78
Skor rata-rata
5 4 3 2 1 0 1
2
3 Pertemuan Ke-
4
5
Gambar 5. Hasil observasi keterampilan kepemimpinan
Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat rata-rata skor siswa pada aspek keterampilan kepemimpinan meningkat dari pertemuan 1 sampai 5. Hal ini sejalan dengan Bakar, Ishak dan Abidin (2013) yang menyatakan keterampilan kepemimpinan akan muncul jika seseorang yang tidak saling berhubungan dimasukan kedalam suatu kelompok tertentu dan bekerjasama dan terjadi interaksi didalamnya. Karena didalam diri seseorang ditanamkan adanya rasa empati, empati adalah atribut dasar manusia ketika dihadapkan dengan suatu masalah dalam sebuah kelompok seseorang yang memiliki keterampilan kepemimpinan yang tinggi akan mampu memahami serta membantu orang lain hal inilah yang menjadi dasar peningkatan yang terjadi. 4.
Keterampilan berpikir memecahkan masalah Aspek terakhir yang diukur dalam soft skills adalah keterampilan siswa dalam berpikir dan memecahkan masalah. Menurut Kaya, Izigol dan Kesan (2014) menyatakan bahwa keterampilan berpikir memecahkan masalah adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang. Proses penilaian aspek ini digunakan dengan 2 cara yakni rata-rata dari hasil observasi siswa yang dinilai setiap kali melakukan kegiatan pembelajaran dan berdasar hasil evaluasi tes kemampuan berpikir memecahkan masalah menggunakan langkah-langkah CPS yang merujuk pada indikator mengidentifikasi masalah, membatasi masalah, menentukan altermatif masalah dan menarik kesimpulan. Keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa secara keseluruhan mengalami peningkatan baik terjadi pada observasi yang dilakukan pada setiap kali pertemuan ataupun pada hasil tes keterampilan berpikir memecahkan masalah individu. Hasil observasi keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa pada proses pembelajaran pada siklus I berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 61,9%, sedangkan pada siklus II berada pada kategori baik dengan persentase sebesar 76,98%. Hal ini sejalan dengan hasil evalusi tes evaluasi keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa pada siklus Isebesar 55,36% berada pada kategori sedang dan pada siklus II sebesar 78,23% yang berada pada kategori tinggi. Secara rinci, hasil observasi maupun hasil tes siswa di siklus I dan II dapat dilihat pada Gambar 6. Skor Rata-rata (%)
100 80 60
Hasil observasi 40
Hasil Evaluasi
20 0 1
2 Siklus keGambar 6. Hasil tes dan observasi berpikir memecahkan masalah siklus I dan II
79
Berdasarkan Gambar 6 baik melalui hasil observasi ataupun hasil tes menunjukan hasil yang berbeda pada siklus I ke siklus II, tetapi sama-sama mengalami peningkatan. Perbedaan hasil yang ditujukan pada hasil observasi dan hasil tes ini disebabkan oleh pada saat proses pembelajaran siswa dibantu oleh teman dalam sekelompoknya untuk menyelesaikan masalah, sedangkan pada saat tes siswa menyelesaikan masalahnya secara sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariawan, Kamaluddin, dan Wahyono (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh dari penerapan model pembelajaran CPS terhadap kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Penelitian yang dilakukan Mawaddah dan Annisa (2015) juga membenarkan bahwa jika keterampilan berpikir memecahkan masalah siswa dapat meningkat dengan penggunaan model pembelajaran yang bersifat kooperatif. Memnun, Lynn, Hart dan Akkaya (2012) mengemukakan bahwa penerapan keterampilan berpikir memecahkan masalah memungkinkan seseorang untuk mendapatkan keterampilan pemecahan masalah dan dapat melatih seseorang dalam mengatasi masalah yang dihadapi pada kehidupan nyata. HASIL BELAJAR RANAH PENGETAHUAN SISWA Berdasarkan hasil test siklus I dan siklus II, dapat diketahui bahwa ketuntasan klasikal hasil belajar siswa meningkat sebesar 12,90% yang tersaji pada Gambar 7.
Skor Rata-rata (%)
90 85 80 Hasil observasi
75 70 65 1
2 Siklus ke-
Gambar 7 Hasil evaluasi belajar ranah pengetahuan tiap siklus Ketuntasan hasil belajar ranah pengetahuan siswa pada siklus I sebesar 74,19% sedangkan pada siklus II ketuntasan hasil belajar ranah pengetahuan siswa sebesar 87.09%. Oleh karena itu, pembelajaran siswa secara klasikal pada siklus II dikatakan berhasil dengan rata-rata persentase hasil belajar siswa lebih dari 75%. Terjadinya peningkatan persentase hasil belajar pada kedua siklus ini dikarenakan guru telah memperbaiki hal-hal yang belum optimal yang terjadi disetiap pembelajaran yang dilaksanakan. Perbaikan berupa pengulangan materi stoikiometri pada indikator yang belum tercapai sehingga pada siklus II membuat materi yang dipelajarai lebih melekat dan mudah dipahami oleh siswa. Hal ini sesuai dengan Anderson (dalam Schunk, 2012) menyatakan bahwa ketika para siswa dalam program perbaikan mendapatkan pengalaman mengikuti pengajaran penguasaan. Belajar menguasai ini juga dapat membangun efikasi diri siswa dalam belajar. Siswa melihat kemajuannya sendiri dalam menyelesaikan materi stoikiometri dan membuat mereka yakin akan kemampuan mereka dalam menghadapi pembelajaran selanjutnya. Salah satu faktor terjadinya peningkatan hasil belajar dikarenakan sebelum memulai pembelajaran lagi pada siklus II guru telah mengadakan klasifikasi terhadap soal-soal yang paling banyak siswa menjawab keliru dan guru telah memberikan bagaimana jawaban yang tepat sehingga pada saat evaluasi siklus II dengan soal yang bertipe sama siswa sudah tidak keliru lagi dalam menjawab, serta sebagai evaluasi siswa untuk meningkatkan hasil belajarnya. Peningkatan yang terjadi adalah hasil perbaikan pembelajaran dari siklus I, dimana guru memberikan perhatian yang merata kepada siswa, baik yang aktif maupun pasif. Guru
80
memberikan pendekatan kepada siswa yang pasif guna menumbuhkan rasa percaya diri mereka dalam bertanya. Guru juga meningkatkan hubungan siswa dengan siswa lain yang bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pembelajaran. Dengan meningkatnya hubungan siswa dengan siswa akan memperlancar kegiatan diskusi kelompok siswa. Hal ini sejalan dengan pendapat Sanjaya (2013) yang menyatakan jika dalam pembelajaran terjadi interaksi dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan peningkatan yang terjadi pada penelitian yaitu aktivitas siswa, soft skills, hasil belajar siswa dan respon siswa berada pada kategori baik. Agar penggunaan model pembelajaran CPS memberikan hasil yang optimal perlu ditingkatkan lagi pada beberapa aspek soft skills diantaranya aspek keterampilan berkomunikasi matematis dan aspek keterampilan berpikir memecahkan masalah, khususnya pada indikator menggunakan pendekatan bahasa matematis seperti penulisan lambang suatu zat dan penggunaan rumus, serta pada indikator mengidentifikasi masalah dan pembatasan masalah. Secara keseluruhan dapat dikatakan penelitian tindakan kelas ini berhasil dan hipotesis diterima yang menyatakan bahwa jika dengan menggunakan model pembelajaran CPS maka dapat meningkatkan soft skills dan hasil belajar siswa di kelas X MIA 3 SMA Negeri 6 Banjarmasin pada materi stoikiometri. RESPON SISWA Angket respon diberikan setelah pembelajaran selesai. Tujuan dari pemberian angket ini untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran menggunakan model CPS pada materi stoikiometri yang berisi 10 buah pernyataan. Setelah data diolah sedemikian rupa, sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan. Siswa memberikan respon positif terhadap model pembelajaran CPS yang diterapkan pada materi stoikiometri. Hal ini menunjukkan bahwa siswa merasa tertarik dan mudah dalam memahami materi stoikiometri. Persentase pernyataan positif yaitu sangat setuju dan setuju lebih dominan bila dibandingkan dengan ragu-ragu, sangat tidak setuju dan tidak setuju. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Aktivitas siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CPS pada materi stoikiometri mengalami peningkatan di tiap siklusnya yakni dari sebesar 58,38% pada siklus I dengan kategori cukup aktif menjadi sebesar 75,37% pada siklus II dan berada dalam kategori aktif. (2) Soft skills siswa dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran CPS pada materi stoikiometri mengalami peningkatan sebesar 61,9% (cukup) pada siklus I menjadi 79,09% (baik) pada siklus II dan berada dalam kategori baik dengan setiap indikator didalamnya mengalami peningkatan (3) Model pembelajaran CPS dapat meningkatkan hasil belajar ranah pengetahuan siswa pada materi stoikiometri dengan persentase ketuntasan sebesar 74,19% pada siklus I menjadi 87,09% pada siklus II. (4) Siswa memberikan respon positif dengan kategori baik terhadap pembelajaran dengan menggunakan model CPS. DAFTAR PUSTAKA Alwathoni, M. (2015). Peningkatan aktivitas belajar dan kemampuan komunikasi matematika untuk kimia pokok bahasan larutan buffer dan hidrolisis garam dengan model pembelajaran learning cycle 5E pada kelas XI IPA MAN GUBUG Kabupaten Grobogan tahun pembelajaran 2014/2015. Seminar Nasional FKIP UNS (pp. 67-71). Surakarta: Universitas Negeri Sebelas Maret. Aryani, S. (2015). Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan hasil belajar hidrolisis garam melalui model pembelajaran creative problem solving pada siswa kelas XI MS-1 SMA Negeri 2 Banjarmasin tahun pelajaran 2014/2015. skripsi sarjana. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat (tidak dipublikasikan).
81
Asikin, M., & Pujiadi. (2008). Pengaruh model pembelajaran matematika creative problem solving (CPS) berbantuan CD interaktif terhadap kemampuan pemecahan masalah pada siswa SMA Kelas X. Jurnal Penelitian Inovasi Pembelajaran Matematika , 2(1),37-45. Aulia, M. (2015). Peningkatan kompetensi siswa kelas X TGB SMK Negeri 2 Depok pada mata pelajaran ilmu ukur tanah menggunakan model pembelajaran creative problem solving. Skripsi Sarjana. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Bakar, A., Ishak, M., & Abidin, Z. (2013). The relationship between domains of empathy and leadership skills among gifted and talented students. Procedia-Social Behavioral Sciences , 116(2), 765-768. Djamarah, S. (2011). Psikologi belajar edisi revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, S., & Zain, A. (2013). Strategi belajar mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Djatmiko, B. (2004). Model-model pembelajaran (DI, Kooperatif, dan PBI). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Faizah, S., Miswadi, & Haryani, S. (2013). Pengembangan perangkat pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan soft skill dan pemahaman konsep. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia , 2(2), 42-45. Hariawan, Kamaluddin, & Wahyono, U. (2012). Pengaruh model pembelajaran creative problem solving terhadap kemampuan memecahkan masalah fisika pada siswa kelas XI SMA Negeri 14 Palu. Jurnal Pendidikan Fisika Tadulako (JPFT) , 1(2), 98-112. Kashefi, H., Ismail, Z., & Y.M, Y. (2012). Supporting engineering students’ thinking and creative problem solving through blended learning. Procedia - Social and Behavioral Sciences , , 56, 117–125. doi: 10.1016/ j.sbspro.2012.09.638. Kaya, D., Izgiol, D., & Kesan., C. (2014). The investigation of elementary mathematics teacher candidates’ problem solving skills according to various variables. International Electronic Journal of Elementary Education , 6(2), 295-314. Mawaddah, S., & Anisah, H. (2015). Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran generatif (generative learning ) di SMP . Jurnal Pendidikan Matematika FKIP Universitas Lambung Mangkurat , 1(2),166-175 . Memnun, D., Hart, L. C., & Akkaya., R. (2012). A research on the mathematical problem solving beliefs of mathematics, science and elementary pre-service teachers in turkey in terms of different variable. . International Journal of Humanities and Social science , 2(24), 172-184. Oakley, B., Felder, R., Brent, R., & Elhajj, J. (2004). Turning student groups into effective teams. Journal of Student Centered Learning , 2(1), 9-34. Purwati. (2015). Efektifitas pendekatan creative problem solving terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa SMA. Jurnal Ilmiah Edukasi Matematika (JIEM) , 1(1), 39-55. Ramelan, P., Edwin, & Armiyati. (2012). Kemampuan komunikasi matematis dan pembelajaran interaktif. Jurnal Pendidikan Matematika (FMIPA UNP) , 1(1),26-28. Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta: PT Rajagrafindo. Rusman. (2014). Model-model pembelajaran: mengembangkan profesionalisme guru. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Sanjaya, W. (2013). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Schunk, D. H. (2012). Learning theories an educational perspective. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Srijanti, Purwanto, & Artiningrum, P. (2007). Etika membangun sikap profesionalisme sarjana. Jakarta: Graha Ilmu. Sudiana, K. (2012). Upaya pengembangan soft skills melalui implementasi model pembelajaran kooperatif untuk peningkatan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada pembelajaran kimia dasar. Jurnal Pendiidkan Kimia (FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha) , 1(2).
82
Ziqri, I., & Supriyanto. (2014). Efektivitas model pembelajaran creative problem solving pada materi sistem pernapasan di SMAN 1 Jatibarang Brebes. Unnes Journal of Biology Education , 3(3), 8-14.
83
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING PADA MATERI HIDROLISIS GARAM UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK
The Use of Creative Problem Solving Model On the Topic of Salt Hydrolysis To Improving Students’ Motivation and Learning Outcomes Yulia Rahmi Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA PPs, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected] Abstrak. Penelitian ini tentang penggunaan model creativeproblem solving pada pembelajaran hidrolisis garam dengan tujuan untuk meningkatkanmotivasi dan hasil belajar peserta didik. Rancangan yang dilakukan berupa penelitian tindakan kelas dengan tahapanobservasi, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin dengan jumlah 41 orang peserta didik. Data didapatkan melalui teknik tes dan non tes. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwamotivasi belajarpeserta didik mengalami peningkatan selama proses pembelajaran, sehingga berdampak pada peningkatan hasil belajar kognitifnya Kata kunci: creativeproblemsolving, motivasi belajar, hasil belajar kognitif. Abstract. A researchwhich has been done into the use of creative problem solving on the topic of salt hydrolysis to improving motivation and studentlearning result. Designresearch is done in the form of classroom design research with some phase observation, design, evaluation, and reflection. Subjectresearch is studentXI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasinwith 41 students. Dataobtained trough technic test and non test. Analysisis done with analysis descriftive quantitative and qualitative. Researchresult showedthat motivation student improving during learning process, soto impact on improv in studentcognitive result. Keywords: creative problem solving,motivation, cognitive learning result.
PENDAHULUAN Pelajaran kimia sering dihubungkan dengan kebosanan, keengganan dan kegagalan bagi sebagian peserta didik. Kimia merupakan kelompok mata pelajaran yang sulit dan abstrak sehingga banyak peserta didik takut untuk mempelajarinya. Suasana yang demikian, peserta didik akan sulit menerima materi yang diajarkan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurang variatifnya model pembelajaran yang dilakukan oleh guru, sehingga pembelajaran kimia di kelas tidak menarik bagi para peserta didik (Nurhadi, 2004). Berdasarkan hasil pengamatan selama PPL dan wawancara dengan guru kimia SMA Negeri 3 Banjarmasin, diperoleh fakta bahwa pelajaran kimia masih dirasakan sulit bagi peserta didik. Terlebih yang berkaitan dengan perhitungan kimia dan pemahaman konsep seperti materi hidrolisis garam. Hal ini terlihat dari hasil analisis ulangan tengah semester peserta didik SMA Negeri 3 Banjarmasin pada materi hidrolisis, masih banyak peserta didik yang belum mencapai ketuntasan. KKBM indikator yang harus dicapai adalah 75, sedangkan hasil nilai ulangan jauh dari KKBM yang harus dicapai. Dapat dilihat dari data ulangan tengah semester dari 37 orang peserta didik yang mengikuti UTS materi hidrolisis garam hanya ada 3 orang yang tuntas. Hal ini dikarenakan peserta didik kurang mampu menyelesaikan soal-soal pemahaman yang diberikan. Ketika disajikan soal yang
84
berbentuk permasalahan seperti soal essay yang mengharuskan peserta didik menganalisis untuk mencari penyelesaian dengan menggunakan pemikiran dan ide-ide kreatif mereka, peserta didik kebanyakan masih bingung sehingga berdampak pada hasil belajar yang rendah. Guru kimia harus mempunyai kreativitas dan inovasi untuk mengembangkan metode mengajar dari model pembelajaran yang dipilih, guna menciptakan pembelajaran yang menarik bagi peserta didik. Guru harus merencanakan dan mengatur lingkungan belajar untuk memastikan bahwa peserta didik mereka tertantang dan berhasil. Menurut guru kimia di SMA Negeri 3 Banjarmasin, memang benar kurang adanya motivasi dari peserta didik pada mata pelajaran kimia karena mereka perlu pembelajaran yang menarik dan menantang bagi mereka. Kurang adanya motivasi ini berdampak pada hasil belajar yang rendah sehingga perlu adanya penanganan atas masalah itu. Agar terjadi peningkatan motivasi dan hasil belajar peserta didik dalam mempelajari materi hidrolisis garam yang memerlukan pemahaman konsep dan alogaritmik. Maka perlu diberikan suatu metode yang baik untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik yaitu model pembelajaran CPS (Creative Problem Solving), dengan model ini peserta didik dapat ikut berpatisipasi, aktif dan merasa tertantang untuk memecahkan masalah. Guru juga memiliki peran untuk membangkitkan motivasi dari diri peserta didik. Model CPS adalah suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan keterampilan. Ketika dihadapkan dengan suatu pertanyaan, peserta didik dapat melakukan keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir (Pepkin, 2004). Cara tersebut maka guru dapat membuat peserta didik lebih aktif, merasa lebih tertantang dalam memecahkan suatu masalah terutama dalam hidrolisis garam. Selain itu dapat membangkitkan motivasi dan meningkatkan kreatifitas. Proses dari model pembelajaran CPS, terdiri dari Objective finding, Fact finding, Problem finding, Idea finding, Solution finding, Acceptance finding dan Evaluation. Membiasakan peserta didik dengan menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu peserta didik untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari kimia. Penggunaan model pembelajaran CPS ini diharapkan dapat menimbulkan minat sekaligus kreativitas dan motivasi peserta didik dalam mempelajari kimia, terutama pada materi hidrolisis garam sehingga peserta didik dapat memperoleh manfaat yang maksimal baik dari proses maupun hasil belajarnya. Satu dari Hasil penerapan model CPS ini terbukti dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Sudewa (2014) bahwa dengan model CPS dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik. Kelebihan dari model CPS ini, karena masalah disajikan pada awal pembelajaran yang memberikan keleluasan kepada peserta didik untuk mencari arah-arah penyelesaiannya sehingga dapat merangsang perkembangan kemajuan berfikir peserta didik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat. Dapat juga membuat peserta didik menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru. Maka peneliti mengatasinya dengan menerapkan model CPS dalam pemberlajaran kimia khususnya pada materi hidrolisis garam untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar kognitif peserta didik. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research) untuk mengatasi adanya masalah di kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin untuk memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan selama proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus, setiap siklus dalam penelitian memiliki 4 tahapan kegiatan yaitu: (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, (4) refleksi (Arikunto, 2010). Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Mei 2015 bertempat di kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin. Subjek penelitian berjumlah 41 orang yang terdiri dari 24 orang perempuan dan 17 orang laki–laki, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah motivasi dan hasil belajar kognitif peserta didik.
85
Perangkat yang digunakan dalam penelitian ini berupa Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dibuat untuk setiap pertemuan dalam siklus-siklus penelitian, dan Lembar kerja peserta didik (LKPD) yang dirancang untuk materi hidrolisis garam yang akan diberikan kepada siswa pada setiap pertemuan. Data hasil belajar kognitif dikumpulkan dengan teknik tes menggunakan tes bentuk uraian non-objektif pada setiap akhir siklus. Data hasil motivasi peserta didik dikumpulkan dengan teknik nontes menggunakan lembar observasi pada saat pelaksanaan tindakan, angket motivasi di akhir siklus I dan siklus II. Pernyataan dalam lembar angket motivasi peserta didik pengisian dengan menggunakan skala Likert. Instrumen yang digunakan untuk mengukur objek yang akan dinilai baik tes maupun nontes harus memiliki bukti validitas, agar diperoleh data yang valid. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity) yang dilakukan dengan meminta pertimbangan 5 orang ahli yang berperan sebagai validator. Validitas dihitung dengan menggunakan rumus dari Cohen (2010) dalam menentukan rasio validitas isi/Content Validity Ratio (CVR) : 𝐶𝑉𝑅 =
𝑛𝑒 − ( 𝑁/2) 𝑁/2
Keterangan : CVR = Rasio validitas isi ne = Jumlah validator yang menyatakan essential N = Jumlah validator Lawshe menjelaskan beberapa arti dari CVR : 1) CVR negatif : Jika kurang dari setengah jumlah validator menyatakan essential 2) CVR nol : Jika setengah dari jumlah validator menyatakan essential 3) CVR positif : Jika lebih dari setengah jumlah validator tetapi tidak seluruh validator menyatakan essential Analisis hasil belajar kognitif bertujuan untuk mengetahui tingkat ketuntasan penguasaan konsep peserta didik. Sesuai dengan Standar Ketuntasan Kriteria Minimum (SKKM) SMA Negeri 3 Banjarmasin, peserta didik yang memperoleh nilai kurang dari 75 dinyatakan mengalami kesulitan belajar dan peserta didik yang memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 75 dinyatakan telah tuntas belajar. Perolehan nilai setiap individu peserta didik dihitung dengan menggunakan rumus: S =
R 𝑁
X 100
Keterangan : S = nilai yang diharapkan (dicari) R = jumlah skor dari item atau soal yang dijawab benar N = skor maksimum dari tes tersebut (Purwanto, 2013) Keberhasilan peserta didik dalam menguasai materi ditunjukkan dengan banyaknya peserta didik yang menjawab dengan benar pada setiap butir soal tes yang diujikan. Keberhasilan tersebut dapat dilihat pada data persentase penguasaan materi atau daya serap peserta didik yang dibandingkan dengan Tabel 1. Tabel 1 Kategori hasil belajar kognitif
Tingkat kemampuan (%)
Kategori
x ≥ 90 80 ≤ x < 90 70 ≤ x < 80
Sangat tinggi Tinggi Sedang
86
60 ≤ x < 70 x < 60
Rendah Sangat rendah
(Adaptasi Ratumanan & Laurens, 2003) Penilaian terhadap motivasi peserta didik ini menggunakan skala likert 1-5 yang terdapat 5 aspek yang akan dinilai oleh para observer. Setiap pernyataan diberikan pilihan jawaban sangat setuju = 5, setuju = 4, ragu-ragu = 3, tidak setuju = 2, dan sangat tidak setuju = 1. Kategori level untuk motivasi siswa dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kategori skor motivasi peserta didik berdasarkan angket motivasi
Rentang Skor 30-53 54-77 78-101 102-125 126-150 Adaptasi: Sudjana, 2005 (untuk 30 pernyataan)
Kategori Sangat Kurang Kurang Cukup Baik Sangat Baik
Indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Jika peningkatan motivasi belajar pada 75% peserta didik terhadap pembelajaran yang menggunakan model CPS dengan kategori baik. (2) Hasil belajar: a) Siswa di nyatakan tuntas apabila memenuhi (KKM) yang telah ditentukan oleh SMA Negri 3 Banjarmasin untuk materi hidrolisis garam yaitu 75. b) Suatu kelas di nyatakan tuntas belajar apabila dalam kelas tersebut terdapat 75% peserta didik yang telah mencapai ketuntasan belajar atau memperoleh nilai lebih besar atau sama dengan 75. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil pelaksanaan dan pengamatan penelitian pada siklus I dan siklus II berupa motivasi dan hasil belajar peserta didik. Hasil belajar kognitif peserta didik juga terjadi peningkatan. Berdasarkan hasil tes siklus I dan siklus II, diketahui bahwa ketuntasan klasikal hasil belajar siswa meningkat sebesar 46,35% yang tersaji dalam Gambar 1. 90
85,37%
Peresentase hasil belajar siswa
80 70 60 50 40
39,02%
30 20 10
0
Siklus I
Siklus II
Gambar 1 Rata-rata ketuntasan hasil belajar siswa untuk siklus I dan II
Peningkatan hasil belajar peserta didik juga dapat dilihat dari jumlah peserta didik yang tuntas menguasai konsep yang diajarkan. Persentase peningkatan kemampuan peserta didik menyelesaikan soal level pengetahuan dari C2-C6 dari siklus I ke siklus II dapat dilihat pada gambar 2.
87
120 100
Persentase %
80 60
Siklus 1 Siklus 2
40 20 0 1 C2
2
C43
C54
C65
Taksonomi Bloom Gambar 2 Persentase peningkatan level pengetahuan peserta didik siklus I dan siklus II
Peningkatan motivasi peserta didik pada setiap indikatornya ini bisa dilihat pada gambar 3.
persentase hasil angket motivasi belajar
Siklus 1
80 70 60 50 40
siklus 1
30
siklus 2
20 10 0C3 1
2
3
4
5
6
7
8
indikator motivasi belajar siswa Gambar 3 Perbandingan peningkatan indikator motivasi pada siklus I dan siklus II
Pada siklus I meliputi tes kognitif yang menunjukkan 25 orang peserta didik belum tuntas dan rata-rata kelas hanya 65,45%. Hasil belajar kognitif peserta didik dalam ujian
88
siklus I menunjukkan bahwa peserta didik yang belum tuntas tidak memenuhi tuntutan KKM yang ditetapkan yaitu peserta didik memiliki nilai 75 dan secara klasikal peserta didik yang tuntas sebesar 39,02% dari seluruh peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin. Jumlah peserta didik yang memperoleh nilai ≥ 75 masih jauh belum mencapai 75% dari jumlah seluruh peserta didik sehingga pembelajaran siklus I belum berhasil untuk meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik kelas XI PMIA-3 SMA Negeri 3 Banjarmasin. Satu penyebabnya yaitu guru belum membimbing peserta didik secara maksimal khususnya dalam mengerjakan soal-soal hidrolisis yang melibatkan permasalahan yang disajikan. Pada penilaian motivasi peserta didik diberikan angket untuk mengetahui tanggapan peserta didik terhadap pembelajaran materi hidrolisis garam dengan menggunakan model pembelajaran CPS. Kuesioner motivasi diberikan pada setiap peserta didik ketika siklus I berakhir. Kuesioner motivasi bertujuan untuk mengetahui bagaimana peningkatan motivasi belajar peserta didik pada materi hidrolisis garam setelah pembelajaran dilaksanakan menggunakan model pembelajaran CPS. Persentas motivasi peserta didik yang termasuk kategori kategori baik sebanyak 39,02%, dan kategori cukup 60,98%, secara keseluruhan peserta didik telah mempunyai motivasi cukup baik untuk mempelajari materi hidrolisis garam setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS. Pada setiap kategori indikator motivasi yang dinilai pada hasil angket motivasi yang diisi peserta didik memiliki rata-rata 67,61 yang berarti juga berada pada kategori cukup. Indikator-indikator motivasi ini berupa Tekun dalam menghadapi tugas, Ulet dalam menghadapi kesulitan, Menunjukkan minat terhadap pembelajaran, Senang bekerja mandiri, Cepat bosan pada tugas-tugas rutin, Dapat mempertahankan pendapat, Tidak mudah melepas hal yang diyakini, Senang mencari dan memecahkan masalah dalam pembelajaran. Hasil pelaksanaan proses pembelajaran siklus I secara keseluruhan belum optimal. Penyebabnya ditemukan setelah dilakukannya refleksi. Adapun kekurangan selama proses penelitian berlangsung yang perlu diperbaiki seperti Guru masih kurang dalam memberikan penjelasan tentang tahapan-tahapan model CPS. Terutama pada saat peserta didik mengemukakan fakta berupa pernyataan menurut pendapat mereka sehingga masih banyak peserta didik yang terlihat kebingungan untuk menyelesaikan soal pada tahapan tersebut. Pada saat memberikan penjelasan tentang tahapan idea dan solution finding serta acceptance finding yaitu saat menerapkan langkah-langkah penyelesaian masalah kurang membimbing apa yang harus mereka rencanakan dan terapkan sehingga masih ada peserta didik yang bingung dan jawaban tidak sesuai dengan yang diinginkan, Guru perlu memberikan umpan balik atas kinerja peserta didik. Misalnya pada tahap diskusi kelas, apabila peserta didik dapat menjawab pertanyaan, peserta didik mendapatkan pujian dan penghargaan berupa reward misalnya tambahan nilai, memberi alat tulis atau cokelat sehingga motivasi peserta didik untuk belajar meningkat.
Siklus 2 Pada siklus II hasil tes peserta didik menunjukkan 6 orang peserta didik belum tuntas dan rata-rata kelas 80,74%. Hasil belajar kognitif peserta didik dalam ujian siklus II menunjukkan bahwa peserta didik yang belum tuntas tidak memenuhi tuntutan KKM yang ditetapkan yaitu peserta didik memiliki nilai 75 dan secara klasikal peserta didik tuntas sebesar 85,37% dari seluruh peserta didik kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin. Jumlah peserta didik yang memperoleh nilai ≥75mencapai 75% dari jumlah seluruh peserta didik sehingga pembelajaran dikatakan berhasil untuk meningkatkan hasil belajar kognitif peserta didik. Persentase motivasi peserta didik yang termasuk kategori baik sebanyak 87,81%, dan kategori sangat baik 12,19% secara keseluruhan peserta didik telah mempunyai motivasi baik untuk mempelajari materi hidrolisis setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
89
menggunakan model pembelajaran CPS. Peserta didik sudah memiliki motivasi untuk mempelajari hidrolisis garam dikarenakan guru menerapkan model pembelajaran CPS dalam kegiatan pembelajaran untuk mengacu kepada pemberian motivasi terhadap peserta didik dan berada pada kategori baik. Hasil pelaksanaan proses pembelajaran siklus II secara keseluruhan sudah berhasil dalam meningkatkan proses pembelajaran. Dikarenakan penjelasan guru tentang tahapan pada saat peserta didik mengemukakan fakta menurut pendapat mereka sudah bisa membangun pemahaman sebagian peserta didik sehingga beberapa peserta didik sudah mampu mengungkapkan pendapat berdasarkan fakta yang sesuai. Tahapan membuat langkah-langkah atau rencana penyelesaian dan tahapan langkah penyelesaian masalah peserta didik juga sudah mampu menuliskannya. Peserta didik bisa menerapkan langkahlangkah untuk menyelesaikan masalah dengan model CPS. Guru sudah memberikan umpan balik atas kinerja peserta didik. Pada tahap diskusi kelas, peserta didik yang mau maju mempresentasikan hasil diskusinya dan yang memberikan pendapatnya dikelas akan mendapatkan pujian dan penghargaan berupa reward. Guru sudah memberikan umpan balik atas kinerja peserta didik. Pada tahap diskusi kelas, peserta didik yang mau maju mempresentasikan hasil diskusinya dan yang memberikan pendapatnya dikelas akan mendapatkan pujian dan penghargaan berupa reward. Jadi semua kelemahan guru selama proses pembelajaran yang terjadi pada siklus 1 dapat diatasi. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model CPS sudah terlaksana dengan baik karena guru telah memperbaiki kekurangan-kekurangan pada saat pembelajaran di siklus I. Terjadinya peningkatan aktivitas guru pada penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya oleh Khairunesya (2014) bahwa memang dengan menerapkan model CPS dalam suatu pembelajaran dikelas bisa meningkatkan aktivitas guru. Pada pertemuan pertama maupun pada pertemuan kedua di siklus II ini peserta didik sudah mulai terbiasa dengan pembelajaran yang dilakukan, bekerjasama dengan teman satu kelompoknya tanpa dibimbing oleh guru. Peserta didik lebih berani mengungkapkan pendapatnya. Proses pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model CPS sudah terlaksana dengan baik. Peningkatan aktivitas peserta didik ini didukung oleh penelitian dari Dianty (2012) bahwa terjadi peningkatan aktivitas peserta didik dalam penerapan model CPS untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi lingkungan hidup kelas XI IPS SMA Alwasliyah 3 Medan. Peningkatan hasil belajar ini karena peserta didik sudah mulai terbiasa menjawab soal tes dengan langkah-langkah model CPS dan pada proses pembelajaran peserta didik lebih dibimbing guru dalam menyelesaikan soal yang berisi masalah. Peserta didik lebih banyak yang sudah bisa memecahkan masalah. Pada tahap merencanakan dan menerapkan langkahlangkah penyelesaian masalah sudah bisa diselesaikan. Berdasarkan hasil tes siklus I dan siklus II, diketahui bahwa ketuntasan klasikal hasil belajar peserta didik meningkat sebesar 46,35%. Secara keseluruhan tingkat pemahaman peserta didik pada siklus I untuk tiap indikator masih dalam kategori rendah, namun untuk indikator 3 yaitu menganalisis sifat suatu garam yang terhidrolisis dari reaksi ionisasi pada soal nomor 3, 4 dan 5 masih berada dalam kategori sangat rendah. Kesalahan peserta didik banyak terjadi pada poin soal nomor 5 dimana peserta didik masih banyak yang keliru karena soal nomor 5 ini mengharuskan peserta didik untuk mencari alternatif lain untuk memecahkan masalah yang disajikan, peserta didik dituntut untuk memecahkan soal pada ranah kognitif C6 sedangkan pada saat itu pengetahuan awal peserta didik masih belum bisa memunculkan indikator kreatif fluency, dimana peserta didik belum bisa mengemukakan banyak gagasan untuk mengatasi persoalan yang disajikan. Pada soal ini peserta didik masih belum bisa mencari alternatif lain untuk memecahkan masalah sesuai dengan instruksi dari soal. Pada siklus II rata-rata penguasaan konsep peserta didik sebesar 80,74% dengan kategori tinggi. Untuk pembelajaran pada siklus II guru berusaha memberikan penguatan konsep dan bimbingan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Guru juga memberikan contoh-contoh dan PR yang memacu peserta didik untuk bisa
90
menyelesaikan masalah dengan langkah-langkah model pembelajaran CPS. Hal ini dilakukan agar peserta didik terlatih untuk menyelesaikan masalah. Semua soal yang disajikan pada tes siklus I dan siklus II memiliki tingkatan pengetahuan berdasarkan taksonomi Bloom. Soal dari nomor 1-5 berurutan berada pada level C2, C3, C4, C5 dan C6. Soal yang berada pada level C4, C5 dan C6 dalam hal kemampuan siswa menyelesaikan soalnya mendapatkan persentase lebih rendah dibandingkan soal yang berada pada level C2, C3. Tetapi meskipun berada pada persentase rendah dari siklus I ke siklus II selalu mengalami peningkatan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudiran (2012) hasil analisis datanya menunjukkan melalui model CPS terjadi peningkatan kemampuan berpikir peserta didik dari ranah C2, C3, dan C4 dari siklus I ke siklus II. Pada soal tes ranah kognitif C2 (memahami), C3 (menerapkan) dan C4 (menganalisis) persentase kemampuan peserta didik dalam menjawab soal tersebut lebih banyak dikarenakan soal pada level ini masih tidak terlalu sulit. Peserta didik masih mampu menggunakan pengetahuannya dari pembelajaran yang ada untuk menyelesaikan soal-soal tersebut dengan langkah-langkah model CPS. Ranah kognitif C5 (mengevaluasi/menilai) dan C6 (menciptakan) kemampuan siswa dalam menjawab soal tersebut lebih sedikit dikarenakan soal pada level ini sudah berada pada level pengetahuan tertinggi, sehingga peserta didik kesulitan untuk menyelesaikan soal pada level ini. Hal ini disebabkan karena pada umumnya peserta didik SMA level pengetahuannya masih terbatas sampai pada tahap menganalisis saja. Hanya beberapa orang peserta didik yang memang memiliki tingkat pengetahuan sampai menciptakan pemikiran atau gagasan lebih dari yang lainnya. Kurang terlatihnya kemampuan berpikir kreatif dari peserta didik dan waktu pembelajaran yang singkat dalam menerapkan model CPS inilah yang mengakibatkan kemampuan peserta didik memecahkan masalah pada level C5 dan C6 rendah. Soal pada level C6 dalam penelitian ini peserta didik dituntut untuk menghasilkan banyak gagasan/saran dalam pemecahan masalah, memberikan banyak cara/saran untuk melakukan banyak hal dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban. Jika peserta didik bisa melakukan itu maka dapat dikatakan telah memiliki kemampuan berpikir kreatif untuk indikator fluency. Berpikir kreatif itu sendiri berkaitan dengan ranah kognitif C6, namun soal pada ranah C6 ini tidak bisa difungsikan semaksimal mungkin dalam pembelajaran karena memang waktu yang singkat dalam pembelajaran membatasi pemikiran peserta didik dalam memecahkan masalah pada soal ini dan peserta didik juga belum terbiasa untuk menyelesaikan masalah tersebut. Hasil persentase motivasi peserta didik berdasarkan angket dari 30 pernyataan sesuai pendapat mereka pada siklus I sebesar 65,89% kategori cukup baik dan pada siklus II menjadi 72,92% kategori baik. Sehingga peningkatan motivasi peserta didik pada pembelajaran dengan model CPS sebesar 7,03%. Delapan indikator motivasi belajar yang diketahui melalui angket dan hasil pengisian angket peserta didik dicek kembali oleh guru untuk menyesuaikan dengan hasil pengamatan guru kepada peserta didik selama proses pembelajaran menunjukkan bahwa motivasi peserta didik mengalami peningkatan. Meningkatnya motivasi peserta didik dalam pembelajaran menggunakan model CPS ini dapat terjadi karena pada proses pembelajaran dilakukan beberapa tindakan, antara lain : (1) Memberikan hadiah berupa alat tulis agar memotivasi peserta didik mengerjakan tugas dengan tuntas dan mengumpulkannya dengan tepat waktu. (2) Memberikan materi dan mengingatkan bahwa materi yang dipelajari akan keluar pada saat ulangan. (3) Guru memberitahukan nilai atas tugas yang telah dikerjakan dan mengingatkan peserta didik untuk tidak mencontek pada saat membuat pertanyaan dan mengerjakan soal latihan. (4) Guru memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang disertai dengan diskusi agar suasana pembelajaran tidak monoton dan membosankan. (5) Model CPS merupakan model pembelajaran yang bisa menumbuhkan kreativitas dan pembelajaran dengan langkah-langkah yang menantang bagi peserta didik sehingga dapat meningkatkan motivasi peserta didik dalam pembelajaran.
91
Beberapa cara diatas sejalan dengan pernyataan Sardiman (2012) bahwa cara untuk menumbuhkan motivasi dalam belajar di antaranya adalah memberi angka, hadiah, memberi ulangan, mengetahui hasil, pujian dan tujuan yang diakui. Penelitian tindakan kelas ini berhasil dan hipotesis yang menyatakan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran CPS maka dapat meningkatkan aktivitas guru dalam mengajar, aktivitas peserta didik, motivasi peserta didik dan hasil belajar peserta didik pada proses pembelajaran di kelas XI PMIA 3 SMAN 3 Banjarmasin pada materi hidrolisis garam dapat diterima. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudewa (2014) bahwa dengan model CPS dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian ini maka ditemukan kelebihan dan kekurangan dari model CPS berdasarkan penerapannya di dalam kelas. Kelebihannya yaitu, peserta didik lebih aktif dalam bertanya dan mengungkapkan pendapat mereka apabila terdapat konsep yang belum mereka pahami. Adanya pembiasaan pembelajaran dengan model CPS yang lebih mengeksplorasi kemampuan peserta didik untuk berpikir lebih mendalam sehingga konsep yang telah mereka dapatkan tidak hanya diingat tetapi dipahami sehingga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Peserta didik menjadi lebih bersemangat belajar dan memecahkan masalah karena pada langkah objective finding pada model CPS ini sendiri disediakan kolom dimana peserta didik bisa membuat skema/gambar dari situasi masalah yang disajikan sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik dengan berbagai macam kreasi peserta didik membuat skema/gambar dari masalah. Kekurangan dari model CPS pada saat penerapannya di dalam kelas yaitu, waktu pembelajaran yang singkat mengakibatkan langkah-langkah dari model CPS ini tidak bisa terselesaikan dengan sempurna. Peserta didik cenderung merasa lelah karena langkahlangkah yang panjang dari model CPS ini, sehingga mengakibatkan keadaan kelas cenderung ramai karena peserta didik kurang memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belajar dalam kelompok. Maka guru lebih mendorong dan memfokuskan peserta didik selama pembelajaran dengan memberikan motivasi-motivasi kepada mereka. SIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas XI PMIA 3 SMA Negeri 3 Banjarmasin tahun pelajaran 2014/2015 menunjukkan bahwa motivasi peserta didik mengalami peningkatan dari kategori cukup menjadi baik. Penerapan model CPS berdampak pada hasil belajar peserta didik sehingga mengalami peningkatan. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi. Jakarta: Rineka. Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. arikunto, S. (2010). prosedur penelitian suatu pendekatan praktik edisi revisi. 50-85. Cohen, R. J. (2010). Psychological Testing and Assessment. New York: McGraw-Hill. Dianty, A. (2012). Penerapan Model Creative Problem Solving (CPS) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Linglungan Hidup Kelas XI IPS SMA Alwasliyah 3 medan Tahun Pembelajaran 2011/2012. Jurnal Pendidikan, 8-9. Khairunesya. (2014). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Menggunakan Model Creative Problem Solving Dalam Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan Pada Siswa Kelas XI IPA 1 SMA Negeri 12 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2013/2014. Skripsi Sarjana, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Nurhadi. (2004). Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Pepkin, K. (2004). Honor and The Schools. Houstan Teacher Institue. Ratumanan, & Laurends. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. Sardiman. (2012). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
92
Sudewa, D., S., P., & W., S. (2014). Implementasi Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Media Flash CD Untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester 1 SD Negeri 6 Sukawati. Vol 2, No 1. Sudiran. (2012). Peningkatan Berpikir Kritis Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Fisika Melalui Model Pembelajaran Creative Problem Solving. Jurnal Pendidikan, Vol.1 No.2. Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
93
MENGGAGAS PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA PEMBELAJARAN IPA DI SEKOLAH DASAR DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN ABAD 21 Propose A Meaningfull Learning in Natural Science Learning on Primary School in The Context of Learning for 21st Century Muhammad Fajri SDN Pondok Petir 01 Jl. Reni Jaya Selatan, Bojongsari, Kota Depok [email protected] 1
Abstrak.Pembelajaran bermakna merupakan alur terpadu yang memberikan manfaat bagi siswa baik selama melaksanakan pembelajaran maupun setelahnya. Siswa mendapat pengalaman belajar yang optimal dan bermanfaat bagi proses kehidupannya baik saat ini maupun yang akan datang. Dalam proses pembelajaran IPA, pembelajaran bermakna memberikan ruang gerak lebih leluasa bagi siswa dan guru dalam mengeksplorasi proses pembelajaran IPA itu sendiri. Dalam perkembangan dunia pendidikan saat ini, afiliasi pembelajaran yang bermuara pada konteks pembelajaran abad 21 sebagaimana juga terinfiltrasi pada kurikulum 2013 yang telah direvisi 2016 dan 2017. Konteks pembelajaran abad 21 setidaknya dikembangkan untuk dapat memberikan pengalaman belajar bermakna yang mampu mengaktualisasikan keterampilan-keterampilan sebagai berikut: (1) berkomunikasi; (2) berkolaborasi; (3) berpikir kritis; (4) mengkreasi/mencipta. Muara dari proses pembelajaran IPA dalam konteks pembelajaran 21 tersebut akan berujung pada pencapaian proses pembelajaran yang bermakna.Dengan demikian, siswa akan memperoleh pengalaman belajar yang bermakna sebagai bekal dalam menghadapi kenyataan hidup yang serba cepat dan tidak terprediksi di masa yang akan datang. Kata kunci:Pembelajaran Bermakna, Pembelajaran IPA, Pembelajaran Abad 21 Abstract.Meaningfull learning is an integrated path that give some benefits to students both during their learning and beyond. Students have an optimal learning experience and are beneficial to theis current and future life processes. In the natural science learning process, meaningfull learning provides more freedom for students and teachers to explore the learning process of natural science itself. In the development of the world of education today, affiliation learning that leads to the context of learning for 21st century as well as infiltrated in the revised of 2013th curriculum that has been revised in 2016th and 2017th. Context of learning of the learning for 21st century is at least developed to be able to provide a meaningfull learning experience that is able to actualize the skills as follows: (1) communicate; (2) collaborate; (3) critical thinking; (4) create. Establishment of the learning process of natural science in the context of learning for 21st century will lead to the achievement of meaningfull learning experience as a provision in the pface of the reality of fast-paced and unpredictable life in the future. Keywords: Meaningfull Learning, Natural Science, Learning for 21st Century
PENDAHULUAN Konteks pembelajaran bermakna menjadi afiliasi proses pembelajaran yang dilaksanakan di kelas-kelas modern saat ini. Hal tersebut membawa pengaruh besar terhadap revoluasi pembelajaran yang memberi ruang gerak lebih luas dan leluasa guna pencapaian kompetensi yang diharapkan pada siswa sebagai peserta belajar. Proses pembelajaran tidak terbatas hanya di dalam ruang kelas saja, ruang terbuka, lingkungan, maupun jaringan internet tak terbatas untuk diakses sebagai sumber belajar yang dominan saat ini. Rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak lagi sebatas hanya sebatas transfer of knowledge tetapi lebih kepada bagaimana siswa dapat memperoleh pengalaman berharga dari
94
rangkaian proses pembelajaran sebagai pengalaman belajar mereka sebagai bekal kehidupan di masa yang akan datang. Rangkaian proses pembelajaran yang bermakna membawa resolusi baru dalam proses pembelajaran yang lebih bermutu dan berkualitas dalam rangka penciptaan proses pendidikan yang optimal dalam lingkup satuan pendidikan khususnya pada level pendidikan dasar (dalam hal ini adalah sekolah dasar). Dalam kontekstualisasi perkembangan zaman yang ada saat ini, pembelajaran abad 21 memberikan gambaran nyata terkait bagaimana situasi yang dikondisikan sebagai pengejawantahan rangkaian proses pembelajaran yang ideal. Ideal dalam konteks di sini bahwa proses pembelajaran dilaksanakan sebagai representasi pengalaman berharga dari siswa ketika dirinya menghadapi kenyataan hidup pada masa yang akan datang. Oleh karenanya, konteks meaningful learning dalam irisan pembelajaran abad 21 diharapkan dapat menciptakan rangkaian pengalaman belajar yang berharga dan bermakna kepada siswa sebagai peserta belajar. Konsekuensi yang ada, rangkaian proses pembelajaran dilaksanakan harus berafiliasi pada dimensi-dimensi pembelajaran abad 21. Dengan demikian, ketercapaian kompetensi optimal pada rangkaian pembelajaran yang dilaksanakan dapat secara komprehensif dicapai dengan memperhatikan indikator-indikator materi pembelajaran maupun indikator langkah-langkah pembelajaran yang bermuara pada karakteristik pembelajaran abad 21. Proses pembelajaran IPA yang mengimplementasikan kerangka konseptual model pembelajaran inovatif yang berafiliasi pada pencapaian keterampilan pembelajaran abad 21 perlu diidentifikasi dan ditelaah secara komprehensif. Hal tersebut merupakan salah satu tugas pokok yang harus dipenuhi oleh seorang guru sebagai pendidik, perencana dan pelaksana proses pendidikan yang terimplementasikan dalam proses pembelajaran di kelas. Rangkaian proses pembelajaran yang ideal seharusnya dapat memberikan pengalaman berharga bagi siswa khususnya dalam proses pembelajaran IPA dengan mengaktualisasikan berbagai konsep materi pembelajaran dalam proses pembelajaran yang efektif, efisien, dan bermakna. Dengan demikian, harapan akan terciptanya pembelajaran bermakna dalam rangkaian proses pembelajaran IPA dapat terlaksana sesuai target yang diharapkan. Proses pembelajaran IPA pada dasarnya dapat dikembangkan dan dilaksanakan secara optimal manakala aspek-aspek pembelajaran dilaksanakan dengan mengeksplorasi segala hal yang ada untuk keberhasilan proses pembelajaran itu sendiri. Afiliasi pertama dari penggunaan metode dan media pembelajaran yang relevan dengan materi yang dipelajari. Di samping itu, rangkaian proses pembelajaran yang diimplementasikan dalam langkah-langkah pembelajaran juga harus benar-benar mencerminkan ketercapaian muatan materi pembelajaran yang akan dicapai. Muara dari keseluruhan rangkaian proses pembelajaran adalah penilaian. Pada proses ini, apa yang telah dilakukan selama kurun waktu tertentu dalam lingkup rangkaian proses pembelajaran dapat dipetakan melalui kegiatan penilaian. Rangkaian proses penilaian dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi ketercapaian kompetensi yang telah dipelajari oleh siswa. Proses pembelajaran IPA seharusnya menjadi rangkaian proses pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Pada prosesnya, pengembangan materi pembelajaran IPA dapat saja dikoneksikan dengan materi-materi yang terkait mata pelajaran lainnya. Hal tersebut sangat dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran yang inovatif dalam bentuk tematik terpadu. Pada prosesnya, perlu juga diperhatikan dari sisi psikologi (baik psikologi belajar maupun psikologi perkembangan) siswa itu sendiri. Dalam hal ini, yang menjadi titik tolak dari rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan adalah bahwa siswa menjadi point of interest terhadap pertimbangan proses pembelajaran yang dilakukan pada tahapan perencanaan proses pembelajaran oleh guru dalam merancang dan mengidentifikasi proses pembelajaran yang akan dilaksanakan nantinya. Dengan demikian, konsep pembelajaran yang dilaksanakan dapat secara operasional diterima oleh siswa baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotor. Nantinya, proses pembelajaran yang dilakukan benar-benar mampu menjembatani kompetensi yang harus dikuasai siswa. Kemudian, siswa dapat secara optimal menguasai kompetensi pembelajaran yang ditargetkan. Pada akhirnya, rangkaian proses pembelajaran yang bermakna pada proses pembelajaran IPA khususnya di sekolah dasar dapat tercapai secara optimal juga tercipta generasi emas yang mampu menjawab tantangan
95
dan kompleksitas global yang terjadi pada masanya nanti seiring dengan bekal kompetensi pada pembelajaran abad 21. Dengan demikian, apa yang menjadi cita-cita dan tujuan nasional pendidikan dapat dicapai secara berangsur-angsur seiring berjalannya waktu dan siswa-siswa saat ini yang akan menjadi generasi penerus bangsa nantinya mampu memberikan jawabannya terhadap tantangan global yang dihadapinya suatu saat kelak. PEMBELAJARAN BERMAKNA PADA PEMBELAJARAN IPA DI SD Pembelajaran IPA di SD pada dasarnya saat ini disatukan dengan mata pelajaran lainnya dalam satu kerangka konseptual sebagai implementasi pembelajaran tematik terpadu. Dalam prosesnya, muatan materi pembelajaran IPA tersusun hierarkis namun belum mendalam dipelajari pada level satuan pendidikan dasar khususnya SD. Dengan demikian, muatan materi pembelajaran IPA yang ada dipelajari sebagai manifestasi pembelajaran terpadu yang memadukan antara beberapa muatan mata pelajaran yang dirangkai terpadu dalam proses pembelajaran setiap harinya. Namun demikian, tidak semua mata pelajaran disatukan dalam model pembelajaran terpadu. Belajar bermakna dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-cirinya, (Nasution, 2003) memaparkan sebagai berikut: (1) menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama; (2) lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian halhal yang lebih terperinci; (3) menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama; (4) mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide yang baru disajikan; (5) informasi yang dipelajari secara bermakna dapat lebih lama untuk diingat; (6) informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran pembelajaran mirip; (7) informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa. Dalam ketujuh konteks tersebut, rangkaian proses pembelajaran yang bermakna hendaknya dapat menjembatani antara konsep materi yang harus dikuasai, kemampuan siswa baik secara fisik, psikologis, sosial, personal, dan kognitif, juga bagaimana konsep materi tersebut diimplementasikan secara praksis operasional dalam rangkaian proses pembelajaran di kelas. Berangkat dari asumsi yang menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan diupayakan untuk melibatkan siswa dalam rangkaian proses pembelajaran yang bermakna di mana hal tersebut terjadi pada saat siswa melaksanakan rangkaian proses pembelajaran itu sendiri. Di sisi lain, satuan pendidikan (dalam hal ini sekolah dasar) memainkan peran sosial, cus-todial, dan organisasi penting dalam lingkup kemasyarakatan. Dalam hal ini, guru memiliki kewajiban untuk membantu siswa belajar bagaimana mengenali dan memecahkan suatu permasalahan belajar yang dihadapi baik terjaik materi yang dipelajari maupun proses pembelajaran yang dilaksanakan. Di samping itu, guru juga berperan dalam membantu dan mendampingi siswa terkait memahami fenomena baru, membangun model mental, dan memberikan suatu situasi baru yang dirancang sebelumnya. Selain itu, guru juga perlu menetapkan tujuan dan mengatur rangkaian proses pembelajaran mereka sendiri (learning how to learn). Pembelajaran bermakna berupaya melibatkan peran aktif siswa, konstruktif, pembelajaran yang disengaja (setting), otentik, dan kooperatif. Brown, et.al. (J.S. Brown, 1989) memberikan gambaran ilustrasi terkait kelima hal tersebut.
96
Gambar 1. Interkoneksi/keterhubungan lima atribut belajar bermakna menurut Brown, et.al. Pada prosesnya, rangkaian proses pembelajaran yang bermakna memberikan asumsi bahwa apa yang dipelajari siswa merupakan suatu pengalaman berharga yang akan memiliki makna mendalam dalam memberikan bekal kehidupan kepada siswa untuk dapat bertahan dan menghadapi kenyataan dan tantangan yang serba kompleks dan unpredictable pada masa kehidupannya nanti. Melalui penyajian proses pembelajaran yang bermakna inilah apa yang menjadi muara rangkaian proses pembelajaran dalam bentuk indikator-indikator kompetensi harus dicapai dan dikuasai siswa secara optimal. Hal tersebut sangat dimungkinkan agar apa yang menjadi muara dari rangkaian proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik dan dicapai dengan baik pula. Dengan demikian, siswa akan memiliki pengalaman langsung berdasarkan rangkaian proses pembelajaran yang disajikan dengan berbagai pertimbangan yang dirancang secara efektif oleh guru agar tercipta rangkaian proses pembelajaran yang bermakna tersebut. Pembelajaran IPA merupakan salah satu muatan mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa kelas IV sampai dengan VI Sekolah Dasar. Hal tersebut sebagaimana tertuang secara eksplisit pada regulasi pemerintah yang mengatur tentang implementasi kurikulum 2013 (revisi 2016) terkait struktur dan muatan kurikulum 2013. Secara teoretis, kajian ilmu pengetahuan alam atau biasa disebut juga dengan sains memiliki kekhasan mata pelajaran terkait life skill ilmiah dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan sebagaimana tertuang dalam Permendikbud RI Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah. Menurut Titus dalam Saduloh (Titus, 2007), sains diasumsikan sebagai common sense yang diatur dan diorganisasikan mengadakan pendekatan terhadap benda-benda atau peristiwa-peristiwa dengan menggunakan metode observasi yang teliti dan kritis. Wonoraharjo (Wonoraharjo, 2010) memberikan pandangan mendalam mengenai IPA yang menyatakan bahwa IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui metode tertentu. Asy’Ari (Asy’ari, 2006) juga memberikan ilustrasi tentang hakikat yang menyatakan bahwa sains itu sendiri merupakan suatu kesatuan antara proses, sikap dan produk atau hasil yang saling berkaitan. Keterkaitan tersebut digambarkan dalam skema hakikat belajar yaitu sebagai berikut:
proses ilmiah
sikap ilmiah
produk ilmiah
Gambar 2. Hakikat sains (menurut Asy’Ari) Berdasarkan ilustrasi pada Gambar. 2 tersebut, dapat diasumsikan bahwa dengan adanya sikap ilmiah dalam melaksanakan rangkaian proses ilmiah ini, maka akan dihasilkan produk yang ilmiah. Untuk selanjutnya, suatu produk ilmiah akan dapat mendorong terjadinya proses ilmiah yang baru dan akan menumbuhkan atau menguatkan sikap ilmiah yang telah dimilikinya. Dalam hal rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan, rangkaian kegiatan ilmiah sebagaimana ketiga skema tersebut akan seiring sejalan saling mendukung dan mengisi proses ilmiah yang dilakukan sehingga terciptalah proses pembelajaran IPA yang ilmiah dan bermakna juga memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan terciptalah generasi emas yang siap bersaing dan bersanding dalam forum-forum global yang mendunia nantinya kelak. PEMBELAJARAN ABAD 21 DI SEKOLAH DASAR
97
Learning for 21st century atau yang lebih dikenal sebagai pembelajaran abad 21 di negara kita mencuat seiring bergulirnya pergeseran peradaban dan pergeseran paradigma pembelajaran dalam level global. Hal tersebut sebagai jawaban atas kompleksitas tantangan dan perkembangan dunia kehidupan saat sekarang ini. Dalam hal tersebut, dirumuskanlah sekumpulan kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai seorang siswa yang belajar dalam lingkup satuan pendidikan sebagai generasi yang akan berhadapan dengan pesatnya perubahan global yang mendunia juga kompleksnya permasalahan kehidupan yang akan dihadapi pada masanya nanti. Di dalam pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang diimplementasikan saat ini (2013 dengan revisi 2016 dan 2017) kerangka konseptual dari keterampilan yang harus dikuasai sebagai manifestasi pembelajaran abad 21 diberikan ruang gerak lebih luas dan mendalam. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada kerangka dan muatan kurikulum 2013 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Kemudian, dari PP tersebut diturunkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang mana terkait rangkaian proses pembelajaran di sekolah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Secara eksplisit, rangkaian proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa (Permendikbud RI Nomor 22 Tahun 2016 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah). Secara implisit, keterampilan abad 21 tertuang dalam regulasi tersebut, yang mana rangkaian proses pembelajaran dilaksanakan untuk dapat menjembatani antara kompetensi yang tertuang secara konseptual dan teoretis untuk dapat dituangkan dalam rangkaian proses pembelajaran secara praksis dan operasional dalam lingkup kelas pada masing-masing satuan pendidikan (khususnya di tingkat sekolah dasar). Proses Pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa itu sendiri. Uoleh karenanya, tiap-tiap satuan pendidikan (khususnya sekolah dasar) perlu melakukan rangkaian perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Dalam konteks tersebut, pembelajaran abad 21 terlaksana dalam rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan. Namun demikian, apa yang perlu dilaksanakan dalam proses pembelajaran perlu direncanakan secara praksis, sistematis, dan efektif oleh guru selaku perancang rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan. Adapun rangkaian kegiatan penilaian dilakukan untuk memberikan feedback terhadap pelaksanaan proses pembelajaran juga untuk mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran terkait penguasaan kompetensi materi pembelajaran yang dipelajari siswa. Nichols (Nichols, 2017) mengungkapkan 4 konsep pembelajaran abad 21, antara lain: (1) instruction should be student centered; (2) education should be collaborative; (3) learning should have context; (4) schools should be integrated with society. Berdasarkan keempat konsep tersebut, pada dasarnya keempat konsep tersebut merupakan satu dasar kesatuan yang memberikan implikasi terhadap proses pembelajaran yang harus dilaksanakan. Pentingnya proses pembelajaran yang memberikan ruang gerak lebih leluasa kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya dalam suasana lingkungan belajar yang menantang perlu dipikirkan. Proses tersebut memberikan perhatian yang lebih kepada siswa sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran yang perlu diidentifikasikan kebutuhan baik secara fisik, psikologis, maupun kognitifnya. Dari segi tugas belajarnya, siswa tentu memiliki dasar asumsi yang perlu dicermati seiring sejalan dengan pembelajaran yang harus dilakukan. Dengan demikian, keempat konsep yang membangun kerangka pembelajaran abad 21 ini
98
dapat diimplementasikan dalam suasana belajar yang sesungguhnya untuk ketercapaian proses pembelajaran yang bermakna khususnya dalam rangkaian proses pembelajaran IPA di SD. Dalam pengembangannya, kerangka konseptual dari pembelajaran abad 21 yang memberikan tantangan global terhadap generasi yang saat ini sedang berkembang tentu perlu diperhatikan kebutuhan belajar seperti apa yang nantinya mereka perlukan dalam proses kehidupannya yang akan datang. Karena, pada dasarnya siswa belajar saat ini untuk bekal dalam kehidupannya pada masa yang akan datang. Jika demikian, maka pendidikan yang futuristik harus dicermati secara komprehensif. Hal tersebut tidak lain adalah demi tercukupinya kebutuhan material konseptual dari konsep materi pembelajaran yang diperlukan sesuai konteks perkembangan kehidupan siswa pada masa yang akan datang. Dalam konteks pembelajaran yang dikembangkan saat ini, sebagaimana konsep pembelajarna abad 21 ini, pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill) menjadi satu acuan dalam hal pengembangan proses pembelajaran yang optimal. Pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi ini menjadi satu konsep baru dalam ranah pengembangan kognitif siswa yang tertuang dalam kurikulum 2013 (sebagaimana revisi 2016). Hal lain berimplikasi pada paradigma pembelajaran yang harus dilaksanakan. Konteks pembelajaran yang perlu dilakukan dalam hal ini, adalah melatih siswa untuk berpikir tinggi melalui berbagai metode penyajian proses pembelajaran yang mampu membuat siswa merasa tertantang dalam mengeksplorasi apa yang menjadi komponen berpikir tingkat tinggi. Dengan demikian, setali tiga uang apa yang menjadi muara akhir proses pembelajaran yang dilaksanakan dapat mencapai kompetensi siswa terkait materi yang harus dicapai, keterampilan abad 21 yang harus dikuasai, dan kemampuan berpikir tingkat tingginya. Berikut dapat dicermati hal-hal yang terkait dengan pembelajaran abad 21 sebagaimana dikembangkan oleh Partnership for 21st Century Learning sebagaimana dituangkan oleh Mc Guire (McGuire, 2015), sebagai berikut.
Gambar 3. Framework Partnership for 21st Century Skills. Dalam bagan tersebut, tersirat 4 kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa dalam konteks pembelajaran abad 21. Keempat kompetensi tersebut sebagaimana sering disebut dengan 4Cs merupakan empat kesatuan kompetensi dasar yang perlu dikembangkan dalam rangkaian proses pembelajaran di kelas-kelas saat ini. Hal tersebut juga sebagaimana dituangkan dalam bentuk regulasi pemerintah terkait rangkaian proses pembelajaran di kurikulum 2013 dengan memberikan batasan standar minimal pada kompetensi yang dicapai di mana kompetensi tersebut telah ditingkatkan dan dilakukan proses benchmarking dengan kompetensi global yang ada saat ini dan masa yang akan datang. Pada pengembangannya, pelaksanaan kurikulum 2013 diharapkan dapat mengimplementasikan keterampilan abad 21 (4Cs) sebagai jawaban terhadap tuntutan perkembangan zaman saat ini dan masa yang akan datang nantinya. Komponen keempat keterampilan abad 21 sebagaimana dikenal dengan 4Cs
99
ini terdiri atas: (1) critical thinking and problem solving; (2) communication; (3) collaboration; (4) creativity and inovation. Wagner bersama tim peneliti dari Harvard University dalam Scoot (Scott, 2015) memberikan 7 kompetensi yang perlu dikuasasi dalam ranah pembelajaran abad 21, antara lain: (1) critical thinking and problem solving; (2) collaboration and leadership; (3) agility and adaptability; (4) initiative and enterpreneurialism; (5) effective oral and written communication; (6) accessing and analysing information; (7) curiosity and imagination. Ketujuh kompetensi tersebut pada dasarnya secara implementatif telah tertuang pada kerangka pengembangakan kurikulum yang dilaksanakan pada proses pendidikan di satuan pendidikan dasar (khususnya tingkat sekolah dasar). Oleh karenanya, perlu perhatian serius dari pelaksana proses pendidikan khususnya guru yang memiliki ruang gerak lebih luas dan intensif dalam melaksanakan proses pendidikan dalam rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan. rangkaian proses pembelajaran yang mampu mengembangkan ketujuh kompetensi pembelajaran abad 21 dilaksanakan dalam langkah-langkah pembelajaran yang mampu memberikan pengalaman berharga kepada siswa terkait rangkaian proses pembelajaran yang dilaksanakan. SIMPULAN Proses pembelajaran yang bermakna dapat dicapai melalui proses pembelajaran yang bermutu dan berkualitas. Proses pembelajaran yang bermutu dan berkualitas perlu disetting dalam rangkaian proses pembelajaran yang sistematis dan sistemik, kronologis dan hierarkis, praksis dan operatif. Hal tersebut tentu perlu dilaksanakan dalam konteks proses pembelajaran yang mampu memberikan jembatan terhadap materi yang bersifat teoretis untuk dapat dituangkan dalam rangkaian proses pembelajaran praksis dan operasional. Implikasi terhadap proses pembelajaran yang dilaksanakan bahwa proses pembelajaran harus benar-benar memberikan pengalaman yang berharga bagi siswa dan memberikan manfaat bagi siswa dalam menghadapi kenyataan kehidupan pada masa mereka yang akan datang. Kompleksitas dan tantangan global yang berkembang saat ini memberikan tantangan tersendiri bagi pelaksanaan proses pendidikan yang tertuang dalam proses pembelajaran antara guru dan siswa di kelas. Hal tersebut membawa pengaruh signifikan terhadap revolusi pendidikan yang harus diubah dan digeser serta dioptimalkan dalam ranah pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan siswa dalam menguasai abad 21 pada ranah kehidupan global dan tantangan yang lebih kompleks dan serba unpredictable. Rangkaian proses pembelajaran IPA di SD dilaksanakan melalui rangkaian pembelajara tematik terpadu. Hal tersebut sebagaimana dasar pertimbangan dari sisi psikologis (baik psikologi pembelajaran maupun psikologi perkembangan) di mana anak usia sekolah dasar masih berpikir secara holistik dan belum terpecah-pecah. Sehingga, pelaksanaan proses pembelajaran yang optimal salah satunya dapat dilaksanakan dalam bentuk model pembelajaran terpadu. Dalam ranah muatan pembelajaran IPA di SD, konteks pembelajaran dalam materi IPA secara teoretis dipraksiskan dalam proses pembelajaran secara operasional agar siswa secara praksis dapat dengan mudah melalui pengalaman dan proses pembelajaran yang dilaksanakan, materi yang teoretis dapat dipelajarinya dalam sajian praksis pembelajaran yang dilaksanakan. Dengan demikian, apa yang menjadi dasar acuan dalam hal pencapaian kompetensi pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai secara optimal sebagaimana proses pembelajaran yang bermakna dengan berafiliasi pada pencapaian keterampilan abad 21 yang akan memberikan pengalaman berharga terhadap siswa selama melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Secara hierarkis maka dapat diidentifikasi terkait pentingnya penguasaan keterampilan abad 21 di samping kompetensi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Proses pembelajaran IPA di sekolah dasar dilaksanakan melalui implementasi model pembelajaran tematik terpadu sebagai hasil analisis psikologis (baik psikologi perkembangan maupun psikologi belajar). Pelaksanaan proses pembelajaran perlu disetting sedemikian rupa agar tercapai kompetensi pembelajaran IPA yang diharapkan sebagaimana kerangka dan muatan kurikulum yang digunakan pada satuan pendidikan masing-masing (dalam hal ini adalah
100
sekolah dasar). Rangkaian proses pembelajaran di samping untuk mencapai kompetensi muatan pelajaran yang ditargetkan juga dikembangkan kemampuan siswa terkait keterampilan abad 21 sebagai bekal kehidupannya dalam menghadapi kenyataan hidup di masanya yang akan datang yang tentu lebih kompleks dan serba unpredictable agar mereka mampu dan terbiasa hidup dalam suasana penuh tantangan serta mampu survive dalam kehidupan modern yang lebih global dan tinggi tingkat kompleksitasnya. Melalui implementasi proses pembelajaran IPA yang bermakna, maka dapat tercipta genrasi emas yang dapat bertahan dalam segala keadaan dan medan kehidupan dan kesulitan, juga mampu bersaing dalam ranah global yang mendunia dan memberikan nama baik bagi bangsa dan negara.
DAFTAR PUSTAKA Asy’ari,
M. (2006). Penerapan Pendekatan Sains-Teknologi-Masyarakat dalam Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. J.S. Brown, A. C. (1989). Situated Cognition and The Culture of Learning. Educational Researcher, 32-42. McGuire, H. A. (2015). 21st Century Standards and Curriculum: Current Research and Practice. Journal of Education and Practice, Vol. 6, No. 6, , 22. Nasution. (2003). Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Nichols, J. R. (2017, Agustus 5). Nichols, Jennifer Rita. “4 Essential Rules for 21st Century Learning” dalam 4 essential rules of 21st century learning. Diambil kembali dari Nichols, Jennifer Rita. “4 Essential Rules for 21st Century Learning” dalam http://www.teachthought.com: Nichols, Jennifer Rita. “4 http://www.teachthought.com/learning/4-essential-rules-of-21st-century-learning/ Sadulloh, U. ( 2007). Pengantar Filsafat Ilmu. Bandung: : Alfabeta. Scott, C. L. (2015, November 14). Education Research and Foresight: Working Paper. The Future of Learning 2: What Kind of Learning For The 21st Century?, hal. 3. Titus. (2007). Dalam U. Sadulloh, Pengantar Filsafat Ilmu (hal. 43). Bandung: Alfabeta. Wonoraharjo, S. (2010). Dasar-dasar Sains. Jakarta: Indeks.
101
PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN BERORIENTASI AKTIVITAS SISWA (PBAS) MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS XI IPA PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA DI SMAN 1 BANJARMASIN TAHUN AJARAN 2016/2017 Application of Learning Strategy of Student Achievement Activity (PBAS) Using Problem Based Learning (PBL) Learning Model to Increasing Learning Result of Class XI IPA on the Supporting Materials at SMAN 1 Banjarmasin Academic Year 2016/2017 Yuni Auliana Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin email: [email protected] Abstrak: Telah dilakukan penelitian tentang penerapan strategi pembelajaran berorientasi aktivitas siswa (PBAS) menggunakan model pembelajaran problem based learning (PBL) pada materi larutan penyangga. Penelitian bertujuan untuk mengetahui (1) peningkatan aktivitas siswa, (2) peningkatan hasil belajar (sikap, keterampilan, dan pemgetahuan). Penelitian ini dilaksanakan dengan sebuah rancangan classroom action research yang dilaksanakan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Pada siklus I dan II diadakan dua kali pertemuan. Siswa kelas XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banjarmasin sebagai subjek penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran mengalami peningkatan dari 68,25% dengan kategori aktif menjadi 85,5% dengan kategori sangat aktif, (2) pada aspek sikap meningkat dari 72,45% menjadi 80,33% dengan kategori baik, keterampilan siswa mengalami peningkatan dari dari 74,85% dengan kategori terampil menjadi 87,16% dengan kategori sangat terampil, pengetahuan siswa mengalami peningkatan dari dari 75,85% dengan predikat cukup menjadi 89,68% dengan predikat baik dan ketuntasan hasil belajarnya meningkat dari 72,97% menjadi 89,2%. Kata kunci : Prombel based learning, pembelajaran berorientasi aktivitas siswa, hasil belajar, kurikulum 2013 Abstrack: Research has been conducted on the application of student activity-oriented learning strategy (PBAS) using learning problem based learning (PBL) model on buffer material material. The study aims to determine (1) increase student activity, (2) increase learning outcomes (attitudes, skills, and pemgahuanuan). This research was conducted with a classroom action research design which was carried out in two cycles. Each cycle consists of planning, action, observation and reflection. In the first and second cycles held two meetings. Student class XI IPA 1 SMA Negeri 1 Banjarmasin as the subject of research. The result of the research showed that (1) the activity of students in following learning has increased from 68.25% with active category to 85.5% with very active category, (2) in attitude aspect increased from 72.45% to 80.33% with Good category, students' skill has increased from 74.85% with skilled category to 87.16% with highly skilled category, student's knowledge has increased from 75.85% with enough predicate become 89.68% with good predicate and resultantness result His study increased from 72.97% to 89.2%. Keywords: Prombel based learning, student activity-oriented learning, learning outcomes, curriculum 2013.
PENDAHULUAN Sekolah merupakan tempat kegiatan belajar mengajar, dimana proses pendidikan berlangsung di sekolah. Pada prinsipnya belajar merupakan suatu interaksi siswa dengan objek atau sumber belajar secara sengaja dirancang atau tanpa sengaja dirancang dalam proses perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar (Thobroni, 2015).
102
Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi kegiatan belajar mengajar, dimana pendidik dan peserta didik berperan penting dalam proses kegiatan belajar maupun hasil belajar. Dilihat dari pandangan seorang pendidik hasil belajar merupakan tindakan mengajar dengan menggunakan proses evaluasi sebagai tindakan akhir, sedangkan dilihat dari pandangan peserta didik puncak dari proses pembelajaran yaitu hasil belajar itu sendiri. Tercapainya suatu tujuan pembelajaran tergantung pada hasil belajar peserta didik serta tidak terlepas dari usaha seorang pendidik dalam menciptakan kualitas pembelajaran. Anak yang berhasil mencapai tujuan pembelajaran adalah anak yang berhasil dalam belajar serta anak yang mempunyai hasil belajar yang baik. Pencapaian suatu kualitas dalam pemebelajaran adalah tanggung jawab profesional seorang pendidik, untuk mencapai hasil belajar yang maksimal guru harus membimbing dan menciptakan kualitas dalam pengalaman belajar bagi speserta didik, sehingga diperlukan suatu strategi belajar mengajar. Strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas Siswa (PBAS) merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam belajar yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Melalui strategi PBAS dan model pembelajaran PBL diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, selain itu strategi dan model tersebut merupakan suatu pengembangan pembelajaran yang inovatif untuk kurikulum 2013, dimana sekarang kita juga mengalami pengembangan kurikulum yaitu dari KTSP menjadi K13. Melalui K13 peralihan pembelajaran terjadi dari yang berpusat kepada guuru menjadi berpusat kepada siswa, strategi PBAS dan model pembelajaran PBL menekankan aktivitas yang di pusatkan kepada peserta didik sehingga peserta didik mampu memahami pembelajaran tanpa pejelasan mendalam dari guru, dimana peserta didik belajar dan menemukan sendiri tentang bagaimana pengetahuan tersebut didapat. Peserta didik yang asalnya pasif diajak untuk lebih berperan aktif dalam K13. Peran pendidik di dalam kelas sedikit demi sedikit harus mulai dikurangi untuk lebih meningkatkan keaktifan siswa di dalam pembelajaran. Namun pada kenyataanya masih banyak siswa yang kurang berperan aktif dan mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran. Guru masih menjadi pusat dalam proses kegiatan belajar mengajar dan harus menjelaskan materi pembelajaran secara. Kurangnya peran aktif siswa dalam pembelajaran mengakibatkan rendahnya hasil belajar siswa terutama pada materi larutan penyangga. Berdasarkan urauian-uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan berjudul “Penerapan Strategi Pembelajaran Berorientasi Aktivitas Siswa (PBAS) menggunakan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA Pada Materi Larutan Penyangga Di SMAN 1 Banjarmasin Tahun Ajaran 2016/2017”. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dengan sebuah rancangan classroom action research atau disebut PTK (penelitian tindakan kelas). Menurut Iskandar (2009) PTK dalam proses pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas serta kuantitas pembelajaran di dalam kelas. Tahapan PTK terdiri dari 4 kegiatan yaitu: (1) perencanaan (planning) yang disusun untuk perbaikan pembelajaran, (2) pelaksanaan (action) yang dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang telah disusun, (3) pengamatan (observation) untuk mengumpulkan data dan informasi yang telah dilakukan dalam proses pembelajaran (4) refleksi (reflection) untuk mengkaji keberhasilan pencapaian berbagai tujuan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April dengan dua siklus. Siklus I dilaksanakan pada bulan Maret dan siklus II dilaksanakan pada bulan April. Satu siklus dibagi dengan dua kali pertemuan dan pada setiap siklus kemudian di ikuti dengan satu kali pertemuan untuk tes akhir siklus tersebut. Siklus I pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 14 Maret 2017, pertemuan kedua dilaksanakan pada tanggal 16 Maret 2017, dan tes akhir siklus dilakukan tanggal 30 Maret 2017. Siklus II pertemuan pertama dilaksanakan pada tanggal 6 Maprl 2017, pertemuan kedua dlaksanakan tanggal 6 April 2017, dan tes akhir siklus II dilakukan pada tanggal 18 April 2017. Siswa dengan jumlah 37 orang pada kelas XI IPA 1 SMAN 1 Banjarmasin sebagai subjek penelitian dengan 13 orang laki-laki dan 23
103
orang perempuan. Objek penelitian berupa suatu yang inggin dicapai yaitu aktivitas siswa dan hasil belajar (sikap, keterampilan, dan pengetahuan). Data yang digunakan yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk bukan bilangan berupa aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan, sedangkan data kuantitatif merupakan data dalam bentuk bilangan dan nilai-nilai berupa hasil belajar pengetahuan siswa. Teknik analisis data bertujuan untuk mengumpulkan data-data dari penelitian dengan cara melakukan observasi terhadap aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan, serta melakukan tes tertulis untuk mengukur pengetahuan siswa. Berikut kategori aktivitas dan hasil belajar siswa Tabel 1. Kategori aktivitas siswa, sikap, dan keterampilan Kategori % Aktivitas Siswa Sikap Keterampilan 20 – 36 Sangat kurang Sangat kurang Sangat kurang 36,1 – 52 Kurang aktif Kurang baik Kurang terampil 52,1 – 68 Cukup aktif Cukup baik Cukup terampil 68,1 – 84 Aktif Baik Terampil 84,1 – 100 Sangat aktif Sangat baik Sangat terampil (Adaptasi: Sudjana, 2014) Tabel 2. Predikat hasil belajar siswa untuk KKM 75 Hasil Belajar Predikat < 75 Kurang 75 – 83 Cukup 84 – 92 Baik 93 – 100 Sangat baik (Dikdasmen, 2015) Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini yaitu aktivitas siswa minimal dalam kategori aktif, sikap dalam kategori baik, keteranpilan dalam kategori terampil, dan hasil belajar pengetahuan siswa dalam kategori baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil tindakan yang dilakukan peneliti berupa aktivitas siswa, sikap, keterampilan, dan pengetahuan siswa dapat diketahui berdasarkan gambar-gambar berikut:
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
91.5
79.5 65.5
71
Siklus I
Siklus II Pertemuan 1
Pertemuan 2
Gambar 1. Aktivitas siswa Peningkatan aktivitas siswa sejalan dengan penelitian Abanikannda (2016) bahwa dengan model pembelajaran PBL menunjukkan adanya berbagai kegiatan yang dilakukan
104
oleh siswa sehingga dapat meningkatkan aktivitas siswa, seperti bekerjasama, berkomunikasi, dan bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan. Selain itu dengan model pembelajaran PBL siswa memiliki kemampuan yang lebih besar dalam memperoleh pengetahuan karena siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
71 73.9
Siklus I
82.56 78.1
Siklus II Pertemuan 1
Pertemuan 2
Gambar 2. Sikap siswa Peningkatan sikap siswa ini sejalan dengan penelitian Mukti dan Trineke (2016) yang menyatakan bahwa ranah sikap 33 siswa dari 38 orang mencapai kriteria pencapaian minimum dengan predikat baik atau sangat baik. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
87.16 74.85
Siklus I
Siklus II
Gambar 3. Keterampilan siswa Peningkatan keterampilan siswa sejalan dengan penelitian Rosidah, dkk (2014) bahwa nilai ranah keterampilan siswa dengan model pembelajaran PBL dapat berlangsung baik dengan persentase ketercapaian sebesar 78,13%.
105
100 90 80
89.68 75.85
70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 4. Pengetahuan siswa Peningkatan pengetahuan siswa sejalan dengan penelitian Rosidah, dkk (2014) bahwa kompetensi hasil belajar siswa dengan model pembelajaran PBL dapat berlangsung dengan baik pada ranah pengetahuan siswa dengan nilai ketercapaian sebesar 78%, dan penelitian Mukti dan Trineke (2016) bahwa pengetahuan siswa menggunakan model pembelajaran PBL dinyatakan tuntas.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
89.2 72.29
Siklus I
Siklus II
Gambar 5. Ketuntasan belajar siswa Ketuntasan belajar pada penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Febrianti, dkk (2015) yang menyatakan model pembelajaran PBL memenuhi kreteria efektif ditandai dengan rata-rata ketuntasan belajar mencapai 83,3% Secara keseluruhan hasil observasi dan analisis berupa aktivitas siswa, sikap, keterampilan, dan pengetahuan menunjukkan pelaksanaan proses pembelajaran siklus II secara keseluruhan berlangsung dengan baik dan meningkat dibandingkan siklus I. Berdasarkan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan, guru sudah berusaha semaksimal mungkin memperbaiki apa yang kurang pada siklus sebelumnya untuk pelaksanaan di siklus berikutnya. Guru telah melaksanakan perencanaan yang dibuat atas dasar hasil refleksi sehingga berdampak positif pada hasil belajar siswa. Penerapan strategi PBAS menggunakan model pembelajaran PBL ini diharapkan hasil belajar siswa dapat meningkat. Dimana selain menekankan aktivitas siswa dan menghendaki adanya keseimbangan antara aspek sikap, keterampilan, dan pengetahuan, strategi PBAS juga digunakan sebagai pendekatan guru kepada siswa agar dapat lebih mengerti karakter siswa dan gaya belajar siswa, dimana disini ada keterlibatan siswa dalam perencanaan maupun proses pembelajaran. Ini sejalan dengan penelitian Otomi (2013)
106
menyatakan bahwa strategi PBAS salah satu bentuk inovasi dalam memperbaiki kualitas proses belajar mengajar dengan tujuan untuk membantu siswa agar belajar mandiri dan kreatif, sehingga ia dapat memeroleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menunjang terbentuknya kepribadian yang mandiri. Pada proses pembelajaran penggunaan model pembelajaran PBL bertujuan untuk mendidik siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran pada kurikulum 2013. Dibuktikan dari peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I hingga siklus II, aktivitas siswa pada kategori sangat aktif, sikap siswa dalam kategori baik, dan keterampilan siswa dalam kategori sangat terampil, serta ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa berada dalam predikat baik. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti, dengan menggunakan strategi PBAS menggunakan model pembelajaran PBL dapat meningkatkan hasil belajar. Peningkatan hasil belajar ini diiringi dengan peningkatan aktivitas siswa, peningkatan sikap siswa, dan peningkatan keterampilan siswa. (1) Aktivitas siswa meningkat dari 68,25% dengan kategori aktif menjadi 85,5% dengan kategori sangat aktif. (2) Hasil belajar mengalami peningkatan, antara lain: (a) Sikap siswa meningkat dari 72,45% menjadi 80,33% dengan kategori baik. (b) Keterampilan meningkat dari 74,85% dengan kategori terampil menjadi 87,16% dengan kategori sangat terampil. (c) Pengetahuan siswa meningkat dari 75,85% dengan predikat cukup menjadi 89,68% dengan predikat baik. (d) Ketuntasan hasil belajar dilihat dari jumlah siswa meningkat dari 72,97% menjadi 89,2%. DAFTAR PUSTAKA Abanikannda, M.O. (2016). Influence of Problem-Based Learning in Chemistry On Academic Achievement of High School Student in Osun State, Nigeria. International Journal of Education, Learning and Development, Vol. 4, No. 3. Febrianti, E., Haryani, S., & Imam, K.S. (2015). Pengembangan embar Kerja Siswa (LKS) Materi Larutan Penyangga Model Problem Based Learning Bermuatan Karakter untuk Siswa SMA. Journal of Innovative Sceince Education. Dikdasmen. (2015). Panduan Penilaian untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Kemendikbud. Iskandar. (2009). Penelitian Tindakan Kelas. Jambi: Gaung Persada (GP) Press. Mukti, P.N. & Trineke M.J. (2016). Penerapan Problem Based Learning pada Materi Bilangan Bulat. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika, Vo.1 No.5. Otomi, A.H. (2013). Penerapan Strategi Pembelajaran Beroreintasi Aktivitas Siswa Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi IPS Terpadu Di SMP Swasta BNKP Lahewa. Jural Ikip Gunung Sitoli Nias. Rosidah, T.W.R., Redjeki, T., & Retno, D.A.S. (2014). Penerapan Model Problrm Based Learning (PBL) pada Pembelajaran Hukum-Hukum Dasar Kimia Ditinjau dari Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Siswa Kelas X IPA SMA Negeri 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), Vol.3, No.3. Sudjana, N. (2014). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Thobroni. (2015). Belajar & Pembelajaran Teori dan Prakik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
107
PENGARUH PENGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING BERBANTUAN MEDIA AUDIOVISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR KOLOID SISWA Influence Of Use Of Problem Based Learning Model As Toward The Audiovisual Media On Learning Coloid Student’s Achievement Putri Adeyantina Mahasiswa Program Studi Magister Keguruan IPA PPs, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected] Abstrak.Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa dengan menggunakan model problem based learningberbantuan media audiovisual sebagai kelas eksperimendan model problem based learningsebagai kelas kontroldi MAN 1 Banjarmasin. Penelitian ini menerapkanmetodeeksperimen semu dengan nonequivalent control group desain. Sampel dalam penelitian ini adalah kelas XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. Data diperoleh melalui tes yang dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung dan melaluihasil posttest, selanjutnya data-data tersebut dianalisis secara deskriptif dengan uji beda menggunakan uji-t sampel independen untuk pengujian hipotesis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas eksperimen meiliki hasil belajar lebih baik dari pada kelas kontrol. Kata kunci: problem based learning, media audiovisual, hasil belajar, koloid. Abstract.The research is to know the difference of the students' learning result by using the audiovisual aids-based problem-based learning model as the experimental class and the problem-based learning model as the control class at MAN 1 Banjarmasin. This research applies pseudo experimental method with nonequivalent control group design. The sample in this research is class XI IPA 2 as experiment class and XI IPA 3 as control class. Result data through the test conducted during the learning process took place and through post-test results, then the data are analyzed descriptively by different test using sample t-test to test the hypothesis. The results showed that the experimental class had better learning outcomes than the control class. Keywords: problem based learning, audiovisual media, learning outcomes, colloids.
PENDAHULUAN Masalah yang masih menjadi kendala dalam proses pembelajaran yaitu kurangnya kemampuan siswa dalam mengingat materi yang telah lalu. Hal ini mungkin disebabkan mereka belajar hanya dengan cara mengingat materi atau menghafal konsep. Hal ini mungkin dikarenakan proses pembelajaran di kelas menggunakan metode pembelajaran konvensional misalnya ceramah. Metode ceramah itu sendiri memang hanya berpusat pada satu arah yaitu guru, di mana siswa berada pada situasi duduk diam dan mendengarkan. Seperti yang diungkapkan Arrends (2007) dalam mengajar guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tetapi jarang mengajarkan bagaimana seharusnya siswa
108
menyelesaikan masalah. Keadaan seperti inilah yang membuat siswa menjadi pasif dan kurang berkembang dalam hal berpikir. Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu suatu upaya yaitu dengan mengimplementasikan suatu model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya kegiatan belajar mengajar yang kondusif. Pendekatan sistem pembelajaran yang cocok dengan kondisi tersebut yaitu dengan pembelajaran berbasis masalah, di mana pembelajaran ini merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang masalah dunia social dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanan dalam Trianto, 2009). Menurut Nurhandi (Putra, S.R 2012) pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) itu sendiri adalah proses kegiatan pembelajaran dengan cara menggunakan atau memunculkan masalah dunia nyata sebagai bahan pemikiran bagi siswa dalam memecahkan masalah untuk memperoleh pengetahuan dari suatu materi pelajaran. Meminjam pendapat Bruner (Trianto, 2009), bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Suatu konsekuensi logis, karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret, dan pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi siswa. Jadi model Problem Based Learning adalah model yang menekankan keaktifan siswa, siswa dituntut aktif dalam memecahkan masalah dan peran guru dalam model ini tidak dirancang untuk memberikan informasi sebanyakbanyaknya kepada siswa, tetapi lebih kepada pembimbing dalam memecahkan masalah. Pembelajaran dengan model Problem Based Learning ini juga dapat ditopang dengan penggunaan media, misalkan media audiovisual. Melalui media pembelajaran audiovisual, siswa ditampilkan video atau film-film pendek tentang masalah kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi. Dengan begitu siswa dapat melihat dengan jelas masalah yang terjadi dan lebih termotivasi untuk memecahkan masalah tersebut dan tujuan pembelajaran diharapkan tercapai secara optimal. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan penelitian Quasi Eksperimen dengan menggunakan model Problem Based Learning berbantuan media Audiovisual untuk mengetahu pengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi koloid di MAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2013/2014.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen (eksperimen semu) dengan rancangan penelitian nonequivalent control group design. Pada desain ini, sebelum proses pembelajaran dimulai, maka sampel diberikan tes awal yang disebut dengan pre-test. Pre-test dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam pemahaman konsep koloid sebelum diterapkan model Problem Based Learning. Setelah proses pembelajaran, maka sampel diberikan tes akhir yang disebut dengan post-test. Post-test dimaksudkan untuk mengetahui pencapaian hasil belajar setelah diterapkan model Problem Based Learning. Penelitian ini dilakukan pada dua kelompok, di mana ada kelompok yang diberi perlakuan atau biasanya disebut kelompok ekspesrimen dan kelompok lainnya sebagai kontrol Penelitian ini mulai dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2014. Penelitian dilakukan di kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014. Populasi
109
pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 3 kelas dengan jumlah 111 orang. Menggunakan teknik sampling purposive random sampling. Sampel penelitian ini adalah kelas XI IPA 2 dan XI IPA 3 MAN 1 Banjarmasin tahun ajaran 2013/2014. Di mana kelas XI IPA 2 akan menjadi kelas eksperimen yang mendapat perlakuan dengan pembelajaran model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dalam materi koloid, sedangkan kelas XI IPA 3 akan menjadi kelas kontrol yang akan melaksanakan pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning juga dalam materi koloid. Penelitian ini melibatkan dua macam variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah model pembelajaran di mana kelas eksperimen menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan kelas kontrol menerapkan pembelajaran model Problem Based Learning tanpa bantuan media. Serta variabel terikatnya adalah hasil belajar. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes dilakukan dalam dua tahap, yang pertama yaitu tes pemahaman konsep materi koloid yang terbagi dua ada pre-test dan ada post-test. Untuk tes pemahaman konsep materi koloid ini berupa soal dalam bentuk pilihan ganda sebanyak 25, dimana satu soal mempunyai satu pilihan jawaban yang benar dan empat pilihan jawaban pengecoh.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh data berupa data hasil belajar siswa dari penerapan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual pada kelas eksperimen dan penerapan model Problem Based Learning pada kelas kontrol pada materi pokok koloid. Data hasil belajar diperoleh melalui tes awal atau pre-test dan tes akhir atau post-test akan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Sedangkan data keterampilan berpikir kritis diperoleh melalui tes saat proses pembelajaran berlangsung. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar siswa terhadap materi koloid sebelum dilakukan pembelajaran dan post-test digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan perlakuan berbeda yaitu pada kelas eksperimen dengan penerapan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan kelas kontrol dengan penerapan model Problem Based Learning, apakah terdapat perbedaan atau tidak. Perhitungan analisis inferensial pre-test kelas kontrol dan eksperimen Sebelum adanya perlakuan, kelas eksperimen dan kontrol dilakukan pre-test yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal kelas eksperimen dan kontrol. Rata-rata dari data pre-test kelas eksperimen dan kontrol tersebut kemudian dilakukan uji perbedaan untuk mengetahui apakah data pre-test kedua kelas tersebut berbeda atau tidak secara signifikan. Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian data terhadap hasil pre-test untuk masing-masing kelas. Adapun frekuensi hasil data pre-test kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 10 . Tabel 1 Hasil pre-test kelas eksperimen dan kontrol Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Nilai
Frekuensi
Nilai
Frekuensi
0
-
0
-
110
4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
2 5 4 6 6 3 4 3 2
4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 48
1 4 2 7 6 3 6 4 2 -
Nilai rata-rata hasil pre-test siswa untuk kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada Gambar 1 .
Persentase nilai rata-rata
60 50 40 30 20 10 0 Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator 1 2 3 4 5 6
Gambar 1 Persentase perbandingan nilai pre-test kelas eksperimen dan kelas kontrol perindikator Gambar 1 menunjukkan bahwa kelas kontrol dan eksperimen memiliki nilai ratarata pre-test yang hampir sama yaitu dalam kategori kurang (<60%), ini menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa pada kedua kelas tersebut setara. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil uji homogenitas terhadap hasil pre-test yang menunjukkan bahwa kemampuan awal siswa pada dua kelas yang diteliti adalah homogen. Dengan demikian dapat dianggap bahwa hasil belajar dua kelas tersebut tidak akan dipengaruhi oleh kemampuan awal siswanya. Data yang telah diperoleh kemudian dihitung untuk mengetahui nilai rata-rata dan simpangan baku yang diperlihatkan pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata dan simpangan baku hasil pre-test kelas eksperimen dan kontrol
Skor terendah
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
8
8
111
Skor tertinggi
48
44
Rata-rata ( ) Simpangan baku (S)
23,43
28,23
98,8
97,7
Data post-test kelas eksperimen dan kontrol Pada akhir pembelajaran, kelas eksperimen dan kontrol dilakukan post-test. Posttest ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan akhir kelas eksperimen dan kontrol setelah adanya perlakuan. Rata-rata dari data post-test kelas eksperimen dan kontrol tersebut kemudian dilakukan uji perbedaan untuk mengetahui apakah data post-test kedua kelas tersebut berbeda atau tidak secara signifikan. Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian data terhadap data post-test untuk masing-masing kelas. Adapun hasil post-test kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil post-test kelas eksperimen dan kontrol Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Nilai
Frekuensi
Nilai
Frekuensi
40 44 48 52 56 60 64 68 72 76 80 84 88 92 100
1 1 1 4 4 6 3 2 7 2 4 -
40 44 48 52 56 60 64 68 72 76 80 84 88 92 100
1 4 5 1 3 9 9 2 1 -
Skor rata-rata hasil post-test siswa untuk kelas kontrol dan eksperimen dapat dilihat pada Gambar 2.
112
Persentase nilai rata-rata
100 90 80 70 60 50 40
Kelas Eksperimen
30
Kelas Kontrol
20 10
0 Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator Indikator 1 2 3 4 5 6 Gambar 2 Persentase perbandingan nilai post-test kelas eksperimen dan kelas kontrol perindikator Data yang telah diperoleh kemudian dihitung untuk mengetahui nilai rata-rata dan simpangan baku yang diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3 Rata-rata dan simpangan baku hasil post-test kelas eksperimen dan kontrol Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Skor Terendah
40
44
Skor Tertinggi
88
84
71,26
68,97
135
78,6
Rata-rata ( ) Simpangan Baku (S)
Hasil belajar adalah salah satu hal yang tidak bisa terlepas dari setiap pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah. Pada penelitian ini selain keterampilan berpikir kritis yang didapatkan oleh peneliti dengan menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan pembelajaran model Problem Based Learning tanpa media, juga diperoleh data nilai hasil belajar. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penelitian ini dilaksanakan melalui pembelajaran kimia kelas XI pada pokok materi koloid. Koloid merupakan salah satu materi kimia yang dirasa cukup sulit bagi siswa karena bersifat hafalan. Pembelajaran di kedua kelas dilaksanakan dengan memberi dua perlakuan yang berbeda. Pada kelas kontrol pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan model Problem Based Learning tanpa bantuan media, sedangkan pada kelas eksperimen dilaksanakan dengan menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual. Problem based learning merupakan model pembelajaran yang diharapkan mampu menumbuhkan karakter siswa serta mampu membantu siswa dalam mengatasi kesulitan memahami materi pokok koloid. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya model pembelajaran Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang memiliki 5 fase
113
pada pembelajarannya secara menyeluruh yaitu memberikan orientasi tentang permasalahan kepada siswa, mengorganisasikan siswa untuk meneliti, membantu investigasi mandiri dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses menyelesaikan masalah (Putra, S.R, 2012). Hasil penelitian data belajar siswa yang dianalasis secara deskriptif menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara siswa kelas eksperimen dan kontrol. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata pre-test dan post-test siswa pada kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 3. 80
71.26
68.97
70 60 50 40 30
28.23
23.43
20 10
0 Kelas eksperimen Pre-test
Kelas kontrol Post-test
Gambar 3 Nilai rata-rata pre-test dan post-test kelas eksperimen dan kontrol Gambar 3 secara deskriptif menunjukkan tidak ada perbedaan hasil belajar siswa bila ditinjau dari nilai antara pre-test dan post-test. Nilai daya serap pre-test pada kelas eksperimen adalah 23,43 dan pada kelas kontrol 28,23, menunjukkan tingkat kemampuan awal siswa kelompok kontrol tidak jauh berbeda dengan siswa kelompok eksperimen. Nilai daya serap post-test pada kelas eksperimen adalah 71,26 sedangkan pada kelas kontrol adalah 68,97, terlihat daya serap siswa post-test siswa kelompok eksperimen dan siswa kelompok kontrol juga tidak jauh berbeda. Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa pada kedua kelas juga dihitung dengan uji beda menggunakan uji t. Rata-rata dari data post-test kelas eksperimen dan kontrol tersebut dilakukan uji perbedaan (uji t) untuk mengetahui apakah data post-test kedua kelas tersebut berbeda atau tidak secara signifikan. Sebelum dilakukan uji perbedaan dua rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varian data terhadap data post-test untuk masing-masing kelas. Signifikan atau tidaknya perbedaan tersebut diuji dengan uji t. Hasil uji t N-gain kelas eksperimen dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji t N-gain kelas eksperimen dan kontrol Kelas
N
db = N 1
thitung
ttabel
Keterangan
Eksperimen Kontrol Jumlah
35 35 70
34 34 68
1,6
2,00
H0 diterima
114
Berdasarkan hasil uji t diperoleh harga thitung = 1,6. Harga thitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan harga ttabel untuk membuktikan hipotesis yang diajukan. Dengan menggunakan fungsi TINV() pada Microsoft Excel 2007 didapatkan harga ttabel untuk db = 68 dan α = 5% adalah ttabel = 2,00. Dari harga thitung dan ttabel yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa thitung< ttabel sehingga H0 diterima. Hal tersebut berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai post-test kelas eksperimen dan kontrol atau dengan kata lain keadaan akhir siswa kelas eksperimen dan kontrol setelah pembelajaran mempunyai pemahaman yang sama. Sebelum dan sesudah diberikan perlakuan yang berbeda pada kedua kelas, yaitu kelas eksperimen dengan penerapan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan pada kelas kontrol dengan penerapan model Problem Based Learning tanpa bantuan media, hasil uji t terhadap nilai belajar siswa sebelum perlakuan didapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan awal siswa kedua kelompok. Setelah perlakuan, hasil uji t terhadap kemampuan akhir siswa didapatkan bahwa nilai belajar siswa tidak berbeda secara signifikan antara kelas yang menerapkan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dan kelas dengan yang menerapkan model Problem Based Learning tanpa bantuan media. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang terjadi karena media yang digunakan berpengaruh tidak signifikan pada hasil belajar pada materi koloid. Di mana pemahaman siswa di kelas eksperimen yang melakukan pembelajaran menggunakan media audiovisual setara dengan kelas kontrol yang melakukan pembelajaran tanpa media. Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani, R (2013) juga menyatakan hal serupa bahwa penggunaan media audio visual melalui PBM (PBL) diketahui tidak dapat meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan. Namun data angket menunjukkan sebagian besar siswa (93,5 %) setuju bahwa penggunaan media audio visual melalui model PBM mempermudah dan membantu mereka dalam proses pembelajaran, sehingga mampu mengingkatkan aktivitas belajar siswa. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Supriadi (2013) yaitu tentang model pembelajaran Problem Based Learning berbantuan media audiovisual berpengaruh terhadap hasil belajar yang menyatakan bahwa adanya pengaruh yang signifikan media audiovisual terhadap hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan dengan model pembelajaran Problem Based Learning yang ditopang media pembelajaran audiovisual yakni dengan menayangkan suatu hal-hal yang berkaitan dengan materi pembelajaran dalam bentuk gambar-gambar dan film pendek sehingga siswa lebih tertarik dan antusias dalam mengikuti pembelajaran. Dalam pembelajaran tersebut siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri sehingga pembelajaran yang efektif dapat tercapai. Dalam penelitian ini ada baiknya peneliti mengetahui cara-cara belajar siswa yang menjadi sampel penelitian. Sehingga media yang ditetapkan akan menjadi efektif untuk digunakan. Seperti pada penelitian ini, media audiovisual tidak mempengaruhi hasil belajar siswa karena tidak semua siswa cocok belajar dengan cara audiovisual. Kelas yang menerapkan model Problem Based Learning tanpa berbantuan media bisa saja lebih fokus memecahkan masalah dengan penjelasan yang ada di lks, sehingga hasil belajar mereka menjadi setara. Dalam penelitian ini juga diduga terjadi kesenjangan pemahaman dalam memecahkan masalah, dimana kelas eksperiman dijabarkan melalui media audiovisual, sedangkan penjabaran masalah melalui LKS bisa jadi lebih jelas maksud dan tujuannya. Video yang ditayangkan bisa jadi kurang sesuai dengan soal-soal yang ada di post-test hingga siswa kemudian kesulitan dalam menyelesaikannya dengan baik dan benar.
115
Problem Based Learning memiliki beberapa kelebihan namun model pembelajaran ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan pada pembelajaran model Problem Based Learning ini yaitu memerlukan waktu relatif lebih lama, ditambah dengan video pembelajaran sebagai orientasi masalahnya. Pembelajaran Problem Based Learning juga tidak dapat mengajarkan siswa secara mendalam keseluruhan konsep pada materi pelajaran itu sendiri. Secara keseluruhan model Problem Based Learning berbantuan media audiovisual dikatakan dapat diimplementasiakan pada pembelajaran kelas XI materi pokok koloid.
SIMPULAN Hasil penelitian yang telah dilakukan di kelas XI IPA MAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2013/2014 menunjukan berpengaruh penggunaan model Problem Based Learning berbantuan media Audiovisual tidak signifikan terhadap hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard. 2007. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Putra, S.R. 2012. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Diva Press, Jember. Ramadhani, R. 2013. Pengaruh Media Audio-visual Melalui Model PBM Terhadap Aktivitas Dan Hasil Belajar Siswa. Bandar Lampung: UNILA. Supriadi, I. 2013. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Berbantuan Media Audiovisual Berpengaruh Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Gugus Ubud Gianyar. Mimbar PGSD e-journal vol. 1. Trianto. 2009. Mendesain Model-Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Kencana, Surabaya.
116
MODEL PEMBELAJARAAN IDEAL PROBLEM SOLVING BERBANTUAN PETA KONSEP UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS IDEAL Problem Solving Learning Model with Concept Mapping to Increase Critical Thinking Skill Arif Sholahuddin1 , Ricka Farsa Marindu1* Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM, Jalan Bridgen H. Basri, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak.Telah dilakukan penelitian penerapan model pembelajaran IDEAL Problem Solving berbantuan peta konseppada materi Hukum-hukum Dasar Kimia dan Stoikiometri untuk meningkatkan (1) aktivitas guru, (2) aktivitas siswa, (3)kemampuan berpikir kritis, (4)hasil belajar kognitif siswa. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan 2 siklus. Masing-masing siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, serta refleksi. Subjek penelitian, yaitu 33 siswa kelas X MIA 5 SMA Negeri 2 Banjarmasin. Instrumen penelitian berupa lembar observasi, tes hasil belajar kognitif dan tes kemampuan berpikir kritis. Data dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terjadi aktivitas guru meningkat dari 55,83 (baik) pada siklus Imenjadi 64,83 (sangat baik) pada siklus II;(2) aktivitas siswa meningkat dari 43,33 (cukup aktif) pada siklus Imenjadi 52,17 (aktif) pada siklus II; (3) kemampuan berpikir kritis meningkat dari 49,45% (cukup kritis) pada siklus Imenjadi 72,47% (kritis) pada siklus II; dan(4) hasil belajar kognitif meningkat dari 54,55 (tidak tuntas)pada siklus Imenjadi 77,78 (tuntas) pada siklus II. Kata kunci:IDEAL Problem Solving,peta konsep, kemampuan berpikir kritis, hukumhukum dasar kimia, stoikiometri. Abstract.Implementation of IDEAL Problem Solvinglearning model with mind map on The Laws of chemistry and Stoichiometry have studied. The aims of the research are to increase (1) teacher activity, (2) student activity, (3)critical thinking skill, and (4) learning outcomes of cognition. The study used a classroom action research design consisting of two cycles.Each cycle consist of planning, acting, observing, and reflecting. The subjects of this study were 33 students of class X MIA 5SMA Negeri 2 Banjarmasin. The research’s instrument were observation sheets, cognition learning outcomes test, and critical thinking skill test.Data analyzed quantitativelyas well as qualitatively. The results showed that (1) teacher activity increase from 55,83 (good) on first cycle to 64,83(excellent) on second cycle; (2) student activity increase from 43,33(average)on first cycle to52,17 (active) on second cycle; (3) critical thinking skill increase from 49,45% (average) on first cycle to 72,47% (critical) on second cycle; and (4) learning outcomes of cognition increase from 54,55 (uncomplete) on first cycle to 77,78(complete) on second cycle. Keywords: IDEAL Problem Solving, mind map, critical thinking skill, the laws of chemistry, stoichiometry.
PENDAHULUAN Potret pendidikan tanah air saat ini gawat darurat, karena data Kemendikbud mencatat bahwa pendidikan di Indonesia menunjukkan hasil buruk (Prasetyaning, 2014). Selain itu, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah dibandingkan negara-negara anggota ASEAN (Susanti, 2016). Lembaga Programme for International Study Assessment (PISA) 2015 menunjukkan bahwa literasi sains siswa Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara (PISA, 2015). Data lainnya menunjukkan terjadi penurunan signifikan hasil Ujian Nasional (UN) mata pelajaran Kimia diselenggarakan pada tingkat SMA/MA antara tahun 2012 ke
117
tahun 2013, kemudian kembali terjadi pada tahun 2014 (Kemendibud, 2014). Hal ini mengindikasikan kemampuan memecahkan masalah siswa Indonesia masih lemah. Kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah disebabkan pola pembelajaran masih didominasi paradigma teaching (teacher-centered), non-konstruktivistik. Padahal, paradigma learning (students-centered) diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan terkonstruksi dengan baik, sehingga siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik untuk menghadapi tantangan di dunia kerja. Kimia sebagai salah satu mata pelajaran kelompok IPA dikatakan menakutkan karena siswa harus memahami konsep secara keseluruhan untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, kesulitan pembelajaran kimia di SMA Negeri 2 Banjarmasin, yaitu kurangnya kemampuan siswa menghubungkan antar konsep kimia, menganalogikan zat dengan ukuran kecil dalam kehidupan sehari-hari, lemahnya penguasaan konsep dasar, serta waktu pembelajaran tidak efektif. Oleh karena itu, siswa kehilangan motivasi belajar untuk melibatkan kemampuan berpikirnya, terutama memecahkan masalah. Kemampuan berpikir dan motivasi dapat ditingkatkan dengan pembelajaran bermakna. Pembelajaran bermakna mendorong siswa memahami dengan jelas tentang konsepkonsep, bahkan mengoreksi penyampaian konsep yang salah. Pembelajaran bermakna dapat disajikan dalam permasalahan yang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, diantaranya berpikir kritis, terutama untuk siswa SMA yang memiliki kemampuan berpikir kritis tergolong rendah (Utami, Saputro, Ashadi, & Masykuri, 2017). Pembelajaran bermakna dilaksanakan untuk mengembangkan cara berpikir siswa melalui pemecahan masalah, salah satunya kemampuan berpikir kritis (Espinosa, España, & Marasigan, 2016). Kemampuan berpikir kritis digunakan untuk menentukan keputusan berdasarkan fakta, pertimbangan pandangan alternatif, serta hipotesis (Nelson, Palonsky, & McCarthy, 2007). Pemecahan masalah mendorong siswa berpendapat dengan mempertimbangkan lainnya, sehingga mengembangkan kepercayaan diri, pemikiran yang terbuka dan memahami keputusan terbaik (Thomas, 2011). Salah satu model pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar melalui pemecahan masalah, yaitu IDEAL Problem Solving oleh Bransford & Stein (Indriyani, 2016; Prasetya, Kartono, & Widodo, 2012). Model ini menekankan pada penggunaan metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur dan teliti untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif, serta memecahkan masalah dengan rasional, lugas dan tuntas. IDEAL merupakan singkatan dari I-Identify problem, D-Develop and define goal, E-Explore possible strategies, A-Anticipate outcomes and acts, L-Look back and learn. Peta konsep memberikan ide-ide pokok yang mendukung tujuan pembelajaran (Angeli & Valanides, 2015) sebab membentuk kerangka pemikiran, serta menghubungkannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penyelidikan (Daley, 2010). Kesuksesan seseorang dalam menyelesaikan pemecahan masalah bergantung pada cara berpikir dan teknik melakukannya. Jika siswa mampu menyelesaikan masalah, berarti siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memahami masalah yang dihadapi, menyusun strategi yang mungkin untuk menyelesaikan masalah, lalu mengevaluasinya. Proses mengevaluasi strategi yang telah dirancang dapat dilakukan jika siswa mengetahui kedudukan konsep dalam materi pelajaran. Oleh sebab itu, peta konsep dapat menjadi media efektif secara ringkas dan praktis yang menata cara berpikir siswa menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya. Peta konsep mengikuti pola pemikiran otak, sehingga memudahkan dalam mengingat dan memahaminya secara benar. Metode ini mampu menuntun kemampuan siswa berpikir kritis dalam mengantispasi hasil tindakan pada penerapan model IDEAL Problem Solving. Penggunaan peta konsep pada model Pembelajaran IDEAL Problem Solving diterapkan pada tahap A- Anticipate outcomes and act (mengantisipasi hasil dan tindakan). Berdasarkan uraian diatas, penulis menyakini kemampuan berpikir kritis mampu meningkatkan pemahaman siswa dan motivasi siswa dalam memahami materi HukumHukum Dasar Kimia dan Stoikiometri secara bermakna. Penggunaan Model IDEAL Problem Solving dengan bantuan peta konsep untuk mengantisipasi hasil dan tindakan diharapkan
118
mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar pada kelas X MIA 5 SMAN 2 Banjarmasin Tahun Ajaran 2016/2017. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research) berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan (Suhardjono, Arikunto, & Supardi, 2012). Tahapan penelitian setiap siklus, yaitu perencanaan (Planning), tindakan (Action), pengamatan (Observing) dan refleksi (Reflecting). Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 siklus mulai tanggal 9 Maret hingga 10 Mei 2017 di SMA Negeri 2 Banjarmasin. Subjek penelitian ini yaitu siswa X MIA 5, terdiri dari 21 siswi dan 12 siswa. Pelaksanaan setiap siklus terdiri dari 2 pertemuan (2 x 3 x 45 menit) dan tes akhir siklus (2 x 45 menit). Adapun perangkat penelitian meliputi silabus, RPP, LKS, lembar observasi, serta instrumen yang telah divalidasi. Instrumen penelitian berupa instrumen tes untuk kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar; serta instrumen non tes untuk aktivitas guru dan siswa. Penilaian data kuantitatif menggunakan skala likert 1-5. Adapun penilaian aktivitas guru, sebagai berikut: skor 15-26 (sangat kurang); 27-38 (kurang); 39-50 (cukup); 51-62 (baik); serta 63-75 (sangat baik). Sedangkan, penilaian aktivitas siswa, yaitu skor 13-23 (sangat kurang); 24-34 (kurang); 35-45 (cukup); 46-56 (baik); serta 57-65 (sangat baik). Sedangkan, penilaian terhadap data kualitatif berdasarkan nilai yang didapatkan dengan menggunakan skala 0-100. Penilaian hasil belajar kognitif siswa dikatakan tuntas jika nilainya ≥ 70. Sedangkan penilaian kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu skor 0-20 (tidak kritis); 21-40 (kurang kritis); 41-60 (cukup kritis); 61-80 (kritis); serta 81-100 (sangat kritis). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan peta konsep sebagai alat bantu dalam mengevaluasi langkah strategi pemecahan masalah IDEAL Problem Solving, yaitu pada tahap AAnticipate outcomes and acts. Pelaksanaan penelitian siklus II disebabkan siklus I belum mampu memecahkan permasalahan kelas, sehingga dilanjutkan pada siklus berikutnya yang mengacu pada hasil refleksi. Hasil refleksi siklus I, yaitu memberikan apersepsi secara sederhana dan mudah dipahami; menyesuaikan kelompok belajar dengan komunitas pertemanan; menyertakan petunjuk yang rinci pada LKS; mendorong partisipasi aktif setiap siswa; mengendalikan kelas saat diskusi; membimbing dengan efektif dalam penarikan kesimpulan; serta mempertimbangkan efisiensi waktu. Aktivitas guru telah mencapai baik sesuai indikator keberhasilan siklus sejak siklus I. Akan tetapi, peningkatan ini tidak diikuti tercapainya tujuan penelitian lainnya. Siklus II menunjukkan aktivitas semakin meningkat sebab penyajian masalah yang mudah dipahami dan menarik memotivasi siswa memecahkan masalah (Purnomo & Mawarsari, 2014), serta keahlian menggunakan LKS dengan benar (Takahashi, 2016). Selain itu, bimbingan dengan waktu yang lebih lama (membaca) menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan memberikan penyelesaian soal (Kizilirmak, Wiegmann, & Richardson-Klavehn, 2016). Peningkatan aktivitas guru disajikan pada Gambar 1.
70 60
54.33
57.33
66.33 63.33
Skor
50 40
Pertemuan 1
30
Pertemuan 2
20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 1. Aktivitas guru pada siklus I dan siklus II
119
Aktivitas siswa meningkat dari skor rata-rata 44,33 (cukup aktif) menjadi 52,17 (aktif), sehingga telah mencapai indikator keberhasilan. Menurut Prasetya, Kartono, & Widodo (2012) model pembelajaran IDEAL Problem Solving meningkatkan pemecahan masalah yang tinggi yang berakibat pada ketuntasan belajar yang lebih baik. Pembelajaran ini menuntut siswa aktif diskusi, bertanya dan menjawab, serta memaparkan jawaban dengan semangat dan percaya diri. Selain itu, lingkungan yang mendukung kerjasama juga memotivasi siswa aktif terlibat dalam kelompok dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis (Zhou, Huang, & Tian, 2013). Siswa telah membuat peta konsep dengan benar, sehingga mampu membuat kerangka pemikiran dan menjawab pertanyaan penyelidikan (Daley, 2010), serta mendorong siswa memahami keseluruhan materi (Yunita, Sofyan, & Agung, 2014) Peningkatan aktivitas siswa disajikan pada Gambar 2.
Skor
60 40
46.33 40.33
50
54.33 Pertemuan 1 Pertemuan 2
20 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 2. Aktivitas siswa pada siklus I dan siklus II
Keberhasilan peningkatan pada siklus II dipengaruhi oleh hasil refleksi pada siklus I. Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan menargetkan kualitas tugas maupun masalah yang didiskusikan, meningkatkan peran siswa dalam diskusi kelompok, serta memberikan umpan balik yang tepat (Tiruneh, Verburgh, & Elen, 2014). Model IDEAL Problem Solving mendorong siswa mengemukakan ide, berpikir sistematis dan logis sesuai data (Indriyani, 2016). Kesempatan siswa berpendapat juga meningkat kepercayaan diri, pemikiran terbuka, dan memahami keputusan yang baik (Thomas, 2011), termasuk indikator menyimpulkan, baik secara induktif maupun deduktif (Papathanasiou, Kleisiaris, & Fradelos, 2014). Peningkatan kemampuan berpikir kritis disajikan pada Gambar 3. 100
Nilai (%)
80
78.11
77.44
68.18
64.31
70.03
57.24
60
41.08 40
Siklus I Siklus II
31.31
20
0 A
B
C
D
Gambar 3. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa siklus I dan siklus II Keterangan: A = memfokuskan pertanyaan B = memutuskan suatu tindakan C = mengobservasi dan mempertimbangkan laporan observasi D = menginduksi
Keberhasilan peningkatan hasil belajar kognitif secara klasikal dipengaruhi oleh ini disebabkan proses yang dilalui siswa, guru berperan membimbing dan memfasilitasi (Sanjaya, 2013), serta hasil refleksi siklus I. Selain itu, sifat materi siklus I bersifat konseptual lebih sulit dipahami dibandingkan prosedural, salah satunya hukum-hukum dasar kimia (Purnomo & Mawarsari, 2014). Peta konsep tidak berjalan efektif pada siklus I, sehingga siswa tidak mengorganisir pengetahuannya dengan kaitan yang jelas (Pohan, 2013). Siswa
120
juga belum memiliki konsep dasar yang memadai, sehingga pemecahan masalah menjadi terkendala (Wah & Girl, 2000). Ketuntasan secara klasikal pada siklus I disajikan pada Gambar 4.
48.49% 51.51%
Tuntas Belum Tuntas
Gambar 4. Nilai ketuntasan hasil belajar kognitif siswa pada siklus I
Pencapaian hasil belajar kognitif siklus II mencapai indikator keberhasilan, yaitu melebihi 70%. Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan objek penelitian diikuti juga oleh hasil belajar siswa. Siswa mampu menghadapi permasalahan dengan berbagai jalan sebab penyajian permasalahan yang sesuai (Ersoy, 2016). Pembelajaran stoikiometri yang melibatkan proses berpikir dalam memecahkan masalah menjadikan siswa belajar secara mandiri membangun pengetahuan mereka dengan melibatkan kemampuan berpikir kritis (Espinosa, España, & Marasigan, 2016), serta kepercayaan diri yang baik (Papathanasiou, Kleisiaris, & Fradelos, 2014).
21.21%
Tuntas 78.79%
Belum Tuntas
Gambar 5. Nilai ketuntasan hasil belajar kognitif siswa pada siklus II
Karakteristik materi pembelajaran mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Stoikiometri sebagai topik utama dalam pembelaran memerlukan penguasaan hukum-hukum dasar sebagai konsep awal. Stoikiometri menjadi istilah yang asing bagi siswa. Ketika dianalogikan sebagai ‘aljabar” di kimia, maka siswa bisa membayangkan pentingnya materi ini, beserta kesulitannya, penggunaan istilah Perhitungan Kimia lebih membantu. Hal ini penting membentuk motivasi siswa dalam mempelajari materi kimia, serta ketahanan siswa dalam menyelesaikan soal yang disajikan. Selain itu, materi ini menuntut pemahaman algoritmik dan konsep, sehingga kemampuan matematis dan menganalogikan sesuatu penting dalam memahami kimia. Siswa sulit menemukan hubungan antar hukum-hukum dasar kimia, padahal hukum yang satu didasari oleh hukum yang lainnya, seperti hukum kekekalan massa yang mendasari hukum perbandingan tetap. Selain itu, peta konsep tidak efektif untuk mengorganisir pengetahuan dalam mengaitkan hukum-hukum dasar kimia secara jelas, sebab siswa belum terbiasa dengan strategi ini dan kurangnya keahlian dalam menggunakannya dengan baik. Percobaan hukum kekekalan massa membuat siswa kehilangan fokus mendapatkan informasi yang diperlukan, akibatnya kelas kurang terkendali, terutama saat praktikum dan presentasi berlangsung. Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kritis tergantung terhadap kemampuannya dalam memotivasi siswa, peduli terhadap pemahamannya, serta kegiatan refleksi (Zhou, Huang, & Tian, 2013). Selain itu, kesulitannya juga terletak pada
121
cakupan materi yang mengingat bunyi hukum keberhasilan (Purnomo & Mawarsari, 2014). Siswa kesulitan mempelajari rumus kimia disebabkan kurangnya pengetahuan awal tentang rumus kimia suatu zat, termasuk zat sehari-hari yang sering dijumpai. Meskipun demikian, pembelajaran materi ini berhasil dituntaskan sebab terdapat sedikit pengetahuan awal yang membantu siswa membangun pengetahuannya berdasarkan informasi yang telah diterima (Kizilirmak, Wiegmann, & Richardson-Klavehn, 2016). Adanya kolaborasi yang baik menciptakan lingkungan yang mendukung setiap individu dalam bekerja secara mandiri dan di dalam kelompok (Senthamarai, Sivapragasam, & Senthilkumar, 2016; Zhou dkk., 2013). Persamaan reaksi mudah dipahami dan dianalogikan dengan konsep jungkat-jungkit untuk mempertahankan jumlah masing-masing ruas. Ditinjau jenis pemahamannya, materi ini didominasi oleh kemampuan algoritmik. Siswa harus terlatih dalam memberikan koefisien yang benar, sehingga jumlah unsur yang terlibat sama besarnya. (1) Al(s) + HCl(aq) AlCl3(aq) + H2(g). (2) C2H6 + O2 CO2 + H2O Berdasarkan reaksi tersebut, siswa dengan mudah memahami penyetaraan reaksi (1). Akan tetapi, siswa memerlukan pemantapan konsep ketika disungguhkan reaksi yang lebih rumit seperti reaksi (2). Hal ini dikarenakan penggunaan pecahan yang belum terbiasa dilakukan siswa, serta penguasaan kimia dalam menggunakan operasional matematika secara sederhana. Siswa tidak bisa memahami penyelesaian masalah yang dijelaskan pada LKS, siswa memerlukan bimbingan dan latihan tentang penyetaraan reaksi. Hal ini juga disebutkan dalam penelitian Takashahi (2016) bahwa pengajaran menggunakan buku teks memerlukan pengetahuan dan keahlian dalam menggunakannya selama proses pembelajaran. Siswa memerlukan penjelasan tentang alur transfer informasi dengan media LKS. Kesulitan dalam penyetaraan reaksi bisa teratasi dengan soal penyetaraan pada subbab berikutnya tentang perhitungan yang juga memerlukan kemampuan menyetarakan reaksi. Akan tetapi, kemampuan siswa yang bervariasi memberikan perbedaan kecepatan menyelesaikan masalah, sehingga siswa pintar masih mendominasi kinerja kelompok, terlihat dari hasil tes siklus I maupun siklus II jika dikumpulkan berdasarkan kelompok. Hal ini juga sebanding dengan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang memiliki pemahaman yang baik didominasi oleh siswa perempuan, tapi belum cukup data untuk menyimpulkan bahwa siswa laki-laki lebih lamban dalam berpikir kritis seperti penelitian Duran (2016) terhadap kemampuan memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan jumlah siswa perempuan memang lebih banyak, sehingga peluang siswa yang aktif dan pintar didominasi oleh siswa perempuan. Alasan yang mendukung perbedaan tiap siswa dikarenakan oleh pengetahuan awal yang dimiliki dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Siswa yang memiliki penguasaan konsep-konsep pendahuluan yang baik menunjukkan hasil yang baik pula (Tiruneh dkk., 2014). Konsep mol mendasari perhitungan kimia. Pada penelitian ini, konsep diolah dalam bentuk peta konsep, sedangkan pada materi perhitungan menerapkan peta konsep yang telah dibuat. Pada saat pembelajaran konsep mol, siswa belum memahami secara bermakna peta konsep yang telah diolahnya. Siswa memiliki pengetahuan awal saat mempelajari perhitungan kimia yang membantu mereka membangun pengetahuan secara mandiri. Kemampuan berpikir kritis siswa dalam memecahkan masalah telah terbentuk dengan baik saat mempelajari konsep ini. Penggunaan perangkat pembelajaran yang sesuai meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang berakibat pada kemampuan berpikir secara logis (Seyhan, 2015). Selain itu, berlangsungnya pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan pemahaman kimia berbasis peta konsep (Santoso & Supriadi, 2014) sebagai alat evaluasi untuk melihat kesesuaian konsep. Menurut Espinosa dkk. (2016) pembelajaran stoikiometri harus melibatkan proses berpikir dalam memecahkan masalah, sehingga siswa mampu secara mandiri membangun pengetahuan mereka dengan melibatkan kemampuan berpikir kritis. Pemberian waktu yang lebih banyak (membaca) bagi siswa lebih membantu meningkatkan
122
kemampuan memecahkan masalah dibandingkan penyajian langkah penyelesaian masalah (Kizilirmak dkk., 2016). Pembelajaran materi ini melibatkan percobaan untuk mengetahui sifat senyawa yang mengikat sejumlah molekul air (H2O) di dalam strukturnya. Perubahan jumlah zat air yang terikat akibat pemanasan menyebabkan perubahan warna. Siswa antusias melakukan percobaa ini, tapi siswa memerlukan penguatan materi dalam menghitung jumlah kristal. Pemahaman algoritmik dan ketuntasan pemahaman tentang rumus kimia mempengaruhi keberhasilan siswa. Pencapaian ketuntasan indikator pembelajaran ini tertinggi dibandingkan indikator pembelajaran lainnya, baik pada siklus I dan siklus II. Hal ini menunjukkan pemahaman konsep tentang kristal yang dilakukan melalui percobaan berhasil meningkatkan hasil belajar dan kemampuan bepikir kritis siswa (Seyhan, 2015). Akan tetapi, pencapaian kemampuan berpikir kritis untuk indikator 3 dan 4 masih rendah menunjukkan adanya kesulitan siswa dalam mempelajari materi ini. Pemecahan masalah memerlukan siswa dengan pemikiran terbuka, berdedikasi, dan bertanggungjawab (Wah & Girl, 2000). Saat pembelajaran dalam kelompok, kelompok masih didominasi oleh beberapa siswa yang unggul, sehingga peningkatkan kemampuan mengevaluasi dan menyimpulkan belum mencapai hasil yang memuaskan, meskipun telah berada dalam kategori kritis. Meskipun begitu, pembelajaran dengan kemampuan berpikir kritis ini mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa (Papathanasiou dkk., 2014; Zhou dkk., 2013). Ditinjau dari pelaksanaan model pembelajaran IDEAL Problem Solving, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan mencakup kesulitan dan kemudahan dalam penerapan model pembelajaran IDEAL Problem Solving dengan berbantuan peta konsep. Misalnya, pada tahap mengidentifikasi masalah, masalah yang disajikan dalam LKS harus menggunakan bahasa yang sederhana, serta mudah dipahami oleh siswa. Kesulitannya terletak saat memilih permasalahan yang mudah, tapi tetap sesuai dengan konteks materi ajar kimia. Permasalahan berdasarkan kehidupan sehari-hari dalam kimia menarik, tapi memerlukan usaha yang lebih keras untuk mengemasnya secara sederhana. Hal ini terlihat dari permasalahan balon udara mengetahui hukum-hukum gas yang berlaku, angka sebenarnya seringkali menuntut perhitungan yang lebih rumit, baik dalam angka desimal maupun ribuan. Selain itu, siswa seringkali tidak terfokus terhadap permasalahan, sebab lebih tertarik pada hal-hal yang baru diketahui dalam masalah yang disajikan. Siswa juga terbiasa menemukan permasalahan dengan indikasi tanda tanya dalam soal, sehingga beberapa siswa mengalami keraguan dalam menyakini permasalahan tersebut. Akan tetapi, walaupun penyelesaian masalah memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengidentifikasi, siswa terpacu untuk menggunakan kemampuan berpikir kritis. Siswa mampu melihat permasalahan yang terdapat dalam teks soal. Permasalahan yang disajikan juga mampu memberikan informasi baru kepada siswa, meski memerlukan penjelasan panjang agar siswa dapat mengidentifikasi masalah. Hal yang sama juga terdapat dalam pelaksanaan tahapan model pembelajaran IDEAL Problem Solving yang lain, terutama pada saat menentukan tujuan; menganalisis hasil dan tindakan. Siswa tidak terbiasa dalam menuliskan tujuan, padahal hal ini merupakan kunci dari pemecahan masalah. Tujuan yang berbeda akan menghasilkan strategi yang berbeda. Siswa terpaku untuk menuliskan kembali permasalahan seperti tahap pertama dalam kalimat penyataan. Kurangnya percaya diri juga menjadi kesulitan dalam melaksanakan tahap ini, bahkan beberapa siswa enggan untuk menuangkan pemikirannya dalam penetapan tujuan. Tahap ini banyak melibatkan kemampuan berpikir, sehingga siswa seringkali kehilangan motivasi dalam menyelesaikannya. Namun, langkah ini juga mampu membuat siswa terorganisir dalam memecahkan permasalahan. Tujuan membuat strategi mudah dijalankan. Selain itu, siswa mendapatkan keterampilan untuk menentukan tujuan yang sesuai, lalu mengurutkan tujuan untuk memecahkan permasalahan. Siswa mampu melaksanakan strategi berdasarkan tujuan untuk memecahkan masalah. Strategi membuat siswa mengerti permasalahan secara keseluruhan, sebagian besar siswa
123
tidak pernah melewatkan tahap ini. Hal ini menunjukkan kegiatan ekplorasi strategi yang mungkin mampu mendorong siswa berpikir kritis dengan memutuskan tindakan. Selain itu, siswa terdorong untuk bekerja sama ketika melaksanakan tahap ini, sebab terdapat beberapa tujuan yang pelaksanaannya bisa dikerjakan masing-masing, lalu hasilnya digunakan untuk memecahkan masalah. Meskipun, terdapat kendala, salah satunya kemampuan siswa yang beragam dalam berpikir, mulai dari cepat berpikir hingga menunggu mendapatkan jawaban dari teman lainnya. Strategi ini memerlukan usaha yang lebih keras dalam berpikir, sehingga seringkali menurunkan keinginan siswa melanjutkan tahap selanjutnya. Beberapa selingan diperlukan saat melaksanakan tahap ini, apresiasi pun harus dipacu untuk memotivasi siswa. Selain itu, terkadang siswa yang mendominasi pemecahan masalah mengakibatkan turunnya aktivitas siswa yang memiliki kemampuan berpikir lebih rendah. Pada umumnya, proses mencari jawaban berhenti hingga tahap ketiga, tapi penambahan dua tahap terakhir dalam IDEAL Problem Solving mampu mendorong siswa memproses informasi secara kritis, tidak gampang puas dengan satu jawaban, lalu dapat memiliki keyakinan terhadap jawabannya. Siswa yang mengantisipasi hasil melalui peta konsep, lalu bertindak dengan menggunakan analisis data. Hal ini membuat siswa mampu melihat kedudukan setiap konsep dalam sebuah bagan, lalu mengkoreksi kembali strategi pemecahan masalah. Hal ini tampak sederhana sebab siswa telah menyelesaikan permasalahan dalam strategi yang ditulis pada tahap sebelumnya. Akan tetapi, bahkan pada hasil siklus II, terdapat beberapa siswa yang belum menyelesaikannya dengan baik. Sedangkan, pada saat tes siklus I, siswa yang melewati tahap ini atau melontarkan jawaban yang tidak sesuai. Guru perlu memfokuskan perhatian mereka untuk mempertimbangkan hasil observasi dalam mengantisipasi selama pembelajaran dan menunjukkan manfaat dari pelaksanaan tahap ini dalam menyelesaikan masalah. Kegiatan pemecahan masalah diakhiri dengan penarikan kesimpualan dari penyelesaian masalah yang telah dilakukan. Siswa dapat bekerja keras terhadap belajar dan melihat kebenaran konsep yang dipelajari. Meskipun, kegiatan ini memerlukan pemusatan perhatian dan juga pengaturan waktu yang tepat, sebab siswa seringkali masih malu dan raguragu dalam melakukan presentasi. Kegiatan presentasi yang bertujuan untuk melihat langkah pemecahan masalah dari kelompok lain mampu membuat siswa dapat berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan secara rinci sesuai metode ilmiah tentang proses pemecahan masalah. Siswa dapat menginduksi dengan baik seiring dengan peningkatan kemampuan berpikir kritis. Model pembelajaran IDEAL Problem Solving pada materi hukum-hukum dasar kimia dan stoikiometri meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif melalui diskusi, presentasi serta praktikum. Penerapan model ini memerlukan penekanan untuk memotivasi siswa, membentuk lingkungan belajar yang nyaman, serta materi yang mudah dipahami secara sederhana. Selain itu, hal yang mempengaruhi pembelajaran materi ini diantaranya komunitas belajar, pengetahuan awal, serta waktu yang cukup untuk memecahkan masalah. SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa (1) aktivitas guru meningkat dari 55,83 (baik) menjadi 64,83 (sangat baik); (2) aktivitas siswa meningkat dari 43,33 (cukup aktif) menjadi 52,17 (aktif); (3) kemampuan berpikir kritis meningkat dari 49,45% (cukup kritis) menjadi 72,47% (kritis); dan (4) hasil belajar kognitif meningkat dari 54,55% menjadi 77,78%. Selain itu, hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa model pembelajaran IDEAL Problem Solving dapat digunakan sebagai alternatif meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada materi hukum-hukum dasar kimia dan stoikiometri atau materi yang memilki karakteristik yang hampir sama. Akan tetapi, model pembelajaran ini memerlukan perencanaan dan pelaksanaan dengan waktu yang efektif, terutama pelaksanaan tahapan mengantisipasi tindakan dan hasil, serta tahap melihat kembali
124
dan belajar. Pembelajaran ini sebaiknya memperhatikan komunitas belajar siswa di kelas, memastikan ketuntasan konsep pendahuluan, kemampuan matematis, serta menyediakan waktu mengekplorasi yang cukup. DAFTAR PUSTAKA Angeli, C., & Valanides. (2015). Technological pedagogical content knowledge: Exploring, developing, and assessing TPCK. New York: Springer. Arikunto, S. (2015). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (2nd ed.). Jakarta: Bumi Aksara. Bransford, J. D., Haynes, A. F., Stein, B. S., & Lin, X. (1998). The IDEAL Workplace: Strategies for Improving Learning, Problem Solving, and Creativity. NashvilleREAD. Nashville: ERIC. Bransford, J. D., Sherwood, R. D., & Sturdevant, T. (1984). Teaching Thinking and Problem Solving. George Peabody Coll. for Teachers, Nashville, TN. Learning Technology Center. Nashville: ERIC. Daley, B. J. (2010). Concept maps: Practice applications in adult education and human resource development. New Horizons in Adult Education and Human Resource Development, 24(2), 30-36. Dikdasmen. (2015). Panduan Penilaian untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dimyati, & Mudjiono. (2013). Balajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Duran, M. (2016). An Academic Survey Concerning High School and University Students’ Attitudes and Approaches to Problem Solving in Chemistry. International Journal of Environmental & Science Education, 11(5), 819-837. English, L., Lesh, R., & Fennewald, T. (2008, July 6). Future Directions and Perspectives for Problem Solving Research and Curriculum Development. Retrieved January 18, 2017, from QUT: http://eprints.qut.edu.au/ Ersoy, E. (2016). Problem solving and its teaching in mathematics. The Online Journal of New Horizons in Education, 6(2), 79-87. Espinosa, A. A., España, R. C., & Marasigan, A. C. (2016). Investigating pre-service chemistry teachers’ problem solving strategies: Towards developing a framework in teaching stoichiometry. Journal of Education in Science, Environment and Health, 2(2), 104-124. Filsaime, D. K. (2008). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. (S. ME, Ed.) Jakarta: Pretasi Pustakarya. Indriyani, R. W. (2016). Penerapan model pembelajaran IDEAL problem solving dalam menyelesaikan masalah matematika pada materi keliling dan luas persegi panjang dan persegi bagi siswa kelas VII SMP. MATHEdunesa, 2(5), 100-108. Jegede, S. C. (2007). The Effect of Problem-Solving Technique on Students' Competence in Tackling Chemical Problems. Research Journal of Applied Sciences, 2(7), 801-803. Kemendibud. (2014). Laporan hasil ujian nasional tahun 2014. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan- Balitbang Kemdikbud. Kizilirmak, J. M., Wiegmann, B., & Richardson-Klavehn, A. (2016). Problem solving as an encoding task: A special case of the generation effect. Journal of Problem Solving, 9, 59-76. Nelson, J. L., Palonsky, S. B., & McCarthy, M. R. (2007). Critical issues in education (6th ed.). New York: McGraw-Hill. Novak, J. D., & Cañas, A. J. (2006, December 12). The Theory Underlying Concept Maps and How to Construct Them. Retrieved January 11, 2017, from Florida Institute for Human and Machine Cognition (IHMC): http://cmap.ihmc.us/Publications/ResearchPapers/TheoryUnderlyingConceptMaps .pdf
125
Papathanasiou, I. V., Kleisiaris, C., & Fradelos, E. (2014). Critical thinking: The development of an essential skill for nursing students. ACTA INFORM MED, 22(4), 283-286. Petrucci, R. H., Harwood, W. S., Herring, F. G., & Madura, D. J. (2011). Kimia Dasar: Prinsip-Prinsip dan Aplikasi Modern. Jakarta: Erlangga. PISA. (2015). Programme for international student assessment. Retrieved Desember 5, 2016, from http://pisa.gc.id Pohan, L. A. (2013). Penggunaan strategi peta konsep (concept mapping) sebagai upaya peningkatan hasil belajar kimia siswa. Keguruan, 1(1), 67-72. Prasetya, A., Kartono, & Widodo, A. T. (2012). Model IDEAL Problem Solving untuk Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah di Kelas Olimpiade. Lembaran Ilmu Kependidikan, XLI(1), 1-6. Purnomo, E. A., & Mawarsari, V. D. (2014). Peningkatan kemampuan pemecahan masalah melalui model pembelajaran IDEAL problem solving berbasis project based learning. JKPM, 1(1), 24-31. Ratumanan, T. G., & Laurens, T. (2006). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press. Ratumanan, T. G., & Laurent, T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press. Rusman. (2016). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (2nd ed.). Jakarta: Rajawali Press. Sani, R. A. (2013). Inovasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Sanjaya, W. (2013). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Santoso, T., & Supriadi. (2014). Pembelajaran penalaran argumen berbasis peta konsep. Prosiding Seminar Nasional Kimia (pp. 134-143). Surabaya: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya. Santrock, J. W. (2010). Psikologi Pendidikan (2nd ed.). (T. Wibowo, Trans.) Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Senthamarai, K., Sivapragasam, C., & Senthilkumar. (2016). A study on problem solving ability in mathematics of IX standard students in Dindigul district. International Journal of Applied Research, 2(1), 797-799. Seyhan, H. G. (2015). The effects of problem solving applications on the development of science process skills, logical thinking skills and perception on problem solving ability in science laboratoty. Asia-Pasific Forum on Science Learning and Teaching, 16(2), 1-31. Siswanto, B., Waluya, B., & Wardono. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Pembelajaran IDEAL Problem Solving-Konstruktivisme Berorientasi Pendidikan Karakter. Unnes Journal of Mathematics Education Research, II(2), 95-100. Slavin, R. E. (2011). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktek (9th ed., Vol. II). Jakarta: PT Indeks. Suhardjono, Arikunto, S., & Supardi. (2012). Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Suprijono, A. (2012). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suriansyah, A., Aslamiah, Sulaiman, & Noorhafizah. (2014). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. Susanti, A. (2016). Kualitas pendidikan Indonesia terendah di ASEAN. Retrieved Oktober 13, 2016, from http://news.okezone.com Syukri, S. (1999). Kimia Dasar jilid 1. Bandung: ITB. Takahashi, A. (2016). Recent trends in Japanese mathematics textbooks for elementary grades: Supporting teachers to teach mathematics through problem solving. Universal Journal of Educational Research, 4(2), 313-319.
126
Thomas, T. (2011). Developing first year students’ critical thinking skills. Asian Social Science, 7(4), 26-35. Tiruneh, D. T., Verburgh, A., & Elen, J. (2014). Effectiveness of critical thinking instruction in higher education: A systematic review of intervention studies. Higher Education Studies, 4(1), 1-17. Trianto. (2007). Model–Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Utami, B., Saputro, S., Ashadi, & Masykuri, M. (2017). Critical thinking skills profile of high school students in learning chemistry. International Journal of Science and Applied Science: Conference Series, 1(2), 124-130. Wah, L. L., & Girl, T. A. (2000). Chemistry teachers' network: A source book for chemistry teachers. Singapore: Singapore National Institute of Chemistry. Yunita, L., Sofyan, A., & Agung, S. (2014). Pemanfaatan peta konsep (concept mapping) untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep senyawa hidrokarbon. EDUSAINS, 6(1), 2-8. Zhou, Q., Huang, Q., & Tian, H. (2013). Developing students’ critical thinking skills by taskbased learning in chemistry experiment teaching. Scientific Research, 4(12), 40-45.
127
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ACCELERATED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR STOIKIOMETRI SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BANJARMASIN TAHUN AJARAN 2016/2017
The Practice of Accelerated Learning Model towards Stoichiometric Critical Thinking Skill and Learning Outcome of SMAN 2 Banjarmasin 10th Grade Students in Academic Year of 2016/2017 Abdul Hamid1, Leny1, Febrina Rosanti Tirto1* Program Studi Pendidikan Kimia, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak.Penelitian yang dilakukan mengenai penerapan Accelerated Learning pada materi stoikiometri kelas X SMA Negeri 2 Banjarmasin. Tujuan penelitian untuk mengetahui (1) perbedaan kemampuan berpikir kritis, (2) perbedaan hasil belajar kognitif, dan (3) respon siswa terhadap model Accelerated Learning. Penelitian menggunakan metode eksperimental-kuasi dengan desain nonequivalent control group. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling, yaitu sebanyak 67 siswa dari kelas X MIA 4 dan X MIA 6 SMA Negeri 2 Banjarmasin. Data dikumpulkan melalui tes kemampuan berpikir kritis, tes hasil belajar kognitif, dan angket respon siswa. Analisis dilakukan secara deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan, (2) terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan, dan (3) siswa memberikan respon yang positif terhadap model Accelerated Learning pada materi stoikiometri. Kata kunci: Accelerated Learning, kemampuan berpikir kritis, hasil belajar kognitif, respon siswa, stoikiometri Abstract.The research has been done about the practice of Accelerated Learning model on stoichiometry for 10th grade students in SMAN 2 Banjarmasin. This research aims to identify (1) difference in students’ critical thinking skill, (2) difference in students’ cognitive learning outcome, and (3) students’ responses to the practice of Accelerated Learning model. The research used quasi-experimental method with nonequivalent control group design. Samples are taken by purposive sampling. Those are 67 students from X MIA 4 and X MIA 6 SMAN 2 Banjarmasin. Data collecting techniques are test for critical thinking skill, test for cognitive learning outcome, and students’ responses questionnaire. The data has been analyzed by using descriptive and inferential analysis. The results are (1) there is significant difference in critical thinking skill, (2) there is significant difference in cognitive learning outcome, and (3) students’ are responding positively to the practice or Accelerated Learning on stoichiometry. Keywords: Accelerated Learning, critical thinking skill, cognitive learning outcome, students’ responses, stoichiometry
PENDAHULUAN Kualitas suatu bangsa menentukan martabat bangsa itu sendiri. Sumber daya manusia menjadi faktor penting penentu kualitas dan martabat bangsa. Semakin berkualitas sumber daya manusianya, semakin tinggi pula dunia memandang martabat bangsa tersebut. Kualitas sumber daya manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dewasa ini, dunia pendidikan telah menjadi faktor yang sangat penting dalam memajukan kehidupan suatu bangsa (Marjohan, 2009). Tujuan untuk meningkatkan kualitas bangsa melalui dunia pendidikan tidak sertamerta dapat dicapai dengan mudah. Salah satu penyebabnya, yaitu model pembelajaran konvensional yang umumnya diterapkan dalam kelas membuat suasana belajar menjadi pasif, sehingga siswa kehilangan minat dan motivasi belajar. Hal ini berdampak langsung pada berkurangnya kemampuan retensi, serta menghambat penyerapan informasi (Nichiols,
128
2010). Berdasarkan kenyataan ini, guru-guru di Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam hal menentukan model yang dapat mengatasi masalah karakteristik dan kompleksitas materi yang diajarkan di kelas. Krisis kualitas pendidikan di bidang sains terlihat pada mata pelajaran kimia, khususnya materi stoikiometri yang melibatkan penerapan teori, praktik, dan perhitungan matematis (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2012). Berdasarkan tingkat kompleksitas ilmunya, materi ini menuntut siswa berpikir secara kritis agar dapat menalar masalah secara induktif dan deduktif untuk menemukan suatu pemecahan yang logis dan masuk akal (Filsaime, 2007). Faktanya, siswa sering mengalami kegagalan dalam bidang ilmu ini karena kurangnya kemampuan berpikir kritis. Masalah rendahnya kemampuan berpikir kritis dapat diatasi dengan memilih model yang sesuai untuk perkembangan kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan pertimbangan tersebut, model Accelerated Learning menjadi pilihan yang dapat diambil oleh guru kimia. Pembelajaran menggunakan model Accelerated Learning dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena melibatkan metode pemecahan masalah, yaitu proses pengambilan keputusan terhadap masalah berdasarkan pengetahuan awal dan menalar (Sani, 2015). Pembelajaran yang melibatkan serangkaian proses berpikir seperti menalar dan memecahkan masalah secara logis akan mendorong siswa untuk berpikir kritis. Selain itu, model Accelerated Learning mengakomodasi elemen fisik, aktivitas intelektual, dan pelibatan alat-alat indra. Meier (2000) menyatakan bahwa metode pembelajaran yang melibatkan lebih banyak indra akan membuat siswa belajar aktif, cepat, dan efektif. Pengaruh positif model Accelerated Learning terhadap hasil belajar dapat dibuktikan oleh Lubis dan Ginting (2015), serta Tanjung (2015). Lubis dan Ginting (2015) menyimpulkan bahwa penerapan Accelerated Learning dengan pendekatan SAVI mampu meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri 1 Selesai pada materi pokok tekanan. Tanjung (2015) yang meneliti penerapan Accelerated Learning pada materi fisika siswa kelas X MAN 2 Model Medan juga menyimpulkan bahwa model ini memberikan pengaruh positif terhadap motivasi, ketertarikan, dan keaktifan siswa di kelas. Hal ini didukung oleh penelitian Politis dan Houtz (2015) yang menyatakan bahwa suasana belajar positif berpengaruh sangat baik terhadap perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa karena dapat memunculkan ide atau solusi untuk memecahkan masalah (problem solving) yang diberikan oleh guru. Berdasarkan uraian tersebut, dilakukan penelitian dengan judul: “Penerapan Model Pembelajaran Accelerated Learning terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar Stoikiometri Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Banjarmasin Tahun Ajaran 2016/2017”. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah quasi-experiment menggunakan sampel yang ditentukan dengan teknik purposive sampling. Kelas eksperimen menerapkan model Accelerated Learning, sedangkan kelas kontrol menerapkan model konvensional dengan pendekatan saintifik. Sekolah yang dipilih adalah SMAN 2 Banjarmasin (Tahun Ajaran 2016/2017) yang terletak di Jalan Mulawarman Nomor 21, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seluruh siswa kelas X menjadi populasi penelitian dengan rincian 34 siswa kelas X MIA 4 belajar dengan model Accelerated Learning, sementara 33 siswa kelas X MIA 6 belajar dengan model konvensional. Data dikumpulkan menggunakan teknik tes dan non tes. Instrumen yang digunakan, antara lain tes kemampuan berpikir kritis, tes hasil belajar kognitif, dan angket respon siswa. Instrumen tes kemampuan berpikir kritis terdiri dari 9 soal uraian yang mengukur 3 indikator berpikir kritis Watson-Glaser, yaitu mengenali asumsi, mengevaluasi argumen, dan membuat kesimpulan. Instrumen tes hasil belajar kognitif terdiri dari 10 soal pilihan ganda untuk mengukur 7 indikator pembelajaran pada materi stoikiometri. Instrumen angket respon siswa terdiri dari 10 pernyataan positif yang diukur menggunakan skala Likert. Sebelum memasuki pertemuan pertama, siswa dari kedua kelas menjawab soal-soal
129
pre-test untuk mengetahui kemampuan awal. Hasil pre-test diuji dengan uji-t untuk membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal kelas X MIA 4 dan X MIA 6. Setelah mengikuti 3 kali pertemuan, siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol diminta menjawab soal-soal post-test. Hasil post-test diuji dengan uji-t untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kedua kelas setelah diberi perlakuan tertentu. Hasil tes kedua kelas dianalisis lebih lanjut dengan mengubah data yang diperoleh menjadi N-gain. Harga N-gain yang diperoleh dapat dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Tujuan dari analisis N-gain adalah mengetahui kualitas peningkatan variabel terikat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data yang diteliti berasal dari tes kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif, serta respon siswa terhadap pembelajaran di masing-masing kelas. Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis siswa pada kedua kelas berdasarkan hasil tes yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Tingkat pencapaian kemampuan berpikir kritis Tingkat Kelas Indikator berpikir kritis Pencapaian (%) 76,47 1. Mengenali asumsi Eksperimen 2. Mengevaluasi argumen 65,03 36,27 3. Membuat kesimpulan 37,58 1. Mengenali asumsi Kontrol 52,29 2. Mengevaluasi argumen 50,98 3. Membuat kesimpulan
Tingkat pencapaian rata-rata (%)
Kategori
59,26
Cukup kritis
46,96
Kurang kritis
Berdasarkan data pada Tabel 1, kelas yang menerapkan model Accelerated Learning memiliki kemampuan berpikir cukup kritis, sedangkan kelas yang menerapkan model konvensional memiliki kemampuan berpikir kurang kritis. Jika ditinjau berdasarkan N-gain, kelas eksperimen dan kelas kontrol memperoleh N-gain rata-rata sebesar 0,56 dan 0,45. Menurut data ini, kedua kelas mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis yang berbeda meskipun berada pada kategori sedang. Hasil pengujian dengan uji-t menunjukkan harga thitung > ttabel (2,44 > 2) pada taraf signifikansi 5%. Pengujian ini membuktikan bahwa kemampuan berpikir kritis kedua kelas yang diteliti berbeda secara signifikan.
Nilai Terendah Tertinggi Rata-rata
Tabel 2 Nilai rata-rata kemampuan berpikir kritis Kelas Eksperimen Kelas Kontrol Pre-test Post-test Pre-test Post-test 0,00 22,22 0,00 3,70 14,81 81,48 14,81 88,89 6,80 58,39 6,51 48,26
Tabel 2 menunjukkan bahwa kelas yang belajar dengan model Accelerated Learning memiliki kemampuan berpikir lebih kritis dibandingkan kelas yang belajar dengan model konvensional. Hal ini disebabkan metode pemecahan masalah yang diterapkan dalam model Accelerated Learning menuntut siswa melibatkan serangkaian proses berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran, yaitu fokus pada satu masalah untuk dipahami, dianalisis, kemudian dievaluasi untuk memperoleh suatu keputusan akhir atau solusi yang logis (Filsaime, 2007). Rangkaian proses berpikir ini mempengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa secara nyata karena berpikir secara kritis berarti siswa mampu memecahkan masalah dan menemukan
130
solusi yang masuk akal dengan mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada (Meier, 2000). Selain tes kemampuan berpikir kritis, diperoleh data berupa hasil belajar kognitif yang dirangkum dalam Tabel 3. Tabel 3 Hasil tes kognitif Interval No. nilai 1. 0-10 2. 11-20 3. 21-30 4. 31-40 5. 41-50 6. 51-60 7. 61-70 8. 71-80 9. 81-90 10. 91-100 Rata-rata
Frekuensi kelas eksperimen Pre-test Post-test 7 8 11 2 6 5 2 5 9 9 3 1 26,18 59,12
Frekuensi kelas kontrol Pre-test Post-test 10 10 1 10 4 3 6 8 9 4 1 20,91 50,91
Berdasarkan Tabel 3, kelas eksperimen memperoleh hasil belajar kognitif yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Harga N-gain rata-rata untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol sebesar 0,44 dan 0,36. Angka tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan peningkatan hasil belajar kognitif antara kedua kelas meskipun keduanya berada pada kategori sedang. Hasil pengujian dengan uji-t menunjukkan harga thitung > ttabel (2,277 > 2). Berdasarkan uji terhadap hasil belajar kognitif, dapat ditarik kesimpulan adanya perbedaan signifikan antara kedua kelas yang diteliti. Perbedaan ini muncul karena model pembelajaran tertentu yang diterapkan di masingmasing kelas. Kelas yang belajar dengan model Accelerated Learning memperoleh rata-rata nilai yang lebih baik karena diterapkannya pendekatan SAVI (somatis, auditori, visual, intelektual) selama pembelajaran berlangsung. Huda (2013) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan SAVI menciptakan lingkungan belajar yang lebih optimal dan efektif bagi penyerapan informasi oleh siswa. Hal ini disebabkan pendekatan SAVI mengakomodasi ketiga gaya belajar yang umum, sehingga setiap siswa memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk mempelajari materi yang sama. Data lain diperoleh melalui angket respon siswa. Berdasarkan Gambar 1, respon siswa yang belajar dengan model Accelerated Learning lebih positif dibandingkan respon siswa yang belajar dengan model konvensional. Siswa kelas eksperimen memberikan respon positif sebesar 79% (SS + S), sedangkan siswa kelas kontrol memberikan respon positif sebesar 46% (SS + S). 4% 2%
4% 0% SS 17%
17%
S
SS 19%
R 62%
TS
S 42%
33%
STS
(a) kelas eksperimen
R TS STS
(b) kelas kontrol Gambar 1 Respon siswa
131
Berdasarkan hasil penelitian, siswa memberikan respon yang lebih positif terhadap penerapan model Accelerated Learning pada materi stoikiometri. Hal ini disebabkan adanya pelibatan materi-materi visual, auditori, serta permainan intelektual dalam setiap pertemuan membuat pembelajaran menjadi lebih menyenangkan, sehingga siswa memiliki minat dan motivasi yang tinggi untuk mengikuti pembelajaran. Hal ini terlihat dari tingginya antusiasme belajar siswa yang menerapkan model Accelerated Learning. Siswa menjadi lebih bersemangat dan gembira di kelas, terutama saat mengikuti permainan intelektual yang diadakan oleh guru dalam setiap pertemuan. Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan Accelerated Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif siswa pada materi stoikiometri. Selain itu, model Accelerated Learning terbukti mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa mempelajari stoikiometri. Hal ini dibuktikan oleh hasil respon siswa kelas eksperimen yang lebih positif dibandingkan kelas kontrol. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini didukung oleh penelitian-penelitian lain yang pernah dilakukan mengenai model pembelajaran Accelerated Learning, antara lain: Penelitian Fitrani, Indrowati, dan Karyanto (2015) yang difokuskan pada penerapan model Accelerated Learning dan ceramah bervariasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Penelitian Lubis dan Ginting (2015) membuktikan bahwa penerapan Accelerated Learning memberikan rata-rata hasil belajar kognitif sebesar 81,09 (sangat baik). Kelas kontrol yang menerapkan model konvensional hanya memperoleh rata-rata 62,81 (cukup baik). Suardipa, Lasmawan, dan Suarni (2013) yang menerapkan model Accelerated Learning pada kelas eksperimen menyatakan bahwa siswa memiliki motivasi belajar yang lebih baik dibandingkan kelas yang menerapkan model konvensional. SIMPULAN Analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan mengenai penerapan model Accelerated Learning pada materi stoikiometri menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kedua kelas yang diteliti. Respon yang diberikan siswa terhadap model Accelerated Learning lebih positif daripada pembelajaran dengan model konvensional. DAFTAR RUJUKAN Filsaime, D. K. (2007). Menguak Rahasia Berpikir Kritis dan Kreatif. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Fitrani, A., Indrowati, M., & Karyanto, P. (2015). Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran Biologi melalui Penerapan Accelerated Learning Siswa Kelas X SMA Negeri Karangpandan Karanganyar. Jurnal Pendidikan Biologi, 7 (2), 56-67. Huda, M. (2013). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-Isu Metodis dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2015). Indonesia Peringkat ke-57 EDI dari 115 Negara Tahun 2014. Diakses melalui https://www.kemenkopmk.go.id/artikel/indonesia-peringkat-ke-57-edi-dari-115negara-tahun-2014 Pada tanggal 18 November 2016. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2016). Silabus Mata Pelajaran Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA): Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: Kemdikbud. Lubis, R. M., & Ginting, E. M. (2015). Pengaruh Metode Accelerated Learning dengan Pendekatan SAVI terhadap Hasil Belajar Siswa pada Materi Pokok Tekanan di Kelas VIII Semester II SMP Negeri 1 Selesai T.A. 2013/2014. Jurnal Inpafi , 3 (1), 155161. Marjohan. (2009). School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah. Yogyakarta: Pustaka
132
Insan Madani. Meier, D. (2000). The Accelerated Learning Handbook. New York: McGraw-Hill. Nichiols, G. (2010). Accelerated Learning and eLearning: An Overview. Diakses melalui http://www.gingernichols.com/wp-content/uploads/accelerated-learning-final.pdf Pada tanggal 11 Oktober 2016 Politis, J., & Houtz, J. C. (2015). Effects of Positive Mood on Generative and Evaluative Thinking in Creative Problem Solving. Diakses melalui http://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/2158244015592679 Pada tanggal 4 Januari 2017 Suardipa, I. P., Lasmawan, I. W., & Suarni, N. K. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Accelerated Learning Berbasis Peta Konsep terhadap Motivasi Berprestasi dan Hasil Belajar IPS. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 1 (3), 1-10. Tanjung, Y. I. (2015). Pengaruh Konsep Accelerated Learning Teaching Model MASTER terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa di MAN 2 Model Medan. Jurnal Ikatan Alumni Fisika Universitas Negeri Medan , 1 (1), 50-54. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. (2012). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu. Bandung: Imperial Bhakti Utama.
133
VALIDITAS INSTRUMEN PENILAIAN MATERI ZAT ADITIF DAN ZAT ADIKTIF UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF Validity of Assessment Instrument on Additive and Addictive Substances to Train Creative Thinking Skills Lia Amalia, Ahmad Rusyadi Magister Keguruan IPA Universitas Lambung Mangkurat [email protected] Abstrak: Instrumen penilaian memiliki peran yang sangat penting dalam pencapaian hasil belajar peserta didik, khususnya dalam melatih keterampilan berpikir kreatif yang merupakan karakter pembelajarankurikulum 2013. Tidak adanya instrumen penilaian berpikir kreatif secara khusus membuat keterampilan berpikir kreatif peserta didik rendah. Hal ini melatarbelakangi pengembangan penilaian instrumen pada materi zat aditif dan zat adiktif yang mampu melatihkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan validitas instrumen penilaian yang dikembangkan meliputi validitas isi dan validitas kostruk. Data diperoleh melalui lembar validasi instrumen penilaian. Teknik analisis data adalah analisis deskriptif validitas instrumen penilaian. Hasil penelitian menunjukkan validitas instrumen penilaian untuk melatihkan keterampilan berpikir kreatif termasuk dalam kategori valid, sehingga bisa digunakan untuk penelitian selanjutnya. Kata kunci: instrumen penilaian, zat aditif dan zat adiktif, keterampilan berpikir kreatif Abstract: Assessment instrument has a very important role in the achievement of learning outcome of learners, especially in training creative thinking skills which is the characters of learning curriculum 2013. The absence of a creative thinking skills makes the learners creative thingking skills low. This is the reasonfordeveloping assessment instrument onadditive and addictive substances in training creative thinking skills of learners. This research aims to describe the validation of assessment instrument developed by content validiy and construct validity. The data obtained through validation sheet of assessmentinstrument. The technique of analysis data is descriptive analysisof validity assessment instrument. The result shows that the validity of the assessment instrument to train creative thinking skills is in the valid category, so that it can be applied for the next research. Keyword:assessment instrument, additives and addictives substance, creative thinking skills
PENDAHULUAN Perkembangan teknologi dan informasi yang pesat di abad ini mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan kualitas di semua sektor, tak terkecuali sektor Pendidikan. Masalah utama yang menjadi perhatian pada sektor Pendidikan formal (sekolah) saat ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rerata hasil belajar peserta didik yang senantiasa masih sangat memprihatinkan. Hasil belajar ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Satu diantara paradigma tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada peserta didik (student centered) dan pendekatan yang semula bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan (Trianto, 2013). Masalah utama Pendidikan tersebut dibuktikan data akurat yang menunjukkan rendahnya hasil belajar IPA pada peserta didik yaitu hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA). Hasil IPA PISA 2015 menunjukkan peserta didik Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 Negara dengan rata-rata nilai 403, di bawah rata-rata
134
Organisation for Economic Co-operation and Development sebesar 493 (OECD, 2015:5). Berdasarkan data Global Creativity Index 2015 Indonesia berada pada peringkat 115 dari 139 Negara (Florida dkk, 2015:57). Rata-rata peserta didik Indonesia hanya mampu mengenali sejumlah fakta dasar tetapi belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik IPA, apalagi menerapkan konsep-konsep yang kompleks dan abstrak. Rendahnya hasil yang dicapai tersebut tidak terpisah dari keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Keterampilan berpikir sangat penting bagi perubahan pola pikir peserta didik untuk mencapai keberhasilan. Keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan menurut Ramirez dan Ganaden (2008:5) adalah keterampilan berpikir kreatif. Menurut Almeida (2008:2) orientasi berpikir kreatif terdiri atas 4 indikator, yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Keterampilan berpikir kreatif perlu dikembangkan melalui proses pembelajaran, karena dapat menjadi bekal untuk menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran IPA yang dilakukan di sekolah menjadi faktor utama yang menentukan mutu hasil belajar peserta didik. Hal ini karena IPA memiliki peranan yang penting dalam membekali peserta didik berpikir kreatif, karena menurut Pane (2014:1) IPA memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat antar konsepnya yang memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional dan berpikir secara aktif dengan kemampuan-kemampuan yang bersifat ideasional. Menyadari akan pentingnya IPA dalam perkembangan zaman mengharuskan guru mengembangkan perangkat pembelajaran yang sesuai dengan keterampilan berpikir. Materi pelajaran IPA yang dianggap sulit dan membosankan menurut Darminto & Side (2012:2) adalah kimia, karena bersifat abstrak dan selalu dianggap negatif dan berbahaya. Padahal menurut Wood (2006:1) pembelajaran kimia itu sangat menarik dan unik karena berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Materi pokok IPA yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari satu diantaranya adalah zat aditif dan zat adiktif, yang dapat membuat peserta didik berpikir kreatif dalam memecahkan permasalahan yang terjadi. Pemecahan masalah damalam proses pembelajaran dapat dinilai berdasarkan rubrik penilaian berpikir kreatif. Berdasarkan Permendikbud (2015:13) penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian otentik (autentic assesment) yang menilai kesiapan peserta didik, proses, dan hasil belajar secara utuh. Keterpaduan ketiga ranah tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan perolehan belajar peserta didik yang mempu menghasilkan dampak instruksional (instructional effect) pada aspek pengetahuan dan dampak pengiring (nurturant effect) pada aspek sikap. Sehingga diperlukan adanya pengembangan instrumen penilaian yang dapat melatihkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik pada materi zat aditif dan zat adiktif. Pengembangan instrumen penilaian yang dilakukan oleh guru sudah semestinya dimulai dari suatu perencanaan proses pembelajaran, sebagai upaya mengatasi kesulitan dalam proses pembelajaran yang dilakukan secara nyata, bukan hanya sekedar mengamati dan mendeskripsikan fenomena yang terjadi. Tahap dalam penelitian ini yaitu tahap studi pendahuluan, tahap perancangan dan pengembangan instrumen penilaian dan tahap validasi.
135
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research of Development). Desain Penelitian disajikan pada Diagram 1 sebagai berikut. Tahap I Studi pendahuluan
Permasalahan Peneitian
Studi Literatur
Studi Lapangan
Pembelajaran IPA di SMP
Analisis Kurikulum
Instrumen Penilaian
Identifikasi Kebutuhan
Tahap II Perencanaan
Merencanakan pembelajaran yang sesuai dengan instrumen penilaian
Tahap III Pengembangan
Membuat instrumen penilaian materi pokok zat aditif dan zat adiktif beserta perangkat pembelajaran
Tahap IV Validasi
Melakukan validasi instrumen penilaian
Tahap V Analisis Data
Tahap pengolahan analisis dan interpretasi data, refleksi dan Diagram 1. Bagandata, desain penelitian evaluasi terhadap instrumen penilaian yang dikembangkan
Validasi instrumen penilaian materi pokok zat aditif dan zat adiktif beserta LKPD dilakukan oleh 3 orang validator yaitu 3 orang dosen (pakar pengembangan perangkat, pakar kimia anorganik, dan pakar pendidikan ipa). Validasi dilakukan berdasarkan instrumen validasi yang telah dibuat oleh peneliti, setiap instrumen terdapat indikator-indikator penilaian validasi yang merupakan kondisi dari instrumen penilaian yang akan divalidasi dengan nilai minimum 1 dan nilai maksimum 4. Data yang diperoleh dari validator dihitung berdasarkan modus untuk tiap indikatornya. Indikator keberhasilan penelitian ini adalah jika hasil validasi ahli mencapai kriteria valid. Skor 4 3 2 1
Tabel 1. Kategori validitas instrumen penilaian Kategori Keterangan Sangat valid Dapat digunakan tanpa revisi Valid Digunakan namun perlu revisi kecil Kurang valid Tidak boleh digunakan, perlu revisi besar-besaran Tidak valid Tidak boleh dipergunakan (Adaptasi Sunarti & Rahmawati, 2014:43)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Instrumen penilaian berpikir kreatif berkaitan dengan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) yang dikembangkan untuk memudahkan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran. Hasil validasi instrumen penilaian berpikir kreatif dan LKPD materi pokok zat aditif dan zat adiktif dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2.
No
Tabel 1. Hasil Validasi Instrumen Penilaian Keterampilan Berpikir Kreatif Validator Aspek yang diamati Modus Hasil Validasi
136
1 2
3
4
No 1
2 3
4
5 6 7 8 9 10
Kategori penilaian sesuai dengan indikator berpikir kreatif Kategori penilaian dapat menilai (dijadikan patokan) setiap jawaban peserta didik Penilaian kategori indikator jelas (dapat mengukur keterampilan berpikir kreatif peserta didik) Mencantumkan sumber yang sesuai
1
2
3
4
4
4
4
Sangat valid
4
4
4
4
Sangat valid
4
4
4
4
Sangat valid
4
4
4
4
Sangat valid
Modus
Hasil Validasi
4
Sangat valid
3
Valid
4
Sangat valid
4
Sangat valid
4
Sangat valid
3 4
Valid Sangat valid
4
Sangat valid
4
Sangat valid
4
Sangat valid
Tabel 2. Hasil Validasi LKPD Validator Aspek yang diamati 1 2 3 LKPD memberikan penekanan pada aspek proses untuk menemukan 4 4 4 konsep Keakuratan kasus yang disajikan 3 3 3 Kesistematisan urutan (orientasi masalah, rumusan masalah, hipotesis, alat dan bahan, prosedur, 4 4 4 hasil pengamatan/pengumpulan data, analisis data, dan kesimpulan) Penggunaan gambar yang menarik dan mendukung materi/kasus yang 4 4 4 disajikan Penggunaan bahasa sesuai dengan 3 4 4 EYD Kesederhanaan struktur kalimat 3 4 3 Tampilan LKPD menarik 4 4 4 Efisiensi LKPD dalam kaitannya 3 4 4 dengan waktu Efisiensi LKPD dalam kaitannya 4 4 4 dengan biaya Efisiensi LKPD dalam kaitannya 4 4 4 dengan tenaga
Lembar penilaian keterampilan berpikir kreatif dan LKPD yang dikembangkan divalidasi tidak hanya pada validasi isi, tetapi juga melaksanakan validasi kontsruk. Akker (2010:28) menyatakan bahwa validitas dibagi menjadi dua yaitu validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity). Validitas isi merupakan kelayakan yang ditinjau berdasarkan kesesuaian antara yang divalidasi dengan pengetahuan. Validitas isi ini ditunjukkan dengan lembar validasi pada aspek materi, sedangkan validitas kontruk merupakan kelayakan yang ditinjau dari rancangan yang dirancang secara logis. Validitas konstruk ini ditunjukkan pada aspek umum dan teknis pada lembar validasi. Validasi yang dilakukan tidak hanya pada instrumen penilaian berpikir kreatif, tetapi juga pada LKPD yang dibuat pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Pada LKPD yang dikembangkan peneliti menggunakan model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) dalam upaya meningkatkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik pada materi pokok zat aditif dan zat adiktif. Model CPS ini dipilih karena sesuai dengan langkah indikator berpikir kreatif. Proses pembelajaran yang terjadi berdasarkan LKPD yang dikembangkan menuntut peserta didik untuk aktif melakukan penyelidikan dalam menyelesaikan permasalahan dan guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing. Hasil validitas ini sejalan dengan Hariawan, dkk (2013:4) yang menyatakan bahwa pembelajaran menggunakan model Creative Problem Solving membuat siswa berperan aktif dan secara kreatif berusaha menemukan solusi dari permasalahan yang diajukan, saling berinteraksi dengan teman maupun guru, saling bertukar pikiran, sehingga wawasan dan daya pikir mereka berkembang
137
dan menyadari banyak hal atau kejadian yang dapat mereka jumpai dalam kehidupan seharihari yang berkaitan dengan konsep. Keterampilan berpikir kreatif perlu dikembangkan sejak dini karena diharapkan dapat menjadi bekal untuk menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Almeida (2008:2) orientasi berpikir kreatif terdiri atas 4 indikator, yaitu fluency, flexibility, originality, dan elaboration. Fluency merupakan banyaknya jumlah tanggapan yang benar secara logika, flexibility merupakan banyaknya kategori tanggapan yang bervariasi, originality merupakan pertimbangan tanggapan baru yang tidak biasa namun relevan, dan elaboration merupakan jumlah rincian yang digunakan untuk memperpanjang tanggapan. Keempat indikator tersebut merupakan indikator berpikir kreatif yang dapat merangsang peserta didik dalam memecahkan permasalahan. Berdasarkan hasil penilaian validator terhadap LP berpikir kreatif pada Tabel 1 menunjukkan bahwa 4 indikator yang dinilai semuanya dinyatakan sangat valid, hal ini karena indikator dan deskriptif dari tiap skor telah sesuai. LP berpikir kreatif yang dikembangkan ada 2, yaitu berpikir kreatif sesuai dengan indikator dari Triffinger yang terbagi menjadi 4 indikator meliputi fluency, flexibility, ogirinality, dan elaboration, serta berpikir kreatif dalam membuat hasil evaluasi berupa mind mapping, yang meliputi indikator kata kunci, hubungan cabang utama dengan cabang lainnya, dan desain (warna/gambar). Berdasarkan hasil penilaian validator terhadap LKPD pada Tabel 2 menunjukkan dari 10 indikator yang dinilai ada 8 indikator yang dinyatakan sangat valid dan 2 indikator dinyatakan valid, dengan revisi kecil berupa saran dari para validator, yaitu permasalahan yang disajikan pada LKPD hendaknya disesuai dengan percobaan yang akan dilakukan dan kalimat pada permasalahan lebih disederhanakan lagi agar mudah dimengerti oleh peserta didik. LKPD yang dikembangkan disesuaikan dengan model Creative Problem Solving, dengan sintaks fact finding, problem finding, idea finding, solution finding, dan acceptance finding (Mitchel & Kowalik, 1999:4). Pemilihan model ini dipilih karena sesuai dengan indikator berpikir kreatif Triffinger. Selain itu, isi LKPD juga dirancang untuk melakukan percobaan secara berkelompok sebagai pembuktian terhadap permasalahan yang ada dalam LKPD. Perancangan pada LKPD ini diharapkan dapat membuat peserta didik aktif bekerja sama selama proses pembelajaran dan mampu melatihkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Pemaparan mengenai instrumen penilaian dinyatakan sangat valid, yang artinya instrumen penilaian yang dikembangkan dapat mengukur apa yang ingin diukur, relevan dengan tujuan yang diinginkan dan tiap komponennya sesuai satu sama lain. Instrumen penilaian yang telah mencapai kategori sangat valid ini didapat karena peneliti pada proses pengembangan telah menyusun instrumen berdasarkan identifikasi kebutuhan peserta didik di masa akan datang yang juga telah disesuaikan dengan Kurikulum 2013. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dinyatakan sangat valid merupakan indikator bahwa instrumen penilaian telah mampu menjadi fasilitas untuk melatihkan keterampilan berpikir kreatif peserta didik. Proses pembelajaran yang mampu melatihkan keterampilan berpikir peserta didik tidak terlepas dari adanya instrumen penilaian dan LKPD yang mendukung. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat dikemukakan kesimpulan bahwa validasi instrumen penilaian dan LKPD yang dikembangkan secara keseluruhan termasuk dalam kategori sangat valid, sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran.
DAFTAR RUJUKAN Almeida, L.S., L.P. Prieto, M. Ferrando, E. Oliveira, dan C. Ferrandiz. 2008. Torrance Test of Creativity: The Question of Its Construct Validity. Journal Thingking Skills and Creativity. (http://www .elsevier.com/locate/tsc). Akker, J.V.D., B. Bannan, A.E. Kelly, N. Nieveen, dan T. Plomp. 2010. An Introduction to Educational Design Research. Netherland: SLO.
138
Darmanto dan S. Side. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran IPA Kimia SMP Berbasis Kontekstual pada Materi Pokok Bahan Kimia di Rumah. Jurnal Chemica. Vol 13. 55-62. (http://download.portalgaruda. org/article.php?article=57888danval=4338). Depdikbud. 2017. Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Menpenkeb. Florida, R., C. Mellander, dan K. King. 2015. Global Creativity indeks 2015. Martin Prosperity Institude: Rotman. Mitchel W.E. dan T.F. Kowalik. 1999. Creative Problem Solving. MacIntosh 2.1v4. Graphics by Genigraphics Inc.(online), (https://www.geocities.ws%2 Fjdkilp%2FCreative_Problem_Solving.pdfdanusg=AFQjCNEylTrJi3luca_ZBrB tk2E2gZVUzQdansig2=U7GIWHdmvHORUdlBRAIZwQdanbvm=bv.1190284 48,d.c2E). OECD. 2015. PISA 2015 Result in Focus What 15-year-olds Know and What They can Dowith What They Know. Pane, A. 2014. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dengan Menerapkan Model Pembelajaran Quantum Learning materi Sains. IAIN, Padang. Vol 2 No.1. Jurnal Logaritma. (http://jurnal.iainpadangsidimpuan.ac.id/index.php/LGR/article/view/210/191). Ramirez, R.P.B. dan M.S. Ganaden. Creative Activities and Students High Order Thinking. U.P. College of Education. Journal Education Quarterly. Vol. 66 (1), 22-33. (journals.upd.edu.ph/index.php/edq/article/download/ 1562/1511+dancd=4danhl=iddanct=clnk). Trianto. 2013. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta.: Kencana. Wood, C. 2006. The Development of Creative Problem Solving in Chemistry. Centre for Science Eduaction. University of Glasgow. Journal The Royal of Society and chemistry. Vol 7 No. 2. (http://www.rsc.org/ images/wood%20paper%20final_tcm18-52110.pdf).
139
POTENSI TANAMAN ALANG-ALANG (Imperata cylindrica) UNTUK PRODUKSI BIOETANOL GENERASI DUA Potency of Alang-alang (Imperata Cylindrica) for Second-Generation Bioethanol Production Asma Fauziah, Asma Nadia, Ersha Mayori, Sunardi* Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani Km. 35,8 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Indonesia 70714 *email: [email protected] ; [email protected]
Abstrak. Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tumbuhan liar dengan jumlah melimpah dan merupakan sumber lignoselulosa yang potensial untuk produksi bioetanol generasi dua. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol saat ini menjadi perhatian karena bioetanol dapat digunakan sebagai aditif atau pengganti bahan bakar bensin. Lignoselulosa alang-alang terdiri atas tiga komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin. Secara umum bioetanol diperoleh melalui tahapan perlakuan awal untuk menghilangkan lignin, hidrolisis selulosa menjadi gula pereduksi, fermentasi gula pereduksi menjadi bioetanol dan pemurnian bioetanol. Produksi bioetanol hingga saat ini memiliki berbagai tantangan, terutama dari penyediaan bahan baku dan teknologi prosesnya yang relatif masih berbiaya tinggi. Tanaman alang-alang sangat mudah tumbuh dan penyebarannya relatif sangat cepat dalam segala kondisi tanah. Luas lahan alang-alang di Indonesia mencapai 8,5 juta hektar dari 35 juta hektar luas padang alang-alang di Asia. Namun hingga saat ini tanaman alang-alang belum dimanfaatkan dengan optimal dan masih dianggap sebagai tanaman pengganggu/gulma. Potensi pengembangan dan pemanfaatan alang-alang sebagai sumber bahan baku pembuatan bioetanol generasi dua dibahas dalam artikel ini. Kata kunci: alang-alang, lignoselulosa, Imperata cylindrica, bioetanol generasi dua
Abstract. Imperata cylindrica (in Indonesian namely alang-alang) is a wild plant that abundant and a potential lignocellulose biomass to produce second-generation bioethanol. Recently, conversion of lignocellulose to bioethanol is on concern because bioethanol can be further used as biofuel to subtitute and as additives of gasoline for transportation. Alang-alang is composed of three main components: cellulose, hemicellulose, and lignin. Generally, bioethanol from lignocellulose was obtained through pretreatment of biomass to remove lignin, hydrolysis to convert cellulose into sugar, fermentation process to convert sugar into bioethanol, and purification of bioethanol. Production of bioethanol currently has considerable challenges and costs mainly from provision of raw material and therefore, many researches have been conducted to improve the conversion process. Alang-alang grows easily and its spread fastly. The areas of alang-alang in Indonesia reaches 8.5 million hectares from 35 million hectares in Asia. However, currently alang-alang has not been well utilized optimally as a raw material of bioethanol and consider as herbs/weeds. Opportunity to develop and use alang-alang as raw material to produce second-generation bioethanol will discuss in this article. Keyword: alang-alang, lignocelullose, Imperata cylindrica, second-generation bioethanol
140
PENDAHULUAN Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tumbuhan liar yang relatif dapat tumbuh dalam segala kondisi tanah dan iklim dengan jumlah melimpah. Luas lahan alangalang di Asia mencapai 35 juta hektar dan Indonesia memiliki lahan alang-alang terluas sebesar 8,5 juta hektar (Garrity et al.,1997). Saat ini alang-alang telah dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan (Windadri, 2006), bahan baku pulp dan kertas (Sutiya et al., 2012), pupuk (Puspitasari et al., 2013) dan selebihnya dibasmi karena merupakan hama yang menghambat pertumbuhan tanaman utama. Alang-alang merupakan sumber lignoselulosa yang potensial untuk dikonversi sebagai sumber bioetanol generasi kedua. Lignoselulosa mengandung tiga komponen utama yaitu selulosa, lignin dan hemiselulosa. Kandungan kimia pada tanaman alang-alang antara lain α-selulosa 40,22%, holoselulosa 59,62%, hemiselulosa (pentosan) 18,40%, dan lignin 31,29% (Sutiya et al., 2012). Haque et al. (2015) juga melaporkan kandungan kimia pada tanaman alang-alang antara lain selulosa 40,50%, hemiselulosa 23,45%, dan lignin 19,40%. Berdasarkan data diatas dapat dilihat kandungan selulosa dan hemiselulosa yang lebih dari 50% menunjukan potensi alang-alang sebagai sumber gula pereduksi untuk bahan dasar pembuatan bioetanol.
Gambar 1. Lahan dan tanaman alang-alang Saat ini penelitian mengenai energi baru terbarukan, khususnya bioetanol generasi kedua sedang diteliti dengan intensif. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah penyediaan pasokan akan energi yang tak terbaharukan (minyak, gas dan batubara) tidak mampu mengimbangi kebutuhan dan konsumsi energi yang terus meningkat, bahan lignoselulosa sebagai sumber bioetanol tersedia melimpah karena berasal dari kayu-kayuan, limbah pertanian dan perkebunan lain yang tidak bersaing dengan bahan pangan. Bioetanol memiliki nilai oktan dan efisisensi pembakaran yang lebih tinggi dibandingkan bensin (Hambali et al., 2007). Selain itu, penggunaan bioetanol dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (Costello & Chum, 1998; Hambali et al., 2007). Produksi bioetanol generasi kedua dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pretreatment, sakarifikasi, fermentasi dan pemurnian. Pretreatment dilakukan untuk menghilangkan lignin dan melepaskan ikatan hemiselulosa dari selulosa (Liu et al., 2007; Long et al., 2009). Tahap sakarifikasi dilakukan untuk mengkonversi selulosa dan hemiselulosa menjadi gula sederhana berupa glukosa, xylosa dan lainnya (Fojas & Rosario., 2013). Selanjutnya dilakukan tahap fermentasi dengan bantuan mikroorganisme untuk mengkonversi gula sederhana menjadi bioetanol. Tahap terakhir adalah pemurnian untuk mendapatkan bioetanol dengan kemurnian yang lebih tinggi, pemurnian dapat dilakukan dengan proses distilasi atau dehidrasi (Hermiati et al., 2010). Melihat potensi pengembangan bioetanol generasi kedua yang berasal dari lignoselulosa yang sangat besar, saat ini banyak kajian dilakukan untuk memperoleh sumber lignoselulosa yang murah dan melimpah, termasuk pemanfaatan tanaman alang-alang. Makalah ini berisi tentang kajian terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan para peneliti untuk memanfaatkan alang-alang sebagai sumber bioetanol generasi kedua dengan fokus bahasan pada potensi, karakteristik lignoselulosa tanaman alang-alang, pemanfaatan alangalang sebagai sumber bioetanol generasi kedua dan potensi pengembangannya.
141
POTENSI ALANG-ALANG Alang-alang (Imperata cylindrica) merupakan tanaman yang tumbuh dengan liar di hutan atau ladang terutama pada tanah tandus, kering serta terkena paparan sinar matahari (Osvaldo et al., 2012). Luas lahan alang-alang di Asia mencapai 35 juta hektar dan Indonesia memiliki lahan alang-alang terluas sebesar 8,5 juta hektar (Garrity et al.,1997). Hingga saat ini pemanfaatan alang-alang masih sangat terbatas, meskipun alang-alang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol generasi kedua. Alang-alang yang semula hanya dianggap sebagai gulma bisa memberikan nilai ekonomis yang tinggi jika diolah menjadi produk yang lebih bermanfaat. Alang-alang merupakan tanaman yang mampu menjadi tanaman perintis pada lahan marginal maupun lahan sub optimal walaupun memerlukan waktu yang lama (Osvaldo et al., 2012). Hingga saat ini alang-alang dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan (Windadri, 2006), bahan baku pulp dan kertas (Sutiya et al.,2012), pupuk (Puspitasari et al., 2013), bioetanol (Wong et al., 2016) dan selebihnya dibasmi karena merupakan hama yang menghambat pertumbuhan tanaman utama. Berdasarkan penelitian Wong et al. (2016) dilaporkan bahwa alang-alang dapat menghasilkan 54,84 (L/ton) bioetanol. Berdasarkan data tersebut, maka jika luas lahan alang-alang di Indonesia mencapai 8,50 juta hektar dan 1 hektar alang-alang dapat dihasilkan biomassa alang-alang sebesar 60 ton, maka dalam 1 tahun Indonesia dapat menghasilkan sekitar 27,96 juta liter bioetanol generasi kedua. ALANG-ALANG DAN KARAKTERISTIKNYA Alang-alang mengandung komponen kimia seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin. Komposisi kimia pada alang-alang secara detail dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan kimia alang-alang (Imperata cylindrica) No Kandungan Kimia Presentase (%) Sutiya et al. (2015) Haque et al. (2015) 1. Ekstraktif 8,09 7,00 2. Lignin 31,29 19,00 3. Holoselulosa 59,62 63,00 4. Alfa Selulosa 40,22 40,00 5. Hemiselulosa 18,40 23,00 6. Kadar air 93,76 Sumber: (Sutiya et al., 2012; Haque et al., 2015).
Holoselulosa Kadar holoselulosa dalam biomassa menyatakan jumlah senyawa karbohidrat atau polisakarida yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin (Prawirohatmodjo, 1997). Dalam produksi bioetanol diperlukan kadar holoselulosa yang tinggi, kadar holoselulosa alang-alang sebesar 59,62% (Sutiya et al., 2012) dan 63,95% (Haque et al.,2015), lebih rendah dibandingkan dengan kayu yang berkisar 60-80%. Melihat alang-alang merupakan bahan bukan kayu maka wajar jika nilai kandungan holoselulosa alang-alang dibawah kayu dan nilai kadar holoselululosa yang tidak jauh berbeda maka alang-alang masih mungkin digunakan sebagai bahan baku produksi bioetanol generasi kedua (Sutiya et al., 2012). Selulosa Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Secara umum, selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperi hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993). Selulosa merupakan salah satu polisakarida penting dalam bahan baku pembuatan bioetanol, banyaknya kandungan selulosa menggambarkan seberapa banyak bioetanol yang dapat dihasilkan. Kadar selulosa dari tanaman alang-alang cukup besar dilaporkan sebesar 40,22% (Sutiya et al., 2012) dan 40,50% (Haque et al.,2015). Berdasarkan derajat polimerisasi, maka selulosa dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
142
1) Alfa selulosa adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi sebesar 600-1500. Alfa selulosa digunakan sebagai penentu atau penduga tingkat kemurnian selulosa. 2) Beta selulosa adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi berkisar 15-90, dapat mengendap jika dinetralkan. 3) Gamma selulosa adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi kurang dari 15. (Paskawati, 2010). Selulosa merupakan polisakarida yang dapat dikonversi menjadi produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa menggunakan bantuan enzim selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis asam/basa (Osvaldo et al., 2012). Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan senyawa jenis polisakarida yang terdapat pada semua jenis serat, mudah larut dalam air dan mudah terhidrolisis oleh asam mineral menjadi gula ataupun senyawa lain. Hemiselulosa lebih mudah larut daripada selulosa, dan dapat diisolasi dari kayu dangan ekstraksi (Muzzie, 2006). Hemiselulosa adalah polisakarida terbanyak setelah selulosa yang ditemukan pada tumbuhan (Nareswari, 2007). Hemiselulosa berikatan secara kuat dengan lignin dan selulosa. Hemiselulosa merupakan salah satu komponen yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku bioetanol. Pada tanaman alang-alang kandungan dari hemiselulosa tidak begitu besar sekitar 18,40% (Sutiya et al., 2012) dan 23,45% (Haque et al., 2015). Komponen terbesar hemiselulosa adalah xylan yang merupakan polimer dari β(1-4) D-xylopiranosa (xylose) dengan ikatan β-1,4- glikosida. Rantai xylan bercabang, kompleks dan strukturnya tidak berbentuk kristal, sehingga mudah dimasuki pelarut (Pastor et al., 2007). Xylan akan dihidrolisis menjadi xylose dengan bantuan larutan asam maupun secara enzimatik. Xylose merupakan gula pentosa sekaligus merupakan polimer utama penyusun hemiselulosa pada tanaman (Wenzl, 1990). Xylose dapat difermentasi menjadi bioetanol sama halnya dengan glukosa, tetapi menggunakan ragi yang berbeda seperti Pichia stipitis atau Candida shehatae (Hahn-Hagerdal et al., 1993). Lignin Lignin merupakan polimer aromatik yang berasosiasi dengan polisakarida pada dinding sel sekunder tanaman. Komponen lignin pada sel tanaman berpengaruh terhadap pelepasan dan hidrolisis polisakarida. Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit penylphropane yang terikat dalam struktur tiga dimensi (Osvaldo et al., 2012). Lignin merupakan material yang terikat sangat kuat dalam biomassa dan bersifat sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Dalam proses produksi bioetanol berbahan dasar lignoselulosa (lignin, hemiselulosa dan selulosa) perlu dilakukan pretreatment untuk menghilangkan lignin yang terkandung dalam suatu bahan, karena adanya lignin akan menyebabkan bahan lignoselulosa sulit dihidrolisis (Hermiati et al., 2010). Tabel 2. Kandungan Kimia alang-alang dan beberapa kayu No Kandungan Kimia
1. Alang-alang (Imperata cylindrica) 2. Sempur Lilin (Dillenia obovata) 3. Cangcaratan (Lithocarpus sundaicus) 4 Ki Pasang (Prunus javanica ) (Sumber: aHaque et al., 2015; bHastuti et al., 2015).
Presentase (%) Lignin a19,00 b30,06 b 31,84 b 30,77
Selulosa a 40,00 b 49,64 b 51,67 b 45,42
Hemiselulosa a 23,00 b 16,62 b 15,31 b 16,82
Kandungan lignin dari tanaman alang-alang sebesar 19,00% (Haque et al., 2015), relatif lebih kecil dibandingkan kandungan lignin dari tiga jenis kayu yang mencapai 30,06-
143
31,84% (Hastuti et al., 2015). Sutiya et al. (2012) melaporkan kandungan lignin dari alangalang sebesar 31,50%, hasil yang diperoleh relatif tinggi, akan tetapi termasuk kategori kelas sedang jika dibandingkan dengan kandungan kimia pada kayu jarum sebesar 25-35% (Prawirohatmodjo, 1997). Secara umum komposisi lignin alang-alang lebih kecil dibanding lignin dalam kayu, sehingga proses delignifikasinya lebih mudah dan murah. Alang-alang memiliki kandungan lignin yang lebih rendah dibanding bahan kayu, selain akan menghasilkan produk yang maksimal, rendahnya kadar lignin akan mempersingkat waktu dan tahap produksi bioetanol. Lignin memiliki struktur ikatan arilalkil dan ikatan eter sehingga dapat melindungi komponen lain yang berada disekitarnya, sehingga proses hidrolisis akan sulit dilakukan (Hastuti et al., 2015). TEKNOLOGI KONVERSI BIOETANOL GENERASI KEDUA Produksi bioetanol dari sumber lignoselulosa termasuk alang-alang dilakukan melalui beberapa tahap yaitu pretreatment, sakarifikasi, fermentasi dan pemurnian. Tahap pretreatment dilakukan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa dan meningkatkan porositas bahan. Selanjutnya adalah tahap sakarifikasi/hidrolisa yang bertujuan untuk mengkonversi selulosa menjadi gula sederhana. Tahap terakhir adalah proses fermentasi untuk mengkonversi gula-gula sederhana (xylose, arabinose, glukosa) menjadi bioetanol dan pemurnian dengan tujuan untuk mendapatkan etanol dengan konsentrasi yang tinggi (Osvaldo, 2012). Pretreatment Proses pretreatment dilakukan untuk mengurangi kandungan lignin (delignifikasi), ukuran partikel dan meningkatkan kemampuan hidrolisis dari selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana (Fojas & Rosario, 2013). Proses pretreatment dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik, fisik-kimiawi, kimiawi dan enzimatik (Mosier, 2005; Sun & Cheng, 2002). 1) Pretreatment secara fisika seperti penghancuran secara mekanik (Penggerusan, penggilingan, extruder) untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi kristalinitas selulosa. 2) Pretreatment secara fisika-kimia (autohydrolisis) menggunakan steam explosion, ammonia fiber explosion, dan CO2 explosion. 3) Pretreatment secara kimia dilakukan dengan menggunakan alkali, ozonolisis, hidrolisis asam dan delignifikasi. 4) Pretreatment secara biologi dilakukan dengan bantuan mikroorganisme jamur pelapuk coklat, jamur pelapuk putih dan jamur pelunak yang mendegradasi lignin dan hemiselulosa yang ada didalam lignoselulosa. Beberapa tahun terakhir ini berbagai teknik pretreatment telah dipelajari baik secara kimia, fisika dan biologi. Menurut Sun & Cheng (2002) tahap pretreatment harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Meningkatkan kemampuan hidrolisis enzimatik atau pembentukan gula. 2) Meminimalisir degradasi atau kehilangan karbohidrat. 3) Meminimalisir terbentuknya produk samping yang dapat menghambat proses hidrolisis dan fermentasi 4) Biaya yang diperlukan ekonomis Sakarifikasi Tahap berikutnya adalah tahap hidrolisis atau sakarifikasi yang dilakukan untuk mengubah selulosa dan hemiselulosa menjadi gula-gula sederhana seperti xylose, glukosa dan arabinosa. Tahap hidrolisis dapat dilakukan secara enzimatis atau menggunakan larutan asam (Fojas & Rosario., 2013). Hidrolisis secara enzimatis umumnya berlangsung pada kondisi pH sekitar 4,80 dan suhu 45-50°C serta tidak menimbulkan masalah korosi. Tetapi masalah yang dihadapi dari pengaplikasian proses hidrolisis secara enzimatis adalah harga enzim yang mahal mencapai 53-65% dari biaya bahan kimia (Hermiati et al, 2010).
144
Proses hidrolisis secara enzimatis dilakukan mengunakan enzim selulase yang terdiri dari campuran 3 enzim yaitu endoglukonase, eksoglukonase dan β-glukosidase. Enzim endoglukonase berkerja dengan memecah selulosa secara acak dan membentuk ujung rantai. Enzim eksoglukonase berkerja dengan mendegradasi lebih lanjut molekul tersebut dengan memindahkan unit-unit selebiosa dari ujung-ujung rantai bebas. Sementara enzim β-glukosidase menghidrolisis selebiosa menjadi glukosa (Sun & Cheng, 2005). Hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan bantuan mikroorganisme yang menghasilkan mikroorganisme seperti Trichoderma reesei (Kodri et al., 2013), Trichodeerma viridie (Saparianti et al., 2012), dan Aspergillus niger (Kodri et al., 2013). Berbeda dengan hidrolisis secara enzimatis, hidirolisis menggunakanan asam encer dilakukan pada suhu dan tekanan tinggi dalam waktu yang singkat sehingga memungkinkan untuk dilakukan secara kontinu. Proses hidrolisis menggunakan asam pekat memerlukan suhu dan tekanan yang relatif rendah (Demirbas, 2005), akan tetapi waktu reaksi menggunakan asam pekat relatif lebih lama dibandingkan menggunakan asam encer. Kelemahan proses hidrolisis menggunakan asam dibanding secara enzimatis adalah reaksi yang bersifat tidak spesifik. Sakarifikasi dengan asam menghasilkan berbagai produk samping seperti furan, asam asetat dan fenolik (Chandel et al., 2007). Fermentasi Proses fermentasi merupakan tahap akhir yang dilakukan untuk memperoleh bioetanol. Fermentasi dilakukan untuk mengkonversi gula-gula sederhana menjadi bioetanol dengan menggunakan banguan ragi seperti Saccharomyces cerevisiae dan bakteri Zymmomonas mobilis (Walker, 2010). Kondisi optimum untuk proses fermentasi adalah pada suhu 30°C, pH 5, dan sedikit aerobik (Dahnum et al., 2015). Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul etanol dan dua molekul karbon dioksida (CO2). Sementara xylose sebagai monomer dari hidrolisis hemiselulosa dapat difermentasi menggunakan Pichia stipitis (Walker, 2010). Pada fermentasi xylose tiga molekul xylose menghasilkan lima molekul etanol, lima dua molekul karbon dioksida (CO2) dan lima molekul air (Mc. Millan, 1993). SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation) SSF (Simultaneous Saccharification and Fermentation) merupakan salah satu teknologi konversi bioetanol yang mulai banyak digunakan dalam dunia industri. Pada proses SSF, tahap hidrolisis atau sakarifikasi selulosa dan fermentasi gula tidak dilakukan secara bertahap atau berpisah, tetapi secara simultan dalam satu reaktor. Proses sakarifikasi dan fermentasi dilakukan dengan memasukan enzim selulase dan ragi S. cerevisiae kedalam satu reaktor yang sama secara simultan dalam kondisi suhu optimal adalah 38°C, yang diperoleh dari perpaduan suhu optimal hidrolisis 45-50°C dan suhu optimal fermentasi 30°C (Sun & Cheng, 2002). Proses SSF memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan proses hidrolisis dan fermentasi secara bertahap atau sering disebut dengan SHF (Separated Hydrolysis and Fermentation) adalah: 1) Meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengonversi gula yang terbentuk dari hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase 2) Mengurangi kebutuhan enzim 3) Meningkatkan rendemen produk 4) Mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi etanol 5) Waktu proses lebih pendek, volume reaktor, dan energi yang diperlukan lebih kecil karena dalam proses hidrolisis dan fermentasi hanya digunakan satu reaktor dalam waktu bersamaan secara simultan. (Sun & Cheng, 2002). 6) Proses SSF lebih toleran terhadap inhibitor yang terbentuk dari proses pretreatment, umumnya inhibitor mengganggu proses hidrolisis (Ohgren et al, 2007). Walaupun proses SSF lebih disukai dalam dunia industri, ada beberapa kendala yang perlu diatasi dari proses tersebut, diantaranya adalah:
145
1) Suhu hidrolisis dan fermentasi tidak sama 2) Toleransi mikroba terhadap etanol 3) Penghambatan kerja enzim oleh etanol (Sun & Cheng, 2002). 4) Kesulitan memisahkan sel ragi dari sisa lignin dan serat dapat meningkatkan kebutuhan ragi sehingga menurunkan produksi etanol. (Nguyen, 1993).
Gambar 1. Proses konversi 1 ton substrat alang alang menjadi bioetanol generasi kedua (Haque et al., 2015). KESIMPULAN Sampai saat ini tanaman alang-alang yang keberadannya cukup melimpah di Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Alang-alang memiliki komponen kimia lignoselulosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol generasi kedua. Akan tetapi produksi dan aplikasi bioetanol dari biomassa lignoselulosa termasuk alangalang masih menghadapi berbagai masalah seperti teknologi proses yang belum dikuasai secara maksimal dan harga bioetanol yang cukup mahal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama oleh berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan pendidik untuk mendorong pemanfaatan taanaman alang-alang sebagai sumber bahan baku bioetanol generasi kedua.
DAFTAR PUSTAKA Chandel, A. R. (2007). Detoxification of sugarcane bagasse hydrolysate improves ethanol production by Candida shehatae NCIM 3501. Bioresource Technology, 1947-1950. Costello & Chum. (1998). Biomass, bioenergy and carbon management. Bioenergy ’98: Expanding Bioenergy Partnerships (hal. 11-17). Madison: Omni Press. Fojas & Rosario. (2013). Optimization of Pretreatment and Enzymatic Saccharification of Cogon Grass Prior Ethanol Production. International Journal of Chemical, Molecular, Nuclear, Materials and Metallurgical Engineering, 296-299.
146
Garrity, D. S. (1997). The Imperata Grasslands of Tropical Asia: Area, Distribution and Typology. Agroforestry systems, 3-29. Hambali, E. S. (2007). Teknologi Bioenergi. Jakarta: Agromedia Pustaka. Haque, M. A., Barman, D. N., & Kim, M. K. (2015). Cogon grass (Imperata cylindrica), a potential biomass candidate for bioethanol: cell wall structural changes enhancing hydrolysis in a mild alkali pretreatment regime. Sci Food Agric , 1790–1797. Hastuti, N., Efiyanti, L., Pari, G., Saepuloh, & Setiawan, D. (2015). Chemical Component and Potential Utilization of Five Lesser Known Wood. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 15-27. Hermiati, D. M. (2010). Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian, 121-130. Holtzapple, M. R. (2004). Methods and Systems for Pretreatment and Processing of Biomass. Kodri, B. A. (2013). Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma Reseei dan Aspergillus Niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi dengan Pretreatment Microwave. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, 36-43. Liu, I. &. (2007). Cellulase Production By Trichoderma Koningii AS3.4262 In Solid-State Fermentation Using Lignocellulosic Waste From The Vinegar Industry. Food Technology, 420-425. Long, Yueqin, O., Guo, P., Yuntao, Cui, L. J., Long, M., & Hu, Z. (2009). Cellulase Production by Solid State Fermentation Using Bagasse With Penicillium decumbens L-06. Annals of Microbiology, 517-523. Millan, M. (1993). Xylose Fermentation to Ethanol: A Review. National Renewable Energy Laboratory, 3. Mosier, Wyman, N. C., Dale, B., Elander, R., Mosier, Y., Wyman, N. C., Y. (2005). Features of promising technologies for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Technology, 673−686. Muzzie. (2006). Hemiselulosa and Lignin,. New Jersey. Nguyen. (1993). Economic analyses of integrating a biomass-to-ethanol plant into a pulp/saw mill. Bioconversion of Forest and Agricultural Plant Residues (hal. 321–340). CAB International, Wallingford: In J.N. Saddler (Ed. Ohgren, Bura, K. R., Lesnicki, G., Saddler, J., & Zacchi, G. (2007). A comparison between simultaneous saccharification and fermentation (SSF) and separate hydrolysis and fermentation (SHF) using steam-pretreated corn stover. Proc. Biochem, 834–839. Osvaldo, Putra, P., & Faizal, M. (2012). Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu Proses Hidrolisis dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol dari Alang-alang. Jurnal Teknik Kimia, 52-62. Paskawati & Susyana. (2010). Skripsi: Pembuatan Pulp dari Sabut Kelapa sebagai Bahan Baku Kertas Komposit. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik. Pastor, F., Gallardo, O., Sanz-Aparicio, J., & Diaz, P. (2007). Xylanases : Molecular Properties and Applications. Prawirohatmodjo. (1997). Kimia. Yogyakarta: Yayasan Pembina Universitas Gajah Mada.
147
Puspitasari, P., Linda, R., & Mukarlina. (2013). Pertumbuhan Tanaman Pakchoy (Brassica chinensis L.) dengan Pemberian Kompos Alang-Alang (Imperata cylindrica (L.) Beauv) pada Tanah Gambut. Jurnal Protobiont, 42-48. Saparianti, Dewanti, T., & Dhoni, S. K. (2012). Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Glukosa Cair oleh Kapang Trichoderma viride. Jurnal Teknik Pertanian, 1-10. Sun & Cheng. (2002). Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: A review. Bioresource Technology, 1-11. Sutiya, B. Istikowati, W. T., Rahmadi, A., & Sunardi. (2012). Kandungan Kimia dan Sifat Serta Alang-alang (Imperata cylindrica) sebagai Bahan Baku Pulp dan Kertas. Bioscientiae, 8-19. Wenzl. (1990). The Chemical Technology of Wood. . London: Academic Press Inc. Windadri, Rahayu, M., & Uji, T. (2006). Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Biodiversitas, 333-339. Wong & Lim. (2016). Production of Bioethanol from Cogon Grass (Imperata cylindrical). Asian J.Chem., 52-56.
148
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERORIENTASI LEARNER AUTONOMY PADA TOPIK OPTIKA GEOMETRI UNTUK MELATIHKAN KETERAMPILAN PEMECAHAN MASALAH The Development of Instructional Materials oriented to Learner Autonomy on Geometric Optics Subject to Train Problem Solving Skill Abdul Salam M.1*, Sarah Miriam1, Misbah1 Pendidikan Fisika FKIP ULM, Jalan Brigjend H. Hasan Basry, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran fisika dasar topik Optika Geometri yang valid, praktis, dan efektif untuk melatihkan keterampilan pemecahan masalah. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan berorientasi pada learner autonomy. Penelitian ini dilaksanakan dengan one group pretest and postest design. Subjek uji coba penelitian adalah mahasiswa semester dua (2) program studi Pendidikan Fisika FKIP ULM tahun akademik 2016/2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan: (1) valid berdasarkan penilaian pakar, (2) praktis berdasarkan hasil keterlaksanaan RPP, dan (3) efektif berdasarkan peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan gain score yang berkategori sedang. Kata kunci: learner autonomy, keterampilan pemecahan masalah, optika geometri Abstract. This study was intended to develope a valid, practical, and effective instructional material of fundamental physics on geometric optics subject to train problem solving skill. The Instructional materials developed were oriented to learner autonomy. This study was conducted in one group pretest and postest design. The subject of this study is the second (2nd) semester student of Physics Education Study Program of FKIP ULM at the academic year of 2016/2017. The study result showed that the developed instructional materials were declared: (1) valid according to the expert judgment, (2) practical according to the application lesson plan in classroom, and (3) effective according to student achievement giving gain score of medium category. Keywords: learner autonomy, problem solving skill, geometric optics
PENDAHULUAN Permendikbud nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses menegaskan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Keseluruhan prinsipprinsip pembelajaran diatas bermuara pada pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan mengembangkan segala potensi yang ada pada diri siswa atau peserta didik. Mewujudkan pola pembelajaran yang mampu memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif di kelas adalah sesuatu yang tidak mudah. Diperlukan kemampuan guru untuk menarik perhatian peserta didik, salah satunya dengan berupaya memunculkan masalah pembelajaran yang memang berkaitan dengan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penguasaan pengetahuan prasyarat oleh peserta didik untuk memasuki sebuah topik baru. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka mustahil pembelajaran yang berpusat pada siswa akan berjalan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi guru/dosen untuk mengetahui seberapa besar kemampuan/pengetahuan prasyarat peserta didik sehingga guru/dosen mampu merumuskan tugas dan tanggung jawab yang akan diamanahkan kepada peserta didiknya. (Howe & Jones, 1993) memperkenalkan sebuah konsep untuk mengatur tugas dan tanggung jawab pendidik dan peserta didik dalam proses pembelajaran dengan
149
mempertimbangkan hal-hal diatas yang dikenal dengan istilah learner autonomy. Learner autonomy didasarkan pada gagasan bahwa peserta didik harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang berkenaan dengan kompetensi yang akan dilatihkan (Balcinkali, 2010). Dengan demikian sehingga siswa diharapkan lebih fokus dan bertanggungjawab pada pembelajaran mereka sendiri. Dengan learner autonomy peserta didik dikelompokkan ke dalam tingkatan-tingkatan berdasarkan kemampuan awal mereka dan sekaligus mengatur tanggung jawabnya dalam proses pembelajaran. Learner autonomy juga tidak lepas terhadap tanggung jawab pendidik, khususnya berkenaan dengan peran dan tanggung jawabnya dalam kelas serta pemilihan model pembelajaran yang digunakan. Model-model pembelajaran yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, materi, dan lingkungan belajar. Dalam konteks pembelajaran fisika di FKIP Universitas Lambung Mangkurat, masalah memotivasi peserta didik agar aktif dan learner autonomy sangatlah penting mengingat masih begitu rendahnya kompetensi dasar keilmuan yang dimiliki oleh mahasiswa sebagai calon guru. Proses perkuliahan masih didominasi oleh dosen dengan metode ceramah dan diikuti contoh soal, dan drill (latihan). Mahasiswa sebagai subjek belajar lebih sering diposisikan sebagai pendengar sehingga menjadi tidak aktif. Selain itu, modul praktikum yang digunakan di laboratonium juga sudah sangat lengkap dan sistematis. Akibatnya, keterampilan proses sains siswa kurang bterlatih secara komprehensif (Salam M., Prabowo, & Supardi, 2015). Penelitian yang dilakukan sebelumnya telah membuktikan bahwa pembelajaran dengan learner autonomy efektif untuk meningkatkan kompetensi dasar keilmuan mahasiswa pendidikan fisika pada perkuliahan fisika dasar topik listrik dinamis (Salam M., Prabowo, & Supardi, 2015). Rancangan penelitian ini merupakan kelanjutan penelitian pada topik fisika dasar yang lain, yakni optika geometri. Peneliti memiliki keyakinan yang kuat bahwa masih rendahnya penguasaan kompetensi dasar keilmuan mahasiswa khususnya keterampilan pemecahan masalah bisa diatasi dengan perangkat pembelajaran yang dikembangkan METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran topik Optika Geometri yang berorientasi pada learner autonomy dan kearifan lokal untuk melatihkan keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Penelitian mengadaptasi model pengembangan Dick & Carey (Dick, Carey, & Carey, 2009) untuk menghasilkan perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), Materi Ajar, dan Tes Hasil Belajar (THB). Tahapan pengembangan yang dilaksanakan meliputi: (1) menganalisis tujuan/kompetensi dasar, (2) menganalisis perkuliahan, (3) menganalisis mahasiswa, (4) merumuskan tujuan kinerja, (5) menyusun tes acuan patokan, (6) mengembangkan strategi perkuliahan, (7) mengembangkan perangkat pembelajaran, (8) melaksanakan validasi, (9) melaksanakan Uji Coba I, dan (10) melaksanakan uji Coba II. Artikel ini mendeskripsikan hasil pelaksanaan Uji Coba I yang merupakan bagian dari pengembangan perangkat pembelajaran secara utuh. Subjek penelitian ini adalah perangkat pembelajaran berupa RPP, LKM, Materi Ajar, dan THB. Objek Penelitian berupa kelayakan perangkat pembelajaran yang terdiri dari validitas, kepraktisan, dan keefektifan dari perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Selanjutnya yang menjadi subjek uji coba perangkat pembelajaran adalah mahasiswa Pendidikan Fisika yang memprogramkan mata kuliah Fisika Dasar II pada tahun akademik 2016/2017, sebanyak 20 orang. Teknik analisi data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan masingmasing data yang diperoleh selama tahapan pengembangan. Skor penilaian terhadap masingmasing perangkat pembelajaran diperoleh dari hasil penilaian pakar dengan menggunakan beberapa indikator. Skor tersebut dirata-ratakan kemudian diklasifikasikan berdasarkan kategori pada tabel 1. Skor keterlaksanaan RPP juga dirat-ratakan kemudian diklasifikasikan berdasarkan pengaktegorian pada tabel 1. Data tersebut dijadikan dasar untuk menentukan
150
kepraktisan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Selanjutnya Data hasil belajar baik sebelum dan sesudah pembelajaran dianalisis secara deskriptif untuk menentukan nilai maksimum, nilai minimum, rerata, dan standar deviasi. Selanjutnya dihitung nilai gain ternormalisasi dengan menggunakan formula (Hake, 1998): % S f % Si g 100% % S i Dengan g adalah gain ternormalisasi, S f adalah nilai postest, dan Si adalah nilai pretest. Nilai tersebut disesuaikan dengan nilai acuan gain pada tabel 3 untuk melihat kategori efek peningkatan hasil belajar mahasiswa setelah diterapkannya perangkat pembelajaran yang dikembangkan.
Tabel 1. Acuan validitas perangkat dan keterlaksanaan RPP Rentang Skor Kategori ≥4,21 Sangat Baik Baik 3,40 - 4,20 Cukup 2,60 - 3,40 Kurang Baik 1,80 - 2,60 Tidak Baik ≤1,80 Diadaptasi dari Widoyoko, (2012: 238) Tabel 2. Acuan nilai gain Rentang Skor Kategori Tinggi 0,70 Sedang 0,7 ≥ g ≥ 0,3 Rendah < 0,3 (Hake, 1998)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini meliputi RPP, LKM, Materi Ajar, dan THB. Perangkat pembelajaran ini diharapkan mampu melatihkan keterampilan pemecahan masalah bagi mahasiswa pada topik Optika Geometri dengan memperhatikan otonomi belajar bagi mahasiswa. Perangkat pembelajaran yang dirancang selanjutnya divalidasi oleh ahli/pakar untuk memperoleh perangkat yang valid. Selanjutnya, perangkat tersebut di uji coba pada kelas terbatas untuk mengetahui kepraktisan dan keefektivannya. 1. Hasil validasi ahli/pakar Proses validasi merupakan proses penelaahan oleh pakar menggunakan sejumlah indikator untuk setiap jenis perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Rencana pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan panduan yang didesain sedemikian rupa oleh guru/dosen untuk mengimplementasikan pembelajaran di kelas. Penelaahan pakar terhadap RPP meliputi komponen tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, waktu, dukungan antar perangkat pembelajaran, metode sajian, dan bahasa yang digunakan. Berdasarkan hasil penilaian pakar, diperoleh nilai rata-rata sebesar 4,18 yang berkategori baik dengan reliabilitas sebesar 99,02%. Lembar Kerja Mahasiswa (LKM) adalah panduan sekaligus kertas kerja bagi mahasiswa dalam melakukan pemecahan masalah. Pemecahan masalah disini terdiri atas pemecahan masalah melalui kegiatan eksperimen dan pemecahan masalah soal-soal latihan level kognitif C3 (penerapan) maupun C4 (analisis). Indikator dalam penilaian LKM meliputi aspek petunjuk, kelayakan isi, prosedur, dan pertanyaan. Berdasarkan hasil penilaian pakar, diperoleh nilai rata-rata LKM sebesar 3,86 yang berkategori baik dengan reliabilitas sebesar 98,97%. Materi Ajar Optika Geometri digunakan oleh mahasiswa sebagai salah satu sumber belajar dalam proses belajar mengajar di kelas. Materi ajar yang dikembangkan terdiri atas sampul, kata pengantar, daftar isi, tujuan pembelajaran, pembahasan materi yang dilengkapi
151
dengan gambar, contoh soal, latihan, rangkuman, daftar pustaka, dan glosarium. Materi ajar didesain sedemikian rupa untuk mengakomodir kebutuhan sumber belajar minimal yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Adapun indikator penilaian untuk materi ajar meliputi: komponen kelayakan isi, kebahasaan, dan komponen penyajian. Hasil penilaian pakar menunjukkan bahwa materi ajar yang dikembangkan berkategori baik dengan nilai rata-rata sebesar 4,00 dan dengan reliabilitas sebesar 99,33%. Perangkat pembelajaran yang terakhir adalah THB yang sekaligus merupakan instrumen untuk menilai ketercapaian tujuan pembelajaran. THB yang dikembangkan berupa soal essay berjumlah 6 nomor dengan level kognitif C2 sampai dengan C6. Indikator penilaian terhadap THB meliputi aspek validitas isi, bahasa serta penulisan soal. Hasil penilaian pakar menunjukkan bahwa THB yang dikembangkan berkategori baik dengan nilai rata-rata sebesar 3,98 dan dengan reliabilitas sebesar 99,48%. Berdasarkan hasil penilaian pakar terhadap perangkat pembelajaran, diketahui bahwa keseluruhannya adalah berkategori baik. Dengan demikian seluruh perangkat pembelajaran dinyatakan valid. Selanjutnya perangkat pembelajaran dapat digunakan/diimplementasikan dalam proses pembelajaran pada tahap uji coba untuk mengetahui tingkat kepraktisan dan efektivitasnya. 2. Hasil uji coba Uji coba terbatas dilaksanakan dalam 3 kali tatap muka dengan alokasi waktu masingmasing sebesar 150 menit. Pertemuan pertama membahas topik pemantulan cahaya dengan menggunakan model pengajaran langsung. Tujuannya adalah untuk membekali mahasiswa tentang keterampilan melakukan eksperimen yang berkaitan dengan hukum pemantulan cahaya dan sifat-sifat bayangan yang terbentuk oleh cermin datar, cekung, dan cembung. Selanjutnya secara bertahap, mahasiswa dibekali dengan kemampuan melakukan pemodelan matematis terhadap hasil eksperimen yang dilakukan. Berdasarkan tabel 3, diketahui bahwa keterlaksanaan RPP sudah berjalan dengan baik. Tabel 3. Keterlaksanaan Pembelajaran Langsung Fase Pembelajaran 1. Menjelaskan tujuan dan mempersiapkan mahasiswa 2. Mendemonstrasikan pengetahuan/ keterampilan 3. Membimbing pelatihan 4. Mengecek pemahaman dan memberi umpan balik 5. Membimbing pelatihan lanjutan dan penerapan
Skor 4,25 4,25 4,17 4,00 3,80
Kategori Sangat Baik Sangat Baik Baik Baik Baik
Pada pertemuan kedua, dosen menggunakan model pembelajaran inquiry/discovery learning tipe terbimbing. Pembelajaran ini terdiri atas 5 fase pembelajaran (Sutman, Schmuckler, & Woodfield, 2008). Umumnya fase-fase pembelajaran berjalan dengan sangat baik. Pertemuan kedua membahas tentang pembiasan cahaya oleh satu bidang permukaan pembias yang diikuti dengan pemodelan matematis berdasarkan hasil eksperimen. Oleh karena sifatnya yang masih terbimbing, maka LKM yang digunakan mahasiswa masih dilengkapi dengan Rumusan masalah dan atau tujuan eksperimen, alat/bahan, serta prosedur kerja. Tabel 4. Keterlaksanaan Pembelajaran Inkuiri/Discovery Terbimbing Fase Pembelajaran Skor Kategori Menyampai-kan masalah (Inquiry) 4,00 Baik Menjelaskan prosedur penyelidikan (Method) 4,50 Sangat baik Melaksanakan penyelidikan (Investigation) 4,50 Sangat baik Mempresenta-sikan hasil penyelidikan (Conclusion) 4,00 Baik Mendiskusi-kan penerapan (Extension) 4,33 Sangat baik
Perkuliahan ketiga menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation. Fase-fase pembelaran yang tampak pada tabel 5 adalah fase-fase pembelajaran kooperatif secara umum. Adapun ciri khas dari langkah-langkah tipe group investigation yang terdiri dari 6 langkah (Sharan, 1990) dilebur ke dalam fase-fase pembelajaran kooperatif. Hasil pengamatan observer menunjukkan bahwa keterlaksanaan fase-fase pembelajaran kooperatif telah berkategori sangat baik.
152
Tabel 5. Keterlaksanaan Pembelajaran Kooperatif Fase Pembelajaran Skor Memotivasi mahasiswa dan menyampaikan tujuan 4,50 Menjelaskan informasi 4,50 Mengorganisasikan mahasiswa ke dalam tim-tim belajar 4,67 Membimbing kelompok bekerja dan belajar 4,33 Evaluasi 4,40 Memberikan penghargaan 3,67
Kategori Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Baik
Secara umum tipe-tipe pembelajaran kooperatif berada pada level otonomi tingkat II. Namun demikian, khusus untuk pembelajaran kooperatif tipe kelompok investigasi (Group Investigation) berada pada level III. Hal ini disebabkan karena salah satu tuntutan dari pembelajaran kooperatif tipe ini adalah siswa yang harus bisa merencanakan sendiri pemecahan masalah akademik yang diberikan bersama dengan kelompoknya. Investigasi kelompok menempatkan siswa/mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama merencanakan proyek, melaksanakan investigasi, menyajikan temuan dan mengevaluasinya secara bersama (Doymus, Simsek, Karacop, & Ada, 2009). Dengan demikian, jenis LKM yang digunakan dalam penelitian ini tidak mencantumkan tujuan, alat dan bahan, prosedur kerja percobaan/ekesperimen. Mahasiswa diharapkan memaksimalkan sumber daya yang ada atau yang dipersiapkan oleh dosen untuk memecahkan masalah akademik yang diberikan. Intervensi dari dosen untuk menyiapkan beberapa alat dan bahan ini dimungkinkan dengan pertimbangan waktu dan efektivitas penyelidikan. Berdasarkan pemaparan data diatas, terlihat bahwa keterlaksanaan fase-fase pembelajaran berorientasi learner autonomy dapat terlaksana dengan baik, bahkan sebagian besar fase-fase pembelajarannya bisa dilaksanakan dengan sangat baik. Hal ini menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan tergolong praktis. Kesiapan mahasiswa berupa pengetahuan dan keterampilan yang dipersyaratkan bisa terpenuhi sehingga hambatan yang dialami pada setiap level otonomi dapat diatasi dengan baik. Efektivitas perangkat pembelajaran dalam penelitian ini ditinjau dari hasil pretest dan postest. Berdasarkan tabel 5, diketahui bahwa rerata pretest mahasiswa sebesar 12,2 dengan deviasi standar sebesar 5,1. Selanjutnya nilai rerata postest adalah 69,8 dengan deviasi standar sebesar 11,9. Dengan skor maksimum yang mungkin dicapai adalah 100, maka peningkatan hasil belajar mahasiswa berdasarkan nilai gain ternormalisasi adalah 0,66 yang termasuk dalam kategori sedang/efektif. Hal ini sejalan dengan temuan peneliti sebelumnya bahwa pembelajaran inovatif yang mempertimbangkan learner autonomy efektif untuk meningkatkan hasil belajar mahasiswa pada topik listrik dinamis (Salam M., Prabowo, & Supardi, 2015). Tabel 5. Keterlaksanaan Pembelajaran Kooperatif Nilai Pretest Postest Nilai Maksimum 23 87 Rerata 12,6 70,0 Nilai Minimum 6 50 Deviasi standar 5,1 11,9 Gain score 0,66
Tes Hasil Belajar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 pertanyaan terdiri atas level pertanyaan memahami (C2) sebanyak dua nomor, sedangkan level kognitif lainnya (menerapkan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6)) masingmasing diwakili satu nomor soal. Soal-soal pemecahan masalah yang disajikan dalam THB memiliki proporsi paling besar. Kualifikasi soal C4 dan C5 dalam penelitian ini pada dasarnya untuk menguji keterampilan mahasiswa menyelesaikan masalah yang memerlukan kemampuan analisis matematis dan pemodelan dalam bentuk gambar jejak berkas cahaya. Selain itu, mahasiswa juga dilatih pemecahan masalahnya melalui kreativitas menyusun eksperimen sederhana yang berakar pada keterampilan proses sains (level C6). Proporsi terendah dari rerata skor jawaban mahasiswa disumbangkan oleh pertanyaan pada level C2 dan C3 yang menuntut siswa menggambarkan proses pembentukan bayangan pada lensa dan cermin. Beberapa mahasiswa masih keliru menggunakan sinar-sinar istimewa pada lensa maupun cermin. Kebiasaan di sekolah menengah dan buku-buku penerbit yang
153
selalu menempatkan benda/objek diatas sumbu utama juga mengakibatkan mahasiswa keliru menggambar ketika diminta membuat objek yang simetris terhadap sumbu utama. Untuk pembentukan bayangan pada lup, beberapa mahasiswa masih keliru menempatkan benda/objek sehingga bayangan yang terbentuk tidak diperbesar. Hal-hal seperti ini tentu memerlukan pengulangan dan pembiasaan, sehingga siswa/mahasiswa tidak hanya terpaku pada satu kondisi tertentu saja, namun bisa menerapkan pemahamannya untuk berbagi situasi yang diberikan. Hal ini sesuai dengan hukum Law of exercise yang mengisyaratkan pentingnya pengulangan/latihan agar seseorang memiliki pemahaman yang baik tentang sesuatu atau menjadi terampil. Selain itu, menurut teori pemrosesan informasi kebiasaan menggunakan sebuah pengetahuan dan atau keterampilan akan menjadikan pengetahuan/keterampilan tersebut tidak mudah untuk dilupakan dan akhirnya bisa naik ke memori jangka panjang seseorang. SIMPULAN Berdasarkan pemaparan data dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran fisika topik optika geometri yang dikembangkan dengan berorientasi pada learner autonomy dinyatakan layak (valid, praktis, dan efektif) untuk digunakan pada uji coba sebenarnya. DAFTAR PUSTAKA Balcinkali, C. (2010). Learner Autonomy in Language Learning: Student Teachers' Beliefs. Australian Journal of Teacher Education, 35(1); 90-103. Dick, W., Carey, L., & Carey, J. O. (2009). The Systematic Design of Instruction, 7th edition. New Jersey: Pearson. Doymus, K., Simsek, U., Karacop, A., & Ada, a. S. (2009). Effects of Two Cooperative Learning Strategies on Teaching and Learning Topics of Thermochemistry. World Applied Sciences Journal , 7(1), 34-42. Hake, R. R. (1998). Interactive-engagement vs traditional methods: A six-thousand student survey of Mechanics test data for introductory physics courses. American Journal of physics, 66(1), 64-74. Howe, A. C., & Jones, L. (1993). Engaging Children In Science. New York: Macmillan Publishing Company. Salam M., A., Prabowo, & Supardi, Z. A. (2015). Pengembangan Perangkat Perkuliahan Inovatif berdasarkan Tingkat Otonomi Pebelajar pada Perkuliahan Fisika Dasar. Jurnal Penelitian Pendidikan Sains, 4(1) 547-556. Sharan, Y. S. (1990). Group Investigation Expands Cooperative Learning. Educational Leadership, 47, 17-21. Sutman, F. X., Schmuckler, J. S., & Woodfield, J. D. (2008). The Science Quest Using Inquiry/Dizcovery to Enhance Student Learning. San Fransisco: John Wiley & Sons.
154
PENGARUH PENAMBAHAN LEMPUNG GAMBUT DAN TAR SEBAGAI PEREKAT TERHADAP KUALITAS BRIKET BIOARANG DARI ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes) The Influence of The Addition of Clay and Tar as an Adhesive to The Quality of Briquette Bioarang from Water Hyacinth (Eichhornia crassipes) Ajidannor1, Anisa Mauliyanti2, Hesty Wijayanti3* Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70714 *Email: [email protected] Abstrak. Briket bioarang dari eceng gondok memiliki potensial yang besar sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Penggunaan perekat dalam pembuatan briket akan mempengaruhi kualitas dari briket tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu optimum yang menghasilkan bioarang terbanyak dan bagaimana pengaruh variasi perekat dengan penambahan lempung gambut dan tar terhadap kualitas briket dari eceng gondok. Penelitian dilakukan dengan mengarangkan eceng gondok sebagai bahan bakunya. Kemudian perekat yang terbuat dari tepung kanji dan air akan dicampur dengan perekat lain berupa lempung gambut dan tar. Briket dengan variasi perekat tersebut akan diuji dengan uji proximat. Hasil yang diperoleh yaitu suhu optimum yang menghasilkan bioarang yaitu semakin tinggi suhu pirolisis yang digunakan maka akan menurunkan yield bioarang. Selain itu diperoleh kadar air terendah dari briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dan tar pada perbandingan 75%:12,5%:12,5%. Untuk kadar abu terendah pada briket yang menggunakan perekat tanpa ada campuran lempung maupun tar. Untuk kadar zat terbang terendah pada briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dengan perbandingan 75%:25%. Untuk fixed carbon tertinggi pada briket yang menggunakan perekat dengan campuran lempung gambut dan tar dengan perbandingan 25%:37,5%:37,5%. Kata Kunci: eceng gondok, briket bioarang, pirolisis, lempung gambut, tar. Abstract. Bio-briquette from water hyacinth has great potential as alternative energy to replace fossil fuel. The use of adhesives in the manufacture of briquettes will affect the quality of the briquettes. This study aims to determine the optimum temperature that produces the most bioarang and how the influence of adhesive variation with the addition of peat clay and tar to the quality of briquettes from water hyacinth. Research is done by composing water hyacinth as its raw material. Then the glue made of starch and water will be mixed with other glue in the form of peat and tar clay. The briquettes with the adhesive variation will be tested with the proximate test and the calorific value test, so far the results obtained are the optimum temperature that produces bioarang is the higher the pyrolysis temperature used then it will decrease the yield bioarang. In addition, the lowest moisture content of briquettes using adhesives with mixture of peat clay and tar was compared to 75%: 12.5%: 12.5%. For the lowest ash content on briquettes that use adhesives without any mixture of clay and tar. For the lowest flying substance content on briquettes using adhesives with a mixture of peat clay with a ratio of 75%: 25%. For the highest fixed carbon in briquettes using adhesives with a mixture of peat clay and tar with a ratio of 25%: 37.5%: 37.5%. Keywords: Water hyacinth, bio-briquette, pyrolysis, peat clay, tar.
155
PENDAHULUAN Seiring perkembangan zaman, konsumsi masyarakat akan bahan bakar fosil terus meningkat. Banyaknya industri yang memakai bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui membuat ketersediaannya semakin menipis. Kesadaran akan menjaga lingkungan mendorong manusia untuk mengembangkan energi alternatif yang terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Beberapa jenis energi alternatif yang bisa dikembangkan yaitu energi matahari, energi angin, energi panas bumi dan energi biomassa. Biomassa merupakan sumber energi yang menjanjikan sebagai pengganti bahan bakar fosil. Biomassa dikembangkan karena memanfaatkan hasil dari tumbuhan ataupun hewan yang komponen utamanya karbohidrat. Biomassa umumnya memiliki keunggulan daripada bahan bakar bakar fosil karena dapat diperbaharui, tidak menyebabkan polusi udara dan dapat mengefesiensikan pemanfaatan limbah dari tumbuhan (Thoha and Fajrin, 2010) Eceng gondok merupakan sumber biomassa potensial. Sumbernya sangat melimpah terutama di daerah Kalimantan Selatan. Eceng gondok merupakan gulma di ekosistem perairan karena pertumbuhannya yang sangat tinggi yang mencapai 3% perhari (Hendra, 2011). Walaupun potensial tetapi pemanfaatannya hingga saat ini belum maksimal sebagai sumber energi. Eceng gondok yang memiliki potensi sebagai biomassa menjadikan eceng gondok dapat dikembangkan sebagai bahan baku briket bioarang. Bio arang memiliki kelebihan dibanding arang biasa karena memiliki densitas yang lebih tinggi, dapat disimpan lama, ringan dan mudah disimpan (Ristianingsih et al., 2015) Selain biomassa sebagai bahan baku utama untuk pembuatan biobriket , penggunaan perekat yang sesuai menentukan kulitas bio briket yang dihasilkan. Perekat yang umumnya digunakan adalah tapioka. Namun, penggunaan perekat ini dapat menyerap air dari udara sehingga dapat menurunkan nilai kalor dan tidak baik apabila berada dalam kelembaban udara yang tinggi (mudah berjamur) (Pane et al., 2015). Lempung gambut merupakan tanah lempung yang berada di bawah lapisan tanah gambut. Lempung atau tanah liat umumnya digunakan sebagai bahan perekat briket. Jenisjenis lempung yang dapat dipakai untuk pembuatan briket terdiri dari jenis lempung warna kemerah-merahan, kekuning-kuningan dan abu-abu (Wijayanti, 2009). Lempung merupakan perekat anorganik yang dapat menjaga ketahanan briket selama pembakaran sehingga dasar permeabilitas bahan bakar tidak terganggu. Tar merupakan hasil pengembunan asap yang dihasilkan dari proses pirolisis. Tar merupakan perekat organik. Penggunaan perekat organik menghasilkan abu yang lebih sedikit setelah pembakaran biobriket (Thoha and Fajrin, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tanah lempung gambut dan tar sebagai campuran dari perekat tapioka terhadap kualitas briket bioarang yang dihasilkan. Kedua jenis perekat ini merupakan bahan yang potensial digunakan karena tar merupakan produk samping dari pirolisis untuk pembuatan bioarang. Sedangkan sumber lempung gambut tersedia melimpah terutama di daerah Kalimantan Selatan yang memiliki lahan gambut cukup besar.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Operasi Teknik Kimia Program Studi Teknik Kimia Universitas Lambung Mangkurat. Bahan baku eceng gondok pada penelitian ini didapat dari daerah Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah reaktor pirolisis, neraca analitik, pengaduk, alat penumbuk, ayakan, stopwatch, oven,, cawan porselen, beker gelas, gelas ukur dan alat pencetak briket.
156
Bahan Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah eceng gondok, tapioka, dan lempung gambut. Persiapan Sampel Eceng Gondok Sampel eceng gondok dibersihkan dari kotoran yang terbawa dan dicuci dengan air bersih. Kemudian dipisah batang dan daunnya dan dipotong kecil kecil Kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari selama 2 hari. Pengarangan Sampel yang telah dijemur kemudian dimasukkan kedalam reaktor pirolisis selama 1 jam dengan variasi suhu 250, 300 dan 350 ˚C. Asap dari pirolisis kemudian diembunkan dan diambil tarnya. Perekatan Setelah proses pengarangan sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan 250 mesh. Kemudian masuk proses perekatan. Jumlah perekat yang digunakan dalam pembuatan briket bioarang adalah sebanyak 10% dari berat arang yang akan digunakan dalam pembuatan briket tersebut (Ndhara, 2009). Perekat dibuat dengan mencampurkan tepung tapioka dengan air dengan perbandingan 1:8 (Ristianingsih et al., 2015). Arang eceng gondok yang telah terbentuk kemudian dicampur dengan campuran perekat. Variasi campuran perekat yang digunakan yaitu (menggunakan rasio berat) : a. Perekat:lempung gambut (25% : 75%, 50% : 50%, 75%:25%) b. Perekat:tar (25% : 75%, 50% : 50%, 75% : 25%) c. Perekat:lempung gambut:tar 1. 75% : 12,5% : 12,5% 2. 50% : 25% : 25% 3. 25% : 37,5% : 37,5% Pencetakan Bioarang yang sudah tercampur dengan perekat dimasukkan ke dalam alat pencetak briket. Bioarang dikompaksi dengan tekanan 800 kg/cm2. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama ± 10 jam. Lalu didinginkan (Ariyanto et al., 2014). Pada briket bioarang yang dihasilkan dilakukan uji yield, kadar air (SNI 06-3730-1995), kadar abu (SNI 06-37301995), kadar zat terbang (SNI No. 01-6235-2000), kadar fixed carbon dan nilai kalor (Ristianingsih et al., 2015). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan memvariasikan suhu pirolisis dan penambahan campuran perekat. Variasi tersebut dilakukan dengan harapan mendapatkan kondisi operasi yang optimum produk hasil pirolisis. Selain itu, dengan memvariasikan suhu dan jenis campuran perekat yang digunakan dapat mengetahui karakteristik dari briket hasil penelitian. Pengaruh Suhu Hasil Pirolisis Terhadap Char Pirolisis adalah pembakaran pada kondisi tanpa oksigen (anaerob). Tujuannya untuk melepaskan zat terbang (volatile matter) yang terkandung pada biomassa. Secara umum kandungan zat terbang pada biomassa cukup tinggi. Produk proses pirolisis ini berbentuk cair, gas dan padat. Produk padat dari proses ini berupa arang (char). Temperatur pirolisis sangat berpengaruh terhadap yield arang yang dihasilkan (Ristianingsih et al., 2015). Tabel 1. Variasi suhu pirolisis terhadap arang yang dihasilkan No. Suhu (oC) Tar (gr) Arang (gr) Udara (gr) 1. 250 34 48 18 2. 300 40,3 47,8 11,9
Waktu (jam) 1 1
157
3. 350 26,46 42,7 30,84 1 Berdasarkan Tabel 4.1 semakin tinggi suhu pirolisis maka arang yang dihasilkan akan semakin menurun. Nilai yield arang tertinggi dihasilkan pada suhu 250°C yaitu 48% dan nilai yield arang terendah dihasilkan pada suhu 350°C yaitu 42.7%. Semakin tinggi suhu pirolisis maka arang yang dihasilkan semakin berkurang, hal ini disebabkan semakin meningkatnya dekomposisi dan atau meningkatnya reaksi lanjutan arang menjadi tar dan gas akibat suhu tinggi (Noor et al., 2012). Hal ini sejalan dengan temperatur pirolisis untuk memperoleh banyak arang yang direkomendasikan (Parikh et al., 2005) yaitu 300°C. Analisa Kadar Air Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam suatu briket. Kadar air dalam biomassa akan mempengaruhi kualitas suatu briket, yaitu semakin banyak kadar air suatu briket maka semakin sulit briket itu terbakar, sehingga waktu yang diperlukan untuk membakar briket tersebut akan semakin lama dan memerlukan lebih banyak energi untuk menyalakannya. Ini disebabkan panas yang diberikan pada briket digunakan terlebih dahulu untuk menguapkan kadar air di briket (Iriany and Firman Abednego S Sibarani, 2015).
Gambar 4.1 Nilai Kadar Air terhadap Variasi Perekat Berdasarkan Gambar 4.2 dapat diketahui kadar air yang terkandung pada briket yaitu 4,3948%-5,5524%. Kadar air tersebut sudah di bawah standar SNI untuk kadar air (<8%) (Thoha and Fajrin, 2010). Kadar air tertinggi terdapat pada variasi perekat tanpa campuran tlempung gambut maupun tar. Hal ini disebabkan perekat dibuat dengan mencampurkan tapioka dan air dengan perbandingan berat 1:9. Dengan penambahan lempung, tar dan campuran lempung+tar, terjadi penurunan kadar air pada briket, disebabkan oleh komposisi air dalam perekat berkurang. Sedangkan kadar air terendah terdapat pada variasi perekat dengan campuran lempung gambut terbesar yaitu 25%:75%. Semakin banyak campuran lempung gambut pada perekat maka kadar airnya semakin rendah. Ini disebabkan karena penggunaan perekat hanya 25%, dan sebelum lempung digunakan terlebih dahulu dioven untuk mengurangi kadar air yang terdapat pada lempung, sehingga kandungan airnya paling sedikit dibandingkan variasi yang lain. Campuran perekat dengan tar, memberikan nilai kadar air berkisar antara 4,5807%4,8049 Semakin banyak tar yang ditambahkan juga menyebabkan kadar airnya semakin tinggi, karena tar yang merupakan hasil kondensasi gas pirolisis masih banyak mengandung air baik dari reaksi dehidrasi maupun reaksi pirolisis (Noor et al., 2012). Jadi variasi briket yang memberikan kadar air terendah adalah campuran perekat dengan lempung gambut perbandingan 25%:75%. 4.3 Analisa Kadar Abu Kadar abu merupakan kandungan yang tidak dapat terbakar yang tertinggal setalah proses pembakaran. Kadar abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor suatu briket. Abu akan meninggalkan kerak pada peralatan, sehingga kadar abu tidak boleh terlalu tinggi (Thoha and Fajrin, 2010).
158
Gambar 4.2 Nilai Kadar Abu terhadap Variasi Perekat Berdasarkan Gambar 4.3 diatas kadar abu yang terkandung dalam briket ini yaitu 29,1681%-34,4109%. Kadar abu tersebut masih berada diatas standar SNI untuk kadar abu (<15%) (Thoha and Fajrin, 2010). Kadar abu terendah terdapat pada variasi perekat dan tar dengan perbandingan 25%:75%. Penambahan tar, akan menurunkan kadar abu, disebabkan tar tersusun atas senyawa hidrokarbon yang mudah terbakar dan air yang mudah diuapkan, sehingga abu yang tersisa menjadi lebih sedikit, walaupun asap yang terbentuk menjadi lebih banyak. Secara umum kecenderungan penambahan lempung akan meningkatkan kadar abu, karena dalam lempung mengandung mineral yang tidak dapat dibakar atau dioksidasi oleh oksigen, seperti SiO2, Al2O3, Fe2O3, dan alkali, pengeringan bahan yang tidak homogen (Ristianingsih et al., 2015). Sedangkan penambahan campuran lempung dan tar mengakibatkan penurunan kadar abu, yang nilainya signifikan terhadap kenaikan komposisi campuran lempung dan tar yang digunakan. 4.4 Analisa Kadar Volatile Matter Kadar zat terbang adalah zat yang dapat menguap sebagai dekomposisi senyawasenyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air. Volatile matter (VM) ditentukan dengan kehilangan berat yang terjadi jika briket dipanaskan tanpa kontak dengan udara kurang lebih 950°C dengan laju pemanasan tertentu. Kandungan kadar zat terbang yang tinggi dalam briket arang akan menyebabkan asap yang lebih banyak pada saat dinyalakan, apabila CO bernilai tinggi hal ini tidak baik untuk kesehatan dan lingkungan sekitar. Hasil penelitian untuk parameter kadar zat terbang pada briket dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.3 Nilai Kadar Zat Terbang terhadap Variasi Perekat Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui bahwa kadar analisa zat terbang pada briket yaitu 34,1564%-36,5385%. Secara umum, penambahan lempung, tar maupun lempung dan tar mampu menurunkan kadar zat terbang. Tetapi, tinggi rendahnya campuran lempung, tar
159
maupun lempung dan tar yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar zat terbang. Tingginya kadar zat terbang yang terdapat pada briket hasil penelitian ini dipengaruhi oleh kadar air. Kadar air yang tinggi akan menghasilkan nilai zat terbang yang tinggi pula (Ristianingsih et al., 2015). Nilai kadar zat terbang dapat memberikan pengaruh terhadap kemudahan briket untuk dinyalakan dan banyaknya asap yang dihasilkan. Jika semakin besar kadar zat terbang, maka akan semakin mudah briket dinyalakan dan asap yang dihasilkan juga bertambah banyak (Thoha and Fajrin, 2010). 4.5 Analisa Kadar Fixed Carbon Fixed carbon atau dapat juga disebut karbon tertambat merupakan kadar karbon yang sebenarnya dikandung suatu briket dan memiliki pengaruh terhadap zat terbang dan suhu karbonisasi (Thoha and Fajrin, 2010). Hasil penelitian kadar fixed carbon pada bio briket dapat dilihat pada Gambar 4.4
Gambar 4.4 Nilai Kadar Fixed Carbon terhadap Variasi Perekat Berdasarkan Gambar 4.4 diketahui analisa kadar fixed carbon pada briket yaitu 26,6306%-31,0878%. Penambahan lempung dan penambahan tar pada perekat menyebabkan kenaikan kadar fixed carbon. Sedangkan pada penambahan campuran tar dan lempung dengan komposisi <50%, pengaruhnya tidak signifikan, tetapi meningkat pada komposisi campuran tar dan lempung 75%. Kadar abu dan kadar zat terbang mempengaruhi nilai fixed carbon.Semakin tinggi kadar zat terbang dan kadar abu maka semakin rendah kadar fixed carbon. 4.6 Analisa Nilai Kalor Nilai kalor dinyatakan sebagai higherheating value (HHV). Semakin tinggi nilai kalornya maka semakin bagus kualitas briket yang dihasilkan. Untuk pengukuran nilai kalor dilakukan dengan bomb-calorimeter, namun dikarenakan proses analisa di Laboratorium Baristand belum selesai maka digunakan persamaan yang menggunakan nilai proximateanalysis untuk menghitung nilai kalor seperti dalam persamaan HHV= 0.3536FC+0.1559VM-0.0078Ash (MJ/kg)
...(1)
Hasil penelitian parameter nilai briket dapat dilihat pada gambar dibawah ini
160
Gambar 4.5 Nilai Kalor terhadap Variasi Perekat Berdasarkan gambar 4.5 diketahui analisa nilai kalor pada briket yaitu 10,862912,2375 (MJ/kg), lebih tinggi dari nilai kalor eceng gondok (9,3192 MJ/kg) , walaupun sedikit lebih rendah dari nilai kalor arang serbuk hasil pirolisis (12,5347 MJ/kg). Penambahan lempung dan tar pada perekat menyebabkan kenaikan nilai kalor, namun pengaruh banyaknya penambahan terhadap nilai kalor kurang signifikan Sedangkan penambhan campuran lempung dan tar memberikan hasil yang lebih tinggi bila digunakan pada komposisi yang besar (dengan perbandingan tapioka:lempung:tar=25%:37,5%:37,5%). Komposisi tar yang terdiri dari senyawa hidrokarbon berkontribusi terhadap peningkatan nilai kalor. KESIMPULAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Suhu temperatur pirolisis yang optimum adalah 300°C dengan yield arang 47.8%. 2. Penambahan lempung gambut akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar abu, menurunkan kadar volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan nilai kalor suatu briket dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka. 3. Penambahan tar akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar abu, menurunkan kadar volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan nilai kalor suatu briket dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka. 4. Penambahan lempung gambut dan tar akan menurunkan kadar air, meningkatkan kadar abu, menurunkan kadar volatile matter, meningkatkan kadar fixed carbon dan meningkatkan nilai kalor suatu briket dibandingkan dengan menggunakan 100% perekat tapioka. DAFTAR PUSTAKA ARIYANTO, E., KARIM, M. A. & FIRMANSYAH, A. 2014. BIOBRIKET ENCENG GONDOK (EICHHORNIA CRASSIPES) SEBAGAI BAHAN BAKAR ENERGI TERBARUKAN. REAKTOR, 15, 59-63. HENDRA, D. 2011. Pemanfaatan eceng gondok (Eichornia crassipes) untuk bahan baku briket sebagai bahan bakar alternatif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 29, 189-210. IRIANY, M. & FIRMAN ABEDNEGO S SIBARANI, I. 2015. PENGARUH PERBANDINGAN MASSA ECENG GONDOK DAN TEMPURUNG KELAPA SERTA KADAR PEREKAT TAPIOKA TERHADAP KARAKTERISTIK BRIKET. Jurnal Teknik Kimia USU, 5. NDHARA, N. 2009. Uji Komposisi Bahan Pembuat Briket Bioarang Tempurung Kelapa Dan Serbuk Kayu Terhadap Mutu Yang Dihasilkan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
161
NOOR, N. M., SHARIFF, A. & ABDULLAH, N. 2012. Slow pyrolysis of cassava wastes for biochar production and characterization. Iran. J. Energy Environ.(Special Issue Environ. Technol.), 3, 60-65. PANE, J. P., JUNARY, E. & HERLINA, N. 2015. Pengaruh Konsentrasi Perekat Tepung Tapioka dan Penambahan Kapur dalam Pembuatan Briket Arang Berbahan Baku Pelepah Aren (Arenga pinnata). Jurnal Teknik Kimia USU, 4. PARIKH, J., CHANNIWALA, S. A. & GHOSAL, G. K. 2005. A correlation for calculating HHV from proximate analysis of solid fuels. Fuel, 84, 487-494. RISTIANINGSIH, Y., ULFA, A. & KS, R. S. 2015. PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI PEREKAT TERHADAP KARAKTERISTIK BRIKET BIOARANG BERBAHAN BAKU TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT DENGAN PROSES PIROLISIS. Konversi, 4, 16-22. THOHA, M. Y. & FAJRIN, D. E. 2010. Pembuatan Briket Arang dari Daun Jati dengan Sagu Aren sebagai Pengikat. Jurnal Teknik Kimia, 17. WIJAYANTI, D. S. 2009. Karakteristik briket arang dari serbuk gergaji dengan penambahan arang cangkang kelapa sawit.
162
PENGARUH DARI MULTIPLE LAYER SILICA MEMBRANE TERHADAP PROSES DESALINASI AIR LAUT ARTIFISIAL Effect of Multiple Layer Silica Membrane to The Artificial Sea Water Desalination Process Muthia Elma1*, Nur Riskawati1, Marhamah1, Program Studi Teknik Kimia, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, Kalimantan Selatan * email: [email protected]
1
Abstrak. Kelangkaan air bersih dimasyarakat menjadi masalah utama pada akhir-akhir ini. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan menggunakan teknologi membran melalui proses desalinasi dengan membran silika. Alasan dipilihnya membran silika karena bahan dasar silika yang kuat dan tahan terhadap berbagai kondisi dan cuaca. Penelitian ini dilakukan dengan menyiapkan silica sol pada pH 6 dengan metode sol-gel menggunakan prekursor TEOS dan menggunakan “two-step acid and base catalysed” yaitu HNO3 dan NH3. Silica thin-film yang dihasilkan dilapisi ke permukaan membrane support dan dilakukan kalsinasi menggunakan metode RTP (Rapid Thermal Process). Jumlah layer berdasarkan pengulangan proses dipcoating yang bervariasi. Membran ini akan didesalinasi melalui proses pervaporasi menggunakan larutan NaCl pada konsentrasi 0,3–3,5 wt%. Hasil performa membran menunjukkan bahwa salt rejection meningkat dengan meningkatnya jumlah layer, sedangkan water flux menurun dengan meningkatnya jumlah layer. Water flux pada membran 2 layer berkisar (1,89–1,65kgm-2h-1) dengan salt rejection berkisar (96,62–95,67% ) sedangkan water flux pada membran 4 layer yaitu (1,64–1,45kgm-2h-1) dengan salt rejection berkisar (99,51–96,68%) pada konsentrasi 0,3– 3,5 wt%. Dapat disimpulkan bahwa membran silika 2 dan 4 layer memiliki performa yang bagus dan kuat selama proes desalinasi, sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam mengatasi kesulitan air bersih. Kata kunci: membran silika, desalinasi, pervaporasi, water flux dan salt rejection. Abstract. Scarcity of clean water in community has become a major problem in recent times. One way to overcome the problem is by applying membrane technology through desalination process using silica membranes. The reason for choosing silica membranes is due to strong material and resistant to various condition and weather. This research was done by preparing silica sol at pH 6 with sol-gel method using TEOS precursor and using "two-step acid and base catalysed" is HNO3 and NH3. The resulting silica thin film is coated into membrane support surface and calcined using the RTP (Rapid Thermal Process) method. The number of layers based on the repeated multiplication of the dipcoating process. This membrane will be desalinated through a pervaporation process using NaCl solution at concentration of 0.3-3.5 wt%. Membrane performance results show that salt rejection increases with the increasing of layers, while water flux decreases with the increasing number of layer. Water flux in membrane 2 layers ranged (1,89-1,65kgm-2h-1) with salt rejection range (96,62-95,67%) while water flux on 4 layers membrane was (1,64-1,45kgm-2h-1) with salt rejection ranged (99.51-96.68%) at concentrations of 0.3- 3.5 wt%. It can be concluded that the silica membranes 2 and 4 layers showed good performance and strong material during the desalination process, so it is highly recommended for use in overcoming the difficulty of clean water. Keywords: silica membrane, desalination, pervaporation, water flux and salt rejection
PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup yang paling penting untuk keberlangsungan hidup manusia, hewan dan tumbuhan. Berdasarkan kelarutan atau kadar garam dalam air, maka air dapat dikelompokkan menjadi air tawar (freshwater), air payau (brackish water), air asin (saline water) dan air yang sangat asin (brine water). Air tawar memiliki salinitas kurang dari 0,5 ppt (part per thousand), air payau atau brackish water
163
mempunyai salinitas antara 0,5 – 17 ppt, air laut memiliki salinitas sebesar 35 ppt dan brine water memiliki salinitas di atas 35 ppt. Sekitar 75% tubuh manusia terdiri dari air yang dibutuhkan untuk membantu proses metabolisme tubuh. Air yang diperlukan adalah air bersih tanpa adanya zat-zat lain yang terkandung dalam air tersebut. Namun hanya 3% air yang bisa digunakan untuk kebutuhan manusia, tanaman, dan hewan yang berupa air tawar, sisanya 97% dari volume air adalah air garam (Kalogirou, 2004). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO=World Health Organization) mengatakan bahwa lebih dari 15% dari populasi dunia tidak memiliki akses untuk mendapatkan air minum yang layak. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan air bersih yaitu dengan penerapan teknologi pengolahan air yang sesuai. Desalinasi air adalah salah satu metode untuk pengolahan air bersih. Desalinasi memiliki metode yang ramah lingkungan, hemat energi, biaya operasi yang rendah dan penggunaan bahan kimia yang minim (K. Wang, Abdalla, Khaleel, Hilal, & Khraisheh, 2012) sehingga metode ini menjadi pilihan yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Teknologi membran lebih banyak dipilih untuk proses desalinasi karena efisiensinya sangat tinggi, kemudahan dalam operasinya, hemat energi dan tidak menggunakan bahan kimia (S. Wang, Wang, Smart, & Diniz da Costa, 2017). Teknologi membran telah banyak diterapkan pada berbagai proses seperti pemisahan gas, pervaporasi, membran pertukaran ion, reaktor membran dan pengolahan air limbah (Liu et al., 2017). Desalinasi menggunakan membran silika anorganik adalah salah satu aplikasi baru terutama untuk membran silika amorf (Duke, Mee, & da Costa, 2007). Silika amorf merupakan membran anorganik yang berguna untuk mengurangi pemakaian energi dan meningkatkan stabilitas membran (Duke et al., 2007). Silika amorf memiliki stabilitas yang lemah dalam larutan air yang akan menghambat fungsinya sebagai membran pemisah, tetapi disisi lain silika memiliki stabilitas termal yang baik dibandingkan lapisan organik lainnya (Ayral, Julbe, Rouessac, Roualdes, & Durand, 2008). Membran silika dapat memisahkan molekul dengan baik dan proses pengolahannya secara sederhana melalui pengolahan sol-gel (Elma, Yacou, Costa, & Wang, 2013). Membran silika memiliki ukuran pori yang kecil, yang memungkinkan air dapat berdifusi pada membran dan menghambat berjalannya ion garam (Lin, Ding, Smart, & Diniz, 2012). Membran silika ini akan didesalinasi dengan proses pervaporasi. Pervaporasi adalah salah satu teknologi pemisahan membran yang digunakan untuk memulihkan senyawa organik cair menjadi uap dengan cara mengurangi tekanan pada sisi permeat-nya (Araki, Gondo, Imasaka, & Yamamoto, 2016). Pervaporasi bekerja dengan menggunakan perbedaan potensial kimia antara umpan dan permeat pada sisi membran (Jee, Kim, & Lee, 2016). Umpan berupa campuran bahan organik yang memiliki titik didih yang berdekatan dan pemisahan dilakukan berdasarkan kelarutan umpan pada membran sehingga digunakannya membran rapat yang selektif terhadap salah satu komponen umpan (Aisyah, Hastuti, Sastrohamidjojo, & Hidayat, 2012). Proses pervaporasi ini memiliki banyak keuntungan seperti hemat energi yang dibutuhkan dan mengurangi biaya operasi (Jee et al., 2016). Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Elma et al., 2013) menggunakan CTP (Conventional Thermal Process) pada proses kalsinasi dengan kenaikan suhu 1oC/menit. Proses ini memerlukan waktu yang lebih lama yaitu satu hari untuk menghasilkan 1 layer membran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa water flux (salt rejection) menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam dengan nilai rata-rata 9,5 kg m-2 h-1 (99,6%) dan 1,55 kg m2 -1 h (89,2%) dari konsentrasi garam yang digunakan sebesar 0,3% dan 15%. Pada penelitian ini menggunakan metode RTP (Rapid Thermal Process). Dengan menggunakan metode ini, waktu yang diperlukan lebih singkat. Hal ini dikarenakan, pada proses kalsinasi untuk mendapatkan membran dengan 1 layer, hanya diperlukan waktu 1 jam, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya yang diperlukan. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui performansi (water flux dan salt rejection) membran silika pada konsentrasi air laut artifisial yang berbeda, agar dapat dipergunakan selanjutnya untuk mengatasi permasalahan air bersih.
164
METODE PENELITIAN A. Pembuatan Membran Silica sol dibuat dengan dua langkah proses sol-gel menggunakan katalis asam dan basa. TEOS (Tetraethyl orthosilicate) sebanyak 18,66 gram ditambahkan ke dalam 20 mL larutan etanol secara drop-wise dan diaduk selama 5 menit pada suhu 0oC, kemudian dilanjutkan dengan menambahkan 0,00078N HNO3. Setelah semua sudah tercampur, sol akan di-reflux dengan disertai pengadukan selama 1 jam pada suhu 50 oC. Kemudian, memasukkan larutan NH3 0,0003N secara drop-wise dan dilakukan reflux kembali selama 2 jam. Sol yang dihasilkan akan didinginkan pada suhu ruang dan diukur pH-nya. Rasio molar akhir dari TEOS : EtOH : HNO3 : H2O : NH3 yaitu 1 : 38 : 0,00078 : 5 : 0,0003. Sebanyak 20 mL silica sol akan di-oven pada suhu 60 oC selama 24 jam hingga menjadi sol kering atau xerogel (Elma et al., 2013). Silica thin film yang dihasilkan akan dilapisi ke membrane support dengan proses dipcoating. Dipcoater telah diatur pada kecepatan up-down 5 cm/s dengan waktu rendam selama 2 menit. Selanjutnya, membrane support yang telah di-dipcoating akan dikalsinasi pada suhu 600 o C selama 1 jam. Jumlah layer atau lapisan berdasarkan jumlah pengulangan proses dipcoating dan kalsinasi yang bervariasi yaitu 2 dan 4 layer. B. Karakterisasi Membran Karakterisasi membran silika dilakukan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia dari alumina yang dihasilkan. Karakterisasi yang dilakukan adalah: SEM (Scanning Electron Microscopy) yaitu untuk mengetahui morfologi : struktur permukaan dan ketebalan membran silika. FTIR (Fourier Transform Infra Red) digunakan untuk mengetahui gugus fungsi pada silica sol. C. Desalinasi Membran Menyiapkan sampel air garam pada 0,3%. Kemudian memasukkan ke dalam tangki umpan. Kemudian menimbang coldtrap awal dan merangkai alat pervaporasi seperti pada Gambar 1. Memulai pervaporasi pada membran 2 layer dan 4 layer selama 20 menit. Langkah selanjutnya yaitu menghitung massa coldtrap akhir dan mengukur konduktivitas menggunakan conductivity meter. Kemudian menghitung water flux dan salt rejection dan ulangi langkah di atas dengan konsentrasi 1% dan 3,5%. Keterangan: 1. Vacum pump 2. Cold trap 3. Feed tank 4. Membrane support 5. Peristaltic pump 6. Stirrer Gambar 1. Rangkaian Alat Desalinasi via Pervaporasi Adapun perhitungan water flux yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut : F=
m Axt
Sedangkan rumus perhitungan rejection yaitu : R = (1 − Keterangan :
𝐶𝑝 𝐶𝑓
) x 100%
m : massa permeate (kg)
165
A : Luas Permukaan Membran (m2) T : Waktu (Jam) Cp : Konduktivitas Permeate Cf : Konduktivitas Feed HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Silica sol Metode sol-gel ini merupakan proses pembentukan sol dengan mereaksikan precursor TEOS (tetraethyl orthosilicate) dalam larutan etanol dengan bantuan katalis asam dan basa yaitu asam nitrat dan amonia sehingga menghasilkan silika sol. Pada pembuatan silika sol, terjadi beberapa tahapan proses yaitu hidrolisis, kondensasi alkohol dan kondensasi air. Pada reflux pertama, terjadi pembentukan silanol (Si – OH) pada kondisi asam (pH ~ 4) dengan proses hidrolisis yaitu ketika precursor TEOS dilarutkan ke dalam etanol dan akan terhidrolisis dengan penambahan air dan katalis asam nitrat. Hidrolisis ini akan menggantikan gugus alkoksi (-OR) dengan gugus hidroksi (-OH). Selama proses hidrolisis berlangsung, gugus (-OR) dari TEOS akan bereaksi dengan molekul air, sehingga akan membentuk silanol. Adapun reaksinya dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Si – OR + H2O
Si – OH + ROH
Pada reflux kedua, terjadi pembentukan siloxane ( Si – O – Si) dengan proses kondensasi. Hasil dari reaksi hidrolisis yaitu (Si – OH) akan bereaksi kembali dengan TEOS dan dengan dibantu katalis basa (amonia) sehingga terjadi kondensasi alkohol dan menghasilkan siloxane. Penambahan amonia ini akan meningkatkan nilai pH lebih besar dari 4. Pada reaksi ini, etanol yang dihasilkan berlebih sehingga terjadi kembali proses pembentukan siloxane dengan reaksi kondensasi air. Adapun reaksi yang terjadi dapat dilihat pada persamaan berikut ini. Si – OR + HO – Si
Si – O – Si + ROH
Si – OH + HO – Si
Si – O – Si + H2O
Hasil dari proses sol-gel ini akan menghasilkan silika sol yang memiliki nilai pH 6. pH 6 merupakan pH yang optimum (Elma et al., 2013) karena pada pH ini akan menghasilkan sol yang tidak terlalu viscous yang memiliki kandungan silanol dan siloxane. Menurut penelitian (Elma et al., 2013), pada pH 7 (netral), kandungan silanol akan lebih banyak dari pada siloxane, sedangkan pada pH yang lebih tinggi akan menghasilkan sol yang agak viscous sehingga akan menyebabkan proses pembentukan gel yang cepat. Pada pH rendah, kandungan silanol dan saloxane akan sedikit, sehingga pH 6 dipilih pada penelitian ini. Warna yang dihasilkan dari silika sol ini yaitu bening dan sol yang dihasilkan tidak terlalu kental dan tidak terlalu encer sehingga silica thin film ini dapat digunakan untuk melapisi membran support. B.
Karakterisasi Xerogel Karakterisasi xerogel dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan silanol dan siloxane. Untuk mengetahui gugus silanol dan siloxane, maka dilakukan analisis FTIR (Fourier Transform Infra Red). Analisis FTIR ini berfungsi untuk mengetahui gugus fungsi yang ada pada silika sol. Adapun hasil dari analisis FTIR dapat dilihat pada gambar berikut ini.
166
Gambar 2. Analisis FTIR
Berdasarkan Gambar 2. dapat dilihat adanya puncak yang menandakan gugus siloxane (Si – O- Si) pada panjang gelombang 1082 cm-1 dan 800 cm-1. Kemudian ditemukan puncak yang lain yang diduga bahwa itu merupakan gugus silanol (Si – OH) pada panjang gelombang 1001 cm-1. Dari hasil uji tersebu, dapat dilihat puncak silanol berada pada panjang gelombang yang jauh lebih kecil daripada puncak siloxane. Hal ini dikarenakan silanol yang bersifat microporous (memiliki ukuran pori yang kecil) sehingga lebih mudah ditemukan pada panjang gelombang yang kecil jika dibnadingkan dengan siloxane yang bersifat macroporous. Silanol ini harus ada dalam suatu membran, karena silanol dapat berfungsi untuk menjerap partikel garam yang melewati permukaan membran, sedangkan siloxane berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh struktur membran sehingga membran tidak mudah rusak atau patah. C. Morfologi Membran Morfologi membran bertujuan untuk mengetahui struktur dan ketebalan pada membran. Ketebalan membran ini dipengaruhi saat proses dipcoating dan kalsinasi. Pada saat dipcoating pertama, membran silika akan melapisi pori-pori membran support yang lebih besar, sehingga akan membuat membran support lebih kuat. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.2 yang ditandai dengan warna putih yang merupakan proses infiltrate silika sol pada membran support. Dipcoating kedua akan membentuk lapisan pertama pada membran support, begitu pula seterusnya. Berikut ini merupakan hasil anasila SEM pada Gambar 3
Gambar 3. Analisa SEM
167
Pada Gambar 3, ketebalan membran silika pada 2 layer diperkirakan ~1µm. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini lebih tebal jika dibandingkan pada penelitian (Elma et al., 2013) dengan ketebalan membran ~470 nm. Hal ini dikarenakan proses kalsinasi pada RTP (Rapid Thermal Process) yang dilakukan pada penelitian ini lebih singkat dibandingkan dengan metode CTP (Conventional Thermal Process) yang dilakukan oleh (Elma et al., 2013). Selain itu, proses RTP tidak menggunakan heating rate dan cooling rate seperti yang dilakukan pada metode CTP. Ini menyebabkan proses evaporasi pelarut yang terdapat dalam silica sol kurang sempurna dan dimungkinkan sisa-sisa pelarut masih melekat pada thin layer membrane tersebut. Inilah yang menyebabkan lapisan membran menjadi lebih tebal. Selain itu juga disebabkan proses kalsinasi yang langsung dilakukan pada suhu tinggi, sehingga pelarut yang berada dalam silica sol (thin film) yang melapisi pada membrane support tidak sempurna menguap karena kenaikan suhu yang secara mendadak. D. Performansi Membran Performa membran silika pada proses desalinasi dapat dilihat dari nilai rejection yang diperoleh. Semakin tinggi nilai water flux dan salt rejection maka kemampuan dalam mendesalinasi juga tinggi. Pada penelitian ini, membran akan diuji pada konsentrasi feed yang berbeda, dari 0% (tawar), 0,3 – 1% (brackish) dan3,5% (sea). Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan nilai water flux dan salt rejection pada membran silika hasil dari desalinasi via pervaporasi.
Gambar 4. Hubungan antara Water Flux dan Salt Rejection terhadap Feed Salt Concentration yang berbeda pada Membran Silika
Hasil performa membran menunjukkan bahwa salt rejection meningkat dengan meningkatnya jumlah layer, sedangkan water flux menurun dengan meningkatnya jumlah layer. Water flux pada membran 2 layer berkisar (1,89 – 1,65 kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (96,62 – 95,67 % ) sedangkan water flux pada membran 4 layer yaitu (1,64 – 1,45 kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (99,51 – 96,68%) pada konsentrasi 0,3– 3,5 wt%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin besar konsentrasi feed, maka water flux dan salt rejection yang dihasilkan akan semakin rendah. Pada konsentrasi feed 0,3%, memiliki nilai water flux dan salt rejection paling tinggi, sedangkan konsentrasi feed 3,5 % memiliki nilai water flux dan salt rejection paling rendah. Pada penelitian (Elma et al., 2013), dengan metode CTP (Conventional Thermal Process) nilai water flux dan salt rejection tertinggi yang dihasilkan pada konsentrasi feed 0,3% sebesar 9,5 kg m-2 h-1 dan 99%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat terlihat bahwa dengan
168
metode CTP menghasilkan nilai water flux yang lebih tinggi daripada RTP (Rapid Thermal Process). Hal ini dikarenakan pada proses RTP, proses kalsinasi yang dilakukan belum sempurna karena langsung dilakukan pada suhu tinggi. Tetapi, membran silika dengan RTP ini masih dapat dikatakan memiliki performa yang bagus dengan nilai salt rejection yang tinggi sehingga masih direkomendasikan untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan air. Kinerja membran akan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi feed. Pengurangan water flux dan salt rejection ini dikarenakan efek polarisasi. Ketika air dengan konsentrasi garam yang tinggi melalui membran, partikel garam akan menutupi pori-pori membran sehingga air akan sulit untuk melewati membran. Oleh karena itu, efek polarisasi garam ini akan mengurangi gaya dorong pada membran. Sehingga menyebabkan nilai water flux dan salt rejection akan menurun. Selain itu, penurunan nilai water flux dengan meningkatnya konsentrasi feed ini dikarenakan pada konsentrasi tinggi, molekul garam lebih banyak dari pada molekul air sehingga nilai water flux dan salt rejection pada konsentrasi feed yang tinggi akan menurun. Membran silika 4 layer memiliki nilai water flux yang terendah dan salt rejection paling tinggi dari pada membran silika 2. Nilai water flux yang rendah dikarenakan lebih banyak lapisan yang terbentuk sehingga menyebabkan air sulit melalui membran. Sedangkan nilai salt rejection lebih tinggi dikarenakan pada membran silika 4 layer memiliki lapisan yang lebih banyak, sehingga ketika air yang mengandung garam melewati membran, maka molekul garam ini akan terperangkap pada layer, semakin banyak layer maka proses penyaringan molekul garam akan lebih baik sehingga menghasilkan salt rejection yang tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi water flux dan salt rejection yaitu konsentrasi feed dan jumlah layer. Pada konsentrasi feed yang tinggi, nilai water flux dan salt rejection akan rendah, begitu pula sebaliknya. Jumlah layer yang lebih banyak akan menyebabkan water flux yang rendah dan salt rejection yang tinggi. SIMPULAN Membran silika telah berhasil dibuat dari silika sols pH 6 dengan menggunakan “a two step sol gel process”. Silika sols ini kemudian di dipcoating dan dikalsinasi pada suhu 600oC dengan variasi layer. Hasil performa membran menunjukkan bahwa salt rejection meningkat dengan meningkatnya jumlah layer, sedangkan water flux menurun dengan meningkatnya jumlah layer. Water flux pada membran 2 layer berkisar (1,89 – 1,65 kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (96,62 – 95,67 % ) sedangkan water flux pada membran 4 layer yaitu (1,64 – 1,45 kg m-2 h-1) dengan salt rejection berkisar (99,51 – 96,68 %) pada konsentrasi 0,3– 3,5 wt%. Secara keseluruhan, membran silika 2 dan 4 layer memiliki performa yang bagus dan kuat selama proses desalinasi, sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan dalam mengatasi kesulitan air bersih. DAFTAR PUSTAKA Aisyah, Y., Hastuti, P., Sastrohamidjojo, H., & Hidayat, C. (2012). Pervaporation Technology to Increase Patchouli Alcohol Content in Patchouli Oil Using. Agritech, 32(2), 207–214. Araki, S., Gondo, D., Imasaka, S., & Yamamoto, H. (2016). Permeation properties of organic compounds from aqueous solutions through hydrophobic silica membranes with different functional groups by pervaporation. Journal of Membrane Science, 514, 458–466. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.memsci.2016.04.075 Ayral, A., A. Julbe, V. Rouessac, S. Roualdes, and J. Durand. 2008. Microporous Silica Membrane: Basic Principles and Recent Advances. In Membrane Science and Technology: Elsevier, 33-79.
169
Duke, M. C., S. Mee, and J. C. D. da Costa. 2007. Performance of porous inorganic membranes in non-osmotic desalination. Water Research 41 (17):3998-4004. Elma, M., Yacou, C., Costa, J. C. D. da, & Wang, D. K. (2013). Performance and Long Term Stability of Mesoporous SilicaMembranes for Desalination, 3, 136–150. https://doi.org/10.3390/membranes3030136 Jee, K. Y., Kim, N., & Lee, Y. T. (2016). The effect of metal complex on pervaporation performance of composite membrane for separation of n-butanol/water mixture. Journal of Industrial and Engineering Chemistry, 44, 155–163. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.jiec.2016.08.022 Kalogirou, S. A. (2004). Solar thermal collectors and applications (Vol. 30). https://doi.org/10.1016/j.pecs.2004.02.001 Lin, C. X. C., Ding, L. P., Smart, S., & Diniz, J. C. (2012). Journal of Colloid and Interface Science Cobalt oxide silica membranes for desalination. Journal of Colloid And Interface Science, 368(1), 70–76. https://doi.org/10.1016/j.jcis.2011.10.041 Liu, G., Z. Jiang, K. Cao, S. Nair, X. Cheng, J. Zhao, H. Gomaa, H. Wu, and F. Pan. 2017. Pervaporation performance comparison of hybrid membranes filled with twodimensional ZIF-L nanosheets and zero-dimensional ZIF-8 nanoparticles. Journal of Membrane Science 523:185-196. Wang, K., Abdalla, A. A., Khaleel, M. A., Hilal, N., & Khraisheh, M. K. (n.d.). Mechanical properties of water desalination and wastewater treatment membranes. Desalination. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/j.desal.2016.06.032 Wang, S., D. K. Wang, S. Smart, and J. C. Diniz da Costa. 2017. Improved stability of ethyl silicate interlayer-free membranes by the rapid thermal processing (RTP) for desalination. Desalination 402:25-32.
170
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KONSEP EKOLOGI TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA MA BANJARMASIN The Development of Ecology Concept Learning Tool on Critical Thinking Skills MA Students Banjarmasin Hj. Dessy Abdumawaty1, Kaspul2 MAN 2 Model Banjarmasin, Jl. Pramuka Rt. 20 No. 28, Banjarmasin 2 FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Jln. Brigjend. H.Hasan Basry Kayu Tangi, Banjarmasin Email: [email protected] 1
Abstrak. Berdasarkan hasil supervise klinis di sekolah Madrasah Aliyah Negeri, perangkat pembelajaran terdiri dari silabus, RPP, bahan ajar, LKS dan instrument masih belum menggali kemampuan berpikir kritis siswa. Hal ini perlu dikembangkan perangkat pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir kritis siswa. Perangkat pembelajaran seperti ini diharapkan efektif dari hasil yang diperoleh. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keefektivan perangkat pembelajaran hasil pengembangan topik Ekologi di MAN 2 Model Banjarmasin. Penelitian ini merupakan Educational Design Research (EDR) yaitu penelitian dengan menggunakan model Tessmer. Data dikumpulkan melalui pengamatan, análisis data berupa data kuantitatif dan kualitatif yang dianalisis sacara deskriptif. Hasil penelitian tergolong efektif berdasarkan 1) penilaian keterampilan sosial dengan kategori sangat baik dan 2) keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori baik. Kata Kunci : Perangkat Pembelajaran, Ekologi, , Keterampilan Berpikir Kritis Abstract. Based on the result of clinical supervision at Madrasah Aliyah Negeri, the learning tools consisting of the syllabi, lesson plans, learning materials, student worksheets and instruments hadnot explored students’ critical thinking skills. Therefore, learning tools focusingon students’ critical thinking skills needs to be developed. This developed kind of learning tools could be effective. The learning tools as a development product have effective. This study aims to evaluate the effectiveness of the learning tools development of ‘Ecology’topics at MAN 2 Model, Banjarmasin. This study is an Educational Design Research (EDR) by using Tessmer model. The data were collected through observations. The data, such as: quantitative and qualitative,were analyzed descriptively. The study result from 1) the assessment of social skills was categorized as very good,end 2) the students’ critical thinking skills were categorized as good. Keywords: learning tools, learning outcomes, critical thinking skills
PENDAHULUAN Biologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menyediakan pengalaman belajar untuk memahami konsep dan proses kehidupan (Ridwan, 2010). Di dalam pelaksanaan pembelajaran guru masih menggunakan cara-cara lama yakni melaksanakan pembelajaran dengan menekankan perolehan konsep dibanding proses. Guru terfokus pada pemenuhan target kurikulum yang harus dicapai pada akhir tahun pelajaran. Diduga guru belum menguasai dasar keterampilan yang diperlukan untuk memenuhi fenomena dan proses kehidupan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan dari supervisi klinis terhadap perangkat pembelajaran di Madrasah Aliyah Negeri 2 Banjarmasin, guru dalam menggunakan perangkat masih dari buatan bersama
171
melalui MGMP Kota Banjarmasin. Perangkat yang dibuat belum terdapat uraian indikator dan penilaian tidak dirinci dari teknik, bentuk dan instrumennya serta langkah-langkah pembelajaran belum mencerminkan model yang dipakai untuk mendapatkan sintak pembelajaran. Perangkat pembelajaran perlu disiapkan oleh guru sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013, namun perangkat pembelajaran yang ada belum mampu mengali kemampuan berpikir kritis siswa. Dalam menilai pun guru cenderung mengukur aspek kognitif (hapalan), namun kurang memberikan latihan-latihan soal yang menantang seperti: melatih kemampuan/keterampilan berpikir tingkat tinggi, keterampilan proses sains siswa, keterampilan psikomotorik siswa, dan keterampilan dasar bekerja ilmiah atau berinkuiri (Wisudawati, 2014). Keterampilan berpikir kritis belum menjadi hal mutlak yang harus ada sebagai hasil belajar siswa. Akibatnya siswa terbiasa menghapal fakta atau konsep tanpa memahami artinya. Oleh karena itu perlu dikembangkan perangkat pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berpikir kritis siswa. Perangkat pembelajaran seperti ini diharapkan efektif dari hasil yang diperoleh. Menurut Hartono (2014) pembelajaran dikatakan efektif ketika pembelajaran telah mencapai tujuan yang diinginkan dalam jagat pendidikan, seperti pada penguasaan IPTEK sebagai bahan ajar, pembentukan keterampilan atau kemampuan belajar yang lebih efektif dan efesien. Permendikbud No. 65 Tahun 2013, menyatakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Salah satu prinsip yang berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, prinsip pembelajaran yang digunakan adalah dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar. Selain itu, pembelajaran juga diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berpikir, sehingga siswa tidak hanya mendapat pengetahuan (kognitif), akan tetapi juga memiliki keterampilan dalam berpikir kritis. Maka harus mengkaji solusinya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah mengembangkan perangkat pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Keterampilan berpikir kritis menurut Rahma (2012) sangat penting dilatihkan karena kemampuan berpikir kritis siswa pada penelitian pengembangan perangkat ini peneliti menggunakan empat indikator yang sesuai dengan sintak inkuiri terbimbing di mana siswa harus merumuskan masalah, membuat hipotesis, menganalisis dan menyimpulkan. Kesuma (2010) menyatakan kemampuan berpikir kritis adalah aktivitas mental yang membantu orang untuk memahami masalah, merumuskan masalah dan mendapatkan jawabannya. Berpikir kritis dimulai dengan rasa ingin tahu, rasa ingin menemukan makna, rasa ingin memperoleh jawaban. Orang yang berpikir kritis wajib mengajukan pertanyaan. Langkah selanjutnya dari tahapan berpikir kritis adalah memeriksa jawaban, mengevaluasinya, membandingkan dengan jawaban lainnya, menguraikannya menjadi dugaan sementara termasuk hubungan sebab akibat atau tolak menolak kemudian menyimpulkannya. Sukmadinata (2010) berfikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberikan keyakinan, menganalisis asumsi dan pencarian ilmiah. Menurut Ambarsari (2013) pendidikan tidak hanya ditekankan pada penguasaan materi, tetapi juga ditekankan pada penguasaan keterampilan. Siswa juga harus memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan proses dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai, dari learning to know (pembelajaran untuk tahu) ke learning to do (pembelajaran untuk berbuat) harus dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Harapan yang dilakukan dalam penelitian pengembangan perangkat yaitu perlunya tenaga pendidik dalam mengolah secara mandiri perangkat pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dengan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa yang
172
dikembangkan berdasarkan Permendikbud RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan dasar dan Menengah. Pembelajaran konsep ekologi selama ini dilakukan secara ceramah tanpa membawa anak untuk terjun langsung ke lingkungan sekolah, sehingga anak masih mengandalkan daya khayalnya saja. Sebenarnya konsep ekologi dengan melalui inkuiri terbimbing terhadap lingkungan sekitar sebagai sumber pembelajaran, diharapkan siswa dapat melakukan penyelidikan secara langsung ke lingkungan sekitar. Inkuiri terbimbing merupakan salah satu model yang dapat menggali keterampilan berpikir kritis siswa. Siswa dituntut untuk belajar sendiri dan mengembangkan kreativitasnya guna memecahkan masalah yang diberikan. Proses kegiatan pembelajaran dengan menggunakan inkuiri terbimbing menimbulkan ketertarikan siswa dalam mempelajari materi karena pembelajaran ini lebih mengutamakan proses untuk melatih keterampilan berpikir siswa (Saraswati, 2013). Jaya (2014) menyebutkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dapat meningkatkan kinerja ilmiah siswa. Pembelajaran dengan kegiatan inkuiri terbimbing tersebut dapat membuat siswa menjadi lebih aktif terlibat secara langsung dalam pembelajaran. Model inkuiri terbimbing bukan model yang baru dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, model ini masih relevan digunakan untuk menggali keterampilan berpikir kritis siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti pengembangan perangkat topik Ekologi menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing guna melatih keterampilan berpikir kritis siswa yang dilakukan di sekolah MA yang efektif. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Desain Research) yaitu Penelitian dengan menggunakan model Tessmer, yang dilaksanakan dalam 4 tahap yakni evaluasi diri (self evaluation), uji perorangan (expert review dan one-to-one ), uji kelompok kecil (small group), dan uji lapangan (field test). Evaluasi diri ( Self evaluation), dilakukan berkenaan dengan mengembangkan draf perangkat pembelajaran pada konsep ekologi yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Pada tahapan ini peneliti melakukan observasi langsung yang sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan menyangkut lingkungan belajar siswa, teknik dan strategi belajar serta model yang digunakan. Selanjutnya peneliti akan merancang dan mengembangkan lembar penilaian keterampilan berpikir kritis. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti selanjutnya di validasi oleh tim ahli yang termasuk pada tahap berikutnya yaitu expert review (Uji perorangan ). Uji perorangan berkenaan dengan pengkajian ulang perangkat pembelajaran yang telah disusun peneliti oleh tim pakar. Hasil penilaian pakar dan siswa di analisis untuk mengetahui validitas perangkat dan selanjutnya direvisi sesuai saran dari pakar dan siswa, sehingga menghasilkan Draf II. Draft II selanjutnya diujicobakan ke tahap uji kelompok kecil (Small group). Hasil dari uji kelompok kecil diadakan revisi lagi yang akan menghasilkan draft III, dan akan digunakan untuk uji lapangan. Uji lapangan (field test) untuk mengetahui keefektivan perangkat yang disusun. Pelaksanaan uji lapangan dilakukan dikelas X MIA 5 sebanyak 34 orang siswa, setelah dilakukan perbaikan dilakukan lagi ujicoba di kelas X MIA 6 sebanyak 36 orang siswa. Hasil uji lapangan bertujuan mengetahui hasil keterampilan berpikir kritis dalam kegiatan pembelajaran. Perbaikan perangkat pada tahap akhir (uji lapangan) menghasilkan produk berupa prototipe perangkat pembelajaran yang efektif. Jenis data dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas jenis data untuk menetapkan validasi perangkat pembelajaran keterampilan berpikir kritis siswa diperoleh dari tiga orang pakar dan dikumpulkan melalui catatan pakar. Jenis data untuk menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran yaitu penilaian keterampilan berpikir kritis dikumpulkan melalui hasil pengamatan. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas instrumen data validasi dan instrumen data keefektivan. Instrumen data untuk menetapkan validasi perangkat pembelajaran oleh ketiga pakar diambil nilai modus dan
173
median (lampiran 1). Instrumen data untuk menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran yaitu Instrumen lembar penilaian keterampilan berpikir kritis diperoleh dari hasil siswa dan guru dalam mengerjakan LKS dengan menggunakan rubrik (lampiran 2). Teknik analisis data untuk menetapkan validasi perangkat pembelajaran menggunakan rumus: skor perolehan Persentase validasi = x 100 % Skor ideal (Adaptasi dari Akbar, 2013) Hasil validasi yang telah diketahui persentasenya dicocokan dengan kriteria validitas pada tabel 1. Tabel 1. Kriteria validasi perangkat No 1
Kriteria Validitas 85,01% – 100,00 %
Tingkat Validitas Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi
2
70,01 %– 85,00 %
3
50,01 %– 70,00 %
4
01,00 %– 50,00 %
Cukup valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil Kurang valid, disarankan tidak dipergunakan karena perlu revisi besar Tidak valid, atau tidak boleh dipergunakan
Sumber: Akbar (2013) Teknik analisis data untuk menetapkan keefektivan perangkat pembelajaran hasil penilaian keterampilan berpikir kritis selama kegiatan belajar mengajar dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan kategori diadaptasi dari Purwanto (2012) yaitu < 54,00 = kurang sekali, 54,00 – 60,00 = kurang, 60,01 – 75,00 = cukup, 75,01 – 85,00 = baik, dan > 85 = sangat baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian pada pengembangan perangkat pembelajaran dirancang berorientasi pada sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered) melalui model inkuiri terbimbing dilihat dari validitas perangkat pembelajaran berupa keterampilan berpikir kritis oleh tiga orang pakar. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan masukan, saran dan penyempurnaan perangkat yang dikembangkan. Perangkat pembelajaran hasil validasi (expert review) tersebut kemudian direvisi sesuai dengan saran validator. Hasil validasi perangkat pembelajaran terhadap keterampilan berpikir kritis dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Keterampilan berpikir kritis siswa No
Indikator/Aspek yang divalidasi 1
2 3 4
Petunjuk dalam mengisi skor penilaian keterampilan berpikir kritis diberikan dengan runut dan jelas Aspek penilaian runut dan jelas Penggunaan bahasa sesuai dengan EYD Kesederhanaan struktur kalimat dalam aspek penilaian Total
Skor Akhir 4
Kategori Sangat valid
4 3 4
Sangat valid Valid Sangat valid
15
Sumber: Hasil Olah Data Keterangan : Kriteria validasi di adaptasi dari Nur (2013) 4 = Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi 3 = valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil 2 = cukup valid, disarankan tidak dipergunakan karena perlu revisi besar 1 = kurang valid, atau tidak boleh dipergunakan
174
Keterampilan berpikir kritis yang dikembangkan dari kemampuan siswa dalam mengerjakan LKS 1, 2 dan 3 yaitu pengamatan keterampilan berpikir kritis siswa ada 6 rincian seperti merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang percobaan, melakukan percobaan untuk memperoleh informasi, mengumpulkan dan menganalisis data serta membuat kesimpulan. Kinerja keterampilan berpikir kritis siswa dalam melakukan percobaan dan kinerja keterampilan berpikir kritis siswa dalam membuat kesimpulan. Validasi terhadap keterampilan berpikir kritis oleh ketiga pakar dari 4 komponen di ambil modus, sehingga diperoleh kategori valid dan sangat valid tiap komponennya. Berdasarkan hal tersebut diatas maka keterampilan berpikir kritis siswa konsep ekologi yang dikembangkan sudah dapat digunakan dalam pembelajaran biologi di SMA/MA kelas X untuk menjadi rujukan bagi guru/pengembang lain dalam mengembangkan perangkat dengan model inkuiri terbimbing dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Keefektivan perangkat pembelajaran hasil kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilihat pada tabel 3 berikut pada kedua uji lapangan. Tabel 3. Hasil Kemampuan Berpikir Kritis No
Indikator
1 2 3 4
Keterampilan berpikir kritis Uji Lap 1 Uji Lap 2 54.4 66.0 56.3 64.4 75.4 94.0
Merumuskan masalah Merumuskan hipotesis Merancang percobaan Melakukan percobaan untuk memperoleh 80.5 95.8 informasi 5 Mengumpulkan dan 93.2 98.0 menganalisis data 6 Membuat kesimpulan 52.7 70.5 Rata-rata Keseluruhan
Jumlah skor
Ratarata
Katego ri
120.4 120.7 169.4
60.2 60.4 84.7
176.3
88.2
Cukup Cukup Baik Sangat baik
191.2
95.6
123.2
61.6 75. 1
Sangat baik Cukup Baik
Sumber: lampiran 2 Kategori : Penilaian diadaptasi dari Purwanto (2012) yaitu < 54,00 = kurang sekali, 54,00 – 60,00 = kurang, 60,01 – 75,00 = cukup, 75,01 – 85,00 = baik, dan > 85 = sangat baik. Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis siswa sudah mulai baik secara keseluruhan pada kedua uji lapangan. Hasil penelitian ini berupa ketercapaian tujuan penelitian yang diuraikan seberapa jauh tujuan penelitian yang direncanakan tercapai. Ketercapaian ini dikaitkan dengan tingkat validitas dan keefektivan perangkat pembelajaran dengan pendekatan model inkuiri terbimbing. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan oleh peneliti sudah memenuhi kriteria tersebut, sehingga perangkat dapat digunakan pada penelitian selanjutnya, meskipun sebelumnya sudah dilakukan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu pada saat validasi oleh pakar. Aspek keefektivan juga sudah memenuhi kriteria keefektivan yakni kinerja berpikir kritis berdasarkan tabel diperoleh rata-rata keseluruhan untuk kedua uji lapangan masingmasing dalam satu kelompok adalah 75.1 % dengan kategori baik. Hasil ini menunjukkan bahwa hasil belajar kinerja proses siswa selama proses pembelajaran pada konsep ekologi dengan menggunakan model inkuiri untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa sudah baik. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Ambarsari (2013) yang mengatakan bahwa penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keterampilan proses sains. Menurut Bekirog dan Arslan (2014) model pembelajaran berbasis inkuiri dapat meningkatkan keterampilan proses sains siswa dan model pembelajaran inkuiri tidak membuat perubahan pengetahuan konseptual siswa jika mereka sudah mengetahui isi pengetahuan tersebut.
175
Putra (2013) mengatakan bahwa inkuiri adalah suatu proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan melakukan observasi atau eksperimen guna mencari jawaban maupun memecahkan masalah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Menurut Sanjaya (2006) strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang dipertanyakan. Pencapaian tersebut disebabkan adanya peranan aktif siswa dalam keterampilan berpikir kritis yang menyesuaikan dengan sintak inkuiri terbimbing. Hal ini sejalan dengan Trianto (2009) bahwa pembelajaran inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah ke dalam waktu singkat. SIMPULAN Penelitian pengembangan ini bertujuan menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid dan efektif. Dari hasil validator terhadap keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori sangat baik. Perangkat pembelajaran yang dihasilkan tergolong efektif dilihat dari keterampilan berpikir kritis siswa dengan kategori baik. Pemanfaatan produk perangkat pembelajaran biologi khususnya MAN 2 dengan model inkuiri terbimbing disarankan untuk dimanfaatkan secara lebih optimal oleh guru Biologi sebagai contoh dalam mengembangkan perangkat pembelajaran dengan topik lainnya. DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ambarsari,W., Santosa, S., Maridi. (2013). The Application of Guided Inquiry Approach to Basic Science Process Skills Of Students In Grade VIII Junior High school 7 Surakarta. Pendidikan Biologi.Volume 5, Nomor 1: 81-95. Bekirog lu, Feral, O., & Arslan, A. (2014). ”Examination of the Effects of Model-Based Inquiry on Student’ Outcomes: Scientific Process Skills and Conceptual Knowledge”. Procedia-Social and Behavioral Sciences 141 (2014). Pp 1187 – 1191. diakses 6 Juni 2016. Hartono, R. (2014). Ragam Model Belajar yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: Diva Press. Jaya, I. M., Sadia, I. W., & Arnyana I.B.P. (2014). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Bermuatan Pendidikan Karakter Dengan Setting Guided Inquiry Untuk Meningkatkan Karakter Dan Hasil Belajar Siswa SMP. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi IPA. Volume 4 Tahun 2014. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses untuk Satuan pendidikan Dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2014). Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 69 Tahun 3013 tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum. Jakarta. Kesuma, D. (2010). Contextual Teaching and Learning. RAHAYASA Research &Taining.Yogyakarta. Nur, M. (2011). Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:Universitas Negeri Surabaya. Purwanto, N. (2012). Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Putra, SR. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: Diva press. Rahma, A. N. (2012). Pengembangan Perangkat Pembalajaran Model Inkuiri Berpendekatan Sets Materi Kelarutan dan Hasil kali Kelarutan Untuk Menumbuhkan Keterampilan Berpikir Kritis dan Empati Siswa Terhadap Lingkungan”. Journal Educational Research and Evaluation. JERE.Vol. 1 No 2. (2012) 133-138.
176
Ridwan. (2010). Naskah Akademik Biologi. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat kurikulum. Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Saraswati, L.N. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas III SD Di Gugus I Kecamatan Buleleng. Diakses dari http://ejournal. undiksha.ac.id/index.php/JJPGSD/article/download/713/586, diakses 20 Juni 2016. Sukmadinata, N.S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Cetakan ke 6. Bandung: Remaja Rosdakarya. Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wisudawati, A.W. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: PT. Bumi Aksara
177
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN SELF EFFICACY SISWA MELALUI PENDEKATAN SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS KELAS X IPA 3 SMA NEGERI 8 BANJARMASIN Improving Learning Outcomes and Self Efficacy of Students through SETS Approach on Redoks Reaction Materials Class X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin Rusmansyah1 , Ihda Nur Azizah1* Program Studi Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang penggunaan pendekatan SETS pada materi reaksi redoks. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui (1) peningkatan aktivitas guru, (2) peningkatan aktivitas siswa, (3) peningkatan hasil belajar siswa dan (4) peningkatan self efficacy siswa. Penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan dua siklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin dengan jumlah 31 orang. Instrumen penelitian berupa tes dan non tes. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kuantitatif dan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terjadi peningkatan aktivitas guru dari 76% (baik) pada siklus I menjadi 85,61% (sangat baik) pada siklus II, (2) terjadi peningkatan aktivitas siswa dari 69,51% (aktif) pada siklus I menjadi 75,16% (aktif) pada siklus II, (3) terjadi peningkatan ketuntasan hasil belajar kognitif siswa sebesar 13,12% dan (4) terjadi peningkatan self efficacy siswa dilihat dari skor rata-rata angket pada pra tindakan sebesar 72,45 menjadi 74,81 setelah tindakan. Kata kunci: SETS, hasil belajar, self efficacy Abstract. A study has been conducted on the use of SETS approach in redox reaction materials. This study aims to determine (1) the increase in the activity of teachers, (2) an increase in the activity of students, (3) an increase in students' science process skills, (4) improving student learning outcomes, and (5) an increase in self-efficacy of students. The study used a classroom action research design (PTK) with 2 cycles consisting of planning, action, observation and reflection. Subjects of this study were students of class X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin with 31 people. Research instruments are test and non test. Data were analyzed by quantitative descriptive analysis technique and qualitative analysis. The results showed that (1) an increase in the activity of teachers of 76% (good) in the first cycle to 85.61% (excellent) in the second cycle, (2) an increase in the student activity of 69.51% (active) on a cycle I became 75.16% (active) in the second cycle, (3) an increase in the thoroughness of cognitive learning outcomes of students by 13.12% and (4) an increase in self-efficacy of students seen from the average score of the questionnaire on pre-action amounted to 72.45 into 74.81 after action. Keywords: SETS, learning outcomes, self efficacy
PENDAHULUAN Berdasarkan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016 dalam silabus mata pelajaran kimia SMA mengenai kecakapan yang perlu dimiliki siswa setelah menempuh pendidikan menengah, baik dalam hal pengetahuan, sikap, maupun keterampilan diharapkan siswa dapat memahami dampak yang mungkin dari perkembangan sains dan teknologi pada masa lalu, maupun potensi dampaknya di masa depan. Maka dari itu, diperlukan suatu pembelajaran yang berwawasan lingkungan dan teknologi agar peserta didik dapat memenuhi kompetensi tersebut. Pembelajaran berwawasan lingkungan dan teknologi ini sudah mulai diintegrasikan dalam proses pembelajaran, yaitu ditunjukkan dengan adanya perkembangan pendekatan dalam pembelajaran misalnya, STS (Science, Thecnology, Society), EE (Environmental
178
Education), STL (Scientific and Technological Literacy), dan yang sekarang ini sedang dikembangkan adalah SETS (Science, Environmental, Technology, Society). Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan suatu pendekatan yang sesuai dengan kriteria yang diperlukan untuk memenuhi kompetensi pada pembahasan sebelumnya. Pendekatan yang dapat diterapkan adalah pendekatan SETS, karena pendekatan ini sudah mencakup aspek-aspek penting yaitu science, environment, technology, dan society yang perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran. Pada pembelajaran yang menggunakan pendekatan SETS, siswa akan dibimbing untuk melakukan kegiatan investigasi, analisis dan penerapan konsep, kegiatan ini akan membantu meningkatkan hasil belajar dan self efficacy siswa. Kimia merupakan cabang dari sains. Banyak siswa yang menganggap pelajaran kimia termasuk dalam salah satu mata pelajaran yang kompleks karena pembahasannya mencakup pengetahuan konseptual dan algoritmik. Adanya kompleksitas materi ini yang membuat siswa menjadi enggan untuk memahami konsep kimia, sehingga banyak siswa yang melakukan berbagai cara negatif untuk mendapatkan hasil belajar tinggi, misalnya mencontek. Kegiatan mencontek ini adalah gambaran atas ketidakyakinan siswa pada kemampuan yang dimilikinya. Beberapa siswa lebih memilih melakukan kegiatan tersebut daripada harus mempelajari konsep kimia yang kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu konsep diri mengenai keyakinan atau kepercayaan dalam diri siswa untuk dapat mempelajari kimia guna memperoleh hasil belajar yang maksimal. Menurut Pintrich dan Schunk, self efficacy biasanya memiliki hubungan positif dengan hasil belajar (Baanu, T.F., Oloyede, S.O & Adekunle, S.O, 2016). Jika demikian, berarti self efficacy dapat mempengaruhi hasil belajar seseorang. Menurut teori sosial kognitif Albert Bandura self efficacy memiliki kontribusi yang besar terhadap prestasi akademik, motivasi, dan hasil belajar siswa. Teori self efficacy menjelaskan bahwa umumnya orang hanya akan mencoba hal-hal yang mereka percaya bahwa mereka bisa melakukannya dan tidak akan mencoba hal-hal yang mereka percaya bahwa mereka tidak bisa melakukannya dan pasti akan gagal. Namun, orang-orang dengan self efficacy yang tinggi akan percaya bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas-tugas yang mereka rasa itu akan sulit untuk dilakukan (Albert Bandura, 1994). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa siswa dengan self efficacy yang tinggi dapat memperoleh hasil belajar kimia yang maksimal, misalnya pada materi reaksi redoks yang berisi konsep dan algoritmik. Kegiatan wawancara informal dengan guru kimia kelas X IPA SMA Negeri 8 Tahun pelajaran 2016/2017 memperoleh hasil bahwa dari beberapa materi kelas X semester 2, materi yang memiliki hasil belajar kognitif siswa paling rendah adalah materi reaksi redoks khususnya pada kelas X IPA 3. Hasil belajar siswa dapat mencerminkan self efficacy siswa. Berdasarkan uraian di atas, self efficacy siswa kemungkinan masih rendah karena hasil belajarnya rendah dan dalam kegiatan belajarnya keterlibatan siswa masih belum maksimal. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan apakah hasil belajar dan self efficacy siswa dapat meningkat jika menggunakan pembelajaran dengan pendekatan SETS. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan judul Meningkatkan Hasil Belajar dan Self efficacy Siswa melalui Pendekatan SETS (Science, Environment, Thecnology, Society) pada Materi Reaksi Redoks Kelas X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin Tahun Pelajaran 2016/2017. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Penelitian dilakukan dalam dua siklus, adapun untuk siklus I terdiri atas 3 pertemuan dan pada siklus II terdiri atas 1 pertemuan. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 14 Maret sampai 5 Mei 2017. Kegiatan evaluasi dilaksanakan setelah pertemuan terakhir pada setiap siklus. Penelitian dilakuakn di kelas X IPA 3 SMA Negeri 8 Banjarmasin yang terdiri atas 12 laki-laki dan 19 perempuan. Objek yang diteliti antara lain aktivitas guru, aktivitas siswa, hasil belajar dan self efficacy. Instrumen dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktivitas guru dan siswa, tes hasil belajar kognitif serta angket self efficacy. Data aktivitas guru dan siswa
179
dideskripsikan dengan cara menghitung persentase dari hasil observasi. Data yang diperoleh akan dikategorikan sesuai dengan interval penentuan aktivitas guru pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori level aktivitas guru dan siswa Persentase untuk Rentang (1 – 5)
Kategori Sangat kurang baik atau sangat kurang aktif Kurang baik atau kurang aktif Cukup baik atau cukup aktif Baik atau aktif Sangat baik atau sangat aktif
0 – 20 21 – 40 41 – 60 61 – 80 81 - 100
(Ratumanan, T.G & Laurent T, 2003) Data yang diperoleh dari tes hasil belajar kognitif berupa skor mentah yang kemudian dikonversi dalam skala 0-100. Berikut rumus yang digunakan. Nilai =
∑ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎ℎ ∑ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙
𝑥 100
Data self efficacy diperoleh dari angket yang diberikan pada setiap pertemuan berupa skor rata-rata. Angket berisi 21 pernyataan yang didalamnya mencakup tiga indikator, yaitu Self Efficacy for Cognitive Skill (SCS), Self Efficacy for Psychomotor Skill (SPS), dan Self Efficacy for Everyday Aplication (SEA) (Uzuntiryaki, E & Ye şim, Ç.A, 2008). Self efficacy siswa dapat diidentifikasi menggunakan kategorisasi sesuai dengan kategori penilaian pada Tabel 2.
Tabel 2. Kategori penilaian self efficacy siswa Kelas Interval 21 – 37 38 – 54 55 – 71 72 – 88 89 – 105
Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Tinggi Sangat tinggi (Widoyoko, 2014)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a. Hasil Validasi Instrumen Penelitian Secara keseluruhan instrumen penelitian telah memenuhi persayaratan kelayakan instrumen berdasarkan hasil validasi dari kelima validator. Namun, sebelum instrumen dinyatakan layak, telah dilakukan perbaikan pada beberapa item yang belum sesuai dengan kriterian penilaian. b. Deskripsi Hasil Penelitian dan Pembahasan Data yang diperoleh selama pembelajaran antara lain: (1) angket self efficacy; (2) tes hesil belajar kognitif; (3) observasi aktivitas guru; dan (4) observasi aktivitas siswa. 1. Data self efficacy siswa selama pembelajaran Data ini diperoleh dari angket yang diberikan kepada siswa pada saat sebelum diberikan tindakan (pembelajaran menggunakan pendekatan SETS) dan setelah diberikan tindakan. Total pertemuan yang dilakukan pada siklus I dan siklus II sebanyak empat kali pertemuan. Jadi, total angket self efficacy yang diberikan kepada siswa sebanyak lima jenis. Perbedaan dari setiap angket yang diberikan terletak pada indikator pembelajaran yang telah
180
disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari pada setiap pertemuan. Data pengkategorian self efficacy siswa diklasifikasikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Data skor self efficacy siswa Pemberian Angket
Siklus I Siklus II
Skor Total 2246 2221 2258 2328 2319
Pra Tindakan Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 Pertemuan 4
Skor Rata-rata 72,45 71,65 72,84 75,1 74,81
Kategori Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
Berdasarkan data pada Tabel 3, skor siswa pada pra tindakan hingga siklus II telah mengalami peningkatan. Secara klasikal self efficacy siswa juga mengalami peningkatan dari 38,71% (12 dari 31 siswa) menjadi 83,87% (26 dari 31 siswa) yang telah masuk dalam kategori tinggi, dengan demikian self efficacy siswa sudah melampaui batas minimal dari indikator keberhasilan penelitian. Self efficacy siswa meningkat karena dari data hasil angket pra tindakan sudah menunjukkan bahwa kategori siswa sebanyak 38,71% sudah mendapatkan kategori tinggi. Menurut Baanu T.F, dkk (2016) siswa yang memiliki self efficacy kuat akan lebih bekerja keras, mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan, dan dapat mencapai tingkat pencapaian kompetensi yang lebih tinggi, oleh karena itu self efficacy siswa dapat meningkat setelah diberikan tindakan. 2. Data hasil belajar kognitif siswa Hasil belajar kognitif siswa diperoleh dari tes yang dilakukan pada ujian siklus I dan siklus II. Soal tes terdiri dari 15 soal pilihan ganda yang telah disesuaikan dengan indikator pembelajaran. Indikator pembelajaran dalam penelitian ini sebanyak lima indikator. Data hasil tes hasil belajar kognitif selama pembelajaran siklus I dan II dapat dilihat pada Gambar 1. Persentase Hasil Tes Kognitif 82.37
Persentase (%)
85.00 80.00 75.00 70.00
69.25
65.00 60.00 Siklus I
Gambar 1.
Siklus II Persentase hasil belajar
kognitif
Pendekatan SETS yang diterapkan pada materi reaksi redoks berdasarkan hasil penelitian menunjukkan, dapat memudahkan siswa dalam memahami konsep pembelajaran, perubahan ini terlihat pada saat kegiatan pembelajaran siswa menjadi lebih antusias dan memiliki rasa ingin tau yang tinggi. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan SETS dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar juga dipengaruhi oleh self efficacy siswa karena menurut teori sosial kognitif Albert Bandura self efficacy memiliki kontribusi yang besar terhadap prestasi akademik, motivasi, dan hasil belajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy siswa mengalami peningkatan dari skor rata-rata pada pra tindakan sebesar 72,45 menjadi 74,81 dengan kategori tinggi setelah diberikan tindakan. Hasil belajar siswa meningkat seiring dengan peningkatan self efficacy siswa. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori sosial kognitif Albert Bandura. Menurut Baanu T.F, dkk (2016) mereka yang memiliki self efficacy kuat dalam belajar atau melakukan tugas cenderung akan lebih kompeten dan
181
dapat berpartisipasi dengan mudah, lebih bekerja keras, mampu bertahan ketika mereka menghadapi kesulitan dan dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi. 3. Data hasil observasi Kegiatan observasi yang dilakukan selama pembelajaran adalah aktisitas guru dan aktivitas siswa. Data hasil observasi aktivitas guru selama pembelajaran pada siklus I dan II dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase aktivitas guru Pertemuan 1 73,61
Siklus I (%) Pertemuan 2 75,76 Rata-rata = 76 Kategori = Baik
Pertemuan 3 78,33
Siklus II (%) Pertemuan 4 85,61 Kategori = Sangat baik
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa keterlaksanaan kagiatan mengajar guru secara keseluruhan terjadi peningkatan. Peningkatan aktivitas guru terjadi karena pada siklus II guru lebih mampu dalam melakukan kegiatan pembelajaran dengan baik dibandingkan pada siklus I. Pada pembelajaran siklus II guru lebih baik dalam menarik perhatian siswa saat memberikan apersepsi maupun memberikan permasalahan dalam lingkungan pada tahap invitasi, dan suasana kelas sudah cukup kondusif pada saat diskusi maupun membuat kesimpulan. Peningkatan aktivitas guru akan berpengaruh pada aktivitas siswa karena guru sudah melaksanakan aktivitas pembelajaran dengan lebih baik, sehingga siswa dapat melakukan aktivitas dalam pembelajaran menggunakan pendekatan SETS dengan lebih maksimal. Data hasil observasi aktivitas siswa selama pembelajaran pada siklus I dan II dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase aktivitas siswa Siklus I (%) Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 66,69 68,46 73,39 Rata-rata = 69,51 Kategori = Aktif
Siklus II (%) Pertemuan 4 75,16 Kategori = Aktif
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas dengan menggunakan pendekatan SETS dapat meningkatkan aktivitas siswa. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Hasanah, Aan & Mahdian, 2013) juga menunjukkan perbedaan aktivitas belajar siswa menggunakan pendekatan SETS membuat siswa lebih aktif dibandingkan dengan aktivitas siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional pada materi reaksi redoks. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pada (1) aktivitas guru dengan peningkatan persentase dari 76% termasuk kategori baik menjadi 85,61% termasuk kategori sangat baik; (2) aktivitas siswa dengan peningkatan persentase sktivitas dari 69,51% menjadi 75,16% termasuk dalam kategori aktif; (3) self efficacy siswa dari 72,45 pada pra tindakan (sebelum pembelajaran) menjadi 74,81 setelah tindakan (setelah pembelajaran); dan (4) hasil belajar siswa dari 69,25 menjadi 82,37.
182
DAFTAR PUSTAKA Baanu, T.F., Oloyede, S.O & Adekunle, S.O. (2016). Self Efficacy and Chemistry Students’ Academic School in North-Central, Nigeria. The Malaysian Online Journal of Educational Science, 4(1). Bandura, A. (1994). Self Efficacy. ln V.S. Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of human behavior (Vol.4, pp.71-81). New York: Academic Press. Hasanah, Aan & Mahdian. (2013). Penerapan Pendekatan SETS (Science, Environment, Technology, and Society) pada Pembelajaran Reaksi Reduksi Oksidasi. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 4(1), 1-12. Ratumanan, T.G & Laurent T. (2003). Evaluasi Hasil Belajar yang Relevan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Surabaya: Unesa University Press. Uzuntiryaki, E & Ye şim, Ç.A. (2008). Development and Validation of Chemistry SelfEfficacy Scale for College Students. Res Sci Educ, 539-551. Widoyoko, E. (2014). Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
183
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICT, OBSERVE, EXPLAIN (POE) PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA Implementation Of Predict, Observe, Explain (POE) Model To Electrolyte And Nonelectrolyte Material To Increase Students’ Cognitive Ability Yudha Irhasyuarna1, Mahdian1 ,Evi Christina Gultom1* Pendidikan Kimia FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak. Penelitian tentang penerapan model Predict, Observe, Explain (POE) pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit kelas X IPA SMA Negeri 4 Banjarmasin ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan kognitif antara siswa yang belajar menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) dan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional (ekspositori). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu dengan desain nonequivalent control group design. Sampel penelitian adalah X IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 1 sebagai kelas kontrol. Pengumpulan data menggunakan tes. Teknik analisis data menggunakan analisis inferensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan kognitif yang signifikan antara siswa pada kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Kata kunci: model predict, observe, explain (POE), kemampuan kognitif siswa Abstract. The aim of this research about the implementation of Predict, Observe, Explain (POE) model to electrolyte and nonelectrolyte material on the tenth of science students in SMA Negeri 4 Banjarmasin is to know the differences of cognitive ability among the students who learns electrolyte and nonelectrolyte material by using Predict, Observe, Explain (POE) model and the students who learn electrolyte and nonelectrolyte material by using conventional learning (expository). This research use quasy experiment method with nonequivalent control group design. The sample of the research is X IPA 2 as the experimental class and X IPA 1 as the controllig class. The researcher used tests as the technique for collecting data. The data analysis technique is inferential analysis. The results of this research indicate that there are significant differences in cognitive ability among students in experimental class and controlling class. Keywords: predict, observe, explain (POE) model,cognitive ability
PENDAHULUAN Secara umum sains dipahami sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat langkah-langkah observasi, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, pengujian hipotesis melalui eksperimen, penarikan kesimpulan serta penemuan konsep dan teori (Trianto, 2014). Ilmu kimia sebagai cabang ilmu sains merupakan ilmu yang mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi, sehingga ilmu kimia bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsepkonsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dan pengembangan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pengetahuan harus melalui suatu rangkaian kegiatan dalam metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen. Namun fakta di lapangan memperlihatkan bahwa dalam mempelajari sains, siswa cenderung lebih menghafal teori, konsep dan prinsip tanpa memaknai proses bagaimana cara memperolehnya (Siwa, Muderawan, & Tika, 2013). Akibatnya siswa menjadi kurang terlatih untuk berpikir dan menggunakan daya nalarnya dalam memahami fenomena alam yang terjadi ataupun ketika menghadapi masalah. Pada saat diberi permasalahan baru, mereka
184
hanya bisa memindahkan kalimat-kalimat dari buku teks ke kertas kosong (Siwa, Muderawan, & Tika, 2013). Hasil belajar siswa berdasarkan wawancara dengan salah satu guru Kimia kelas X di SMA Negeri 4 Banjarmasin masih terbilang rendah, karena masih banyak siswa yang hasil ulangannya belum mencapai KKM, yaitu 75. Hasil ulangan siswa kelas X rata-rata hanya mencapai nilai 60 saja. Siswa juga masih pasif ketika proses pembelajaran berlangsung dan kurang memaknai setiap proses pembelajaran yang mereka lakukan. Padahal, siswa sudah seharusnya diberikan kesempatan untuk mengembangkan dan menunjukkan semua potensi yang ada di dalam diri mereka, sehingga proses pembelajaran tidak terasa kaku dan pembelajaran tidak penuh dengan instruksi-instruksi saja. Hal ini didukung oleh pernyataan (Istiani, 2013) yang mengemukakan, bahwa pembelajaran dengan model konvensional dengan menggunakan metode ceramah membuat siswa cenderung pasif dan tidak dapat mengemukakan pendapatnya. Siswa belajar hanya dengan menggunakan hafalan mengenai konsep-konsep, mencatat apa yang diceramahkan guru, pasif dan jarang menggunakan pengetahuan awal sebagai dasar perencanaan pembelajaran. Pembelajaran kimia yang berlangsung di sekolah juga masih berpusat pada guru (teacher center), dimana guru masih mendominasi pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah sehingga siswa kesulitan untuk mengaitkan pembelajaran yang mereka dapatkan dengan kehidupan sehari-hari, kurang aktif dalam bertanya dan memberikan pendapat. Kondisi persoalan pembelajaran ini memerlukan suatu model pembelajaran yang dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, dapat mengemukakan pendapat mereka dan membuat siswa menjadi lebih leluasa dalam mengembangkan segala potensi yang ada di dalam diri mereka dengan penyajian materi yang tidak membuat siswa bosan. Model pembelajaran ini harus melibatkan pengalaman siswa dalam kehidupannya sehari-hari secara langsung, sehingga siswa mampu menghubungkan konsep yang telah mereka dapatkan dengan pengalaman yang mereka alami. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE). Model pembelajaran POE ini merupakan suatu model pembelajaran yang berlandaskan pandangan konstruktivisme yang dapat merangsang berpikir siswa serta menuntut siswa berperan aktif dalam proses penemuan konsep dan melatih siswa untuk menggunakan pola pikir yang terstruktur dan sistematis. Penemuan konsep pengetahuan yang mereka lakukan sendiri ini dapat dilakukan dari hasil pengamatan yang mereka lakukan melalui metode demonstrasi maupun eksperimen di laboratorium. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik untuk mengkaji penerapan model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE) pada materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif siswa. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode quasi experimental dengan rancangan penelitian nonequivalent control group design. Sebelum diberikan perlakuan, dilakukan pre-test pada kedua kelas untuk mengetahui pemahaman awal siswa. Setelah proses pembelajaran, siswa diberikan tes akhir (post-test) untuk mengetahui pencapaian kemampuan kognitif siswa setelah diterapkan model POE. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 4 Banjarmasin kelas X IPA pada tahun ajaran 2016/2017. Populasi penelitian adalah siswa SMA Negeri 4 Banjarmasin. Sampel penelitian adalah siswa kelas X IPA 2 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 1 sebagai kelas kontrol. Pengumpulan data menggunakan teknik tes. Instrumen penelitian diujicobakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya. Teknik analisis data yaitu analisis inferensial. Analisis inferensial adalah uji-t. Sebelumnya dilakukan uji normalitas (Liliefors) dan uji homogenitas.
185
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Data hasil tes kemampuan kognitif siswa diperoleh dari pre-test dan post-test pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan kriteria dapat dilihat pada Tabel 1 dan tingkat pemahaman siswa dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1. Hasil uji-t data kemampuan kognitif siswa Hasil
Kelas
dB
X
SD2
Pretest
Eksperimen
32
27,87
192,234
Kontrol
32
23.33
110,416
Posttest
Eksperimen
32
78,48
119,507
Kontrol
32
67,27
214,204
tHitung
tTabel (α = 0,05)
Keterangan
1,478
2,03
Tidak ada perbedaan yang signifikan
3,471
2,03
Ada perbedaan yang signifikan
Tingkat pemahaman (100%)
100 80 60
40
Eksperimen 87.9
86.87 81.82 71.7
Kontrol
65.9 52.3
20 0
Indikator 1 Indikator 2 Indikator 3 Gambar 1. Presentase tingkat pemahaman siswa pada kedua kelas untuk setiap indikator Keterangan tiap indikator: 1. Menentukan larutan elektrolit kuat dan non elektrolit 2. Menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya 3. Menganalisis jenis senyawa yang bersifat elektrolit berdasarkan jenis ikatannya Berdasarkan Gambar 1 di atas terlihat bahwa tigkat pemahaman kelas eksperimen pada setiap indikator lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Data pre-test kemampuan kognitif siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol diuji menggunakan uji-t untuk mengetahui apakah terdapat pebedaan kemampuan kognitif yang signifikan sebelum dilakukan perlakuan menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) pada materi larutan elektrolit dan non elektolit. Data post-test kemampuan kognitif siswa dari kelas eksperimen dan kelas kontrol juga diuji dengan menggunakan uji-t untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan kognitif yang signifikan setelah kelas eksperimen mendapatkan perlakuan. Sebelum dilakukan uji-t, data pre-test dan post-test kemampuan kognitif kelas eksperimen dan kelas kontrol diuji terlebih dahulu dengan uji normalitas dan uji homogenitas. Berdasarkan hasil analisis inferensial, dengan varian yang homogen dan data yang berdistribusi normal perbedaan rata-rata kelas eksperimen dengan kelas kontrol berbeda secara signifikan setelah dihitung dengan menggunakan uji-t. Selain itu, berdasarkan Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) presentase siswa yang mencapai ketuntasan pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Adanya perbedaan hasil kemampuan kognitif ini dikarenakan adanya pengaruh penerapan model pembelajaran Predict, Observe, Explain (POE) yang diberikan pada kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol menerapkan strategi pembelajaran ekspositori. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Puriyandari, Saputro, & Masykuri, 2014) yang menunjukkan bahwa terdapat peningkatan prestasi belajar dalam aspek kognitif siswa dengan menggunakan model pembelajaran POE. Selain itu
186
(Anisa, Masykuri, & Yamitnah, 2013) juga mengemukakan hal yang sama bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dalam penerapan model pembelajaran POE dengan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran dengan model pembelajaran POE menekankan aktivitas siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan serangkaian metode ilmiah guna membangun konsep larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Pembelajaran POE menempatkan siswa sebagai subjek pembelajar dan guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing dan motivator sehingga siswa terlibat sendiri dalam proses penemuan konsep dan mengkonstruksi pengetahuannya. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh (Marjan, Arnyana, & Setiawan, 2014) bahwa pembelajaran sains yang dilakukan dengan proses penemuan mampu meningkatkan pemahaman siswa karena adanya pengaruh kemampuan pemahaman siswa yang dibangun dengan sendirinya. Berikut ini pembahasan lengkap mengenai perbedaan tiap indikator antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. (a) Indikator 1 Indikator pertama pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yaitu menentukan larutan elektrolit kuat dan non elektrolit. Berdasarkan ranah kognitif yang dikemukakan oleh Blomm bahwa siswa yang mampu mengaplikasikan suatu konsep harus mampu terlebih dahulu mengingat dan memahami konsep yang mereka pelajari. Pada penelitian ini siswa harus mampu memahami dasar-dasar pengelompokkan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit, dengan mengamati ciri-ciri yang ditunjukkan pada alat uji elektrolit melalui percobaan yang dilakukan. Pengelompokkan ini dapat berdasarkan persamaan maupun perbedaan ciri-ciri yang ditunjukkan. Ciri-ciri ini ini dapat berupa menyala atau tidaknya bolam lampu dan ada atau tidaknya gelembung-gelembung gas pada elektroda. Selain itu, siswa juga harus mampu memahami penyebab mengapa suatu larutan dapat menghantarkan arus listrik, sehingga siswa tidak hanya sekedar dapat menentukan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Siswa pada kelas eksperimen mengkonstruksi pengetahuan mereka dengan memecahkan masalah melalui tahapan memprediksi, mengobservasi dan menjelaskan melalui percobaan, sehingga siswa pada kelas eksperimen lebih mampu mengaplikasikan konsep yang mereka peroleh. Aktivitas berpikir siswa dengan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan dapat membantu siswa lebih mudah memahami materi atau konsep larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Selain itu, menurut (Slavin, 2008) dengan terlibatnya siswa secara aktif dalam proses penemuan konsep dapat meningkatkan penyimpanan informasi dalam memori jangka panjang sehingga memperbesar penguasaan konsepnya. Oleh karena itu, siswa pada kelas eksperimen lebih mampu menentukan larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Pada kelas kontrol siswa mengandalkan penjelasan dari guru melalui metode ceramah dan tanya jawab. Pembelajaran yang tidak melibatkan siswa untuk membangun pengetahuan mereka akan mengakibatkan siswa kurang memahami konsep yang mereka pelajari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Istiani, 2013) bahwa pembelajaran konvensional dengan metode ceramah membuat pengetahuan siswa tidak berkembang, karena dalam proses pembelajaran siswa cenderung menjadi pasif sehingga tidak dapat mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. (b) Indikator 2 dan 3 Indikator kedua adalah menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya. Indikator ketiga adalah menganalisis jenis senyawa yang bersifat elektrolit berdasarkan jenis ikatannya. Kelas eksperimen memiliki kemampuan menganalisis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan pembelajaran POE memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam memecahkan masalah sehingga akan mengembangkan pola pikir siswa. Pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk melatih penggunaan konsep-konsep yang mereka peroleh akan memberikan pengalaman kepada mereka untuk memiliki struktur konsep yang dapat berguna dalam menganalisis suatu permasalahan. Untuk dapat menganalisis data hasil pengamatan siswa harus menjawab semua pertanyaan yang terdapat dalam LKS dan menghubungkan data hasil percobaan dengan kajian teori yang sesuai sehingga dapat
187
membuktikan prediksi yang mereka buat, apakah diterima atau ditolak. Seperti yang dikemukakan oleh Krathwohl (Lewy, Zulkardi, & Aisyah, 2009) bahwa salah satu indikator untuk mengukur siswa dapat menganalisis adalah siswa dapat membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya. Siswa mampu menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya harus mampu terlebih dahulu menentukan dan memaknai penyebab suatu larutan dapat dikategorikan sebagai larutan elektrolit dan larutan non elektrolit. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati ciri-ciri yang ditunjukkan oleh alat uji elektrolit, kemudian siswa menghubungkan dengan konsep yang telah mereka peroleh sebelumnya yaitu mengenai konduktor dan isolator. Apabila siswa mampu menghubungkan konsep konduktor dan isolator dengan hasil pengamatan yang mereka peroleh dan dapat menjawab pertanyaan yang disajikan pada LKS, maka siswa dapat dikatakan mampu menganalisis sifat larutan berdasarkan daya hantar listriknya. Siswa mampu menganalisis jenis senyawa yang bersifat elektrolit berdasarkan jenis ikatannya harus mampu terlebih dahulu memahami bagaimana ikatan ion dan ikatan kovalen dapat terbentuk. Karakteristik larutan elektrolit yang diperoleh saat percobaan kemudian dihubungkan dengan konsep ikatan ion dan ikatan kovalen untuk dapat menentukan apakah larutan elektolit tersebut merupakan senyawa ion atau senyawa kovalen. SIMPULAN Terdapat perbedaan kemampuan kognitif antara siswa yang belajar dengan menggunakan model Predict, Observe, Explain (POE) dengan siswa yang belajar menggunakan strategi ekspositori pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit. DAFTAR PUSTAKA Anisa, D. N., Masykuri, M., & Yamitnah, S. (2013). Pengaruh Model Pembelajaran POE (Predict, Observe, and Explanation) dan Sikap Ilmiah terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi Asam, Basa dan Garam Kelas VII Semester 1 SMPN 1 Jaten Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Pendidikan Kimia, 16-23. Istiani, N. (2013). Perbedaan Pengaruh Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dan Metode Ceramah terhadap Hasil Belajar. Jurnal Salatiga Universitas Kristen Satya Wacana. Lewy, Zulkardi, & Aisyah, N. (2009). Pengembangan Soal untuk Mengukur Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Pokok Bahasan Barisan dan Deret Bilangan di Kelas IX Akselerasi SMP Xaverius Maria Palembang . Jurnal Pendidikan Matematika, 1428. Marjan, J., Arnyana, I. P., & Setiawan, I. N. (2014). Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Saintifik terhadap Hasil Belajar Biologi dan Keterampilan Proses Sains MA Mu'allimat NW Pancor Selong Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. eJournal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Puriyandari, D., Saputro, A. N., & Masykuri, M. (2014). Penerapan Model Pembelajaran Prediction, Observation and Explanation (POE) dilengkapi Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk Meningkatkan Sikap Ilmiah dan Prestasi Belajar Materi Kelarutan dan Hasil Kelarutan Siswa Kelas XI IPA 1 Semester Genap SMAN 1 Ngemplak. Jurnal Pendidikan Kimia (JPK), 24-30. Siwa, I., Muderawan, I., & Tika, I. (2013). Pengaruh Pembelajaran Berbasis Proyek dalam Pembelajaran Kimia terhadap Keterampilan Proses Sains ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 3, 1-13. Slavin, R. (2008). Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik Edisi ke-8 diterjemahkan oleh Marianto Samosir. Jakarta: Indeks. Trianto. (2014). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: PT Bumi Aksara.
188
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PROCESS ORIENTED GUIDED INQUIRY LEARNING (POGIL) MATERI LARUTAN PENYANGGA SMA NEGERI 10 BANJARMASIN Improving Skills of the Science Process and Learning Outcomes Using the Process Oriented Guided Inquiry Learning Model (POGIL) Buffer Solution In SMA Negeri 10 Banjarmasin 1
Mahdian1, Rilia Iriani1 ,Kumala Suryo Atmojo1* Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia *email: [email protected] Abstrak. Telah dilaksanakan penelitian tentang penggunaan model POGIL pada pembelajaran materi larutan penyangga. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan (1) aktivitas guru, (2) aktivitas siswa, (3) keterampilan proses sains, (4) hasil belajar dan (5) mengetahui respon siswa. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan 2 siklus kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin, dengan jumlah 32 orang. Instrumen penelitian berupa tes dan non tes serta dianalisis menggunakan teknik observasi dan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan (1) aktivitas guru dari kategori baik pada siklus I menjadi kategori sangat baik pada siklus II, (2) aktivitas siswa dari kategori cukup aktif pada siklus I menjadi kategori aktif pada siklus II, (3) observasi keterampilan proses sains dari kategori cukup terampil pada siklus I menjadi kategori terampil pada siklus II. Hasil tes keterampilan proses sains dari kategori terampil menjadi sangat terampil. (4) Hasil belajar secara klasikal dari sebesar 71,86% pada siklus I menjadi sebesar 87,50% pada siklus II. (5) Siswa merespon baik terhadap penggunaan model pembelajaran POGIL pada materi larutan penyangga. Kata kunci: Keterampilan proses sains, model POGIL, larutan penyangga. Abstract. A research has been conducted about the use of POGIL Model on learning of buffer solution lesson. This research aims to improve (1) teachers activity, (2) students activity, (3) science process skills, (4) learning outcomes and (5) knowing the students response. This Research using class action research (PKT) with 2 cycle which consists students from class XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin with 32 people. Research instrument consists of the test and nontest and data were analyzed with technique of observation and test. Research result showed that there is an improvement (1) teachers activity from good category on cycle I become very good category on cycle II, (2) students activity from fairly active on cycle I become active category on cycle II, (3) observation science skills from the fairly skilled category on cycle I become skilled category on cycle II. Test results of science process skills from the skilled category become very skillful. (4) learning outcomes classically from 71,86% on cycle I become 87,50% on cycle II. (5) students respond well to use POGIL learning model on the buffer solution lesson. Keyword: science process skills, POGIL model, buffer solution.
PENDAHULUAN Kemampuan sains siswa di Indonesia masih rendah. Ditunjukkan oleh survey yang dilakukan PISA (Programme for Internastional Student Assessment) 2012 yang dipublikasikan oleh organisasi OECD tahun 2013 rata-rata nilai sains siswa 382 dan dari 65 negara perserta PISA Indonesia berada peringkat 64 (Ningsih, Siswoyo & Astra, 2015). Survey terbaru PISA tahun 2015 bahwa rata-rata skor nilai sains siswa 403 dengan peringkat 62 dari 70 negara anggota PISA (OECD, 2016). Berdasarkan hasil wawancara informal dengan Bapak Muhammad Kastalani dan Ibu Heldaniah, ulangan harian materi larutan penyangga yang diikuti 18 orang siswa dengan
189
nilai rata-rata 60,2 dari nilai KKM 75. Saat guru mengajar siswa ada yang mengantuk, berbicara pada teman disampingnya, mendengarkan lagu dan mengerjakan tugas mata palajaran yang lain secara diam-diam, walaupun guru sudah memperingatkan dan menasehati tapi secara diam-diam mereka tetap melakukannya. Aktivitas belajar siswa di kelas XI IPA 3 masih kurang aktif, ketika guru mengajukan beberapa pertanyaan hanya dua atau tiga orang saja menjawab, pada saat diskusi kelompok hanya satu atau dua kelompok saja yang aktif berdiskusi, dan hanya sebagian siswa yang mengerjakan latihan-latihan yang diberikan guru saat pembelajaran. Menurut siswa pembelajaran kimia jarang diadakan praktikum sehingga siswa kurang tertarik dalam pembelajaran, guru kurang membimbing siswa dalam diskusi di kelas, guru kurang mengadakan variasi dalam mengajar, dan kurang mengaitkan materi dengan fenonema yang ada di sekitar siswa. Menurut guru keterampilan proses sains di kelas XI IPA 3 jarang dilatih untuk mengamati, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, menafsirkan, menerapkan konsep dan berkomunikasi. Ini dibuktikan ketika diberikan suatu permasalahan kepada mereka, mengamati permasalahan untuk mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis dan menafsirkannya mereka binggung dan belum bisa merumuskannya. Siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal larutan penyangga dan sebagian lagi tidak menjawab. Siswa diminta menjelaskannya di depan kelas hanya satu atau dua orang saja yang mau bersedia sisanya hanya diam. Model pembelajaran yang sesuai untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah model POGIL (Process Oriented Guided Inquiry Learning). Model POGIL merupakan pengabungan dan penyempurnaan dari inkuiri terbimbing dalam pelaksanaannya dapat terapkan dengan mudah, baik pembelajaran di kelas atau di Laboratorium. Model POGIL memiliki kelebihan dibandingkan model inkuri terbimbing karena berbasis dengan tim dan lebih memperhatikan. Model POGIL melatih keterampilan proses sains, pemahaman siswa, soft skill, tanggung jawab, manajemen siswa dan pemecahan masalah (Indraswari, Widodo & Muchlis, 2015). Menurut penelitian Indraswari, Widodo dan Muchlis (2015) pada penerapan model POGIL mengalami peningkatan pada setiap pertemuannya pada pertemuan, kedua dan ketiga berturut-turut yaitu baik, baik dan sangat baik dan siswa memberikan respons jawaban positif sebesar 91%. Sedangkan menurut penelitian Marcelia, Margunayasa dan Kusmariyatni (2016) siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional rata-rata skor keterampilan proses sains sebesar 30,33 dan rata-rata skor keterampilan proses sains dengan model POGIL sebesar 49,91. Menerapkan model POGIL yang melibatkan keterampilan proses sains dapat melatih keterampilan proses sains. Mengaplikasikan model POGIL dalam pembelajaran diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang menarik, memotivasi siswa sehingga diminati siswa, membantu pemahaman siswa yang lebih dalam, soft skill siswa, serta dapat meningkatkan keterampilan proses sains bagi siswa. Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti melakukan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model POGIL (Process Oriented Guided Inquiry Learning) untuk meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar pada materi larutan penyangga kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin.
METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (PTK), yaitu merupakan jenis penelitian yang menjelaskan proses maupun hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Suharsimi, Suhardjono & Supardi, 2015). Penelitian dilaksanakan dalam siklus I dan siklus II dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan, sehingga untuk 2 siklus terdapat 4 kali pertemuan. Pengamatan dilakukan pada tiap pertemuan dan evaluasi dilakukan setiap akhir siklus. Penelitian dilakukan di kelas XI IPA 3 SMA Negeri 10 Banjarmasin berjumlah 32 orang, terdiri dari 9 orang laki-laki dan 23 orang perempuan. Objek dalam penelitian ini adalah aktivitas guru dan siswa, keterampilan proses sains dan hasil belajar, serta respon siswa.
190
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Aktivitas Guru Penilaian aktivitas guru dinilai berdasarkan lembar aktivitas guru yang telah disediakan dan diamati oleh satu orang observer. Hasil observasi aktivitas guru pada siklus I dan siklus II pertemuan pertama dan kedua tertera pada Gambar 1. 100% 90,00
90% 83,75
Aktivitas guru (%)
80% 70% 73,75
60% 50%
66,25
40% 30% 20% 10% 0% Pertemuan 1
Siklus I Pertemuan 2
Siklus II
Gambar 1. Hasil observasi aktivitas guru
Walaupun ada beberapa tahapan pelaksanaan yang kurang maksimal tetapi aktivitas guru meningkat dari pertemuan pertama sebesar 66,25% pada kategori cukup baik dan pertemuan kedua sebesar 73,73% pada kategori baik. Secara keseluruhan proses pembelajaran siklus I masih belum maksimal. Pada siklus II aktivitas guru mengalami peningkatan pada pertemuan pertama yaitu sebesar 83,75% dengan kategori baik dan pada pertemuan kedua menjadi sebesar 90,00% dengan kategori sangat baik. Aktivitas guru pada siklus I kategori baik sebesar 70,00% dan meningkat menjadi kategori sangat baik sebesar 86,88% pada siklus II. Perbaikan aktivitas guru berhasil dengan memperhatikan pelaksanaan yang kurang optimal pada siklus I sehingga dapat meningkat aktivitas guru pada siklus II. Menurut Indraswati, Widodo dan Muchlis (2015) menunjukkan bahwa penerapan model POGIL dalam setiap pertemuan mengalami peningkatan. Menurut Fujiati dan Mastur (2014) pada pembelajaran model POGIL aktivitas guru dalam setiap pertemuan pada siklus II terus meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Indraswari, Widodo dan Muchlis (2015) bahwa hasil keterlaksanaan pada pertemuan pertama, kedua dan ketiga berturut-turut yaitu baik, baik dan sangat baik. Aktivitas Siswa Penilaian aktivitas siswa dinilai berdasarkan lembar aktivitas siswa yang telah disedikan dan diamati oleh lima orang observer. Hasil observasi terhadap aktivitas siswa tersaji pada Gambar 2.
191
Aktivitas siswa (%)
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Pertemuan 1
80,00 74,28 57,14 47,14
Siklus I Pertemuan 2
Siklus II
Gambar 2. Hasil observasi aktivitas siswa
Akivitas siswa kategori kurang aktif pada siklus I pertemuan pertama sebesar 47,13% dan siklus II kategori cukup aktif pada pertemuan kedua sebesar 57,14%. Pada pertemuan kedua siswa sudah mulai memperhatikan guru dan merespon apersepsi yang diberikan oleh guru jika dibandingkan pada pertemuan pertama aktivitas siswa. Selain itu, siswa mulai aktif berdiskusi tetapi ada beberapa siswa yang masih pasif. Siswa masih sedikit ragu dan belum begitu berani dalam presentasi dan menanggapi, tetapi siswa sudah cukup mampu dalam kegiatan diskusi. Aktivitas siswa dalam setiap pertemuan pada siklus II terus meningat. Aktivitas siswa pada pertemuan pertama sebesar 74,29% dengan kategori aktif meningkat pada pertemuan kedua menjadi sebesar 85,71% dengan kategori sangat aktif. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan, di mana pada siklus I sebesar 52,14% dengan kategori cukup aktif meningkat pada siklus II sebesar 80,00% dengan kategori aktif. Peningkatan aktivitas siswa ini sebesar 27,86%. Hal ini sesuai dengan penelitian Choirunnisa, Yanthi dan Syahruddin (2016) berdasarkan hasil observasi, aktivitas siswa semakin meningkat pada setiap siklusnya siswa melakukan, menyelidiki konsep secara mandiri kegiatan mencari dan aktif dengan bimbingan guru.
Observasi keterampilan proses sains (%)
Observasi Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains juga dinilai berdasarkan lembar penilaian keterampilan proses sains dan diamati oleh dua orang observer. Hasil observasi pada siklus I dan siklus II pertemuan pertama dan kedua tersaji pada Gambar 3. 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
90,00 76,68 60,00 50,00
Siklus I Pertemuan 1
Siklus II
Pertemuan 2 Gambar 3. Hasil observasi keterampilan proses sains
192
Pada pertemuan pertama yaitu sebesar 50,00% dan pada kategori kurang terampil. Indikator keterampilan proses sains yang paling rendah yaitu merumuskan hipotesis, menafsirkan pada kategori kurang terampil. Pertemuan kedua yaitu sebesar 60,00% pada kategori cukup terampil. Keterampilan proses sains pada siklus I mengalami peningkatan sebesar 10,00% jika dibandingkan pertemuan pertama. Secara keseluruhan keterampilan proses sains pada siklus I yaitu sebesar 55,00% dan pada kategori cukup terampil. Indikator keterampilan proses sains mengamati terjadi peningkatan dibandingkan pertemuan pertama, guru lebih seksama dalam melihat siswa melakukan penyelidikan sehingga jika terdapat siswa yang kurang tepat dalam mengamati guru dapat menjelaskan bagaimana cara mengamati dengan benar. Pada siklus II pertemuan pertama yaitu sebesar 76,67% pada kategori terampil dan pertemuan kedua yaitu sebesar 90,00% pada kategori sangat terampil. Pada siklus I ratarata siswa memperoleh skor 55,00% dengan kategori cukup terampil dan pada siklus II sebesar 83,33% dengan kategori terampil. Ini mengalami peningkatan sebesar 28,33%. Guru selalu melatih siswa untuk melakukan keterampilan proses sains secara berulang-ulang. Guru berusaha meningkatkan minat, rasa percaya diri siswa, membimbing siswa, mengelola waktu secara efektif dan efisien terhadap proses pembelajaran. Penelitian ini menunjukkan dengan menggunakan model POGIL berhasil meningkatkan keterampilan proses sains dari kategori cukup terampil menjadi terampil. Menurut Ozturk, Tezel dan Acat (2010) keterampilan proses sains digunakan untuk membuat informasi yang didapat siswa, berfikir mengenai memecahkan permasalahan dan merumuskan hipotesis bagaimana menyelesaikan masalah tersebut. Tes Keterampilan Proses Sains Tes keterampilan proses sains, adapun indikator yang dilakukan tes yaitu mengamati, mengajukan pertanyaan, merumuskan hipotesis, menafsirkan, menerapkan konsep dan berkomunikasi. Gambaran persentase keterampilan proses sains dalam setiap siklus tersaji pada Gambar 4.
Tes keterampilan proses sains (%)
120 100 100 81,23 80 60 40 20 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 4. Hasil tes keterampilan proses sains
Berdasarkan hasil evaluasi pada siklus I ditinjau dari rentang nilai siswa, sebanyak 26 siswa dengan nilai ≥ 60 atau sebesar 81,23% pada kategori terampil dan sangat terampil sedangkan 6 siswa dengan nilai ≤ 60 atau sebesar 18,77% pada kategori cukup terampil, kurang terampil dan tidak terampil. Tes keterampilan proses sains ditinjau, ratarata keberhasilan penguasaan konsep sebesar 66,61% pada kategori terampil. Rentang nilai dan penguasaan indikator sudah berada kategori terampil tetapi penguasaan indikator yang kurang diindikator keberhasilan adalah indikator mengajukan pertanyaan dan menafsirkan yang terdiri dari 2 soal uraian. Hasil ini menunjukkan hasil belajar pada siklus I belum berhasil karena masih ada indikator yang belum terampil yaitu
193
kategori cukup terampil sehingga harus diteruskan pada siklus II untuk melakukan perbaikan. Perbaikan pembelajaran pada siklus II dilaksanakan berdampak pada peningkatan keterampilan proses sains. Usaha guru pada siklus II dalam meningkatkan pengelolaan waktu serta bimbingan menyeluruh kepada siswa selama proses pembelajaran. Hal yang dilaksanakan guru untuk meningkatkan pemahaman maupun penguasaan siswa pada siklus II hasil tes keterampilan proses sains sebesar 88,47% pada kategori sangat terampil dan rentang nilai siswa yang mendapat nilai ≥60 sebesar 100% pada kategori sangat terampil dan terampil. Penelitian Marcelia, Margunayasa dan Kusmariyatni (2016) siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional rata-rata skor keterampilan proses sains sebesar 30,33 dan rata-rata skor keterampilan proses sains dengan model POGIL sebesar 49,91. Tyasning, Masykuri dan Mulyani (2015) mengatakan bahwa pada pembelajaran kimia menggunakan model POGIL dapat meningkatkan kemampuan memori, kreativitas, pengetahuan dan keterampilan pada siswa.
Hasil belajar (%)
Tes Hasil Belajar Pada siklus I setelah pembelajaran berakhir, dilakukan tes hasil belajar untuk mengetahui pemahaman siswa dalam memahami materi yang telah dipelajari. Berdasarkan kategori ketuntasan ideal, hanya 71,87% siswa yang tuntas atau hanya sebanyak 23 siswa yang tuntas tidak memenuhi KKM, sehingga pada siklus II dilakukan beberapa perbaikan dari kekurangan yang ada pada siklus I. Hasil tes siklus II ketuntasan ideal mengalami peningkatan yaitu sebanyak 15,63% dari siklus I. Ketuntasan siswa pada siklus II sebesar 87,50% atau sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas sebesar 12,50% atau sebanyak 4 siswa. Gambaran persentase ketuntasan hasil belajar secara klasikal pada siklus I dan siklus II disajikan pada Gambar 5. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
87,50 71,87
Siklus I
Siklus II
Gambar 5. Tes hasil belajar
Peningkatan hasil belajar pada setiap siklusnya karena guru berhasil menumbuhkan minat siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model POGIL. Menumbuhkan minat merupakan salah satu peranan guru sebagai motivator siswa pada kegiatan pembelajaran. Menurut Sari, Nugroho, dan Masykuri (2016) tentang penerapan pembelajaran POGIL dapat meningkatkan prestasi belajar, aspek pengetahuan pada siklus I sebesar 53,8% dan pada siklus II sebesar 82,1%. Respon Siswa Hasil respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model POGIL pada materi larutan penyangga yaitu sebagian besar siswa memberikan respon positif. Gambaran respon siswa terhadap penggunaan model POGIL dapat dilihat pada Gambar 6.
194
70
62,19
Respon siswa (%)
60 50 40 25,63
30 20 10
6,25
5,63
kurang baik
cukup baik
0 0 tidak baik
baik
sangat baik
Gambar 6. Respon siswa
Berdasarkan Gambar 6 respon siswa sangat baik sebesar 25,63%, baik sebesar 62,19%, cukup baik sebesar 5,63% serta kurang baik sebesar 6,25%. Sesuai penelitian Indraswati, Widodo dan Muchlis (2015) respons siswa terhadap model POGIL tergolong sangat baik sebesar 91%. Respon positif siswa terlihat bahwa pembelajaran dengan menggunakan model POGIL pada materi larutan penyangga membuat siswa menjadi lebih tertarik untuk mengikuti pembelajaran dan memudahkan siswa memahami materi penyangga, siswa banyak yang menyatakan sangat setuju dan setuju. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu aktivitas guru, aktivitas siswa, keterampilan proses sains, hasil belajar dan respon siswa maka diambil kesimpulan model pembelajaran POGIL dapat meningkatkan aktivitas guru, aktivitas siswa, keterampilan proses sains, hasil belajar serta siswa merespon dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Choirunnisa, H., Yanthi, N., & Syahruddin, D. (2016). Model process oriented guided inquiry learning (POGIL) dalam meningkatkan keterampilan proses sains siswa SD. Jurnal Antologi UPI, 1, 1-9. Fujiati, I., & Mastur, A. (2014). Keefektifan pembelajaran model POGIL berbantuan alat peraga dan berbasis etnomatematika te r had ap k e ma mp u an k o mu n i ka s i ma te ma t i s s i s wa . U n n e s J o ur na l o f Mat h e ma tic s Education, 3, 174-180. Indraswati, R. A., Widodo, W., & Muchlis. (2015). Penerapan model pembelajaran proses oriented guided inguiry learning (POGIL) untuk keterampilan proses sains materi kalor kelas VII SMPN 22 Surabaya. Jurnal Pendidikan IPA, 18, 1-9. Marcelia, W., Margunayasa., & Kusmariyatni. (2016). Pengaruh model POGIL dan minat belajar terhadap keterampilan proses sains pada siswa kelas V SD. E-Journal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha, 4, 1-9. Ningsih, P.E., Siswoyo & Astra, I.M. (2015) Pengaruh metode POGIL (proses oriented guided inquiry learning) terhadap keterampilan proses sains siswa pada materi suhu dan kalor kelas X SMA. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal) SNF20I5, 4, 67-71. OECD. (2016). PISA 2015 results in focus. [online]. Tersedia: https://www.oecd.org /pisa/pisa-2015-results-in-focus.pdf. (28 Januari 2017) Ozturk, N., Tezel, O., & Acat, M. B. ( 2010). Science process skill levels of primary school seventh grade students in science and technology lesson. Journal of Turkish Science Education, 7,15-28. Sari, W.A., Nugroho, A., & Masykuri, M. (2016). Penerapan pembelajaran proses oriented guided inquiry learning (POGIL) dilengkapi LKS untuk meningkatkan kemandirian dan prestasi belajar siswa. Jurnal Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
195
(ISPI) Jawa Tengah, 3, 114-128. Tyasning. D. M., Masykuri, M., & Mulyani, S. (2015). Pembelajaran kimia menggunakan model process orientied guided learning (POGIL) dan problem based learning (PBL) ditinjau dari kemampuan memori dan kreativitas pada materi hidrokarbon kelas X SMA. Jurnal Pedagogia, 18, 36-47.
196
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR DENGAN PENDEKATAN CHEMOENTREPRENEURSHIP (CEP) BERORIENTASI GREEN CHEMISTRY PADA MATERI ASAM BASA KELAS XI MIA DI SMA NEGERI 3 BANJARMASIN TAHUN PELAJARAN 2016/2017 The Development of Learning Materials with Chemo-Entrepreneurship (CEP) Approach to Oriented Green Chemistry on Acid Base Material of Class XI MIA at SMA Negeri 3 Banjarmasin Academic Year 2016/2017 Rilia Iriani1, Yudha Irhasyuarna1 , Alya Amini1* Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang pengembangan bahan ajar dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry pada materi asam basa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : kelayakan, kepraktisan dan keefektifan pengembangan bahan ajar. Penelitian ini menggunakan rancangan research & development dari Thiagarajan dan kawan-kawan (1974) yaitu menggunakan model pengembangan 4-D yang dimodifikasi menjadi 3-D. Penelitian dilakukan di sekolah SMAN 3 Banjarmasin. Sebanyak 10 siswa kelas XI MIA 1 dijadikan sampel penelitian untuk uji skala kecil yang terdiri dari 2 siswa untuk uji perorangan dan 8 siswa untuk uji kelompok kecil. Kemudian dilakukan penelitian uji coba kelas, sebanyak 35 siswa XI MIA 2 dijadikan sampel penelitian untuk kelas eksperimen dan sebanyak 35 siswa XI MIA 3 dijadikan sampel penelitian untuk kelas kontrol. Teknik pengumpulan data menggunakan tes hasil belajar siswa dan angket. Berdasarkan hasil validasi oleh validator handout yang dibuat memiliki rata-rata skor 143,4 dengan persentase 89,6% sehingga dinyatakan valid atau layak. Hasil rata-rata skor uji keterbacaan siswa pada uji skala kecil adalah 3,2 dengan kriteria tinggi sehingga dinyatakan praktis untuk digunakan. Sedangkan handout dinyatakan efektif dilihat dari hasil belajar siswa kelas eksperimen memiliki rata-rata skor N-gain sebesar 0,92 dalam kriteria tinggi dan memperoleh hasil penumbuhan minat wirausaha dengan skor 3,02 dalam kriteria kuat. Hal ini menunjukan bahwa pengembangan bahan ajar dengan dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dinyatakan layak, efektif dan praktis digunakan sebagai sumber belajar siswa. Kata kunci: Bahan ajar, pendekatan Chemo-Entrepreneurship, green chemistry, asam basa Abstract. Has done research about the development of learning materials with ChemoEntrepreneurship (CEP) approach oriented green chemistry on acid base materials. This research aims to find out: feasibility, practicability and effectiveness of the development of learning materials. This research uses research & development design from Thiagarajan and friends (1974), that is using 4-D development model that are modified into 3-D. The research was conducted at SMAN 3 Banjarmasin. As many as 10 students of class XI MIA 1 made a sample research for small scale test consisting of 2 students to test individuals and 8 students to test small groups. Then conducted research trials, as many as 35 students of Class XI MIA 2 made a sample research to the experimental class and as many as 35 students XI MIA 3 made a sample research for the control class. Technique of collecting data using test result of student learning and questionnaire. Based on the results of the validation by the validator handouts created has an average score 143.4 with the percentage of 89.6% so it is declared valid or feasible. The average result of the test scores of students' readability on small scale test is 3.2 with high criterion so it is stated practical to use. While the handout is effectively seen from the learning result of the experimental class students have the average score of N-gain is 0.92 in the high criteria and obtain the result of the growth of entrepreneur interest with score is 3.02 in the strong criteria. This indicates that the development of learning materials with Chemo-Entrepreneurship (CEP) approach to oriented green chemistry declared viable, effective and practical to be use as a learning resource for student.
197
Keywords: learning materials, Chemo-Entrepreneurship (CEP) approach, green chemistry, acid-base
PENDAHULUAN Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah jenjang pendidikan yang akan mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ataupun masuk dunia kerja. Masalah yang nampak pada dunia pendidikan sekarang adalah banyaknya siswa yang memilih ingin bekerja dibandingkan kuliah disebabkan siswa sekarang ini memiliki minat balajar yang sangat kurang. Salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit oleh siswa SMA adalah mata pelajaran kimia. Menurut Rahmawana, Adlim dan Halim (2016) ilmu kimia itu bersifat abstrak sehingga sukar untuk dipahami dan selama ini proses pembelajaran cenderung berpusat pada guru yang kurang menuntut keterampilan siswa. Jadi salah satu upaya adalah perlu adanya pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan siswa di sekolah. Berdasarkan data yang diberikan guru kimia SMA Negeri 3 Banjarmasin, hasil kognitif atau rekapan data nilai ulangan harian pada materi asam basa tahun pelajaran 2014/2015 adalah hanya sebesar 30% yang mencapai kriteria kelulusan minimum (KKM), nilai KKM pada mata pelajaran kimia sendiri adalah 75. Materi asam basa merupakan materi yang menganjurkan siswanya untuk memaksimalkan penguasaan konsep pada materi ini dikarenakan materi ini adalah dasar untuk memahami materi yang selanjutnya seperti, hidrolisis garam dan larutan penyangga. Model pembelajaran yang tepat dan bahan ajar yang baik adalah faktor yang membuat siswa dapat menguasai konsep pada materi asam basa dan memahami pelajaran kimia yang diajarkan. Berdasarkan wawancara dengan guru kimia SMAN 3 Banjarmasin juga menunjukkan bahwa tidak banyak guru yang memanfaatkan media pembelajaran baru atau mengembangkan bahan ajar khususnya sebagai penyampaian materi pembelajaran. Guru lebih banyak mempergunakan media pembelajaran berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibagikan oleh sekolah dibandingkan buku paket. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan perubahan besar dalam pembelajaran kimia di SMA Negeri 3 Banjarmasin. Menurut Widyaningrum, Sarwanto dan Karyanto (2014) pembelajaran kimia pada dasarnya terdiri atas produk, proses, dan sikap yang menuntut siswa melakukan penemuan dan pemecahan masalah. Solusi dari masalah-masalah tersebut yaitu pembelajaran bisa dikemas dalam sebuah media pembelajaran berupa bahan ajar yang menarik dan juga inovatif yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran kimia. Handout adalah sumber belajar yang sangat membantu siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah selain materinya ringkas daripada buku pelajaraan biasa, handout juga dapat meningkatkan kreativitas, memberikan informasi baru, serta adanya perpaduan teks dan gambar yang beragam berbeda dengaan LKS yang menggunakan tampilan gambar hitam putih. Pengembangan handout ini dipadukan dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry. Menurut Ningtias, Joharman dan Yahmi (2013) proses pembelajaran dengan Chemo-entrepreneurship (CEP) membuat siswa memiliki kesempatan untuk mempelajari suatu proses pengolahan bahan menjadi suatu produk yang bermanfaat, bernilai ekonomi dan menumbuhkan semangat berwirausaha. Bahan ajar dengan menggunakan konsep green cemistry, menurut Andraos dan Dicks (2012) adalah merupakan ide dan konsep yang dapat dipelajari secara menyeluruh dengan konsep yang nyata dikehidupan siswa dan siswa dapat belajar lebih untuk menangani masalah green chemistry melalui pembelajaran. Maka bahan ajar dengan menggunakan konsep green chemistry dapat memberikan efek positif pada siswa. Selain bahan ajar yang inovatif, model pembelajaran juga dapat berperan penting dalam meningkatkan minat belajar siswa di kelas. Model pembelajaran yang dijadikan alternatif dalam inovasi pembelajaran ini adalah model pembelajaran inkuiri terbimbing. Menurut penelitian Kurnian, Wartono dan Diantoro (2014) menyatakan bahwa pengaruh pembelajaran dengan menggunakan inkuiri terbimbing dapat meningkatkan pembelajaran yaitu pada kemampuan penguasaan konsep belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa Berdasarkan uraian di atas, perlu adanya penelitian pengembangan bahan ajar berupa handout untuk pembelajaran kimia sebagai pengayaan materi asam basa dengan
198
menggunakan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry pada model inkuiri terbimbing. Hal ini, dimaksudkan agar dapat membantu siswa dalam memberikan informasi yang lebih jelas dan sistematis serta dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian pengembangan bahan ajar ini antara lain: (1) bagaimana kelayakan pengembangan bahan ajar diukur dari kevalidan berdasarkan penilaian validator?, (2) bagaimana kepraktisan pengembangan bahan ajar yang ditinjau dari kemudahan penerapannya berdasarkan uji keterbacaan siswa?, (3) bagaimana keefektifan pengembangan bahan ajar yang tinjau dari hasil belajar siswa?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan, kepraktisan dan keefektifan dari pengembangan handout yang dibuat untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada materi asam basa.
METODE PENELITIAN Metode pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dan pengembangaan atau research & development dengan menggunakan model 4-D menurut Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974). Model pengembangan 4-D memiliki 4 tahap yaitu Define, terbagi menjadi lima langkah yaitu analisis awal, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas dan spesifikasi tujuan, tahap Design yaitu penyususnan tes, pemilihan media, dan desain awal, tahap selanjutnya adalah Development yaitu dilakukan dengan uji validasi ahli, uji coba skala kecil, dan uji coba terbatas. Namun, tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini hanya sampai tahap ketiga yaitu Development, sedangkan pada tahap keempat yaitu Desiminasi atau tahap penyebaran tidak dilakukan karena penelitian ini hanya menghasilkan produk prototipe. Maka rancangan atau desain penelitian 4-D dimodifikasi oleh peneliti menjadi 3-D. Penelitian ini dilaksanakan di XI MIA SMA Negeri 3 Banjarmasin dengan uji coba sekala kecil dilakukan pada kelas XI MIA 1 sebanyak 10 orang siswa terdiri dari 2 siswa untuk uji perorangan dan 8 siswa untuk uji kelompok kecil. sedangkan uji coba terbatas atau kelas dilakukan pada kelas XI MIA 2 sebanyak 35 siswa untuk kelas eksperimen dan 35 siswa kelas XI MIA 3 untuk kelas kontrol. Desain uji coba bahan ajar yang digunakan adalah model quasi experimental design. Metode dokumentasi yang digunakan selama penelitian pengembangan ini dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: Data Identifikasi potensi dan masalah Validasi produk bahan ajar
Tabel 1 Jenis data, teknik pengambilan data, dan instrumen Teknik Pengambilan Data Instrumen Hasil kognitif siswa dan Lembar nilai ulangan wawancara siswa dan angket wawancara Validasi produk oleh para ahli Lembar validasi atau validator
Hasil uji coba skala kecil produk
Uji keterbacaan siswa
Lembar angket
Penggunaan produk pada uji coba kelas
Penilaian hasil belajar siswa (pemahaman konsep) dan penilaian minat kewirausahaan
Lembar soal evaluasi dan lembar angket
Validasi dilakukan dengan meminta pertimbangan dan penilaian dari validator yaitu 3 orang dari dosen Program Studi Pendidikan Kimia dan 2 orang dari guru kimia SMAN 3 Banjarmasin. Instrumen yang divalidasi terdiri atas (1) instrument tes berupa soal pretes dan postes, (2) instrumen nontes berupa handout asam basa dengan pendekatan ChemoEntrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry. Validasi instrumen tes dihitung menggunakan persamaan CVR (Content Validity Ratio) (Cohen, 2010). Nilai CVR yang didapatkan hasil = 1 untuk validasi instrumen tes. Sedangkan untuk validasi instrumen nontes menggunakan angket uji kelayakan yaitu uji kelayakan isi, penyajian dan bahasa dengan kriteria validasi uji kelayakan sebagai berikut pada Tabel 2.
199
Skor 85.00 – 100 % 70.00 – < 85.00 % 50.00 – < 70. 00 % 01.00 – < 50.00 %
Tabel 2 Kriteria Validitas Keterangan Validitas Sangat valid Valid Kurang valid Tidak valid
Keterangan Tidak perlu revisi Tidak perlu revisi Revisi kecil Revisi besar
(Sumber: Akbar, 2013) Analisis uji kepraktisan handout dilihat dari uji keterbacaan siswa pada uji skala kecil dengan kriteria tinggi pada skor >2,5. Dan analisis uji keefektifan dilihat dari hasil belajar siswa pada uji coba terbatas dengan kriteria tinggi >2,5. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Produk pengambangan yang dihasilkan pada penelitian ini adalah bahan ajar berupa handout dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry pada materi asam basa Kelas XI MIA di SMA Negeri 3 Banjarmasin. Handout ini disusun berdasarkan acuan penyusunan handout yang mengacu pada sumber dari (Depdiknas, 2008) berisi materi yang dilengkapi dengan tugas mandiri, kolom motivasi, soal uji pemahaman, info kimia, dan web kimia, desain tersaji dalam Gambar 1.
Gambar 1 Desain handout asam basa dengan pendekatan Chemo- Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry
Hasil validasi kelayakan handoutdapat diketahui memalui penilaian yang dilakukan oleh validator menggunakan lembar angket validasi yang mengacu pada tiga aspek yang harus dimiliki yaitu kelayakan isi, kelayakan penyajian dan kelayakan bahasa. Saran yang didapatkan daalam instrumen juga akan digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk memperbaiki pengembangan handout ini. Hasil penilaian kelayakan oleh validator dilakukan sebanyak dua kali, adapun rekapan hasil penilaiannya dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil penilaian validasi kelayakan handout Aspek Skor kriteria Kelayakan isi 90,67% Sangat valid Kelayakan penyajian 92,9% Sangat valid Kelayakan bahasa 85,4% valid Rata-rata kelayakan 89,66% Sangat valid
Hasil penilaian validasi handout asam basa dari aspek kelayakan isi, penyajian dan bahasa oleh validator diperoleh rata-rata skor 143,4. Diketahui persentase dari data tersebut adalah 89,6%, maka bahan ajar berupa handout materi asam basa dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry ini memiliki kriteria sangat valid atau layak digunakan tanpa perlu revisi. Pada validasi pertama telah dilakukan perbaikan sesuai dengan saran dan masukan dari validator seperti menambahkan karakteristik handout, menambahkan info karakter wirausaha disetiap bab, memperbaiki
200
kalimat-kalimat pada soal-soal serta penambahan soal tentang green chemistry dan membuat contoh soal menjadi kolom pertanyaan untuk siswa. Langkah selanjutnya handout diujicobakan kepada siswa yaitu tahap uji coba pertama adalah uji coba skala kecil atau uji keterbacaan pada handout. Tujuannya adalah untuk mengetahui keperaktisan dan untuk memperbaiki pengembangan handout asam basa dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dengan menghimpun informasi atau masukkan dari respon siswa serta dari hasil belajar siswa. Uji coba skala kecil dilakukan dua tahap uji yaitu pertama dilakukan uji perorangan sebanyak 2 siswa dan kedua uji kelompok kecil sebanyak 8 siswa di kelas XI MIA 1. Dari hasil uji keterbacaan dapat lihat pada Gambar 2. 4 3.5
Skor
3 3
3.3
3.5
3.2
3.1
2.8
2
3.2
3.4
3.2
1 0 Pertanyaan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 2 Hasil uji keterbacaan siswa
Keterangan: 1. Desain cover sudah menarik dan menggambarkan isi yang ada di dalamnya 2. Gambar-gambar dalam bahan ajar menarik dan sesuai dengan topik yang dipelajari 3. Gambar yang disajikan dalam handout ini jelas atau tidak buram 4. Tulisan dalam handout menggunakan huruf yang jelas, kombinasi huruf, warna, dan gambar sudah serasi 5. Kalimat di dalam handout mudah dipahami 6. Gambar-gambar terlihat jelas dalam handout dan mudah dipahami maknanya 7. Istilah-istilah dalam handout mudah dipahami 8. Materi yang disajikan dalam bahan ajar handout sudah runtut 9. Tidak ada kalimat yang menimbulkan makna ganda dalam handout ini 10. Materi pengayaan larutan asam basa dapat dipahami dengan mudah menggunakan bahan ajar handout ini Berdasarkan diagram di atar (Gambar 2) rata-rata skor siswa sebesar 3,2 dengan persentasi 88%, maka diperoleh kesimpulan bahwa keterbacaan handout asam basa dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry ini menunjukkan kriteria tinggi. Siswa juga memberikan saran bahwa rumus-rumusnya kurang dijabarkan atau diberi keterangan sehingga perlu direvisi. Berdasarkan penelitian Rahmawanna, Adlim dan Halim (2016) juga menyatakan bahwa hasil analisis angket respon siswa menunjukan bahwa siswa tertarik terhadap pembelajaran dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP). Ketertarikan tersebut ternyata dapat menandakan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) sudah layak diterapkan. Pada uji coba terbatas dilakukan pretest dan postest, hasil belajar kelas eksperimen dibandingkan dengan hasil belajar kelas kontrol untuk melihat perbedaan hasil belajar dari kedua kelas tersebut. Hasil perhitungan dapat dilihat dari Tabel 4.
201
Kelas Kontrol Eksperimen
Tabel 4 Perbandingan nilai kelas eksperimen dan kontrol Rata-rata Standar Deviasi Uji-t 90,02 5,202 2,9958 (ttabel = 1,9955) 93,53 4,575
N-gain 0,87 0,92
Berdasarkan data uji-t untuk hasil belajar diatas (Tabel 4), diketahui bahwa harga thitung lebih besar dari harga ttabel sehingga dikatakan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima berarti terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai postest yang diperoleh pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Sa’adah dan Supartono (2013) bahwa terdapat perbedaan hasil belajar kimia pada kelas eksperimen yang lebih tinggi rata-rata nilainya dibandingkan pembelajaran kelas kontrol dengan pembelajaran menggunakan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP). Hal ini, dikarenakan setelah pembelajaran siswa menjadi lebih mudah memahami materi dan lebih mengerti aplikasi konsep yang dipelajari. Hasil rata-rata nilai N-gain pada kelas kontrol adalah sebesar 0,87 maka pada kelas kontrol menunjukkan terdapatnya selisih antara nilai pretest dan postest yang tinggi. Tinggi rendahnya hasil N-gain secara individual dipengaruhi oleh tingkat pemahaman materi pada siswa sebelum dan setelah pelajaran berlangsung. Berdasarkan data hasil penelitian diperlihatkan bahwa secara umum ada peningkatan pemahaman konsep materi yang dicapai. Hasil ini sesuai dengan penelitian Wikhdah, Sumarti dan Wardani (2015) pembelajaran dengan modul yang berorientasi Chemo-Entrepreneurship (CEP) dapat digunakan sebagai sumber belajar yang layak dan baik untuk menumbuhkan minat wirausaha serta meningkatkan pemahaman konsep siswa. selanjutnya penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Prayitno, Dewi dan Wijayati (2016) yang menyatakan bahwa pengembangan modul dengan Chemo-Entrepreneurship (CEP) ini dapat meningkatkan motivasi belajar, minat wirausaha, dan hasil belajar siswa. Melalui media pembelajaran berupa handout ini siswa dimudahkan dalam pembelajaran dimana materinya singkat dan menarik, sehingga siswa memahaminya. Kegiatan pembelajaran pada uji skala besar di kelas eksperimen dilakukan penelitian tentang tumbuhnya minat wirausaha siswa yang dilihat melalui angket yang diberikan pada siswa. Angket yang diisi oleh siswa kemudian dianalisis. Berdasarkan hasil analisis minat wirausaha siswa diperoleh rata-rata skornya adalah 3,02 dengan kriteria kuat. Berdasarkan pengamatan dan hasil penilaian angket minat wirausaha siswa yang mempunyai kriteria sangat kuat ada 7 orang dengan persentase 20%, Kuat ada 26 orang dengan persentase 74%, lemah ada 2 orang dengan persentase 6% dan sangat lemah tidak ada atau 0%. Jadi, hasil persentase klasikal angket minat wirausaha adalah sebesar 94%. Siswa yang mempunyai minat wirausaha dengan kriteria sangat kuat dan kuat berarti telah mencapai ketuntasan ≥70%, maka pengembangan handout asam basa dengan pendekatan ChemoEntrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry dapat menumbuhkan minat wirausaha. Sesuai dengan penelitian Ningtias, Joharman dan Yahmin (2013), yang meyatakan bahwa adanya pertumbuhan minat berwirausaha siswa tersebut karena penerapan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) yang menuntut potensi siswa untuk belajar maksimal sehingga mampu menampilkan kompetensi tertentu. Menurut Sumarti, Supartono, dan Diniy (2014), menyatakan bahwa adanya praktikum yang menggunakan pendekatan ChemoEntrepreneurship (CEP) dalam pembelajaran, membuat siswa tidak hanya mengerti tentang pemahaman konsep pelajaran ilmu kimia saja tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang nyata pada siswa, life skill (kerja sama, tanggung jawab, percaya diri, memecahkan masalah, dan kreatifitas) , dan akan meningkatkan minat kewirausahaan siswa. SIMPULAN Pengembangan handout asam basa dengan pendekatan Chemo-Entrepreneurship (CEP) berorientasi green chemistry yang dikembangkan sangat layak digunakan dalam pembelajaran kimia khususnya pada materi asam basa. Hal ini dinyatakan bahwa handout telah memenuhi aspek-aspek kelayakan yaitu kelayakan isi, penyajian dan bahasa. Handout ini juga memiliki kepraktisan untuk digunakan dalam pembelajaran. Hal ini terlihat dari uji keterbacaan pada uji coba skala kecil, siswa memberikan respon positif terhadap handout ini dengan penilaian tinggi. Dan handout ini efektif dalam meningkatkan pemahaman konsep
202
materi pada siswa dan dapat menumbuhkan minat wirausaha siswa. Hal ini terbukti dari hasil uji coba skala besar yaitu diperoleh nilai hasil belajar siswa dimana hasil uji-t dan N-gain yang diperoleh kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dan penilaian minat wirausaha siswa ≥ 70% dengan kriteria kuat dan sangat kuat, sehingga handout ini dapat digunakan sebagai sumber belajar siswa. DAFTAR PUSTAKA Andraos, J., & Dicks, A. P. (2010). Green Chemistry Teaching in Higher Education: A Riview Of Effective Practices. Chemistry Education, 69-79. Cohen, R. J. (2010). Psychological Testing and Assessment. New York: McGraw-Hill. Departemen, P. N. (2008). Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Kurniawati, D. I., Wartono, & Diantoro, M. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri terbimbing Integrasi Peer Instruction Terhadap Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Pendidikan Fisika Indonesia, 36-46. Ningtias, D., Joharman, R., & Yahmin. (2013). Pengaruh Pendekatan Chemoentrepreneurship (CEP) dalm Model Student Teams Achievement Divisions (STAD) terhadap Kemampuan Kognitif dan Minat Berwirausaha Siswa Kelas X SMAN 10 Malang pada Materi Minyak Bumi. Ilmu Pendidikan, 1-10. Prayitno, A., Dewi, K. N., & Wijayati, N. (2016). Pengembangan Modul Pembelajaran Kimia Bervisi SETS Berorientasi Chemo-Entrepreneurship (CEP) pada Materi Larutan Asam Basa. Inovasi Pendidikan Kimia, 1617-1628. Rahmawanna, Adlim, & Halim, A. (2016). Pengaruh Penerapan Pendekatan ChemoEntrepreneurship (CEP) terhadap Sikap Siswa pada Pelajaran Kimia dan Minat Berwirausaha. Pendidikan Sains Indonesia, 113-116. Sa'adah, N., & Supartono. (2013). Penggunaan Pendekatan Chemoentrepreneurship pada Materi Larutan Penyangga untuk Meningkatkan Life Skill Siswa. Chemistry in Education, 112-116. Sumarti, S. S., Supartono, & Diniy, H. (2014). Material Module Development of Colloid Orienting on Locar-Advantage-Based Chemo-Entrepreneurship to Improve Students Soft Skill. Hummanities and Management Sciences, 42-46. Thiagarajan, S., Semmel, D. S., & Semmel, M. I. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Expectional Children. Minneapolis: University of Minnesota. Widyaningrum, R., Sarwanto, & Karyanto, P. (2014). Pengembangan modul Berorientasi POE (Predict, Observe, Explain) pada Materi Pencemaran untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa. Inkuiri, 100-117. Wikhdah, M. I., Sumarti, S. S., & Wardani, S. (2015). Pengembangan Modul Larutan Penyangga Berorientasi Chemoentrepreneurship (CEP) untuk Kelas XI SMA/MA. Inovasi Pendidikan Kimia, 1585-1595.
203
MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN PREDICTDISCUSS-EXPLAIN-OBSERVE-DISCUSS-EXPLAIN BERBANTUAN MEDIA FLASH PADA MATERI LARUTAN PENYANGGA Increases The Skills Of Science Process And Learning Outcomes Using PredictDiscuss-Observe-Discuss-Explain Models Assisted Media Flash Was On Material Buffer Parham Saadi1 , Salamat2*, Dosen/Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin 2 Mahasiswa/Pendidikan Kimia FKIP ULM Banjarmasin *email: [email protected] 1
Abstrak. Penelitian tentang penggunaan model predict-discuss-explain-observediscuss-explain berbantuan media flash pada pembelajaran larutan penyangga di kelas XI IPA SMA PGRI 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017 bertujuan untuk meningkatkan: (1) aktivitas guru (2) aktivitas siswa (3) keterampilan proses sains siswa (4) hasil belajar siswa dan (5) mengetahui respon siswa. Metode penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan dua siklus. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA SMA PGRI 1 Banjarmasin dengan jumlah 30 orang. Instrumen penelitian berupa tes dan nontes. Hasil penelitian menyatakan bahwa terjadi peningkatan (1) aktivitas guru dari kategori aktif menjadi sangat aktif (2) aktivitas siswa dari kategori aktif dengan persentase 68,2% menjadi kategori aktif dengan persentase 80,4% (3) keterampilan proses sains siswa dari kategori cukup menjadi baik (4) hasil belajar kognitif dari kategori sedang menjadi sangat tinggi, hasil belajar afektif siswa kategori cukup menjadi baik, hasil belajar psikomotor siswa pertemuan pertama siklus I dengan kategori terampil (5) siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran melalui penggunaan model PDEODE berbantuan media flash pada materi larutan penyangga. Kata kunci: keterampilan proses sains, model PDEODE, larutan penyangga Abstract. Research on the use of the models predict-discuss-explain-observe-discussexplain with media flash support study of buffers in class XI IPA SMA 1 PGRI Banjarmasin acdemic years 2016/2017 aims to increase: (1) the activity of the teacher (2) student activity (3) Science process skills of students (4) learning result and (5) knowing the student response. This research method using class action research design consisting of two cycley. The subject of research is the grade XI IPA SMA 1 PGRI Banjarmasin with total number of 30 persons. Research instrument in the form of tests and nontes. Results of the study stated that an increase in (1) the activity of the teachers from the active category is becoming very active (2) student activity from active categories with percentages of 68.2% become active category with the percentage of 80.4% (3) of the science process skills of students from the category simply be good (4) results of study of cognitive categories are very high, the results of a study of students ' affective categories quite well, psychomotor learning results students first encounter I cycle with the skilled category (5) students give a positive response toward learning through the use of model-assisted media PDEODE flash content solution buffer Keywords: Science process skills, models PDEODE, Buffers
PENDAHULUAN Hasil observasi yang dilakukan peneliti, menyatakan bahwa siswa di kelas XI IPA SMA PGRI 1 Banjarmasin kurang mampu memproses informasi untuk memperoleh fakta, konsep, dan prinsip. Hasil wawancara dengan guru kimia SMA PGRI 1 Banjarmasin menyatakan bahwa banyak siswa beranggapan bahwa kimia itu sulit dan membosankan
204
terutaman pada materi larutan penyangaa karena memadukan konsep, rumus-rumus dan perhitungan. Siswa lebih banyak diam dan mendengarkan saja, sehingga siswa menjadi tidak bersemangat dalam belajar. Akibatnya hasil ujian siswa tidak mencapai nilai KKM yaitu 70 dengan persentase nilai rata-rata materi larutan penyangga tahun ajaran 2015/2016 yaitu 53%. Keterampilan proses sains penting diwujudkan oleh pengajar dalam pembelajaran yang berfungsi untuk merancang keterampilan lain seperti kognitif, berpikir logis, penalaran dan keterampilan pemecahan masalah (Rauf, Rasul, Mansor, Othman, dan Lyndon, 2013). Wisudawati dan Sulistyowati (2014) juga menyatakan, dengan mengembangakan keterampilan proses sains, maka akan membuat peserta didik untuk berpikir kreatif, dan membantu peserta didik dalam belajar. Kekurangan pendidikan sangat erat kaitannya dengan guru, karena guru merupakan komponen pendidikan yang amat penting (Suparlan, 2006). Selain pengaruh guru, Penggunaan variasi pembelajaran merupakan salah satu kunci dalam mengatasi berbagai kekurangan yang dihadapi, penggunaan pendekatan, strategi, model, dan media yang membuat siswa termotivasi dan tidak bosan sehingga siswa mudah dalam menerima pelajaran. Model Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain atau disingkat PDEODE merupakan model pembelajaran yang berhaluan kontruktivisme yang memusatkan pembelajaran kepada siswa. Model ini mempunyai enam tahapan pembelajaran yang berurutan yaitu prediksi, diskusi I, jelaskan I, observasi, diskusi II, jelaskan I (Kolari, Savender dan Ranne, 2003). Costu (2008) menyatakan bahwa pengajaran PDEODE memfasilitasi siswa memahami situasi sehari-hari atau membantu siswa untuk mencapai pemahaman konseptual yang lebih baik. Gustiani, (2013) menyatakan bahwa penerapan metode PDEODE mempengaruhi keterampillan proses sains siswa melalui kegiatan eksperimen. Penggunaan multimedia materi kimia akan lebih mudah dipahami. Penggunaan media berupa gambar, model atau alat-alat lain yang memberikan pengalam konkrit, memotivasi serta mempertinggi daya serap atau yang kita kenal dengan alat bantu visual (Haryono, 2013). Hal ini dibuktikan oleh Tasker dan Dalton (2006) yang menemukan bahwa penggunaan flash dalam pembelajaran memudahkan siswa dalam memvisualisasikan reaksi kimia dalam bentuk mikroskopis dan juga memudahkan siswa dalam menerapkan konsep untuk memecahkan permasalahan dalam situasi yang baru. Dengan demikian, penggunaan model PDEODE berbantuan media flash diyakini dapat meningkatkan keterampilan proses sains dan hasil belajar dalam pembelajaran kimia terutama pada materi larutan penyangga METODE PENELITIAN Peneliti menggunakan teknik penelitian tindakan kelas (classroom action research) di SMA PGRI 1 Banjarmasin yang dilaksanakan dalam 2 siklus. Masing-masing terdiri dari tahapan-tahapan: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (action), (3) observasi dan evaluasi, (4) analisis dan refleksi (Arikunto, Suharjono dan Supardi, 2012). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Juli 2017 di kelas XI IPA SMA PGRI yang beralamat di Jl. Sultan Adam Komplek H. Andir Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Subjek penelitian ini adalah 30 siswa kelas XI IPA yang terdiri dari 15 laki-laki dan 15 perempuan. Pengumpulan data menggunakan tes dan non tes serta angket yang diberikan kepada siswa. Tes yang diberikan berupa hasil belajar kognitif setelah melaksanakan pembelajaran mengunakan model PDEEODE berbantuan media flash. Penggunaan non tes berupa observasi terhadap aktivitas guru dan siswa, keterampilan proses sains, hasil belajar afektif dan psikomotor serta angket berupa respon siswa setelah melakukan pembelajaran.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil yang didapatkan pada siklus I dan siklus II yaitu aktivitas siswa dan guru, keterampilan proses sains, hasil belajar kognitf, afektif dan psikomotor, serta respon siswa.
205
Aktivitas Guru Pembelajaran yang dilakukan oleh guru secara keseluruhan pada siklus I sudah baik, namun masih perlu adanya perbaikan. Guru masih kurang bisa dalam mengelola kelas, membimbing siswa dalam observasi, diskusi, dan presentasi sehingga hanya beberapa siswa yang dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran padahal kegiatan tersebut penting dalam meningkatkan ketrampilan proses sains. Pada siklus II aktivitas guru semakin baik karena guru berusaha memperbaiki pembelajaran yang dilakukan. Guru berusaha menerapkan tahapan-tahapan pembelajran dengan baik, tegas dalam pengajaran, guru sudah optimal dalam meminta siswa menjawab pertanyaan yang ada pada LKS dan merata membimbing satu persatu kelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam hal mengumpulkan data penyelidikan. Persentase rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran meningkat sebesar 12,5%, yakni siklus I 72,5% (kategori baik) menjadi 85% (sangat baik) pada siklus II. Perbandingan persentase aktivitas guru pada siklus I dan II tersaji pada Gambar 1. Persentase (%) aktivitas guru
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 1. Perbandingan aktivitas guru
Aktivitas guru terhadap pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan media flash pada setiap pertemuan semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Budianto, Syahmani, Istiadji (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model PDEODE berbasis multimedia mempunyai persentase lebih daripada kelas kontrol, sehingga dapat disimpulkan model PDEODE berbantuan media flash. dapat digunakan untuk meningkatkan aktivitas guru dalam proses pembelajaran. Aktivitas Siswa Hasil aktivitas siswa siklus I tergolong dalam kategori aktif, namun masih banyak hal yang perlu diperbaiki.Rendahnya kemampuan siswa dalam mengikuti pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan media flash karena siswa belum bisa beradaptasi dengan model yang digunakan. Majid (2016) menyatakan bahwa model dijadikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Memahami dan menerapkan model sesuai yang diharapkan, maka akan meningkatkan aktivitas siswa. Siswa cukup kesulitan dalam memperhatikan dan mempredeksi atau merumuskan hipotesis, berdiskusi, dan melakukan kegiatan observasi dalam mengumpulkan data dan siswa kurang dapat mengkomunikasikan hasil pengamatannya, hal ini berkaitan erat dengan keterampilan proses sains siswa. Siswa kurang aktif dalam mendiskusikan pertanyaan yang ada di LKS karena kegiatan masih didominasi oleh beberapa siswa yang aktif saja dalam satu kelompok. Pada siklus II perbaikan dilakukan oleh guru untuk meningkatkan aktvitas siswa, sehingga aktivtas siswa semakin aktif. siswa sudah terbiasa dalam mengikuti setiap tahapan dari model pembelajaran PDEODE berbantuan media flash yang diterapkan oleh guru. Siswa aktif dalam mendiskusikan pertanyaan yang ada di LKS dan saling bekerjasama untuk mengumpulkan data dan menjawab pertanyaan di LKS dalam satu kelompok. Tahapan siswa mempresentasikan hasil kelompok sudah terbilang baik dengan adanya saling menanggapi antar kelompok yang mempresentasikan dan yang memperhatikan. Meningkatnya aktivitas siswa dibandingkan pertemuan sebelumnya dikarenakan siswa telah aktif dalam kegiatan pembelajaran untuk membangun pengetahuannya sendiri.
206
Persentase (%) aktivitas siswa
Aktivitas siswa saat pembelajaran diketahui bahwa hampir semua siswa sudah bisa membuat hipotesis dan pada saat mengumpulkan data siswa sudah terlibat aktif.. Putra (2013) kondisi siswa yang belajar dengan baik, maka akan dapat berpengaruh terhadap partisipasi dalam proses pembelajaran. Perbandingan persentase aktivitas siswa pada siklus I dan II tersaji pada Gambar 2. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 2. Perbandingan persentase aktivitas siswa pada siklus I dan II
Dari gambar 2 terlihat peningkatan aktivitas siswa dengan persentase sebesar 18,6% dari 68,2% kategori baik pada siklus I menjadi 80,4% berkategori baik pada siklus II. Hal ini sangat erat hubungannya dengan peningkatan aktivitas guru, jadi terbukti bahwa peningkatan aktivitas guru juga akan meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dipalaya, Susilo, Corebima (2016) yang menyatakan bahwa pembelajaran menggunakan PDEODE membuat pembelajaran yang dilakukan siswa aktif.
Persentase (%) keterampilan proses sains
Keterampilan Proses Sains Berdasarkan penilaian keterampilan proses sains dengan observasi dan menggunakan LKS disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sebasar 15,72%. Meningkat dari kategori cukup dengan persentase 62,085% pada siklus I, menjadi kategori baik dengan persentase 77,85% pada siklus II. Diagram perbandingan persentase keterampilan proses sains pada siklus I dan siklus II dapat dilihat pada gambar 3. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 3. Perbandingan persentase keterampilan proses sains pada siklus I dan siklus II Berdasarkan hasil observasi mengenai keterampilan proses sains siswa pada saat pembelajaran berlangsung menunjukkan bahwa model PDEODE berbantuan media flash. mampu melibatkan siswa aktif dalam pembelajaran, khususnya pada saat percobaan dan diskusi kelas. Seperti yang telah dikatakan oleh Fauziah (2016) bahwa model PDEODE dapat meningkatkan proses sains siswa. Sejalan dengan penelitian Fauziah, Gustiani (2013) Analisis hasil penelitian yang dilakukannya mengindikasikan bahwa metode PDEODE, efektif untuk membantu siswa menghasilkan perubahan konseptual dan keterampilan proses sains.
207
Berdasarkan beberapa fakta dan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa keterampilan proses sains mengalami peningkatan. Keterampilan proses sains dapat terbentuk dengan kebiasaan yang dilakukan dan dilatih terus menerus, yang mana peran guru dalam memberikan pengarahan kepada siswa dan penerapan model pembelajaran sangat besar bagi peningkatan keterampilan proses sains. Selain itu, model pembelajaran PDEODE berbantuan media flash lebih menitik beratkan pada kemampuan siswa dalam menggunakan keterampilan proses sains pada kegiatan pembelajaran seperti berhipotesis, berkomunikasi dan kegiatan lainnya.
Persentase (%) Hasil Belajar
Hasil Belajar Siswa Kognitif Siswa Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran pada siklus II berlangsung sangat baik bila dibanding dengan pembelajaran di siklus I. Dengan perbandingan perbandingan ketuntasan 60% pada siklus I menjadi 93,33% pada siklus II. Perbandingan ketuntasan hasil belajar siklus I dan siklus II disajikan pada gambar 4. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 4 Perbandingan ketuntasan hasil belajar siklus I dan siklus II Hal ini karena, dalam pembelajaran PDEODE berbantuan media flash. siswa mendapat penjelasan dari materi yang telah dipelajari dengan berbagai representasi untuk lebih memudahkan siswa dalam memahami materi yang dipelajari dalam berbagai cara atau bentuk. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa model PDEODE berbantuan media flash. dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Milartini (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model PDEODE berbantuan media flash. ini dapat meningkatkan hasil belajar teknologi informasi dan komunikasi. Budianto, Syahmani, dan Istyadji. (2015) penggunaan strategi PDEODE berbasis multimedia lebih efektif dari pada strategi eskpositori. Afektif Siswa Terjadi peningkatan hasil belajar afektif siswa pada setiap pertemuan. Secara keseluruhan pada siklus I aspek afektif siswa dalam kategori cukup dengan persentase ratarata siklus I 65,22%. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas siswa karena aktivitas siswa yang belum sesuai dengan yang diinginkan, kerjasama antar kelompok belum sepenuhnya terjalin, siswa masih bersifat pasif, tanggung jawab yang diberikan oleh guru belum tercapai seperti mengumpulkan tugas tidak pada waktu yang ditentukan. Siklus II mengalami peningkatan dikarenakan guru memperbaiki kegiatan dan memotivasi siswa pada setiap pertemuannya agar melakukan perbaikan dalam belajar. Secara keseluruhan aspek afektif siswa pada siklus II dalam kategori baik dengan persentase rata-rata 77,54%. Peningkatan terjadi 12,32% dari 65,22% kategori cukup pada siklus I menjadi 77,54% berkategori baik pada siklus II. Penggunaan model PDEODE meningkatkan semua aspek afektif siswa. Langkah prediksi menimbulkan rasa ingin tahu baik, dan dibantu juga dengan adanya media flash. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayah (2015) terjadi peningkatan rasa
208
Pesentase (%) afektif siswa
ingin tahu siswa setelah diterapkan model PDEODE. Tanggung jawab muncul pada saat siswa memberikan penjelasan dan observasi yang diserahkan teman lain serta saat menerapkan konsep pada proses sains dan mengejakan tugas/PR. Bekerjasama siswa dilihat saat melakukan diskusi. Perbandingan persentase afektif siswa pada siklus I dan II tersaji pada Gambar 5. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Siklus I
SiklusII
Gambar 5. Perbandingan persentase afektif siswa pada siklus I dan II
Sejalan dengan penelitian, Mundirotun (2013) menyatakan bahwa afektif siswa menggunaan model PDEODE lebih tinggi dari pada afektif siswa menggunakan model konvensional. Oleh karena itu, dapat disimpulkan model pembelajaran PDEODE berbantuan media flash. dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar afektif dalam proses pembelajaran. Psikomotor Siswa Psikomotor siswa dinilai pada pertemuan pertama dalam kategori terampil dengan total skor rata-rata aspek psikomotor siswa adalah 78,88%. Pada saat menggunakan pipet tetes dalam hal mengambil larutan, siswa sudah terbilang baik dengan rata-rata siswa memegang sudah benar namun saat melepaskan tekanan karet belum benar atau sebaliknya. Saat menggunakan gelas ukur beberapa siswa tergesa-gesa dalam mengukur sehingga kurang tepat dalam pengukuran. Sedangkan saat pengukuran pH rata-rata siswa sudah benar dalam pengukuran, namun ada beberapa siswa yang kesalahan dalam pengukuran disebabkan kesalahan dalam memasukkan larutan. Rata-rata hasil observasi aspek psikomotor siswa pada pertemuan 1 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Rata-rata hasil observasi aspek psikomotor siswa pertemuan 1
Psikomotor
Persentase (%)
Menggunakan pipet tetes Menggunakan gelas ukur Penggunaan Indikator Universal Persentase rata-rata Kategori
74 76,67 73,33 74,67 Terampil
Observasi aspek spiskomotor hanya sekali dalam penelitian ini, namun jika dilanjutkan terus menerus peneliti meyakini akan meningkatkan aspek psikomotor, karena sejalan dengan penelitian Muliartini (2013) yang menyatakan bahwa penerapan model pembelajaran PDEODE dapat meningkatkan hasil belajar psikomotor siswa.
Respon Siswa Terdapat 17 siswa yang memiliki respon positif terhadap pembelajaran dengan persentase sebesar 56,68% dan respon sangat positif sebanyak 13 siswa dengan persentase 43,33%. Gambar 4. menunjukkan persentase respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan media flash.
209
Negatif
Kurang Positif Cukup Positif Postif Sangat Positif
Gambar 6. Persentase respon siswa terhadap pembelajaran menggunakan model PDEODE berbantuan media flash.
SIMPULAN Setelah penelitian yang dilaksanakan di SMA PGRI 1 Banjarmasin dapat disimpulkan bahwa; (1) Aktivitas guru mengalami peningkatan dari kategori baik menjadi sangat baik. (2) Aktivitas siswa mengalami peningkatan dari kategori aktif dengan persentase 68,2% menjadi kategori aktif dengan persentase 80,4%. (3) Keterampilan proses sains siswa mengalami peningkatan dari kategori cukup menjadi baik. (4) Ketuntasan hasil belajar kognitif siswa mengalami peningkatan dari 60% menjadi 93,33%, afektif siswa mengalami peningkatan dari kategori cukup menjadi baik dan psikomotor siswa pertemuan pertama siklus I dengan kategori terampil. (5) Siswa memberikan respon yang positif DAFTAR PUSTAKA Arikontu, S., Suhardjono dan Supardi. (2012). Penelilian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Budianto, A., Syahmani, dan Istyadji, M. (2015). Komparasi Hasil Belajar Antara Strategi Predict-Discuss-Explain-Observe-Discuss-Explain (PDEODE) Berbasis Laboratorium Dan Berbasis Multimedia Pada Pembelajaran Kelarutan Dan Hasil Kali Kelarutan. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, 6(1), 1-7. Costu, B. (2008). Learning Science Through the PDEODE Teaching Strategy: Helping Students Make Sense of Everyday Situations. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 4(1), 3-9. Dipalaya, T., Susilo, H., dan Corebima, A.D. (2016). Pengaruh Strategi Pembelajaran PDEODE (Predict-Discussexplain-Observe-DiscussExplain) pada Kemampuan Akademik Berbeda Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA Di Kota Makassar. Prosiding Seminar Nasional II Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang. Fatimah, S. (2016, Januari 11). Personal interview. Fauziah, N.H., Yanthi, N., dan Yuniarti, Y. (2016). Peningkatan Keterampilan Proses Sains Melalui Penerapan Strategi Predict Discuss Explain Observe Discuss Explain. Bandung: Antologi UPI. Gustiani, I. (2013). Students’ Conceptual Change and Science Process Skills Acquisition on Separation of Mixture Concept Through PredictDiscuss-Explain-Observe-Discuss-Explain (PDEODE) Method. Thesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Kolari, S. Savander dan Ranne. (2003). Promoting the Conceptual Understanding of Engineering Students Through Visualization. Global Journal of Engineering Education, 7, 189-199. Majid, A. (2016). Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
210
Muliartini, N.W.S., Adnyawati, N.D.M.S., dan Wahyuni, D.S. (2013). Penerapan Model Pembelajaran PDEODE (Predict Discuss Explain Observe Discuss Explain) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Teknologi Informasi dan Komunikasi. Artikel Mahasiswa Pendidikan Teknik Informat ika (KARMAPATI), 2(6). Mundirotun, H. 2013. Keefektifan Strategi Pembelajaran Predict-DiscussexplainObserve-Discuss-Explain (PDEODE) Untuk Mereduksi Miskonsepsi Siswa Pada Pemahaman Konsep Materi Buffer Dan Hidrolisis Kelas XI SMAN 1 Kayen Pati. Skiripsi. Universitas Negeri Semarang. Putra, S.R. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif BerbasisSains. Jakarta: DIVA Press. Rauf, R.A., Rasul, M.S., Mansor, A.N., Othman, Z., dan Lyndon, N. (2013). Inculcation of Science Process Skills in a Science Classroom. Asian Social Science. Suparlan. 2006. Guru Sebagai Profesi. Yogyakarta: Hikayat Publishing. Tasker, R., dan Dalton, R. (2006). Research into Practice: Visualisation of the Molecular World Using Animations. Chemistry Education Research and Practice, 7: 141-159. Wisudawati, A.W., & Sulistyowati, E. (2014). Metodologi Pembelajaran IPA. Jakarta: Bumi Aksara.
211
IMPLEMENTASI MODEL ACCELERATED LEARNING TIPE MASTER BERVISI SETS PADA MATERI REAKSI REDOKS TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA The Implementation Of Accelerated Learning Model MASTER Type Vision SETS On Redox Reaction Material To Student Learning Outcomes Muhammad Kusasi1, Atiek Winarti1 ,Muhammad Zufri1* Pendidikan Kimia FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *email: [email protected]
1
Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui (1) signifikansi perbedaan hasil belajar kognitif yang berorientasi High Order Thinking Skills (HOTS) dan afektif siswa yang menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS dengan pembelajaran konvensional di kelas X IPA SMAN 1 Banjarmasin pada materi reaksi redoks, (2) respon siswa terhadap implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS. Penelitian ini menerapkan metode Quasi Experimental dengan menggunakan pretest-posttest nonequivalent control group design. Sampel penelitian yaitu masing-masing 35 siswa kelas X IPA 4 (kelas eksperimen) dan kelas X IPA 3 (kelas kontrol). Pengumpulan data menggunakan teknik tes, observasi, dan kuesioner. Teknik analisis data menggunakan Uji-t untuk menganalisis perbedaan hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen dan kontrol, dan analisis deskriptif untuk menganalisis perbedaan hasil belajar afektif dan angket respon siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara siswa pada kelas eksperimen dengan siswa pada kelas kontrol (2) Implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS pada pembelajaran kimia mendapat respon positif dari siswa. Kata kunci: Accelerated Learning tipe MASTER, SETS, High Order Thinking Skills (HOTS), hasil belajar siswa
Abstract. This research was conducted to find out (1) the significance of the difference in cognitive learning outcomes oriented by High Order Thinking Skills (HOTS) and affective of students using model Accelerated Learning type MASTER Vision of SETS with conventional learning at class X IPA SMAN 1 Banjarmasin on redox reaction material, 2) student's response to implementation of Accelerated Learning model MASTER type vision SETS. This research applies Quasi Experimental method using pretest-posttest nonequivalent control group design. The sample of this research are 35 students of class X IPA 4 (experiment class) and class X IPA 3 (control class). Data collection uses test techniques, observations, and questionnaires. Data analysis techniques used t-test to analyze differences in students cognitive learning outcomes of experimental class and control, and descriptive analysis to analyze differences in affective learning outcomes and student response questionnaires. The results showed that (1) There were significant differences in learning outcomes between the students in the experimental class and the students in the control class (2) implementation of Accelerated Learning model MASTER with vision of SETS on chemistry learning got positive response from students. Keywords: Accelerated Learning type MASTER, SETS, High Order Thinking Skills (HOTS), students learning result
PENDAHULUAN Mata pelajaran kimia turut ikut serta dalam peran peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menurut Sastrawijaya (1988), pengajaran ilmu kimia memiliki tujuan memperoleh pemahaman perihal berbagai fakta, memecahkan masalah, memiliki keterampilan dan sikap ilmiah yang berguna bagi kehidupan sehari-hari (Astuti, Subiyanto, & Binadja, 2013). Dengan demikian, pembelajaran kimia di sekolah turut berperan aktif dalam membantu dan
212
menyiapkan siswa untuk menghadapi kesulitan dan tantangan hidup yang semakin kompleks dikemudian hari. Menurut Trianto (2014), pembelajaran di era globalisasi saat ini masih berorientasi pada guru dan menutup akses bagi peserta didik untuk mengembangkan proses berpikirnya secara mandiri sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa belum mampu dimaksimalkan. Peserta didik masih belum mampu mencari dan mengolah informasi secara mandiri sehingga kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan kreatif untuk belajar mandiri belum tercapai dengan baik. Hal tersebut berdampak pada kurang maksimalnya pemahaman peserta didik pada materi mata pelajaran. Kurangnya optimalisasi proses pembelajaran keterampilan tingkat tinggi akan mengakibatkan kurangnya sensitivitas siswa dalam menyelesaikan masalah sosial dan personal secara kognitif maupun afektif. Masalah tersebut merupakan hasil dari metode pengajaran yang masih mengarah pada teacher centered dan terpusat secara eksklusif pada isi bukan pada proses, serta sistem pendidikan yang masih belum maksimal dalam mengajarkan peserta didik bagaimana mereka seharusnya belajar dan berpikir (Rose dan Nicholl, 2012). Keterampilan berpikir dalam hal ini ialah berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking (HOT) yang sangat perlu diajarkan kepada peserta didik agar mereka dapat menyelesaikan masalah secara aktif dan mampu mengembangkan potensi dirinya sendiri. Keterampilan tersebut tidak hanya dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas untuk mencapai hasil belajar yang baik, namun juga sebagai landasan untuk belajar bagaimana memperbaiki cara peserta didik belajar sehingga mampu membuat pembelajaran menjadi bermakna. Model pembelajaran adalah suatu jalan untuk menggapai tujuan tersebut namun model pembelajaran juga harus mampu membuat peserta didik dapat memetik manfaat belajar bagaimana belajar dan belajar bagaimana berpikir tidak harus selalu mendapat nilai hasil yang baik saja sehingga peserta didik dapat memperbaiki dan mengembangkan potensi dan cara belajarnya dengan lebih baik (Rose dan Nicholl, 2012). Accelerated Learning adalah salah satu model pembelajaran yang menuntut keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar dan bersifat menyenangkan. Menurut Russel (2011) Accelerated Learning berarti pembelajaran dipercepat, yakni pembelajaran yang mengubah kebiasan belajar peserta didik sehingga mampu meningkatkan kemampuan menyerap dan menangkap informasi oleh peserta didik dengan lebih cepat. Sedangkan, MASTER adalah salah satu tipe dalam model Accelerated Learning, yang memiliki 6 langkah MASTER dalam pelaksanaannya, yakni meliputi: Mind (memotivasi pikiran), Acquire (memperoleh informasi), Search out (menyelidiki makna), Trigger (memicu memori), Exhibit (memamerkan apa yang diketahui), dan Reflect (merefleksi bagaimana cara belajar). Visi SETS dalam pembelajaran merupakan kegiatan belajar mengajar yang mengarahkan pemahaman bahwa apa yang dipelajari oleh siswa mengandung aspek science, environment, technology, dan society sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi secara timbal balik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini dilaksanakan sebagai upaya mengetahui pengaruh implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS terhadap hasil belajar siswa yang berorientasi HOTS pada materi reaksi redoks di kelas X SMAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan desain pretestposttest nonequivalent control group (Sugiyono, 2014). Populasi pada penelitian ini adalah siswa SMAN 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017. Di antara empat kelas X di SMAN 1 Banjarmasin tersebut, diambil dua kelas sebagai sampel di mana masing-masing 35 siswa kelas X IPA 4 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 3 sebagai kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yakni teknik pengambilan sampel dengan atas saran dari guru kimia SMAN 1 Banjarmasin. Pengumpulan data menggunakan teknik tes dan nontes. Teknik tes yang digunakan berbentuk 5 butir soal tes urain dengan 1 buah sub soal untuk tes hasil belajar kognitif pada saat pre-test dan post-test. Instrumen tes hasil belajar kognitif ini mengacu pada soal HOTS,
213
yakni dalam ranah kognitif yang melibatkan kemampuan analisis (C4), evaluasi (C5), dan mencipta (C6). Teknik nontes dilakukan dengan lembar observasi afektif dengan menggunakan skala 1-5 dan lembar respon siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan skala Likert. Pada analisis inferensial dilakukan analisa data pre-test dan post-test yaitu uji normalitas, uji homogenitas, dan Uji-t. Berdasarkan uji hipotesis diketahui perbedaan yang signifikan pengaruh implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS terhadap hasil belajar siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa data, yaitu: hasil belajar kognitif, afektif dan data respon siswa terhadap pembelajaran. Tes hasil belajar kognitif yang digunakan adalah soal yang berorientasi pada HOTS (High Order Thinking Skills). Oleh karena itu, hasil belajar kognitif dalam penelitian ini juga menggambarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Butir-butir soal tes hasil belajar kognitif juga mengacu pada penerapan konsep reaksi redoks dikehidupan sehari-hari atau masalah yang sering terjadi dilingkungan, dalam hal ini tertuang di dalam visi SETS
Nilai Hasil Belajar Kognitif
RATA-RATA HASIL BELAJAR KOGNITIF 100
85.91
80
62.96
60 40
26.11
23.25
20 0 Pre-Test
Eksperimen
Post-Test
Kontrol
Gambar 1. Rata-rata hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen dan kontrol. Pada Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata pre-test kelas eksperimen maupun kontrol memiliki hasil relatif sama. Setelah dilakukan pembelajaran, diperoleh hasil post-test kelas eksperimen mendapatkan nilai rata-rata yang lebih tinggi yaitu 85,91 dan pada kelas kontrol adalah 62,96. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan proses kegiatan belajar mengajar pada kedua kelas tersebut sehingga mempengaruhi nilai yang diperoleh siswa. Adapun data hasil tes kognitif siswa yang diperoleh dari pre-test dan post-test berdasarkan kriteria dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil belajar < 75 75 – 83 84 – 92 ≥ 93
Tabel 1 Daftar nilai pre-test dan post-test hasil belajar kognitif siswa Frekuensi Tingkat Eksperimen Kontrol Pre-test Post-test Pre-test Post-test Kurang 35 3 35 26 Cukup 0 13 0 8 Baik 0 8 0 1 Sangat baik 0 11 0 0
Berdasarkan data Tabel 1 diketahui bahwa nilai pre-test hasil belajar kognitif pada kelas eksperimen maupun kontrol seluruhnya berada pada tingkat kurang. Setelah diberikan perlakuan siswa pada kelas eksperimen mengalami pengurangan frekuensi nilai pada tingkat kurang lebih besar dibanding kelas kontrol. Berdasarkan ketuntasan hasil belajar kognitif, kelas eksperimen memiliki persentase lebih besar yaitu 91%, daripada kelas kontrol yang hanya sebesar 26%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen mampu mencapai
214
Tingkat Kemampuan (%)
nilai ketuntasan dengan lebih baik daripada kelas kontrol. Perbedaan hasil belajar kognitif (post-test) yang didapat menunjukkan bahwa model Accelerated Learning tipe MASTER berpengaruh signifikan pada hasil belajar kognitif siswa pada materi redoks. Perbedaan yang signifikan ini disebabkan adanya kegiatan pembelajaran (kelas eksperimen) yang mampu membangkitkan motivasi, ketertarikan, dan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan meningkatkan pemahaman siswa pada materi. Kegiatan belajar mengajar dengan model Accelerated Learning tipe MASTER lebih menekankan pada aktivitas, emosi, permainan peran, visualisasi warna, peta konsep, cara berpikir positif, dan suasana emosional siswa yang menyenangkan, yakni tertuang di dalam kegiatan pembelajaran dan pada bahan ajar siswa. Hal ini mampu menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna sehingga dapat meningkatkan daya ingat peserta didik menjadi lebih kuat (Rose & Nicholl, 2012). Wlodkowski dan Kasworm (2013) menyebutkan bahwa pembelajaran Accelerated Learning jauh lebih menyenangkan, nyaman, fleksibel, dan efektif daripada metode ceramah, sehingga berdampak pada hasil belajar yang lebih baik. Berdasarkan soal hasil belajar kognitif siswa yang berorientasi pada High Order Eksperimen 100 80 60 40 20 0
Kontrol
95 75
83
71 45
Kemampuan Analisis (C4)
58
Kemampuan Evaluasi (C5)
Kemampuan Kreasi/Mencipta (C6) Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS)
Gambar 2. Persentase tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk setiap ranah kognitif yang diukur. Thinking Skills (HOTS) untuk setiap indikator kemampuan berpikir yang diukur, kelas eksperimen memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan kelas kontrol. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 tentang rata-rata tingkat kemampuan berpikir siswa yang diukur dengan soal HOTS. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembelajaran Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS, siswa terlatih untuk berpikir kritis dan kreatif. Selain itu, siswa juga dimotivasi, dibimbing untuk memberikan makna setiap materi yang dipelajari dan menguji diri maupun presentasi, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan nyaman. Siswa juga dibimbing untuk berdiskusi, memecahkan masalah, dan mencari informasi secara mandiri, dengan begitu siswa dilatih untuk berpikir kritis dan kreatif siswa. Hasil penelitian Hadinansyah, Rustini, dan Komariah (2016) mengungkapkan bahwa model Accelerated Learning tipe MASTER mampu melatih kemampuan berpikir siswa yang ditandai dengan meningkatnya hasil belajar kognitif. Sejalan dengan hal tersebut, Anggreni, Dantes, dan Candisa (2014) menyebutkan bahwa pembelajaran yang menyenangkan mampu meningkatkan kompleksitas perkembangan kemampuan berpikir siswa. Signifikansi perbedaan hasil belajar kognitif antara kelas eksperimen dan kontrol juga dipengaruhi dengan adanya pembelajaran bervisi SETS (Science, Environment, Technology, dan Society). Pada proses pembelajaran dengan bervisi SETS, siswa diajak untuk mencari informasi secara mandiri dan memecahkan masalah yang ada di lingkungan sekitarnya dengan membuat bagan keterhubungan SETS. Visi SETS juga dapat memberi peluang siswa untuk memperoleh informasi, memecahkan masalah, dan bertindak serta memberi wadah siswa untuk menuangkan ide-ide maupun inovasi (Khomsyatun, Tjahyo, & Edy, 2012).
215
Pada tabel 2 dapat dilihat perbandingan peningkatan berdasarkan nilai N-gain hasil belajar kognitif siswa pada kelas eksperimen dan kontrol. Berdasarkan rata-rata gain, kelas eksperimen mendapatkan nilai 0,71 dengan kategori tinggi, sedangkan pada kelas kontrol sebesar 0,49 yang termasuk dalam kategori sedang. Hasil tersebut membuktikan bahwa kelas eksperimen mampu meningkatan hasil belajar kognitif yang lebih baik daripada kelas kontrol. Pencapaian ini terjadi karena siswa memiliki motivasi dan minat dalam proses pembelajaran yang dapat mempengaruhi peningkatan hasil belajar. Tabel 2. Harga N-gain hasil belajar kognitif kelas eksperimen dan kontrol Rata-rata kelas eksperimen Rata-rata kelas control Kelompok Pre- PostPre- Post Kategori Kategori test test test test Tinggi 41 92 0,87 Tinggi 16 78 0,73 Tinggi Sedang 36 77 0,63 Sedang 24 62 0,50 Sedang Rendah 21 40 0,25 Rendah Rata-rata 0,75 Tinggi Rata-rata 0,49 Sedang Menurut Rokhanah, Supriyanto, dan Priyono (2015), meningkatnya hasil belajar dan sikap kritis siswa dipengaruhi oleh adanya rasa senang, motivasi dan pengalaman baru dalam pembelajaran. Sejalan dengan hal ini, Ismawati, Binadja, dan Saptorini (2016) menyebutkan bahwa visi SETS juga mampu menumbuhkan kemampuan berpikir kritis yang ditandai dengan peningkatan skor N-gain. Data pre-test dan post-test yang terdistribusi normal, serta memiliki varian yang homogenadilakukan analisis inferensial dengan uji-t. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS dan pembelajaran konvensional pada materi reaksi redoks. Hasil analisa dengan uji-t terdapat pada Tabel 3.
Hasil Pretest Posttest
Tabel 3. Hasil uji-t data pre-test dan post-test hasil belajar kognitif siswa ttabel ̅ Kelas Db SD2 thitung Kesimpulan 𝐗 5% Eksperimen 26,108 89,030 Tidak 68 1,383 2 signifikan Kontrol 23,251 60,392 Eksperimen 85,911 80,696 68 2 Signifikan 139,43 9,154 Kontrol 62,956 0
Berdasarkan hasil post-test didapatkan harga thitung dan ttabel. Di mana, thitung > ttabel (9,154 > 2) maka disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan hasil tes kognitif siswa sesudah diberikan perlakuan.
216
Hasil belajar afektif siswa juga dinilai dalam penelitian ini, yakni aspek yang diamati terdiri rasa ingin tahu, tanggung jawab, kerja sama dan teliti. Penilaian dilakukan pada setiap pertemuan yang dilakukan oleh empat orang observer. Adapun persentase rata-rata skor hasil belajar afektif siswa dapat dilihat pada Gambar 3.
Persentase (%)
Rata - Rata Hasil Belajar Afektif 90.00
83.24
80.00
81.33
80.38 73.14
71.62
77.71 70.29
70.10
70.00 60.00 Rasa Ingin Tahu
Tanggung Jawab
Bekerjasama
Teliti
Aspek yang diamati Eksperimen
Kontrol
Gambar 3. Perbandingan persentase afektif siswa kelas eksperimen dan kontrol Nilai rata-rata hasil belajar afektif secara keseluruhan kelas eksperimen maupun kontrol termasuk dalam kategori baik. Akan tetapi, berdasarkan Gambar 3 menunjukkan bahwa persentase skor afektif kelas eksperimen memiliki persentase yang lebih baik daripada dengan kelas kontrol.
ANGKET RESPON SISWA 1% 0%
Sangat Setuju Setuju
19%
Sangat Positif 23%
17%
Ragu-Ragu Tidak Setuju
Cukup Positif 6%
Positif 71% 63%
LEVEL RESPON SISWA Gambar 4.3 Persentase respon siswa kelas eksperimen Pada Gambar 4 menunjukkan persentase angket respon dan level respon siswa terhadap implementasi model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS. Respon setuju sangat dominan dengan 63% dari keseluruhan siswa kelas eksperimen diikuti raguragu dan sangat setuju, yakni 19% dan 17% serta responden tidak setuju hanya sekitar 1%. Hal ini sebanding dengan banyaknya respon positif dan sangat positif terhadap kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS.
SIMPULAN Hasil penelitian dan pembahasan menemukan bahwa terdapataperbedaan hasilcbelajardsiswaeyangffsignifikan antara kelas yang menerapkan model Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS dengan kelas yang menerapkan pembelajaran konvensional pada materi reaksi redoks di kelas X SMAN 1 Banjarmasin. Hal ini sejalan
217
dengan respon yang positif oleh siswa terhadap implementasi model pembelajaran Accelerated Learning tipe MASTER bervisi SETS pada kelas X SMAN 1 Banjarmasin. DAFTAR PUSTAKA Astuti, A. P., Subiyanto, & Binadja, A. (2013). Pengaruh Penggunaan Pendekatan POE Bervisi SETS Pokok Bahasan Reaksi Redoks. Jurnal Pendidikan Sains UMS 1 (1), 46-52. Hadinansyah, H., Rustini, T., & Komariah. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran MASTER Berbasis Multisensor Terhadap Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Topik SUmber Daya Alam. Artikel Skripsi PGSD UPI. Ismawati, S., Binadja, A., & Saptroni. (2016). Pengaruh Pembelajaran Guided Inquiry Bervisi SETS Terintegrasi Pendidikan Karakter. Journal of Chemistry in Education Unnes 5 (1), 15-22. Khomsyatun, M., Tjahyo, S., & Edy, C. (2012). Penerapan Mindscaping Bervisi Science Environment Technology Society Terhadap Pencapaian Kompetensi Larutan Penyangga. Unnes Science Education Journal 1 (2), 96-102. Rokhanah, S., Supriyanto, & Priyono, B. (2015). Pengaruh Penerapan Metode Master dengan Pendekatan Saintifik Terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Pada Materi Invertebrata di SMA. Unnes Journal of Biology Education, 231-236. Rose, C., & Nicholl, M. J. (2012). Accelerated Learning for The 21th Century : Cara Belajar Cepat Abad XXI. (D. Ahimsa, Penerj.) Bandung: Nuansa Cendekia. Russel, L. (2011). The Accelerated Learning Fieldbook : Panduan Pembelajaran Cepat. (M. I. Zakkie, Penerj.) Bandung: Nusa Media. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Trianto. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group. Wlodkowski, R. J., & Kasworm, C. E. (2017). Accelerated Learning: Future Roles and Influences. New Directions for Adult and Continuing Education Journal 2017 (154), 93-97.
218
MULTIMEDIA INTERAKTIF VERSUS KERJA LABORATORIUM UNTUK MENDORONG KETERLIBATAN SISWA BELAJAR LAJU REAKSI, MANA YANG LEBIH UNGGUL ? Interactive Multimedia Versus Working Laboratory To Encourage Student Learning Involvement Reaction Rate, Which Are More Excellent? 1
Maya Istyadji2, Arif Sholahuddin2 Wulandari1* Mahasiswa S1 Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia 2 Dosen Prodi Pendidikan Kimia, PMIPA, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Indonesia *email: [email protected]
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang pembelajaran model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dengan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum di SMAN 4 Banjarmasin. Penelitian ini bertujuan untuk mengethaui (1) perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen 1 (2) perbedaan hasil belajar antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2 (3) perbedaan hasil belajar siswa antara ketiga kelas (4) respon siswa pada kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan rancangan pretest-posttest nonequivalent control group design. Sampel penelitian sebanyak 99 siswa, diambil dari kelas XI IPA 1 sebagai kelas kontrol, XI IPA 2 sebagai kelas eksperimen 1 dan XI IPA 3 sebagai kelas eksperimen 2. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik tes dan non tes. Teknik analisis data menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji-t. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tidak terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas eksperimen 1 dengan kelas kontrol (2) Terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen 2 dengan kelas kontrol, (3) Terdapat perbedaan yang signifikan antar ketiga kelas dan (4) Siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran yang dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum pada materi laju reaksi. Kata Kunci: model pembelajaran inkuiri terbimbing, model pembelajaran ekspositori, multimedia interaktif, eksperimen, hasil belajar dan laju reaksi. Abstract. The research about teaching and learning expository model using interactive media and guided inquiry model using lab work in SMAN 4 Banjarmasin has been done. This research was aimed to find out (1) students’ results between control class and experiment 1 class (2) students’ results between control class and experiment 2 class (3) students’ results among three classes (4) responses on experiment 1 class and experiment 2 class. This research was a Quasi Experimental and designed usingpretestposttest nonequivalent control group design. The subjects were 99 students from XI Science 1 as control class, XI Science 2 as experiment class 1 and XI Science 3 as sample experiment 2. Samples were taken by purposive sampling technique. The researcher used test and non-test in order to collect the data. The researcher used normality test, homogeneity test, and T-test. The research result showed that (1) there was no significant differencebetween students’ cognitive results on experiment class and control class. (2) There was a significant difference between experiment class 2 and control class (3) There was a significant difference among three classes and (4) students gave positive response toward the teaching learning program used expository using interactive multimedia and guided inquiry using lab work on reaction rate material. Keywords :guided inquiry learning model, expository learning model, interactive multimedia, experiment, students’ results and reaction rate.
219
PENDAHULUAN Laju reaksi merupakan materi untuk kelas XI IPA pada semester ganjil yang memuat tentang konsep dan perhitungan. Menurut Sutiono, dkk. (2013) materi laju reaksi pada dasarnya memerlukan pengetahuan dan pemahaman konsep dasar yang kuat, hal ini dikarenakan cakupan materi yang sangat luas yaitu meliputi laju reaksi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penentuan persamaan reaksi, tetapan laju reaksi dan orde reaksi. Pemahaman konsep erat kaitannya dengan hasil belajar kognitif. Jika seorang siswa hasil belajar kognitif nya rendah, maka dapat dikatakan bahwa kurangnya pemahaman siswa akan materi yang diajarkan (Listawati, 2013). Menurut Prasetyo (2016) pemahaman siswa dapat ditingkatkan melalui interaksi yang baik antara guru dan siswa. Guru dapat beinteraksi dengan memberikan dorongan (support), serta pengawasan atau binaan (supervisor) kepada siswa. Diperkuat oleh hasil penelitian Suyatno bahwa interaksi guru dan siswa dapat dimaksimalkan dengan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa, tujuan dan kondisi pembelajaran yang akan dilangsungkan (Supriyatun, 2013). Model pembelajaran yang tepat dengan yang dimaksud Suyatno ialah model pembelajaran dimana guru sebagai pusat dalam suatu proses belajar mengajar (teacher oriented), atau guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Model pembelajaran tersebut adalah model pembelajaran ekspositori. Model pembelajaran pilihan lain yang juga merupakan salah satu model yang tepat untuk meningkatkan pemahaman siswa yaitu model inkuiri terbimbing, karena menurut Suardiantini (2014) model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) memilik tujuan umum yaitu membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan lainnya, seperti bertanya dan mencari jawaban yang berasal dari keingintahuan mereka dan menciptakan proses belajar yang bermakna di dalam kelas sehingga materi yang dipelajari oleh siswa lebih mudah dipahami dan diingat dengan kata lain pembelajaran yang bermakna ini dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Materi pelajaran laju reaksi mengandung konsep-konsep yang bersifat abstrak (tidak dapat diamati secara langsung tanpa alat bantu). Oleh karena itu, perlu dibantu dengan menggunakan ilustrasi animasi agar konsep-konsep dapat disimulasikan dalam bentuk animasi flash dalam program multimedia sehingga proses belajar yang dilakukan lebih bermakna. Menurut Febriana, dkk (2015) dalam proses belajar mengajar media menjadi bagian integral yang bertumpu pada materi, tujuan, model, pendekatan dan evaluasi pembelajaran. Media berfungsi sebagai sumber belajar siswa dalam proses pembelajaran, sehingga mempermudah siswa untuk mengartikan konsep yang bersifat abstrak Multimedia memilik beberapa keunggulan di antaranya adalah adanya hubungan langsung dengan organ tubuh seperti mata (visual) , telinga (audio), dan tangan (kinetik) dalam proses belajar sehingga dapat membuat informasi lebih mudah dimengerti (Arsyad, 2005) Pembelajaran yang menggunakan model dan media mampu menambah ketertarikan siswa dalam belajar sehingga proses belajar dapat lebih bermakna dan akan memberi pengaruh pada hasil belajar siswa. Oleh karena itu, untuk menentukan model dan media yang tepat dapat dilakukan beberapa eksperimen dengan menjadikan kelas kontrol sebagai perbandingan. Berdasarkan paparan di atas, maka penelitiakan menguji perbedaan hasil belajar pada materi laju reaksi antara penerapan model ekspositori menggunakan media dengan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum di SMAN 4 Banjarmasin. METODE PENELITIAN Penelitian ini berjenis Quasi Experimental dengan rancangan pretest-posttest nonequivalent control group design. Sebelum proses pembelajaran dimulai untuk mengetahui kemampuan awal siswa dalam pemahaman materi laju reaksi maka sampel diberikan tes awal (pretes). Setelah proses pembelajaran, maka sampel diberikan tes akhir (postes) untuk mengetahui pencapaian hasil belajar setelah diberi perlakuan.
220
Siswa kelas XI IPA SMA Negeri 4 Banjarmasin tahun pelajaran 2016/2017 sebagai populasi dalam penelitian ini dengan sampel yaitu XI IPA 2 menjadi kelas eksperimen 1, XI IPA 3 menjadi kelas eksperimen 2 dan XI IPA 1 menjadi kelas kontrol yang masing-masing berjumlah 33 orang. Sampel diambil dengan teknik sampling porposive Instrumen tes yang berupa tes hasil belajar kognitif yang berbentuk soal pilihan ganda sebanyak 15 soal terlebih dahulu dilakukan validasi untuk mendapatkan hasil tes yang valid. FKIP ULM Banjarmasin dan dua orang guru kimia dari SMA PGRI 1 Banjarmasin. Berdasarkan perhitungan menggunakan persamaan CVR (Content Validity Ratio) didapatkan hasil = 1. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen hasil belajar kognitif valid untuk digunakan (Cohen, 2010). Instrumen nontes berupa lembar angket respon. Hasil validasi instrumen nontes bahwa setiap pernyataan pada instrumen memiliki CVR sama dengan 1, sehingga instrumen nontes tersebut layak digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini. Instrumen yang sudah valid selanjutnya diuji cobakan sebelum digunakan dalam penelitian untuk mengetahui tingkat reliabilitas. Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Alpha Cronbach maka diperoleh nilai derajat instrumen tes hasil belajar kognitif dengan perhitungan menggunakan rumus Kuder-Richardson 20 diperoleh 0,658. Instrumen tersebut berada pada kategori sedang. Analisis deskriptif dan analisis inferensial digunakan untuk teknik analisis data. Analisis inferensial yang digunakan pada penelitian ini adalah uji-t dan uji anava 1 jalur. Syarat uji-t dan uji anava 1 jalur adalah normalitas dan homogenitas data. Uji ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang dihasilkan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penelitian terkait rata-rata nilai hasil kognitif, perolehan pencapaian, uji-t hasil belajar kognitif dan uji anva 1 jalur dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 1. Rata-rata nilai hasil belajar kognitif Kelas
Kelas
Eksperimen 1
Eksperimen 2
Kelas Kontrol Nilai Pretes
Postes
Pretes
Postes
Pretes
Postes
Skor Terendah
6,67
60,00
13,33
60,00
6,67
66,67
Skor Tertinggi
40,00
93,33
46,67
93,33
46,67
93,33
̅) Rata-rata (X
25,66
75,76
30,10
77,58
27,07
82,02
Selisih rata-rata
50,10
47,78
54,95
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa rata-rata nilai postes pada kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 lebih tinggi dibanding kelas kontrol.
Tabel 2. Harga N-gain hasil belajar kognitif siswa Kriteria Kelas Tinggi (%) Sedang (%)
Rendah (%)
Rata-rata Ngain
Kriteria ratarata
Kontrol
42,42
57,58
-
0,67
Sedang
Eksperimen 1
36,36
63,64
-
0,68
Sedang
221
Eksperimen 2
63,64
36,36
-
0,75
Tinggi
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol mengalami peningkatan hasil belajar kognitif yang sama yaitu hingga taraf pencapaian sedang. Sedangkan pada kelas eksperimen 2 mengalami peningkatan hasil belajar kognitif hingga taraf pencapaian tinggi. Tabel 3. Hasil uji-t data pretes dan postes hasil belajar kognitif siswa Hasil
Kelompok
T hitung
Ttabel
1.91
2
Kesimpulan
Kontrol Pretes
Eksperimen 1
Tidak ada perbedaan yang signifikan
Kontrol Eksperimen 2 Kontrol
0,57
2
1.90
2
Tidak ada perbedaan yang signifikan
3,04
2
Berbeda secara signifikan
Eksperimen 1 Postes
Kontrol Eksperimen 2
Berdasarkan Tabel 3 pada data pretes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 1. Hal ini juga berlaku untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen 2. Sedangkan, pada data postes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen 1 dengan kelas kontrol terhadap hasil belajar kognitif, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen 2 dengan kelas kontrol terhadap hasil belajar kognitif. Tabel 4. Hasil anava 1 jalur data pretes dan postes hasil belajar kognitif siswa Rerata Hasil Sumber Jumlah kuadrat db Fhitung F Tabel (5%) kuadrat Antar kelompok Pretes
Postes
340,27
2
170,13
Dalam kelompok
9883,18
96
102,95
Total
10223,45
98
-
Antar kelompok
685,10
2
342,55
Dalam kelompok
6588,72
96
68,63
Total
7273,81
98
-
Kesimpulan
1,65
3,09
Tidak ada perbedaan signifikan
-
-
-
4,99
3,09
Berbeda signifikan
-
-
-
Pada Tabel 4 data pretes hasil belajar kognitif menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan awal hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2. Sedangkan, pada data postes hasil belajar kognitif menunjukkan adanya perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 sesudah pembelajaran.
222
Respon yang diberikan siswa setelah proses pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase respon siswa Persentase (%)
Kriteria
84 - 100 68 – 83 52 - 67 36 – 51 20 - 35
Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang Rata-rata (%) Kriteria
∑ Siswa Eksperimen 1 24 9 80,00 Baik
Eksperimen 2 15 18 77,37 Baik
Secara seluruh siswa dari kedua kelas memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu respon siswa yang berada dalam kategori baik untuk kedua kelas. Pembahasan Pembelajaran ekspositori menggunakan multimedia interaktif diterapkan di kelas eksperimen 1. Pembelajaran inkuiri terbimbing menggunakan pratikum diterapkan di kelas eksperimen 2. Sementara itu, pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran ekspositori menggunakan praktikum. Dalam pelaksanaannya, yang membedakan adalah model pembelajaran dan metode yang digunakan. Penelitian kuasi eksperimen ini dilakukan untuk membuktikan adanya perbedaan hasil belajar kognitif pada kelas yang mendapat perlakuan berbeda yaitu kelas kontrol dengan kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2. Pada pembahasan pertama yaitu antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 1. Pengujian menggunakan statistik uji-t menunjukkan bahwa model ekspositori menggunakan multimedia interaktif tidak ada beda dengan model ekspositori menggunakan praktikum dalam mencapai pemahaman siswa. Namun, siswa yang belajar dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif memiliki rata-rata nilai hasil belajar kognitif sedikit lebih tinggi dibanding siswa yang belajar dengan model ekspositori menggunakan praktikum, meskipun demikian model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model ekspositori menggunakan praktikum sama-sama memberi pengaruh yang baik terhadap pemahaman siswa, hal ini dibuktikan dengan tingginya persentase ketuntasan siswa di atas 50%. Perbedaan rata-rata nilai hasil belajar ini dijelaskan oleh Farid (2016) bahwa menggunakan multimedia interaktif dapat mempermudah siswa dalam mengerti materi karena konsep yang bersifat kasat mata (abstrak) dapat disimulasikan dalam bentuk animasi yang mampu membuat konsep menjadi lebih realistis. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Sanjaya (2016) bahwa rata-rata hasil belajar kelompok yang belajar dengan multimedia interaktif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok belajar konvensional. Pembahasan kedua yaitu antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 2, di mana model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum memberikan pengaruh terhadap perolehan hasil belajar kognitif yang lebih optimal dibanding dengan model ekspositori menggunakan praktikum. Menurut Suardiantini (2014) model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) memilik tujuan umum yaitu membantu siswa dalam menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan intelektual dan kemampuan-kemampuan lainnya, seperti bertanya dan mencari jawaban yang berasal dari keingintahuan mereka dan menciptakan proses belajar yang bermakna di dalam kelas sehingga materi yang dipelajari oleh siswa lebih mudah dipahami dan diingat. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Listawati (2013) bahwa pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing berpengaruh positif terhadap pemahaman siswa kelas XI IPA SMA Laboratorium UM Malang.
223
Model inkuiri terbimbing memiliki 6 fase yang harus diterapkan pada proses pembelajaran. Pada fase pertama (orientasi) siswa diberikan apersepsi. Fase kedua (merumuskan masalah) siswa disajikan permasalahan yang berkaitan dengan apersepsi. Fase ketiga (mengajukan hipotesis) siswa diberikan petunjuk agar siswa dapat merumuskan hipotesis. Fase keempat (mengumpulkan data) siswa melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis yang dibuat. Fase kelima (menguji hipotesis) diberikan pertanyaan pengarah, kemudian beberapa kelompok memnyampaikan hasil diskusi kelompok dan tugas kelompok lain menanggapi. Fase terakhir (membuat kesimpulan) diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan berdasarkan hasil diskusi kelas. Siswa diminta menghubungkan hasil percobaan dengan kesimpulan yang dibuat sehingga sesuai dengan tujuan yang disampaikan oleh guru pada awal pembelajaran. Petunjuk pada fase kedua sampai fase terakhir terdapat pada LKS terstruktur, siswa diminta mengikuti petunjukpetunjuk tersebut. Keenam fase tersebut dilakukan oleh siswa secara berkelompok Berbagai macam penelitian mengenai penerapan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif begitu pula dengan penelitian yang mengenai penerapan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum menunjukkan. Oleh karena itu, penting bagi seorang guru untuk mencari tahu bagaimana efektivitas dari perlakuan-perlakuan tersebut terhadap siswa agar menjadi pertimbangan dalam mengajar pada kesempatan berikutnya. Berikut adalah analisis dari proses pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum dan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif da juga analisis dari proses pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum dan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum terhadap hasil belajar kognitif dan respon siswa: Hasil Belajar Kognitif Siswa Tes hasil belajar kognitif, untuk tes ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum dan sesudah pembelajaran. Berdasarkan hasil uji homogenitas, kemampuan awal siswa kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol adalah sama. Tabel 1 menunjukkan rata-rata postes kelas eksperimen 1 sedikit lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Hal ini membuktikan bahwa pembelajaran dengan multimedia interaktif lebih mampu mencapai hasil belajar kognitif siswa. Dari Tabel 1 diketahui pula bahwa rata-rata postes kelas eksperimen 2 lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini membuktikan bahwa model inkuiri terbimbing lebih mampu mengoptimalkan pencapaian hasil belajar kognitif siswa daripada model ekspositori. Tabel 2 menunjukkan persentase harga N-gain untuk hasil belajar kognitif. Dari data N-gain dapat diketahui bagaimana perkembangan peserta didik selama proses pembelajaran. Persentase kriteria tinggi didominasi oleh siswa kelas eksperimen 2. Persentase kriteria sedang tertinggi didominasi oleh kelas eksperimen 1. Tidak ada siswa dengan kriteria rendah pada kelas eksperimen 1, eksperimen 2 maupun kelas kontrol. Hasil perhitungan uji-t pada Tabel 3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada data pretes di antara ketiga kelas, baik antara kelas kontrol dengan kelas eksperimen 1, kelas kontrol dengan kelas eksperimen 2 Namun, dari tabel diketahui pula bahwa ada perbedaan yang signifikan pada data postes hasil belajar kognitif. Pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa terdapat hasil belajar kognitif berbeda signifikan pada data postes terjadi antara kelas eksperimen 2 dengan kelas kontrol. Namun, tidak terdapat perbedaan hasil belajar kognitif yang signifikan antara kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol. Meskipun pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif memiliki rata-rata nilai lebih tinggi daripada pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum akan tetapi hasil uji-t menunjukkan bahwa antar kedua kelas tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini disebabkan karena menurut Fan & David (2012) animasi digunakan sebagai simulasi kegiatan eksperimen secara nyata sehingga dapat mempermudah siswa dalam memahami konsep suatu materi pembelajaran. Maka dari itu, baik pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan pembelajaran dengan model ekspositori menggunakan praktikum keduanya memberikan pengalam praktikum kepada siswa meskipun dengan cara yang berbeda sehingga meski hasil dengan menggunakan multimedia interaktif lebih tinggi dikarenakan siswa mendapat
224
pengetahuan mengenai hal-hal yang abstrak akan tetapi keduanya tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Hasil belajar kognitif antara kelas kontrol dan kelas eksperimen 2 berbeda signifikan, hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model inkuiri terbimbing memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil belajar kognitif. Pembelajaran dengan model inkuiri terbimbing lebih mengoptimalkan pencapaian hasil belajar kognitif daripada pembelajaran dengan model ekspositori. Hal ini sesuai dengan penelitian Sofiani (2011) yang menyatakan bahwa siswa yang diberi perlakuan menggunakan model inkuiri terbimbing memiliki hasil belajar lebih tinggi dibanding siswa yang yang diberi perlakuan menggunakan model ekspositori. Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa data pretes antar ketiga kelas memiliki perbedaan yang signifikans. Namun, dari tabel diketahui pula bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada data postes hasil belajar kognitif ketiga kelas. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan mempengaruhi perbedaan hasil belajar kognitif siswa. Respon Siswa Respon yang ditunjukkan oleh kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 berada dalam kriteria baik. Berdasarkan Tabel 5, tampak bahwa persentase respon siswa yang menggunakan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif lebih tinggi dibanding model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum. Respon positif terjadi karena selama proses pembelajaran timbul rasa ketertarikan siswa untuk mengikuti proses pembelajaran menggunakan multimedia interaktif, karena merupakan pengalaman yang baru bagi siswa. Materi yang disajikan dapat divisualisasikan hingga tingkat mikroskopis sehingga media tersebut dapat memunculkan motivasi belajar siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian Sumargo & Yuanita (2014) bahwa dengan adanya laboratorium virtual siswa lebih termotivasi untuk mempelajari kimia.
(1)
(2) (3)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka penemuan yang diperoleh: Model pembelajaran ekspositori menggunakan multimedia interaktif mempunyai kemampuan yang sama dengan model pembelajaran ekspositori menggunakan praktikum dalam memberikan pengaruh positif terhadap hasil belajar kognitif siswa. Model pembelajaran inkuiri terbimbing menggunakan metode praktikum memberikan pengaruh terhadap perolehan hasil belajar kognitif secara optimal. Respon siswa terhadap penerapan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif model adalah positif. Hal ini juga berlaku pada respon siswa terhadap penerapan model inkuiri terbimbing menggunakan praktikum.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan: (1) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori menggunakan praktikum dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif pada materi laju reaksi tidak berbeda signifikan. (2) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori menggunakan praktikum dengan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum pada materi laju reaksi berbeda signifikan. (3) Hasil belajar kognitif antara pembelajaran yang menggunakan model ekspositori menggunakan praktikum, model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum berbeda signifkan. (4) Respon siswa terhadap pembelajaran yang dengan model ekspositori menggunakan multimedia interaktif dan model inkuiri terbimbing mengunakan praktikum pada materi laju reaksi baik.
225
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, A. (2005). Media pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Fan, X., & Geelan, D. (2012). Integrating information technology and science education for the future: a theoritical review on the educational use of interactive simulation. ACEC, 1-9. Farid, M. (2016). Pengaruh model pembelajaran problem solving berbantuan multimedia interaktif terhadap keterampilan generik sains dan hasil belajar siswa pada materi hidrolisis garam kelas XI IPA SMA Negeri 1 Banjarmasin tahun pelajaran 2015/2016. Skripsi Sarjana. Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat. Tidak dipublikasikan. Febriana, D., Sajidan, & Prayitno, B. A. (2015). Pengembangan multimedia interaktif berbasis group discovery learning (gdl) pada materi protista kelas X SMA Negeri Karangpandan . Jurnal Inkuiri, 97-108. Listawati, R. M., Mahanal, S., & Sarwono. (2013). Pengaruh metode pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) terhadap hasil belajar kognitif dan retensi siswa kelas XI IPA SMA laboratorium Um Malang. Skripsi Sarjana. Malang: Universitas Negeri Malang. Tidak dipublikasikan. Prasetyo, S. (2016). Penerapan strategi pembelajaran ekspositori untuk meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas X SMA Negeri 8 Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Skripsi Sarjana. Lubuklinggau: Universitas Lubuklinggau. Tidak dipublikasikan. Sanjaya, R. (2016). Multimedia interaktif pelatihan service excellent menggunakan pendekatan story based learning. Jurnal Informatika, 100-106. Sofiani, E. (2011). Pengaruh model inkuiri terbimbing (guided inquiry) terhadap hasil belajar fisika siswa pada konsep listrik dinamis. Skripsi Sarjana. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Tidak dipublikasikan. Suardiantini, N. P. N. (2014). Pengaruh penerapan model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) divariasikan dengan media mind mapping terhadap minat belajar biologi siswa kelas VII SMP PGRI 4 Denpasar tahun ajaran 2013/2014. Skripsi Sarjana. Denpasar: Universitas Mahasaraswati Denpasar. Tidak dipublikasikan. Sumargo, E., & Yuanita, L. (2014). Penerapan media laboratorium virtual (PhET) pada materi laju reaksi dengan model pengajaran langsung. Unesa Journal of Chemical Education, 119-133. Supriyatun, (2013). Penerapan model pembelajaran problem based intruction (PBI) untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar fisika siswa kelas VIII SMP Negeri 13 Lubuklinggau. Skripsi Sarjana. Lubuklinggau: Universitas Lubuklinggau. Tidak dipublikasikan Sutiono, A., Sihaloho, M., & Duengo, S. (2013). Identifikasi kesalahan pemahaman konsep siswa kelas XI SMA Negeri 1 Gorontalo pada materi laju reaksi. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo.
226