Prosiding Seminar Nasional Pertanian Unisan 2018_fix-min.pdf

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Prosiding Seminar Nasional Pertanian Unisan 2018_fix-min.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 84,410
  • Pages: 281
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

|i

Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo Jl. Drs. Achmad Nadjamuddin No. 17 Kota Gorontalo – Indonesia

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

ii | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

PROSIDING SEMINAR NASIONAL FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ICHSAN GORONTALO 2018 PEKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN “PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAERAH DAN NASIONAL”

Panitia: Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Seksi Administrasi dan Kesekretariatan Seksi Acara Seminar Nasional Seksi Humas, Publikasi dan Dokumentasi Seksi Konsmsi

: Muh. Sudirman Akili, S.TP., M.Si : Muh. Iqbal Jafar, S.P., MP : Evie Adriani, SP., M.Si : Ulfira Ashari, S.P., M.Si : I Made Sudiarta, S.P., M.Si : Irmawati, S.P., M.Si : Firmansyah, S.Pi., M.Si : Nur Pratiwi Rasyid, S.TP., M.Si

Editor: Milawati Lalla, S.P., MP. Muh. Darmawan, S.P., M.Si. Darmiati Dahar, S.P., M.Si. Fatmawati, S.P., M.Si. Tri Handayani, S.Pd., M.Sc. Muh. Arsyad, S.TP., M.Si. Reviewer: Dr. Zainal Abidin, SP., M.Si Anto, S.TP., M.Sc. Ikrar Taruna Syah, S.TP., M.Sc. Evie Adriani, SP., M.Si Deyvie Xyzquolyna, S.TP., M.Sc. ISBN: 978-602-52820-0-3

Diterbitkan oleh: Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo Jl. Achmad Nadjamuddin No. 17 Telp: (0435) 829975 Fax: (0435)829976 Gorontalo http://faperta.unisan.ac.id

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

| iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur panitia pelaksana Pekan Pembangunan Pertanian tahun 2018 panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia-Nya sehingga laporan prosiding karya ilmiah kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian dapat diselesaikan dengan baik. Tema kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian adalah Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional dilihat dari Peluang dan Tantangannya. Isu pangan dan ketahahan pangan adalah isu yang tidak akan pernah ada habisnya dibicarakan karena selain sebagai sumber energi juga sebagai sumber gizi yang menjadi hak asasi setiap manusia dan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia. Tantangan ketahanan pangan kedepan adalah peningkatan jumlah penduduk dan perubahan iklim. PEKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN yang telah dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 Maret 2018 mengangkat tema PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DAERAH DAN NASIONAL dalam rangkaian kegiatan pekan pembangunan pertanian dalam bentuk seminar nasional yang dirangkaikan dengan Seminar Paper. Sebagai hasil dari kegiatan seminar nasional tersebut maka kami mengkompilasikan berbagai makalah yang telah dipResentasikan dalam bentuk Prosiding. Panitia mengapresiasi semua pihak yang terkait yang ingin mendapatkan informasi yang positif terkait ketahanan pangan dan tentunya kritik, saran dan masukan untuk penyempurnaan karya ilmiah ini kedepannya. Pada kesempatan ini panitia mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Ichsan Gorontalo 2. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo 3. Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat Universitas Ichsan Gorontalo 4. Donatur dari Pihak Bank Rakyat Indonesia Cabang Gorontalo dan Perusahaan Hutan Tanaman Industri Kabupaten Gorontalo Utara 5. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu yang telah terlibat dan menyukseskan seluruh rangkaian kegiatan Pekan Pembangunan Pertanian Tahun 2018. Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Gorontalo, Maret 2018 Ketua Panitia,

Muhammad Sudirman Akilie, S.TP, M.Si Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

iv | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

DAFTAR ISI

Bidang Penelitian Agribisnis Implementasi Sistem Agroforestri sebagai Solusi Pertanian Berkelanjutan di Gorontalo Oleh: Merita Ayu Indrianti dan Ulfiasih (Fakultas Ilmu-ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Gorontalo) (2 – 6) Kelayakan Usaha Agroindustri Kacang Goyang (Studi Kasus UD Asli Totabuan, Kota Kotamobagu) Oleh: Indriana (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (7 – 11) Identifikasi Manfaat dan Kendala Usahatani Padi Sawah pada Petani Di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso Oleh: Marianne Reynelda Mamondol (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (12 – 20) Meningkatkan Akses Pangan dan Sumberdaya Manusia Melalui Kelembagaan Petani Oleh: Putu Arimbawa, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari) (21 – 31) Program Pengembangan Agroforestri Berbasis Partisipasi Masyarakat untuk Pertanian Berkelanjutan Oleh: Dewa Oka Suparwata (Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah Gorontalo) (32 – 43) Peningkatan Pendapatan Peternak Sapi dengan Keterpaduan Usaha Tanaman Padi dan Palawija pada Lahan Teratas 0,5 Ha Di Provinsi Sulawesi Selatan- Gorontalo Indonesia Oleh: Zainal Abidin (Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo) (44 – 52) Peran Sektor Pertanian dalam Penyelenggaraan Kawasan Andalan Palopo dan Sekitarnya Oleh: Fadhil Surur dan Satriani (Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Alauddin Makassar) (53 – 62)

Bidang Penelitian Agroteknologi Rancang Bangun Alat Pengendali Hama Burung Pemakan Bulir Padi Sawah (Oryza sativa l.) Sistem Mekanik Elektrik Oleh: Ardiyanto Saleh Modjo, S.Pd., M.P (Faperta Universitas Negeri Gorontalo) (64 – 70) Air Tersedia Profil Tanah Untuk Tanaman Padi pada Ustik Endoaquert PaguyamanGorontalo Oleh: Nurdin (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (71 – 81) Ketahanan Tanaman Okra Hijau (Abelmoschus esculentus L.) Varietas Naila IPB Terhadap Cekaman Salinitas dengan Perlakuan NaCl Oleh: Indriati Husain, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (82 – 89) Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

|v

Efisiensi Penggunaan Radiasi Matahari Akibat Penggunaan Naungan pada Pertumbuhan Stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.) di Tanah Gambut Kota Palangka Raya Oleh: Djoko Eko Hadi Susilo (Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya) (90 – 99) Prospek Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pupuk Organik dalam Mewujudkan Sistem Pertanian Berkelanjutan Oleh: Nurfhin Ilma Bunga, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (100 – 105) Kajian Efektifitas Penggunaan Pupuk Organik dengan Kombinasi Pupuk Anorganik Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung Oleh: Amiruddin (Teknologi Pertanian, Politeknik Gorontalo) (106 – 115) Pengaruh Berbagai Media Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri (Apium graveolens) dengan Sistem Vertikultur Oleh: M. Darmawan S.P M.Si (Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo) (116 – 124)

Bidang Penelitian Teknologi Hasil Pertanian Optimalisasi Penambahan Lemak Kakao dan Minyak Sawit Terhadap Mutu Tekstur Pasta Cokelat Oleh: Herman Hatta (Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Gorontalo) (126 – 136) Karakteristik Mutu Yoghurt Jagung Manis (Zea mayz L. Saccharata) dengan Variasi Konsentrasi Starter yang Berbeda Oleh: Satria Wati Pade dan Nurhafnita (Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo) (137 – 146) Pemanfaatan Tepung Jagung Pulut Subtitusi Tepung Terigu dalam Pembuatan Mie Kering Oleh: Desi Arisanti dan Rosdiani azis (Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo) (147 – 156) Analisis Aktivitas Antikoagulan dari Ikan Sidat Danau Poso Spesies Anguilla marmorata Oleh: Martho Harry Melumpi (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (157 – 164) Kajian Kandungan Fenolat dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai (Dioscorea) dari Berbagai Varietas Oleh: Joice Noviana Pelima (Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso) (165 – 181) Karakteristik Organoleptik Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan Oleh: A. Khairun Mutia (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (182 – 188)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

vi | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Ekstraksi Bertingkat β- Karoten dari Wortel dengan Pelarut Heksana dan Petroleum Eter Oleh: Yulianti (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (189 – 196) The Best Drying Time for Extruded Sago Noodle Oleh: Adnan Engelen, dkk. (Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Gorontalo) (197 – 202) Pengaruh Penambahan Gula dan Gelatin terhadap Sifat Sensoris Soyghurt Oleh: Nurhafsah dan Asriani I. Laboko (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat) (203 – 211) Bidang Penelitian Peternakan Kajian Pemanfaatan Indigofera Sp sebagai Pakan Ternak Itik di Provinsi Sulawesi Selatan Oleh: Andi Ella, dkk. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo) (213 – 219) Kajian Penggunaan Tepung Gaplek Sebagai Pakan Ayam Broiler Oleh Novia Qomariyah dan Serli Anas (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo) (220 – 229) Ukuran Tubuh Kambing Kacang (Capra hircus) yang Dipelihara Secara Tradisional pada Ketinggian Tempat yang Berbeda Oleh: Fahrul Ilham, dkk. (Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (230 – 236) Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan Kambing Kacang (Capra hircus) yang Dipelihara Secara Tradisional pada Ketinggian Tempat yang Berbeda Oleh: Muhammad Sayuti, dkk. (Fakutas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo) (237 – 243)

Bidang Penelitian Perikanan dan Kelautan Laju Pertumbuhan Spons Haliclona sp pada Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal di Pulau Dulowonu Boalemo Oleh: Sri Yuningsih Noor dan Zulrina Paudi (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (245 – 253) Analisis Tingkat Pemanfaatan Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Kota Gorontalo Oleh: Nurul Auliyah dan Fitri Suryanengsih (Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo) (254 – 262) Tingkat Kesukaan Lebah Madu Hutan (Apis dorsata) Terhadap Pakan di Kawasan Hutan Lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso Oleh: Listianingsi D. Wanundo (Universitas Kristen Tentena Poso) (263 – 272)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

| vii

Bidang Penelitian Agribisnis

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

|1

IMPLEMENTASI SISTEM AGROFORESTRI SEBAGAI SOLUSI PERTANIAN BERKELANJUTAN DI GORONTALO “IMPLEMENTATION AGROFORESTRY SYSTEM AS THE SOLUTION OF SUSTAINABLE AGRICULTURE” *MERITA AYU INDRIANTI DAN ULFIASIH Program Studi Agribisnis, Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah Gorontalo *Email: [email protected] ABSTRAK Minimnya jumlah lahan subur saat ini membuat petani mengubah mindsetnya untuk melanjutkan usahataninya dikawasan hutan dengan pola yang berbeda yaitu sistem agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji seberapa besar peran agroforestri dalam mendukung pertanian berkelanjutan. Metode pengkajian ini menggunakan metode review literature dengan cara membandingan data-data sekunder berupa penelitian terdahulu. Agroforestri memiliki peran penting dalam mendukung pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai fungsi produksi (ekonomi), fungsi konservasi (ekologi) serta fungsi sosial budaya (sosio-culture). Kata Kunci: Agroforestri, Pertanian Berkelanjutan Pendahuluan Realitas kegiatan pengelolaan usahatani saat ini lebih berorientasi pada pertumbuhan dan peningkatan ekonomi masyarakat saja. Sehingga usaha meningkatkan perekonomian benar-benar dilakukan sampai membuka hutan (deforestrasi) seluas-luasnya tanpa memperhatikan dampak dari hal tersebut. Menurut Rianti dan Winarto (2011), deforestasi diduga menjadi salah satu penyumbang emisi karbondioksida terbesar di dunia. Berkurangnya luas tutupan hutan dan meningkatnya aktifitas manusia menyebabkanemisi CO2

di

permukaan bumi

yang terperangkap dalam

atmosfer semakin besar

jumlahnyasehingga memicu terjadinya pemanasan global. Solusi untuk mengembalikan fungsi hutan seperti sediakala adalah reboisasi atau penanaman hutan kembali. Namun, penanaman hutan kembali hanya akan mengembalikan fungsi hutan saja. Oleh karena itu, diperlukan suatu pola penggunaan lahan yang tidak hanya dapatmembangun hutan namun juga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi petani dan masyarakat disekitarnya. Melalui pola tanam agroforestri, dapat memberikan fungsi bagi hutan juga bagi petani dan masyarakat disekitarnya, karena perpaduan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Menurut Amrullah (2008), agroforestri merupakan salah satu sistem pertanian

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

2 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

yang berkelanjutan dengan menggunakan sebagian lahan hutansebagai pengganti lahan pertanian tanpa merusak ekosistem dan kondisilingkungan hutan. Dalam pengembangan agroforestri tidak hanya terfokus padateknik dan biofisik saja akan tetapi kebijakan pemerintah yang dibuat sebagaiaturan dalam penggunaan sistem agroforestri juga sangat menentukanperkembangan agroforestri selanjutnya. Agroforestri juga dapat diartikan sebagai sistem pertanian terpadu karena sistem ini memiliki beberapa kombinasi antara lain (Hairiah et al., 2003): 1) Agrisilvikultur yakni kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian, 2) Agropastura yakni kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan, 3) Silvopastura yakni kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan, 4) Agrosilvopastura, yakni kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan. Berdasarkan uraian di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk mengkaji fungsi agroforestri sebagai solusi pertanian berkelanjutan. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan untuk membuat paper ini bersumber dari karya ilmiah berbentuk jurnal, skripsi, makalah, dan karya ilmiah lainnya. Adapun metode yang digunakan adalah metode review literature. Metode reviewli terature dilakukan dengan cara membaca, memahami dan mereview dari berbagai macam sumber karya ilmiah. Pembahasan Perkembangan Agroforestri di Gorontalo Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan sejak jaman dahulu, tetapi ilmu agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Gorontalo merupakan salah satu daerah penghasil jagung terbanyak sejak dicanangkannya program agropolitan pada tahun 2002-2014 yang terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun penanaman jagung dengan sistem monokultur secara massif membawadampak negatif berupa kerusakanlahan, karena penanaman jagungjuga dilakukan pada lahan-lahandengan kemiringan tinggi dengan menebang pepohonan yang ada (Andayani, 2002). Sedangkan untuk lahan kering, masih banyak pola pertanaman monokultur yang dijumpai. Bersama dengan ICRAF petani gorontalo mulai mengkaji sistem pertanaman yang menguntungkan hingga beberapa tahun kedepan dengan memanfaatkan lahan-lahan marginaluntuk ditanami Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

|3

dengan tanamanyang mempunyai nilai ekonomibagi masyarakat dan dengan sistem penanaman agroforestri (penanaman campuran). Sehingga, sebagian petani Gorontalo mulai menerapkan sistem agroforestri tanaman pangan dengan tanaman kehutanan terlebih di daerah bantaran sungai. Hal ini sengaja dilakukan oleh petani dengan alasan untuk mengurangi dampak dari erosi tebing sungai. Agroforestri sebagai Fungsi Produksi (Ekonomi) Pada umumnya agroforestri memiliki arti perpaduan antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian. Agroforestri dikembangkan untuk memberi manfaat pada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat dan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia khususnya di daerah pedesaan (Mayrowani dan Ashari, 2011). Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk, maka kebutuhan akan pangan semakin meningkat pula, disisi lain ketersediaan lahan semakin terbatas karena adanya alih fungsi lahan. Sehingga penerapan sistem agroforestri merupakan salah satu upaya optimalisasi penggunaan lahan pertanian secara berkelanjutan. Menurut Mayrowani dan Ashari (2011), salah satu alternatif peningkatan produksi adalah dengan pola ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan kehutanan dengan mengembangkan sistem agroforestri. Sudah sangat jelas bahwa agroforestri mampu meningkatkan jumlah produksi dan perekonomian masyarakat hingga beberapa tahun kedepan. Hasil perhitungan manfaat ekonomi pada tahun pertama memiliki perbandingan yang jauh. Model pertanaman kakao monokultur memiliki manfaat ekonomi sebesar Rp. 4.690.313, kakao integrasi tanaman non-kayu memiliki manfaat ekonomi sebesar Rp. 5.127.359 sedangkan kakao integrasi tanaman kayu memiliki manfaat ekonomi Rp. 300.406. Namun, pada tahun ke-20 agroforestri memberikan manfaat tinggi dibandingkan dengan sistem monokultur yaitu Rp. 86.378.348 dibandingkan dengan monokultur yang hanya memperoleh manfaat ekonomi sebesar Rp. 17.595.624 (Rianse dan Abdi, 2010). Agroforestri mementingkan keuntungan hingga kurun waktu kedepan karena bagian tanaman tahunan yang dapat dipanen adalah bagian batangnya sebagai kayu, daun sebagai pakan ternak, dan getah sebagai bahan tekstil. Hal ini dapat dilakukan apabila usia tanaman mencapai waktu panen kurang lebih 5-10 tahun. Sehingga pada tahun-tahun pertama hasil produksi yang diperoleh belum bisa menutupi biaya produksi awal, karena hasil panen hanya berasal dari tanaman pertanian /musiman. Apabila usia tanaman tahunan siap panen, maka Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

4 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

produksi yang diperoleh akan lebih banyak karena hasil pertanian berasal dari tanaman musiman juga tanaman tahunan. Agroforestri sebagai Fungsi Konservasi (Ekologi) Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak hanya terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran permukaan, tetapi termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah (Santoso et al., 2004). Metode konservasi terdiri atas tiga yaitu konservasi vegetatif, kimia dan mekanik. Agroforestri merupakan salah satu bagian dari pada konservasi vegetatif. Praktek konservasi dengan sistem agroforestri banyak dilakukan Hal ini dilakukan untuk mengurangi jumlah pengikisan badan sungai akibat adanya banjir atau erosi tebing sungai. Niemmanee et al., (2015), mengatakan bahwa agroforestri bukan hanya memberikan manfaat ekonomi dari hutan, melainkan menjaga kesuburan tanah melalui nutrisi dari pohon, melindungi lapisan atas tanah, penahan angin, daerah aliran sungai dan nilai rekreasi serta menjadi contoh yang baik antara kebutuhan pertanian dan lingkungan, serta solusi untuk masalah deforestrasi besar-besaran. Agroforestri sebagai Fungsi Sosial-Budaya (Sosio-culture) Sistem agroforestri memiliki keunggulan sosial budaya yaitu keunggulan agroforestri yang berhubungan dengan kesesuaian (adoptibility) yang tinggi dengan kondisipengetahuan, keterampilan dan sikap budaya masyarakat petani. Hal ini karenaagroforestri memiliki: 1) teknologi yang fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari yang sangat intensifuntuk masyarakat yang sudah maju, sampai kurang intensif untukmasyarakat yang masih tradisional dan subsisten, 2) Kebutuhan input, proses pengelolaan sampai jenis hasil agroforestri umumnya sudah sangat dikenal dan biasa dipergunakan oleh masyarakat setempat, 3) Filosofi budidaya yang efisien, yakni memperoleh hasil yang relatif besardengan biaya atau pengorbanan yang relatif kecil (Utami, 2003). Simpulan dan Rekomendasi Berdassarkan hasil pembahasan, maka agroforestri bukan hanya memberikan hasil terhadap perekonomian masyarakat secara berkelanjutan melainkan mengembalikan fungsi ekologi dan sosial ekonomi masyarakat serta mengubah mindset petani yang hanya memiliki pola pikir konsumtif menjadi konservatif.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

|5

Adapun rekomendasi yang dapat diberikan adalah terus mengadopsi inovasi-inovasi baru yang memberikan fungsi ekonomi-ekologi dan sosial budaya masyarakat. Daftar Pustaka Andayani, W. 2002. Analisis Finansial Potensi Sengon Rakyat Pola Agroforestri di Kabupaten Wonosobo. Jurnal Hutan Rakyat Vol. 4 No. 2, 2002. Amrullah, E.P. 2008. Analisis Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap Pengembangan Agroforestri Di Kawasan Hutan Bromo Karanganyar. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hairiah, K., Sardjono, M.A., Sabarnurdin, S. 2003. Pengantar Agroforestri. ICRAF. Bogor. Mayrowani, H., dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestri untuk mendukung Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan petani di Sekitarnya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Niemmanee, T., Kaveeta. R., dan Potchanasin. C. 2015. Assessing The Economic, Social, And Environmental Condition for The Sustainable Agricultural System Planning In Ban Phaeo District, Samut Sakhonn Province, Thailand. Jurnal Elsevier ScienceDirect. Hal 2557. Suan Sunandha Rajabhat University. Bangkok. Rianti, I.P dan Winarto, V. 2011. Ada Yang Berbeda dengan Agroforestri Suksesi Alami Berkelanjutan. Artikel. Departemen Kehutanan. Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri; Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Alfabeta. Bandung. Santoso, D., Purnomo, J., Wigena. IG. P., dan Tuherkih, E. 2004. Teknologi konservasi Tanah Vegetatif halaman 77-104 dalam Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Utami, S.R., Verbist, B., Noorwidjk, M., Hairiah, K., Sardjono, M.A. 2003. Prospek Penelitian dan Pengembangan Agroforestri di Indonesia. World Agroforestri Centre (ICRAF). Bogor.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

6 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

KELAYAKAN USAHA AGROINDUSTRI KACANG GOYANG (STUDI KASUS UD ASLI TOTABUAN, KOTA KOTAMOBAGU) INDRIANA Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah menjadi berbagai macam penganan. Salah satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota Kotamobagu. Salah satu industri yang mengolah kacang goyang adalah UD Asli Totabuan. Produksi tanaman kacang tanah setiap tahunnya meningkat tetapi kebutuhan bahan baku yang diperlukan UD Asli Totabuan sangat banyak dan sering tidak mencukupi apabila membeli bahan baku dari petani yang berada di daerah Kota Kotamobagu, oleh karena itu pengusaha sering membeli bahan baku dari luar daerah Kota Kotamobagu yang menyebabkan harga input semakin meningkat sehingga penerimaan yang diperoleh pengusaha kacang goyang dapat semakin berkurang. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR) dan Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebutuhan bahan baku (kacang tanah, gula pasir, dan coklat) tersedia secara kontinu karena dapat terpenuhi setiap memproduksi kacang goyang. Industri kacang goyang UD Asli Totabuan Kota Kotamobagu mempunyai prospek yang baik dan menguntungkan, secara finansial menunjukkan bahwa industri tersebut layak untuk diusahakan karena Nilai Gross Benefit Cost Ratio sebesar 1,06 menunjukkan nilai B/C ratio > 1. Kata Kunci: Kelayakan Usaha, Agroindustri, Kacang Goyang, UD Asli Totabuan Pendahuluan Kacang tanah merupakan salah satu komoditi hasil pertanian yang dapat diolah menjadi berbagai macam penganan. Menurut Wulandari (2008), kacang tanah merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Salah satunya adalah produk kacang goyang yang ada di Kota Kotamobagu. Hal ini menyebabkan Kota Kotamobagu merupakan daerah yang terkenal akan penganan kacang goyang. Kota Kotamobagu mempunyai potensi untuk mengembangkan pengolahan kacang goyang. Hal ini dilihat dari keterampilan secara turun temurun, ketersediaan bahan baku kacang tanah dan pemasaran hasil yang cukup luas. Kacang tanah banyak digemari oleh masyarakat Kota Kotamobagu karena selain dikonsumsi juga digunakan sebagai bahan baku pengolahan kacang goyang, kacang telur, kacang shanghai, dan berbagai macam penganan lainnya. Kacang tanah memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

|7

pendapatan daerah Kota Kotamobagu. Kacang tanah merupakan salah satu sumber pendapatan petani yang diperoleh setiap tahun disamping pendapatan dari tanaman yang lain. Supply chain produk kacang goyang di UD Asli Totabuan akan menentukan produksi usaha tersebut. Menurut Haris dan Utami (2011) bahwa bila terjadi ketidaksinambungan mulai dari penyedia bahan baku hingga produksi, akan menyebabkan terganggunya kelancaran usaha tersebut. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi supply chain pada pengolahan kacang goyang di UD Asli Totabuan. Kacang goyang yang dihasilkan oleh UD Asli Totabuan, Kota Kotamobagu memiliki prospek yang sangat baik karena kacang goyang banyak dikenal oleh masyarakat, terutama masyarakat Kota Kotamobagu. Permintaan kacang goyang di pasar cukup tinggi karena selain harga yang terjangkau, rasanya juga enak dan gurih serta kemasan yang menarik. Kacang goyang UD Asli Totabuan dipasarkan di beberapa toko swalayan di Kotamobagu, Manado, Gorontalo, dan Ternate. Kota Kotamobagu terdapat beberapa industri yang mengolah kacang tanah menjadi kacang goyang dan memasarkan pada daerah yang sama. Hal ini yang menyebabkan terjadinya persaingan bisnis yang ketat. Adanya persaingan bisnis yang ketat, maka industri yang mempunyai kemampuan lebih dapat bertahan dan industri yang lemah akan tersisih. Karena itu semua industri yang memproduksi kacang goyang diharapkan mampu bertahan dan berkembang dalam pasar persaingan yang ketat. Industri pada umumnya dapat bertahan dan berkembang apabila didukung dengan modal yang cukup. Terdapat empat faktor yang dapat menunjang pengembangan agroindustri suatu komoditas yang kuat yaitu bahan baku, pasar, permodalan, dan tekonologi (Indrawanto, 2008). Permasalahannya walaupun produksi tanaman kacang tanah setiap tahunnya cenderung meningkat, tetapi kebutuhan bagi industri kacang goyang sering tidak mencukupi. Hal ini disebabkan karena di Kota Kotamobagu terdapat beberapa industri kacang goyang. Upaya yang dilakukan oleh UD Asli Totabuan dalam mencukupi kebutuhan bahan baku agroindustri kacang goyang adalah pengusaha melakukan impor bahan baku dari daerah lain. Kendala produksi kacang tanah secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi kendala biofisik, teknis, sosial, ekonomi, dan kebijakan (Sudaryono, 2009). Apabila pengusaha memperoleh bahan baku dari luar daerah Kota Kotamobagu maka pengusaha akan menanggung biaya transportasi. Hal ini dapat menyebabkan harga input semakin mahal sehingga penerimaan pengusaha dapat semakin berkurang. Berdasarkan latar Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

8 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

belakang dan pemikiran tersebut maka telah dilakukan penelitian tentang kelayakan finansial agroindustri kacang goyang di Kota Kotamobagu khususnya pada UD Asli Totabuan. Metode Penelitian Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus pada salah satu industri kacang goyang UD Asli Totabuan. Pengumpulan data meliputi data primer yang diperoleh melalui wawancara langsung kepada pemilik dan karyawan UD Asli Totabuan, dan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kota Kotamobagu. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis keuntungan dan analisis kelayakan usaha yang terdiri dari NPV, IRR dan Gross Benefit Cost Ratio (R/C Ratio). Hasil dan Pembahasan Supply Chain (Rantai Pasokan) Kacang Goyang UD Asli Totabuan Konfigurasi rantai pasokan pada industri kacang goyang UD Asli Totabuan yang melibatkan pihak-pihak yang termasuk dalam rantai pasokan, diantaranya: 1. Petani kacang tanah di Gorontalo 2. Distributor gula di Kotamobagu 3. Distributor Coklat bubuk di Kotamobagu 4. Pabrik Kacang Goyang di UD Asli Totabuan Kotamobagu 5. Supermarket: - untuk area Kotamobagu: Toko Dragon, dan Abdi Karya - untuk area Manado: Supermarket Gelael, Golden, Multimart, dan Toko Paniki Jaya - untuk area Amurang - untuk area Gorontalo: Karsa Utama, Toko Makro - untuk area Ternate. Besarnya keuntungan yang diperoleh UD Asli Totabuan dianalisis dengan menggunakan analisis keuntungan. Keuntungan yang diperoleh pemilik usaha pada produksi kacang goyang adalah sebesar Rp. 42.354.825 pada tahun 2015. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh UD Asli Totabuan dalam

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

|9

memproduksi kacang goyang dari tahun 2003 sampai tahun tahun 2015 berfluktuasi karena tingginya biaya variabel yang dikeluarkan, sedangkan kenaikan harga jualnya relatif kecil. Perhitungan Kriteria Penilaian Investasi Perhitungan kriteria penilaian investasi pada UD Asli Totabuan untuk produksi kacang goyang menggunakan metode penilaian yaitu: Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Gross Benefit-Cost Ratio (gross B/C). 1. Net Present Value (NPV) Apabila hasil perhitungan Net Present Value (NPV) menunjukkan nilai positif, maka investasi tersebut diterima dan sebaliknya jika menunjukkan hasil yang negatif maka investasi tersebut ditolak. Hasil perhitungan NPV untuk produk kacang goyang 84.157.170,08. Hasil perhitungan NPV menunjukkan angka yang positif yaitu sebesar 84,1 juta rupiah artinya produksi pengolahan kacang goyang UD Asli Totabuan Kecamatan Kotamobagu Selatan layak untuk diusahakan dan dikembangkan. 2. Internal Rate of Return (IRR) Perhitungan IRR dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui tingkat bunga yang dijadikan nilai sekarang dari cash flow yang diharapkan diterima sama dengan nilai sekarang dari pengeluaran modal awal atau NPV mendekati nol. Mendapatkan nilai Internal Rate of Return (IRR) tidak ditemukan secara langsung dan harus dicari dengan coba-coba. Menggunakan discount factor 12% nilai NPV sebesar 84.157.170,08 dan discount factor 36% nilai NPV sebesar -13.520.912,02 sehingga nilai IRR yang diperoleh sebesar 32,68%. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa IRR lebih besar dari bunga bank yang sebesar 12%. Produksi kacang goyang UD Asli Totabuan di Kecamatan Kotamobagu Selatan layak untuk dikembangkan. 3. Gross Benefit- Cost Ratio (gross B/C Ratio) Gross B/C merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya yang diperoleh dari nilai total sekarang total biaya. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai gross benefitcost ratio (gross B/C) sebesar Rp 1,0583 dengan demikian pemilik usaha kacang goyang akan memperoleh keuntungan atau benefit sebesar 1,06 kali dari modal yang diinvestasikan, sehingga produksi kacang goyang UD Asli Totabuan Kota Kotamobagu layak untuk dikembangkan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

10 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Kesimpulan Kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: 1. Kebutuhan bahan baku (kacang tanah, gula pasir, dan coklat) tersedia secara kontinu karena dapat terpenuhi setiap memproduksi kacang goyang. 2. Industri kacang goyang UD Asli Totabuan Kota Kotamobagu mempunyai prospek yang baik dan menguntungkan. Secara finansial, menunjukkan bahwa investasi pada industri tersebut layak untuk diusahakan. Daftar Pustaka Haris, A., Hidayat, R. dan Utami, I. D. 2011. Fleksibilitas Supply Chain Dengan Pendekatan Pujawan Framework. Diakses 11 Januari 2012. Indrawanto, C. 2008. Penentuan Pola Pengembangan Agroindustri Jambu Mete. Jurnal Litri Vol 14 No 2. Juni 2008. P 78-86. Sudaryono. 2009. Kontribusi Ilmu Tanah Dalam Mendorong Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian 2 (4). p. 258-282. Wulandari, W. D., Supardi, S. dan Rahayu, W. 2008. Analisis Usaha Kacang Sangrai di Kabupaten Klaten, Mediagro Vol, 4 No. 2. p. 51-61.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 11

IDENTIFIKASI MANFAAT DAN KENDALA USAHATANI PADI SAWAH PADA PETANI DI KECAMATAN PAMONA PUSELEMBA KABUPATEN POSO MARIANNE REYNELDA MAMONDOL Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Email: [email protected] ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan (2) mengidentifikasi berbagai manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso. Data dikumpulkan melalui survey dengan menggunakan kuisioner dan wawancara pada subyek peneltian. Sebanyak 100 petani padi sawah diambil sebagai subyek penelitian melalui teknik sampling acak sederhana. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Secara umum, usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba merupakan usahatani berskala kecil (< 0,5 ha), jenis pengairan tadah hujan, dominan dengan penggunaan input agrokimia, rata-rata produksi beras 2,39 ton/ha/musim tanam, dan intensitas penanaman 2 kali setahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 manfaat utama usahatani padi sawah, yaitu untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga petani (77 % responden), sebagai sumber dana untuk membiayai pendidikan anak (32 % responden), dan sebagai sumber pendapatan keluarga (21 % responden). Adapun kendala-kendala utama yang dihadapi petani dalam usahatani padi sawah ialah masalah pengairan/irigasi (54 % responden), serangan hama dan penyakit tanaman (42 % responden), cuaca yang sulit diprediksi (28 % responden), ketersediaan traktor untuk mengolah tanah (26 % responden), dan ketersediaan modal (26 % responden). Kata Kunci: Manfaat, Kendala, Usahatani Padi Sawah Pendahuluan Beras merupakan komoditas strategis dengan sensitivitas politik, ekonomi, dan sosial yang tinggi karena merupakan bahan makanan pokok bagi sekitar 95 % rakyat Indonesia (Nazam et al, 2011). Ketergantungan penduduk yang begitu besar pada beras menyebabkan apabila terjadi sedikit gangguan terhadap produksi beras akan menimbulkan gangguan pada pasokan beras sehingga mengakibatkan lonjakan harga beras di pasaran. Bagi Kabupaten Poso, usahatani padi sawah merupakan aktivitas pertanian rakyat yang dominan dilakukan oleh masyarakat petani. Hingga tahun 2015, usahatani padi sawah menyerap 50,03 % angkatan kerja dengan produksi beras rata-rata sebesar 4,65 ton/ha/tahun. Potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Poso, secara khusus Kecamatan Pamona Puselemba untuk pengembangan usahatani padi sawah meliputi beberapa faktor, yaitu: 1) ketersediaan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

12 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

sumberdaya manusia petani sebagai pelaku usahatani, 2) ketersediaan lahan, 3) ketersediaan sumber air untuk pengairan, dan 4) ketersediaan akses penyaluran hasil usahatani dari wilayah penghasil ke konsumen. Bagi petani selaku produsen beras, usahatani padi sawah telah menjadi bagian kehidupan yang memberikan banyak manfaat, di antaranya sebagai penyangga ketahanan pangan keluarga dan sumber pendapatan rumah tangga (Damayanti, 2013). Di sisi lain, terdapat beberapa kendala yang dapat menjadi faktor pembatas usahatani padi sawah, di antaranya masalah-masalah teknis seperti pengairan (Lamusa, 2010), organisme pengganggu tanaman (Ruskandar, 2010), dan penerapan teknologi (Rangkuti, 2009), maupun masalah permodalan dan ketersediaan sarana produksi (Lumintang, 2013). Petani sebagai pelaku usahatani yang telah memiliki pengalaman berusahatani memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi atau mengenali manfaat yang diperoleh dan kendala yang dihadapi dalam usahatani padi sawah yang dikelolanya. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) memberikan gambaran umum tentang usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, dan 2) mengidentifikasi berbagai manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso. Identifikasi terhadap manfaat dan kendala ini dijadikan sebagai dasar pemikiran tentang langkah-langkah kebijakan yang dapat ditempuh untuk penanganan berbagai permasalahan usahatani padi sawah di tingkat petani. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso pada bulan Januari hingga Maret 2017. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan jumlah petani padi sawah yang mencapai 80 % dari total jumlah petani yang ada (BPS Poso, 2015). Sebanyak 5 sampel desa/kelurahan diambil secara acak di antara 10 desa/kelurahan yang terdapat di Kecamatan Pamona Puselemba, yaitu Kelurahan Pamona, Desa Buyumpondoli, Desa Soe, Desa Mayakeli, dan Desa Tonusu. Dari setiap desa dilakukan pengambilan sampel responden penelitian masing-masing sebanyak 20 petani padi sawah dengan teknik sampling acak sederhana, sehingga diperoleh 100 sampel responden secara keseluruhan.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan wawancara, sedangkan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso diperoleh melalui studi Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 13

pustaka. Responden diminta untuk melakukan identifikasi secara lengkap mengenai manfaat dan kendala usahatani padi sawah.

Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan

gambaran umum mengenai usahatani padi sawah, sedangkan distribusi frekuensi relatif digunakan untuk mengkaji manfaat dan kendala usahatani berdasarkan pernyataan responden penelitian. Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah Tabel 1. Gambaran Umum Usahatani Padi Sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso Tahun 2017. No. Komponen Persentase (%) 1.

Luas tanam

a. < 0,5 ha : 66 % b. 0,5 – 1,00 ha : 27 % c. > 1,00 ha : 7 %

2.

Status lahan

a. Milik sendiri : 93 % b. Sewa : 3 % c. Sakap : 4 %

3.

Tipe pengairan sawah

a. Tadah hujan : 63 % b. Irigasi semi teknis : 7 % c. Irigasi teknis : 30 %

4.

Penggunaan input (pupuk, pestisida)

a. Anorganik : 80 % b. Organik : 20 %

5.

Rata-rata produksi beras

2,39 ton/ha/musim tanam

6.

Intensitas penanaman dalam setahun

a. 2 kali : 81 % b. 3 kali : 19 %

Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.

Berdasarkan tabel diketahui bahwa usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba pada umumnya memiliki luas tanam < 0,5 ha (66 % responden), status lahan milik sendiri (93 % responden), dan tipe pengairan tadah hujan (63 % responden). Penggunaan pupuk dan pestisida anorganik dipraktikkan oleh 80 % responden, sedangkan pupuk dan pestisida organik digunakan oleh 20 % responden, yaitu petani yang menerapkan metode tanam System of Rice Intensification (SRI). Rata-rata produksi beras ialah sebesar 2,39 ton/ha/musim tanam, lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata produksi beras Kabupaten Poso sebesar 2,33 ton/ha/musim tanam. Intensitas penanaman umumnya 2 kali setahun (81 % responden), terutama pada tipe pengairan tadah hujan. Intensitas penanaman Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

14 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

sebanyak 3 kali setahun hanya dapat dilaksanakan pada areal persawahan dengan irigasi teknis yang terdapat di Desa Tonusu. 2. Manfaat dan Kendala Usahatani Padi Sawah Pada penelitian ini responden diminta untuk menyebutkan selengkapnya manfaat dan kendala usahatani padi sawah, sehingga pada umumnya responden memberikan lebih dari satu jawaban. Manfaat usahatani padi sawah berdasarkan jawaban responden diperlihatkan pada Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Manfaat Usahatani Padi Sawah pada Petani di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, Tahun 2017. No. Manfaat Usahatani Padi Sawah Persentase (%) 1.

Pemenuhan kebutuhan beras keluarga

77

2.

Sumber dana untuk biaya pendidikan anak

32

3.

Sumber pendapatan keluarga

21

4.

Penyedia lapangan pekerjaan

7

5.

Sumber perolehan modal usahatani

3

6.

Warisan leluhur

2

7.

Sumber dana untuk investasi keluarga

1

8.

Sumber pengetahuan tentang cara berusahatani

1

Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.

Tabel 2 memperlihatkan bahwa terdapat 3 manfaat utama usahatani padi sawah, yaitu untuk memenuhi kebutuhan beras keluarga (77 % responden), sebagai sumber dana untuk membiayai pendidikan anak (32 % responden), dan sebagai sumber pendapatan keluarga (21 % responden). Pemenuhan kebutuhan beras keluarga terkait dengan upaya petani menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan keluarga, karena dengan menanam padi petani tidak perlu lagi membeli beras untuk kebutuhan makan sehari-hari. Ketahanan pangan menurut FAO dalam Hanafie (2010) adalah situasi di mana semua rumah tangga mempunyai akses secara fisik dan ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan rumah tangga tidak berisiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut.

Dengan demikian, melalui usahatani padi sawah yang dilakukannya petani

berupaya untuk menciptakan akses perolehan beras sebagai bahan pangan keluarga. Usahatani padi sawah juga bermanfaat sebagai sumber dana untuk biaya pendidikan anak-anak dalam keluarga petani. Ini merupakan manfaat yang spesifik dari manfaat yang Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 15

sifatnya lebih umum, yaitu sebagai sumber pendapatan keluarga. Usahatani padi sawah yang dikerjakan petani memiliki orientasi pemenuhan kebutuhan pasar, dan beras yang terjual digunakan petani sebagai pendapatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan (Roidah, 2015), termasuk di antaranya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Petani menjadi termotivasi untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksi dengan harapan agar pada saat panen diperoleh hasil penjualan yang tinggi sehingga pendapatan petani pun mengalami peningkatan. Kendala usahatani padi sawah berdasarkan jawaban responden diperlihatkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kendala Usahatani Padi Sawah pada Petani di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso, Tahun 2017. No. Kendala Usahatani Padi Sawah Persentase (%) 1.

Pengairan

54

2.

Serangan hama dan penyakit

42

3.

Cuaca yang sulit diprediksi

28

4.

Ketersediaan peralatan mesin pengolah tanah (traktor)

26

5.

Ketersediaan modal

26

6.

Ketersediaan pupuk anorganik

11

7.

Kegagalan panen

7

8.

Ketersediaan pestisida anorganik

5

9.

Ketersediaan tenaga kerja

3

10.

Pengetahuan teknis usahatani

2

11.

Ketersediaan benih unggul

1

Sumber: Data Primer Setelah diolah, 2017.

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa masalah pengairan merupakan kendala yang paling banyak dihadapi petani dalam berusahatani padi sawah. Pengairan merupakan faktor teknis yang turut menentukan keberhasilan usahatani padi sawah, terutama terkait dengan kebutuhan air untuk menggenangi tanaman padi pada fase-fase tertentu (Mahananto et al, 2009), yaitu pada awal pertumbuhan, pembentukan anakan, masa bunting, dan pembungaan (Anugrah et al, 2008). Sebagian besar lahan sawah di lokasi penelitian merupakan sawah tadah hujan yang ketersediaan airnya sangat bergantung pada curah hujan. Kemarau yang berkepanjangan merupakan ancaman bagi produksi, bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

16 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Serangan hama dan penyakit tanaman juga menjadi faktor pembatas produksi padi sawah, karena dapat mengurangi kuantitas maupun kualitas beras yang dihasilkan. Hama yang paling banyak menyerang tanaman padi ialah tikus, keong, wereng, dan walang sangit, sedangkan penyakit tanaman padi yang sering dihadapi petani ialah penyakit bercak coklat dan blast yang disebabkan oleh cendawan serta penyakit tungro yang disebabkan oleh virus. Untuk pengendalian atau pemberantasan hama dan penyakit umumnya petani menggunakan pestisida anorganik, sedangkan pestisida organik digunakan oleh petani yang menerapkan metode tanam SRI. Kadang terjadi kelangkaan sarana produksi pestisida anorganik di pasaran, di samping kurangnya pengetahuan petani mengenai dosis anjuran penggunaan pestisida anorganik. Cuaca yang sulit diprediksi, terutama karena keterbatasan teknologi dan akses informasi ramalan cuaca, menyebabkan petani sering tidak dapat menentukan waktu yang tepat untuk memulai aktivitas usahatani padi sawah. Pemanasan global (global warming) berdampak pada perubahan iklim (climate change) yang menyebabkan pergeseran pola musim penghujan dan kemarau, di mana petani tidak akan melakukan penanaman padi sepanjang kebutuhan air belum mencukupi melalui curah hujan (Suharyanto et al, 2013). Hal ini terutama berlaku pada petani yang areal sawahnya memiliki pengairan tadah hujan. Pada sawah beririgasi teknis dengan sumber air berupa sungai yang debit airnya relatif konstan sepanjang tahun, petani lebih leluasa menentukan jadwal penanaman padi karena ketersediaan air yang mencukupi. Cuaca yang tidak menentu juga mempengaruhi panen dan penanganan gabah pasca panen, terutama bila kedua proses ini berlangsung pada saat musim penghujan (Kaparang, 2015). Belum tersedianya alternatif teknologi pengeringan gabah selain penjemuran di bawah sinar matahari berpotensi menyebabkan penurunan kualitas gabah yang dihasilkan. Kendala lainnya yang dihadapi petani ialah modal, baik modal dalam bentuk uang tunai maupun peralatan usahatani. Modal ialah faktor yang sangat diperlukan dalam kelancaran operasi usahatani, dan keterbatasan modal dapat menghambat petani dalam menggerakkan usahataninya (Andri, 2014). Sebagian besar petani mengalami kesulitan memperoleh uang tunai, terutama untuk memulaikan usahataninya. Bahkan kebanyakan petani telah terlebih dahulu menggadaikan hasil produksinya pada pelepas uang sebelum melakukan penanaman guna memperoleh uang tunai sebagai modal usahatani. Akibatnya pada saat panen, penghasilan yang diperoleh sebagian digunakan untuk menutupi utang atau Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 17

pinjamannya. Demikian pula ketersediaan peralatan mesin berupa traktor tangan (hand tractor) yang terbatas menyebabkan petani harus bergiliran untuk menggunakan traktor dalam pengolahan tanah.

Kesempatan ini digunakan oleh pemilik peralatan untuk

menetapkan tarif penggunaan mesin dalam jumlah yang besar yang menyebabkan biaya sewa traktor oleh petani menjadi mahal. 3. Beberapa Langkah Kebijakan untuk Penanganan Masalah Usahatani Padi Sawah Berdasarkan uraian manfaat dan kendala usahatani padi sawah pada petani di Kecamatan Pamona Puselemba, terdapat beberapa langkah kebijakan yang dapat direkomendasikan secara khusus kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Poso dan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya terkait penanganan permasalahan usahatani padi sawah. Langkah-langkah kebijakan tersebut ialah sebagai berikut: 1) Perbaikan sarana irigasi di Kecamatan Pamona Puselemba. Di wilayah Kecamatan Pamona Puselemba sebenarnya terdapat beberapa check dam yang sebenarnya dapat berfungsi memenuhi kebutuhan air bagi persawahan petani, hanya saja kondisinya tidak terawat dengan baik. Perbaikan dan pemeliharaan sarana irigasi dapat menjawab permasalahan pengairan, sehingga produktivitas lahan sawah dan tanaman padi dapat ditingkatkan. 2) Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani mengenai teknik budidaya tanaman padi. Upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) petani bertujuan untuk penguasaan dan penerapan teknologi, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kuanititas dan kualitas hasil produksi (Wangke et al, 2011).

Untuk menunjang

kemampuan dan keterampilan para petani dalam penguasaan dan penerapan teknik budidaya tanaman padi, petani perlu diberikan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus mengenai budidaya pertanian. Pihak-pihak yang dapat memberikan pelatihan ialah Dinas Pertanian Kabupaten Poso, perguruan tinggi, dan atau Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) Kabupaten. 3) Penguatan organisasi/kelembagaan petani. Selain kualitas SDM, organisasi/kelembagaan petani juga berperan membantu keberhasilan pengembangan usahatani. Keberadaan kelembagaan (organisasi) tersebut dapat mempermudah petani untuk melakukan akses kepada berbagai pihak yang terkait untuk memasarkan hasil produksinya, memperoleh bantuan pendanaan, pengadaan bibit, dan akses-akses lainnya.

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang mewadahi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

18 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

kelompok-kelompok tani yang ada di setiap desa dapat mempengaruhi aksesibilitas petani terhadap pemasaran, permodalan, pembelian sarana produksi, pengendalian hama dan penyakit tanaman, serta pembibitan. 4) Pendirian Koperasi Unit Desa (KUD). Koperasi Unit Desa (KUD) sebenarnya terdapat di setiap desa, hanya saja tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik terutama disebabkan permasalahan finansial dan manajemen. KUD dapat difungsikan sebagai penampung dan penyalur hasil-hasil produksi petani, di samping sebagai penyedia modal uang tunai, sarana produksi (pupuk, pestisida, bibit), dan peralatan mesin dengan harga yang terjangkau oleh petani. 5) Peningkatan peran perguruan tinggi dalam diseminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Perguruan tinggi merupakan lembaga yang berperan melakukan riset atau kajian-kajian teknis dan sosial ekonomi terkait permasalahan yang dihadapi petani, dan kemudian mendiseminasikan hasil riset kepada petani sebagai wujud pelaksanaan dharma pengabdian kepada masyarakat. Informasi mengenai teknik pemupukan, pengendalian hama penyakit, pengelolaan air, penanganan pasca panen, dan agribisnis, termasuk isu mengenai penerapan metode tanam SRI yang efisien dalam penggunaan air dan budidaya padi sawah organik sangat dibutuhkan petani dalam pengembangan usahataninya. Kesimpulan Usahatani padi sawah di Kecamatan Pamona Puselemba Kabupaten Poso bermanfaat dalam menunjang ketahanan dan kemandirian pangan serta pendapatan keluarga petani. Hanya saja kendala-kendala teknis, faktor alam, dan permodalan berisiko terhadap penurunan dan kegagalan produksi sehingga merupakan ancaman terhadap usaha-usaha pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Diperlukan langkah-langkah penanganan permasalahan yang terintegrasi antara pemerintah daerah, dunia usaha, dan perguruan tinggi guna menjamin pengembangan dan keberlanjutan aktivitas usahatani. Daftar Pustaka Andri, K.B., 2014. Profil dan Karakter Sosial Ekonomi Petani Tanaman Pangan di Bojonegoro. Jurnal Agroekonomika. 3 (1): 167 – 179. Anugrah, I.S., Sumedi, dan I.P. Wardana, 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. 6 (1): 75 – 99.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 19

BPS Poso, 2015. Kabupaten Poso dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. Poso. _________, 2015. Kecamatan Pamona Puselemba dalam Angka 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Poso. Poso. Damayanti, L., 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi, Pendapatan dan Kesempatan Kerja pada Usahatani Padi Sawah di Daerah Irigasi Parigi Moutong. Jurnal SEPA. 9 (2): 249 – 259. Hanafie, R., 2010. Pengantar Ekonomi Pertanian. Edisi 1. Penerbit Andi. Yogyakarta. Kaparang, G., 2015. Kajian Usahatani Padi Sawah di Kelurahan Taratara Satu Kota Tomohon. Jurnal Cocos. 6 (1): 1 – 12. Lamusa, A., 2010. Risiko Usahatani Padi Sawah Rumah Tangga di Daerah Impenso Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Agroland. 17 (3): 226 – 232. Lumintang, F.M., 2013. Analisis Pendapatan Petani di Desa Teep Kecamatan Langowan Timur. Jurnal EMBA. 1 (3): 991 – 996. Mahananto, S. Sutrisno, dan C.F. Ananda, 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi: Studi Kasus di Kecamatan Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah. Jurnal Wacana. 12 (1): 179 – 191. Nazam, M., S. Sabiham, B. Pramudya, Widiatmaka, dan I.W. Rusastra, 2011. Penetapan Luas Lahan Optimum Usahatani Padi Sawah Mendukung Kemandirian Pangan Berkelanjutan di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 29 (2): 113 – 142. Rangkuti, P.A., 2009. Analisis Peran Jaringan Komunikasi Petani dalam Adopsi Inovasi Traktor Tangan di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi. 27 (1): 45 – 60. Roidah, I.S., 2015. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Musim Hujan dan Musim Kemarau (Studi Kasus di Desa Sopatan Kecamatan Gondang Kabupaten Tulungagung). Jurnal Agribisnis Fakultas Pertanian Unita. 11 (13): 45 – 55. Ruskandar, A., 2010. Persepsi Petani dan Identifikasi Faktor Penentu Pengembangan dan Adopsi Varietas Padi Hibrida. Jurnal Iptek Tanaman Pangan. 5 (2): 113 – 125. Suharyanto, J.H. Mulyo, D.H. Darwanto, dan S. Widodo, 2013. Analisis Efisiensi Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Provinsi Bali. Jurnal SEPA. 9 (2): 219 – 230. Wangke, W.M., B.O.L. Suzana, dan H.A. Siagian, 2011. Penerapan Teknologi Usahatani di Desa Sendangan Kecamatan Kakas Kabupaten Minahasa. Jurnal Agri Sosial Ekonomi. 7 (1): 53 – 57.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

20 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

MENINGKATKAN AKSES PANGAN DAN SUMBERDAYA MANUSIA MELALUI PERAN KELEMBAGAAN TANI PUTU ARIMBAWA*1, NUR RAHMAH1) DAN MUHAMMAD ASWAR LIMI1) 1)

Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari * Email: [email protected] ABSTRACT

The existence of a farmer institution is expected to play a role in meeting community or farmers’ need for food. However, since every region has different conditions, it is essential to conduct a study of a sustainable farmer institution on food access and human resource (HR). Farmers must have the ability to produce food and have a strategy to overcome any food shortage in their region. The objectives of the current study to analyze the role of agricultural institutions in improving farmers’ access to food and human resources for food. The study was conducted in the Village of Peoho, District of Watubangga, Regency of Kolaka, Southeast Sulawesi, Indonesia. The assumption used in this study wasthat the existence of farmer institution in every region determined people access to food. Samples were chosen with the simple random sampling method. The data were analyzed quantitatively and qualitatively. Our results showed that the institutions that played a role in meeting access to food were village authority, kiosks/warungs, families and neighbors, while institutions playing a role in improving human resources were farmers’ groups, agricultural extensions, family and neighbors. Kata Kunci: Food Access, Human Resources, Institutional Pendahuluan Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari tahun ke tahun sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS, 2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta. Ketersediaan lahan menjadi pengaruh langsung dari pertumbuhan penduduk. Sehingga semakin banyaknya penduduk menyebabkan sempitnya lahan pertanian yang dapat dikelola oleh petani. Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009), kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita adalah (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena laju perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit dikendalikan, dan degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegkan dalam pertumbuhan produktivitas. Kondisi tersebut dapat dilihat dari data semakin banyaknya petani gurem di Indonesia. Saat ini rataSeminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 21

rata petani di Indonesia mempunyai lahan seluas 0,36 ha dan sebanyak 49% petani Indonesia adalah buruh tani (Zulfahrizal, 2012). Kondisi tersebut berdampak pada terjadinya migrasi tenaga kerja sektor pertanian ke sektor non pertanian. Jumlah pekerja pertanian saat ini terus menurun setiap tahunnya. Siapa kelak yang menjadi petani di daerah tersebut kalau petani muda kurang dari 30 tahun relative sedikit? Untuk itu, perbaikan SDM pangan melalui jenjang pendidikan perguruan tinggi sangat penting. Yang perlu diperhatikan bagaimana memberdayakan para alumni pertanian untuk dapat berperan dalam mewujudkan kemandirian pangan (Arif, 2012). Menurut Darsono (2012) usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional terkendala dengan permasalahan yaitu: (1) mengecilnya skala usaha karena perpecahan atau perpencaran (fragmentasi) dan (2) alih fungsi lahan pertanian. Lahan yang tidak diusahakan meningkat. Ahmad Suryana (2005) menyatakan bahwa kendala dan tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional antara lain adalah: (1) berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian, (2) teknologi produksi menggunakan benih unggul dan pupuk kimia secara intensif, juga berdampak pada merosotnya kualitas dan kesuburan tanah, (3) kebijakan pengembangan komoditas pertanian yang berfokus pada beras yang telah mengabaikan potensi sumber pangan karbohidrat lainnya, (4 ) teknologi pasca panen belum diterapkan dengan baik, (5) belum memadainya prasarana dan sarana transportasi, (6) ketidakstabilan harga dan rendahnya efisiensi sistem pemasaran hasil hasil pangan, (7) khusus beras perannya sangan sentral sehingga pemerintah sangat memperhatikan kestabilan produk maupun harga, (8) terbatasnya kemampuan kelembagaan produksi petani karena terbatasnya dukungan teknologi tepat guna, akses kepada sarana produksi serta kemampuan pemasarannya, dan (9) terbatasnya kelembagaan yang menyediakan permodalan bagi usahatani di pedesaan. Revitalisasi kelembagaan memerlukan strategi yang luwes dan mampu memahami elemen-elemen kelembagaan formal dan non formal. Penguatan kelembagaan lokal mengarah pada pencapaian dampak positif sejalan dengan pembangunan daerah setempat. Adapun komponen revitalisasi kelembagaan meliputi: partisipasi masyarakat, dampak yang jelas yang akan dicapai dan sistem pendukung (Suradisastra, 2006). Dalam hal pemenuhan lahan bagi petani, pembagian lahan pertanian untuk petani tidak otomatis akan membuat petani mampu meningkatkan pendapatannya sehingga dapat keluar dari kemiskinannya. Perbaikan akses pada pasar adalah hal penting yang dibutuhkan petani untuk meningkatkan pendapatannya. Disamping itu dalam era persaingan pasar bebas, petani harus melakukan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

22 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

kerjasama tidak bekerja sendiri-sendiri dalam melayani persaingan pasar. Petani bekerjasama melalui wadah kelembagaan bisnis yang dikenal dengan marketing cooperative. Melalui lembaga kerjasama ini para petani di Negara maju mengembangkan strategi bersaing global secara kolektif dan menciptakan serta mengembangkan segmen pasarnya. Pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi para petani untuk membangun kerjasama antar petani. Kerjasama membutuhkan wadah kelembagaan. Hasil penelitian P. Arimbawa, dkk (2014) tentang optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan untuk usahatani jagung dan kacang tanah oleh petani belum optimal. Untuk mencapai optimal agar petani memperoleh pendapatan yang baik petani lebih baik menggusahakan tanaman kacang tanah saja dari pada jagung dengan minimal luas penggunaan sumberdaya lahan seluas 0,249 Ha. Permasalahan yang dihadapi petani dalam memperoleh pangan saat ini adalah keterbatasan akses petani dalam pemenuhan faktor produksi dan pemasaran produk pangan yang dihasilkan dan keterbatasan kemampuan sumberdaya lahan dan modal yang dimiliki serta tidak adanya kelembagaan petani yang secara nyata membantu petani didalam melakukan penanganan terhadap kecukupan pangan di daerah. Kecenderungan petani bekerja sendiri-sendiri dengan keterbatasan sumberdaya manusia dan sumberdaya modal lainnya dalam pemenuhan pangan keluarga. Kondisi tersebut menyebabkan posisi tawar petani (bargaining position) sangat lemah. Lemahnya posisi tawar petani sangat rentan akan krisis pangan yang akan dialaminya mengingat sumberdaya manusia petani kecenderungan sudah mulai kurang produktif sementara generasi muda petani cenderung beralih bekerja ke sektor non pertanian yang juga untuk memperoleh nafkah di luar sektor pertanian juga tidaklah mudah. Untuk itu diharapkan keberadaan kelembagaan petani dapat membantu petani dalam pemenuhan pangan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam pemenuhan pangan diwilayahnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis peran lembaga pertanian dalam meningkatkan akses petani terhadap pangan dan peningkatan sumber daya manusia dalam mendukung pemenuhan pangan di wilayahnya. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian survei. Objek penelitian ini adalah rumah tangga petani (RTP) yang ada di dua desa sampel. Masing-masing desa akan akan diambil sebanyak 10% RTP secara acak. Masing-masing RTP akan dilakukan survey dengan menggunakan kuesioner yang sudah disiapkan. Analisis data menggunakan analisis kuantitatif dan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 23

kualitatif. Analisis kuantitatif dimaksudkan dapat mengungkap data dalam bentuk skala pengukuran tertentu dan menggunakan statistik inferensial, sehingga dapat menyimpulkan dan membuat generalisasi pola interrelasi faktor fisik dan non fisik pola ketahanan pangan keluarga tani (RTP).

Analisis

kualitatif digunakan sebagai komplemen dari analisis

kuantitatif sehingga lebih mendalam mengungkap informasi yang penting. Dalam penelitian ini analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis strategi petani/RTP dalam mengakses pangan keluarga dan peran kelembagaan tani dalam membantu RTP dalam akses pangan. Hasil dan Pembahasan Identitas Responden Identitas responden yang termasuk dalam penelitian ini meliputi: umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan rumah tangga petani, pengalaman berusahatani, jumlah anggota keluarga dan luas lahan usahatani. Umur merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam beraktivitas, baik berupa kegiatan fisik maupun non fisik. Kemampuan kerja seorang petani akan bertambah sampai pada tingkat umur tertentu, kemudian akan menurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 32 orang atau 61,54% responden tergolong dalam kategori usia produktif yaitu antara usia 26 - 54 tahun. Sedangkan sebanyak 20 orang (38,46%) responden tergolong dalam kategori kurang produktif (> 54 tahun). Tingkat pendidikan akan mempengaruhi perilaku dan kemampuan seseorang dalam penyerapan informasi yang berkaitan dengan usahataninya. Sebagian besar petani responden yaitu sebanyak 24 orang (46,16%) tamat sekolah dasar, dan yang tidak pernah mengikuti sekolah formal sama sekali atau tidak tamat SD yaitu sebanyak 12 orang (23,08%). Sedangkan responden yang tamat SMP dan SMA masing-masing sebanyak 8 orang (15,38%). Kondisi tingkat pendidikan formal responden sebagian besar masih kategori tingkat pendidikan rendah. Faktor yang mendukung pendapatan petani adalah jenis pekerjaan. Berdasarkan hasil penelitian dari keseluruhan jumlah responden, dalam hal ini kepala keluarga yang ada di Desa Peoho, semuanya bekerja sebagai petani. Para responden memanfaatkan lahan usahataninya sebagai sumber pendapatan. Sedangkan jenis pekerjaan anak maupun istri sebagian besar mengikuti pekerjaan suami atau orang tuanya sebagai petani. Ada sebagian dari responden yang anak maupun istri mereka bekerja membuka usaha/wirausaha dan bekerja disektor formal. Sebagian besar istri dari responden bekerja sebagai petani yaitu sebanyak 23 orang (44,23%). Hal ini menunjukkan bahwa selain menjadi ibu rumah tangga Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

24 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

seorang istri juga membantu kepala keluarga dalam kegiatan usahatani untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Selain itu, pendapatan rumah tangga tolak ukur yang sangat penting untuk melihat kesejahteraan petani adalah pandapatan rumah tangga, sebab beberapa aspek dari kesejahteraan tergantung pada tingkat pendapatan petani. Tingkat pendapatan rumah tangga responden antara 1 juta sampai 2 juta per bulan. Pendapatan rumah tangga petani diperoleh dari hasil produksi usahatani yang dimilikinya, dan biasanya diperoleh per musim. Hasil panen dari usahatani yaitu tanaman padi dan tanaman perkebunan inilah yang dijual untuk memenuhi kebutuhan pangan petani. Sebagian responden juga memperoleh pendapatan dari hasil penjualan ternak, dan usaha sampingan dari istri responden. Daya beli masyarakat berhubungan dengan faktor ekonomi. Faktor yang paling banyak mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan masyarakat adalah faktor ekonomi. Faktor ekonomi dapat dilihat dari pendapatan. Pada masyarakat yang tingkat ekonominya tinggi, maka akan dapat memenuhi semua kebutuhan makanan yang diperlukan oleh tubuhnya. Bahkan, mereka dapat membeli makanan yang lebih bervariasi, yang cenderung memiliki protein tinggi dan banyak mengonsumsi makanan dari sumber hewani. Pada masyarakat yang tingkat ekonominya rendah, kebutuhan mereka akan pangan cenderung kurang dari kebutuhan makanan yang seharusnya sehingga pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, pola makan menjadi terbatas dan cenderung makanan yang dikonsumsi sama dan berulang setiap harinya, dalam artian tidak bervariasi (Madanijah dalam Saputri dkk, 2016). Pengalaman berusahatani seorang petani berpengaruh dalam keterampilan mengelola atau memelihara usahataninya. Rata-rata petani Desa Peoho sudah berpengalaman dalam berusahatani, dengan demikian diharapkan petani mampu mengelola usahataninya dengan baik agar kebutuhan akan pangan petani dapat terpenuhi. Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tingkat produktivitas kerja dikaitkan dengan jumlah penggunaan (sumbangan) tenaga kerja terhadap kegiatan produksi usahatani. Jumlah angggota keluarga responden rata-rata 4 orang. Sedangkan rata-rata luas lahan sawah yang dimiliki setiap petani yaitu 0,68 ha. Lahan sawah ini terbagi menjadi dua yaitu petani yang memiliki lahan sawah teririgasi dan petani yang memiliki lahan sawah tadah hujan. Jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman padi. Sedangkan untuk lahan kering rata-rata luas lahan kering yang dimiliki setiap petani adalah 1,83 ha. Jenis tanaman perkebunan yang diusahakan oleh responden adalah tanaman kelapa, sawit, jambu mente, kakao, nilam dan jenis tanaman lainnya. Dengan luas lahan basah (sawah) yang tergolong cukup luas dan lahan kering Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 25

(kebun) yang tergolong luas diharapkan hasil produksi usahatani petani responden dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga. Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan masyarakat memang dominan pada pangan pokok yaitu beras. Beras telah menjadi pangan pokok utama dan pertama, bahkan masyarakat yang semula mempunyai pola pangan pokok bukan beras beralih ke beras. Seperti hasil analisis yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009) yang menggunakan data SUSENAS 2006, pola konsumsi pangan pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah beras dan terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola pangan pokok pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras, kemudian diikuti dengan jagung, ubi kayu, terigu pada kelompok berpendapatan rendah. Sementara itu, untuk hal yang sama, setelah beras diikuti hanya terigu pada kelompok menengah dan kaya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa 87 persen rumah tangga mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok dan hanya 13 persen menkonsumsi bahan makanan selain beras yaitu ubi, jagung dan pisang dengan frekuensi konsumsi pangan tiga kali sehari dengan rata-rata jumlah anggota keluarga responden empat orang. Untuk responden biasanya mengkonsumsi ubi, jagung, dan pisang dilakukan ketika persediaan beras akan habis strateginya adalah pisang atau ubi tersebut dicampur dengan beras untuk dimasak sebagai pemenuhan kebutuhan makan keluarga saat paceklik. Jika dilihat dari variasi menu makanan yang dikonsumsi sebagian besar (56%) rumah tangga mengkonsumsi menu makanan mereka yaitu nasi dengan sayuran, dengan sekali kali ditambah lauk ikan/daging dan buah. Tidak ada rumah tangga responden yang mengkonsumsi susu dalam variasi menu makanan setiap harinya. Untuk pemenuhan lauk pauk, sebagian besar (58%) rumah tangga mengkonsumsi ikan sebagai menumakanannya, dan sebagian lagi dengan mengkonsumsi telur maupun daging. Sedangkan jenis sayur yang paling sering dikonsumsi adalah kacang panjang, daun ubi dan bayam. Ketiga jenis sayuran yang dikonsumsi tersebut merupakan sayuran yang mudah didapat di lokasi tempat tinggal responden sebagai hasil panen sendiri di lahan milik maupun dengan membeli di pasar desa atau pedagang sayur keliling. Untuk jenis buah yang sering dikonsumsi adalah pisang. Pisang merupakan makanan pelengkap menu masyarakat di lokasi penelitian. Hampir semua masyarakat memiliki pisang di lokasi rumah mereka maupun di kebun. Disamping untuk dikonsumsi, keberadaan pisang sangat penting bagi masyarakat dalam pemenuhan upacara-upacara, baik upacara dalam rumah maupun dalam upacara keagamaan. Sebagai informasi, sebagian besar Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

26 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

masyarakat di lokasi penelitian merupakan masyarakat suku Bali yang sangat terkenal dengan adat istiadat budaya berupa banyaknya upacara yang ada pada masyarakat Bali sebagai wujud dari kepercayaan yang dianut. Menurut Saputri dkk (2016) terdapat hubungan yang bermakna antara pola konsumsi pangan dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Demikian juga terdapat hubungan yang bermakna antara variabel luar (jumlah anggota keluarga, akses pangan, pengeluaran keluarga, konsumsi energi, dan konsumsi protein) dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Dalam beberapa kasus terdapat adanya rumah tangga yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka baik karena kekurangan bahan pangan karena ketiadaan uang untuk membeli bahan pangan ataupu karena masa paceklik atau gagal panen. Beberapa upaya yang dapat dilakukan rumah tangga responden di lokasi penelitian adalah dengan menggurangi konsumsi pangan harian ataupun dengan cara pemenuhan pangan dengan meminjam bahan pangan dari keluarga atau tetangga dan kios/warung yang ada di desa mereka. Tabel 1 adalah strategi petani untuk bertahan hidup dalam pemenuhan pangan keluarga. Tabel 1. Cara responden dalam pemenuhan pangan No 1 2 3 4

Cara Pemenuhan Pangan Meminjam sama keluarga Meminjam sama tetangga Meminjam di warung/kios Lainnya (Lebih dari satu pilihan) Jumlah

Jumlah (orang) 6 7 14 25 52

Presentase (%) 11,54 13,46 26,92 48,08 100,00

Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2017

Kepercayaan responden untuk pemenuhan pangan melalui warung/kios yang ada di desa mereka sangat tinggi. Dilihat dari Tabel 1 bahwa banyak responden menjadikan kios/warung sebagai tumpuan hidup mereka di waktu kebutuhan pangan mendesak akibat ketiadaan uang untuk membeli pangan dengan sistem utang atau menunggu musim panen tiba untuk membayar. Adanya kepercayaan antara responden dan pemilik kios pun sebaliknya menjadikan model pemenuhan pangan ini paling banyak dilakukan oleh responden. Disamping itu, sistem pinjam meminjam bahan pangan antara keluarga maupun antar tetangga menjadi pilihan responden dalam pemenuhan pangan di lokasi penelitian.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 27

Peran Kelembagaan Pangan Peran kelembagaan pangan sangat penting dalam menunjang pola konsumsi pangan dari segi kualitas dan kuantitasnya. Pangan yang dikonsumsi diharapkan memiliki kualitas yang meliputi kandungna gizi yang baik dan tercukupi. Untuk menunjang kualitas pangan dan kuantitas pangan, pengembangan pangan lokal dalam bentuk diversifikasi pangan menjadi langkah strategis. Dalam mewujudkan diversifikasi pangan peran kelembagaan pangan nasional maupun lokal perlu ditingkatkan. Untuk Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal perlu dilakukan secara terintegrasi antar sektor. Kondisi tersebut penting dilakukankarena selamaini pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal belum menunjukkan keberhasilan sesuai yang direncanakan, karena tidak disertai adanya proses mentransformasikan keorganisasian usaha ekonomi setempat, program Mapan masih bersifat sektoral, dan belum terlihat adanya keberpihakan politik yang kuat untuk mengatasi kemiskinan dan rawan pangan (Siti dkk, 2009). a.

Peran Kelembagaan dalam Pemenuhan Pangan Jenis kelembagaan yang biasa membantu responden dalam memenuhi kebutuhan

pangan yaitu pemerintah desa/kepala desa, kelompok tani dan kios/toko. Sedangkan jenis kelembagaanpangan yang membantu dalam pemenuhan sarana produksi yaitu kelompok tani, kios/toko yang ada di desa dan kelembagaan keluargadan tetangga. Diantara kelembagaan yang ada tersebut, kelembagaan desa dianggap berperan dalam pemenuhan pangan dalam bentuk pemenuhan beras raskin, kemudian kios/toko dan selajutnya keberadaan kelompok tni dianggap memberikan kontribusi bagi masyarakat atau anggota kelompok dalam pemenuhan pangan. Khusus untuk kios/toko dirasakan perannya dalam pemenuhan kebutuhan pokok maupun pemenuhan sarana produksi yang dibutuhkan responden seperti pupuk, pestisida dan dan benih serta peralatan usahatani seperti alat semprot, parang, dan lainnya. Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut bahwa keberadaan kelembagaan pangan di lokasi penelitian sangat penting dalam menunjang akses pangan bagi masyarakat khususnya dalam hal penyediaan pangan yang mudah diperoleh. Salah satu permasalahan untuk menuju terciptanya ketahanan pangan adalah penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan (Yunastiti, 2008). Salah satu kendala pentinngya peran kelembagaan dalam pemenuhan pangan adalah modal usaha yang dimiliki petani. Berdasarkan hasil penelitian, modal usahatani responden berasal dari pribadi. Modal ini diperoleh dari hasil panen sebelumnya dan akan digunakan untuk kegiatan usahatani berikutnya. Sebagian kecil responden juga menganggap kelompok tani berperan dalam membantu petani dalam Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

28 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

pemenuhan modal usahatani. Kelompok tani memberikan pinjaman modal kepada anggotanya dengan tingkat bunga yang sangat rendah dan waktu pengembaliannya sesuai dengan kesepakatan anggota kelompok tani. Handewi dan Ariani (2002) menyatakan dalam upaya mencapai ketahanan pangan, pemberdayaan kelembagaan lokal (seperti lumbung desa) dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyediaan pangan merupakan strategi yang patut dipertimbangkan. b.

Peran Kelembagaan dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia Keberadaan sumber daya manusia sangat penting dalam mewujudkan ketahanan

pangan di suatu wilayah. Keberadaan sumber daya manusia tidak hanya dilihat dari faktor fisik tetapi juga dari faktor perfomance yang kedua-duanya saling menunjang dalam pemenuhan pangan dan akses pangan. Berdasarkan hasil penelitian umur responden dominan masih produktif. Akan tetapi, secara umum kondisi sumber daya manusia di wilayah pedesaan khususnya para petani produsen pangan diatas umur 40 tahun. Untuk itu, perlu ada peningkatan SDM khususnya bagaimana menarik pemuda-pemuda untuk terjun kedua pertanian maupun meningkatkan kompetensi sumber daya manusia yang ada saat ini. Berdasarkan hasil penelitian beberapa kelembagaan yang ada di lokasi penelitian yang berperan dalam peningkatan sumber daya manusia pangan meliputi ketua kelompok tani, penyuluh pertanian lapangan dan keluarga. Peran ketua kelompok tani dan penyuluh pertanian dilakukan dalam bentuk memfasilitasi responden untuk terlibat dalam pelatihan yang berhubungan dengan kegiatan usahatani. Maupun peran dalam memotivasi petani untuk tetap bersemangat dalam berusahatani. Sedangkan peran keluarga yangpaling besar dirasakan berperan dalam memotivasi atau mendukung responden untuk terus mengembangkan usahanya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keluarga sangat penting dalam menunjang keberhasilan usahatani. Disamping itu, lembaga kelompok tani dan penyuluh juga dirasakan peranya oleh petani sebagai lembaga yang dapat dijadikan wadah petani untuk belajar dan berusahatani yang lebih baik lagi. Untuk itu, keberadaan kelompok tani dan penyuluh sebagai perpanjangan tangan pemerintah bagi petani sangat penting keberadaanya dalam meningkatkan kualitas dan kepercayaan diri masyarakat atau petani. Hasil penelitian Made (2013), bahwa pentingya peran pemerintah agar segera merumuskan suatu strategi untuk dapat merubah pola pikir masyarakat desa setempat agar kembali memiliki rasa optimis, dalam rangka meningkatkan kualitas diri dan keluar

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 29

dari belenggu kemiskinan sebagai conoth adalah mengadakan pelatihan SDM yang diberikan oleh para motivator. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan: 1.

Aktivitas petani dalam memenuhi kebutuhan pangan beragam, seperti pemanfaatan lahan untuk menanam tanaman pangan, pembagian makanan dengan anggota keluarga selama bencana kelaparan atau gagal panen, pinjaman dari sesama keluarga, tetangga dan kios/warung lokal dan pembayaran kembali itu dengan sistem pasca panen.

2.

Lembaga yang berperan dalam memenuhi akses terhadap pangan adalah otoritas desa, kios/warung, keluarga dan tetangga, sementara lembaga yang berperan dalam peningkatan sumber daya manusia adalah kelompok tani, penyuluhan pertanian, keluarga dan tetangga.

Daftar Pustaka Ahmad, S. 2005. Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Simposium Nasional Ketahananan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Tangal 22 November 2005, IPB Bogor. Indonesia. Arief, S. 2012. Sumberdaya Manusia untuk Pangan. Tantangan dan Antisipasi. Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit Safa Printing. Jakarta. Darsono. 2012. Revolusi Pangan Dimulai dari Revolusi Cara Berpikir tentang Pangan. Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit Safa Printing. Jakarta. Made, D.S.M. 2013. Analisis Strategi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan di Kecamatan Nusa Penida. Jurnal Buletin Studi Ekonomi. Vol. 18, No. 2, Agustus 2013: Hal. 98-106. Handewi, P.S. Rachman dan M. Ariani. Ketahanan Pangan: Konsep, Pengukuran dan Strategi. FAE. Vol 20 No. 1 Juli 2002: Hal. 12-24. Rahmadya, S., L.A Lestari, dan J. Susilo. 2016. Pola konsumsi pangan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Jurnal Gizi Klinik Indonesia Vol 12 No 3 - Januari 2016: Hal.123-130. Siti, M., Titik Sumarti, dan T. Pranadji. 2009. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal: Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. Vol 02 No.02 Agustus 2009: Hal. 259-272

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

30 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Sumaryanto 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan Utama dengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Suradisastra, K. 2006. Revitalisasi Kelembagaan untuk Percepatan pembangunan Sektor Pertanian dalam Otonomi Daerah. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 4. Nomor 4: Hal. 308-313. Putu A, M.A. Limi dan Rosmawaty. 2014. Optimalisasi Penggunaan Lahan Kering dan Pemanfaatan Waktu Luang di Kecamatan Landono Kabupaten Konawe Selatan. Majalah Ilmiah Agriplus. Vol 24, No. 01 Januari 2014: Hal. 90-97. Yunastti, P. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan, Dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol. 9, No. 1, Juni 2008. Hal. 1 – 27. Zulfahrizal. 2012. Pertanian Padi Indonesia (Masalah dan Solusinya). Pangan Rakyat: Soal Hidup Atau Mati 60 Tahun Kemudian. Editor: Anna Farianti dkk Penerbit Safa Printing. Jakarta.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 31

PROGRAM PENGEMBANGAN AGROFORESTRI BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN DEWA OKA SUPARWATA Program Studi Agribisnis, Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Muhammadiyah Gorontalo, Indonesia E-mail: [email protected] ABSTRAK Sistem agroforestri dapat dijadikan rujukan dalam mencapai keberlanjutan pertanian, baik dari segi peningkatan ekonomi, sosial-budaya dan kelestarian lingkungan. Penelitian bertujuan untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pada program pengembangan agroforestri. Penelitian ini dilakukan di Desa Dulamayo Barat, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo, pada Bulan April 2016. Penelitian didesain dengan pendekatan survei, dan sampel ditentukan secara sensus. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan analisis skoring untuk menentukan rendah, sedang, tinggi dari partisipasi masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan: (1) karakteristik internal dan eksternal masyarakat meliputi: luas lahan (50% kisaran lahan 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan (70% tamat SD), pendapatan (50% berpendapatan
32 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Pengelolaan lahan kering sesungguhnya tidaklah mudah, karena sangat berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik SDA dan SDM (Catharina, 2009). Seperti penerapan pertanian monokultur secara terus menerus dapat memicu pengangkutan hara berlebih oleh tanaman, penkritisan tanah, penurunan kesuburan dan tinggi erosi. Risal et al., (2014), penerapan sistem monokultur pada lahan kering khususnya topografi miring terbukti memberikan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan produksi pertanian. Hairiah dan Ashari (2013), pengelolaan lahan perlu diubah sesuai dengan masalah yang berkembang saat ini. Salah satu solusi yang dapat diterapkan ialah penerapan agroforestri. Agroforestri memiliki peranan penting sebagai daerah penyangga ekosistem (Wardhani et al., 2013), dapat menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan dan pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Suharti et al., 2013). Keunggulan lain ialah dalam hal: productivity, diversity, self-regulation, dan stability (Rianse dan Abdi, 2010), dan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan (Mayrowani dan Ashari, 2011). Sistem agroforestri dapat dijadikan rujukan dalam mencapai keberlanjutan pertanian, baik dari segi peningkatan ekonomi, sosial-budaya dan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai keberhasilan program pengembangan agroforestri dan keberlanjutan pertanian menurut Wahyudi dan Panjaitan (2013), perlu memperhatikan keterlibatan masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pembangunan sumber daya alam di sekitarnya. Keterlibatan atau keikutsertaan tersebut merupakan bentuk partisipasi masyarakat baik pada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program agroforestri. Sari dan Widodo (2015), Partisipasi masyarakat merupakan modal utama kemajuan dan keberlanjutan, sehingga Ma’ruf (2017), mengatakan ini akan mempengaruhi keberhasilan pertanian berkelanjutan (sosial budaya, ekonomi, teknologi pertanian, kelembagaan, dan kebijakan pemerintah). Petani sebagai masyarakat memiliki peran dan tanggungjawab dalam upaya penyelamatan lahan pertanian (Suwardane et al., 2015). Tanpa adanya partisipasi masyarakat, pembangunan tidak akan berjalan dengan baik (Damanik dan Tahitu, 2007), sehingga partisipasi petani sangat mutlak diperlukan (Suwardane et al., 2015). Berdasarkan beberapa hal di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pada program pengembangan agroforestri. Target penelitian ini ialah adanya menggambarkan tingkat keikutsertaan masyarakat dalam mengembangkan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 33

agroforestri untuk meningkatkan ekonomi mereka, menjaga keharmonisan sosial dan kelestarian lingkungan sekitar. Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Desa Dulamayo Barat, Kecamatan Telaga, Kabupaten Gorontalo. Lokasi penelitian merupakan desa binaan Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian Universitas Muhammadiyah Gorontalo sejak tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2016. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dengan menggunakan pendekatan survei. Pendekatan ini dilakukan karena peneliti ingin menemukan fakta, kejadian sosial, serta data-data mengenai partisipasi masyarakat terhadap program pengembangan agroforestri di Desa Dulamayo Barat. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel Populasi dalam penelitian ini ialah masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani yang mengembangkan agroforestri. Terdapat satu kelompok tani pengembang agroforestri, dan terdiri dari 10 orang anggota. Sampel ditentukan dengan menggunakan sampling sensus, artinya bahwa seluruh populasi tersebut digunakan sebagai sampel penelitian, karena jumlah populasi yang relatif kecil. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer sekunder. Teknik pengumpulan data meliputi: (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) dokumenter. Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: (1) analisis faktor internal dan eksternal masyarakat dengan menggunakan statistik deskriptif. Analisis deskriptif dimaksudkan ialah data hasil diolah dan disajikan ke dalam bentuk tabel, gambar, maupun grafik hasil penelitian, (2) analisis partisipasi masyarakat dilakukan dalam dua tahap, yakni: (a) menghitung keikutsertaan berdasarkan jawaban kelompok responden, dan (b) penentuan rendah, sedang, tinggi terhadap partisipasi masyarakat dilakukan dengan melakukan skoring dari setiap jawaban responden, dan selanjutnya melakukan interpretasi skor yang dibagi dalam tiga kategori yaitu rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,6%), dan tinggi (66,7-100%). Seluruh data selanjutnya diinterpretasi dan dideskripsikan berdasarkan hasil penelitian.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

34 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hasil dan Pembahasan Pengembangan tanaman kehutanan dengan pola agroforestri telah lama dipraktekkan oleh masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa motif ekonomi masih mendominasi minat mayarakat dalam mengusahakan tanaman pertanian dan kehutanan di lahan miliknya (Lestari dan Premono, 2014). Pengembangan agroforestri, mempunyai prospek yang cukup baik dalam kontribusinya terhadap peningkatan produksi pangan, dan peningkatan pendapatan petani sehingga mempermudah akses terhadap pangan, disamping menjaga keamanan dan kelestarian hutan bersama masyarakat (Mayrowani dan Ashari, 2011), serta untuk mendorong partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air (Syam, 2003). Partisipasi aktif petani menjadi kunci utama dalam pencapaian tujuan program (Winata dan Yuliana, 2012), dan motivasi petani perlu ditingkatkan sehingga dapat diwujudkan partisipasi atau perilaku aktif dari petani (Achmad et al., 2012). Partisipasi masyarakat dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dalam penelitian ini faktor internal terdiri dari: luas lahan, pendidikan dan pendapatan. Sedangkan eksternal meliputi: intensitas sosialisasi dan pendampingan. Faktor Internal Faktor internal masyarakat yang disajikan pada penelitian ini ialah karakteristik luas lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Hasil penelitian karakteristik internal masyarakat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Faktor Internal Masyarakat Pengembang Agroforestri Karakteristik Internal Luas Lahan: <0,5 Ha 0,6-1 Ha >1 Ha Tingkat Pendidikan: Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SMP SMA Perguruan Tinggi Pendapatan: Rp.1.000.000/Bln

Persentase (%) 10 50 40 20 70 10 0 0 50 40 10

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 35

Karakateristik luas lahan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa masyarakat memiliki lahan tertinggi pada luas 0,6-1 Ha (50%), selanjutnya luas >1 Ha (40%), terkecil pada luas <0,5 Ha (10%). Luas kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani sangat menentukan keberlanjutan pertanian di masa depan. Kepemilikan lahan yang rendah akan berkorelasi pada minimnya hasil yang diterima oleh petani apalagi proses budidaya yang tidak dilakukan secara intensif. Menurut Wulandari (2010), bahwa luas lahan merupakan faktor-faktor yang pengaruh sangat nyata pada masyarakat terhadap agroforestri. Karakateristik tingkat pendidikan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa 70% masyarakat pendidikan Sekolah Dasar (SD), 20% tidak tamat SD, dan 10% berpendidikan SMP. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang mengembangkan program agroforestri. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi masyarakat dalam penngembangan agroforestri baik perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Suprapto (2004), mengatakan tingkat pendidikan petani yang rendah berpengaruh terhadap ketrampilan, kurangnya masukan teknologi pertanian. Karakateristik tingkat pendapatan masyarakat (Tabel 1), menunjukkan bahwa 50% masyarakat memiliki pendapatan Rp.1.000.000/Bln. Pendapatan masyarakat sangat berkorelasi terhadap kecukupan modal yang akan digunakan pada proses usahatani sistem agroforestri. Faktor Eksternal Masyarakat Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengembangkan agroforestri yang berasal dari luar dirinya disebut sebagai faktor eksternal. Pada penelitian ini faktor eksternal terdiri dari: intensitas sosialisasi dan intensitas pendampingan. Hasil penelitian terhadap karakteristik eksternal masyarakat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Faktor Eksternal Masyarakat Pengembang Agroforestri Karakteristik Eksternal Masyarakat Intensitas Sosialisasi: <2 kali 2-4 kali >4 kali Intensitas Pendampingan: <2 kali 2-4 kali >4 kali

Persentase (%) 0 80 20 0 100 0

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

36 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Karakateristik intensitas sosialisasi yang diikuti masyarakat (Tabel 2), menunjukkan bahwa 80% masyarakat menerima sosialisasi pada frekuensi 2-4 kali, 20% pada frekuensi >4 kali, dan 0% pada frekuensi <2 kali. Hal ini mengindikasikan bahwa ferkuensi sosialisasi yang diikuti oleh masyarakat sudah relatif efektif. Karakateristik intensitas pendampingan yang diterima masyarakat (Tabel 2), menunjukkan bahwa 100% pada frekuensi 2-4 kali pendapingan. Hal ini mengindikasikan bahwa selama pendampingan yang dilakukan oleh petugas lapangan diikuti oleh seluruh anggota kelompok tani pada pengembangan agroforestri. Kegiatan pendampingan yang dilakukan memberikan dampak positif terhadap pengetahuan petani. Masyarakat akan dapat menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya ketika melalakukan usahatani dengan sistem agroforestri. Disamping itu, adanya pendampingan yang secara terus menerus akan menumbuhkan partisipasi masyarakat pada program agroforestri. Partisipasi Masyarakat Pada Program Pengembangan Agroforestri Partisipasi masyarakat pada program pengembangan agroforestri dikelompokkan dalam partisipasi tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Hasil penelitian diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut: Partisipasi Masyarakat Tahap Perencanaan Bentuk kegiatan tahap perencanaan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi: memberikan pendapat, menghadiri pertemuan, dan penentuan jenis tanaman. Hasil penelitian partisipasi masyarakat tahap perencanaan program agroforestri disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Partispasi Masyarakat Tahap Perencanaan Program Pengembangan Agroforestri Bentuk Kegiatan Memberikan pendapat Menghadiri pertemuan Penentuan jenis tanaman Jumlah Persentase (%)

Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Agroforestri Kategori Partisipasi TI* KI* CI* SI* SSI* 1 0 4 1 4 1 0 2 6 1 1 0 7 0 2 3 0 13 7 8 9,7 0 41,9 22,6 25,8

Sumber: Data Primer Diolah, 2016 * Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering sekali)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 37

Pada tahap perencanaan, hasil penelitian (Tabel 3), menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat berada pada kategori cukup ikut (41,9%), sering sekali ikut (25,8%), sering ikut (22,6%), tidak ikut (9,7%), dan kadang ikut (0%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan agroforestri adalah 73,3%, dan tergolong tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa tahap perencanaan, masyarakat telah diikutsertakan pada setiap kegiatan-kegiatan perencanaan, meskipun masih terdapat masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan perencanaan tersebut. Namun, secara keseluruhan partisipasi masyarakat tahap perencanaan program agroforestri tergolong tinggi. Winata dan Yuliana (2012) bahwa hal ini terbukti dari beberapa sumbangan pemikiran yang telah diberikan dalam rapat perencanaan program. Namun berbeda pada hasil penelitian oleh Sudrajat et al., (2016) yang memperoleh partisipasi petani di Desa Kananga teridentifikasi rendah pada semua kegiatan perencanaan pengelolaan hutan rakyat. Ditambahkan oleh Sandyatma dan Hariadi (2012) hasil analisis partisipasi anggota gapoktan pada tahap perencanaan masih tergolong rendah (27,33%). Partisipasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Dimensi pelaksanaaan agroforestri melingkupi kegiatan seperti: penyiapan lahan, sanitasi lahan, pengolahan tanah, penyemaian benih tanaman, dan penentuan jenis tanaman. Hasil penelitian partisipasi masyarakat tahap pelaksanaan program agroforestri disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Partispasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Program Pengembangan Agroforestri Partisipasi Masyarakat Tahap Pelaksanaan Agroforestri Bentuk Kegiatan Kategori Partisipasi TI* KI* CI* SI* SSI* Penyiapan lahan 0 0 5 2 3 Sanitasi lahan 0 0 3 4 3 Pengolahan tanah 0 0 4 3 3 Penyemaian benih 0 0 5 2 3 Penentuan jenis tanaman 1 2 5 1 1 Jumlah 1 2 22 12 13 Persentase (%) 2 4 44 24 26 Sumber: Data Primer Diolah, 2016 * Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering sekali ikut)

Pada tahap pelaksanaan, hasil penelitian (Tabel 4) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat berada pada kategori cukup ikut (44%), sering sekali ikut (26%), sering ikut (24%), kadang ikut (4%), dan tidak ikut (2%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi masyarakat pada tahap pelaksanaan agroforestri adalah 73,6%, dan tergolong tinggi. Hal ini Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

38 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

mengindikasikan bahwa masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran yang tinggi akan pengembangan agroforestri baik pada kegiatan penyiapan lahan, sanitasi, pengolahan tanah, penyemaian benih dan penentuan jenis tanaman. Hal ini didukung oleh Sudrajat et al., (2016), bahwa partisipasi pada pelaksanaan lebih baik dari perencanaan, dan keterlibatan petani dalam kegiatan cenderung berintensitas lebih tinggi. Hamidah et al., (2006) mengatakan bahwa 71,7 % masyarakat bersedia mengikuti program agroforestri. Rizal dan Rahayu (2015) memperoleh hasil partisipasi petani tergolong tinggi dilihat pada komponen keterlibatan sebanyak 62,50%. Selanjutnya, Azis (2006) memperoleh partisipasi tinggi (62,50%), demikian juga oleh Ansori (2012), yang memperoleh nilai sangat tinggi 92,6% pada tahap pelaksanaan program. Partisipasi Masyarakat Tahap Evaluasi Evaluasi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengecek kembali kegiatan yang telah direncanakan dan dilaksanakan. Pada penelitian ini kegiatan tahap evaluasi meliputi: menghadiri pertemuan, memberikan pendapat dan memonitoring tanaman. Hasil penelitian tingkat partisipasi masyarakat tahap evaluasi program agroforestri disajkan pada Tabel 5. Tabel 5. Partispasi Masyarakat Tahap Evaluasi Program Pengembangan Agroforestri Partisipasi Masyarakat Pada Evaluasi Agroforestri Bentuk Kegiatan Kategori Partisipasi TI* KI* CI* SI* SSI* Menghadiri pertemuan evaluasi 3 0 5 1 1 Memberikan pendapat 2 2 4 1 1 Memonitoring tanaman 3 1 3 1 2 Jumlah 8 3 12 3 4 Persentase (%) 26,7 10 40 10 13,3 Sumber: Data Primer Diolah, 2016 * Keterangan: TI (tidak ikut), KI (kadang-kadang ikut), CI (cukup ikut), SI (sering ikut), SS (sering sekali ikut)

Pada tahap evaluasi, hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat berada pada kategori cukup ikut (40%), tidak ikut (26,7%), sering sekali ikut (13,3%), kadang ikut (10%), dan sering ikut (10%). Hasil skoring terhadap nilai partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi agroforestri adalah 54,7%, dan tergolong sedang. Berbeda halnya dilaporkan oleh Sandyatma dan Hariadi (2012), memperoleh keterlibatan petani tahap pemantauan dan evaluasi hanya sebesar 25,17% (rendah). Hal ini bahwa tidak secara keseluruhan anggota kelompok tani dilibatkan secara langsung pada kegiatan evaluasi (Suparwata et al., 2016). Diakui bahwa dalam evaluasi tidak keseluruhan masyarakat Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 39

melakukan dan melaporkan kepada petugas, melainkan dalam bentuk perwakilan kelompok tani saja. Pelaporan dalam evaluasi biasanya dilaporkan oleh ketua ataupun sekretaris kelompok tani. Olehnya untuk mencapai keberlanjutan pertanian, sangat dibutuhkan proses evaluasi program sehingga dapat diketahui hambatan, juga rencana yang belum terlaksana. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: karakteristik internal masyarakat dilihat dari luas lahan ialah 50% (memiliki lahan berkisar 0,6-1 Ha), tingkat pendidikan sebesar 70% (tamat SD), tingkat pendapatan sebanyak 50% (memiliki pendapatan
40 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hairiah, K. dan S. Ashari. 2013. Pertanian Masa Depan: Agroforestri, Manfaat, dan Layanan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal. 23- 35. Hakim, I. 2009. Kajian kelembagaan dan kebijakan hutan tanaman rakyat: sebuah terobosan dalam menata kembali konsep pengelolaan hutan lestari. Jurnal analisis kebijakan kehutanan. 6(1): 27-41. Hamid, A.H. dan Romano. 2013. Upaya Pengembangan Agroforestry sebagai Langkah Pengamanan Peyangga Hutan di Kabupaten Pidie Jaya. Agrisep. 14(2): 28- 35. Hamidah, M.A. Sardjono dan J.J.H. Kueng. 2006. Analisis Pendekatan Agroforestri dalam Upaya Perbaikan Pemanfaatan Lahan Berbasiskan Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Hutan Lindung Sungai Wain Balikpapan). Jurnal Kehutanan UNMUL. 2(2): 159-175. Hartati dan L. Harudu. 2016. Identifikasi Jenis-Jenis Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Manusia di Kelurahan Lowu-Lowu Kecamatan Lea-Lea Kota Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. 1(1): 30- 45. Ishak dan I.A. Saputra. 2015. Pengaruh Aktivitas Penduduk terhadap Kerusakan Hutan Mangrove di Desa Lalombi Kecamatan Banawa Selatan. Jurnal GeoTadulako. 3(6): 52-63. Kow, E., C.I. Wijaya, N. Khasanah, S. Rahayu, E. Martini, A. Widayati, Sahabuddin, L. Tanika, A. Hendriatna, E. Dwiyanti, M. Iqbal, Megawati, U. Saad. 2015a. Profil Klaster Telaga-Telaga Biru, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre -ICRAF, SEA Regional Office. Kow, E., C.I. Wijaya, N. Khasanah, S. Rahayu, E. Martini, A. Widayati, Sahabuddin, L. Tanika, A. Hendriatna, E. Dwiyanti, M. Iqbal, Megawati, U. Saad. 2015b. Profil Klaster Tibawa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre -ICRAF, SEA Regional Office. Lestari, S. dan B.T. Premono. 2014. Penguatan Agroforestri dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim: Kasus Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 11(1): 1-12. Mahendra, F. 2010. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Edisi Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta. Ma’ruf, A. 2017. Agrosilvopastura sebagai Sistem Pertanian Terencana Menuju Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Penelitian Pertanian Bernas. 3(2): 81-90. Mayrowani, H. dan Ashari. 2011. Pengembangan Agroforestry untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 29(2): 83-98 Rianse, U. dan Abdi. 2010. Agroforestri: Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Cetakan Kesatu. Alfabeta. Bandung. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 41

Risal, D., B. Ibrahim, dan H. Zubair. 2014. Efektivitas Sistem Pertanian Terpadu Hedgerows terhadap Peningkatan Produktivitas Lahan Kering. J. Sains & Teknologi. 14(3): 226231. Rizal, M. dan S.P. Rahayu. 2015. Tingkat Partisipasi Petani dalam Kelompok Tani Padi Sawah untuk Mendukung Program M-P3MI di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. 1(2): 352-357. Sandyatma, Y.H., dan S.M. Hariadi. 2012. Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor. Jurnal Kawistara. 2(3): 225-328. Sari, I.R. dan B.S. Widodo. 2015. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Seloringgit Ecotourism di Dusun Mendiro Desa Panglungan Kecamatan Wonosalam. Swara Bhumi. 2(3):42- 50. Subarna, T. 2011. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Menggarap Lahan di Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 8(4): 265-275. Sudrajat, A., Hardjanto, dan L. Sundawati. 2016. Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari: Kasus di Desa Cikeusal dan Desa Kananga Kabupaten Kuningan. Jurnal Silvikultur Tropika. 7(1): 8-17. Suharti, T., Y. Bramasto, dan N. Yuniarti. 2013. Kajian Pengembangan Tanaman Obat dalam Sistem Agroforestri. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal. 66-71. Suparwata, D.O., M. Arsyad, M.S. Hamidun, D. Rukmana, dan M.I Bahua. 2016. Community Participation on Evaluation Stage in Critical Land Rehabilitation Program. Advances in Environmental Biology. 10(10): 170-180. Suprapto. 2004. Pengkajian Sistem Usahatani di Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 7(1): 83-89. Suwardane, K.E., I.D.P.O. Suardi dan M.T.H. Handayani. 2015. Partisipasi Petani dalam Pengembangan Program Hutan Rakyat di Dusun Talang Gunung Desa Talang Batu Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji Provinsi Lampung. E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata. 4(2): 86-96. Syam, A. 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering Di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu. Jurnal Litbang Pertanian. 22(4): 162-171. Wahyudi, dan S. Panjaitan. 2013. Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif, dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal: 165-171.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

42 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Wardhani, E.K., D. Octavia dan Yuliah. 2013. Biodiversitas Komponen Agroforest Medang Bambang Lanang (Michelia champaca) di Hutan Rakyat Pada Kawasan Lematang Ulu Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri Tahun 2013. Hal. 42-48. Winata, A. dan E. Yuliana. 2012. Tingkat Partisipasi Petani Hutan dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Perhutani. Mimbar. 28(1): 65-76. Wulandari, C. 2010. Studi Persepsi Masyarakat Tentang Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Sekitar Sub DAS Way Besai, Provinsi Lampung. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 15(3): 137-140.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 43

PENINGKATAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI DENGAN KETERPADUAN USAHA TANAMAN PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN TERATAS 0,5 HA DI PROVINSI SULAWESI SELATAN- GORONTALO INDONESIA ZAINAL ABIDIN Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani, peningkatan ekspor, memberi dukungan terhadap agribisnis hulu hilir, memperluas lapangan kerja serta pertanian berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya lahan pembangunan sektor pertanian saat ini semakin berkuran akibat pemanfaatan lahan pertanin berlaih fungsi kepada permukiman seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk. Salah satu teknologi yang dapat mengantisipasi peningkatan pendapatan pada lahan terbatas yaitu keterpaduan usaha ternak sapi dengan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan pendapatan keterpaduan usaha ternak dan tanaman padi dan palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone dan Maros) – Gorontalo (Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango) Indonesia. Penelitian dilakukan mulai Februari 2014 hingga Mei 2017. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Populasi dan sampel penelitian ini dilakukan secara bertahap, yaitu: Tahap pertama menentukan wilayah penelitian dan menentukan jumlah populasi. Selanjutnya dengan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel petani ternak sebagai responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha ternak terpadu dengan padi dan palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha memberikan pendapatan dan kontribusi yang berbeda di lokasi penelitian yaitu: 1). Lokasi penelitian di Provinsi Sulawesi Selatan (Kecamatan Libureng Kabupaten Bone) usahatani ternak sapi memberikan kontribusi pendapatan sebesar Rp. 13.061.950 (52,35%) lebih besar dibandingkan tanaman semusim yaitu Rp. 11.433.630 (47,65%). Sedangkan di Kec. Samangki Kabupaten Maros usahatani ternak sapi memberikan kontrusi pendapatan Rp. 7.154.560 (88,76%) lebih besar dibandingkan uasaha tanaman Rp. 913.960 (11,33%). 2) Lokasi Penelitian di Provinsi Gorontalo (Kec. Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango) usahatani ternak sapi memberikan kontrusi pendapatan Rp. 4.861.948 (33,60%) lebih kecil dibandingkan usaha tanaman Rp. 12.615.557 (66,40%). Sedangkan di (Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo) usahatani ternak sapi memberikan kontrusi pendapatan Rp. 12.381.262 (31,40%) lebih kecil dibandingkan usaha tanaman Rp. 27.013.362 (68,60%). Kata Kunci: Pendapatan, Peternak Sapi, Usaha Terpadu, Usahatani Padi dan Palawija, Kepemilikan Lahan Pendahuluan Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, melayani pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Terdapat sejumlah kendala pada pembangunan pertanian seperti hambatan penguasaan sumberdaya produksi misalnya kepemilikan lahan sempit akibat alih fungsi lahan pertanian Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

44 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

dan modal. Lahan sempit dan modal yang sedikit akan mengakibatkan terbatasnya jumlah produksi. Terbatasnya jumlah produksi akan membatasi pendapatan yang diterima oleh petani (Mubyarto, 1989). Berdasarkan mazhab strukturalis, sektor pertanian dapat berlangsung bila pendapatan petani ikut meningkat dan kesejahteraan petani membaik. Oleh karena itu seluruh upaya perlu diarahkan untuk memperbaiki kesejahteraan petani serta sektor pertanian pada umumnya (Soetrisno, 2002) dalam Siregar (2016). Menurut pandangan mazhab populis, revitalisasi pertanian dapat dikatakan berhasil apabila pembangunan pertanian yang telah dijalankan mampu mengentaskan kemiskinan pada masyarakat petani dan warga pedesaan. Pembangunan pertanian didukung oleh sejumlah sub sektor seperti peternakan. Industri peternakan yang berperan dalam perekonomian dan kecukupan protein hewani adalah ternak sapi. Produk daging sapi sangat digemari oleh masyarakat. Kebutuhan daging sapi di Indonesia belum sepenuhnya dapat dipenuhi di dalam negeri, sehingga sebagian kebutuhan daging masih dipasok dari impor yang jumlahnya meningkat terus (Hasan, 2014). Secara umum, rata-rata komsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yaitu kurang dari 4 gram per kapita per hari, Hasan (2014) dalam Siregar (2016). Oleh karena itu peningkatan populasi sapi potong dan produksi daging perlu diupayakan terus menerus guna mendukung upaya peningkatan konsumsi protein hewani. Permintaan terhadap daging sapi meningkat terus setiap tahunnya. Kementerian Pertanian memperkirakan kebutuhan daging sapi nasional tahun 2014 mencapai 593.040 ton atau naik dari 2013 yang sebanyak 549.670 ton. Berdasarkan kebutuhan tersebut pemerintah menargetkan kontribusi sapi lokal dapat memenuhi sebesar 90,1 persen atau 534.760 ton. Kalkulasi penyediaan daging sapi tahun 2014 merujuk konsumsi daging per kapita yang naik dari tahun 2013 sebesar 2,2 kg/tahun menjadi 2,36 kg/tahun (Riwantoro, 2013). Keberhasilan penyediaan daging nasional ditentukan pula oleh kemampuan usaha ternak sapi. Pengembangan ternak sapi tidak dapat berlangsung secara mandiri tanpa dukungan industri pendukung lainnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melakukan keterpaduan usaha antara ternak dengan tanaman pangan. Powell (1994); Joshi dan Ghimire (1996) berpendapat bahwa keterpaduan suatu tanaman-ternak mempunyai beberapa keuntungan, disamping hasil utama produk pangan (padi, palawija) dan sapi (potong dan anakan), seperti (1) ternak dapat digunakan sebagai tenaga kerja (2) membantu memperbaiki kesuburan tanah akibat penanaman yang terus menerus dengan menggunakan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 45

kompos yang berasal dari limbah ternak, dan (3) limbah tanaman hasil panen dapat digunakan sebagai pakan ternak. Menurut Badan Pusat Statistik (2015) jumlah populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 14.703 juta ekor. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan provinsi dengan jumlah populasi terbesar ketiga yaitu sebanyak 1.338 juta ekor, setelah Provinsi Jawa Timur sebanyak 4.071 juta ekor dan Provinsi Jawa Tengah sebanyak 1.534 juta ekor. Salah satu wilayah pengembangan sapi potong di Provinsi Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Bone. Maros dan di Provinsi Gorontalo adalah Kabupaten Gorontalo dan Bone Bolango.

Pengembangan usahatani tanaman pangan pada kedua wilayah tersebut

merupakan peluang untuk meningkatkan pendapatan petani melalui sistem integrasi tanaman padi, palawija dengan ternak sapi. Pemanfaatan sumber daya lahan, tenaga kerja dan modal yang tersedia dapat menjadi pola usahatani terpadu antara ternak sapi dengan tanaman padi dan palawija. Produksi tanaman pangan yang besar diharapkan mampu menunjang ketersediaan pakan ternak yang murah dan berkelanjutan (Prasetyo, 2001) dan Davina, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kontribusi pendapatan usahatani terpadu antara ternak sapi, padi dan palawija berdasarkan skala luas lahan terbatas < 0,5 Ha. Metode Penelitian Penelitian ini melihat sistem usahatani tanaman-ternak dari paradigma positivisme. Pada paradigma ini, realitas berasumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities), hukum, dan mekanismemekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif (quantitative research) yaitu penelitian kuantitatif didasari oleh filsafat positivisme (terukur dan teramati) yang menekankan fenomena-fenomena objektif dan dikaji secara kuantitatif. Disebut sebagai penelitian positivistik adalah karena penelitian ini hanya mendasarkan kepada fakta-fakta positif yang didapatkan di lapangan. Data berupa angka-angka akan dijadikan sebagai informasi akurat penelitian. Lokasi penelitian adalah usahatani terpadu yang memiliki skala luas lahan terbatas 0,5 Ha di Kecamatan Libureng Kabupaten Bone, di Kecamatan Samangki Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan dan di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo dan di Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Pemilihan lokasi didasarkan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

46 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

kepada bentuk usahatani, luas lahan dan jumlah populasi sapi. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2014 hingga Mei 2016. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari petani responden melalui wawancara langsung dengan menggunakan alat bantu daftar pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya. Dari responden dikumpulkan data tentang pola tanam yang diusahakan petani, data masukan-keluaran usahatani tanaman-ternak. Termasuk pemanfaatan sumberdaya. Data Sekunder yaitu data yang menjadi penunjang dalam penelitian ini yaitu diantaranya adalah dokumen-dokumen, laporan-laporan yang ada dari berbagai instansi/swasta seperti Dinas Pertanian dan Peternakan. Untuk menentukan besarnya sampel maka digunakan statistik deskriptif dengan menggunakan rumus Slovin dalam Umar (2001) sebagai berikut. Rumus: n=

__N__ 1 + N (e)2

Dimana: n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi e = Tingkat Kelonggaran (15%) Analisa data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif yaitu dengan menghitung rata-rata pendapatan, dan mentabulasi data. Untuk menjawab tujuan penelitian (mengetahui besarnya konstribusi pendapatan usahatani tanaman-ternak pada lahan terbatas <0,5 Ha. Rumus pendapatan yang digunakan pada masing-masing wilayah penelitian yaitu rumus dikembangkan oleh Soekartawi (2002) yaitu: Pd = TR – TC Dimana: Pd = Pendapatan usahatani (Revenue of farming system). TR = Total Penerimaan (Total benefit) TC = Total pengeluaran (Total cost)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 47

Hasil dan Pembahasan a. Keterpaduan Keterpaduan usaha ternak sapi dengan tanaman pangan padi palawija pada lahan terbatas 0,5 Ha menunjukkan hasil yang berbeda. Para petani ternak di Sulawesi Selatan maupun di Gorontalo yang melakukan kombinasi usaha dengan ternak sapi pada lahan terbatas 0,5 Ha menunjukkan hasil yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 1 dan 2. Dapat diperhatikan bahwa pada Tabel 1 dan 2, hasil keterpaduan usaha tanaman semusim dan ternak sapi pada lahan terbatas < 0,5 Ha setiap daerah penelitian memberikan pendapatan yang berbeda: Hasil Tabel 1 menunjukkan petani ternak di Sulawesi Selatan daerah penelitian Kecamatan Libureng Kabupaten Bone memiliki pendapatan sebesar Rp. 33.995.062 dan daerah penelitian Kecamatan Samangki Kabupaten Maros memperoleh pendapatan Rp. 28.068.521. Sementara hasil penelitian Tabel 2 menunjukkan daerah penelitian Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango memiliki pendapatan Rp. 11.826.026 dan daerah penelitian di Kecamatan Telaga Kabupaten Gorontalo memperoleh pendapatan Rp. 39.394.624. b. Kontribusi Pendapatan Kontribusi pendapatan usahatani ternak sapi merupakan pendapatan yang diterima dari usahatani yang terdiri dari tanaman padi, palawija dibagi dengan total pendapatan usaha ternak sapi dikalikan dengan 100% sehingga dapat diketahui seberapa besar kontribusi usahatani ternak terhadap pendapatan yang diperoleh dari usahatani tanaman dan ternak secara terpadu di lokasi penelitian. Kontribusi usahatani tanaman dan ternak sapi dapat diperoleh setelah mendapatkan besarnya masing-masing total pendapatan baik yang bersumber dari pendapatan tanaman padi, palawija maupun pendapatan total dari usaha ternak sapi di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Adapun besarnya kontribusi pada usahatani dan ternak di lokasi penelitian tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Berdasarkan pada Tabel 3 dan 4, diketahui bahwa kontribusi usahatani ternak sapi terhadap pendapatan bersih petani responden baik pada lokasi penelitian di Kabupaten Bone maupun di Kabupaten Maros relatif besar di atas 50 %. Berdasarkan tipologi usaha ternak menurut Ditjen Peternakan, usaha ternak sapi ini secara rata-rata keseluruhan termasuk dalam usaha sambilan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

48 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 1 .Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tanaman Semusim - Ternak Sapi Secara Terpadu di Sulawesi Selatan pada lahan Terbatas < 05 Ha Skala Kep. Total No Lokasi Penelitian PENDAPATAN (Rp/Th) Ternak Pendapatan Kabupaen

Usaha Ternak Sapi

Usaha Tanaman Semusim

Penerimaan

Biaya Produksi

Jumlah Pendapatan

Penerimaan

Biaya Produksi

Rp

Jumlah Pendaatan

1

Bone

5

53.310.700

30.248.750

23.061.950

23.884.470

12.450.840 11.433.630

33.995.062

2

Maros

3

32.149.561

14.995.000

17.154.56

19.340.380

8.426.420

28.068.521

11.913.960

Sumber: Data Setelah Diolah 2015 – 2016

Tabel 2. Rata-Rata Pendapatan Usahatani Tanaman Semusim - Ternak Sapi Secara Terpadu di Provinsi Gorontalo pada lahan Terbatas 0,5 Ha Skala Kep. Total No Lokasi Penelitian PENDAPATAN (Rp/Th) Ternak Pendapatan Kabupaen Usaha Ternak Sapi Usaha Tanaman Semusim Rp Biaya Jumlah Biaya Jumlah Penerimaan Penerimaan Produksi Pendapatan Produksi Pendaatan 1

Bone Bolango

2

Gorontalo

4 2

30.678.565 20.391.334

25.816.617 8.010.072

4.861.948 12.381.262

16.211.054 23.622.000

9.246.976 6.608.638

6.964.078 17.013.362

11.826.026 29.394.624

Sumber: Data Setelah Diolah, 2017

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 49

Tabel 3. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Dengan Keterpaduan Tanaman Padi, Palawija pada Luas Lahan Terbatas <0,5 Ha di Kabupaten Sulawesi Selatan. Persentase Kontribusi Pendapatan/Tahun (Rp.000,-) Lokasi Penelitian

Skala UsahaTernak (ekor)

Usahatni Tanaman

Bone Maros

5 3

11.434.000 11.913.960

Usahatani Ternak Sapi

Total Pendapatan

Kontribusi U.Tanaman

Kontribusi Ternak Sapi

%

22.561.430 17.154.560

33.995.100 29.068.520

34% 41%

66% 59%

100 100

Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015

Tabel 4. Kontribusi Pendapatan Usahatani Ternak Sapi Dengan Keterpaduan Tanaman Padi, Palawija pada Luas Lahan Terbatas <0,5 Ha di Gorontalo. Persentase Kontribusi Pendapatan/Tahun (Rp.000,-) Lokasi Skala Usahatani Usahatani Kontribusi Kontribusi Total Pendapatan % Penelitian Usaha Ternak (ekor) Tanaman Ternak Sapi U.Tanaman Ternak Sapi Bone Bolango 5 7.753.089 4.861.948 12,615,557 66,40% 33,60% 100 Gorontalo 3 27.013.362 12.381.262 8.068,520 68,60%% 31,40% 100 Sumber: Data Primer Setelah Diolah, 2015

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

50 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Kesimpulan Keterpaduan usaha tanaman semusim dan ternak sapi pada lahan terbatas 0,5 Ha memberikan pendapatan yang berbeda pada setiap lokasi penelitian sebagai berikut : Petani ternak di Provinsi Sulawesi Selatan (Kec. Libureng Kabupaten Bone) mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 33.995.062. Sedangkan petani peternak (Kec. Samangki Kabupaten Maros) memiliki pendapatan sebesar Rp 28.068.521 per tahun. Sementara petani ternak di Povinsi Gorontalo (Kecamatan Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango memperoleh pendapatan Rp. 11.826.026 per tahun dan (di Kec. Telaga Kabupaten Gorontalo) mendapatkan pendapatan Rp. 29.394.624 per tahun. Kontribusi pendapatan usaha ternak lebih besar di Provinsi Sulawesi Selatan secara keseluruhan dibandingkan pendapatan usaha tanaman pada lahan terbatas 0,5 Ha. Berbanding terbalik dengan usahatani ternak sapi pada lahan teratas 0,5 Ha di Provinsi Gorontalo. Kontribusi pendapatan usahatani ternak lebih besar dibandingkan tanaman. Daftar Pustaka Davina, H, 2011. Optimalisasi Pengembangan Usahatani Tanaman Padi dan Peternakan Secara Terpadu di Kabupaten Majalengka. Journal Agroland 18(1)43-49 April 2011. Diakses tgl 27 Oktober 2014. Joshi, B.R and S.S., Ghimire, 1996. Livestock and Soil Fertility: A Double Bind Newsletter of the Centre for Information on Low external Input and Sustainable Agriculture, 12(1):18. Kusnadi. 2007. Inovasi Teknologi Peternakan dalam Sistem IntegrasiTanaman dan Ternak (SITT) untuk Menunjang Swasembada daging Tahun 2010. Orasi Pengukuhan Professor Riset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES, Jakarta. Powell, M. 1994. Livestock and Nutrient Cyling Report on an International Confrence. Newsletter of the Centre for Information on Low External Input and Sustainable Agriculture, 10(2): 16. Prasetyo 2001. Integrasi Tanaman dalam Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing Berkelanjutan dan Berkerakyatan. Disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor. Riwantoro, 2013. Kebutuhan Daging Sapi Potong Nasional. Sesditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Jakarta. Roehani & A. Noor. 2005. Kontribusi Pendapatan Pemeliharaan Peternak Sapi dalam Sistem Integrasi Jagung dan Ternak Sapi di Lahan Kering. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 51

Sinaga, R.R.1995; Perencanaan Pertanaman dan Pendugaan Fungsi Penawaran Padi dan Palawija Terpadu di Daerah Trasmigrasi. Proceeding Seminar Penelitian Peternakan, Puslitbangnak, Bogor. Soedjana,T.D., T.Sudaryanto dan R.Sayuti, 1994. Estimasi Parameter Permintaan Beberapa Komoditas Peternakan di Jawa. J.Penelitian Indonesia. J(1);13-23. Soedjana, T.D. dan Ginting, 2007. Sistem Usahatani Terintegrasi Tanaman-Ternak Sebagai Respons Terhadap Faktor Resiko. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2).Diakses 3 Oktober 2014. Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada. Jakarta Soetrisno, L. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Penerbit Kanisius Anggota IKAPI., Yokyakarta. Umar, 2001. Metode Penelitian . PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

52 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYELENGGARAAN KAWASAN ANDALAN PALOPO DAN SEKITARNYA FADHIL SURUR1* DAN SATRIANI Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Alauddin Makassar *Email: [email protected] ABSTRAK Kesamaan karakteristik sosial ekonomi atau keterkaitan ekonomi antar wilayah menjadi pembentuk utama pengembangan berbasis kewilayahan. Dalam kerangka tersebut, kawasan andalan Palopo dan sekitarnya yang ditetapkan dalam RTRW Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kekuataan ekonomi yang bertumpu pada pengarusutamaan pertanian dalam pembangunan daerah. Namun dalam perkembangannya sektor pertanian tidak lagi menjadi fokus pemerintah daerah di beberapa kabupaten. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi dalam penyelenggaran kawasan andalan Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif, dimana data diperoleh berupa data sekunder dan dianalisis dengan menggunakan metode kontribusi sektoral, analisis sektor unggulan dan analisis tipologi klassen. Hasil penelitian diperoleh peran sektor pertanian dalam penyelenggaraan kawasan andalan Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini tidak lagi menjadi sektor utama dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya secara keseluruhan. Sehingga pengambilan kebijakan kedepan perlu mempertimbangkan kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek perencanaan dan pembangunan pertanian secara komprehensif, mendorong Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan pertanian utama di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya dan Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor utama yang berkembang di beberapa kabupaten/kota. Kata Kunci: Pertanian, Kawasan, Pengembangan Pendahuluan Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (Rustiadi, Saefulhakim, & Panjunu, 2006). Maka dalam kondisi tertentu batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (Mutaali, 2011). Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah diharapkan mampu meningkatkan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk memberikan alternatif pemecahan-pemecahan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 53

inovatif dalam menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya, pada sisi yang berbeda harus memberikan perhatian yang lebih besar terhadap kualitas penyelenggaraan pelayanan publik dasar serta bagaimana meningkatkan kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan (Tarigan & Si, 2009). Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi pembangunan adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi, melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal dengan mengembangkan kegiatan yang berdasarkan potensi daerah dan memanfaatkan peluang yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Prihardoyo & Setiawan, 2017). Satuan wilayah pengembangan adalah wilayah yang secara geografis dan administrasi dikelompokan berdasarkan potensi dan sumber daya untuk pengembangannya. Satuan wilayah pengembangan yang ditetapkan berdasarkan kesamaan karakteristik sosial ekonomi, ataupun keterkaitan ekonomi antar wilayah. Kesemuanya ini dimaksudkan agar pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah yang meliputi wilayah pengembangan sesuai potensi daerah bersangkutan (Harzan, 2015). Maka hal ini diharapkan mampu menetapkan alternatif kegiatan dengan mengembangkan potensi daerah yang dimiliki. Berdasarkan kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009-2029 ditetapkan 4 kawasan andalan yang bertujuan sebagai bentuk kerjasama daerah. Salah satunya adalah kawasan andalan Palopo dan sekitarnya. Kawasan andalan Palopo terdiri dari Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kota Palopo dan Kabupaten Luwu Utara. Kerjasama keenam wilayah tersebut menunjukkan perkembangan yang signifikan, dimana menempatkan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan andalan tersebut. Potensi pertanian yang melimpah pada kawasan andalan Palopo menjadikan sektor ini sebagai arus utama pembangunan, namun dalam perkembangannya menunjukkan ketidaksesuaikan dengan program pembangunan di beberapa wilayah, misalnya Kabupaten Tana Toraja yang berfokus pada pengembangan pariwisata. Sehingga perlu dilakukan kajian untuk menganalisa sejauh mana peran sektor pertanian berkontribusi dalam penyelenggaran kawasan andalan Palopo dan sekaligus memberikan arahan kebijakan bagi pemerintah daerah untuk tetap menjadikan pertanian sebagai arus utama pembangunan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

54 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober – November 2017 yang difokuskan pada 6 wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Tana Toraja Utara berdarakan Perda Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009 tentang RTRWP Sulawesi Selatan. Jenis dan Sumber Data Data yang diperoleh kaitannya dengan penelitian ini bersumber dari beberapa instansi terkait seperti BPS Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu, Kabupaten Tanah Toraja, Kabupaten Toraja Utara dan Kota Palopo dengan jenis data sekunder. Data sekunder adalah data yang bersumber dari instansi atau lembaga-lembaga terkait serta hasil penelitian sebelumnya yang sifatnya merupakan data baku, jenis data yang dimaksud meliputi: a. Data kondisi fisik wilayah studi yang mencakup data geografis dan kondisi perekonomian kabupaten b. Data kependudukan dengan spesifikasi data berupa jumlah penduduk kepadatan penduduk, perkembangan dan penyebaran penduduk. a. Data kebijakan pemerintah melalui RT/RW tingkat provinsi Teknik Pengumpulan Data a. Survei lapangan; survei lapangan secara langsung dilaksanakan untuk memperoleh gambaran potensi pertanian di lokasi kajian b. Studi Kepustakaan; studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh literatur pendukung yang terkait dengan topik penelitian. Teknik Analisis Data a. Analisa Kontribusi Ekonomi Konsep paling sederhana untuk menggambarkan kemampuan sektor basis adalah indeks kontribusi sektoral dalam PDRB, yaitu dengan cara melihat besar kecilnya kontribusi sektor tertentu terhadap perekonomian wilayah secara agregat. Indeks kontribusi sektoral digunakan untuk melihat rasio nilai PDRB tiap sektor terhadap nilai PDRB total. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 55

b. Analisis Sektor Unggulan Model analisis LQ dan Shift Share merupakan metode yang relative banyak digunakan untuk menentukan sektor unggulan. Dasar pemikiran metode dan dasar teori Location Quotient (LQ) adalah teori basis ekonomi sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Analisis ini relatif sederhana dan manfaatnya cukup besar untuk identifikasi awal kemampuan sektor dalam pembangunan wilayah. Teknik analisis ini digunakan untuk menentukan sektor apa saja yang merupakan sektor basis yang dapat mengekspor (ke luar daerah) dalam perekonomian wilayah yaitu suatu indikator yang menunjukkan kekuatan peranan suatu sektor dalam suatu daerah dibandingkan dengan peranan sektor yang sama di daerah acuan yang lebih luas. Sedangkan analisis shift share digunakan untuk melihat perkembangan dari sektor perekonomian suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, juga melihat perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relative dengan sektor lain c. Analisis Tipologi Klassen Tipologi klassen ini adalah model yang paling populer untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan perekonomian wilayah dengan menggunakan basis data besaran pendapatan perkapita dan pertumbuhan ekonomi dengan pembagian berdasarkan ratarata. Hasil pengelompokan wilayah dari tipologi klassen dapat digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan dan program pembangunan, sehingga lebih tepat dan terarah sesuai dengan karakter, potensi dan permasalahannya. Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Wilayah Kawasan andalan Palopo dan sekitarnya merupakan salah satu dari 4 kawasan andalan di Provinsi Sulawesi Selatan. Secara konseptual bertujuan membangun kerjasama antar daerah dalam memaksimalkan potensi wilayah yang dimiliki. Setiap kawasan andalan memiliki 1 pusat kegiatan yang menjadi sentral pelayanan kawasan secara keseluruhan, dalam kasus ini ditetapkan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan utama dan saling berintegrasi dengan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Tana Toraja. Secara umum wilayah Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten yang paling luas dalam kawasan andalan Palopo dan sekitarnya yang Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

56 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

mencapai 35.98% dari luas kawasan. Berdasarkan data jumlah penduduk, Kabupaten Luwu dengan luas 14,35% memiliki jumlah penduduk tertinggi yaitu 337.950 jiwa. Tabel 1. Jumlah penduduk dan luas wilayah kawasan andalan Palopo No Wilayah Jumlah Penduduk Persentase Luas

Persentase

1

Kabupaten Luwu Timur

275.596

17.98

6.944,98

33.22

2

Kabupaten Luwu Utara

302.687

19.75

7.502

35.89

3

Kabupaten Luwu

337.950

22.05

3.000,25

14.35

4

Kota Palopo

164.903

10.76

247,52

1.18

5

Kabupaten Tana Toraja

225.984

14.74

2.054,30

9.82

6

Kabupaten Tana Toraja Utara

225.521

14.71

1.151,47

5.50

100%

20.900,52

100%

Jumlah 1.532.641 Sumber: Badan Pusat Statistik Tahun 2017

Gambar 1. Peta kawasan andalan Palopo dan sekitarnya

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 57

Kontribusi Ekonomi Penilaian kontribusi ekonomi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto masing masing daerah difokuskan pada sejauh mana sektor pertanian memberikan kontribusi ekonomi. Pendekatan yang digunakan adalah penilaian indeks kontribusi sektoral (IKS) dimana nilai IKS didapat dari nilai PDRB persektor dibagi dengan PDRB total. Hasil menunjukkan bahwa nilai rata rata IKS pada kawasan andalan Palopo dan sekitarnya pada posisi 6.25, hal ini menunjukkan bahwa jika nilai IKS melebihi nilai rata rata IKS total maka sektor tersebut berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Sektor pertanian pada masing masing kabupaten/kota memperlihatkan nilai yang positif secara merata dimana jauh melebihi nilai rata rata IKS. Pada sisi yang berbeda jika dibandingkan keenam kabupaten/kota memperlihatkan hasil yang beragam, dimana Kabupaten Luwu Timur menyumbang nilai IKS paling rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya hanya pada posisi 12,62. Secara keseluruhan sektor pertanian masih berkontribusi dalam perkembangan ekonomi di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya, namun wilayah Kabupaten Luwu Timur menunjukkan angka yang rendah. Tabel 2. Nilai kontribusi sektoral pada kawasan andalan Palopo Kab. Luwu Kab. Luwu Utara Timur A 56,74 12,64 B 0,002 33,22 C 4,34 4,87 D 0,05 1,31 E 0,01 0,08 F 8,77 5,49 G 10,92 3,89 H 0,80 3,03 I 0,002 5,67 J 1.46 3,48 K 6.19 4,47 L 0.02 2,88 M 5.04 5,21 Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017 Sektor

Kota Palopo Kab. Torut 22,47 0,37 3,37 0 0,37 25,84 6,74 1,49 4,49 9,73 5,99 0 9,73

23,29 1,10 7,40 0,08 0,15 24,74 5,49 2,77 4,80 4,65 6,52 0,09 6,16

Kab. Toraja

Kab Luwu

29,89 1,64 8,29 0,10 0,10 9,39 2,65 1,80 4,46 3,35 6,17 0,10 11,17

58,38 2,98 4,46 0,05 0,01 11,24 0,82 0,75 2,40 1,50 6,37 0,02 5,19

Keterangan : (a) Pertanian,Kehutanan,Perikanan, (b) Pertambangan dan Penggalian, (c) Industri Pengolahan (d) Pengadaan Listrik dan Gas, (e) Pengadaan Air, Pengolahan Sampah, Limbah (f) perdagangan Besar dan Eceran, (g) Transportasi dan pegudangan, (h) Penyediaan Akomodasi dan Makanan minuman (i) Informasi dan komunikasi, (j) jasa keuangan dan asuransi (k) real Estate, (l) jasa perusahaan (m) administari pemerintah, pertahanan, Jasa Pendidikan, Jasa kesehatan,kegiatan sosial dan jasa lainnya.

Sektor Basis Dalam analisis penentuan sektor basis perekonomian wilayah, teknik LQ ditempuh dengan cara membandingkan antara peranan relatif sektor atau subsektor wilayah (PDRB Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

58 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

sektoral) terhadap nilai tambah total wialayah (PDRB) dengan peranan relatif sektor atau sub sektor yang sama pada wilayah yang lebih luas. Hasil penilaian sektor basis di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya menunjukkan bahwa sektor pertanian menjadi sektor unggulan hanya pada Kabupaten Luwu Utara dengan nilai LQ > 1. Kondisi ini memungkinkan Kabupaten Luwu Utara mengekspor hasil pertanian ke beberapa wilayah kabupaten/kota di kawasan andalan Palopo. Sedangkan kelima kabupaten/kota lainnya menunjukkan nilai LQ < 1, artinya terdapat sektor lain diluar dari sektor pertanian yang menjadi sektor unggulan. Interpretasi hasil analisis Shift Share merujuk pada nilai positif dan nilai negatif, maka hasil menunjukkan bahwa sektor pertanian dalam batasan nilai positif. Sektor pertanian dinilai mengalami pertumbuhan yang progresif atau maju untuk seluruh wilayah kabupaten/kota. Namun dari perkembangan tersebut beberapa wilayah menunjukkan angka yang pesimis karena bernilai postif akan tetapi mendekati nilai negatif yaitu di Kabupaten Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo. Selain itu arus perkembangan sektor pertanian harus mampu mengimbangi sektor lainnya yang juga mengalami perkembangan yang signfikan, misalnya di Kabupaten Luwu Timur dengan sumbangsih sektor pertambangan. Secara umum penilaian sektor unggulan dengan fokus Tabel 3. Hasil analisis LQ sektoral pada kawasan andalan Palopo Kab. Luwu Kab. Luwu Sektor Kota Palopo Kab. Torut Utara Timur A 1,7 0,1 0,3 0,3 B 0 16,3 0,1 0,5 C 1,5 0,7 0,5 1,1 D 1,6 1,5 0 1,0 E 0,9 2,3 10,6 4,2 F 1,3 0,3 1,7 1,6 G 3,1 0,4 0,8 0,6 H 1,4 2,3 1,1 2,1 i 0,02 2,8 2,2 2,3 j 1,4 1,4 4,1 1,9 K 1,6 0,5 0,5 0,7 L 1,4 6,7 0 2,1 M 1,6 0,7 1,3 0,8 Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017

Kab. Toraja

Kab Luwu

0,4 0,8 1,3 1,2 3,0 1,2 0,3 1,4 2,2 1,4 0,7 2,4 1,5

0,7 1,5 0,7 0,7 0,4 0,7 0,1 0,5 1,1 0,6 0,7 0,6 0,7

sektor pertanian di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya menunukkan Kabupaten Luwu Utara masih mampu bertahan dengan potensi pertanian sebagai sektor unggulan, sedangkan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 59

kelima kabupaten/kota yang lain memasuki tahap perkembangan sektor unggulan pertanian yang melambat. Tabel 4. Hasil analisis SSA sektoral pada kawasan andalan Palopo Kab. Luwu Kab. Luwu Sektor Kota Palopo Kab. Torut Kab. Toraja Utara Timur a 0,33 0,19 0,07 0,28 0,19 b 0,49 0,39 0,70 0,26 0,08 c 0,19 0,45 0,37 0,45 0,17 d 0,37 0,23 0,48 0,50 0,36 e 0,08 0,17 0,51 0,09 10,6 f 0,43 0,51 0,55 -0,38 0,71 g 0,30 0,51 1,05 -0,75 0,55 h 0,26 0,42 0,84 -0,67 -0,34 i 0,88 0,58 0,80 0,53 0,35 j 0,47 0,62 0,64 -0,05 0,42 k 0,38 0,34 0,48 2,10 0,25 l 0,58 0,30 0,25 -0,96 0,22 m 0,15 0,18 0,20 61,47 0,17 Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017

Kab Luwu 0,24 1,07 0,29 0,40 0,23 0,44 0,38 0,54 0,70 0,39 0,46 0,31 0,21

Tipologi Klassen Analisis tipologi klassen ini digunakan untuk megetahui potensi perkembangan perekonomian wilayah dan untuk menetukan kuadran dari kawasan andalan Palopo dan sekitarnya. Interpretasi hasil analisis berdasarkan pada penilaian masing masing kuadran dimana: 

Sektor yang terdapat pada kuadran 1 berarti sektor tersebut cepat maju, cepat tumbuh dan merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi dan kontribusi sektoral yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata sektor kawasan.



Sektor yang terdapat pada kuadran 2 merupakan sektor yang berkembang cepat. Merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi sektoral tinggi tetapi kontribusi sektor lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.



Sektor pada kuadran 3 adalah sektor maju tapi tertekan. Merupakan sektor yang memiliki kontribusi sektor yang lebih tinggi tetapi tingkat pertumbuhan ekonomi sektoralnya lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan.



Sektor pada kuadran 4 adalah sektor relatif tertinggal. Memiliki tingkat pertumbuhan sektoral yang rendah dan kontibusi sektor yang lebih rendah dibandingkan rata-rata sektor kawasan. Hasil penilaian memperlihatkan bahwa sektor pertanian pada kawasan andalan Palopo

dengan posisi perkembangan cepat berada di Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

60 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

pada kuadaran 2 namun tidak mengalami perkembangan yang maju dan signifikan. Hal lain terjadi di Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Toraja Utara yang berada pada kuadran 3, menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami kemajuan tetapi tertekan dibandingkan dengan sektor lainnya. Sedangkan pada kuadran 4 yang berarti bahwa sektor pertanian relatif tertinggal berada di Kabupaten Toraja dan Kota Palopo. Secara umum sektor pertanian tidak menujukkan perkembangan yang cepat dan maju untuk seluruh wilayah kabupaten dan kota di kawasan andalan Palopo. Tabel 5. Hasil analisis tipologi klassen pada kawasan andalan Palopo Kab. Luwu Kab. Luwu Utara Timur a 2 3 b 2 2 c 2 3 d 2 3 e 4 3 f 4 3 g 4 3 h 2 3 i 2 3 j 4 3 k 4 3 l 4 2 m 2 3 Sumber: Hasil Analisis Tahun 2017 Sektor

Kota Palopo 4 4 4 2 1 2 2 2 2 2 4 2 2

Kab. Torut Kab. Toraja Kab. Luwu 3 3 1 1 1 1 3 1 1 1 3 1 1

4 4 4 2 2 2 4 2 2 2 4 2 2

2 4 2 2 4 2 4 4 4 4 2 4 2

Penutup Kesimpulan Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan akhir bahwa peran sektor pertanian dalam penyelenggaraan kawasan andalan Palopo telah mengalami pergeseran. Dimana sektor ini tidak lagi menjadi sektor utama dalam menunjang kegiatan pembangunan di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya secara keseluruhan. Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu merupakan dua kabupaten yang menjadi tumpuan utama dalam mengembangkan sektor pertanian, sedangkan sektor pertanian di empat kabupaten lainnya harus bersaing dengan sektor lainnya yang jauh lebih berkembang. Hal ini diindikasian oleh berubahnya arus perkembangan beberapa sektor dimana Kabupaten Toraja dan Toraja Utara saat ini menjadikan pariwisata sebagai fokus utama pembangunan, sektor pertambangan dan galian di Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo sebagai pusat kegiatan di kawasan andalan Palopo menunjukkan perkembangan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 61

wilayah urban, sehingga pertanian tidak lagi menjadi kegiatan utama wilayah dalam kerangka pengembangan kawasan. Rekomendasi a. Perlunya kerjasama antar kota/kabupaten dalam berbagai aspek perencanaan dan pembangunan pertanian secara komprehensif b. Mendorong Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu sebagai pusat kegiatan pertanian utama di kawasan andalan Palopo dan sekitarnya c. Menjadikan sektor pertanian untuk sejalan dengan sektor utama yang berkembang di beberapa kabupaten/kota. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu Timur dalam Angka Tahun 2017. BPS. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Luwu dalam Angka Tahun 2017. BPS. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Tana Toraja dalam Angka Tahun 2017. BPS. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Toraja Utara dalam Angka Tahun 2017. BPS. Badan Pusat Statistik. Kota Palopo dalam Angka Tahun 2017. BPS. Harzan, M. 2015. Analisis Lokasi Pusat Pemerintahan dalam Rangka Pengembangan Wilayah di Kabupaten Buton Tengah Sulawesi Tenggara. Surakarta: Doctoral Dissertation Universitas Muhammadiyah Surakarta. Mutaali, L. 2011. Kapita Selekta Pengembangan Wilayah. Yogyakarta: Badan Penerbit Universitas Gadjah Mada. Prihardoyo, B., & Setiawan, N. B. 2017. Distribusi Fungsi Pelayanan Kecamatan dan Interkasi Antar Kecamatan pada Satua Wilayah (SWP) di Kabupaten Tegal. Economic Development Analysis Journal, 405-413. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., & Panjunu, D. R. 2006. Diktat Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor: IPB. arigan, A., & Si, M. 2009. Kerjasama Antar Daerah (KAD) untuk Peningkatan Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan Daya Saing. Retrieved Maret 14, 2018, from http://buletin. pemanfaatanruang. net/index.asp.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

62 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Bidang Penelitian Agroteknologi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 63

RANCANG BANGUN ALAT PENGENDALI HAMA BURUNG PEMAKAN BULIR PADI SAWAH (Oryza sativa L.) SISTEM MEKANIK ELEKTRIK ARDIYANTO SALEH MODJO Faperta Universitas Negeri Gorontalo Email: [email protected]; [email protected] ABSTRAK Penelitian ini akan menghasilkan produk prototipe Alat Pengendali Hama Burung Pemakan Bulir Padi Sawah (Oryza sativa L.) Sistem Mekanik Elektrik. Hama burung ini merupakan pengganggu bagi tanaman padi dan petani. Selama ini petani membuat alat yang dapat mengusir burung secara manual bertenaga manusia. Petani harus meluangkan waktu untuk terus menjaga padinya sambil menggerakkan alat tersebut ketika burung pipit menyerang, sebab alat yang mereka buat tak dapat bergerak sendiri. Metode yang digunakan adalah eksperimen, rancang bangun prototipe alat pengendali hama burung sistem mekanik elektrik yang merupakan target khusus berusaha meringankan petani beraktivitas dan waktunya. Penggeraknya adalah motor listrik yang digerakkan secara otomatis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah alat ini berfungsi dengan baik. Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun benda yang menyentuh sensor. Sensor kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik dari baterai untuk menggerakkan motor listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-talipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan menimbulkan suara yang nanti akan mengejutkan burung. Kata Kunci: Rancang Bangun, Pengendali Burung Otomatis, Burung Pipit, Bulir Padi Pendahuluan Pengendalian hama padi sawah untuk memperoleh produksi yang lebih meningkat terus dilakukan. Baik itu secara kimia maupun mekanik. Salah satu hama padi adalah burung yang biasa makan bulir padi. Petani biasa membuat alat untuk mengendalikan hama burung ini dengan beberapa untaian tali yang diberikan benda-benda yang dapat menimbulkan suara ketika tali ditarik. Hal itu akan menyebabkan burung kaget dan terbang meninggalkan padi, sehingga tidak jadi memakan tanaman padi. Petani biasanya menggerakkan untaian tali tersebut dengan menggunakan tenaganya sendiri melalui tangan, sehingga harus selalu diamati. Hal ini telah berlangsung secara turun temurun. Petani selalu harus berada di lokasi sawahnya untuk berjaga-jaga agar burung tidak akan makan tanaman padi ketika tiba waktu untuk memakan tanaman. Aktivitas dan waktu petani ini sangat tersita akibat ulah burung, bisa saja petani dapat melakukan aktivitas lain yang sama pentingnya untuk kebutuhan keluarganya. Misalnya saja petani harus mencari pakan untuk ternaknya di rumah, karena adapula petani yang memiliki ternak disamping Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

64 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

bertani padi. Ternak yang dipelihara biasanya sapi, ayam atau kambing. Istrinya harus ke pasar dan mempersiapkan makan, anaknya biasa harus sekolah sehingga bagi keluarga petani yang kurang mampu tentunya tidak dapat menyewa orang lain untuk membantu pekerjaannya. Petani yang ekonominya lemah tentunya akan terasa sulit dengan kondisi seperti di atas, oleh sebab itu dirasa perlu untuk membantu meringankan beban petani dengan membuat alat pengendali hama burung pemakan bulir padi ini. Alatnya dapat bekerja otomatis sehingga tidak perlu selalu ditunggui petani, hanya saat-saat tertentu saja petani bisa mengontrol tanaman padinya. Hal ini memungkinkan petani dapat melakukan aktivitas yang lain. Teknologi, sebagai penerapan ilmu / ilmu pengetahuan, adalah batuan dasar dari industri modern, yang pada gilirannya berkontribusi pada pengembangan teknologi (Akekere dan Yousuo, 2013). Metode Kajian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yang dilengkapi dengan alat yaitu sebagai berikut: pas, avo meter, adaptor, power suplay, tang pengupas kabel, gunting seng, gunting, kikir besi/kayu, solder, dan timah solder. Bahannya adalah kayu, tripleks, baut mur, pipa besi, paku, siku rak, baut mur siku rak, besi beton, gagang pintu (pegangan), motor listrik, baterai aa, baterai (aki), katup, klem pipa, poros nok, roda gigi, rantai kecil, sakelar, kabel, relai, pegas ulir, engsel, kerincingan, dan nilon. Pembuatan Miniatur Model Alat Pengendali Hama Burung Pembuatan alat ini diawali dengan pembuatan miniatur modelnya untuk melihat bisa tidaknya rancangannya beroperasi, dimana rancangan alatnya dibuat sama dalam ukuran skala kecil. Rancangan mekanisme elektroniknya terutama yang akan diketahui apakah berfungsi sesuai harapan atau belum, sehingga apabila belum berfungsi maka dapat diperbaiki tanpa menyita waktu dan bahan yang banyak. Proses dapat dilanjutkan ke perancangan alat pada skala prototipe. Pembuatan Prototipe Alat Pengendali Hama Burung Pembuatan Rangka Awal proses pembuatannya adalah dengan membuat kerangka sebagai pembentuk alat dan sebagai pemegang komponen-komponen lainnya nanti. Rangka ini dibuat dari bahan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 65

besi siku rak, dipotong sesuai ukuran yang diinginkan menjadi beberapa bagian. Potonganpotongan tersebut nantinya akan disambung dengan baut mur siku rak menjadi bentuk kubus. Konstruksi Proses selanjutnya adalah mengkonstuksi besi siku rak menjadi bentuk kubus sebagai dasar ataupun pondasi alat pengendali hama burung. Penyambungannya mudah saja, yaitu dengan mengikatnya menggunakan baut mur lalu dikencangkan dengan kunci pas dan kunci sock. Bila telah selesai dapat dilanjutkan dengan mengkonstruksi komponen-komponen yang lain seperti motor listrik, poros nok, katup dan rantai kecil. Pengujian Pengujian perlu dilakukan setelah alat pengendali hama burung otomatis ini selesai. Pengujian awal dilakukan di halaman rumah tempat pembuatan alat ini yang kebetulan sering banyak burung sejenis pipit datang setiap hari. Proses pengujian yang dilakukan menunjukkan kinerja prototipe alat sesuai dengan harapan rancangan yang telah dibuat. Hasil dan Pembahasan Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototipe alat ini berfungsi dengan baik. Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun benda yang menyentuh sensor (Gambar 1). Sensor kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik dari baterai untuk menggerakkan motor listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang mekanik akan ikut bergerak, sehingga talitalipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan menimbulkan suara yang nanti akan mengejutkan burung. Gambar 2 menunjukkan kalau dengan suara yang ditimbulkan dari menepuk tangan dapat menggerakkan alat pengendali hama burung. Suara tepukan itu ditangkap oleh sensor yang selanjutnya ditransfer ke rangkaian elektronik kemudian diubah menjadi mengalirkan arus listrik. Arus listrik akan menggerakkan elemen elektronik, selanjutnya akan menggerakkan mekanisme penggerak tali yang nanti menggerakkan tali-tali nilon dimana komponen kerincingan yang dilekatkan pada tali-tali nilon tersebut akan ikut bergerak dan menghasilkan bunyi. Burung-burung akan terkejut dengan bunyi-bunyian tadi sehingga mereka akan terbang menjauh.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

66 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Penahan tuas Baut

Tuas penggerak tali Casing Tuas

pengikat

Baut pengikat Tali nilon dan kerin-

Baut pengikat

Kabel bodi Baut pengikat

Kabel bodi Motor listrik Pemegang baterai/aki Baterai/aki

Gambar 1. Prototipe Alat Pengusir Burung

Tali-tali nilon dan kerincingan

Prototipe

Tepukan tangan menghasilkan suara untuk menggerakkan alat.

Gambar 2. Pengujian Prototipe Alat Pengusir Burung Pembuatan Proses pembuatan alat pengendali hama burung dilakukan sendiri. Lokasi pembuatannya di rumah sendiri. Adapun proses pembuatannya berurutan seperti dijelaskan berikut ini.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 67

Pembuatan Rangka Rangka ini berfungsi sebagai penopang komponen lain dan juga sebagai bentuk dasar alat pengendali hama burung seperti Gambar 3. Sulharman (2015) menyatakan rangka merupakan tempat ganjalan motor, kotak roda gigi dan roda.

Gambar 3. Rangka Pemasangan Komponen Komponen-komponen yang akan dipasangkan pada rangka adalah: motor listrik (Gambar 4), poros nok, baterai/Aki, papan rangkaian elektronik, tuas penggerak tali dan relai.

Gambar 4. Pemasangan Motor Listrik

Motor listrik ini untuk menggerakkan poros nok, arus listriknya diperoleh dari baterai/aki 12 volt 5 A. Setiap motor digerakkan oleh tenaga DC yang voltase dan arus adalah diukur dengan Tektronix P5200A probe tegangan (Tsai et.al., 2009). Motor listrik melakukan kebalikan dari listrik generator. Alih-alih mengubah energi mekanik menjadi listrik, motor listrik mengambil listrik dan mengubahnya menjadi energi mekanik (Manney, 2017). Semua motor, induksi atau magnet permanen, memiliki komponen dasar yang sama: stator, rotor, poros, dan rumahan motor (Gambar 1). Selain itu, mereka semua beroperasi melalui medan magnet yang dihasilkan sehingga menghasilkan torsi yang memutar rotor untuk menciptakan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

68 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

kerja mekanik yang dapat digunakan. Cara dimana medan magnet dihasilkan bervariasi menurut jenis dan konstruksi motor (King et al., 2012).

Gambar 5. Pemasangan Poros Nok, Katup dan Rantai Poros nok dan katup serta rantai dipasang untuk menggerakkan tuas penggerak tali. Poros nok mendapat tenaga putar dari motor listrik melalui rantai, selanjutnya nok akan menggerakkan katup. Tuas penggerak tali yang ditempatkan di atas katup akan ikut bergerak dengan bergeraknya katup (Gambar 5). Alofs (2015) mengungkapkan bahwa poros sisi sejajar dan kepala bodi berbentuk kerucut, piramida, peluru, atau pahat memiliki kekuatan yang besar. Tuas penggerak tali dipasang tepat di atas katup, tujuannya agar gerakan katup yang berasal dari poros nok dapat diteruskan ke tuas penggerak tali (Gambar 6). Nantinya gerakan tuas penggerak akan sama dan seirama dengan gerakan poros nok, motor listrik dan suara yang ditangkap sensor. Gerakan tuas penggerak hanyalah lurus ke atas dan ke bawah. Gerakan lurus ini telah diubah oleh katup dari gerakan melingkar poros nok dan motor listrik.

Gambar 6. Pemasangan Tuas Penggerak Tali Kesimpulan Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah prototipe alat ini berfungsi dengan baik. Bekerjanya alat ini dapat dipicu dari timbulnya suara yang ditangkap oleh sensor ataupun Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 69

benda yang menyentuh sensor. Sensor kemudian mengirimkan instruksi kepada rangkaian elektronik untuk mengalirkan arus listrik dari baterai untuk menggerakkan motor listrik. Akibatnya tuas penggerak tali atau batang mekanik akan ikut bergerak, sehingga tali-talipun akan bergerak pula. Akhirnya benda yang ada ditali berupa kerincingan akan bergetar dan menimbulkan suara yang nanti akan mengejutkan burung. Daftar Pustaka Akekere, J. and Yousuo, P.O.J. 2013. National electric energy supply and industrial productivity in Nigeria from 1970 to 2010. Journal of Economics and Sustainable Development, Vol. 4 (14). Alofs, E. 2015. Studies on Mounted Warfare in Asia III: The Iranian Tradition – Cavalry Equipment, Infantry, and Servants. War in History. Vol. 22 (2): 132-154. C.-Y. Tsai, K.-T. Song, X. Dutoit, H. Van Brussel, and M. Nuttin. 2009. “Robust visual tracking control system of amobile robot based on a dual-Jacobian visual interaction model,” Robotics and Autonomous Systems, vol. 57 (6-7): 652–664. King, D.J., Cooperman, A., Diecmann, J., Brodrick, J. 2012. Induction or PM motors. ASHRAE Journal. October. 81-85. Manney, D. 2017. Electric motors and generators: Sizing up the difference. L&S Electric. Vol. 20 (6): 36-38. Sulharman, 2015. Engineering of rocking nut maker tools. The Journal for Technology and Science, Vol. 26 (2): 35-39.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

70 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

AIR TERSEDIA PROFIL TANAH UNTUK TANAMAN PADI PADA USTIK ENDOAQUERT PAGUYAMAN-GORONTALO WATER AVAILABILITY OF SOIL PROFILES FOR PADDY IN USTIC ENDOAQUERT PAGUYAMAN OF GORONTALO NURDIN Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri Gorontalo Email: [email protected]

ABSTRACT Rice crops require sufficient amount of water for their development, but water is often a limiting factor if it is grown on dry Vertisol soils. The study aimed to determine the monthly water availability and water available of soil profiles for paddy on Endoaquert Ustic of Paguyaman. The research was conducted on 2 pedon of Vertisol soil profiles, which were pedon from Sidomukti Village of Mootilango District of Gorontalo Regency and from Sosial Village of Paguyaman District of Boalemo Regency. The soil profile was constructed and sampled according to soil survey principles. Climate data were collected from the Sidodadi and Molombulahe climate stations, including: rainfall data (mm), temperature (°C), relative humidity (%) and wind speed (km hour-1). Soil data used, including: soil water content of field capacity (pF = 2.5) and permanent wilting point (pF = 4.2) and root depth on 30 cm (rice roots). Monthly water availability analysis was using water balance method followed by water balance of soil profiles. The results showed that monthly water availability of Vertisol from Sidomukti Village was higher than Vertisol from Social Village. Water available of Vertisol soil profile from Sidomukti Village more by 41.09% compared to Vertisol from Social Village. Keywords: Water Availability, Profile, Soil, Vertisol Pendahuluan Wilayah Paguyaman adalah salah satu sentra utama pengembangan tanaman pangan, terutama padi sawah dan merupakan lumbung beras terbesar di Provinsi Gorontalo. Wilayah ini merupakan lembah gunung Boliyohuto dan tercakup dalam Daerah Aliran Sungai Paguyaman yang terdiri dari endapan danau (lakustrin), dataran alluvial dan teras sungai. Menurut Bahcri et al. (1993), geologi daerah Paguyaman dominan berkembang dari bahan lakustrin yang terdiri dari batu liat (claystones), batu pasir (sandstones), dan kerikil (gravel) pada epoch kuarter pleistosen dan holosen. Sementara Prasetyo (2007) melaporkan bahwa daerah Paguyaman mengandung mineral kuarsa dan dalam jumlah yang lebih sedikit masih dijumpai mineral ortoklas, sanidin dan andesin. Mineral epidot, amfibol, augit dan hiperstin

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 71

dijumpai dalam jumlah sangat sedikit. Sehingga, cadangan hara di daerah ini tergolong sedang. Data Stasiun Iklim Sidodadi dan Molombulahe selang tahun 2007-2013 menunjukkan bahwa daerah Paguyaman menurut Zona Agroklimat (Oldeman dan Darmiyati, 1977) termasuk E4 karena memiliki 6-9 bulan kering (<100 mm) dan 1 bulan basah (≥200 mm). Rata-rata curah hujan bulanan stasiun Sidodadi hanya sebanyak 93 mm bulan -1 dan 85 mm bulan-1 pada stasiun Molombulahe. Melihat kondisi tersebut, maka daerah ini mempunyai faktor pembatas penggunaan lahan yang optimal, antara lain beriklim kering dan ketersediaan air yang minim sehingga akan mempengaruhi penggunaan lahan untuk pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Padahal, sejak tahun 1965 daerah Paguyaman dikenal sebagai kawasan pertanian, terutama pengembangan padi sawah dan tanaman palawija. Menurut Rachim (2003), budidaya pertanian dapat mempengaruhi kondisi kelembaban tanah selama tanah diusahakan. Lebih lanjut dikatakannya bahwa suhu tanah dapat mengontrol proses biologik dan kemungkinan pertumbuhan tanaman karena setiap spesies tanaman memiliki persyaratan suhu tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketersediaan air bulanan dan air tersedia dalam profil tanah untuk padi di Paguyaman. Bahan dan Metode Site Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada 2 pedon tanah yang mewakili dua area penelitian, yaitu bagian utara dan bagian selatan DAS Paguyaman berasarkan aliran utama sungai Paguyaman (Gambar 1). Site spesifik 2 (dua) lokasi tersebut, yaitu: (1) areal tanah sawah tadah hujan Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango Kabupaten Gorontalo, (2) areal tanah sawah tadah hujan Desa Sosial Kecamatan Paguyaman Kabupaten Boalemo. Penelitian dimulai pada bulan April-Augustus 2013. Pelaksanaan lapang didasarkan pada lokasi contoh profil (pedon). Profil tanah dibuat dan diambil contohnya sesuai dengan prinsip-prinsip survei tanah (NSSC-NCRS USDA 2002 dalam Abdullah 2006). Berikut adalah deskripsi dan klasifikasi tanah di daerah penelitian. 1. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sidomukti Kec. Mootilango Kabupaten Gorontalo

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

72 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi

: : : : : : : : : :

Ustik Endoaquert Eutrik Grumusol Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Depresi Datar-Landai; Lereng <2% 58 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.)

Tabel 1. Klasifikasi tanah Desa Sidomukti, Kec. Mootilango, Kabupaten Gorontalo Kedalaman (cm) 0-12

Horison

Uraian

Apg1

Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur masif; sangat lekat, plastis; perakaran halus, banyak; jelas rata Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut sedang, lemah; sangat lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; baur rata Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, lemah; sangat lekat, plastis; jelas berombak. Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, sedang, sedang; sangat lekat, plastis; ada bidang kilir; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; baur rata. Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; struktur gumpal bersudut, kasar, kuat; sangat lekat, plastis; karatan coklat (10YR 5/3), biasa, halus, jelas, tabung, jelas; jelas rata. Kelabu gelap (10YR 4/1); liat; sangat lekat, sangat gembur; baur rata.

12-31

Apg2

31-53

Bwg1

53-71/92

Bwg2

71/92-119

Bwssg

119-150

BCg1

150-200

BCg2

Berdasarkan deskripsi dan morfologi tanah, maka kedua pedon diklasifikasi sebagai Ustik Endoaquert (Soil Taxonomy), dimana kedua pedon memiliki regim kelembaban ustik yang selalu jenuh air dan tergolong tanah Vertisol (Tabel 1 dan Tabel 2). Adanya proses eluviasi dan iluviasi serta gleisasi dan karatan menunjukkan bahwa tanah telah berkembang dengan adanya Horison B. Djaenuddin dan Hendrisman (2005) melaporkan bahwa profil tanah di daerah Paguyaman ditemukan karatan besi dan mangan, konkresi dan nodul dalam jumlah cukup sampai banyak pada kedalaman 0-110 cm. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 73

2. Deskripsi dan klasifikasi tanah dari Desa Sosial, Kec. Paguyaman, Kabupaten Boalemo Klasifikasi Tanah Taksonomi (USDA) PPT FAO/UNESCO Bahan Induk Posisi Fisiografik Topografi Elevasi Drainase Kedalaman Air Tanah Vegetasi

: : : : : : : : : :

Ustik Endoaquert Eutrik Grumusol Cambisol Endapan Danau Kaki Lereng, Depresi Datar-Landai; Lereng <2% 42 m dpl Buruk Dangkal Padi (Oryza sativa L.)

Tabel 2. Klasifikasi tanah dari Desa Sosial, Kec. Paguyaman, Kabupaten Boalemo Kedalaman Horison Uraian (cm) 0-21 Apg1 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur masif; agak lekat, plastis; karatan coklat (10YR 4/3), sedikit, halus, baur, bintik, tajam; perakaran halus, banyak; berangsur rata. 21-37 Apg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, sedikit; berangsur rata. 37-60 Bwg1 Kelabu (10YR 6/1); liat; struktur gumpal bersudut, halus, sedang; agak lekat, plastis; berangsur rata. 60-80 Bwg2 Kelabu (10YR 5/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; agak lekat, plastis; perakaran halus, banyak; berangsur rata. 80-103 Bwg3 Kelabu (10YR 5/1); lempung berliat; struktur prismatik, halus, lemah; lekat, plastis; nyata rata. 103-200 BCg Kelabu terang (10YR 7/1); liat; struktur prismatik, halus, lemah; lekat, plastis; karatan coklat terang (7,5YR 6/3), sedang, sedang, jelas, bintik, jelas; nyata rata. Penetapan Air Tersedia Profil Tanah Data iklim dikumpulkan dari dua stasiun iklim, yaitu stasiun Sidodadi, dan Molombulahe. Data curah hujan (mm), suhu (oC), kelembaban relatif (%) dan data kecepatan angin (km/jam-1) tersedia di dua stasiun yang ada. Sedangkan data panjang penyinaran (%) hanya di stasiun iklim Sidodadi. Data iklim tersebut disajikan pada Tabel 3 hingga Tabel 6.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

74 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 3. Data Curah Hujan Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman Data Curah Hujan Bulanan (mm) A M J J A S O

Nama Stasiun

Altitut (m dpl)

J

F

M

1

Molomb ulahe

46

91

48

48

111

100

121

118

37

41

2

Sidodadi

44

13 4

53

101

127

264

68

71

81

31

No

Jumlah

Rataan

BB

BK

ZAK

134

1.021

85

0

6

E3

113

1.112

93

1

8

E4

N

D

59

113

42

83

Tabel 4. Data Suhu Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman Suhu Bulanan (oC) Altitut No Nama Stasiun (mdpl) J F M A M J J A S 1 Molombulahe 43 28 27 27 28 26 26 25 26 26 2 Sidodadi 44 27 26 26 28 28 27 26 27 27

O 26 28

Tabel 5. Data Kelembaban Udara Beberapa Stasiun Iklim di Daerah Paguyaman Kelembaban Udara Bulanan (%) Altitut No Nama Stasiun (mdpl) J F M A M J J A S O 1 Molombulahe 43 72 65 69 66 76 62 68 52 43 68 2 Sidodadi 44 91 90 87 89 90 92 90 88 85 90

N 27 27

N 66 92

D 28 27

D 58 92

Tabel 6. Data Panjang Penyinaran Matahari di Stasiun Iklim Sidodadi Kabupaten Gorontalo Panjang Penyinaran Bulanan (%) Nama Altitut No Stasiun (mdpl) J F M A M J J A S O N D 1 Sidodadi 44 43 48 52 48 44 39 45 52 52 46 43 42 BB = bulan basah; BK = bulan kering; ZAK = zona agroklimat.

Jumlah

Rataan

320 324

26,67 27,00

Jumlah

Rataan

765 1076

63,75 89,67

Jumlah

Rataan

554

46,17

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 75

Data yang digunakan, yaitu data iklim (curah hujan rata-rata bulanan, dan suhu udara), data kadar air tanah kondisi kapasitas lapang (pF=2.5) dan titi layu permanen (pF=4.2), dan kedalaman efektif perakaran 30 cm (tanaman pangan). Penentuan air tersedia bulanan menggunakan metode penentuan neraca air wilayah, sementara penentuan tersedia profil (ATP) untuk padi menggunakan metode neraca air profil dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Curah hujan efektif (CHE) atau CH75 (CH peluang terlampaui 75%) ditetapkan dengan metode rangking dari data CH bulanan periode sepuluh tahun. Semua daerah penelitian tergolong datar, sehingga diasumsikan CH dapat meresap ke dalam tanah sebesar 90%CHE. 2. Nilai ETo (reference crop evapotranspiration) ditetapkan dengan metode BlaneyCriddle. 3. Nilai ETc diperoleh dari persamaan ETc = kc x ETo, dimana Etc (crop evapotranspiration) adalah evapotranspirasi potensial, kc (crop coefficient) adalah koefisien tanaman. 4. Pengurangan CHE 90% dengan ETc pada bulan tertentu yang sama. Apabila 90%CHE > Etc, maka diperoleh nilai positif. Sebaliknya, apabila 90%CHE < Etc, maka diperoleh nilai negatif. 5. Air tersedia profil (ATP), yaitu kemampuan tanah menyimpan air yang tersedia bagi tanaman atau water holding capacity (WHC). Apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai positif menunjukkan ATP pada kondisi WHC, dimana pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh faktor iklim. Sedangkan apabila pada tahap ke-4 diperoleh nilai negatif, maka besarnya air pada WHC dikurangi dengan jumlah air yang defisit dari tahap ke-4 dan menunjukkan periode pertumbuhan yang dipengaruhi oleh faktor tanah, yaitu WHC. 6. Apabila nilai WHC lebih kecil dari nilai defisit tersebut, maka nilai ATP bernilai negatif atau 0. Pada kondisi nilai ATP sama dengan nol, maka terjadi evapotranspirasi aktual (ETa). 7. Setelah ATP bulan ditetapkan, maka dihitung air yang digunakan tanaman (ETc) dari ATP. Penggunaan ATP untuk memenuhi ETc mengacu pada Doorenbos dan Pruitt (1977), yaitu penyerapan ATP oleh tanaman (ETc) berdasarkan penggunaan air dalam tanah dengan perbandingan 40%, 30%, 20% dan 10% pada 1/4 bagian pertama, kedua, ketiga dan keempat. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 76

8. Apabila ATP pada bagian pertama tidak mampu mencukupi ETc, maka tanaman mengambil air pada lapisan kedua, seterusnya sampai lapisan keempat hingga ETc terpenuhi. Apabila nilai ATP sampai lapisan keempat tidak mencukupi kebutuhan ETc, maka terjadi defisit air pada bulan tersebut. Untuk tanaman pangan, tebal lapisan yang digunakan yakni per 7,5 cm (0-7,5; 7,5-15; 15-30 cm). Koefisien tanaman (kc) tergantung pada fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman. Nilai kc masing-masing tanaman tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai kc Tanaman pada Penelitian Tanaman Padi Lokal Padi Unggul

Initial Crop 1,05 (60) 1,05 (40)

Fase dan Waktu (hari) Middle Season Late Season 1,20 (80) 0,70 (40) 1,20 (54) 0,70 (26)

Masa Tanam (hari) 180 120

Sumber Data: Allen et al. (1998)

Hasil dan Pembahasan Ketersediaan Air Bulanan Tampaknya, ketersediaan air bulanan (KAB) tanah Vertisol berdasarkan data iklim terpilih dari pedon asal Desa Sidomukti, rata-ratanya masih lebih tinggi dibandingkan pedon asal Desa Sosial (Tabel 8). Hanya pada bulan Mei dan Juli yang mengalami penurunan KAB yang masing-masing sebanyak 49,93 mm dan 51,33 mm. Sementara pedon dari Desa Sosial penurunannya relatif lebih besar pada bulan Agustus yang hanya 9,68 mm dan bulan September sebanya 36,28 mm. Namun, pada prinsipnya kedua pedon hanya mengalami penurunan KAB dari rata-rata bulanan sebanyak dua bulan saja, meskipun berbeda bulan. Kondisi KAB tersebut akan mempengaruhi air tersedia dalam profil tanah (ATP). Berdasarkan KAB ini, maka padi dapat mulai ditanam pada bulan Maret sampai bulan Agustus. Salah satu faktor pembatas penggunaan lahan untuk komoditas ini adalah ketidakmenentuan curah hujan (Suyamto et al., 2008), selain karena kesuburan tanah yang sedang (Nurdin, 2010).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 77

Tabel 8. Kondisi Ketersediaan Air Bulanan untuk Padi di Daerah Paguyaman Gorontalo Bulan (mm)/Lokasi Unsur 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Desa Sidomukti ETo 102.5 90.5 100.2 101.5 104.9 99.2 100.2 99.2 99.2 104.9 99.2 102.5 ETo50 51.3 45.3 50.1 50.7 52.4 49.6 50.1 49.6 49.6 52.4 49.6 51.3 ETc 14.9 13.6 52.6 53.3 62.9 59.5 60.1 34.7 14.4 15.2 14.4 14.9 ETc Padi 52.6 53.3 62.9 59.5 60.1 34.7 CH75 100.5 39.8 75.8 95.3 198.0 51.0 53.3 60.8 23.3 31.5 62.3 84.8 CHE90 90.5 35.8 68.2 85.7 178.2 45.9 47.9 54.7 20.9 28.4 56.0 76.3 CHE90-ETc 75.6 22.2 15.5 32.4 115.3 -13.6 -12.2 19.9 6.5 13.1 41.6 61.4 KAB Ver 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 49.93 51.33 63.53 63.53 63.53 63.53 63.53 Desa Sosial ETo 103.5 91.4 101.0 99.7 98.8 95.6 96.5 95.6 95.6 98.8 97.9 103.5 ETo50 51.7 45.7 50.5 49.8 49.4 47.8 48.3 47.8 47.8 49.4 48.9 51.7 ETc 15.0 13.2 14.6 52.3 51.9 57.4 57.9 57.4 33.5 14.8 14.2 15.0 ETc Padi 52.3 51.9 57.4 57.9 57.4 33.5 CH75 68.3 36.0 36.0 83.3 75.0 90.8 88.5 27.8 30.8 44.3 84.8 100.5 CHE90 61.4 32.4 32.4 74.9 67.5 81.7 79.7 25.0 27.7 39.8 76.3 90.5 CHE90-ETc 46.4 19.2 17.8 22.6 15.6 24.3 21.7 -32.4 -5.8 25.0 62.1 75.4 KAB Ver 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 42.08 9.68 36.28 42.08 42.08 42.08 ETo=evapotranspirasi potensial, ETo50=50% dari evapotranspirasi potensial, ETc=evapotranspirasi tanaman, CH75=curah hujan peluang terlampaui 75%, CHE90=curah hujan efektif 90%, KAB=ketersediaan air bulanan, Ver=vertisol.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional

| 78

Pada beberapa bulan tertentu untuk padi menunjukkan nilai negatif. Tanda ini menunjukkan bahwa kondisi air tersedia profil pada bulan tersebut merupakan bulan defisit air. Terdapat dua bulan defisit, yaitu pada bulan Juni dan Juli untuk lokasi Desa Sidomukti serta bulan Agustus dan September untuk lokasi Desa Sosial. Berdasarkan klasifikasi tanahnya (Tabel 1 dan 2), menunjukkan bahwa kandungan fraksi liat yang tinggi pada kedua pedon, sehingga apabila ketersediaan air bulanan relatif rendah akan mempengaruhi sifat fisik tanahnya terutama sifat mengembang-mengkerut (swelling-shrinking). Salter et al. (1966) menyatakan bahwa fraksi liat berkorelasi positif terhadap kapasitas menahan air. Sebelumnya Hillel (1998) menyatakan bahwa liat mampu menyerap dan mengikat air yang menyebabkan tanah mengembang saat pembasahan dan menyusut saat kering. Apabila musim kemarau terjadi, maka akan terbentuk rekahan-rekahan pada musim kemarau yang jika tanaman masih dalam masa perkembangan akan menghambat atau bahkan menyebabkan putusnya akar-akar tanaman dan akhirnya mati. Air Tersedia dalam Profil Tanah Curah hujan sangat mempengaruhi tinggi rendahnya ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini terlihat pada lokasi penelitian yang ketersediaan air tanahnya mampu menyediakan air untuk kebutuhan tanaman (ETc), tetapi ada juga yang harus mendapatkan suplai air dari hujan. Kondisi air tersedia profil atau ATP (Tabel 9) menunjukkan pola yang fluktuatif antara kedua pedon. Hal ini disebabkan karena jumlah hujan yang tidak tetap pada setiap bulannya, sehingga mempengaruhi ATP masing-masing pedon. Selanjutnya, penurunan ATP menyebabkan pemenuhan kebutuhan air tanaman (ETc) juga menurun. Menurut Firmansyah (2007), penurunan ETc akan mempengaruhi produksi tanaman. Walaupun penurunan tersebut tidak sampai menghambat perkembangan tanaman. Tabel 9. Kondisi Air Tersedia Profil Rata-Rata Bulanan untuk Padi di Paguyaman Gorontalo Tanah/Lokasi Vertisol Desa Sidomukti Vertisol Desa Sosial ……………………………………………….. mm/bulan-1 …………………………………….. 58,4 34,4 Tampaknya, ATP tanah Vertisol asal Desa Sidomukti (58,4 mm bulan-1) masih lebih banyak 41,09% dibandingkan ATP tanah Vertisol asal Desa Sosial yang hanya 34,4 mm bulan-1. Hal ini sudah tergambarkan dari ketersediaan air bulanan (Tabel 8). Kondisi lapangan kedua jenis tanah merupakan tanah sawah tadah hujan yang sumber air utama hanya berasal dari air hujan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurdin (2010) bahwa tanah sawah tadah hujan di wilayah ini mendapat suplai air dari hujan dan dari pemompaan sungai Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 79

terdekat yang volumenya cukup terbatas. Kondisi ini ditunjang oleh data curah hujan bulanan yang rata-rata hanya 85 mm dan 93 mm untuk kedua stasiun iklim (Tabel 3, 4 dan 5) dengan suhu yang relatif tinggi (26,67 dan 27,00oC) serta kelembaban udara yang cukup tinggi (63,75 dan 89,67%). Oleh karena itu daerah penelitian ini masuk dalam zona agroklimat E3 dan E4 dengan bulan kering 6-8 bulan. Menurut Setiobudi (1997), kebutuhan air tanaman padi berbeda-beda pada setiap stadia perkembangan tanaman padi. Lebih lajut dikatakannya, untuk varitas IR64 total kebutuhan air tanaman padi mulai dari tanam sampai panen sebanyak 760 mm. Sementara untuk varitas Ciliwung sebanyak 590 mm dan varitas Muncul sebanyak 645 mm. Dengan demikian, maka dengan pertimbangan ketersediaan air dalam profil tanah eksisting, evapotranspirasi dan perkolasi kebutuhan air untuk tanaman padi sampai saat ini belum dapat penuhi. Beberapa hal yang dapat dlakukan adalah pembangunan sumur irigasi karena potensi wilayah yang merupakan zona depresi, pembangunan embung dan jaringan iriasi, serta efisiensi penggunaan air agar air yang tersedia cukup. Kesimpulan 1.

Ketersediaan air bulanan tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih tinggi dibandingkan Vertisol dari Desa Sosial.

2.

Air tersedia profil tanah Vertisol asal Desa Sidomukti lebih banyak, yaitu sebesar 41,09% dibandingkan tanah Vertisol asal Desa Sosial.

Daftar Pustaka Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiration: guidelines for computing crop water requirement. Rome: FAO p.300. Abdullah TS. 2006. Buku lapang untuk pendekripsian dan pengambilan contoh tanah berdasarkan Taksonomi Tanah USDA. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor. Bahcri S, Sukido, Ratman N. 1993. Peta geologi lembar tilamuta, Sulawesi Skala 1:250.000. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Djaenuddin D, Hendrisman M. 2005. Evaluasi lahan secara kuantitatif: studi kasus pada tanaman jagung, kacang tanah dan kacang hijau di daerah Paguyaman Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Jurnal Tanah dan Lingkungan 7:27-35. Firmansyah MA. 2007. Karakteristik dan resiliensi tanah terdegradasi di lahan kering Kalimantan Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hillel D. 1998. Pengantar fisika tanah. Terjemahan Intriduction to soil physisc oleh RH Susanto, RH Purnomo. Yogyakarta: Mitra Gama Widya. Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

80 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Nurdin. 2010. Perkembangan, Klasifikasi dan Potensi Tanah Sawah Tadah Hujan dari Bahan Lakustrin di Paguyaman, Gorontalo. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Oldeman LR, Darmiyati, S. 1977. An agroclimatic map of Sulawesi scale 1:2.500.000. Bulletin No ke-60. Bogor: Contri Centre Research Institute of Agriculture. Prasetyo BH. 2007. Perbedaan sifat-sifat tanah vertisol dari berbagai bahan induk. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 9:20-31. Rachim DA. 2003. Mengenal taksonomi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. Rachim DA. 2007. Dasar-dasar genesis tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas pertanian Institut Pertanian Bogor. Salter PJ, Berry G, William JB. 1966. The influence of texture on moisture characteristics of soils; quantitative relationships between particle size, composition and availablewater capacity. Jurnal of Soil Science 17(1): 93-98. Setiobudi, DA. 1997. Alternatif teknik penghematan air irigasi melalui system pengairan intermiten pada tanaman padi sawah. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pemanfaatan Air Irigasi di Tingkat Usahatani menuju Pertanian Modern. Balai Irigasi, Bekasi. Hlm. 50-60. Suyamto, Toha HM, P Hamdan, MY Sumaullah, TS Kadir, F Agus. 2008. Petunjuk teknis pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah tadah hujan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian RI.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 81

KETAHANAN TANAMAN OKRA HIJAU (Abelmoschus esculentus L.) VARIETAS NAILA IPB TERHADAP CEKAMAN SALINITAS DENGAN PERLAKUAN NaCl SARTIN LADIKU1, INDRIATI HUSAIN2* DAN YUNNITA RAHIM3 1,2,3

Universitas Negeri Gorontalo

*Email:

[email protected] ABSTRAK

Cekaman salinitas merupakan salah satu faktor cekaman lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman. Berdasarkan permasalahan salinitas maka perlu dilakukan upaya pemilihan jenis tanaman yang tahan (toleran) pada kondisi cekaman salinitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman okra hijau (Abelmoschus esculentus L.) varietas Naila IPB terhadap cekaman salinitas melalui pemberian garam NaCl. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Dunggala Kecamatan Tapa Kabupaten Bone Bolango pada bulan Mei sampai bulan Agustus 2017. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan konsentrasi garam NaCl: 0, 1, 2, 3.5, 4%. Parameter yang diamati adalah pertambahan jumlah daun, luas daun, waktu berbunga, jumlah bunga, jumlah stomata, jumlah buah, berat basah akar, volume akar, berat basah tanaman dan berat tanaman kering. Analisis data menggunakan sidik ragam ANOVA dengan uji BNT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman okra tahan terhadap salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi 4%. Peningkatan konsentrasi NaCl berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar dan berat tanaman kering. Kata Kunci: Cekaman, NaCl, Okra, Salinitas Pendahuluan Tanaman okra (Abelmoschus esculentus L.) merupakan tanaman sayuran berbentuk buah. Sayuran ini mengandung sumber vitamin, mineral, protein, karbohidrat, lemak dan sumber kalori yang dibutuhkan tubuh manusia. Buah okra mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi pada setiap 100 g buah okra mengandung 1 g lendir, karbohidrat 7 g dan kalium 70-90 mg. Skala persen kandungan gizi buah okra yaitu protein 3,9%, lemak 2,05%, kalium 6,68%, fosfor 0,77%, dan karbohidrat 1,4% (Idawati, 2012). Tanaman okra berbentuk persegi lima, buah okra memiliki manfaat yaitu sebagai antioksidan, pholipenol, flavonoid yang dapat meringankan keletihan, mencegah stres oksidatif, berpotensi untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan resiko penyakit diabetes dan Alzheimer (Ikrarwati dan Nofi, 2016). Tanaman okra cocok dibudidayakan di daerah tropis baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Kendala utama penanaman okra di Indonesia adalah belum dikenal secara luas, selain itu belum tergarapnya peluang pasar ekspor okra oleh petani (Awaludin, 2001). Tanaman okra dikembangkan di Gorontalo melalui pemanfaatan lahan-lahan yang ada. Pemanfaatan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan marginal. Lahan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

82 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

marginal dapat diartikan sebagai lahan yang bermutu rendah karena kesuburannya berkurang, memiliki beberapa faktor pembatas diantaranya kurangnya ketersediaan air dan unsur hara. Salah satu kondisi cekaman yang dijumpai pada lahan-lahan penanaman yang ada yaitu cekaman garam, terutama pada lahan marginal (Ma’ruf, 2016). Lahan marginal dijumpai baik pada lahan pesisir pantai dan lahan kering. Lahan pesisir pantai memiliki tekstur pasiran, daya menyimpan air rendah, kandungan hara rendah, kecepatan air dan laju evaporasi yang tinggi (Yuwono, 2009). Terjadinya penimbunan garam di lahan pesisir pantai, dikaitkan dengan penyusupan air laut kedaratan yang umumnya berlangsung melalui saluran permukaan dan melalui jalur dibawah tanah (Sutedjo dan Kartasapoetra, 2010). Pemanfaatan lahan kering selalu di hadapkan berbagai faktor pembatas diantaranya yaitu keterbatasan air, kadar bahan organik rendah, kadar hara relatif rendah dan kemasaman tanah tinggi. Besarnya pori-pori tanah dan tingginya radiasi cahaya matahari di daerah lahan kering yang mengakibatkan infiltrasi sehingga tidak dapat menahan air, tanah di daerah lahan kering memiliki kadar garam yang tinggi sebagai dampak dari kombinasi tingginya evapotranspirasi akibat suhu yang tinggi (Rauf, 2008). Tanah-tanah di daerah kering yang curah hujan rendah menyebabkan kandungan garam diangkat keatas dari tanah dangkal dibawa oleh air kepermukaan dan ditimbun dalam jumlah yang membatasi penyerapan air oleh tanaman (Yulius et al., 1997). Salinitas merupakan salah satu kendala pada lahan-lahan pertanian yang ada dan menjadi faktor pembatas untuk produksi tanaman. Salinitas dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan hasil panen. Tanah menjadi tidak produktif (tidak subur) karena adanya penimbunan garam dalam tanah, dimana pada daerah-daerah tersebut tumbuhan akan menghadapi masalah yaitu tumbuhan sulit memperoleh air dari dalam tanah dan konsentrasi ion natrium, karbonat dan klorida yang tinggi yang kemungkinan beracun (Salisbury dan Ross, 1995). Untuk mengatasi masalah kondisi cekaman lingkungan (cekaman salinitas), maka perlu dilakukan upaya pemilihan jenis tanaman yang tahan atau mampu tumbuh pada kondisi cekaman salinitas. NaCl adalah salah satu garam terlarut dalam tanah yang merupakan unsur esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Kelebihan larutan garam dalam tanah mempengaruhi pola pertumbuhan tanaman. Salinitas didefinisikan sebagai garam terlarut dalam konsentrasi berlebihan dalam tanah atau air. Pengaruh utama salinitas tanah yaitu berkurangnya pertumbuhan vegetatif tanaman seperti berkurangnya luas daun sehingga Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 83

mengakibatkan proses fotosintesis menjadi lambat (Yuniati, 2004). Fotosintesis adalah respon tumbuhan terhadap peningkatan konsentrasi NaCl berbeda-beda tergantung jenis tanaman. Konsentrasi NaCl yang tinggi dapat meningkatkan atau menurunkan pertumbuhan tanaman (Asih et al., 2015). Tanaman okra akan diuji ketahanannya terhadap cekaman salinitas melalui pemberian garam NaCl dengan menggunakan konsentrasi dasar air laut 3.5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketahanan tanaman okra hijau (Abelmoschus esculentus L.) terhadap pemberian garam NaCl. Metode Penelitian dilaksanakan di Desa Dunggala, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, pada bulan Mei sampai Agustus 2017. Secara umum keadaan fisik lokasi penelitian yaitu memiliki luas wilayah ± 7.8 km2, berada pada ketinggian tempat 95 m dpl. Alat dan bahan yang digunakan yaitu timbangan digital, polibag, sprayer, gelas ukur, ember, meteran, mikroskop, kaca preparat, benih okra hijau varietas Naila IPB, media tanam campuran tanah pupuk kandang ayam (2:1), NaCl dan cat kuku. Rancangan percobaan menggunakan rancangan lingkungan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari lima taraf perlakuan dengan lima ulangan, sehingga terdapat 25 unit percobaan. Lima taraf perlakuan tersebut adalah P1= tanpa NaCl, P2= NaCl 1% , P3= NaCl 2%, P4= NaCl 3.5% dan P5= NaCl 4%. NaCl ditimbang dan dilarutkan sesuai perlakuan. Larutan NaCl diaplikasikan pada tanah sekitar akar tanaman sesuai perlakuan saat tanaman berumur 4, 5, 6 dan 7 minggu setelah tanam (MST). Media tanam dibuat dari campuran tanah dan pupuk kandang ayam (2:1). Media tanam dimasukkan ke dalam polibag berukuran 40 cm x 40 cm x 20 cm seberat 5 kg. Benih okra hijau ditanam sebanyak 2 benih tiap polibag. Pengamatan diamati terhadap variabel: 1. Luas daun (cm). Luas daun diamati pada umur 5 minggu setelah tanam dan setelah panen. Luas daun dihitung menggunakan rumus (Sitompul dan Guritno, 1995): LD=

WR x LK WT

Keterangan : LD

= Luas daun

WR = Berat replika daun

LK

= Luas kertas

WT = Berat total kertas

2. Waktu berbunga (hari). Waktu berbunga diamati pada saat hari pertama tanaman okra mulai berbunga.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

84 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

3. Jumlah stomata. Jumlah stomata diamati setelah panen. Sampel stomata diambil dengan mengoleskan cat kuku pada bagian bawah daun. Cat kuku kemudian dikeringkan. Setelah kering, jaringan daun yang terangkat bersama cat kuku diletakkan pada kaca preparat dan diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali (10x lensa okuler, 40x lensa objektif). 4.

Jumlah buah. Jumlah buah dihitung pada masing-masing sampel tanaman tiap polibag pada saat panen.

5. Berat basah akar (gram). Akar dibersihkan dari kotoran atau tanah yang menempel. Akar yang sudah dibersihkan kemudian ditimbang. Berat akar diamati setelah panen. 6. Volume akar (mL). Akar tanaman okra dibersihkan dari tanah yang menempel. Akar yan telah bersih dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml yang berisi air 250 ml. Volume akar diamati setelah panen. 7. Berat basah tanaman (gram). Batang, daun dan akar tanaman okra dipanen, kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital. Berat basah tanaman diamati setelah panen. 8. Berat tanaman kering (gram). Bagian batang, daun dan akar tanaman okra setelah kering angin selama seminggu, kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital. Berat tanaman kering diamati setelah panen. Data yang di peroleh dianalisis secara statistik menggunakan metode analisis ragam dalam Uji F taraf 5%. Hasil analisis ragam yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) taraf 5%. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis ragam pada uji F 5% memperlihatkan bahwa perlakuan konsentrasi NaCl tidak berpengaruh terhadap luas daun, waktu berbunga, jumlah buah, berat basah akar, dan berat basah tanaman okra hijau. Perlakuan konsentrasi NaCl berpengaruh terhadap jumlah stomata, volume akar dan berat tanaman kering tanaman okra hijau. Tabel 1 memperlihatkan rataan dari semua variabel pengamatan seperti yang disebutkan di atas, pada masing-masing perlakuan, menurun dengan meningkatnya konsentrasi NaCl. Waktu berbunga menjadi lebih cepat, jumlah stomata berkurang karena media tanam mengalami kekeringan, karena kadar air dalam media tanam rendah. Tanaman beradaptasi pada kondisi ini dengan mengurangi jumlah stomata sehingga penguapan air (transpirasi) dapat dikurangi. Penurunan rataan luas daun dapat mempengaruhi proses fotosintesis karena intensitas penerimaan cahaya matahari menjadi berkurang (Suwignyo et al., 2010). Luas daun Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 85

memegang peranan penting, karena laju fotosintesis berlangsung mengikuti perkembangan luas daun (Haryadi, 2013). Menurut Dachlan et al. (2013), adanya NaCl dalam media tumbuh dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan berpengaruh pada proses-proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis. Pemberian NaCl dapat menginduksi cekaman air (kekeringan) sehingga menurunkan laju fotosintesis. Penurunan potensial air tanaman akan mempengaruhi penutupan stomata pada daun. Pengaruh salinitas terhadap fotosintesis tanaman, dibagi dalam tiga kategori yaitu mempengaruhi sifat pertumbuhan daun yang kemudian berpengaruh dalam fotosintesis, mempengaruhi resistensi stomata terhadap difusi CO2 dan berpengaruh terhadap reaksi-reaksi biokimia dalam fotosintesis. Menurut Arnanto et al. (2013), fase pembungaan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan diantaranya iklim dan tanah. Pembentukan buah ada kaitannya dengan bunga yang terbentuk. Banyaknya buah terbentuk dipengaruhi oleh beberapa kandungan unsur hara salah satunya Kalium (Arnanto et al., 2013). Natrium memiliki fungsi yang sama seperti unsur Kalium. Natrium dapat membantu dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim dan mineral (Sabban, 2012). Berat basah akar menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi NaCl pada media tanam. Walaupun tidak berbeda nyata, namun tanaman okra tahan sampai pemberian konsentrasi NaCl 4%. Cekaman salinitas menyebabkan akar berada dalam lingkungan dengan potensial air yang lebih rendah, sehingga penyerapan air menjadi terhambat. Penurunan jumlah air akan menyebabkan penurunan kemampuan fotosintesis sehingga ketersediaan karbohidrat sebagai sumber energi akan menurun (Fitter dan Hay, 1994 dalam Asih, 2015) Semakin tinggi konsentrasi NaCl, maka semakin menurun volume akar. Peningkatan konsentrasi NaCl dalam media tanam dapat menurunkan potensial air sehingga mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman okra menjadi kecil, akar menjadi kurus, menggulung dan sedikit rambut akar. Menurut Lubis (2000), salinitas yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman menjadi lebih kecil, sedikit percabangannya. Menurut Siregar et al. (2010), panjang akar dan jumlah akar menurun seiring meningkatnya konsentrasi NaCl. Konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan menurunnya permeabilitas akar dalam menyerap air, oleh sebab itu air akan masuk ke akar tanaman dalam jumlah sedikit. Berat basah tanaman berkaitan dengan luas daun dan akar tanaman. Berkurangnya luas daun akan mempengaruhi proses fotosintesis sedangkan panjang akar akan mempengaruhi penyerapan air dan unsur hara. Semakin tinggi konsentrasi NaCl, semakin menurun bobot Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

86 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

basah tanaman. Semakin tinggi konsentrasi NaCl menyebabkan meningkatnya Na + dan Clyang terserap ke dalam jaringan tanaman yang kemudian akan menghambat proses metabolisme (Lubis, 2008 dalam Djukri, 2009 ). Tanaman okra yang diberi perlakuan NaCl 3.5% menunjukkan gejala salinitas dengan gejala warna daun menguning di bagian tepi daun. Hasil percobaan di sini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi NaCl, maka semakin menurun berat tanaman kering. Penurunan berat tanaman kering disebabkan oleh rendahnya ketersediaan air selama pertumbuhan tanaman okra. Konsentrasi NaCl yang semakin meningkat dalam media tanam dapat mempengaruhi penyerapan air, sehingga jumlah air yang terserap oleh akar tanaman okra menjadi sedikit. Pengaruh yang nyata, tanaman okra memberikan respon terhadap salinitas yaitu dengan memperlihatkan ukuran daun yang sempit, bukaan stomata yang lebih kecil dan terlihat seperti layu, hal tersebut menunjukkan respon tanaman okra terhadap cekaman salinitas. Menurut Solichatun et al. (2005) bahwa ketersediaan air yang rendah akan menurunkan tekanan turgor sel. Tekanan turgor yang rendah akan menurunkan kemampuan sel untuk membentang, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil penelitian Nugraheni et al. (2003), semakin tinggi salinitas semakin menurunkan berat tanaman kering. Salinitas menyebabkan kekurangan air pada tanaman (proses difusi maupun osmosis balik). Kekurangan air menurunkan laju fotosintesis tanaman sehingga mendorong penutupan stomata. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa penutupan stomata akan menghalangi masuknya CO2, sehingga menurunkan kecepatan fotosintesis. Kesimpulan Tanaman okra tahan terhadap salinitas melalui pemberian NaCl hingga konsentrasi 4%. Pemberian NaCl berpengaruh nyata terhadap jumlah stomata, volume akar, berat tanaman kering dan mempercepat waktu berbunga. Daftar Pustaka Arnanto, D., Nur Basuki dan Respatijarti. 2013. Uji Toleransi Salinitas Terhadap Sepuluh Genotip F1 Tomat (Solanum lycopersicum L). Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya Malang. J. Produksi tanaman 1 (5): 415-421. Asih, E.D, Mukarlina, Irwan L. 2015. Toleransi Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.) terhadap Cekaman Salinitas Garam NaCl. J.Protobiont 4 (1): 203-208. Awaludin. 2001. Karakteristik Distribusi dan Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya Pada Pola Tanam Monokultur dan Tumpang Sari Tanaman Okra-Kedelei. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB. Bogor. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 87

Dachlan A, K Nurlina, A Kurnia Sari. 2013. Uji Ketahanan Salinitas Beberapa Varietas Jagung (Zea mays L.) dengan Menggunakan Agen Seleksi NaCl. J. Biogenesis 1 (1): 9-17. Djukri. 2009. Cekaman Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman. Fakultas MIPA. Haryadi. 2013. Pengukuran Luas Daun dengan Metode Simpson. Anterior 12 (2): 1-5 Idawati N. 2012. Peluang Besar Budidaya Okra. Yogyakarta. Pustaka Baru. Ikrarwati dan Nofi, A. R. 2016. Budidaya Okra dan Kelor dalam Pot. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta. Jakarta. Lubis, K. 2000. Respon Morfogenesis Embrio Beberapa Varietas Kedelai (Glyciene max L. Merr) pada Berbagai Konsentrasi NaCl Secara In Vitro. Thesis. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Ma’ruf, A. 2016. Respon Beberapa Kultivar Tanaman Pangan Terhadap Salinitas. Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Asahan. J. Penelitian Pertanian 12 (3): 11-19. Nugraheni, I. T., Solichatun dan Endang A. 2003. Pertumbuhan dan Akumulasi Prolin Tanaman Orok-orok (Crotalaria juncea L.) pada Salinitas Berbeda. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. J. Biosmart 5 (2): 98-101. Rauf, A. 2008. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Dalam Meningkatkan Pendapatan Petani Di Sumatera Utara. Makalah Pertemuan Koordinasi Peningkatan Kemampuan Optimalisasi Lahan pada Program Peningkatan Ketahahan Pangan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian USU. Medan. Sabban, I. F. 2012. Pengaruh Konsentrasi NaCl Terhadap pertumbuhan Tomat (Lycopersicum esculentum commune). Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Khairun. Salisbury, F.B., dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. Penerjemah: Diah R Lukman dan Sumaryono. ITB Bandung. Siregar, L. A. M., Rosmayati dan Julita. 2010. Uji Beberapa Varietas Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) terhadap Salinitas. Program Studi Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. J. Ilmu Pertanian 4 (2): 19-24. Sitompul, S.M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Solichatun, E. Anggarwulan dan W. Mudyantini. 2005. Pengaruh Ketersediaan Air terhadap Pertumbuhan dan Kandungan Bahan Aktif Saponin Tanaman Gingseng Jawa (Talinum panculatum Gaertn.). J. Biofarmasi 3 (2): 47-51.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

88 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Sutedjo, M. M., dan A. G. Kartasapoetra. 2010. Pengantar Ilmu Tanah, Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Edisi terbaru. Rineka Cipta. Jakarta. Suwigyo, R.A., Renih Hayati Dan Mardiyanto. 2010. Toleransi Tanaman Jagung Terhadap Salinitas dengan Perlakuan Stres Awal Rendah. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. J.Agrivigor 10(1): 73-83. Yulius, A. K. P., J. L. Nanere., Arifin, S. S. R. Samosir., R. Tangkaisari., J. R. Lalopua., B. Ibrahim dan H. Asamadi. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerja Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur. Yuniati R. 2004. Penapisan Galur Kedelai Glycine max (L) Merrill Toleran terhadap NaCl untuk Penanaman di Lahan Salin. J. Makara Sains 8 (1): 21-24. Yuwono, N.W. 2009. Membangun Kesuburan Tanah Di Lahan Marginal. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. J. Ilmu tanah 9 (2): 137-141.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 89

EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI MATAHARI AKIBAT PENGGUNAAN NAUNGAN PADA PERTUMBUHAN STEVIA (Stevia rebaudiana Bertoni M.) DI TANAH GAMBUT KOTA PALANGKA RAYA DJOKO EKO HADI SUSILO Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Email: [email protected] ABSTRAK Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai bahan pemanis. Saat ini kebutuhan gula melebihi kemampuan produksinya, sehingga diperlukan upaya pemenuhan bahan pemanis berupa perluasan areal dan peningkatan produktivitas gula termasuk melalui potensi produksi Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) sebagai pemanis alami, rendah kalori dan umur panennya pendek. Pengembangan Stevia di Palangka Raya didukung lahan gambut dan memiliki kendala agroklimat karena Stevia peka terhadap cahaya dan panas sehingga penaungan diharapkan mengetahui kebutuhan cahaya sekaligus nilai efisiensi penggunaan radiasi (radiation use efficiency = RUE) yang merupakan jumlah biomassa yang dapat dihasilkan tanaman Stevia per satuan energi radiasi matahari yang tersedia dan diintersepsi untuk fotosintesis. Penelitian dilaksanakan di lahan gambut yang diberikan penaungan di Kota Palangka Raya. Stevia ditanam dari bahan tanam berupa stek pucuk. Panen Stevia dilakukan umur 40 hari setelah tanam. Perlakuan yang diberikan adalah penaungan yang terdiri dari : n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan; n2 = 65% penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penaungan menggambarkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari. Penaungan 65% lebih efisien menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi mencapai 0,112 g MJ -1 pada pertumbuhan Stevia sampai umur 40 hari setelah tanam stek pucuk dibandingkan tanpa penaungan maupun penaungan 55% dan 75%. Kata Kunci: Stevia, Efisiensi Penggunaan Radiasi, Intersepsi Cahaya, Naungan, Gambut Pendahuluan Masyarakat Indonesia umumnya mengonsumsi gula dari tebu sebagai zat karbohidrat untuk tubuh yang diproses menjadi energi, sekaligus sebagai bahan pemanis makanan dan minuman. Pola makan masyarakat Indonesia termasuk ditunjukkan dengan kondisi konsumsi gula secara nasional yang cukup tinggi, yaitu mencapai 17 Kg/kapita/tahun, dan 9 kg diantaranya untuk kebutuhan rumah tangga (Pramudiarja, 2010), bahkan saat ini tingkat konsumsi gula di Indonesia perkapita pada tahun 2017 adalah sekitar 23 Kg/kapita/tahun (sedangkan rata-rata komsumsi secara dunia perkapita sekitar 20 Kg/kapita/tahun). Total konsumsi gula di Indonesia sekitar 4,93 juta ton gula/tahun pada tahun 2017 (gula industri dan gula konsumsi) dan konsumsi gula industri makanan minuman tahun 2017 akan mencapai 3,5 juta ton/tahun (Rusli, 2017).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

90 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Memenuhi kebutuhan pemanis alami di masyarakat yang selama ini dominan berupa gula pasir dari tebu. Kondisi produksi gula setiap tahunnya hanya mampu memenuhi sekitar 60% kebutuhan, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui impor gula pasir. Sedangkan memenuhi pemanis alami dari non tebu, saat ini kondisinya juga masih rendah (Triyatna, 2012). Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I. menyampaikan bahwa pada Tahun 2017 produksi gula di Indonesia kapasitasnya hanya sekitar 2,2 juta ton, sedangkan kebutuhan masyarakat mencapai 3,5 juta ton. Untuk itu pemerintah menempuh langkah mengimpor gula sebesar 1,3 juta ton (Ariyanti, 2017; Winarno, 2017). Pemenuhan kebutuhan gula selain dengan cara impor, juga melalui upaya swasembada gula dan revitalisasi sektor off-farm berupa pemberdayaan penelitian dan pengembangan. Selain dilakukan produksi gula melalui tebu, maka diperlukan studi potensi produksi pemanis alami yang dilakukan dari tanaman non tebu yaitu melalui tanaman Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) yang merupakan alternatif pengganti tebu dalam menghasilkan gula (pemanis) alami. Ilyas (2003) dan Rukmana (2007) menjelaskan bahwa Stevia sebagai sumber pemanis alami, memiliki rasa yang lebih manis dibandingkan tebu karena mengandung senyawa glikosida diterpen dengan tingkat kemanisan mencapai beberapa kali dibanding gula tebu, rendah kalori, bersifat non-karsinogenik. dan umur panennya pendek. Budidaya tanaman sebagai sumber pemanis alami di Kota Palangka Raya dapat dilakukan menggunakan tanaman Stevia yang ditanam di tanah gambut dengan beberapa tindakan perbaikan media tanam tanah gambut dengan meningkatkan kesuburannya. Hal ini terbukti dari beberapa kali Stevia dibudidayakan di tanah gambut memiliki potensi dan dinamika pertumbuhan yang cukup bagus pada media tanah gambut tersebut. Tanah gambut sangat baik sebagai lahan budidaya tanaman Stevia karena merupakan tanah organik, meskipun harus dilakukan peningkatan kesuburan tanahnya (Susilo, 2012; Susilo et al., 2012). Kondisi sifat agronomis budidaya tanaman Stevia yang sederhana dan mudah tumbuh pada tanah yang mengandung bahan organik berpotensi menjadikan Stevia sebagai tanaman alternatif bahan baku pemanis alami, sehingga mempelajari peningkatan pertumbuhannya menjadi sangat penting untuk mendukung aspek budidayanya khususnya apabila dibudidayakan di tanah gambut. Pengembangan tanaman Stevia di Palangka Raya didukung oleh potensi lahan gambut yang cukup luas yang mencapai 141.088 Ha yang dikembangkan sebagai lahan budidaya tanaman hortikultura, meskipun memiliki kendala berupa rendahnya kesuburan tanah (BPS, 2010), namun potensi tersebut juga memiliki kendala lain dari segi Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 91

agroklimat karena tanaman Stevia nampaknya peka terhadap cahaya yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap derajat panas di lingkungan tumbuh tanaman Stevia sehingga memerlukan penyesuaian cuaca di sekitar tanaman Stevia tersebut (Susilo, 2012). Untuk kondisi penyesuaian pengaturan cahaya dan panas tersebut, upaya menggunakan penaungan diharapkan memberikan faktor tumbuh yang baik untuk pertumbuhan dan hasil tanaman Stevia. Berdasarkan potensi dan kondisi tersebut, maka tujuan penyesuaian pengaturan cahaya menggunakan penaungan diharapkan memberikan gambaran kebutuhan cahaya yang optimal untuk pertumbuhan dan hasil tanaman Stevia sekaligus penelitian ini mengetahui dinamika besarnya intersepsi cahaya dan efisiensi penggunaan radiasi matahari pada pertumbuhan tanaman Stevia akibat beberapa taraf penaungan pada pembudidayaan tanaman Stevia yang dikembangkan di tanah gambut Kota Palangka Raya. Metode Penelitian ini dilaksanakan di lahan gambut yang diberikan penaungan di Kota Palangka Raya. Budidaya tanaman Stevia dilakukan di lahan gambut daerah Jalan Gurame, Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya pada bulan September sampai November 2016. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu bibit stek pucuk Stevia, kapur dolomit (dosis 7 ton ha-1), pupuk kandang kotoran ayam (dosis 30 ton ha-1), jaring naungan (agronet 55%, 65% dan 75%), dan tanah gambut. Alat yang digunakan adalah peralatan budidaya, kamera digital, plastik milimeter blok, lux meter, thermometer, oven listrik pengering tanaman, penggaris/meteran, neraca analitik, kalkulator, alat tulis, dan komputer. Penelitian ini melakukan percobaan budidaya tanaman Stevia yang ditanam menggunakan bibit dari bahan tanam berupa stek pucuk Stevia dengan perlakuan yang diberikan adalah penaungan yang terdiri dari: n0 = tanpa penaungan; n1 = 55% penaungan; n2 = 65% penaungan; dan n3 = 75% penaungan. Penanaman Stevia dilakukan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 10 kali, sehingga seluruhnya terdapat 40 satuan percobaan. Panen tanaman Stevia dilakukan pada umur 40 hari setelah tanam. Pengamatan dilakukan terhadap dinamika intersepsi dan efisiensi penggunaan radiasi matahari oleh tanaman Stevia yang telah tumbuh pada umur 10, 20, 30 dan 40 hari setelah tanam, yang meliputi pengukuran indeks luas daun, berat kering tanaman, radiasi matahari di atas tajuk, dan besarnya intersepsi radiasi matahari.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

92 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Pengukuran intersepsi radiasi matahari termasuk penipisan radiasi ke bawah melalui tajuk tanaman yang dihitung didasarkan pada satuan leaf area index (LAI) menurut persamaan matematis (Monsi dan Saeki, 1953 dalam Sitompul dan Guritno, 1995; Gardner et al., 2008) sebagai berikut: Ii/I0 = e–kL Ii

= I0 e–kL

yaitu: Ii

= radiasi aktif fotosintesis di bawah lapisan daun ke-i;

I0

= radiasi aktif fotosintesis di atas tajuk;

e

= dasar logaritma natural (2,71828);

k

= koefisien pemunahan karakteristik tajuk (untuk Stevia menggunakan nilai k = 0,4);

L

= indeks luas daun pada lapisan daun ke-i. Pengukuran efisiensi penggunaan radiasi (RUE = radiation used efficiency) dinyatakan

sebagai penekanan jumlah biomassa yang dapat dihasilkan tanaman per suatu satuan energi radiasi yang tersedia. Efisiensi ditaksir menggunakan hubungan kumulatif produksi biomassa dengan kumulatif radiasi matahari. Besarnya efisiensi dihasilkan dengan meregresikan antara biomassa tanaman dengan radiasi yang diintersepsi oleh tanaman. Besarnya nilai lereng (slope) hubungan tersebut menunjukkan harga efisiensi yang menggambarkan besarnya biomassa yang terbentuk per satuan radiasi matahari (Sitompul dan Guritno, 1995; Sitompul, 2016). Hasil dan Pembahasan Hasil Pengamatan Hasil pengamatan dan pengukuran indeks luas daun, berat kering tanaman, radiasi matahari di atas tajuk, dan besarnya intersepsi radiasi matahari oleh tajuk menghasilkan penghitungan berupa nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa) tanaman Stevia pada berbagai perlakuan penaungan sampai pada umur 40 hari setelah tanam (HST) yang dibudidayakan pada tanah gambut di Kota Palangka Raya sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa) tanaman Stevia, maka hubungan kumulatif produksi biomassa dengan kumulatif radiasi matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia pada perlakuan penaungan diregresikan seperti yang disajikan pada Gambar 1.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 93

Tabel 1. Nilai intersepsi cahaya matahari dan berat kering tanaman (biomassa) tanaman Stevia pada berbagai perlakuan penaungan sampai pada umur 40 HST yang dibudidayakan pada tanah gambut di Kota Palangka Raya Umur Penghitungan Perlakuan Pengukuran 10 HST 20 HST 30 HST 40 HST n0 (tanpa naungan) n1 (naungan 55%) n2

Intersepsi Berat kering tanaman Intersepsi Berat kering tanaman Intersepsi

1085.83 43.7012 521.85 55.3012 402.71

1963.14 85.8491 894.22 94.3502 723.28

2554.22 98.7002 1089.32 106.1788 871.58

2647.19 104.0414 1118.69 111.8012 859.34

(naungan 65%) Berat kering tanaman n3 Intersepsi (naungan 75%) Berat kering tanaman

51.7091 336.92 53.8915

89.6201 609.79 91.9672

101.2611 769.38 98.7002

106.5424 774.63 104.4771

Keterangan: intersepsi dalam MJ m-2, berat kering tanaman dalam g m-2 120.00 y(n0 ) = 0.037 Q int + 5.600 R² = 0.973

100.00

Berat Kering Tanaman (g m-2 )

Berat Kering Tanaman (g m-2 )

120.00

80.00

60.00 40.00 20.00

0.00

y(n2 ) = 0.112 Qint + 6.851 R² = 0.986

100.00 80.00 60.00

40.00 20.00 0.00

0

500

1000

1500

2000 2500 3000 Qint = Intersepsi (MJ m-2 )

0

n0 (tanpa naungan)

400

600

800

1000

Qint = Intersepsi (MJ m-2 )

n2 (naungan 65%)

120.00

120.00 y(n1 ) = 0.092 Q int + 8.401 R² = 0.973

100.00

Berat Kering Tanaman (g m-2 )

Berat Kering Tanaman (g m-2 )

200

80.00 60.00 40.00 20.00

y(n3 ) = 0.108 Q int + 19.440 R² = 0.959

100.00

80.00 60.00 40.00 20.00 0.00

0.00 0

200

400

n1 (naungan 55%)

Gambar 1.

600

800

1000

1200

0

Qint = Intersepsi (MJ m-2 )

200 n3 (naungan 75%)

400

600

800

1000

Qint =Intersepsi (MJ m-2 )

Hubungan kumulatif produksi biomassa dengan kumulatif radiasi matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia pada perlakuan penaungan (55%, 65% dan 75%) maupun tanpa perlakuan naungan (0%)

Pembahasan Mengetahui penggunaan radiasi matahari oleh tanaman sangatlah penting, tetapi disisi lain juga membutuhkan upaya mengetahui efisiensinya. Efisiensi penggunaan radiasi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

94 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

matahari (EPR) merupakan upaya bijak untuk mengetahui perbandingan antara jumlah produk (dalam hal ini biomassa tanaman) dengan jumlah masukan (dalam hal ini berupa energi radiasi matahari). Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1, menunjukkan bahwa tingkat penaungan pada budidaya tanaman Stevia mencapai 65% pada akhirnya lebih efisien dalam menggunakan radiasi matahari untuk menghasilkan berat kering tanaman (biomassa) dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini terlihat dari persamaan regresi yang dihasilkan oleh masingmasing perlakuan bahwa penaungan 65% (n2) mempunyai efisiensi peningkatan berat kering tanaman sebesar 0,112 g MJ-1 yang artinya terdapat peningkatan sebesar 0,112 g dalam setiap Mega Joule (MJ) radiasi matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia. Secara umum, berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa semakin meningkat penaungan yang diberikan maka semakin rendah intensitas cahaya matahari yang datang ke tajuk tanaman sekaligus menunjukkan yang semakin rendah nilai intersepsi radiasi matahari oleh tanaman Stevia. Hal ini diakibatkan oleh besarnya intensitas cahaya yang terhalang oleh naungan sehingga penembusan cahaya juga menjadi berkurang sampai ke tajuk tanaman Stevia. Hal ini sekaligus menggambarkan dengan semakin rendahnya cahaya yang sampai ke tajuk tanaman maka menurunkan aktivitas fotosintesis oleh tanaman Stevia sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, khususnya pada pertumbuhan luas daun dan indek luas daun yang secara langsung mempengaruhi secara teknis dan matematis terhadap besarnya nilai intersepsi radiasi matahari oleh tanaman Stevia. Saling memberikan nilai efisiensi antara masing-masing taraf penaungan yang diberikan, mengakibatkan perbedaan jumlah intensitas cahaya yang diterima tajuk tanaman dan perbedaan indek luas daun tanaman sehingga mempengaruhi besarnya intersepsi radiasi matahari oleh tanaman. Hal ini sesuai dengan kondisi bahwa yang terlibat secara langsung dalam efisiensi penggunaan radiasi matahari adalah radiasi matahari dalam bentuk PAR (Photosynthetically Active Radiation) dan besarnya nilai indeks luas daun (LAI). Pengaturan penggunaan radiasi matahari dalam bentuk PAR menggunakan penaungan merupakan pengaturan nilai intersepsi yang dipengaruhi secara langsung oleh radiasi di atas tajuk tanaman sehingga mempengaruhi pertumbuhan tajuk tanaman khususnya dalam bentuk nilai indek luas daun (LAI) yang dimiliki tanaman Stevia. Begitu juga nilai indek luas daun (LAI) perlu dilakukan pengaturan pada setiap pertumbuhan karena terlibat secara langsung dalam menentukan nilai intersepsi dan efisiensi penggunaan radiasi matahari. Keterlibatan faktorfaktor tersebut secara bersama-sama dalam bentuk radiasi matahari, indeks luas daun dan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 95

intersepsi radiasi matahari sesuai dengan kondisi studi pertumbuhan yang dapat menghubungkan secara linear antara akumulasi biomassa tanaman dengan akumulasi radiasi matahari yang diintersepsi (Monteith, 1977 dalam Sitompul, 2016; Sinclair & Muchow, 1999 dalam Sitompul, 2016). Kondisi ini menunjukkan bahwa antara besarnya intensitas cahaya, besarnya pertumbuhan daun (indeks luas daun) dan besarnya intersepsi yang dimiliki tanaman saling mempengaruhi sehingga hubungan diantara nilai-nilai tersebut akan mendapatkan besarnya dan efisiensi radiasi yang dibutuhkan dan sesuai bagi pertumbuhan dan hasil tanaman Stevia. Memperhatikan Gambar 1, nampaknya masing-masing perlakuan penaungan memiliki nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari (EPR), namun berdasarkan persamaan regresi yang dihasilkan menunjukkan bahwa penaungan 65% (n 3) mendapatkan nilai intersepsi radiasi matahari dan lebih efisien menggunakan radiasi matahari tersebut sebesar 0,112 g MJ-1 pada pertumbuhan tanaman Stevia sampai umur 40 HST (panen), sedangkan perlakuan lainnya berturut-turut 0,037 g MJ-1 untuk tanpa naungan (n0); 0,092 g MJ-1 untuk penaungan 55% (n1); dan 0,108 g MJ-1 untuk penaungan 75% (n3) dengan umur panen yang sama pada 40 HST. Intensitas cahaya yang tinggi diterima tanaman Stevia memang mempengaruhi giatnya fotosintesis dan peningkatan pertumbuhan, tetapi secara iklim mikro juga menggiatkan peningkatan derajat panas (suhu harian) di sekitar tanaman. Hal ini juga mempengaruhi terpenuhinya dengan cepat satuan panas yang dibutuhkan oleh pertumbuhan tanaman Stevia sehingga pertumbuhan dan hasilnya menjadi rendah karena tanaman menjadi cepat berbunga dan cepat dipanen (Susilo, 2012), sementara itu apabila pengelolaan cahaya dan satuan panas bisa dilakukan dengan lebih baik maka masa vegetatifnya bisa menjadi lebih lama dan biomassa berpotensi menjadi lebih tinggi. Begitu juga apabila intensitas cahaya dan intersepsi radiasi yang terlalu rendah juga menyebabkan rendahnya nilai EPR dan tidak efisiennya nilai EPR. Sedangkan nilai EPR bisa meningkat dan dapat ditempuh dengan peningkatan laju fotosintesis yang dapat dicapai pada laju fotosintesis yang tinggi (Sinclair & Muchow, 1999 dalam Sitompul, 2016). EPR secara langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan daun dan indeks luas daun. Apabila dilihat dari nilai EPR yang dimiliki tanaman Stevia pada penelitian ini sebesar 0,122 g MJ-1 tersebut, nampaknya masih bernilai rendah dibandingkan nilai EPR dari tanaman jenis C3 lainnya. Beberapa nilai EPR tanaman lainnya, yaitu padi mencapai 1,39 g MJ -1, bunga matahari mencapai 1,27 g MJ -1, kedelai mencapai 1,02 g MJ -1, dan kacang tanah mencapai 0,98 g MJ-1 (Sitompul, 2016). Hal ini mengisaratkan bahwa perlu peningkatan nilai EPR dengan mengatur besaran radiasi matahari, dinamika indeks luas daun dan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

96 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

intersepsi radiasi pada tanaman Stevia. Selain itu, Sitompul (2016) juga menjelaskan dalam meningkatkan perhitungan EPR dibutuhkan pendalaman pengamatan karena selama ini perbedaan pengukuran EPR juga diakibatkan keterbatasan fasilitas alat pengamatan dan waktu pengamatan yang dilakukan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan sebagai berikut: a. Penaungan menggambarkan nilai efisiensi penggunaan radiasi matahari yang diintersepsi oleh tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya. b. Penaungan 65% lebih efisien menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi mencapai 0,112 g MJ-1 pada pertumbuhan Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya sampai pada umur 40 hari setelah tanam stek pucuk. c. Penaungan 65% lebih efisien menggunakan radiasi matahari yang diintersepsi dibandingkan tanpa penaungan maupun penaungan 55% dan 75% pada pertumbuhan Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan simpulan, maka disarankan sebagai berikut: a. Setiap budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya disarankan memberikan penaungan 65% (atau 35% cahaya tembus) dikarenakan pada intensitas cahaya tersebut terjadi penggunaan radiasi matahari yang efisien untuk pertumbuhan dan hasilnya. b. Apabila budidaya tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya tidak menggunakan naungan, maka disarankan menanam Stevia dilakukan sebagai tanaman sela pada sistem tumpangsari bersama tanaman yang tumbuhnya lebih tinggi dari keragaan tanaman Stevia untuk memenuhi penaungan 60% dan dipanen minimal pada umur 40 HST (sebelum masuk waktu berbunga). c. Perlu penghitungan efisiensi penggunaan radiasi matahari terhadap berat kering daun tanaman Stevia di tanah gambut Kota Palangka Raya sebagai produk utama bahan pemanis alami, sehingga mendapatkan gambaran kesesuaian penaungan yang efisien dalam meningkatkan produk daun keringnya, atau selalu melakukan pengukuran indeks panen daun tanaman Stevia.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 97

Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih disampaikan kepada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang terlibat dalam praktikum mahasiswa dan pengayaan diskusi di penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian ini pada Tahun 2016/2017. Daftar Pustaka Ariyanti, F. 2017. Produksi Seret, R.I. Impor Gula 1,3 Juta Ton di 2017. Liputan6.com. http://bisnis.liputan6.com/read/2890396/produksi-seret-ri-impor-gula-13-juta-tondi-2017. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017. BPS. 2010. Kota Palangka Raya Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kota Palangka Raya, Palangka Raya. ISSN 0215-5990 Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto). Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Ilyas, R., 2003. Stevia. Info POM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. IV (11): 1-3. Pramudiarja 2010. Waspadai Ancaman Gula & Polusi Udara Bagi Kesehatan di 2011. http://us.health.detik.com/read/2010/12/31/095859/1536478/766/waspadai-ancamangula-polusi-udara-bagi-kesehatan-di-2011. Diakses tanggal 28 Januari 2011. Rukmana, H. R. 2007. Budidaya Stevia: Bahan Pembuatan Pemanis Alami. Cetakan Ke-5. Kanisius, Yogyakarta. Rusli, R. H. 2017. Nestapa Penderitaan Petani Gula Akibat Mafia Gula di Republik Indonesia. http://ekbis.rmol.co/read/2017/07/17/299341/Nestapa-PenderitaanPetani-Gula-Akibat-Mafia-Gula-di-Republik-Indonesia-. Diakses tanggal 9 Februari 2018. Sitompul, S. M. 2016. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang. Sitompul, S. M., dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Susilo, D.E.H. 2012. Studi Budidaya Stevia (Stevia rebaudiana Bertoni M.) Sebagai Bahan Dasar Gula Pada Tanah Gambut di Kota Palangka Raya. J. Anterior 11 (2): 6–11. Susilo, D.E.H., J. Hadie dan R. Zulhidiani, 2012. Dinamika Tumbuh Stek Pucuk Stevia Menggunakan Naungan dan Pupuk Kotoran Ayam pada Tanah Gambut Pedalaman. J. Anterior 12 (1): 1–12. Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

98 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Triyatna, S.O. 2012. Produksi Gula Hanya 60% Kebutuhan. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/28/12445943/Produksi.Gula.Hanya .60.Persen.Kebutuhan. Diakses tanggal 30 Juli 2012 Winarno, A. 2017. Pemerintah akan Impor Gula 1 Juta Ton Lebih. Kompas.com. http://regional.kompas.com/read/2017/03/17/00244031/.2017.pemerintah.akan.impo r.gula.1.juta.ton.lebih. Diakses pada tanggal 12 Juni 2017.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 99

PROSPEK PEMANFAATAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI PUPUK ORGANIK DALAM MEWUJUDKAN SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN NURFHIN ILMA BUNGA AMOSSIUS ROMPOLEMBA ANDI BASO MERINGGI Fakultas Pertanian, Universitas Kristen Tentena Email: [email protected] ABSTRAK Sisa tanaman dan kotoran ternak merupakan bahan pupuk organik yang mudah diperoleh dan biaya pengolahan relatif lebih murah. Penggunaan pupuk dapat mengurangi ketergantungan pemakaian pupuk sintetis dan bersifat lebih ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan menggunakan pupuk organik. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun dan berat basah tanaman sawi. Dengan perlakuan P0 tanpa perlakuan sebagai kontrol, P1 perlakuan menggunakan kotoran ayam, P2 perlakuan menggunakan abu sekam padi. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik berupa kotoran ayam dan abu sekam padi memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jumlah daun untuk perlakuan P0 rata-rata 9 helai per tanaman, P1 jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman, P2 jumlah daun 10 helai per tanaman. Sedangkan untuk produksi tanaman untuk P0 rata-rata 79,6 g per tanaman, P1 154,8 g per tanaman, P2 129,6 g per tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Jumlah daun dan produksi tertinggi terdapat pada perlakuan P1 dengan jumlah daun rata-rata 12 helai per tanaman dan berat rata-rata 129,6 g per tanaman. Dari ketiga perlakuan, penggunaan pupuk organik menunjukkan peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman sawi. Kata Kunci: Pupuk Organik, Sawi, Sistem Pertanian Berkelanjutan Pendahuluan Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi dalam dunia pertanian, dan didukung oleh bertambahnya kebutuhan akan pangan, persaingan dalam pertanian industrial semakin berkembang pesat. Dalam proses produksi para petani lebih cenderung berorientasi untuk memacu produktivitas lahan dengan memberikan input berupa pupuk kimia dan pestisida yang secara terus-menerus yang mengakibatkan merosotnya kualitas lahan, terjadinya pencemaran lingkungan dan membahayakan dari segi kesehatan manusia. Untuk meminimalisir dampak-dampak tersebut maka solusi yang tepat adalah dengan konsep sistem pertanian yang berkelanjutan. Sistem pertanian berkelanjutan pada dasarnya merupakan sistem pertanian yang dalam pengelolaannya

bertujuan

untuk

memenuhi

kebutuhan

manusia

namun

tetap

mempertahankan, meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam yang ada. Salah satu model dari sistem pertanian berkelanjutan adalah konsep pertanian

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

100 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

organik. Yang pada hakikatnya dimana bahan organik, baik makhluk hidup maupun yang sudah mati menjadi faktor penting dalam proses produksi usaha tani. Penggunaan bahan organik menjadi pupuk dapat dijadikan jaminan untuk keamanan produk pertanian, baik dari segi kesehatan manusia ataupun bagi lingkungan. Bahan organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik yaitu sisa tanaman dan kotoran ternak. Sisa tanaman dan kotoran ternak merupakan bahan pupuk organik yang mudah didapat dan pengolahannya relatif murah. Penggunaan pupuk organik dapat mengurangi ketergantungan penggunaan pupuk sintetis dan bersifat lebih ramah lingkungan. Pupuk organik memiliki beberapa kelebihan antara lain a) Berfungsi sebagai granulator sehingga dapat memperbaiki struktur tanah, b) Daya serap tanah terhadap air dapat meningkat dengan pemberian pupuk organik karena dapat mengikat air lebih banyak dan lebih lama, c) Pupuk organik dapat menigkatkan kondisi kehidupan di dalam tanah, d) Unsur hara di dalam pupuk organik merupakan sumber makanan bagi tanaman, e) Pupuk organik merupakan sumber unsur hara N, P, dan S (Prihmantoro, 2004). Kotoran ternak dan abu sekam padi merupakan limbah pertanian yang keberadaannya cukup melimpah di Indonesia dan belum termanfaatkan dengan baik. Khususnya di wilayah Kabupaten Poso ketersediaan kotoran ternak berupa kotoran ayam dan abu sekam padi cukup melimpah dan belum termanfaatkan dengan baik. Kotoran ayam yang berasal dari ternak masyarakat pada umumnya hanya dibiarkan begitu saja tanpa dimanfaatkan. Begitu pula dengan sekam padi yang dihasilkan dari proses penggilingan padi. Sekam padi yang melimpah di buang dan dibakar sehingga menjadi abu. Secara tradisional abu sekam padi ini digunakan masyarakat untuk bahan mencuci alat dapur dan hanya digunakan dalam skala kecil yaitu sebagai bahan campuran tanah untuk menanam sayuran di pekarangan rumah. Pupuk organik memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Pupuk organik memiliki kandungan unsur hara yang berbeda-beda. Kandungan unsur hara yang terdapat pada kotoran ayam yaitu N 1,5%, P 0,80%, K 0,40% dan kadar air 55% , bahan organik 29% (Lingga, 1991). Raihan (2000), menyatakan bahwa penggunaan bahan organik kotoran ayam mempunyai beberapa keuntungan antara lain sebagai pemasok hara tanah dan meningkatkan retensi air. Sedangkan abu sekam padi yang merupakan bahan organik yang berasal dari limbah pertanian mengandung beberapa unsur penting seperti protein kasar, lemak, serat kasar, karbon, hydrogen dan silika (Wardi, 1998). Kandungan kimia dari abu sekam bakar yaitu SiO2 dengan kadar 52% dan C sebanyak 31%. Sementara kandungan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 101

lainnya terdiri dari Fe2O3, K2O, MgO, CaO, MnO, dan Cu dengan jumlah yang kecil serta beberapa bahan organik lainnya (Wuryan, 2008 dalam Gustia, 2013). Tanaman sawi (Brassica juncea L.) yang merupakan tanaman indikator dalam penelitian ini, merupakan sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sayur sawi sendiri memiliki kandungan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Sayur sawi memiliki kandungan vitamin antara lain vitamin A, vitamin B, vitamin C, dan mineral Fe (Rukmana, 1994). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pertumbuhan dan produksi tanaman sawi dengan menggunakan pupuk organik berupa kotoran ayam dan abu sekam padi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organi dalam mewujudkan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan baik bagi kesehatan tubuh manusia. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena yang dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2017. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sekop, cangkul, ember, gayung, wadah persemaian, polybag ukuran 20 cm X 30 cm, meteran, penggaris, alat tulis menulis dan alat dokumentasi. Bahan yang digunakan yaitu tanah dan abu sekam padi dan kotoran ayam. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 3 perlakukan yang diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan terdiri dari: P0 = tanah (sebagai kontrol), P1= tanah dan kotoran ayam dengan perbandingan 1:1, P2= tanah dan abu sekam padi dengan perbandingan 1:1. Masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan. Kegiatan penelitian meliputi persiapan media tanam, persemaian, penanaman, pemeliharaan, dan panen. Parameter yang diamati yaitu jumlah daun (helai) dan berat basah tanaman. Parameter jumlah daun dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk sempurna dan berat basah tanaman sawi, yaitu dilakukan dengan menimbang seluruh bagian tanaman saat panen. Pengambilan data dilakukan pada 15 hari setelah tanaman (HST), dan pada saat panen. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis varians satu jalan untuk melihat adanya pengaruh nyata dari perlakuan-perlakuan yang diberikan terhadap komponen pengamatan. Hasil dan Pembahasan Jumlah Daun dan Berat Basah Berdasarkan hasil penelitian secara umum perlakuan P1 yaitu penggunaan pupuk dengan kotoran ayam memberikan pengaruh lebih baik kemudian diikuti dengan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

102 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

penggunaan pupuk abu sekam padi. Dengan rata-rata jumlah daun untuk perlakuan P1 yaitu 12 helai, kemudian diikuti perlakuan P2 yaitu 10 helai dan P0 9 helai per tanaman. Sedangkan untuk parameter berat basah tanaman respon terbaik diberikan oleh perlakuan P1 dengan berat basah rata-rata tanaman sawi setelah panen yaitu P1 154,8 g per tanaman, kemudian diikuti oleh P2 129,6 g per tanaman, dan P0 rata-rata 79,6 g per tanaman. Hal ini terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Daun dan Berat Basah Tanaman Sawi Perlakuan Jumlah Daun (Helai) Berat Basah (g) a P0 9 79,6 a P1 12 b 154,8 b c P2 10 129,6 c Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada α = 0,05

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan bahan organik cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa menggunakan bahan organik. Kemampuan bahan organik dalam menyediakan nutrisi yang lebih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sawi. Foth (1998), menyatakan bahwa tanahtanah permukaan yang banyak mengandung bahan-bahan organik dengan tekstur halus mempunyai ruang pori total lebih banyak dan proporsinya relatif besar yang disusun oleh pori-pori kecil. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Jumlah Daun Tanaman Sawi

Jumlah Daun

15 10 5 0 P0

P1 Pupuk Organik

P2

Gambar 1. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Jumlah Daun Hasil analisis varians satu jalan terhadap variabel jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan dengan bahan organik yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah daun tanaman sawi. Hasil uji lanjut dengan uji LSD terhadap rata-rata jumlah daun sebagai hasil dari perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda dapat dilihat pada table 1. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 yaitu dengan menggunakan pupuk organik memberikan rata-rata jumlah daun yang berbeda dibandingkan dengan P0 perlakuan tanpa Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 103

pupuk organik. Perlakuan P1 dengan menggunakan kotoran ayam memberikan hasil jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan P2. Hal ini disebabkan karena pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kandungan air tanah. Pupuk organik berupa kotoran ayam memiliki aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan pupuk organik. Aktivitas mikroba ini akan membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Bahan organik dari kompos kotoran ayam merupakan makanan bagi mikroorganisme tanah yang sebagian terdapat mikroorganisme pengikat N. Hal ini sejalan dengan Hanafiah (2005), bahwa nitrogen dapat berasal dari bahan organik dan udara yang difiksasi oleh mikroorganisme tanah tertentu. Tanaman membutuhkan nutrisi untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi. Komposisi pupuk yang diberikan melalui dua perlakuan memberikan kandungan nutrisi dan memiliki respon yang berbeda untuk tiap perlakuan. Nutrisi yang ada dalam tanah diserap melalui organ akar tanaman dan nutrisi dari udara diserapa memalui daun. Apabila tanaman kekurangan nutrisi maka akan mengakibatkan malnutrisi atau bahkan kematian. Perlakuan P0 = tanah tanpa penambahan pupuk organik mengalami hambatan dalam proses pembentukan tanaman, yang diakibatkan oleh tidak terpenuhinya unsur hara terutama N yang berperan dalam pertumbuhan vegetatif tanaman. Berat basah tanaman untuk tanaman sawi berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P1 memiliki berat rata-rata tertinggi yaitu 154,8 g per tanaman. Kemudian diikuti oleh perlakuan P2 dan P0. Seperti yang terlihat pada tabel 1. Hasil analisis varians satu jalan menunjukkan bahwa perlakuan dengan bahan organik yang berbeda berpengaruh terhadap berat basah tanaman sawi. Hasil uji lanjut dengan uji LSD terhadap rata-rata berat basah sebagai hasil dari perlakuan pemberian pupuk organik yang berbeda, dapat dilihat pada tabel. 1. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perlakuan P1 dan P2 yaitu dengan menggunakan pupuk organik memberikan rata-rata berat basah tanaman sawi yang berbeda dibandingkan dengan P0 perlakuan tanpa pupuk organik. Pada percobaan ini, perlakuan dengan menggunakan tambahan pupuk organik kotoran ayam memiliki berat rata-rata tertinggi. Hal ini disebabkan karena kotoran ayam memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman lebih banyak jika dibandingkan dengan kandungan unsur hara yang dimiliki oleh abu sekam padi. Banyaknya serapan hara yang terdapat pada daun, berhubungan dengan berat basah tanaman sawi. Hasil penelitian Ramadhan, (2012) menunjukkan hasil analisis hara abu sekam padi yaitu C 2,15%, N Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

104 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

0,25%, C/N 8,6% sedangkan kotoran ayam mengandung C 8,22%, N 1,37% dan C/N 6%. Tanaman yang terpenuhi kebutuhan unsur haranya, akan dapat merangsang pertumbuhan

Berat Basah Tanaman Sawi (g)

daun baru.

200 150 100 50 0 P0

P1 Perlakuan

P2

Gambar 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Terhadap Berat Basah Tanaman Sawi Kesimpulan 1. Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah daun dan berat basah tanaman sawi. 2.

Perlakuan dengan menggunakan pupuk organik kotoran ayam memberikan rata-rata tertinggi pada jumlah daun (12 helai per tanaman) dan berat basah tanaman sawi (154,8 g per tanaman).

Daftar Pustaka Foth, H.D. 1998. Dasar - Dasar Ilmu Tanah. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Gustia, H. 2013. Pengaruh Penambahan Sekam Bakar pada Media Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi. E-Journal WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan 1 (1): 12-17 Hanafiah KA. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lingga, P. 1991. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya: Jakarta. Prihmatoro, Heru. 2004. Memupuk Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Ramadhan, C.B. 2012. Pengaruh Kombinasi Media Tanam dengan Fertigasi Pupuk organik terhadap pertumbuhan bibit tanaman kepel (stelechocarpus burahol (bl.) Hook. F. & th.). Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian, Bogor. Rukmana, Rahmat. 1994. Bayam, Bertanam & Pengelolaha Pascapanen. Yogjakarta: Kanisius. Wardi H., Sudarmodjo, D. Pitoyo. 1998. Teknologi Hidroponik Media Arang Sekam untuk Budidaya Hortikultura. J. Litri. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 105

KAJIAN EFEKTIFITAS PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK DENGAN KOMBINASI PUPUK ANORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG AMIRUDIN Politeknik Gorontalo, Jurusan Teknologi Pertanian Email: [email protected] ABSTRACT Dampak negatif yang disebabkan oleh penggunaan pupuk anorganik mendorong petani untuk kembali kesistem pertanian organik (organik farming system). Namun, karena proses dekomposisi pupuk organik yang lambat dan yang jumlahnya yang terbatas menyebabkan hara yang dapat diserap oleh tanaman untuk pertumbuhannya juga menjadi sedikit. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi antara pupuk organik dengan pupuk anorganik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas pengaruh kombinasi pemupukan organik dan anorganik pada tanaman jagung. Penelitian ini dilakukan di grand house Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo pada bulan OktoberNovember 2017. Desain yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 (empat) perlakuan, (1). Perlakuan J1 = 250 kg Urea/ha + 3 ton kompos/ha, (2). J2 = 230 kg Urea/ha + 6 ton kompos/ha, (3). J3 = 210 kg Urea/ha + 9 ton kompos/ha (4). J 4 = 190 kg Urea/ha + 12 ton kompos/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas penggunaan pupuk terbaik adalah kombinasi antara pemupukan organik dan anorganik dengan rata-rata pertumbuhan terbaik yaitu pada perlakuan J2 = 230 kg Urea/ha + 6 ton kompos/ha. Kata Kunci: Jagung, Pupuk Kompos, Pupuk Urea, SP-36 dan KCl Pendahuluan Untuk menunjang usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok yang terus meningkat, perlu upaya pengembangan pertanian pada lahan-lahan marginal yang cukup luas. Sebagian besar lahan darat tadah hujan merupakan lahan dengan topografi yang beragam dan dengan tanah marginal yang pada dasarnya merupakan tanah dengan kandungan air dan kesuburannya rendah. Penggunaan bahan-bahan kimia secara berlebihan pada sistem petanian telah menimbulkan kerusakan ekologi, seperti degradasi tanah, sumberdaya air dan kualitas bahan makanan. Olehnya itu perlu mendorong petani untuk kembali kesistem pertanian yang ramah lingkungan yaitu penerapan sistem pertanian organik (organik farming system) yang dapat memperbaiki kerusakan yang diakibatkan penerapan sistem pertanian modern yang mengandalkan penggunaan bahan kimia untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu perlu dikembangkan pengelolaan hara melalui penggunaan sumber-sumber bahan organik dari lingkungan pertanian yang didasarkan pada hasil penelitian dan sumberdaya lokal (Somasundaram, 2007).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

106 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Penggunaan bahan organik saat ini sangat penting mengingat kadar bahan organik pada tanah-tanah pertanian rendah. Bahan organik tanah adalah salah satu komponen yang sangat penting, merupakan lapukan sisa-sisa tanaman/tumbuhan yang bercampur dengan bahan mineral tanah pada lapisan atas tanah (Suhardjo et al., 1993). Lebih lanjut Buckman dan Brady (1990) dan Sanchez (1992) menambahkan bahwa bahan organik berperan dalam memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Serta mampu meningkatkan efisiensi pemupukan dan serapan hara oleh tanaman (Roechan et al., 1997). Alternatif untuk menjaga dan memperbaiki kesuburan tanah serta menghindarkan dampak yang merugikan dari penggunaan zat kimia adalah pemberian bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, atau berasal dari sumber lainnya hasil fermentasi yang dikenal dengan bokasi (bahan organik kaya sumberdaya hayati) atau limbah ternak yang diolah menjadi kompos organik. Namun, keengganan masih sering timbul dalam pemakaian pupuk organik karena proses fermentasi atau pematangannya lama, biaya tenaga kerja dan transportasi yang tinggi. Selain itu, kandungan unsur hara dalam pupuk organik juga tidak lebih dari pada pupuk anorganik. Proses dekomposisi bahan organik yang lambat menyebabkan terlambatnya tanaman memperoleh hara untuk pertumbuhannya. Jumlah bahan organik yang terbatas juga menyebabkan adanya kesulitan dalam penyediaan bahan organik dalam jumlah yang dibutuhkan. Oleh karena itu, diperlukan kombinasi antara pupuk organik dan anorganik. Musnamar (2003), menyebutkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk anorganik secara terpadu. Pemberian pupuk organik yang dipadukan dengan pupuk anorganik dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan efisiensi penggunaan pupuk, baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Kajian terdahulu mengenai pemberian pupuk kompos dengan takaran yang berbeda dimana dosis 2,5 % - 3 % mampu memberikan produksi biji dan biomas segar jagung yang optimal, namun penggunaannya menyertakan penggunaan pupuk buatan sesuai dosis anjuran (Faesal et al., 2003). Sementara pemberian pupuk kompos dengan mengurangi penggunaan pupuk buatan guna mengukur efektifitas penggunaannya selama ini belum banyak dilaporkan. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji efektifitas penggunaan pupuk kompos pada tanaman jagung

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 107

Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di grand house Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai November 2017. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah benih jagung hibrida Bisi 2, pupuk urea, SP-36, KCl, polybag, tanah sebagai media tanam dan pupuk organik kompos yang berasal dari sisa makanan ternak sapi yang terdiri dari limbah jagung, kacang tanah, rumput gajah, daun gamal dan kotoran ternak sapi bali. Alat yang digunakan adalah timbangan digital, label, alat ukur, ember, parang, cangkul dan tulis menulis. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan kombinasi dosis pupuk urea dan pupuk kompos. Perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut: J1

= 250 kg urea/ha + 3 ton compost/ha

J2

= 230 kg urea/ha + 6 ton compost/ha

J3

= 210 kg urea/ha + 9 ton compost/ha

J4

= 190 kg urea/ha + 12 ton compost/ha

Implementasi Penelitian Pembuatan Pupuk Kompos Sisa pakan ternak yang terdiri dari limbah tanaman jagung, kacang tanah, rumput gajah, daun gamal dan kotoran yang dihasilkan oleh sapi digunakan sebagai pupuk dasar untuk tanaman jagung dengan cara fermentasi menggunakan EM4 selama tiga minggu sehingga dihasilkan pupuk kompos. Bahan yang dibutuhkan dalam pengomposan adalah: kotoran sapi 1.000 kg, EM4 2,5 kg, abu sekam 100 kg, kalsit/dolomite 20 kg, dengan cara mencampurkan kotoran ternak dengan EM4, diaduk rata lalu dimasukkan ke dalam bak kemudian didiamkan selama 1 minggu dan selanjutnya dibolak balik sambil mencampurkan abu organik dan kalsit lalu didiamkan kembali dan seterusnya setiap minggu dilakukan pembalikan sampai akhirnya menjadi matang yang ditandai dengan bentuk fisik sudah menyerupai tanah yang berwarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, tidak mengeluarkan bau busuk, jika diraba suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

108 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

mendekati suhu ruang dan jika dilarutkan ke dalam air kompos yang matang tidak akan larut. kompos yang matang ini selanjutnya dianalisis kandungan haranya. Pengambilan Tanah Pengambilan tanah secara komposit dari lokasi penelitian, tanah kemudian dikering udarakan, lalu diayak dan diaduk hingga homogen. Pengisian Polibag Setiap polibag percobaan diisi 10 kg tanah kering udara masing-masing unit percobaan sebanyak 12 polibag. Bersamaan dengan pengisian polibag diberikan pupuk pupuk kompos yang difermentasi dengan dosis sesuai perlakuan. Pemupukan Pemupukan untuk tanaman kacang tanah dilakukan dengan cara tugal. Pupuk SP-36 dan KCl masing-masing 50 kg ha-1 diberikan pada saat tanam. Parameter pengamatan a. Tinggi tanaman (cm), diukur mulai dari permukaan tanah sampai sampai pucuk daun. Pengukuran dilakukan pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 hari setelah tanam (HST). b. Diameter batang (cm), diukur 5 cm dari atas permukaan tanah pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 HST. c. Jumlah daun (helai), ditentukan dengan menghitung jumlah daun yang telah terbentuk sempurna. Dihitung pada umur 7, 14, 21, 28, 35, 42, 49 dan 56 HST. d. Berat basah batang dan daun kacang tanah e. Berat kering batang dan daun kacang tanah Rancangan Analisis Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan uji analisis varians (ANOVA). Untuk menguji beda antara perlakuan digunakan uji DMRT 5%. Analisis data dilakukan dengan mengaplikasikan software minitab 14, exel dan SPSS 11.0.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 109

Hasil dan Pembahasan Komponen pertumbuhan tanaman Tabel 1. Tinggi tanaman jagung (cm) Perlakuan

Umur (HST) 42

49

56

J1

143,33 ab

160,33 ab

168,00 ab

J2

147,33 a

163,33 a

174,33 a

J3

129,67 bc

151,33 b

162,33 b

J4

122,33 c

142,33 c

147,00 c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 2. Diameter batang jagung (cm) Umur (HST)

Perlakuan

28

35

42

49

56

J1

0,97c

1,40a

1,60ab

0,00a

1,93a

J2

1,37a

1,63a

1,77a

1,77a

1,97a

J3

1,03b

1,37a

1,43b

1,87a

1,70a

J4

0,80c

1,00b

1,13c

1,60b

1,37b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 3. Berat basah batang jagung Perlakuan

Rata-rata

NP BNT0,05

J1

0,137ab

0,0317

J2

0,149a

J3

0,114bc

J4

0,083c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

110 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 4. Berat basah daun jagung Perlakuan

Rata-rata

NP BNT0,05

J1

0,089a

0,0169

J2

0,082ab

J3

0,066bc

J4

0,058c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 5. Berat kering batang jagung (g) Perlakuan

Rata-rata

NP BNT0,05

J1

18,44b

6,3705

J2

31,88a

J3

23,06b

J4

17,60b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Tabel 6. Berat kering daun jagung (g) Perlakuan

Rata-rata

NP BNT0,05

J1

18,35a

3,0075

J2

19,62a

J3

14,38b

J4

12,07b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris (a, b) berarti tidak berbeda nyata NP BNT pada taraf uji α = 0,05

Pembahasan Berdasarkan hasil sidik ragam, penggunaan kombinasi pupuk organik dengan anorganik dalam penelitian ini memberikan pengaruh sangat nyata pada perlakuan J2 pada komponen pengamatan pertumbuhan tanaman jagung yaitu komponen pengamatan tinggi tanaman pada tabel 1, diameter batang tabel 2, berat basah batang tabel 3, berat basah daun jagung tabel 4, berat kering daun tabel 5 dan berat kering batang jagung tabel 6 dan berpengaruh nyata pada diameter batang tabel 2. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi pupuk memberikan hasil pertumbuhan jagung yang relatif sama, karena dosis pupuk anorganik yang diberikan walaupun berbeda tetapi juga diikuti perbedaan dosis pupuk organik dimana setiap penambahan dosis pupuk organik akan diikuti pengurangan dosis Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 111

pupuk anorganik teruatama dosis urea. Ini dilakukan dengan tujuan agar semua perlakuan memiliki jumlah N yang sama sesuai dengan kebutuhan N tanaman jagung baik yang bersumber dari dalam tanah dan pupuk urea itu sendiri. Unsur N dengan kadar yang sama yang berasal dari pupuk yang diberikan berguna dalam pembelahan dan pembesaran sel-sel yang terjadi pada meristem apikal sehingga memungkinkan terjadinya pertambahan tinggi tanaman pada tanaman jagung yang kemudian disusul dengan pertumbuhan daun yang berlangsung dengan pesat. Setyamidjaja (1986), menyatakan bahwa unsur nitrogen berperan penting dalam merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman yaitu menambah tinggi tanaman serta jumlah daun. Hara nitrogen merupakan unsur makro yang sangat penting untuk pertumbuhan dan produksi tanaman, akan tetapi ketersediaannya didalam tanah selalu rendah sehingga perlu upaya untuk menambah agar tanaman dapat tumbuh dan menghasilkan secara memuaskan. Kemampuan tanaman jagung menyerap nitrogen untuk menghasilkan biji dan batang bervariasi sesuai stadia pada saat N diserap (Barley, 1975), sehingga dosis akan sangat menentukan optimalnya suplay hara ke dalam jaringan tanaman. Adapun hasil analisis laboratorium untuk jaringan tanaman jagung yaitu N = 1,66%, P = 0,07 % dan K = 4,72 %. Hal ini menunjukkan bahwa hasil kombinasi pemupukan antara pupuk organik dan pupuk anorganik dapat meningkatkan kandungan hara N, P dan K yang terdapat pada jaringan tanaman jagung. Menurut Kadekoh dan Barus (2010), penyediaan hara yang berasal dari bahan organik akan membantu meningkatkan transfer fotosintat dari source (sumber) ke sink (limbung) melalui pembuluh floem. Bahan yang biasa ditransfer di dalam floem adalah sukrosa, sedangkan mineral yang banyak terangkut di dalam floem adalah K dan P (unsur ini mudah diangkut dalam floem) (Salisbury dan Ross, 1995). Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa, semua kompoenen pengamatan pada penelitian ini berpengaruh sangat nyata pada perlakuan J2 dengan dosis bahan organik kompos 6 ton/ha yang dikombinasikan dengan 230 kg urea/ha dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Hal ini juga di duga karena bahan organik kompos juga dapat meningkatkan konsentrasi hara dalam tanah, terutama N, P, dan K, serta unsur lainnya. memperbaiki tata udara dan air tanah.

Selain itu bahan organik kompos dapat

Dengan demikian, perakaran tanaman akan

berkembang dengan baik dan akar dapat menyerap unsur hara dan air yang lebih banyak. Disisi lain bahan organik kompos juga merupakan sumber energi bagi mikroorganisme, dalam hal ini adanya bahan organik akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme terutama bakteri penambat nitrogen sehingga mempunyai potensi dalam meningkatkan konsentrasi N Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

112 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

melalui aktivitasnya mengfiksasi N2 dari udara. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kombinasi dosis pupuk urea dengan kompos pada penelitian ini sudah sesuai dengan dosis anjuran yang secara umum mampu menghasilkan rata-rata pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebabkan pada dosis yang diberikan tersebut mampu diserap dengan baik oleh perakaran tanaman sehingga faktor ini akan mendukung berlangsungnya fotosintesis guna pembentukan cadangan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman termasuk dalam mendukung potensi-potensi pertumbuhan baik generatif maupun vegetatif (beberapa peran unsur N dalam tubuh tanaman seperti bahan penyusun protein dan protoplasma, dimana protein sangat penting bagi pembentukan enzim-enzim yang merupakan katalisator bagi banyak reaksi pada fotosinetsis). Suseno (1981), lebih banyak menjelaskan faktorfaktor pertumbuhan yang diterima oleh tanaman termasuk pemupukan yang menyebabkan laju fotosintesis meningkat. Meningkatnya laju fotosintesis maka CO2 yang diikat dalam proses fotosintesis tersebut akan lebih banyak dari pada CO 2 yang dilepaskan dalam proses respirasi. Dengan demikian, asimilat yang dihasilkan lebih banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan serta hasil tanaman. Pada penelitian ini, selain bahan organik kualitas jenis kompos juga ikut berperan andil dalam peningkatan pertumbuhan tanaman. Adapun jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan kompos dalam penelitian ini adalah sisa hasil pakan ternak jerami jagung, jerami kacang tanah, rumput gajah dan daun gamal dengan hasil analisis laboratorium yaitu pupuk organik kompos N 1,89%, P 0,11%, K 1,82%, C-organik 27,88%, calsium (Ca) 0,03%, Natrium (Na) 5,12%. Selain itu pula, menurut Amirudin (2009) kandungan hara gamal adalah N 2,85 %, P 0,14 %, K 2,21 %, Ca 1,82 %, Mg 0,49 %. Berdasarkan hasil analis tersebut diatas, ditambah dengan hasil analisis tanah sebelum penelitian menunjukkan bahwa lokasi penelitian memiliki kandungan hara N, P, dan K yang rendah, serta C-Organik yang rendah. Dengan demikian pemberian bahan organik pada penelitian ini memperlihatkan respon yang sangat nyata terhadap peningkatan berat basah batang, daun jagung dan berat kering batang dan daun jagung pada tabel 3, 4, 5 dan 6. Pada pemberian bahan organik kompos akan memberikan unsur hara yang tersedia bagi tanaman dan akan efisien terutama air, CO2 dan cahaya. Kompos yang diberikan dapat pula menjadi sumber hara yang baik, sehingga menunjang pertumbuhan tanaman jagung, dikarenakan terjadi keseimbangan antara kebutuhan serta tingkat ketersediaan hara dalam tanah sehingga memungkinkan tanaman Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 113

mengalami pertumbuhan vegetatif serta perkembangan bagian-bagian reproduksi dengan baik. Menurut Sarief (1995) bahwa hubungan antara bahan organik dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung bahan organik merupakan substrat alami untuk mikroorganisme saprofitik dan secara tidak langsung memberikan nutrisi bagi tanaman melalui kegiatan dekomposisi mikroorganisme tanah. Disamping itu Wada et al. (1981) dalam Sutanto (2002) mengemukakan bahwa pemberian kompos jangka panjang juga mampu meningkatkan aktivitas mikroba penyemat nitrogen melalui peningkatan kandungan bahan organik tanah yang mudah terdekomposisi meningkatkan pembentukan agregat yang stabil dan kapasitas tukar kation. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, adanya pengaruh yang sangat nyata pada pertumbuhan tanaman jagung yang dikombinasikan antara pupuk organik dan anorganik juga dikarenakan kemampuan tanaman jagung memanfaatkan hara yang diterima dengan anggapan menggunakan takaran pupuk yang tepat. Setiap tanaman perlu mendapatkan pemupukan dengan takaran yang sesuai agar terjadi keseimbangan unsur hara didalam tanah yang dapat menyebabkan tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta menghasilkan produksi yang optimal. Efesiensi pemupukan yang optimal dapat dicapai apabila pupuk diberikan dalam jumlah yang sesuai kebutuhan tanaman, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit (Setyamidjaja, 1986). Kesimpulan 1) Perlakuan dosis bahan organik kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Hasil terbaik dicapai pada dosis 6 ton/ha yang dikombinasikan dengan pupuk urea 230 kg/ha. 2) Terdapat perbedaan sangat nyata antara bahan organik kompos yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik urea terhadap pertumbuhan tanaman jagung . Daftar Pustaka Amirudin, 2009. Produktivitas Tanaman Jagung dalam Sistem Alley Cropping di Tanah Mediteran Kabupaten Gowa. Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Buckman, C.A., and N.C. Brady. 1990. The nature and properties of soil. 1st ed. The MacMillan Co., New York Faesal, M. Akil dan E.O. Momuat. 2003. Pengaruh Subtitusi N-urea dengan N-pupuk organik terhadap hasil jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Vol. 8:35-39.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

114 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Kadekoh, I., dan H. Barus., 2010. Pengaruh Lebar Lorong dan bahan Organik Terhadap Hasil Jagung Manis, Gliricidia dan Hijauan Pakan Dalam Sistem Aley Cropping. Laporan Peneltian Strategis Nasional. Universitas Tadulako Salisbury, F.B. and C.W Ross, 1995. Fisiologi Tumbuhan, Jilid 2. Terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono. ITB Pres bandung. Hal. 293 - 295 Musnamar, E.I. 2003. Pupuk organik : cair dan padat, pembuatan, Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta. Roechan, S., I. Nasution, dan A.K. Makarim. 1997. Ciri kimia berbagai jenis bahan organik dan dampak pemberiannya pada padi sawah. Buku II. Pros. Kongres Nasional VI HITI, Bogor, 12 – 15 Desember 1995 Sancehz, P.A. 1976. Properties and Management of Soil in the Tropics. John Wiley and Sons. New York Sarief, S. 1995. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung. Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Somasundaram,E., Mohammad Amanullah, and K. Vaiyapuri. 2007. Influence organic sources of nutrients on the yield and economics of crops under maize based cropping system. Jounal of science research. 3 (12): 1774 – 1777

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 115

PENGARUH BERBAGAI MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN SELEDRI (Apium graveolens) DENGAN SISTEM VERTIKULTUR M. DARMAWAN Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai jenis media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman seledri (Apium graveolens) dengan system vertikultur. Penelitian ini disusun engan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4 perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 24 buah vertikultur, dengan media tanam yang berbeda yaitu M0 sebagai kontrol, M1 media tanam arang sekam, M2 media tanam cocopead, M3 media tanam serbuk gergaji. Hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh sangat nyata. Dengan BNJ (Beda Nyata Jujur) dan BNT (Beda Nyata Terkecil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan M2 media tanam cocopeat memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar, dan bobot panen. Kata Kunci: Seledri, Media Tanam, Vertikultur Pendahuluan Tanaman seledri merupakan salah satu sayuran daun yang memiliki banyak manfaat, antara lain dapat digunakan sebagai pelengkap masakan dan memiliki khasiat sebagai obat. Tanaman seledri juga banyak mengandung vitamin A, vitamin C, dan zat besi serta zat gizi lainnya yang cukup tinggi. Dalam 100 g bahan mentah, seledri mengandung 130 IU vitamin A, 0,03 mg vitamin B, 0,9 g protein, 0,1 g lemak, 4 g karbohidrat, 0,9 g serat, 50 mg kalsium, 1 mg besi, 0,005 mg riboflavin, 0,003 mg tiamin, 0,4 mg nikotinamid, 15 mg asam askorbat, dan 95 ml air (Rahayu et al., 2008). Pada dasarnya prospek seledri sangat cerah, baik di pasaran dalam negeri (domestik) maupun luar negeri sebagai komoditas ekspor, namun pembudidayaan seledri di Indonesia pada umumnya masih dalam skala kecil yang dilakukan sebagai sambilan (sampingan). Beberapa bukti tentang budidaya seledri di Indonesia yang belum dikelola secara komersial dan diantaranya dapat merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tentang hasil survey pertanian tanaman sayuran di Indonesia pada tahun 2008, ternyata belum ditemukan data luas panen dan produksi seledri secara nasional. Demikian pula dalam program penelitian dan pengembangan hortikultura di Indonesia pada Pusat Penelitian dan pengembangan (Puslitbang). Hortikultura sampai 2003/2004, ternyata tanaman seledri

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

116 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

belum mendapatkan prioritas penelitian, baik sebagai komoditas utama, potensial maupun introduksi (Lukman, 2011). Permintaan seledri dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan baik permintaan domestik maupun dari luar negeri. Peningkatan permintaan dari luar negeri mungkin disebabkan semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan sehingga dialihkan ke negara berkembang yang lahannya masih luas dengan tenaga kerja yang relatif murah, serta kondisi iklim yang kurang mendukung terutama saat musim dingin dan musim gugur sehingga praktis semua kebutuhan sayuran untuk masyarakatnya tergantung dari negaranegara lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan hasil, baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Salah satu peningkatan hasil melalui intensifikasi adalah dengan pemilihan media tumbuh. Media tumbuh merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan tanaman, karena sebagian besar unsur hara yang dibutuhkan tanaman, dipasok melalui media tumbuh, selanjutnya diserap oleh akar dan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Susila dan Koerniawati (2004) media tumbuh adalah tempat akar tanaman tumbuh dan mengisap zat makanan untuk pertumbuhannya serta tempat memperkokoh berdirinya tanaman, sehingga di dalam media tumbuh harus tersedia unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Bahan-bahan untuk media tumbuh dapat dibuat dari bahan tunggal ataupun kombinasi dari beberapa bahan, asalkan tetap berfungsi sebagai media tumbuh yang baik. Jenis media tumbuh akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman (Fahmi, 2015). Seledri yang disemaikan dengan biji, biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh, sehingga diperlukan media tumbuh yang sesuai, dengan harapan tanaman dapat terhindar dari kematian. Informasi tentang media yang sesuai untuk tanaman seledri sampai saat ini belum diketahui. Selain penggunaan media tanam, produksi tanaman seledri menurun karena penggunaan lahan untuk penanaman seledri sangat kurang. Hal ini disebabkan karena seledri hanya dianggap sebagai tanaman selingan. Penggunaan vertikultur yang tidak membutuhkan lahan yang luas merupakan solusi teknologi untuk mengatasi masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk pengetahui media tanam yang terbaik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman seledri. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan terdiri atas 4 perlakuan yang diulang sebanyak 3 ulangan sehingga terdapat 12 Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 117

satuan percobaan. Adapun perlakuan yaitu M0 : Media tanah (kontrol), M1 : Media tanah + arang sekam (1:1), M2 : Media tanah + cocopeat (1:1) dan M3 = Media tanah + serbuk gergaji (1:1). Pelaksanaan Penelitian Persiapan penelitian dimulai dengan mempersiapkan bambu yang diposisikan secara horizontal untuk wadah vertikultur. Setiap ulangan terdapat 2 bambu per perlakuan sehingga terdapat 24 buah vertikultur. Bambu yang digunakan kemudian disusun dilahan dengan jarak 50 cm dengan menggunakan rak-rak yang telah dibuat sebelumnya. Media tanam selanjutnya dimasukan ke dalam wadah vertikultur disesuaikan dengan perlakuan yang digunakan. Tahap selanjutnya dengan melakukan penanaman wadah vertikultur. Lubang tanam yang gunakan sedalam 2-3 cm untuk tempat penanaman bibit tanaman seledri. Bibit ditanam pada lubang tanam yang telah disiapkan dan disiram secukupnya. Setiap lubang tanam diisi dengan 1 bibit tanaman. Penyulaman dilakukan apabila terdapat tanaman seledri yang mati, rusak atau yang pertumbuhanya tidak normal. Bibit yang digunakan adalah bibit yang sudah dipersiapkan. Pembibitan dilakukan untuk meminimalisirkan tanaman seledri yang mati pada saat penelitian. Penyiraman dilakukan secara intensif sebanyak 2 kali sehari yaitu pada setiap pagi dan sore hari, setelah itu dilakukan penyiangan. Penyiangan dilakukan apabila ditemukan ada tanaman lain selain seledri pada wadah vertikultur. Adapun variabel pengamatan yang diamati dalam penelitian ini meliputi (a) Panjang tangkai daun (cm), diukur dari pangkal batang sampai ujung titik tumbuh mulai pada umur 2 MST (Minggu Setelah Tanam) sampai tanaman berumur 8 MST, yang pengukurannya dilakukan setiap 2 minggu (b) jumlah daun (helai) dihitung mulai minggu ke 2 setelah tanam sampai tanaman berumur 8 minggu setelah tanam yang pengukurannya dilakukan setiap 2 minggu (c) bobot panen (g) dihitung diakhir penelitian yang pengukuran menggunakan timbangan analitik (d) panjang akar (cm) dihitung pada akhir penelitian. (e) volume akar (m3) dihitung pada akhir penelitian. Hasil Penelitian Tinggi Tanaman Hasil pengamatan dan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media tanam berpegaruh terhadap tinggi tanaman pada tanaman seledri dengan menggunakan sistem vertikultur. Adapun hasil analisis uji lanjut adalah sebagai berikut: Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

118 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman Seledri pada Umur 2 MST sampai 8 MST dengan Perlakuan Media Tanam Perlakuan 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST M0 25,92 ab 25,99 ab 27,51 a 37,33 b M1 27,00 ab 33,38 ab 36,55 ab 41,13 c M2 31,71 b 38,00 b 43,12 b 45,50 d M3 20,58 a 25,13 a 28,52 ab 31,50 a BNJ 0,01 8,99 10,11 9,61 BNT 0,01 1,31 Keterangan: M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) MST : Minggu Setelah Tanam, BNJ : Beda Nyata Jujur. BNT: Beda Nyata Terkecil. Angka-Angka pada kolom yang berbeda sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji lanjut BNJ 1 % dan BNT 1 % Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian media tanam berpengaruh terhadap parameter tinggi tanaman pada 6 MST dan 8 MST. Pada 2 MST dan 4 MST menunjukkan perlakuan dengan media tanah + cocopeat (M2) menunjukkan hasil yang tertinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan yang lain, walaupun tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan kontrol. Pada 6 MST menunjukkan perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata di bandingkan kontrol, sedangkan perlakuan M1 (media Tanah + arang Sekam) dan M3 (media tanah + serbuk gergaji) tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Pada umur 8 MST perlakuan M1, M2, M3 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol, namun perlakuan M3 menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Hasil tertinggi pada umur 8 MST terdapat pada perlakuan M2 yaitu 45,50 cm. Perlakuan dengan menggunakan campuran media tanah + cocopead (1:1) menunjukkan hasil yang tertinggi bandingkan kontrol dan perlakuan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena kandungan unsur hara yang terkandung dalam cocopead yaitu unsur hara makro dan mikro sangat dibutuhkan oleh tanaman. Menurut Ihsan (2013) cocopead mengandung unsur hara kalium dan natrium. Secara fisiologis kalium berfungsi dalam metabolisme karbohidrat seperti pembukaan, pemecahan dan translokasi pati, metabolisme nitrogen dan sintesis protein, pengaturan pemanfaatan barbagai unsur hara utama; netralisasi asam asam organik penting, aktivasi berbagai enzim, percepatan pertumbuhan dan perkembangan jaringan meristem (pucuk, tunas) dan pengaturan buka tutup stomata dan hal-hal yang terkait dengan penggunaan air (Pratiwi, 2008). Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 119

Kalium diserap dalam bentuk K+ (terutama pada tanaman muda). Menurut penelitian, kalium banyak terdapat pada sel-sel muda atau bagian tanaman yang banyak mengandung protein, inti-inti sel tidak mengandung kalium. Pada sel-sel zat ini terdapat sebagai ion di dalam cairan sel dan keadaan demikian akan merupakan bagian yang penting dalam melaksanakan turgor yang disebabkan oleh tekanan osmotis. Selain itu ion kalium mempunyai fungsi fisiologis yang khusus pada asimilasi zat arang, yang berarti apabila tanaman sama sekali tidak diberi kalium, maka asimilasi akan terhenti (Sutedjo, 1994). Natrium memiliki fungsi dalam tanaman, yaitu membantu dalam proses fotosintesis, pengangkutan hasil asimilasi, enzim, dan mineral termasuk air serat meningkatkan daya tahan/kekebalan tanaman terhadap penyakit. Natrium fungsinya dalam tanaman sama dengan unsur kalium maka natrium dapat menggantikan fungsi kalium dalam tanaman (Sugiyarto dan Kristian, 2003). Lebih lanjut dijelaskan oleh Sutedjo (2004), yang menyatakan bahwa peran nartium dalam tanaman itu menyangkut dengan transport aktif. Transpor aktif adalah pengangkutan lintas membran dengan menggunakan energi ATP, melibatkan pertukaran ion Na+ dan K+ (pompa ion) serta protein kontrasport yang akan mengangkut ion Na+ bersamaan molekul lain seperti asam amino dan gula. Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Klor (Cl) dibutuhkan sebagai unsur mikro dalam tanaman untuk membantu pertumbuhan tanaman. Jumlah Daun (Helai) Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian media tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada variabel pengamatan jumlah daun dari umur 2 MST sampai pada umur 8 MST. Adapun rata-rata jumlah daun pada tanaman seledri terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan gambar 2, diperoleh bahwa perlakuan M2 menunjukkan hasil yang tertinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan yang lainya dari umur 2 MST, 4 MST, 6 MST dan 8 MST. Sedangkan untuk perlakuan yang terendah terdapat pada perlakuan M3 baik pada umur 2 MST sampai pada umur 8 MST. Hal ini disebebakan karena cocopead dapat menahan kandungan air sehingga sangat coco digunakan sebagai media tanam. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonima (2013) menyatakan bahwa cocopead dapat menahan kandungan air dan pupuk cair serta dapat menetralkan keasaman tanah. Karena sifat tersebut. Cocopead sebagai media tanam dapat menyimpan air yang mengandung unsur hara, sifat cocopead yang senang menampung air dalam pori-pori menguntungkan karena akan menyimpan pupuk cair sehingga frekuensi pemupukan dapat dikurangi dan di dalam Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

120 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

cocopead juga terkandung unsur hara dari alam yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Cocopead memiliki daya serap air tinggi, menggemburkan tanah dan pH netral dan menunjang pertumbuhan

akar

dengan

cepat

sehingga

baik

untuk

pembibitan

(Anonimb, 2013).

Jumlah Daun (Helai) 30,00 25,00

Helai

20,00 M0

15,00

M1

10,00

M2

5,00

M3

0,00 2 MST

4 MST 6 MST 8 MST MST (Minggu Setelah Tanam)

Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Daun Pada Tanaman Seledri dengan Perlakuan Pemberian Berbagai Media Tanam. M0: Kontrol, M1: Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2: Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3: Media Tanah + Serbuk Gergaji (1:1) Perlakuan media tanah + arang sekam memiliki jumlah daun yang lebih banyak dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan karena arang sekam memiliki unsur hara makro dan mikro yaitu N, P, K, Ca, Fe, Mn dan lain-lainya. Arang sekam mengandung N 0,32 % , PO 15 % , KO 31 % , Ca 0,95% , dan Fe 180 ppm, Mn 80 ppm , Zn 14,1 ppm dan pH 6,8. Karakteristik lain dari arang sekam adalah ringan (berat jenis 0,2 kg/l). Sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan air tinggi, berwarna kehitaman, sehingga dapat mengabsorbsi sinar matahari dengan efektif (Wuryaningsih, 1996). Arang sekam mempunyai sifat yang mudah mengikat air, tidak mudah menggumpal, harganya relatif murah, bahannya mudah didapat, ringan, steril dan mempunyai porositas yang baik (Embarsari et al, 2015). Panjang Akar Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan pemberian berbagai media tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut panjang akar dapat dilihat pada tabel 2.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 121

Tabel 2. Rata-Rata Panjang Akar dengan Perlakuan Berbagai Media Tanam Perlakuan Rata-Rata Panjang Akar M0 15,33 ab M1 18,29 ab M2 24,81 b M3 13,25 a BNJ 0,01 8,85 Keterangan : M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) MST : Minggu Setelah Tanam, BNJ : Beda Nyata Jujur. Angka-Angka pada kolom yang berbeda sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji lanjut BNJ 1 % Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan media tanam tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan kontrol. Namun perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan M3. Hal ini disebabkan karena cocopead mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh pertumbuhan akar. Menurut Ilham (2013) selain mengandung unsur kalium, cocopead juga mengandung unsur hara fosfor. Fosfor dibutuhkan oleh tanaman untuk pembetukan sel pada jaringan akar dan tunas yang sedang tumbuh (Thompson dan Troeh, 1978). Fosfor merupakan hara makro yang esensial yang memeran peranan penting dalam proses fotosintesis, asimilasi dan respistasi. Fosfor sangan berperan dalam pembertukan batang, akar, ranting dan daun (Aleel, 2008). Penggunaan media tanam serbuk gergaji menunjukkan panjang akar yang lebih pendek dibandingkan kontrol dan perlakuan yang lainnya. Hal ini sifat serbuk gergaji yang mudah terkena oleh jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Ernawati (2008) kekurangan media serbuk gergaji sebagai media tanam yaitu mudah dijangkiti jamur sehingga dapat mematikan akar tanaman akibat aktivitas jamur yang dapat menghasilkan temperatur yang tinggi. Perlu pemantauan, karena ketika serbuk gergaji dalam keadaan sangat kering, sifat granulanya akan muncuk sehingga dapat mengurangi kemampuan dalam menyokong akar tanaman. Bobot Panen Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan media tanam tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan kontrol. Adapun uji lanjut bobot panen dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 menunjukkan perlakuan berbagai media tanam tidak menunjukkan perbedaan nyata dibandingkan kontrol. Namun, perlakuan M2 menunjukkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan M3. Perlakuan M2 menunjukkan bobot panen tertinggi Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

122 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan karena cocopead mengandung unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman seledri dan memiliki daya simpan air baik. cocopeat merupakan bahan organik alternatif yang dapat digunakan sebagai media tanam. Serbuk tersebut sangat baik digunakan sebagai media tanam karena dapat menyerap air dan menggemburkan

tanah.

Kelebihan

sabut

kelapa

sebagai

media

tanam

karena

karakteristiknya yang mampu mengikat dan menyimpan air dengan kuat, sesuai untuk daerah panas, dan mengandung unsur-unsur hara esensial seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (N), dan fosfor (P). Cocopead merupakan bahan yang mengandung ligno selulosa dan lignin. Bahan ini memiliki porositas yang cukup tinggi namun bisa diatur kepadatannya hingga mencapai tingkat porositas dengan mengatur rasio pemberian air (Lubnan, 2013). Tabel 4. Rata-Rata Bobot Panen Tanaman Seledri dengan Menggunakan Perlakuan Berbagai Media Tanam. Perlakuan Bobot Panen M0 3,75 Ab M1 4,67 Ab M2 10,13 b M3 3,58 a BNT 0,01 6,03 Keterangan: M0 : Kontrol, M1 : Media Tanah + Arang Sekam (1:1), M2 : Media Tanah + Cocopeat (1:1) M3 : Media Tanah + Serbuk Gergaji (1 : 1) BNT : Beda Nyata Terkecil. Angka-Angka pada kolom yang berbeda sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata berdasarkan uji lanjut BNT 1 % Kesimpulan 1. Perlakuan pemberian media tanam memberikan pengaruh terhadap variabel tinggi tanaman seledri, sedangkan pada perlakuan jumlah daun, panjang akar dan bobot panen tidak menunjukkan perbedaan nyata. 2. Perlakuan dengan media tanah + cocopead (1:1) (M2) menunjukkan hasil yang terbaik, pada variabel pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar dan bobot panen. Daftar Pustaka Budiyanto R. 2011. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Seledri pada Pemberian Beberapa Kombinasi Pupuk N, P, K dan Vermikompos. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. Dalimoenthe S.L. 2013. Pengaruh Media Tanam Organik Terhadap Pertumbuhan dan Perakaran pada Fase Awal Benih Teh di Pembibitan. Jurnal Penelitian Teh dan Kina, Vol. 16 No.1. Bandung.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 123

Embarsari R.P, Ahmad T, Budy F.T.Q. 2015. Pertumbuhan dan Hasil Seledri (Apium graveolens L.) pada Sistem Hidroponik Sumbu Dengan Jenis Sumbu dan Media Tanam Berbeda. Jurnal Agro Vol. 2, No. 2. Bandung. Ernawati, E. 2008. Pengaruh Media Tanam Kompos, Serbuk Gergaji dan Arang Sekam Terhadap Pertumbuhan Gelombang Cinta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah. Surakarta. Fahmi Z.I. 2015. Media Tanam Sebagai Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Tanaman. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan. Surabaya. Hayati Erita, Sabaruddin, Rahmawati. 2012. Pengaruh Jumlah Mata Tunas dan Komposisi Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Jurnal Agrista Vol. 16 No. 3. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Lukman L. 2011. Teknologi Budidaya Tanaman Sayuran Secara Vertikultur. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. Rahayu M, Samanhudi, Widodo A.S. 2008. Pengaruh Macam Media dan Konsentrasi Fermentasi Ampas Tahu Terhadap pertumbuhan dan Hasil Tanaman Seledri (Apium graveolens L.) secara Hidroponik. Jurnal Ilmiah Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. Surakarta. Riyanti Y. 2009. Pengaruh Jenis Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav.). Skripsi. IPB. Bogor. Rukmana, R. 2011. Bertanam Seledri. Kanisius. Yogyakarta. Susila, A.D dan Koerniawati Y. 2004. Pengaruh Volume dan Jenis Media Tanam pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa) Pada Teknologi Hidroponik Sistem Terapung. Bul. Agron. Vol. 32 No. 3: 16-21. Syahputra E, Marai R, Said I. 2014. Pengaruh Komposisi Media Tanam dan Konsetrasi Pupuk Daun Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Selada. J. Floratek 9: 39 – 45. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. Syahrudin. 2011. Respon Tanaman Seledri (Apium Graveolus L.) Terhadap Pemberian Beberapa Macam Pupuk Daun Pada Tiga Jenis Tanah. Jurnal AGRI PEAT Vol. 12 Nomor 1. Fakultas Pertanian-Universitas Palangka Raya Kalimantan Tengah. Wanitaningsih, S.K. 2012. Pemanfaatan Serabut Kelapa dan Sekam Padi sebagai Media Tanam pada Pembibitan Tanaman Nyamplung Menggunakan Potrays. Jurnal Media Bina Ilmiah Vol. 6 No. 1.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

124 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Bidang Penelitian Teknologi Hasil Pertanian

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 125

OPTIMALISASI PENAMBAHAN LEMAK KAKAO DAN MINYAK SAWIT TERHADAP MUTU TEKSTUR PASTA COKELAT HERMAN HATTA Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Gorontalo Jalan. AA Wahab (eks Jend Sudirman) No 247, Limboto, Kabupaten Gorontalo

Email: [email protected] ABSTRAK Pasta cokelat adalah produk semi cair yang memiliki viskositas yang baik dan tidak mengeras pada suhu ruang. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik dalam perbuatan pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap mutu tekstur pasta cokelat terhadap pengaruh sifat fisikokimia. Penelitian ini menggunakan metode pengujian RAL satu faktorial dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit dengan perlakuan A0 lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%, A1 lemak kakao 25% dan minyak sawit 5%, A2 lemak kakao 15% dan minyak sawit 15%, A3 lemak kakao 5% dan minyak sawit 25%, A4 lemak kakao 0% dan minyak sawit 30% dan data yang diperoleh diolah dengan menggunakan SPSS 16. Apabila terdapat pengaruh nyata antara perlakukan maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisa pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit dengan formulasi terbaik terhadap pasta cokelat untuk asam lemak bebas, viskositas, tekstur yaitu pada perlakuan A3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji organoleptik dari segi tingkat penerimaan panelis untuk warna dan rasa yaitu perlakuan A4. Kata Kunci: Lemak Kakao, Minyak Sawit, Tekstur, Pasta Cokelat. Pendahuluan Kakao merupakan salah satu komoditi yang cukup banyak dimanfaatkan pada dunia industri, salah satunya adalah pemanfaatan lemak kakao. Lemak kakao dapat mengeras pada suhu kamar yang disebabkan oleh sifat dan kandungan asam lemak yang terdapat pada lemak kakao yang didominasi oleh asam strearat, sehingga diperlukan formulasi minyak sawit dalam pembuatan pasta cokelat. Minyak kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan yaitu mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E (Hariyadi, 2010). Minyak kelapa sawit memiliki komposisi asam lemak yang seimbang antara asam lemak jenuh dengan asam lemak tak jenuh, yaitu asam palmitat 14- 45%, asam oleat 3940%, asam linoleat 10-11% dan asam linolenat 0,3-0,4%. Kandungan asam linoleat dan asam linolenatnya cukup rendah, sehingga minyak kelapa sawit cukup stabil terhadap poksidasi (Essentiellea, 2009). Pemanfaatan minyak kelapa sawit pada pembuatan cokelat telah dilakukan, berdasarkan penelitian Muchtar dan Diza (2011), bahwa penambahan crude stearin berpengaruh pada kestabilan dark chocolate yang dihasilkan. Jumlah crude stearin yang digunakan divariasikan mulai dari 0%, 5%, 10%, 20%, dan 34%, sedangkan bahan-bahan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

126 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

lain (cokelat bubuk, lemak cokelat, gula, lesitin dan garam) diberikan dalam jumlah yang sama pada produk cokelat yang dihasilkan. Hasil penelitian Asmawit (2012), tentang substitusi lemak kakao dengan lemak kelapa sawit dalam pembuatan cokelat batang, yang telah dilakukan dengan variasi konsentrasi lemak kelapa sawit terhadap total lemak yaitu 0%, 25%, 50% dan 75%. Dari hasil data penelitian dapat disimpulkan, bahwa perlakukan konsentrasi lemak kelapa sawit terhadap total lemak sebesar 25%, menghasilkan cokelat batangan dengan titik leleh 360C dan tingkat kesukaan yang baik. Pasta cokelat adalah produk makanan berbentuk pasta yang dibuat dari campuran kakao bubuk, gula, dan lemak kakao dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (Menurut Standar Nasional Indonesia 01– 4458-1998). Pada industri pasta cokelat yang sering dihadapi permasalahan di Indonesia karena pasta cokelat sering mengeras pada suhu ruang dan kualitas warna yang belum sebanding produk impor. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan formulasi terbaik dalam pembuatan pasta cokelat sehingga diperlukan penambahan lemak kakao dan minyak sawit. Minyak sawit mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E. Metode Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemecah buah kakao, fermentor, alat pengering mekanis, pemecah nibs, pemisah kulit nibs kakao, sangrai (mesin roasting), pemisah kulit biji (mesin winnowing), pemasta (stone mill), alat pengepresan, conching (ball mill mini), tempering, oven, cawan porselen, alat sentrifugasi, penjepit, timbangan analitik, wadah plastik, pisau, erlenmeyer, gelas kimia, sendok, batang pengaduk, tabung reaksi, pipet mikro, mixer, rak tabung, gelas ukur, labu semprot, peralatan gas, alat pemanas, pendinginan balik, alat eksraksi soxhlet, pipet ukuran, desikator, termometer digital, viscometer Bookfield Dv. 1 prime, Texture Pro CT V1.4 Build 17 metode pengujian tekanan (compression test). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, kakao yang difermentasi yang peroleh dari Sulawesi Barat, minyak kelapa sawit yang dioleh dari PT Megasurya Mas Sidoarjo, lemak kakao (cacao butter), sukrosa sebagai penambah rasa manis, lesitin, air bersih, kertas saring, kertas label, alkohol netral, indicator PP, larutan NaOH, aquadest, metanol, alkohol 94%. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 127

Prosedur Kerja 1. Proses Fermentasi Proses fermentasi biji kakao dilakukan dengan menggunakan fermentor dengan kapasitas 18 kg. Biji kakao difermentasi selama 5 hari untuk mendapatkan hasil fermentasi yang optimal. 2. Proses Pengeringan Mekanis Pengeringan biji kakao dilakukan hingga diperoleh kadar air 7%. Pengeringan biji kakao yang dilakukan secara mekanis dilakukan secara bertingkat, yaitu penjemuran menurunkan kadar air 2–20%, selanjutnya dilakukan pengeringan hingga kadar air 7% dalam waktu yang lebih terkontrol, dengan waktu 15–20 jam dengan suhu pengeringan > 600C. 3. Proses penyangraian Penyangraian dilakukan dengan menggunakan mesin sangrai tipe silinder. Bahan yang digunakan kakao fermentasi.suhu sangrai yang digunakan adalah 1050C selama 40 menit dengan waktu pendinginan optimum yang digunakan adalah 10 menit. 4. Proses kakao cair Setelah jadi nib kakao, maka lanjutkan proses pengilingan (menggunakan alat stone mill) untuk jadi kakao cair. 5. Proses pembuatan bubuk kakao Setelah jadi kakao cair maka di lanjutkan dengan pressingan dan pengayakan untuk jadi bubuk kakao. 6. Proses Penghalusan (Conching) Proses Conching atau proses penghalusan adonan cokelat hasil refiner pada suhu 70 0C dengan 8 jam dengan alat conching (ball mill mini). 7. Tempering Selanjutnya pasta cokelat tersebut dituang kembali kedalam tempering dan selanjutnya suhu dinaikkan kembali menjadi 30-34°C selama 60 menit untuk melelehkan semua kristal yang tidak stabil. Hasil dan Pembahasan Asam Lemak Bebas Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap asam lemak bebas dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

128 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hasil analisa uji asam lemak bebas pada pasta cokelat, seperti yang terlihat pada Gambar 1, diperoleh kandungan asam lemak bebas tertinggi dengan perlakuan A2 (lemak kakao 15% : minyak sawit 15%) sebesar 0,93%, hal ini diduga karena peningkatan asam lemak bebas (FFA) terjadi selama pengolahan dan tranportasi umumnya disebabkan oleh adanya proses autokatalitik (Chairunisa, 2013). Asam lemak bebas adalah asam lemak yang terpisahkan dari trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserin bebas. Hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Asam lemak bebas dihasilkan oleh proses hidrolisis dan oksidasi biasanya

Asam Lemak Bebas (%)

bergabung dengan lemak netral (Mastegar, 2010).

2,00 1,75 1,50 1,25 1,00 0,75 0,50 0,25 0,00

0,93 0,45

0,74

0,67

0,42

A0 (30% : A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% : 0%) 5%) 15%) 25%) 30%) Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Viskositas/Kekentalan (cP)

Gambar 1. Hasil analisa uji asam lemak bebas pada pasta cokelat

10000000

7500000 8000000 6000000 4000000 1052667 169667

2000000

113000

60555

0 A0 (30% : 0%)

A1 (25% : 5%)

A2 (15% : 15%)

A3 (5% : 25%)

A4 (0% : 30%)

Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 2. Viskositas Pasta Cokelat Hasil analisa sidik ragam asam lemak bebas pada pasta cokelat menunjukkan berpengaruh sangat nyata, hasil uji lanjut duncan menunjukkan pada perlakuan A1 dan A0 berpengaruh sangat nyata terhadap perlakuan A2 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p< 0,00), hal ini sebabkan pula dipengaruhi reaksi Maillard yang terjadi selama proses pengolahan. Asam lemak dibedakan menjadi asam lemak jenuh dan tidak Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 129

jenuh. Asam lemak jenuh memiliki titik cair lebih tinggi daripada asam lemak tak jenuh dan merupakan dasar dalam menentukan sifat fisik lemak dan minyak (Mandey, 2012). Viskositas/Kekentalan Gaya gesek antara permukaan spindle dengan cairan akan menentukan tingkat viskositas cair (Anggraeni, 2010). Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit terhadap viskositas dengan perbandingan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%). Hasil analisa viskositas pasta cokelat seperti yang terlihat pada Gambar 2, diperoleh viskositas/kekentalan tertinggi pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%) dibandingkan dengan perlakuan A4 (lemak kakao 0% dan minyak sawit 30%), hal ini disebabkan minyak merupakan gliserida yang terdiri dari berbagai asam lemak sedangkan titik cair gliserida tersebut tergantung pada kejenuhan asam, semakin jenuh asam lemaknya semakin tinggi titik cair dari minyak sawit tersebut. Minyak sawit murni mempunyai titik cair 24,4-40 0C dibandingkan dengan lemak kakao dengan komposisi yaitu asam lemak jenuh stearat (33,2%), palmitat (25,4%) dan asam lemak tak jenuh oleat (32,6%) sehingga karakteristik lemak kakao mempunyai kekerasan pada suhu kamar dan memiliki kisaran titik leleh sekitar 32-350C (Wahyudi dkk, 2008). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa viskositas/kekentalan pasta cokelat berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut duncan yang menunjukkan pada perlakuan A4, A3, A2 dan A1 yaitu sangat berpengaruh nyata terhadap perlakuan A0 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p< 0,00) minyak sawit sangat mempengaruhi tingkat viskositas dari cokelat pasta, di pengaruhi peningkatan viskositas pada minyak diakbatkan oleh adanya reaksi polimerisasi berlangsung selama pemanasan. Reaksi polimerisasi disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi dan pemanasan yang lama (Nuwiah, 2010). Analisa Tekstur Tekstur termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk pangan. Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%), A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

130 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tingkat Kekerasan (g force)

3000 2500 2000 1500 1000 500 0

1285 750 133

13

14

A0 (30% A1 (25% : A2 (15% : A3 (5% : A4 (0% :30) :0%) 5%) 15%) 25%) Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 3. Tingkat kekerasan pada pasta cokelat Hasil pengujian analisa tekstur dalam tingkat kekerasan pada pasta cokelat, seperti yang terlihat pada Gambar 3, menunjukkan bahwa tingkat kekerasan pada pasta cokelat yang tertinggi pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%) sedangkan pasta cokelat yang terendah pada perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%), hal ini karena lemak kakao terikat pada gugus gliserol dengan susunan seperti berikut palmitat oleat stearat (POS) 36-42%, stearat oleat stearat (SOS) 23-29%, palmitat oleat palmitat (POP) 13-19% dan penambahan susu bubuk akan berpengaruh pada tekstur cokelat serta dapat mencegah kemungkinan menggumpal saat dikonsumsi, menimbulkan kesan bahan suatu bahan dapat menimbulkan tekstur lembut atau agak keras (Kartika, 1998). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa viskositas/kekentalan pasta cokelat berpengaruh sangat nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut duncan yang menunjukkan pada perlakuan A4, A3, A2 dan A1 yaitu sangat berpengaruh nyata terhadap perlakuan A0 pada pasta cokelat, hal ini ditunjukkan dengan nilai sig (p< 0,00) minyak sawit sangat mempengaruhi tingkat viskositas dari cokelat pasta, tingkat kekerasan mengacu kepada panjang atom (panjang rantai hidrokarbon) dan derajat kejenuhan asam lemak (ikatan rangkap hidrokarbon) sebagai komponen penyusunnya. Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak maka sifat fisik lemak semakin keras (Yusianto, 2015). Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak, maka sifat lemak akan semakin keras (Poedjiadi, 2012). Dimana daya reaksi untuk mengikat ditentukan oleh posisi ikatan rangkapnya. Posisi ikatan rangkap yang semakin dekat dengan ujung maka ikatan rangkapnya semakin mudah bereaksi (Wahyudi dkk, 2015). Tekstur merupakan faktor mutu yang terlihat nyata dan biasanya dapat diukur serta diawasi dengan mudah karena pada umumnya seluruh permukaan bahan kelihatan dari luar. Menurut Mandey (2012). Tingkat kekerasan mengacu kepada panjang atom (panjang rantai Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 131

hidrokarbon) dan derajat kejenuhan asam lemak (ikatan rangkap hidrokarbon) sebagai komponen penyusunnya. Semakin panjang rantai hidrokarbon utama pada suatu asam lemak maka sifat fisik lemak semakin keras (Yusianto, 2015). Dalam pembuatan cokelat, segi kekentalan (viskositas) merupakan salah satu faktor (Enquiry, 2014). Penambahan susu bubuk juga akan berpengaruh pada tekstur cokelat dan dapat mencegah kemungkinan menggumpal saat dikonsumsi (Faidah dkk, 2008). Lebih lanjut Warsita (2012), menyatakan bahwa lemak kakao memiliki sifat khusus, yaitu volume saat pendinginan sehingga padatan lemak yang dihasilkan menjadi lebih kompak. Selain itu dengan adanya penambahan gula dengan sifat higroskopis yang tinggi menjadikan tekstur dari lemak kakao menjadi semakin kompak. Hal ini juga dipengaruhi oleh penambahan lecitin yang memiliki sifat sebagai pengemulsi yang baik (Budi, dkk, 2012). Uji Organoleptik Uji organoleptik pada produk pasta cokelat ini, menggunakan uji hedonik untuk menentukan tingkat kesukaan panelis dari segi warna dan rasa. Uji organoleptik pasta cokelat ini menggunakan 5 hedonik yaitu 5 sangat suka, 4 suka, 3 agak suka, 2 tidak suka dan 1 amat tidak suka. Dengan 30 Panelis. Warna Warna adalah salah satu penentuan kualitas pada produk dan menjadi salah satu sifat organoleptik yang terdapat pada produk pangan. Warna yang dihasilkan pada cokelat pasta yaitu dihasilkan warna yang hitam/gelap dan mengkilap. Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit pada perlakuan A0 (30% : 0%), A1 (25% : 5%), A2 (15% : 15%),

Organoleptik Warna (Skala 1-5)

A3 (5% : 25%), A4 (0% : 30%).

5,00 4,00

3,61

3,75

3,73

A0 (30% :0%)

A1 (25% : 5%)

A2 (15% : 15%)

3,86

3,74

3,00 2,00 1,00 0,00 A3 (5% : 25%)

A4 (0% :30)

Perbandingan (Lemak Kakao : Minyak Sawit)

Gambar 4. Hasil uji organoleptik warna pasta cokelat

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

132 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hasil pengamatan uji organoleptik pada Gambar 4, diperoleh pada tingkat kesukaan warna pasta cokelat yang paling disuka pada perlakuan A4 (lemak kakao 0% : minyak sawit 30%) dengan tingkat kesukaan sebesar 3,86 dibandingkan dengan perlakuan A0 (lemak kakao 30% : minyak sawit 0%) dengan tingkat kesukaan sebesar 3,61. Hal ini disebabkan karena warna minyak kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kandungan karoten. Karoten dikenal sebagai sumber vitamin A (Giraido dkk, 2010). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat kesukaan warna pada pasta cokelat berpengaruh nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut duncan yang menunjukkan pada perlakuan A0 dan A2 yaitu berpengaruh nyata terhadap perlakuan A4, hal ini disebabkan terjadi perubahan warna akibat reaksi Maillard antara gula pereduksi dengan asam amino dan hasil akhirnya adalah melanoidin (Setyaningsih, 2010). Rasa Salah satu bahan yang mempengaruhi rasa pada produk cokelat pasta adalah gula. Rasa manis adalah sifat rasa yang mempengaruhi cita rasa keseluruhan cokelat (Wahyudi, 2008). Pengaruh penambahan lemak kakao dan minyak sawit dengan perlakuan A0 lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%, A1 (lemak kakao 25% dan minyak sawit 5%), A2 (lemak kakao 15% dan minyak sawit 15%), A3 (lemak kakao 5% dan minyak sawit 25%), A4 (lemak kakao 0% dan minyak sawit 30%).

Gambar 5. Hasil uji organoleptik rasa pasta cokelat Hasil pengamatan uji organoleptik rasa pasta cokelat yang terlihat pada Gambar 5, menunjukkan bahwa tingkat kesukaan rasa pasta cokelat yaitu menunjukkan bahwa tingkat kesukaan tekstur pasta cokelat yang tertinggi dengan perlakuan A4 dengan (lemak kakao 0% Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 133

dan minyak sawit 30%) dengan tingkat kesukaan adalah 3,60 dibandingkan dengan perlakuan A0 (lemak kakao 30% dan minyak sawit 0%) dengan tingkat kesukaan adalah 3,08, hal ini karena penambahan lemak kakao yang terlalu banyak menyebabkan timbulnya rasa pahit. Hal ini diduga cita rasa dan warna khas pada kakao dipengaruhi oleh kandungan yang terdapat pada biji kakao (Pangkalan, 2008). Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tingkat kesukaan tekstur pada pasta cokelat tidak pengaruh nyata terhadap penambahan minyak sawit, berdasarkan hasil uji lanjut duncan yang menunjukkan pada perlakuan A0 yaitu berpengaruh nyata terhadap perlakuan A4 pada pasta cokelat, hal ini diduga cita rasa pada kakao dipengaruhi oleh kandungan yang terdapat pada biji kakao. Lebih lanjut Misnawi dkk (2006), menyatakan bahwa pembentukan warna cokelat dan warna gelap lainnya dalam produk cokelat pada dasarnya dipicu oleh oksidasi senyawa flavonoid. Kesimpulan 1. Penambahan lemak kakao dan minyak sawit dalam pembuatan pasta cokelat sangat berpengaruh terhadap asam lemak bebas, viskositas, tekstur. 2. Sifat fisikokimia pasta cokelat dengan penambahan lemak kakao dan minyak sawit menghasilkan produk pasta cokelat semakin banyak penambahan minyak sawit, maka produk yang dihasilkan semakin cair dan sebaliknya. 3. Penambahan minyak sawit menghasilkan mutu produk pasta cokelat secara umum lebih disukai oleh panelis, dengan perlakuan A4 dengan perbandingan lemak kakao 0% dan minyak sawit 30%, hal ini lebih disukai karena tekstur pasta yang dihasilkan lebih baik. Daftar Pustaka Budi, Akra., Salengke dan Supratomo. 2012. Pengaruh Penambahan Lesitin dan Suhu Counching Terhadap Sifat Reologi Pasta Kakao (Theobromin cocoa L). J. Agritech, Vol. 5(1). Anggraeni,G. (2010,0702).Viskositas. Retrieved oktober 25, 2013, from Wordpress: http://ginaangraeni10. wordpress.com/about. Asmawit. 2012. Penelitian Substitusi Lemak Kakao Dengan Lemak Kelapa Sawit Dalam Pembuatan Cokelat Batang. Baristand Industri Pontianak, Jl. Budi Utomo no. 41 Pontianak 78243 . Biopropal Industry, Vol. 3(1). Chairunisa. 2013. Uji kualitas minyak goreng pada pedagang gorengan di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan. Program Studi Farmasi, Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

134 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Enquiry. 2014. Texture Analyzer. http://www.bestech.com.au/texture-analyzers/. 19 September 2014. Essentiellea, H. 2009. Komposisi minyak kelapa sawit. http://lemak minyak. blogspot. Com /2009/08/palm - stearin. html, Teknologi Minyak dan lemak. Diakses tanggal 15 Oktober 2011. Faridah, A., Kasmita, S.P.,Yulastri, A,. Yusuf, L. 2008. Patiseri, Jilid 3. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta. Giraido, L. Camargo, G., Tirano J., Pirajan, M. J. C. 2010. Synthesis of Alcohols from Oil Palm Using a Catalyst of Ni-Cu Supported onto Zeolite. E-Journal of Chemisty 7(1138-1147). Hariyadi. 2010. Sepuluh Karakter Unggul Minyak Sawit. Artikel: Infosawit. Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan, Edisi I. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Yogyakarta. Mandey, L. C. 2012. Teknologi Pengolahan Minyak. Universitas Sam Ratulangi. Manado. Mastegar. 2010. Asam Lemak bebas, (http//:wordpresscom/2010/02/25). Diakses tanggal 15 Oktober 2011. Misnawi. 2006. Peranan Pengolahan terhadap pembentukan citarasa cokelat. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 21,136 - 144. Muchter, H. dan Diza, Yulia Helmi. 2011. Pengaruh Penambahan Crude Stearin Minyak Kepala Sawit Terhadap Kestabilan Dark Chocolate. Jurnal Litbang Industri, Vol. l (1): 1-7. Nuwiah, Asrin. 2010. Uji Senyawa Aroma Khas Cokelat Hasil Roasting Asam Amino Hidrofobik dan Fruktosa dalam Lemak Kakao. J. Agriplus. Vol. 20 (1). Pangkalan, I. 2008. Dark Chocolate Healing. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta. Poedjiadi, A. 2012. Dasar Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). Jakarta. Setyaningsih. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. IPB Press. Bogor. Standar Nasional Indonesia. Pasta Cokelat. SNI 01–4458-1998 Badan Standardisasi Nasional. Wahyudi, T., T.R. Panggabean dan Pujiyanto. 2008. Panduan Kakao Lengkap, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. Warsito. 2012. Desain dan Analisis Pengukuran Viskositas dengan Metode Bola Jatuh Berbasis Sensor Optocoupler dan dan Sistem Akuisisinya pada Komputer. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 135

http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JN/article/viewFile/839/832. Diakses pada tanggal 21 April 2014 Pukul 12:20 WIB. Yusianto dan Hendy Firmanto. 2015. Panen dan Pasca Panen dalam Kakao Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan, dan Perdagangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

136 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

KARAKTERISTIK MUTU YOGHURT JAGUNG MANIS (Zea mayz L. saccharata) DENGAN VARIASI KONSENTRASI STARTER YANG BERBEDA SATRIA WATI PADE1*, NURHAFNITA2 Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo *Email: [email protected]

1,2

ABSTRAK Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung menjadi komoditas utama setelah beras. Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo, produk jagung cukup melimpah tercatat 643.513 ton namun hasil produknya belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah dari jagung adalah mengolahnya menjadi minuman prebiotik yaitu berupa yoghurt. Untuk menghasilkan produk yoghurt berkualitas baik, diperlukan perbandingan komposisi bahan penyusunnya dengan tepat antara lain jumlah starter yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap yang terdiri atas empat perlakuan yaitu A1 (starter 1%), A2 (Starter 2%), A3 (Starter 3%) dan A4 (Starter 4%), masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Variabel yang diamati meliputi: organoleptik, pH, total asam laktat, kadar lemak dan kadar protein. Hasil penelitian menunjukkan tingkat kesukaan untuk formulasi terbaik adalah perlakuan A4 dengan nilai rasa (3,8), aroma (3,2), warna (4,05) kekentalan (4,05), kadar pH keempat perlakuan berkisar antara 3,87-4,03, kadar total asam laktat tertinggi adalah A4 sebesar 1,32%, kadar lemak tertinggi adalah A1 sebesar 4,75% dan kadar protein tertinggi adalah A4 sebesar 11,11%. Kata Kunci: Jagung, Yoghurt, Starter Pendahuluan Jagung termasuk bahan pangan penting. Sebagai salah satu sumber bahan pangan, jagung telah menjadi komoditas utama setelah beras, bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan bahan pangan pengganti beras. Selain sebagai bahan pangan, jagung juga dikenal sebagai salah satu bahan pakan ternak dan industri. Salah satu jenis jagung yang ada di Gorontalo adalah jagung manis yang popular dikalangan masyarakat karena rasanya yang lebih manis dibanding jenis jagung lainnya. Menurut BPS (2015) Pada tahun 2015 di provinsi Gorontalo , produk jagung cukup melimpah tercatat 643.513 ton jagung namun hasil produknya belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini jagung hanya diolah menjadi makanan tradisional dan makanan ternak, salah satu untuk meningkatkan nilkai tambah dari jagung adalah mengolahnya menjadi minuman prebiotik yaitu dalam bentuk bahan olahan yaitu berupa yoghurt. Produk yoghurt susu jagung ini merupakan variasi dari produk yoghurt yang telah ada. Yoghurt susu jagung dibuat dengan bahan baku nabati yaitu susu jagung dan dicampur dengan susu skim sebagai sumber protein serta bakteri asam laktat. Pembuatan produk Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 137

tersebut merupakan usaha dalam rangka diversifikasi pangan fungsional gara dapat dicerna oleh masyarakat sebagai pangan dengan nilai gizi yang baik karena kandungan nilai gizi jagung seperti kandungan vitamin sangat dibutuhkan tubuh. Selain itu penggunakan susu jagung ini dapat meningkatkan nilai ekonomis yoghurt. Untuk menghasilkan produk yoghurt dengan kualitas yang baik diperlukan perbandingan komposisi bahan penyusunnya dengan tepat antara lain jumlah starter yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt. Berdasarkan hal tersebut, maka dipandang perlu melakukan penelitian tentang karakteristik mutu yoghurt jagung manis dengan variasi konsentrasi starter yang berbeda. Metode Alat

: Blender, pisau, sendok pengaduk, kain saring, panci, baskom dan alat-alat untuk analisa.

Bahan : Jagung manis, air, susu skim, yoghurt plain dan bahan-bahan untuk analisis. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan konsentrasi starter yaitu: A: 1% B: 2% C: 3% D: 4 % Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali Prosedur Kerja a. Pembuatan susu jagung 1. dipilih jagung dengan kondisi yang baik, bebas dari jamur 2. jagung dibersihkan dan dicuci dengan air 3. Jagung dikukus selama 1jam 4. Jagung yang sudah masak, dipipil atau digerus dengan pisau. 5. Biji jagung diblender dan ditambahkan air dengan perbandingan 1:3. 6. Bubur jagung disaring untu memisahkan antara sari jagung dan ampas. 7. Sari jagung direbus sampai mendidih. b. Pembuatan yoghurt susu jagung (Samsumaharto dan Puspawati, 2008 yang dimodifikasi) 1. Susu jagung sebanyak 1500 ml ditambah gula pasir 150 g dan susu skim 3,75 gr.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

138 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

2. Susu dipanaskan pada suhu diatas 85°C selama 15 menit sambil diaduk, kemudian didinginkan hingga suhu mencapai 43 sampai 45°C 3. susu kemudian diinokulasi dengan starter (biakan lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophillus) yaitu plain yoghurt dan diaduk sampai homogen. 4. Susu jagung yang telah diinokulasi dengan variasi starter sebanyak 1%, 2%, 3% dan 4% dimsukkan kedalam cup kemudian ditutup rapat dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C hingga kadar keasaman yoghurt mencapai pH4-5. 5. Yoghurt yang telah mencapai pH 4-5 dianalisis dan selanjutnya didinginkan pada suhu 5°C dan selanjutnya dikemas dalam botol yang telah disterilisasi terlebih dahulu. Hasil dan Pembahasan a. Rasa 3,8

4 3,4 3,05

3,05

A

B

Rasa

3

2

1

0 C

D

Perlakuan

Gambar 1. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Rasa Yoghurt Jagung Gambar 1 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap parameter rasa pada yoghurt jagung menunjukkan nilai rata-rata berkisar antara 3,05 – 3,8 atau dalam taraf sangat suka sampai biasa/netral. Yoghurt jagung pada perlakuan A1 dan A2 menghasilkan rasa yang tidak disukai (3,05) oleh panelis, sedangkan perlakuan A3 dan A4 menghasilkan rasa yang biasa/netral atau agak disukai (3,4 – 3,8) oleh panelis. Dari empat perlakuan yang dilakukan, panelis lebih menyukai rasa perlakuan A4 (3,8). Hal ini karena perlakuan A4 memiliki rasa asam yang lebih kuat jika dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya karena adanya penambahan starter sebanyak 4%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak starter yang digunakan maka kadar asam semakin meningkat, hal ini disebabkan karena adanya aktivitas Lactobacillus bulgaricus dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 139

Streptococcus thermophillus sebagai bakteri asam laktat yang mampu mengubah laktosa dalam susu menjadi asam laktat. b. Aroma

4 3,15

3,1

3,2 2,95

Aroma

3

2

1

0 A

B

C

D

Perlakuan

Gambar 2. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Aroma Yoghurt Jagung Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap yoghurt jagung menunjukkan nilai yang berkisar antara 2,95 – 3,2 atau dalam taraf biasa/netral atau dalam kategori agak suka. Yoghurt jagung pada semua perlakuan secara keseluruhan menghasilkan aroma yang biasa/agak netral oleh panelis. Hasil uji hedonic diantara ke empat perlakuan yang paling disukai oleh panelis yaitu perlakuan A4 (3,2). Perbedaan perlakuan yang diberikan tidak menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap aroma yoghurt jagung. Semua perlakuan yang diberikan menghasilkan aroma yang sama. Parameter aroma sangat terkait dengan parameter rasa, karena yoghurt sendiri secara umum memiliki rasa aroma yang khas seperti aroma asam. Aroma ini timbul karena selama proses fermentasi terjadi perubahan laktosa susu menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Asam laktat inilah yang menyebabkan yoghurt memiliki aroma khas asam. Aroma yang lebih asam ini dikarenakan produksi asam laktat selama proses fermentasi (Alakali et al, 2008).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

140 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

c. Warna 5 4,05

3,95

4,05

A

B

C

3,9

4

Warna

3 2 1 0 D

Perlakuan

Gambar 3. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Warna Yoghurt Jagung Gambar 3 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap warna pada yoghurt jagung menunjukkan nilai yang berkisar antara 3.9-4.05 atau dalam taraf biasa/netral atau agak suka. Hasil uji organoleptik terhadap warna yoghurt menujukkan bahwa panelis menyukai warna yoghurt jagung. Hal ini dikarenakan pada yoghurt jagung terdapat warna kuning. Warna kuning jagung disebakan karena adanya kandungan karotenoid dalam jagung. Karotenodi adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange taua merah orange, mempunyai sifat larut dalam lemak atau pelarut organic tetapi tidak larut dalam air (Suarni dan Widowati, 2010). d. Tekstur 5 4,05 3,7

Tekstur

4

3,65

3,7

3 2 1 0 A

B

C

D

Perlakuan

Gambar 4. Diagram Tingkat kesukaan Terhadap Tekstur Yoghurt Jagung

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 141

Gambar 4 menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis terhadap parameter tekstur pada yoghurt jagung menunjukkan nilai yang berkisar antara 3.65 – 4.05 atau dalam taraf biasa/netral sampai suka. Yoghurt jagung pada perlakuan A2, A3 dan A4 menghasilkan tekstur yamg biasa/netral (3,65-3,7) oleh panelis, sedangkan perlakuan A1 menghasilkan tekstur yang disukai 94,05) oleh panelis. Tekstur pada yoghurt dipengaruhi oleh penggumpalan yang terjadi. Menurut Buckle et al (1985), penggumpalan atau pengentalan merupakan salah satu sifat susu yang paling khas. Penggumpalan dapat disebabkan oleh kegiatan enzim atau penambahan enzim. e. Kadar pH 5 3,91

3,99

3,87

A

B

C

4,03

4

pH

3 2

1 0 D

Perlakuan

Gambar 5. Diagram Kadar pH Yoghurt Jagung Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar pH yoghurt jagung berada pada kisaran 3,91- 4,03. Perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pH yang diperoleh. Hal ini diduga karena perbedaan jumlah starter yang menyebabkan terbentuknya rasa asam yang berarti juga menurunnya pH antar perlakuan jumlahnya sangat kecil sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan pH antarperlakuan. Menurut Rahma et al, (1992), Terjadinya koagulasi susu selama inkubasi disebabkan oleh menurunnya pH akibat aktivitas starter yang ditambahkan. Penurunan pH tidak terjadi hanya karena asam yang dihasilkan oleh asam laktat tetapi juga karena pemebntukan asam lemak rantai pendek dalam bentuk asam asetat, propionate, butirat, dan karbondio0ksida serta hydrogen lainnya selama fermentasi berlangsung yang akan menyebabkan pH yoghurt menjadi rendah (Yusmarini dan Efendi, 2004). Menurut Ace dan Supangkat (2006) pH yoghurt pada umumnya berkisar antara 3,84,4. Berdasarkan hasil yang didapat bahwa pH yoghurt jagung berkisar antara 3,87-4,03 maka dapat dikatakan bahwa pH produk berada dalam kisaran yang cukup baik.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

142 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

f. Total Asam Laktat

Total Asam Laktat (%)

1,6 1,32

1,4 1,2 1

0,9

0,99 0,81

0,8 0,6 0,4 0,2 0 A

B

C

D

Perlakuan

Gambar 6. Diagram Total Asam Laktat Yoghurt Jagung Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata total asam laktat yoghurt jagung yaitu 0,81-1,32%. Berdasarkan hasil analisis, perlakuan pada yoghurt jagung berpengaruh nyata terhadap kadar asam laktat yoghurt jagung. Perlakuan A4 (4%) berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan A4 memiliki kadar total asam laktat sebesar 1,32% dan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena dengan semakin meningkatnya konsentrasi starter maka diduga semakin tinggi pula jumlah mikroba yang dapat merombak laktosa menjadi asam laktat. Hal ini senada dengan pendapat Kusmajadi et al (1988) Perbedaan keasaman yoghurt disebabkan oleh jenis starter karena setiap starter mempunyai karakteristik sendiri dalam memecah laktosa susu. Peningkatan konsetrasi starter akan diikuti pula dengan peningkatan kadar asam, karena peningkatan konsentrasi starter berarti peningkatan jumlah mikroba pada media. Peningkatan ini akan diikuti dengan peningkatan aktifitas serta perkembangan mikrobia dan kemudian terjadi peningkatan perombakan laktosa menjadi asam laktat yang dicerminkan dengan kadar asam yoghurt. Kombinasi bakteri yoghurt akan menghasilkan asam laktat lebih cepat dibandingkan kultur tunggal (Walstra et al., 1999). Keasaman titrasi susu meningkat dengan meningkatnya jumlah mikroorganisme yang mengubah sebagian laktosa menjadi asam laktat oleh bakteri pembentuk asam (Adnan, 1984). Menurut SNI 01-2981-1992, kisaran nilai total asam laktat produk yoghurt adalah 0,52,0%. Hasil analisis yoghurt jagung adalah 0,81-1,32%, maka berdasarkan acuan tersebut dapat dikatakan bahwa total asam laktat yoghurt jagung berada dalam kisaran yang cukup baik. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 143

g. Kadar Lemak 5

4,75

Kadar Lemak (%)

4 2,87

2,56

3

2,21

2

1 0 A

B

C

D

Perlakuan

Gambar 7. Diagram Kadar Lemak Yoghurt Jagung Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar lemak yoghurt jagung berada pada kisaran 2,214,75%. Hasil analisis menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dianita (2005) mengatakan bahwa kadar lemak yoghurt menggunakan starter Lactobacillus bulgaricus berbeda dengan kadar lemak yoghurt yang menggunakan Starter streptococcus thermophillus karena Streptococcus thermophillus bersifat lebih dominan dalam menghasilkan asam laktat saat proses fermentasi, sedangkan enzim lipase yang dihasilkan oleh Lactobacillus bulgaricus juga lebih banyak terhidrolisis oleh starter Lactobacillus bulgaricus daripada Streptococcus thermophillus. Enzim lipase terbentuk oleh bakteri asam laktat sehingga lemak yang dihidrolisis akan bertambah banyak dan mengakibatkan penurunan pada kadar lemak yoghurt jagung (Hastorini, 2002). Menurut SNI 01-2981-1992, kadar lemak yoghurt adalah maks 3,8%. Hasil analisis kadar lemak yoghurt jagung berkisar antara 2,21-4,75%, maka berdasarkan acuan tersebut dapat dikatakan bahwa kadar lemak produk berada dalam kisaran yang cukup baik dan memenuhi standar SNI. h. Kadar Protein Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar protein yoghurt berkisar antara 4,96-11%. Berdasarkan hasil analisis, perbedaan perlakuan pada yoghurt jagung tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein yang diperoleh, hal ini dikarenakan jumlah starter bakteri Lactobacillus bulgaricus dan streptococcus thermophillus yang ditambahkan pada setiap perlakuan memiliki selisih yang sangat kecil sehingga tidak menunjukkan pengaruh yang besar terhadap kadar protein yang dihasilkan pada setiap perlakuan.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

144 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

11,11

12

Kadar Protein (%)

10

9,38 6,84

8 4,96

6 4 2 0 A

B

C

D

Perlakuan

Gambar 8. Diagram Kadar Protein Yoghurt Jagung Manis Menurut Shodiq dan Zainal (2008), semakin banyak bakteri yang digunakan dalam pembuatan yoghurt, semakin tinggi kandungan proteinnya karena sebagian besar komponen penyusunnya mikroba adalah protein. Hal ini sejalan dengan pendapat Herastuti et al (1994) dalam Yusmarini dan Efendi (2004) yang menyatakan bahwa protein yang terdapat pada yoghurt merupakan jumlah total dari protein bahan yang digunakan dan protein bakteri asam laktat yang terdapat didalamnya. Menurut SNI 01-2981-1992, kadar protein yoghurt jagung minimal 3,5%. Hasil analisis kadar protein yang terdapat pada yoghurt jagung adalah berkisar antara 4,96-11%, maka dapat dikatakan bahwa kadar protein yoghurt jagung berada dalam kisaran yang baik dan sesuai dengan standar SNI. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kesukaan yang dihasilkan dari empat perlakuan yoghurt jagung secara keseluruhan berada pada skala 3 -4,05 atau dalam taraf tidak suka sampai suka dan yoghurt jagung yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A4 (starter 4%). 2. Perlakuan A4 (starter 4%) memiliki kandungan pH sebesar 4,03, total asam laktat 1,32%, kadar lemak 2,87%, kadar protein 11,11%. Semua perlakuan yoghurt jagung berada pada kisaran yang cukup baik dan memenuhi standar mutu SNI 01-2981-1992. Daftar Pustaka Ace, I. S. dan S. Supangkat. Pengaruh Konsentrasi Starter Terhadap Karakteristik Yoghurt. Jurnal Penyuluhan Pertanian. 1(1) : 28-33.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 145

Adnan, M., 1984. Kimia dan Teknologi Pengolahan Air Susu. Andi offset. Yogyakarta. Alakali. J. S., Okankwo, T. M dan Lordye, E.M. 2008. Effect of Stabilizer On The Physic Chemical And Sensory Attributes Of Thermized Yoghgurt. African Journal Of Biotechnology. 7(2):152-163. Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Jagung Tahun 2015. https://gorontalo.bps.go.id/preerelease/2016/07/01/342/produksi-jagung-tahun-2015sebanyak-643-513-ton-pipilan- kering.html . Diakses 12 November 2017. Buckle, K. A., G. N. Edwards., Fleet dan Wooton. 1987. Food Science. Terjemahan Purnomo. UI Press. Jakarta. Dianita, T. 2005. Pengaruh Variasi Jenis Starter Dengan Konsentrasi Berbeda Terhadap Kualitas Yoghurt. Jurusan Biologi. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Herastuti, S.R., R.S. Sujiman, dan N. Ningsih. 1994. Pembuatan Pati Gude (Cajanus cajan L.) dan Pemanfaatan Hasil Sampingnya dalam Pembuatan Yoghurt dan Tahu. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UNSOED. Purwekerto. Kusmajadi, Suradi, Dedeh, D., Udju. D., Rusdi, dan N. Djuarnani. 1988. Pengaruh Tinggkat dan Jenis Penambahan Starter Pada Pembuatan Yoghurt. Prosiding Bioproses Industri Pangan. Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Penerbit Liberty. Yogyakarta Samsumaharto, M.A dan Puspawati. 2008. Perbandingan Fermentasi Yoghurt Susu Biji Asam (Tamarindus indica, L) dengan Yoghurt Susu murni. Jurnal Kimia Dan Teknologi, Fakultas Biologi. Universitas Setia Budi. Surakarta. Shodiq, A dan Zainal, A. 2008. Meningkatkan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawa. Agromedia Pustaka. Jakarta. Suarni dan Widowati. 2010. Struktur, Komposisi dan Nutrisi Jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id/ind/jagung/tigasnol.pdf. Diakses 21 November 2017. Walstra, P., T. J. Geurs, A. Noemen, A. Jellema and M. A. J. S. Van Boekel. 1999. Dairy Tecnology, Principles of Milk Properties and Processes. Marcel Dekker. New York Yusmarini dan Effendi. 2004. Evaluasi Mutu Yoghurt Yang Dibuat Dengan Penambahan Beberapa Jenis Gula. Fakultas Pertanian Universitas Riau. Riau.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

146 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

PEMANFAATAN TEPUNG JAGUNG PULUT SUBTITUSI TEPUNG TERIGU DALAM PEMBUATAN MIE KERING 1*

DESI ARISANTI DAN 2ROSDIANI AZIS 1,2 Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Politeknik Gorontalo *Email: [email protected] ABSTRAK Mie kering adalah mie mentah yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10%. Karena bersifat kering maka mie ini mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penangannnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui kombinasi terbaik tepung terigu dan tepung jagung pulut dalam pembuatan mie kering terhadap tingkat kesukaan dan sifat fisiokimia mie kering. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat formulasi yang tepat antara tepung terigu dan tepung jagung pulut terhadap tingkat kesukaan adalah terdapat pada perlakuan A2 (350 g Tepung Jagug Pulut : 150 g Tepung Terigu). Adapun hasil analisa sifat kimia mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut yaitu; kadar air 6.85%, kadar abu 1.67%, dan kadar lemak 8.45%.Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa, rata-rata kandungan gizi mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut formulasi yang terbaik adalah kadar air 6.85%, kadar abu 1.67%, dan kadar lemak 8.45%. Hal ini sudah memenuhi syarat mutu mie kering berdasarkan SNI. Kata Kunci: Mie Kering, Tepung Terigu, Tepung Jagung Pulut Pendahuluan Jagung berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk pangan yang bernilai gizi. ketersedian makanan olahan dari jagung, dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kejenuhan dalam mengkonsumsi jagung. Salah satu makanan alternatif yang dapat diolah dari bahan baku jagung adalah produk mie jagung pulut. Pada umumnya mie yang beredar di masyarakat berbahan dasar tepung terigu. Mie dari jagung pulut ini diharapkan mampu mengurangi penggunaan tepung terigu yang merupakan salah satu komoditas yang diimport dalam jumlah besar. Mie jagung pulut diharapkan lebih banyak dikonsumsi mengingat jagung mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi setelah beras dan terigu. Jagung pulut atau sering disebut ketan merupakan jenis jagung yang banyak mengandung amilokpektin sedangkan pada jagung kuning mempunyai kandungan amilopektin yang sangat sedikit. Jagung kuning lebih banyak mengandung amilosa. Daya rekat adonan mie dipengaruhi oleh adanya kandungan amilopektin (Warisno, 1998). Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan mencoba membuat produk pangan berbahan dasar jagung yaitu mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut”. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 147

Metode Penelitian Alat dan bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : mesin penggiling jagung, timbangan analitik, wadah, ayakan, panci, kompor, pencetak mie, wajan, gelas ukur, desikator, oven, baskom, pipet, gelas ukur 250 ml, baker 300 ml, timbangan digital, cawan petris, cawan porselin, tabung reaksi, penjepit cawan, mortal, spatula, soxhslet, dan tanur. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah: jagung pulut, tepung jagung pulut, tepung terigu, garam, air, telur. Proses Pembuatan Tepung Jagung Pulut dan Mie 

Proses Pembuatan Tepung Jagung Pulut (Modifikasi Fahmi, 2007).

1.

Dibersihkan jagung dari biji yang cacat dan benda asing (sortasi).

2.

Jagung digiling menggunakan disc mill dengan ayakan 10 mesh, pisahkan tepung kasar dan grits jagung.

3.

Jagung dicuci menggunakan air.

4.

Jagung direndam selama 4 jam, kemudian keringkan grits jagung sampai grits tidak terlalu basah.

5.

Grits jagung digiling kembali menggunakan ayakan berukuran 80 mesh.

6.

Grits jagung dikeringkan di oven pada suhu 50 oC selama 2 jam.

7.

Diayak tepung jagung pulut, kemudian keringkan kembali di oven pada suhu 50 o

C selama 2 jam.

8. 

Tepung jagung pulut siap digunakan dalam pembuatan mie kering. Proses Pembuatan Mie Jagung Pulut (Juniawati, 2003).

1.

Disiapkan bahan-bahan yang akan digunakan.

2.

Tepung jagung pulut, tepung terigu, garam, baking powder, air dicampur sampai kalis.

3.

Setelah itu adonan dikukus selama ± 15 menit

4.

Digiling adonan menggunakan penggiling mie sampai terbentuk untaian mie.

5.

Untaian mie dikeringkan di oven pada suhu 60-70oC selama 1-2 jam.

6.

Mie jagung pulut yang sudah dikeringkan siap dianalisa.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

148 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hasil dan Pembahasan Tingkat Kesukaan Mie Kering Kombinasi Tepung Terigu dan Tepung Jagung Pulut Untuk melihat produk yang paling diminati atau disukai oleh panelis pada penelitian ini ditentukan melalui uji organoleptik. Penilaian yang dilakukan meliputi empat parameter yaitu rasa, warna, aroma, tekstur. Rasa Berdasarkan hasil uji organoleptik terhadap rasa mie kombinasi tepung jagung pulut menunjukkan bahwa tingkat penerimaan panelis rata-rata 3,47 – 3,5 artinya masih pada taraf biasa/netral atau sampai suka. Dari ketiga perlakuan, perlakuan A2 yang paling disukai oleh panelis. Ketiga perlakuan ini tidak berpengaruh nyata pada mie kombinasi tepung jagung pulut. Hal ini menandakan tidak adanya pengaruh dalam penambahan tepung jagung terhadap rasa mie yang dihasilkan. Warna Warna juga merupakan salah satu parameter yang digunakan konsumen dalam memilih produk. Nilai sensori tingkat kesukaan warna dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 1.

Tingkat Kesukaan Warna 3,8 3,7

3,7 3,63

3,6 3,47

3,5 3,4 3,3 A1

A2

A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu 350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu

300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 1. Grafik tingkat kesukaan warna Hasil dari uji organoleptik terhadap warna untuk mie kombinasi tepung jagung pulut dari ketiga perlakuan berada pada kisaran 3,47 – 3,70 artinya masih pada taraf biasa/netral sampai suka. Dari ketiga perlakuan ini perlakuan A2 yang paling disukai oleh panelis karena panelis menyukai warna yang alami dan seragam dari jagung pulut. Warna yang seragam ini juga dipengaruhi oleh adanya penambahan kuning telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 149

Astawan (2001), bahwa penambahan kuning telur berfungsi untuk mengembangkan adonan dan akan memberikan warna seragam. Aroma Nilai sensori tingkat kesukaan aroma dari mie kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 2.

Tingkat Kesukaan Aroma 3,6 3,5

3,53 3,47 3,37

3,4 3,3

3,2 A1

A2

A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu 350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu 300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 2. Grafik Tingkat Kesukaan Aroma Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap suatu produk adalah aroma. Aroma banyak menentukan kelezatan dari suatu makanan. Hasil dari uji organoleptik terhadap aroma mie kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 artinya masih berada pada taraf biasa/netral sampai suka. Dari ketiga perlakuan yang ada, perlakuan yang paling disukai panelis adalah perlakuan A3 karena aroma dari jagung pulut ini paling dominan artinya pada perlakuan A3 aroma khas dari jagung pulut itu sendiri masih ada sehingga panelis menyukai perlakuan A3 dibandingkan perlakuan A1 dan A2. Tekstur Nilai sensori tengkat kesukaan tekstur mie kombinasi tepug terigu dan tepung jagung pulut dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil dari uji organoleptik terhadap tekstur mie kombinasi tepung jagung pulut yaitu berkisar Antara 3,37 – 3,53 atau dalam taraf biasa/netral. Dari ketiga perlakuan yang disukai oleh panelis yaitu perlakuan A3 dan A1 hal ini disebabkan karena pada dua perlakuan ini lebih banyak tepung terigu dimana tepung terigu ini banyak mengandung gluten yang berfungsi untuk menentukan kekenyalan mie serta berperan dalam pembentukan mie supaya tidak mudah putus dan menentukan kualitas pada suatu makanan kenyal.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

150 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tingkat Kesukaan Tekstur 4

3.30

3.87

3 3.47

2 1 0 A1

A2

A3

250 g Tepung Jagung Pulut : 250 g Tepung Terigu 350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu 300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu

Gambar 2. Tingkat kesukaan terhadap tekstur Analisis Sifat Kimia Kadar Air Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat mempengaruhi kualitas bahan. Penurunan jumlah air dapat mempengaruhi laju kerusakan bahan pangan akibat kerusakan mikrobiologis, kimiawi dan enzimatis. Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan salah satu faktor yang dapat membuat bahan pangan menjadi awet. Proses pengurangan kadar air dapat dilakukan dengan proses pengeringan ataupun proses penggorengan. Pada proses pengeringan, kandungan air dikurangi dengan cara menguapkan air pada bahan menggunakan energi panas, sedangkan pada proses penggorengan terjadi penghilangan air dalam jumlah yang besar dari bahan pangan dan terjadi penyerapan minyak ke dalam bahan pangan. Hasil analisa rata-rata kadar air mie kombinasi tepung jagung pulut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar air mie kering Kode perlakuan Rata-rata (%) A1 A2 A3

5.59a 6.85c 5.64ab

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(41,18) lebih besar dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pada pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut dan tepung terigu sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air yang diperoleh, sehingga dilakukan uji Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 151

lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A1 berbeda sangat nyata dengan perlakuan A2, tetapi perlakuan A1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3. Dan perlakuan A2 menunjukkan nilai kadar air tertinggi yaitu sebesar 6.85 kemudian disusul oleh perlakuan A3 yaitu dengan nilai 5.64 dan yang paling terendah kadar air pada perlakuan A1 yaitu 5.59.Karena semakin banyak penambahan tepung jagung pulut maka semakin tinggi kadar air pada mie kering yang dihasilkan. Karena tepung jagung pulut itu sendiri memiliki kadar air yang cukup tinggi yaitu 11.0% (Suarni, 2005). Rendahnya kadar air mie kering pada semua perlakuan dipengaruhi oleh proses pengeringan pada suhu yang cukup tinggi dengan waktu cukup lama pula karena semakin tingggi suhu dan lama waktu yang digunakan pada proses pengeringan maka meneyebabkan sebagian besar air menguap sehingga kandungan air pada prodak rendah.Hal ini sesuai dengan pendapat Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010), air yang terdapat dalam bahan akan mengalami penguapan akibat kenaikan suhu bahan dan minyak. Sebagian minyak masuk ke bagian kerak dan mengisi ruang kosong yang semula berisi air. Dari hasil penelitian kadar air yang diperoleh pada mie kering lebih rendah dari standar SNI mie kering yaitu dengan kadar air maksimal 8%. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan air pada masing-masing perlakuan pada mie kering sesuai dengan standar SNI. Kadar Abu Kadar abu merupakan zat organik sisa suatu pembakaran zat organik dalam bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Penentuan kadar abu dapat ditentukan berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan dan sebagai penentu nilai gizi suatu bahan makanan. Hasil analisa rata-rata kadar abu mie kombinasi tepung jagung pulut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Rata-Rata Kadar Abu Mie Kering Kode Perlakuan Rata-Rata (%) A1 1,54a A2 1,63b A3 1,67bc Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung(18,39) lebih besar dari Ftabel (0,05) yaitu 5,14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10,92, artinya bahwa perlakuan pada pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar abu yang Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

152 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

diperoleh, sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A2 sangat berbeda nyata dengan perlakuan A1 tetapi perlakuan A2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3. Dan pada perlakuan A3 menunjukkan nilai rata-rata tertinggi yaitu 1,67 kemudian disusul oleh perlakuan A2 yaitu 1,63 dan yang paling terendah kadar abu pada perlakuan A1 yaitu 1,54. Dilihat dari tabel diatas, nilai rata-rata kadar abu yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan A3 yaitu 1,67%, sedangkan nilai rata-rata kadar abu yang terendah dimiliki oleh perlakuan A1 yaitu 1,54%. Hal ini disebabkan oleh kandungan kadar abu yang terdapat pada semua bahan baku yang digunakan rendah yaitu kadar abu tepung terigu 0,25% (Astawan, 2006), kandungan kadar abu yang terdapat pada tepung jagung pulut yaitu 0,98% (Suarni, 2005). Kadar abu yang diperoleh ini merupakan zat anorganik yang tidak terbakar. Hal ini sesuai dengan pendapat Menurut Winarno (2004), bahwa unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Dalam tubuh, mineral-mineral ada yang bergabung dengan zat organik, ada pula yang berbentuk ion-ion bebas. Di dalam tubuh unsur mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Mineral yang terdapat dalam bahan pangan termasuk dalam mie jagung instan ini diukur ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). Namun tidak selamanya total abu yang diperoleh adalah jumlah mineral yang terdapat dalam mie jagung instant. Hal ini terjadi karena dalam proses pembakaran banyak anion organik menghilang karena suhu yang sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Deman (1997), bahwa mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). pembakaran ini merusak senyawa organik dan mininggalkan mineral. Akan tetapi, jika ditentukan dengan cara ini, abu tidak mengandung nitrogen yang terdapat dalam protein dan dalam beberapa segi lain berbeda dengan kandungan mineral yang sebenarnya. Anion organik menghilang selama insinirasi dan logam diubah menjadi oksidanya. Karbonat dalam abu dapat terbentuk karena penguraian bahan organik. Beberapa unsur sesepora dan beberapa garam dapat hilang barena penguapan selama pengabuan. Natrium klorida akan hilang dari abu jika suhu insinerasi lebih tinggi dari 600oC. Kadar abu mie kombinasi tepung jagung pulut memenuhi syarat mutu SNI untuk mie kering yang menyatakan bahwa kadar abu mie kering maksimal 3%. (SNI 01-2974-1992).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 153

Kadar Lemak Lemak adalah satu kelompok lipid sederhana yang disintesis dari asam lemak dan gliserol. Lemak tersusun oleh atom utama Karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O). dibandingkan dengan karbohidrat, jumlah atom hidrogen pada struktur lemak lebih banyak sedangkan jumlah atom oksigennya lebih sedikit. Lemak yang diperlukan oleh manusia adalah asam lemak esensial, yaitu asam lemak yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus disuplai dari pangan, misalnya asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat (Kusnandar, 2011). Hasil analisa rata-rata kadar lemak mie kombinasi tepung jagung pulut dari ketiga perlakuan dengan tiga kali ulangan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Rata-Rata Kadar Lemak Mie Kering Kode Sampel Rata-Rata (%) A1 6.28b A2 8.45c A3 4.09a Berdasarkan hasil analisa sidik ragam, diperoleh bahwa nilai Fhitung (27.9) lebih besar dari Ftabel (0,05) yaitu 5.14 dan Ftabel (0,01) yaitu 10.92, artinya bahwa perlakuan pada pembuatan mie kombinasi tepung jagung pulut berbeda nyata terhadap kadar lemak yang diperoleh, sehingga dilakukan uji lanjut BNT. Hasil uji lanjut BNT menunjukkan bahwa mie kombinasi tepung jagung pulut pada perlakuan A3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan A1 dan A2. Dilihat dari tabel diatas, nilai rata-rata kadar lemak yang tertinggi dimiliki oleh perlakuan A2 yaitu 8.45%, sedangkan nilai rata-rata kadar lemak yang terendah dimiliki oleh perlakuan A3 yaitu 4.09%. Hal ini diduga oleh penambahan telur pada pembuatan mie terutama pada kuning telur dan minyak yang tidak diketahui jumlah minyak yang digunakan pada saat proses pemisahan untaian mie setelah proses pengukusan, sehingga menyebabkan kadar lemak yang dihasilkan memiliki perbedaan yang cukup berbeda jauh.Hal ini sesuai dengan pendapat Andarwulan (2011), bahwa penambahan minyak dalam proses pembuatan mie adalah proses penurunan kadar air dari sekitar 32% (kadar air adonan) menjadi 3% sampai 4%. Pada proses ini terjadi pertukaran antara minyak goreng dengan air. Air yang ada di dalam mi menguap dan meninggalkan pori-pori yang selanjutnya diisi dengan minyak goreng. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, nilai kadar lemak mie kombinasi tepung jagung pulut untuk ketiga perlakuan belum memenuhi standar SNI 01-2974-1992 karena kadar

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

154 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

lemak pada masing-masing perlakuan lebih tinggi dari standar mutu SNI untuk mie kering yang menyatakan bahwa kadar lemak mie kering minimal 3% (SNI 01-2974-1996). Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian yang telah dilakukan terhadap mie kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.

Formulasi rasio yang tepat antara tepung terigu dan tepung jagung pulut hasil penelitian tingkat kesukaan adalah terdapat pada perlakuan A2 (350 g Tepung Jagug Pulut : 150 g Tepung Terigu).

2.

Nilai rata-rata kandungan gizi mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut pada formulasi yang disukai adalah kadar air 6.85% (350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu), kadar abu 1.67% (300 g Tepung Jagung Pulut : 200 g Tepung Terigu), dan kadar lemak 8.45%(350 g Tepung Jagung Pulut : 150 g Tepung Terigu). Hal ini sudah memenuhi syarat SNI.

Saran 1. Penelitian mie kering kombinasi tepung terigu dan tepung jagung pulut dapat diaplikasikan pada masyarakat. 2. Penelitian ini dapat diaplikasikan kembali agar mendapatkan kombinasi fisik dan kimia yang terbaik. Daftar Pustaka Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan Pangan. Dian Rakyat, Jakarta. .Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-37271995. Tepung Jagung. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1996. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-2974-1996. Mie Kering. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Deman, John M., 1997. Principles of Food Chemistry. Penerjemah Kosasih Padmawinata dalam Kimia Makanan. ITB. Bandung. Fahmi, A. 2007. Optimasi Produksi Mie Basah Berbasis Tepung Jagung dengan Teknologi Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan. Dian Rakyat. Jakarta. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 155

Suarni. 2005. Karakteristik Fisikokimia dan Amilograf Tepung Jagung Sebagai Bahan Pangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Makassar, 29-30 September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

156 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

ANALISIS AKTIVITAS ANTIKOAGULAN DARI IKAN SIDAT DANAU POSO SPESIES Anguilla marmorata MARTHO HARRY MELUMPI Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis Universitas Kristen Tentena Email: [email protected] ABSTRAK Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah satu produk dari danau ini adalah Ikan Sidat (Anguilla sp) yang oleh masyarakat lokal menyebutnya dengan nama Sogili atau Masapi. Pada penelitian ini digunakan spesies ikan sidat Anguilla marmorata yang diambil di danau Poso kota Tentena kabupaten Poso untuk diamati secara laboratorik apakah Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan. Pemanfaatan sidat atau sogili oleh masyarakat di pesisir danau Poso masih terbatas untuk dikonsumsi bagian dagingnya dan biasanya di jual ke penampung sidat. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari spesies tersebut sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan namun belum diupayakan. Metode yang digunakan untuk memperoleh ekstrak kasar dari sidat Anguilla marmorata adalah metode ekstraksi secara maserasi. Pengujian dilakukan pada darah manusia. Pengujian ini dilakukan pada konsentrasi 0,0018 g/ml, 0,0036 g/ml dan 0,0072 g/ml dengan 6 kali pengulangan pada masing-masing perlakuan. Pengujian pertama yaitu pengujian darah yang di tambahkan ekstrak fraksi metanol. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak metanol sidat Anguilla marmorata memiliki aktivitas antikoagulan pada darah manusia dibandingkan dengan kontrol. Pengujian kedua yaitu dengan menguji aktivitas antikoagulan sidat Anguilla marmorata dengan fraksi hasil partisi etil asetat dan butanol, hasil yang diperoleh bahwa fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antikoagulan terbaik, jika dibandingkan dengan kontrol positif (EDTA), negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan). Kata Kunci: Ekstrak, Sidat, Anguilla Marmorata, Antikoagulan. Pendahuluan Penelitian kedokteran modern menemukan bahwa kandungan vitamin dan mikronutrien dalam ikan sidat sangat tinggi, di antaranya sebagai vitamin B1, 25 kali lipat susu sapi, vitamin B2, 5 kali lipat susu sapi, vitamin A, 45 kali lipat susu sapi, dan kandungan zinc (emas otak) 9 kali lipat susu sapi, (Napitupulu, 2011). Sidat (Anguilla sp) memiliki pola hidup katadromous yang artinya mengawali hidup di laut dalam, bertumbuh di perairan tawar, dan setelah matang kelamin akan kembali beruaya ke laut untuk memijah. Selain memiliki pola hidup yang unik, sidat juga populer sebagai makanan yang mewah karena memiliki nilai nutrisi yang baik. Danau Poso merupakan sebuah ekosistem yang unik. Salah satu produk dari danau ini adalah ikan sidat A. marmorata oleh masyarakat lokal di wilayah Tentena menyebutnya dengan nama Sogili atau Masapi.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 157

Pemanfaatan sidat oleh masyarakat di pesisir danau Poso masih terbatas untuk dikonsumsi bagian dagingnya dan biasanya di jual ke penampung sidat. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari spesies tersebut sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan namun belum diupayakan. Penjaringan substansi bioaktif seperti antikoagulan sangatlah perlu dilakukan dan telah menjadi salah satu dasar untuk menemukan senyawa obat untuk mengatasi penyakit jantung dan stroke. Hal ini dapat ditempuh dengan mencari sumber-sumber antikoagulan baru dari organisme perairan. Berbagai bahan bioaktif (bioactive substances, natural product) yang terkandung dalam biota laut seperti omega 3, hormon, protein, dan vitamin memiliki potensi yang sangat besar bagi penyediaan bahan baku industri farmasi dan kosmetik. Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota perairan memiliki potensi menghasilkan bahan obat-obaatan, dan yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Rokhmin, 2003). Antikoagulan adalah senyawa yang mencegah terjadinya pembekuan darah. Dalam keadaan normal antikoagulan lebih menonjol sehingga darah tidak membeku, namun jika pembuluh robek atau terjadi tromboemboli maka aktivitas prokoagulan dalam darah akan jauh lebih besar dari aktivitas antikoagulan sehingga dapat terjadi pembekuan darah (Guyton, 1981). O’ Reilly, (1989) menyatakan bahwa ada 13 faktor pembekuan darah, antara lain: fibrinogen, protrombin, tromboplastin dan kalsium. Antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya trombus dan emboli serta untuk mencegah bekunya darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi. Penjaringan substansi bioaktif seperti antikoagulan sangatlah perlu dilakukan dan telah menjadi salah satu dasar untuk menemukan senyawa obat untuk mengatasi penyakit jantung dan stroke. Kandungan antikoagulan yang dikandung dari organisme perairan sangat bermanfaat dalam bidang kesehatan belum diupayakan, sehingga penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui aktivitas antikagulan dari ikan sidat. Metode Penelitian Pengambilan Sampel Pengambilan sampel pada penelitian ini diambil di wilayah perairan Danau Poso Sampel ikan sidat A. marmorata diambil pada disalah satu titik kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Sebanyak 3 kg sampel ikan sidat kemudian daging sidat A. marmorata akan dipotong-potong ukuran dadu untuk di ekstraksi dan di partisi dengan pelarut yang berbeda polaritas. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Bahan Hayati Laut Universitas Sam Ratulangi Manado.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

158 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Ekstraksi dan Partisi Antikoagulan Proses ekstraksi sidat menggunakan metode maserasi. Sampel kemudian direndam dengan metanol sebanyak 1000 ml. Sampel yang sudah direndam dengan metanol disimpan selama 3 hari dan sesekali diaduk. Selama 3 hari perendaman, sampel yang diperoleh berupa homogenate dan debris yang dihasilkan direndam lagi selama 3 hari dengan metanol sedangkan filtratnya disimpan. Setelah itu ekstrak metanol yang sudah diuji aktivitas antikoagulannya kemudian dipartisi dengan pelarut etil asetat, heksan dan butanol. Pemurnian dilakukan dengan metode partisi untuk menarik komponen-komponen senyawa sesuai kepolarannya. Ekstrak kasar sidat yang memiliki aktifitas tertinggi dipartisi dengan cara ditambahkan pelarut etil asetat (EtoAc) dengan perbandingan 1:3 v/v, setelah itu dikocok berulang kali hingga tercampur, lalu didiamkan hingga terbentuk lapisan air dan lapisan etil asetat. Masing-masing lapisan ditampung dalam wadah yang berbeda. Lapisan etil asetat selanjutnya dievaporasi dengan vaccum rotary evaporator hingga kering lalu ditimbang, hasil ini dinamakan fraksi etil asetat. Sampel Uji Darah dan Uji Antikoagulan pada Darah Manusia Sampel darah yang digunakan dalam penelitian ini adalah darah lengkap diambil dari vena cubiti. Lokasi pengambilan darah vena umumnya didaerah fossa cubiti yaitu vena cubiti atau daerah dekat pergelangan tangan, dengan menggunakan alat suntik disposable 5ml/cc dan jarum 22 G steril (Anonim, 2011). Aktivitas antikoagulan dari ekstrak akan diujikan pada darah manusia, menggunakan metode waktu rekalsifikasi yang dimodifikasi dari Kawatsu (1985) dalam Sorongan (2005), dengan cara sebagai berikut : Darah manusia akan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sesuai dengan konsentrasi yaitu 0,0018 g/ml; 0,0036 g/ml; 0,0072 g/ml, setelah itu ekstrak dilarutkan dalam larutan aquades. Selanjutnya semua tabung di kocok/vortex hingga tercampur rata lalu tabung dimiringmiringkan setiap 30 detik. Bila larutan dalam tabung sudah tidak mengalir ketika tabung dimiringkan, lamanya pembekuan dicatat. Hasil yang didapatkan dibandingkan dengan kontrol positif (EDTA+darah), kontrol negatif (CaCl2+darah) dan kontrol darah tanpa perlakuan. Setiap perlakuan dilakukan 6 kali pengulangan. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium ditabulasi dan dianalisis menggunakan analisis rancangan acak lengkap untuk mengetahui apakah variabel-variabel

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 159

independen secara parsial berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel dependen. Derajat signifikansi yang digunakan adalah 0.05. Hasil dan Pembahasan Pengujian Aktivitas Antikoagulan Sidat A. marmorata 1. Aktivitas Antikoagulan pada Ekstrak Metanol Hasil pengujian aktivitas antikoagulan ekstrak metanol dari sidat A. marmorata ditampilkan dalam bentuk grafik pada Gambar 2. 40

37 36 37 37 37 36

35 30

Menit

25 20

26 26 25 25 26 26 20

21 22

19 20 20 15 14 15

15

13 14

15

10

5 6 6 5 6 6

2 3 2 3 2 2

5 0 0,0018

0,0036

0,0072

Kontrol (-) CaCl2

Kontrol (+) EDTA

Darah Normal

Konsentrasi Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

Ulangan 4

Ulangan 5

Ulangan 6

Gambar 2. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Ekstrak Metanol pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol. Grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl 2) dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke-15, menit ke-2 dan menit ke-6. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan jelas terlihat bahwa dari konsentrasi pengujian yang dilakukan yaitu konsentrasi 0,0018 g/ml, 0,0036 g/ml dan konsentrasi 0,0072 g/ml menunjukkan aktivitas antikoagulan yang berbeda dari masing-masing konsentrasi dimana aktivitas antikoagulan tertinggi terjadi pada konsentrasi 0,0072 g/ml yang membeku pada menit ke-36, diikuti konsentrasi 0,0036 g/ml pada menit ke-25 dan konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke--20. Dari pengujian aktivitas antikoagulan dari ekstrak metanol terlihat bahwa sidat A. marmorata memiliki aktivitas antikoagulan yang tinggi dibandingkan dengan kontrol yang digunakan. Perlakuan ekstrak metanol memperlihatkan adanya aktivitas antikoagulan yang terbaik, hal ini disebabkan banyaknya senyawa aktif yang dimiliki oleh ekstrak metanol. Adanya hubungan sinergisme antara senyawa-senyawa aktif yang larut pada ekstrak metanol dapat memperkuat tingkat Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

160 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

aktivitas antikoagulan yang dihasilkan. Hal ini berarti senyawa antikoagulan yang dikandung oleh ekstrak metanol tersebut lebih tinggi dibanding dengan kontrol EDTA. 2. Aktivitas Antikoagulan pada Fraksi Hasil Partisi Etil Asetat Perlakuan dengan fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antikoagulan yang disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 3. 33 32 32 33 33 33

35 30

Menit

25

30 29 29 30

28

27 27

28 29

25 25 24

20 15 15

15 13

15

13 14

10

6 5 6 6 5 5

4 2 2 2 3 3

5 0 0,0018

0,0036

0,0072

Kontrol (-) CaCl2

Kontrol (+) EDTA

Darah Normal

Konsentrasi Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

Ulangan 4

Ulangan 5

Ulangan 6

Gambar 3. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Fraksi Etil Asetat pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol. Ekstrak sidat A. marmorata dipartisi menggunakan pelarut etil asetat berdasarkan perbedaan polaritas. Hasil pengamatan pada grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl 2) dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke-15, menit ke-2 dan menit ke-6. Berbeda dengan konsentrasi yang diberi perlakuan ekstrak hasil partisi dari pelarut etil asetat terlihat bahwa dari konsentrasi pengujian yang dilakukan yaitu konsentrasi 0,0018 g/ml memiliki waktu pembekuan pada menit ke-26, pada konsentrasi 0,0036 g/ml memiliki waktu pembekuan pada menit ke-29 dan konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki waktu pembekuan pada menit ke-32. Dari pengujian ini terlihat kembali bahwa konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki aktivitas antikoagulan yang terbaik dibandingan dengan konsentrasi lainnya setelah dibandingkan dengan kontrol yang digunakan dimana terlihat perbedaan waktu perlambatan yang sangat jauh berbeda. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 161

3. Aktivitas Antikoagulan pada Fraksi Hasil Partisi Butanol Adapun tahap-tahap aktivitas antikoagulan pada kontrol dan waktu pembekuan yang dihasilkan dari fraksi butanol pada Gambar 4. 30 25

25

24 21

23

22 22

Menit

20

24

23

20 20

22

21

23 23

24 22 22

19 16 14 14

15

14

15 15

10

7 7

5

3 3

2

3

5 5

4

6 6

2

0 0,0018

0,0036

0,0072

Kontrol (-) CaCl2

Kontrol (+) EDTA

Darah Normal

Konsentrasi Ulangan 1

Ulangan 2

Ulangan 3

Ulangan 4

Ulangan 5

Ulangan 6

Gambar 4. Diagram perbandingan rata-rata perlambatan waktu pembekuan Fraksi Butanol pada darah pada setiap konsentrasi yang dibandingkan dengan kontrol. Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat bahwa grafik kontrol Positif (EDTA), negatif (CaCl2) dan darah normal (tanpa perlakuan) menunjukkan bahwa aktivitas perlambatan waktu pembekuan darah berlangsung normal yaitu pada menit ke 15, menit ke2 dan menit ke-6. Jika dibandingan dengan konsentrasi pada percobaan yang dilakukan terlihat bahwa konsentrasi 0,0072 g/ml memiliki waktu pembekuan darah pada menit ke-22, setelah itu konsentrasi 0,0018 g/ml pada menit ke-23 dan konsentrasi 0, 0036 g/ml pada menit ke-30. Menurut Widmann (1994), EDTA mempunyai fungsi sebagai antikoagulasi yang mengikat ion kalsium sehingga tidak terjadi proses dalam pembekuan darah. Pada pengujian ini dapat dilihat bahwa ekstrak sidat A. marmorata memiliki sifat yang lebih baik dari pada EDTA, keduanya dapat mengikat salah satu faktor pembekuan darah yaitu kalsium, sehingga darah tidak membeku. Dari pengujian aktivitas antikoagulan dari sidat A. marmorata ternyata memberikan aktivitas antikoagulan yang baik. Hal ini di perkirakan adanya substansi bioaktif yang dimiliki oleh ikan sidat sebagai bahan makanan yang memiliki nilai gizi yang tinggi hal ini ditunjukkan pada setiap ekstrak dan hasil partisi terdapat minyak, dimana telah disebutkan bahwa minyak ikan sidat berfungsi sebagai omega 3 yang sangat baik untuk kesehatan tubuh.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

162 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Sehingga hal ini juga dapat memperlambat waktu pembekuan darah serta diduga ekstrak ikan sidat dapat mengikat ion kalsium yang ada dalam darah. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka ekstrak dari Sidat A. marmorata diasumsikan dapat dijadikan sebagai bahan sediaan obat untuk penyakit trombolisis, darah tinggi, dan jantung. Hal ini didukung dengan pendapat (Macnair, 2011) yang mengatakan antikoagulan digunakan pada mereka yang telah mengalami serangan jantung yang disebabkan oleh thrombosis atau gumpalan di arteri koroner. Antikoagulasi dalam dunia kedokteran, dapat dipakai baik penggunaan di laboratorium dan di klinik, untuk transfusi darah, pembedahan, dan mencegah tromboemboli (Warrow, 1994). Faktor lain yang mempengaruhi sifat antikoagulan yaitu berat molekul, namun berat molekul yang semakin tinggi tidak menjadi jaminan semakin tinggi sifat antikoagulannya (Sinurat, 2011). Lingkungan perairan menyediakan sumber komponen fungsional yang relatif belum dimanfaatkan yang dapat digunakan pada berbagai aspek pengolahan, penyimpanan, dan penyajian makanan. Semua bahan yang bersumber dari perairan telah diidentifikasi memiliki berbagai aktivitas biologis diantaranya dilaporkan berpengaruh terhadap patogenesis penyakit (Rokhmin, 2003). Dari hasil penelitian yang dilakukan pada pengujian aktivitas antikoagulan dari ikan sidat spesis A. marmorata menunjukkan aktivitas yang terbaik yaitu pada menit ke-37 untuk ektrak metanol, Fraksi etil asetat menit ke-32 dan hasil kromatografi lapis tipis pada fraksi 3 menit ke-38 pada konsentrasi 0,0072 g/ml. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan sidat yang dikenal memiliki berbagai khasiat kesehatan dapat digunakan sebagai obat antikoagulan yang bersumber dari alam dengan mengkonsumsinya dan tidak heran jika masyarakat di negara Jepang menjadikan makanana ikan sidat ini sebagai makanan yang mahal dengan khasiat kesehatan yang sangat tinggi untuk mengatasi berbagai penyakit. Dengan meningkatnya harapan hidup, makanan memainkan peran penting dalam mempertahankan kesehatan manusia. Hal ini merupakan tantangan bagi industri makanan karena konsumen tidak saja menuntut makanan yang lezat dan nikmat, tetapi juga sehat dan bergizi. Oleh karena itu, usaha-usaha yang dilakukan hendaklah diarahakan pada penelitian dan pengembangan makanan-makanan fungsional berbasis dari organisme perairan dengan prospek yang pada masa mendatang konsumsinya dapat menghasilkan penurunan prevalensi dan keparahan penyakit-penyakit kronis.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 163

Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Ekstrak metanol sidat A. marmorata mempunyai aktivitas antikoagulan terhadap darah manusia. Fraksi unggul yang ditemukan dalam penelitian ini dapat dianalisa lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa aktifnya melalui pemurnian dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Dengan demikian dapat direkomendasikan sebagai bahan makanan yang sehat dan juga sebagai bahan sediaan farmasi. Daftar Pustaka Guyton, A.C. 1981. Textbook of Medical Physiology 6th Edition. Philadelphia, London, Toronto, Tokyo: W.B. Saunders Company. Macnair, 2011. Antikoagulan. http://news.bbc.co.uk.id.mk.gd/2/hi/health/medical_notes/ab/990593. stm. Diunduh tanggal 9 Mei 2012. Napitupulu, R.J. 2011. Pengolahan Ikan Sidat. Modul Penyuluh Perikanan. Jakarta. Rokhmin, D. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2003. Sinurat, E., Peranginangin, R., Saepudin, E. 2011. Ekstraksi dan Uji Aktifitas Fukoidan dari Rumput Laut Coklat (Sargassum crassifolium) sebagai Antikoagulan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol.6 No.2. Warouw, V. 1994. Skripsi: Telaah Efek Antikoagulan dari Beberapa Jenis Rumput laut (Rhodophyceae) di Perairan Sulut.Manado: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. UNSRAT.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

164 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

KAJIAN KANDUNGAN FENOLAT DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK ETANOL UBI BANGGAI (Dioscorea) DARI BERBAGAI VARIETAS JOICE NOVIANA PELIMA Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan pada tiga varietas ubi banggai. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan varietas ubi banggai yang terdiri dari 3 varietas ubi banggai yaitu ubi ungu, ubi kuning, ubi putih dan diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Pencapaian tujuan dilakukan dengan menerapkan perlakuan pengaruh ratio pelarut etanol terhadap tepung ubi banggai dan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan, serta pengaruh jenis ubi banggai terhadap kadar fenolat dan aktivitas antioksidan ekstrak etanol. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar fenolat tertinggi (2,63%) untuk ubi banggai putih 2,44% untuk ubi banggai ungu dan 1,90% untuk ubi banggai kuning pada ratio 15 : 1 atas dasar v/b dan pada waktu ekstraksi 2 jam. Aktivitas antioksidan ekstrak etanol tertinggi (74,87%) ditemukan pada ekstrak ubi banggai putih dan aktivitas antioksidan terendah (37,19%) pada ekstrak etanol ubi banggai kuning. Aktivitas antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat. Aktivitas antioksidan BHT 200 ppm sebagai kontrol positif tidak berbeda dengan aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih Kata Kunci: Kandungan Fenolat, Aktivitas Antioksidan, Ekstrak Etanol, Varietas Ubi Banggai Pendahuluan Makanan dan kesehatan adalah dua hal penting yang terkait erat satu sama lain. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan dampak positif maupun negatif di bidang kesehatan. Salah satu dampak negatifnya adalah timbul berbagai jenis penyakit kronis akibat pola makan seperti kanker, jantung koroner, hipertensi yang mengarah ke stroke, penuaan dini dan terganggunya sistem kekebalan tubuh (Sabili, 2007). Hasil penelitian dari berbagai peneliti menyatakan bahwa timbulnya penyakit kronis tersebut dipicu oleh adanya radikal bebas. Aktivitas molekul radikal bebas dapat menimbulkan stress oksidatif yang menyebabkan berbagai penyakit. Stress oksidatif sendiri adalah keadaaan tidak seimbangnya jumlah oksidan dan prooksidan dalam tubuh (Sabili, 2007). Senyawa kimia yang mampu menghambat penuaan dan mengatasi berbagai penyakit kronis yang diakibatkan oleh radikal bebas adalah senyawa kimia yang disebut antioksidan. Antioksidan yang dikenal saat ini terdiri atas antioksidan sintesis dan antioksidan alami. Menurut Barus (2009) penggunaan antioksidan sintetis tidak direkomendasikan oleh Departemen Kesehatan melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 165

dapat menimbulkan penyakit kanker (carcinogen agent) (Hernani dan Raharjo, 2005 dalam Barus, 2009). Oleh karena itu perlu dicari alternatif lain yaitu antioksidan alami. Menurut Sabili (2007) yang dimaksud antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan alami tumbuhan maupun mikroba. Tanaman ubi banggai termasuk family Dioscoreaceae merupakan tumbuhan merambat dan memiliki umbi akar yang kadang berukuran sangat besar (Wikipedia, 2006). Rahmatu dkk. (2001) menemukan 11 spesies tumbuhan yang tergolong dalam famili Dioscoreaceae, yaitu: Babanal (Dioscorea warburgiana Uline), Ondot (Dioscorea hispida Dennst.), Siloto (Dioscorea cf. deltoidea Wall.), Bakutu (Dioscorea glabra Roxb.), Baku makuloloang (Dioscorea bulbifera var. celebica Burkill), Baku pusus (Dioscorea cf. alata), Dioscorea keduensis Burkill, Dioscorea numularia, Ndolungun (Dioscorea esculenta [Lour.] Burck.), Baku butun (Dioscorea alata L.). Salah satu ciri yang membedakan varietas ubi banggai adalah warna umbinya. Umbi yang berwarna menandakan bahwa ubi banggai mengandung komponen kimia yang berfungsi sebagai antioksidan alami. Ubi banggai (Dioscorea) termasuk salah satu marga tanaman yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan masyarakat Banggai Kepulauan (Bangkep). Hal tersebut disebabkan karena ubi banggai merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Bangkep, yang banyak ditemukan di Kecamatan Banggai dan Lainag. Dengan hasil 8.933,9 ton ubi banggai memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan pendapatan daerah. Masyarakat setempat mengolah ubi ini menjadi kolak, kripik, kue atau di rebus biasa layaknya makanan utama. Pola makan dengan mengkonsumsi ubi sebagai menu utama pada dasarnya adalah pola makan yang sehat dan patut untuk di pertahankan serta dikembangkan. Warna ubi banggai yang teridentifikasi terdiri dari tiga golongan besar yaitu warna ungu, kuning dan putih. Banyak kultivarnya yang memiliki umbi berwarna ungu sehingga dalam bahasa Inggris dikenal sebagai purple yam (Wikipedia Indonesia, 2006). Umbi berwarna ungu disebabkan karena adanya pigmen antosianin, sedangkan umbi yang berwarna kuning disebabkan oleh adanya kandungan betakaroten (Retnati, 2009). Kandungan beta karoten dan antosianin serta tokoferol dan senyawa-senyawa fenolat berfungsi sebagai antioksidan (Hidayat, 2008; Retnati, 2009). Sebagai perbandingan ubi jalar kaya akan serat, mineral, vitamin dan antioksidan seperti asam fenolat, antosianin, tokoferol dan beta karoten (Hidayat, 2008). Kandungan fenolat pada ubi jalar sekitar 0,14 – 0,51 mg/g berat segar. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu lebih tinggi daripada ubi yang berwarna putih, kuning, dan jingga (Suardi, 2005 dalam Retnati, 2009). Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Suprapta (2003) dalam Retnati Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

166 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

(2009) bahwa kandungan antosianin dalam ubi jalar putih adalah 0,06 mg/100g, ubi jalar kuning 4,56 mg/100g, dan ubi jalar ungu 110,51 mg/100g. Ubi jalar ungu mengandung 0,4 – 0,6 mg antosianin/g berat segar (Hidayat, 2008). Berdasarkan hal itu, terdapat indikasi ubi banggai mengandung senyawa fenolat, karotenoid dan antosianin yang berperan sebagai antioksidan alami. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah varietas mana yang mengandung fenolat dengan konsentrasi tinggi dan varietas mana yang memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan fenolat pada 3 (tiga) varietas ubi banggai dan menentukan aktivitas antioksidan pada 3 (tiga) varietas ubi banggai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal pengembangan ubi banggai sebagai bahan pangan alternatif sumber antioksidan dan bahan pangan berbasis umbi-umbian mendukung program ketahanan pangan nasional serta pengembangan ubi banggai sebagai bahan pangan lokal mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat secara mandiri. Metode Penelitian Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi banggai yang diperoleh dari petani Banggai Kepulauan, terdiri atas 3 varietas, ubi banggai berwarna ungu, putih dan kuning. Bahan lain sebagai bahan pengekstrak dan bahan kimia untuk analisis mencangkup etanol teknis, fenol, NH4OH 0,5 N, buffer fosfat (pH = 12), indikator Metil Orange (MO), asam fosfat, minyak kedelai, tween 20, ammonium tiosianat 30%, ferroklorida 0,02M, HCl 3,5%, aquades, alumunium foil dan kertas saring. Peralatan yang digunakan terdiri atas : blender, ayakan 60 mesh, talang alumunium, neraca analitik, mesin kocok, penangas air, rotary evaporator, lemari pendingin, Spektrofotometer UV-VIS, kuvet, corong buchner, labu ukur, gelas ukur, erlenmeyer dan alat – alat gelas yang umum digunakan dalam laboratorium Kimia. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan varietas ubi banggai yaitu varietas Dioscorea bulbifera var celebica Burkill dengan umbi berwarna ungu, varietas Dioscorea sp dengan umbi berwarna kuning dan varietas Dioscorea of alata dengan umbi berwarna putih. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali sehingga diperoleh 15 unit percobaan. Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 tahap yaitu: pembuatan tepung ubi banggai selanjutnya ekstraksi dan analisis kandungan fenolat ekstrak etanol ubi banggai. Ubi banggai (3 varietas) yang di peroleh dari Petani ubi banggai di daerah Banggai Kepulauan dicuci sampai bersih dan direndam dalam air mendidih selama 7 menit, kemudian ditiriskan dan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 167

diiris tipis. Irisan ubi banggai selanjutnya dikeringkan di bawah sinar matahari hingga kering, kemudian dibuat menjadi tepung menggunakan blender. Tepung ubi banggai yang dihasilkan selanjutnya disimpan dalam wadah plastik sebelum digunakan dalam penelitian selanjutnya. Ekstraksi dan analisis kandungan fenolat tepung ubi banggai dari 3 varietas dilakukan bertahap sebagai berikut: Tepung ubi banggai dari tiga varietas ditimbang dengan berat tertentu, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan etanol. Rasio etanol terhadap tepung ubi yang diterapkan terdiri atas rasio 5 : 1 (A), 7 : 1 (B), 9 : 1 (C), 11 : 1 (D), 13 : 1 (E), 15 : 1 (F), 17 : 1 (G), atas dasar volume/berat (v/b). Setiap perlakuan diulang lima kali sehingga terdapat tiga puluh lima unit percobaan. Ekstraksi berlangsung diatas mesin kocok agitasi 200 rpm selama 2 jam. Campuran selanjutnya disaring untuk mendapatkan ekstrak etanol tepung ubi banggai. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan secara vakum menggunakan rotary evaporator. Parameter yang diamati adalah kadar fenolat tepung ubi banggai menggunakan metode spektrofotometri. Rasio etanol terhadap tepung ubi yang menghasilkan kadar fenolat tertinggi dinyatakan sebagai rasio etanol terhadap tepung ubi terseleksi dan digunakan pada tahap penentuan waktu ekstraksi. Aktivitas antioksidan ditentukan menggunakan persamaan berikut: Aktivitas antioksidan (%) = 1 -

𝑨𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 x 100% 𝑨 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐

Hasil dan Pembahasan Kurva Baku Fenol Kadar fenolat total dalam ekstrak ubi banggai dari berbagai varietas dilakukan menggunakan metode spektrofotometri. Metode tersebut diawali dari pembuatan kurva baku menggunakan senyawa fenol murni. Serapan maksimum larutan baku fenol murni ditemukan pada panjang gelombang 460 nm. Hasil pengukuran serapan larutan standart fenol antara konsentrasi 5 ppm dan 25 ppm dengan selang konsentrasi 5 ppm disajikan pada Lampiran 3 Gambar 1. Hubungan antara absorbans (serapan) terhadap konsetrasi fenol mengikuti kurva linier dengan persamaan Y = 0,017x + 0,111, dan koefisien regresi (R 2) mendekati 1 yakni 0,999 (Gambar 1). Hal tersebut memberikan indikasi linieritas antara serapan terhadap konsentrasi cukup tinggi (Miller, 1993; Ibrahim, 1997).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

168 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

0,6

y = 0,0176x + 0,1112 R² = 0,9829

Absorbansi

0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0

5

10

15

20

25

30

Konsentrasi (ppm)

Gambar 1. Kurva baku fenol pada panjang gelombang 460 nm Kadar Fenolat Total pada Berbagai Ratio Tepung Ubi Banggai/Pengekstrak Etanol Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap rendemen ekstrak suatu proses ekstraksi adalah konsentrasi pengekstrak relatif terhadap jumlah yang diekstrak atau ratio antara pengekstrak terhadap bahan yang diekstrak. Berdasarkan hal itu dilakukan ekstraksi senyawa fenolat ubi banggai dengan pengekstrak etanol pada berbagai ratio pengekstrak etanol terhadap tepung ubi banggai. Kadar fenolat total tertinggi untuk ketiga varietas ubi banggai (ubi ungu, ubi kuning dan ubi putih) ditemukan pada ratio 15 : 1 atas dasar volume/berat (v/b), akan tetapi kadar fenolat total berbeda antar varietas ubi banggai (Gambar 2 Tabel Lampiran 6). Ubi banggai putih menghasilkan ekstrak etanol dengan kadar fenolat tertinggi 2,63% kemudian ubi banggai ungu dengan kadar fenolat 2,44% dan terakhir sebagai kadar fenolat terendah terdapat pada ubi banggai kuning sebesar 1,90% Hasil penelitian Fitrya dkk (2010) menyatakan bahwa dari fraksi etil asetat kulit batang tumbuhan Gandaria (Bouea macrophylla Griff) berhasil diisolasi senyawa yang berupa kristal berwarna putih sebanyak 10 mg. Berdasarkan analisis spektroskopi dan uji fitokimia dengan pereaksi senyawa warna FeCl3 diduga senyawa tersebut merupakan senyawa golongan fenolat yang tersubstitusi oleh gugus alifatik dan gugus karbonil. Sedangkan Wijono (2004) menemukan bahwa dari ekstrak etanol 95% simplisia daun katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) telah diisolasi senyawa-senyawa asam fenolat yang diidentifikasi sebagai asam p-hidroksibenzaoat, asam ferulat, asam vanilat dan asam kafeat. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa asam p-hidroksibenzoat mempunyai presentase yang tertinggi diantara keempat jenis asam fenolat yang telah diidentifikasi. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 169

Perbedaan kadar fenolat antar varietas ubi banggai diduga disebabkan oleh perbedaan varietas yang berkaitan dengan komposisi kimia umbi karena faktor genetik seperti species. Hal ini didukung oleh Farah dan Donanngelo (2006) yang menyatakan bahwa varietas sangat menentukan komposisi kimiawi tanaman. Umbi banggai kuning diduga mengandung karotenoid yang relatif tinggi dibandingkan dengan ubi banggai lainnya. Sebagai perbandingan umbi kuning pada ubi jalar (Ipomoea batatas L.) mengandung betakarotin antara 245,30 ug - 533,80 ug (Limbongan dan Albert, 2007).

Dengan kandungan yang

tinggi tersebut, maka kandungan fenolatnya kemungkinan menurun. Demikian pula ubi banggai ungu mengandung flavonoid yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ubi banggai kuning. Kelompok terbesar dari senyawa fenolik adalah flavonoid, yang merupakan senyawa yang secara umum dapat ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan antosianin yang terdapat pada umbi berwarna ungu termasuk senyawa flavonoid (Herdiansyah dkk, 2011). Dengan kandungan flavonoid yang tinggi maka kadar fenolatnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan ubi banggai kuning akan tetapi relatif lebih rendah dibandingkan dengan ubi banggai putih. 3

Kadar Fenolat Total (%)

2,5 2 ubi ungu

1,5

ubi kuning 1

ubi putih

0,5 0 5

7 9 11 13 15 Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)

17

Gambar 2. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 2). Pengekstrak etanol pada ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

170 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

peningkatan kadar fenolat yang terlarut tetapi belum mencapai kadar yang optimum. Kadar fenolat total tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada ratio etanol 15 : 1 karena pada ratio ini tepung ubi banggai mencapai kadar fenolat yang optimum. Pola ini ditemukan juga oleh Noviyanty (2011) dan Fitrya dkk. (2010). Ratio etanol /tepung ubi banggai berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat (Tabel Lampiran 7). Hasil analisis lanjut dengan UJI BNJ taraf 5% menunjukkan ratio ethanol/ubi banggai 15:1 (v/b) berbeda dengan ratio etanol/ubi banggai yang lain untuk semua jenis ubi banggai. Kadar Fenolat Total pada Berbagai Waktu Ekstraksi Faktor lain yang juga turut berpengaruh terhadap kadar fenolat hasil ekstraksi adalah waktu ekstraksi. Untuk mengetahui waktu ekstraksi yang menghasilkan ekstrak dengan kadar fenolat tinggi diterapkan perlakuan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat. Kadar fenolat tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam (Gambar 3 Tabel Lampiran 9). Ubi banggai putih kadar fenolat tertinggi (2,62%) ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,55%) terdapat pada waktu ekstraksi 1 jam. Ubi banggai ungu kadar fenolat tertinggi (2,39%) ditemukan pada penggunaan waktu ekstrak 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,15%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam. Ubi banggai kuning kadar fenolat terrtinggi (1,90%) ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,13%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam. Kadar fenolat terendah ubi banggai putih pada waktu ekstraksi 1 jam diduga karena ubi banggai putih memerlukan waktu ekstraksi lebih lama untuk melarutkan senyawa fenolat yang dikandungnya. Sedangkan kadar fenolat terendah ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning diduga disebabkan waktu ekstraksi lebih dari 2 jam mengakibatkan senyawa fenolat mengalami dekomposisi sebagaimana dikemukakan Palupi dkk (2007) bahwa senyawa polifenol seperti fenolat dan flavonoiddan tanin akan mudah teroksidasi dengan adanya oksigen membentuk senyawa radikal orto-kuinon.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 171

3

Kadar Fenolat Total (%)

2,5 2 1,5

ubi ungu

1

ubi kuning

0,5

ubi putih

0 1

2

3

4

5

Waktu Ekstraksi (jam)

Gambar 3. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap waktu esktraksi Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam (Gambar 3). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011). Pola perubahan kadar fenolat total terhadap waktu ekstraksi menunjukkan bahwa makin lama ekstraksi maka fenolat yang diperoleh makin banyak dan mencapai titik optimumnya pada waktu ekstraksi 2 jam dimana proses ekstraksi fenolat mencapai titik optimumnya dan selanjutnya mulai menurun sampai ekstrak jenuh terhadap etanol. Pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu reaksi yang mengikuti kurva parabola memberikan petunjuk senyawa fenolat mudah teroksidasi selama proses ekstraksi. Fenolat dalam ketiga varietas umbi telah mengalami oksidasi setelah waktu ekstraksi 2 jam. Faktor penyebab kerusakan fenolat selama ekstraksi diduga disebabkan oleh faktor cahaya yang mengakibatkan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim tertentu sehingga terjadi dekomposisi fenolat. Disamping itu etanol sebagai pengekstrak ikut menguap sehingga mempengaruhi kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan. Analisis ragam menunjukkan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat (Tabel Lampiran 10). Analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan kadar fenolat berbeda antar waktu ekstraksi (Tabel Lampiran 11). Hal ini memperkuat dugaan bahwa pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu ekstraksi mengikuti kurva parabola.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

172 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai Senyawa fenolat yang berasal dari kelompok flavonoid maupun dari kelompok polifenol berperan sebagai antioksidan. Akan tetapi aktivitas antioksidannya sangat ditentukan oleh jenis senyawa fenolat. Senyawa fenol merupakan senyawa yang banyak terdapat pada semua jenis tanaman (Anwariyah, 2011). Selanjutnya dari hasil penelitian terhadap tanaman Cymodocea rotundata diduga senyawa fenol berpengaruh terhadap kandungan antioksidan karena Meenakshi dkk (2009) dan Lim dkk. (2002) dalam Anwariyah (2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan dimana jika suatu bahan mememiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Hasil ekstraksi dari 3 varietas ubi banggai menunjukkan ketiga varietas mengandung senyawa fenolat dengan kandungan tertinggi pada ubi banggai putih kemudian diikuti oleh ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning. Ubi banggai putih diduga mengandung senyawa fenol alami yang telah diketahui memiliki lebih dari seribu struktur dengan flavonoid merupakan golongan terbesar. Dan sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu kombinasi antara suatu gula dan alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida (Suradikusumah, 1989 dalam Anwariyah 2011) Uji aktivitas ekstrak ubi banggai yang kadar fenolatnya tertinggi dilakukan yang selanjutnya dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik yang umum digunakan dalam pengolahan pangan, yakni Butylated Hidroksi Toluen (BHT) 200 ppm. Hasil yang diperoleh diperlihatkan pada Gambar 4 Tabel Lampiran 11 yang menunjukkan aktivitas antioksidan tertinggi (75,75%) ditemukan pada BHT, dan aktivitas antioksidan terrendah (37,19%) terdapat pada ubi banggai kuning. Aktivitas antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat, sebab aktivitas antioksidan tertinggi (74,87%) ditemukan pada ubi banggai putih, diikuti dengan ubi banggai ungu (61,17%) dan terakhir ubi banggai kuning dengan aktivitas antioksidan sebesar 37,19% (Gambar 4). Menurut Andayani dkk. (2008) dalam Anwariyah (2011), senyawa fenol yang memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus –OH dan –OR seperti flavonoid dan asam fenolat. Hal yang sama dinyatakan oleh Oktaviana (2010) dalam Anwariyah (2011) bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan radikal-radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif menghambat oksida lipida. Disamping itu diduga ada senyawa fenolat lain yang terdapat dalam ubi banggai putih sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidannya (Arinanti dkk, 2002). Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 173

Ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih rendah karena kandungan fenolat kedua varietas ubi tersebut juga relatif lebih rendah dibanding ubi banggai putih. Dan diduga pula bahwa ekstraksi senyawa fenolik dengan pengekstrak etanol berpengaruh pada aktivitas antioksidannya karena penggunaan pengekstrak yang tidak sesuai dengan sifat bahan yang diekstrak dapat mempengaruhi pengukuran jumlah senyawa antioksidan dan aktivitasnya (Arinanti dkk., 2002).

Aktivitas Antioksidan (%)

80 70 60 50 40 30 20 10 0 Ubi ungu

Ubi kuning Ubi putih Varietas Ubi Banggai dan Kontrol

BHT

Gambar 4. Histogram Aktivitas Antioksidan Ubi Banggai dan BHT Varietas ubi banggai berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan (Tabel Lampiran 14). Hasil analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan aktivitas antioksidan berbeda antar varietas ubi banggai (Tabel Lampiran 15). Hal ini memberikan indikasi kadar fenolat ubi banggai sejalan dengan aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih tidak berbeda dengan aktivitas antioksidan BHT (Tabel Lampiran 15). Dengan demikian, ubi banggai putih termasuk penghasil senyawa antioksidan alami yang relatif tinggi. Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa antioksidan alami polifenol dan flavonoid yang bersifat relatif polar dan diduga berperan aktif sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, flavonoid memiliki kemampuan sebagai penangkap radikal bebas dan pengkompleks ion logam (Robinson, 1991 dalam Tensiska dkk, 2003). Prosant dkk, 2010 menyatakan aktivitas antioksidan ubi jalar ditentukan oleh kandungan flavonoid, sedangkan flavonoid termasuk senyawa fenolat. Hal yang sama Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

174 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

dikemukakan oleh. Zhang (2007), Everette (2012) dan Ghasemzadeh (2012) yang menyatakan bahwa kadar fenolat total hasil ekstraksi tanaman ubi jalar berkorelasi tinggi dengan aktivitas antioksidan. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian Teow dkk (2006) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan bervariasi antara varietas ubi jalar dan intensitas warna ubi cenderung sejalan dengan aktivitas antioksidannya.

Kadar Fenolat Total (%)

3 2,5 2 ubi ungu

1,5

ubi kuning 1

ubi putih

0,5 0 5

7 9 11 13 15 Rasio Etanol Terhadap Tepung Ubi (v/b)

17

Gambar 5. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap rasio etanol terhadap tepung ubi Pola perubahan kadar fenolat pada berbagai ratio untuk semua varietas ubi banggai mengikuti garis kurva parabola yang menunjukkan adanya daerah ratio yang kadar fenolatnya meningkat dan kadar fenolatnya menurun (Gambar 5). Pengekstrak etanol pada ratio 5 : 1, 7 : 1, 9 : 1 dan 11 : 1 belum cukup optimal berpenetrasi dalam tepung ubi banggai akibatnya kadar fenolat yang dilarutkan juga belum optimal. Pada ratio 13 : 1 mulai terjadi peningkatan kadar fenolat yang terlarut tetapi belum mencapai kadar yang optimum. Kadar fenolat total tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada ratio etanol 15 : 1 karena pada ratio ini tepung ubi banggai mencapai kadar fenolat yang optimum. Pola ini ditemukan juga oleh Noviyanty (2011) dan Fitrya dkk. (2010). Ratio etanol /tepung ubi banggai berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat (Tabel Lampiran 7). Hasil analisis lanjut dengan UJI BNJ taraf 5% menunjukkan ratio ethanol/ubi banggai 15:1 (v/b) berbeda dengan ratio etanol/ubi banggai yang lain untuk semua jenis ubi banggai.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 175

Kadar Fenolat Total pada Berbagai Waktu Ekstraksi Faktor lain yang juga turut berpengaruh terhadap kadar fenolat hasil ekstraksi adalah waktu ekstraksi. Untuk mengetahui waktu ekstraksi yang menghasilkan ekstrak dengan kadar fenolat tinggi diterapkan perlakuan pengaruh waktu ekstraksi terhadap kadar fenolat. Kadar fenolat tertinggi untuk semua jenis ubi banggai ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam (Gambar 6 Tabel Lampiran 9). Ubi banggai putih kadar fenolat tertinggi (2,62%) ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,55%) terdapat pada waktu ekstraksi 1 jam. Ubi banggai ungu kadar fenolat tertinggi (2,39%) ditemukan pada penggunaan waktu ekstrak 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,15%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam. Ubi banggai kuning kadar fenolat terrtinggi (1,90%) ditemukan pada waktu ekstraksi 2 jam, dan kadar fenolat terendah (1,13%) terdapat pada waktu ekstraksi 5 jam. Kadar fenolat terendah ubi banggai putih pada waktu ekstraksi 1 jam diduga karena ubi banggai putih memerlukan waktu ekstraksi lebih lama untuk melarutkan senyawa fenolat yang dikandungnya. Sedangkan kadar fenolat terendah ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning diduga disebabkan waktu ekstraksi lebih dari 2 jam mengakibatkan senyawa fenolat mengalami dekomposisi sebagaimana dikemukakan Palupi dkk (2007) bahwa senyawa polifenol seperti fenolat dan flavonoiddan tanin akan mudah teroksidasi dengan adanya oksigen membentuk senyawa radikal orto-kuinon.

Kadar Fenolat Total (%)

3 2,5 2 1,5

ubi ungu ubi kuning

1

ubi putih 0,5 0 1

2

3

4

5

Waktu Ekstraksi (jam)

Gambar 6. Kurva hubungan kadar fenolat total terhadap waktu esktraksi Perubahan kadar fenolat total terhadap waktu reaksi mengikuti pula perubahan garis kurva parabola dimana waktu ekstraksi optimumnya terjadi pada waktu reaksi 2 jam (Gambar 6). Pola perubahan kadar fenolat total yang juga ditemukan oleh Septiani (2011). Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

176 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Pola perubahan kadar fenolat total terhadap waktu ekstraksi menunjukkan bahwa makin lama ekstraksi maka fenolat yang diperoleh makin banyak dan mencapai titik optimumnya pada waktu ekstraksi 2 jam dimana proses ekstraksi fenolat mencapai titik optimumnya dan selanjutnya mulai menurun sampai ekstrak jenuh terhadap etanol. Pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu reaksi yang mengikuti kurva parabola memberikan petunjuk senyawa fenolat mudah teroksidasi selama proses ekstraksi. Fenolat dalam ketiga varietas umbi telah mengalami oksidasi setelah waktu ekstraksi 2 jam. Faktor penyebab kerusakan fenolat selama ekstraksi diduga disebabkan oleh faktor cahaya yang mengakibatkan senyawa fenol mengalami oksidasi oleh enzim tertentu sehingga terjadi dekomposisi fenolat. Disamping itu etanol sebagai pengekstrak ikut menguap sehingga mempengaruhi kadar fenolat ekstrak yang dihasilkan. Analisis ragam menunjukkan waktu ekstraksi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar fenolat (Tabel Lampiran 10). Analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan kadar fenolat berbeda antar waktu ekstraksi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa pola perubahan kadar fenolat terhadap waktu ekstraksi mengikuti kurva parabola. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol Ubi Banggai Senyawa fenolat yang berasal dari kelompok flavonoid maupun dari kelompok polifenol berperan sebagai antioksidan. Akan tetapi aktivitas antioksidannya sangat ditentukan oleh jenis senyawa fenolat. Senyawa fenol merupakan senyawa yang banyak terdapat pada semua jenis tanaman (Anwariyah, 2011). Selanjutnya dari hasil penelitian terhadap tanaman Cymodocea rotundata diduga senyawa fenol berpengaruh terhadap kandungan antioksidan karena Meenakshi dkk. (2009) dan Lim dkk. (2002) dalam Anwariyah (2011) menyatakan bahwa ada hubungan antara total fenol dan aktivitas antioksidan dimana jika suatu bahan mememiliki konsentrasi senyawa fenol yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Hasil ekstraksi dari 3 varietas ubi banggai menunjukkan ketiga varietas mengandung senyawa fenolat dengan kandungan tertinggi pada ubi banggai putih kemudian diikuti oleh ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning. Ubi banggai putih diduga mengandung senyawa fenol alami yang telah diketahui memiliki lebih dari seribu struktur dengan flavonoid merupakan golongan terbesar. Dan sebagian besar senyawa flavonoid ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu kombinasi antara suatu gula dan alkohol yang saling berikatan melalui ikatan glikosida (Suradikusumah, 1989 dalam Anwariyah, 2011).

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 177

Uji aktivitas ekstrak ubi banggai yang kadar fenolatnya tertinggi dilakukan yang selanjutnya dibandingkan dengan aktivitas antioksidan sintetik yang umum digunakan dalam pengolahan pangan, yakni Butylated Hidroksi Toluen (BHT) 200 ppm. Hasil yang diperoleh diperlihatkan pada Gambar 7 Tabel Lampiran 11 yang menunjukkan aktivitas antioksidan tertinggi (75,75%) ditemukan pada BHT, dan aktivitas antioksidan terrendah (37,19%) terdapat pada ubi banggai kuning. Aktivitas antioksidan sejalan dengan kandungan fenolat, sebab aktivitas antioksidan tertinggi (74,87%) ditemukan pada ubi banggai putih, diikuti dengan ubi banggai ungu (61,17%) dan terakhir ubi banggai kuning dengan aktivitas antioksidan sebesar 37,19% (Gambar 7). Menurut Andayani dkk. (2008) dalam Anwariyah (2011), senyawa fenol yang memiliki aktivitas antioksidan biasanya memiliki gugus –OH dan –OR seperti flavonoid dan asam fenolat. Hal yang sama dinyatakan oleh Oktaviana (2010) dalam Anwariyah (2011) bahwa senyawa fenol bisa berfungsi sebagai antioksidan karena kemampuannya meniadakan radikal – radikal bebas dan radikal peroksida sehingga efektif menghambat oksida lipida. Disamping itu diduga ada senyawa fenolat lain yang terdapat dalam ubi banggai putih sehingga dapat meningkatkan aktivitas antioksidannya (Arinanti dkk., 2002).

Aktivitas Antioksidan (%)

80 70 60 50 40 30 20

10 0 Ubi ungu

Ubi kuning

Ubi putih

BHT

Varietas Ubi Banggai dan Kontrol

Gambar 7. Histogram Aktivitas Antioksidan Ubi Banggai dan BHT Ubi banggai ungu dan ubi banggai kuning memiliki aktivitas antioksidan yang relatif lebih rendah karena kandungan fenolat kedua varietas ubi tersebut juga relatif lebih rendah dibanding ubi banggai putih. Dan diduga pula bahwa ekstraksi senyawa fenolik dengan pengekstrak etanol berpengaruh pada aktivitas antioksidannya karena penggunaan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

178 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

pengekstrak yang tidak sesuai dengan sifat bahan yang diekstrak dapat mempengaruhi pengukuran jumlah senyawa antioksidan dan aktivitasnya (Arinanti dkk, 2002). Varietas ubi banggai berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan. Hasil analisis lanjut dengan Uji BNJ taraf 5% menunjukkan aktivitas antioksidan berbeda antar varietas ubi banggai. Hal ini memberikan indikasi kadar fenolat ubi banggai sejalan dengan aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan ekstrak ubi banggai putih tidak berbeda dengan aktivitas antioksidan BHT. Dengan demikian, ubi banggai putih termasuk penghasil senyawa antioksidan alami yang relatif tinggi. Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa antioksidan alami polifenol dan flavonoid yang bersifat relatif polar dan diduga berperan aktif sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan, flavonoid memiliki kemampuan sebagai penangkap radikal bebas dan pengkompleks ion logam (Robinson, 1991 dalam Tensiska dkk, 2003). Prosant dkk, 2010 menyatakan aktivitas antioksidan ubi jalar ditentukan oleh kandungan flavonoid, sedangkan flavonoid termasuk senyawa fenolat. Hal yang sama dikemukakan oleh. Zhang (2007), Everette (2012) dan Ghasemzadeh (2012) yang menyatakan bahwa kadar fenolat total hasil ekstraksi tanaman ubi jalar berkorelasi tinggi dengan aktivitas antioksidan. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian Teow dkk (2006) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan bervariasi antara varietas ubi jalar dan intensitas warna ubi cenderung sejalan dengan aktivitas antioksidannya. Kesimpulan Rasio etanol terhadap tepung ubi banggai dari berbagai varietas yang menghasilkan kadar fenolat tertinggi terdapat pada rasio 15 : 1 (v/b). Waktu ekstraksi tepung ubi banggai dari berbagai varietas yang menghasilkan kadar fenolat tertinggi terdapat pada waktu ekstraksi 2 jam. Ubi banggai putih mengandung fenolat tertinggi (2,63%) diikuti oleh ubi banggai ungu (2,44%) dan ubi banggai kuning (1,90%). Ubi banggai putih memiliki aktivitas antioksidan tertinggi (74,87%) diikuti oleh ubi banggai ungu (61,17%) dan ubi banggai kuning (37,19%). Daftar Pustaka Andayani,R.,Y. Lisawati dan Maimunah, 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum Lycopersicum L.), Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi, Vol. 13 (1). Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 179

Anwariyah, S, 2011. Kandungan Fenol, Komponen Fitokimia dan aktivitas antioksidan Lamun Cymodocea rotundata. Departemen teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Agwunobi, L.N., 1999. Dioscorea alata (water yam) as a replacement for maizei diets laying hens. Tropical animal Health and production; Dec 1999; 31(6), 391- 396; ProQuest Agriculture Journals. Arinanti M, Marsono Y, Noor Z, 2002. Aktivitas Antioksidan pada Berbagai Jenis Kacang. Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Arnau G, Nemorin A, Maledon E and Abraham K, 2009. Revision of Ploidy Status of Dioscorea alata L. (Dioscoreaceae) by cytogenetic and microsatellite segregation analysis. Theor Appl Genet (2009) 118: 1239-1249. Barus, Pina, 2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami pada Industri Bahan Makanan. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Kimia Analitik pada Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan. Boesalem M, Viader V, Mariac C, Gomez R-M, Hochu I, Santoni S, and David J, 2010. Evidence of diploidy in the wild Amerindian yam, a putative progenitor of the endangered species Dioscorea trifida (Dioscoreaceae). Publised on the NRC Research Press. Champagne, 2011. Biological Pigments: Research Result from Chatolic University Update Knowledge of Biological Pigments. The Journal of Food Composition and Anthocyanins and Other Phenolic Compound among Tropical Root Crops from Vanuatu, South Pasific. Journal of Food Composition Analisis. 24(3): 315-325. Chan, EWC and Lim, YY, 2006. Antioxidant Activity of Thunbergia Laurifolia Tea. Journal of Tropical Forest Science, 20(2) Proquest Agriculture Journals pg. 130 Chung, 2008. Food Science; Research in the area of Food Science Reported from Asian University. Internasional Jurnal of Food Science and Technology, 2008: 43(5): 859864. Delahaye, PD and Techeira N, 2009. Chemical and Functional Properties of native and Modified Yam (Dioscorea alata) Starch. Biologa, Universidad Central de Venezuale (UCV). Duvivier, P, Hsieh, PC, Lai, PY, Charle, AL, 2010. Retention of Phenolics, carotenoids, and Antioxidant Activity in the Taiwanese sweet potato (Ipomoea batatas L.) CV tainong 66 subjected to different drying conditions. African Journal of Food Agriculture, Nutrition and Development. Vol. 10, No. 11. Eni, AO, Hughes, J.d′A. Asiedu, R, 2008. Sequence diversity among badnavirus isolates infecting yam (Dioscorea spp.) in Ghana, Togo, Benin and Nigeria. Original Article. Arch Virol (2008) 153:2263-2272 Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

180 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Everette, JD and Islam, S, 2012. Effect of Extraction Produsers, Genotypes and screening Methods to Measure the Antioksidan Activity Potential and Phenolic content of Orange- fleshed sweet potato (Ipomoea batatas L.). Journal of Agricultural and Food Chemistry 54(23), pp 8733-8737 Fitrya, Anwar, L, Novitasari, E, 2010. Isolasi Senyawa Fenolat dari fraksi Etil Asetat Kulit Batang Tumbuhan Gandaria. Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomor 1(c) Jurusan kimia FMIPA Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 181

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK MAKANAN OTAK-OTAK DENGAN BAHAN BAKU BERBAGAI JENIS IKAN A. KHAIRUN MUTIA Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Otak-otak adalah salah satu jenis makanan yang dibuat dari ikan, yang dibungkus dengan menggunakan daun pisang kemudian dibakar. Makanan ini adalah salah satu makanan khas Sulawesi Selatan, yang merupakan produk modifikasi antara kamaboko dan baso. Ikan yang banyak digunakan pada umumnya yaitu ikan tenggiri namun memiliki harga yang mahal serta sulit ditemukan. Maka perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan ikan yang relative murah namun memiliki sifat daging yang sama dengan ikan tenggiri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rasa, tekstur, warna dan rasa dari ikan swangi, ikan selar kuning, dan ikan kurisi bali yang digunakan sebagai pengganti ikan tenggiri. Karakteristik produk diuji secara organoleptik dan pengukuran komposisi gizi meliputi kadar protein, kadar air, kadar lemak dan kadar abu. Jenis otak-otak yang paling disukai adalah otak-otak dari ikan kurisi bali. Nilai uji kandungan gizi dari produk yang terbaik adalah kadar protein 19,13%, kadar abu 0,95%, kadar air 72,88%, dan kadar lemak 0,48%. Kata Kunci: Ikan Swangi, Ikan Selar Kuning, Ikan Kurisi Bali, Uji Organoleptik, Uji Proksimat Latar Belakang Otak-otak merupakan salah satu jenis makanan tradisional di Indonesia berbahan dasar ikan yang dibungkus dengan daun pisang kemudian dibakar. Setelah dibakar akan di makan bersama saus kacang. Namun penyajiannya dapat menggunakan saus kacang ataupun dimakan tersendiri tanpa menggunakan saus kacang. Ikan yang sering digunakan dalam pembuatan otak-otak adalah jenis ikan tenggiri. Ikan ini memiliki tekstur daging yang kenyal dan padat serta memiliki warna yang putih tetapi memiliki harga yang sangat tinggi dan jarang untuk ditemukan. Untuk mengatasi hal itu dilakukan modifikasi dengan mengganti ikan tersebut dengan jenis ikan lain sehingga mudah dijangkau bagi masyarakat menengah ke bawah karena memiliki harga yang relatif murah. Ikan yang menjadi kriteria dalam pembuatan otak-otak yaitu memiliki daging yang putih dan padat. Namun, saat ini masih sangat jarang ditemukan otak-otak yang berbahan dasar selain ikan tenggiri. Misalnya dengan ikan-ikan yang murah dan mudah diperoleh, sehingga perlu dilakukan pengkajian mengenai bagaimana mutu organoleptik terhadap produk otak-otak ini. Dengan uraian inilah, maka dilakukan penelitian tentang “Karakteristik Organoleptik Makanan Otak-otak dengan Bahan Baku Berbagai Jenis Ikan”.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

182 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Metode Penelitian Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah talenan, baskom, panic, mixer, blender, pisau, timbangan analitik, sendok, piring, cawan, oven, tabung reaksi, pipet tetes, tanur, erlenmeyer, cawan porselin, gelas ukur, soxhlet, tabung kjeldahl, kjedhal sistem, desikator, tungku pengabuan, dan oven, alat tulis menulis, kuisioner. Bahan-bahan yang digunakan yaitu daging ikan, merica, garam, daun bawang, bawang merah, bawang putih, putih telur, santan, tepung tapioka, gula, es batu, air, tissue roll, aluminium foil, NaOH 2,5 M, CuSO4 0,01 M, alkohol netral, indikator phenolpthalein (pp), NaOH 0,1 M, kapas. Prosedur Penelitian Penelitian Pendahuluan Sebelum melakukan penelitian utama, perlu dilakukan penelitian pendahuluan dengan melakukan survey-survey mengenai beberapa jenis ikan yang masuk dalam kriteria daging ikan yang dapat diolah menjadi otak-otak. Penelitian pendauhuluan ini dilakukan di Tempat Pelelangan Ikan Potere dan Lelong. Penelitian Utama Pembuatan Daging Ikan Giling 1. Ikan disortasi terlebih dahulu 2. Dilakukan penyiangan ikan, yang meliputi penghilangan sisik, pemisahan kepala dan badan ikan. 3. Pemisahan daging dan kulitnya 4. Kemudian dilakukan pencucian hingga bersih 5. Ditimbang 150 g kemudian digiling hingga halus, dengan penambahan es sebanyak 20% Pembuatan Otak-otak 1. Ikan yang telah dihaluskan, lalu ditambahkan tepung tapioka 15% 2. Dimasukkan bahan-bahan tambahan, meliputi santan, bawang merah, bawang putih, merica, daun bawang, garam dan gula serta putih telur secara bergantian, diaduk hingga ±15 menit 3. Dilakukan pengemasan dengan menggunakan daun pisang Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 183

4. Dilakukan pengukusan dengan suhu 90°C dengan waktu 25 menit Setelah dibuat otak-otak, kemudian dilakukan uji organoleptik dengan mengamati parameter hedonik (tekstur, rasa, aroma dan warna) terhadap lima jenis otak-otak yang dihasilkan dari lima jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Kemudian akan menghasilkan satu jenis otak-otak yang terbaik. Perlakuan Penelitian A1. Daging Ikan Ekor Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%)+Bumbu A2. Daging Ikan Selar Kuning (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu A3. Daging Ikan Swangi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu A4. Daging Ikan Kurisi (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu A5. Daging Ikan Kurisi Bali (150g) + Tepung Tapioka (15%) + Bumbu Hasil dan Pembahasan Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan ke pasar-pasar ikan menghasilkan beberapa ikan yang digunakan sebagai bahan utama untuk pembuatan otak-otak, yaitu ikan ekor kuning, ikan selar kuning, ikan swangi, ikan kurisi dan ikan kurisi bali. Ikan-ikan tersebut baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan otak-otak dengan kriteria berdaging putih, kenyal, tidak memiliki banyak tulang, murah serta melimpah. Penelitian Utama Tekstur Respon panelis pada tekstur dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat pada Gambar 1. Dari hasil tersebut dapat dilihat skor yang tertinggi pada perlakuan otakotak ikan selar kuning dengan nilai 4 yaitu suka sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan otak-otak ikan swangi dengan nilai 3,6 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan karena kandungan protein yang terdapat pada jenis ikan, yang dimana protein dapat mempengaruhi tingkat kekenyalan dari otak-otak. Hal ini sesuai dengan pendapat Eka et al (2015) bahwa kualitas dan kandungan protein ikan dapat berpengaruh terhadap tingkat kekenyalan otak-otak dan kaki naga. Jumlah dan jenis tepung tapioka yang digunakan juga sangat mempengaruhi hasil akhir dari otak-otak yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Arumsari (2013), bahwa tepung tapioka berfungsi sebagai bahan pengisi, pengikat, dan pemantap yang sangat berpengaruh pada mutu akhir produk terutama tekstur dan konsistensi produk otak-otak.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

184 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Jenis dan jumlah bahan pengikat akan snagat berpengaruh pada kualitas tekstur dari otakotak yang dihasilkan.

Gambar 1. Histogram Uji Organoleptik Tekstur Rasa Respon panelis terhadap rasa dari otak-otak berbagai jenis ikan ini dapat dilihat pada Gambar 2. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak ikan kurisi bali dengan skor 4,4 yaitu suka sedangkan yang terendah yaitu pada otak-otak ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka. Hal ini disebabkan karena kandungan lemak pada ikan kurisi bali lebih banyak dibandingkan ikan ekor kuning sehingga otak-otak ikan kurisi bali lebih terasa gurih dibandingkan otak-otak dari jenis ikan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Candra et al (2014), bahwa banyak cita rasa dan keharuman yang menyenangkan dari makanan diperoleh dari lemak dalam pangan. Lemak adalah pembawa vitamin A, D, E, dan K yang larut dalam lemak. Aroma Respon panelis terhadap aroma dari otak-otak dari berbagai jenis ikan ini dapat dilihat pada Gambar 3. Dari hasil tersebut, dapat dilihat skor yang tertinggi yaitu pada otak-otak ikan kurisi dengan skor 4,3 yaitu suka, sedangkan yang terendah yaitu pada perlakuan dengan otak-otak ikan ekor kuning dengan skor 4 yaitu suka Perbedaan yang dihasilkan ini disebabkan oleh kandungan lemak yang dikandung oleh setiap jenis ikan, yang dimana ikan kurisi lebih banyak memiliki kandungan lemak sehingga saat pemanasan memiliki aroma yang khas karena pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor. Hal ini sesuai dengan pendapat Dimas et al (2015), bahwa akibat Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 185

pemanasan daging maka lemak dalam daging akan mencair sehingga menambah palatabilitas daging. Hal ini disebabkan oleh pecahnya komponen-komponen lemak menjadi produksi volatil seperti aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan flavor.

Gambar 2. Histogram Uji Organoleptik Rasa

Gambar 3. Histogram Uji Organoleptik Aroma Warna Respon panelis terhadap warna otak-otak dari berbagai jenis ikan yang dihasilkan pada Gambar 8, menunjukkan perbedaan yang tidak berbeda nyata. Namun dari kelima sampel tersebut, memperlihatkan skor yang tertinggi adalah pada perlakuan otak-otak ikan kurisi bali dengan skor 4,1 yaitu suka, sedangkan yang terendah pada perlakuan otak-otak ikan swangi dengan skor 3,4 yaitu agak suka. Perbedaan ini disebabkan karena kandungan protein dari setiap ikan berbeda. Diketahui ikan swangi memiliki kandungan protein yang lebih rendah dibandingkan ikan kurisi bali. Sehingga warna yang terdapat pada ikan swangi tidak terlalu disukai oleh panelis karena perubahan warna pada otak-otak ikan swangi tidak terlalu Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

186 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

bagus. Hal ini sesuai dengan pendapat Karim et al (2013), bahwa pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi Reaksi-reaksi tersebut diantaranya kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini dipengaruhi kandungan protein, suhu dan lama pemanasan, kandungan protein, pH, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil.

Gambar 4. Histogram Uji Organoleptik Warna Profil Kimia Produk Otak-otak dengan Bahan Baku Ikan yang Terbaik Jenis otak-otak yang terbaik dengan bahan baku ikan yang terbaik dari uji organoleptik diperoleh Ikan Kurisi Bali adalah jenis otak-otak yang terbaik. Maka dari jenis otak-otak ikan kurisi bali tersebut dilakukan uji lanjutan yaitu berupa uji proksimat meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Komposisi Gizi otak-otak ikan kurisi bali dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1.Komposisi Gizi Otak-otak Ikan Kurisi Bali Komponen Jenis Air 72,88 % Abu 0,91 % Protein 19,13 % Lemak 0,48 % Sumber : Data Primer Penelitian, 2010. Dari table 1 dapat dilihat kandungan gizi untuk otak-otak yang terpilih dari uji organoleptik. Dari table terlihat kandungan kadar air sebanyak 72,88%, kadar abu sebanyak 0,91%, kadar protein sebanyak 19,13% dan lemak sebanyak 0,48%. Menurut Karim et al (2013), bahwa otak-otak yang merupakan diversifikasi dari kamaboko yang berbahan dasar surimi maka otak-otak dapat mengikuti SNI No. 01–2693-1992, yaitu kadar abu antara Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 187

0,44% – 0,96%, kadar protein antara 10,44% – 19,40%, dan kadar lemak antara 0,09% – 0,55%. Sehingga setelah dibandingkan otak-otak kurisi bali, hasil penelitian memenuhi standar SNI. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan hasil uji organoleptik, perlakuan yang terbaik adalah dengan perlakuan daging ikan kurisi bali (150gr) + tepung tapioka (15%) + bumbu. 2. Komposisi gizi otak-otak ikan kurisi bali yaitu kadar air sebanyak 72,88%, kadar abu sebanyak 0,91%, kadar protein sebanyak 19,13% dan lemak sebanyak 0,48%. Saran Diharapkan setelah melakukan penelitian ini, perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu masa simpan dari otak-otak yang dihasilkan sehingga dapat di pasarkan secara luas. Daftar Pustaka Arumsari, M. D., YS Darmanto dan P. H. Riyadi. 2013. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Tepung Kentang (Solanum tuberosum) terhadap Karateristik Pasta dari Ikan Air Tawar, Payau dan Laut. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 2 (5) : 108-117. Candra, F. N., P. H. Riyadi, dan I. Wijayanti. 2014. Pemanfaatan Karagenan (Euchema cottoni) sebagai Emulsifier terhadap Kestabilan Bakso Ikan Nila (Oreochromis nilotichus) pada Penyimpanan Suhu Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. 3 (1) : 167-176. Dimas Ahmad, Tri Winarni dan Ima Wijayanti. 2015. Pengaruh Penambahan Keragenan sebagai Stabilizer Terhadap Karakteristik Otak-otak Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus). Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan. Vol.4 No.4. Thn 2015: 1-10. Eka Irma Q.Bariah, S.Berhimpon, Eunike L.Mongi. 2015. Karakteristik Organoleptik Otakotak Ikan yang diberi Edible Coating Keraginan dengan Penambahan Asap Cair. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. Vol.3 No.1. Februari 2015: 19-24. Karim, Mutemainna., Susilowati, A. dan Asnidar, 2013. Tingkat Kesukaan Konsumen Terhadap Otak-Otak dengan Bahan Baku Ikan Berbeda. Jurnal Balik Diwa Sains dan Teknologi Volume 4 No. 1 Januari-Juni 2013. Makassar.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

188 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

EKSTRAKSI BERTINGKAT β- KAROTEN DARI WORTEL DENGAN PELARUT HEKSANA DAN PETROLEUM ETER STRATIFIED EXTRACTION OF BETA CAROTENE FROM CARROTS WITH HEXSANE AND PETROLEUM ETHER SOLVENT YULIANTI Universitas Gorontalo Email: [email protected] ABSTRAK Proses ekstraksi beta karoten menggunakan pelarut organik seperti heksana, aseton, petroleoum eter, kloroform dan lain lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelarut dalam mengekstrak beta karoten pada wortel dan pengaruh lama penyimpanan dingin setelah sentrifugasi terhadap kandungan beta karoten. Pada penelitian ini, ekstraksi beta karoten dilakukan dengan menggunakan pelarut heksana dan petroleum eter serta campuran pelarut antara heksana dengan petroleum eter (75% : 25%). Hasil ekstraksi disimpan selama 20 jam dan 40 jam di dalam refrigerator (4oC) kemudian pelarut dan sampel dipisahkan dengan metode sentrifugasi (10000 rpm, 15 menit, 5 oC). Sampel dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer ± 7 jam. Hasil ekstraksi bertingkat menunjukkan penggunaan pelarut pertama tidak melarutkan beta karoten secara keseluruhan, pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten yang terlarut. Kata Kunci: Wortel, Ekstraksi, Beta Karoten, Heksana, Petroleum Eter ABSTRACT Extraction of beta carotene can be used organic solvents such as hexane, acetone, petroleoum ether, chloroform and others. The purpose of this study was to determine the effectiveness of solvent to extract the beta carotene in carrots and the effect of long time storage in cool temperature on the content of beta carotene after centrifugation. In this study, beta carotene extraction is carried out by using hexane and petroleum ether and solvent mixture between hexane with petroleum ether (75% : 25%). Extraction results were stored for 20 hours and 40 hours in refrigerator (4oC) and then solvent and sample were separated by centrifugation method (10000 rpm, 15 min, 5°C). The samples were dried by using freeze dryer ± 7 hours. The results of stratified step extraction reveal that the first solvent can not completely solve beta carotene, the second and third solvents can be found of beta carotene. Keywords: Carrot, Extraction, Beta Carotene, Hexane, Petroleum Ether. Pendahuluan Wortel (Daucus carota L.) merupakan tanaman sayuran umbi semusim berbentuk semak, tumbuh sepanjang tahun, musim hujan maupun kemarau. Wortel merupakan salah satu sumber β-karoten. Kandungan karoten wortel antara 60 – 120 mg/100 g. Karoten yang terdapat pada wortel tidak hanya beta karoten tetapi terdapat juga alfa karoten, dan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 189

alfatokoferol. Beta karoten adalah salah satu jenis karotenoid yang berfungsi sebagai prekursor vitamin A, pigmen esensial untuk kesehatan mata, mencegah kebutaan. Metode ekstraksi karoten yang sering dilakukan yaitu dengan menggunakan pelarut organik (Schoefs, 2004). Karoten merupakan salah satu jenis karotenoid. Karotenoid bersifat tidak larut dalam air, metanol, etanol dingin, larut dengan baik dalam pelarutpelarut organik seperti karbon disulfida, benzena, kholoform, aseton, eter dan petroleum eter (Purnamasri et al, 2013). β-karoten merupakan senyawa non polar yang sangat larut baik dalam pelarut non polar seperti heksana (Gusti, 2012). Metode ekstraksi dengan menggunakan larutan cair biasa disebut juga ekstraksi pelarut (solvent extraction). Metode ini melibatkan pelarut dengan tujuan untuk memisahkan komponen yang diinginkan, dimana pelarut melarutkan sebahagian bahan padatan sehingga bahan terlarut yang diinginkan dapat diperoleh. Esktraksi β-karoten pada wortel telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan pelarut etanol dan 2-propanol dengan kondisi ektsraksi yang berbeda-beda (Fikselova et al., 2008). Esktraksi β-karoten pada wortel juga telah dilakukan dengan menggunakan pelarut heksana dan petroleum eter dengan metode penelitian satu tahap (Yulianti et al,2017). Pada penelitian ini ektraksi mengunakan pelarut heksana dan petroleum eter dengan cara ektraksi dilakukan secara bertingkat. Tujuan dilakukannya ekstraksi bertingkat yaitu untuk mengesktrak secara keseluruhan β-karoten yang ada pada wortel. Metode Penelitian Metode yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan melarutkan β-karoten dari wortel dengn menggunakan pelarut heksana pada tahap pertama, selanjutkanya ampas hasil penyaringan dari tahap pertama dilarutkan dengan menggunakan pelarut petroleum eter (tahap kedua). Ampas hasil penyaringan tahap kedua selanjutnya dilarutkan dengan menggunakan pelarut heksana dan petroleum eter (75% : 25%) Setiap hasil ekstraksi disimpan dalam refrigerator selama 20 jam dan 40 jam pada suhu 4 oC dan dilakukan pemisahan antara pelarut dengan β-karoten yang terekstrak dengan cara sentrifugasi. Sentrifugasi dilakukan pada 10000 rpm selama 20 menit pada suhu 5 oC. Ekstrak kemudian dibekukan dan selanjutnya dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer sampai menjadi bubuk (± 7 jam). Sebelum dilakukan pengeringan ditambahkan bahan pengisi maltodekstrin 10% dari berat hasil sentrifugasi.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

190 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hasil dan Pembahasan Rendemen akhir dari ekstrak β-karoten dari umbi wortel dipengaruhi oleh banyaknya komponen yang terekstrak pada saat proses ekstraksi. Di mana keberhasilan proses ekstraksi sangat ditentukan oleh penggunaan pelarut. Kesesuaian pelarut dengan komponen yang akan diekstrak akan menghasilkan rendemen yang tinggi. Komponen yang bersifat polar akan larut pada pelarut polar, begitupun pada komponen nonpolar akan larut pada pelarut nonpolar. Gambar 1 menunjukkan bahwa setelah diekstrak dengan pelarut pertama yaitu heksana dan ampasnya kemudian diekstrak kembali dengan pelarut petroleum eter masih ada komponen yang terekstrak, begitupun pada ekstraksi pelarut ketiga dengan penggunaan campuran pelarut antara heksana dan petroleum eter dengan perbandingan 75 : 25 masih ada komponen yang terekstrak walaupun jumlahnya kecil. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua komponen terekstrak pada ekstraksi pelarut pertama. 0,35 0,3

Rendmen (%)

0,3 0,25

0,2 0,15 0,085

0,1

0,065

0,05 0 H

PE

H : PE 75 :25

Pelarut

Gambar 1. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Rendemen Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter) Banyaknya komponen yang terekstrak dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan, dalam hal ini sifat polaritas pelarut dan komponen yang akan diekstrak harus sama, komponen yang bersifat polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat polar, begitupun komponen yang bersifat non polar akan terekstrak dengan pelarut yang bersifat nonpolar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa non-polar. .

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 191

0,2

0,18

0,18

Rendemen (%)

0,16 0,14

0,12

0,12 0,1 0,08 0,06 0,04

0,02 0 20 Jam

40 jam Lama Penyimpanan Dingin

Gambar 2. Pengaruh Lama Penyimpanan Dingin Setelah Ekstraksi terhadap Rendemen Akhir Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama hasil ekstraksi disimpan pada suhu dingin semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Penyimpanan selama 40 jam memiliki rendemen lebih banyak dibandingkan dengan penyimpanan selama 20 jam karena pada suhu dingin energi kinetik partikel melemah dan menyebabkan gravitasi menurun sehingga daya tarik antar partikel semakin kuat untuk menyatu. Pada suhu tinggi energi kinetik akan meningkat sehingga akan terjadi tumbukan antar partikel. Hal ini sesuai dengan Heriyanto dkk (2011), bahwa semakin tinggi suhu, energi kinetik yang dimiliki oleh molekul-molekul akan meningkat. Molekul molekul akan bertumbukan dan menyebabkan reaksi kimia semakin cepat. 0,4

Rendemen (%)

0,35 0,3 0,25

0,2

Lama Penyimpanan Dingin 20 Jam

0,15

Lama Penyimpanan Dingin 40 jam

0,1 0,05 0 H

PE

H : PE 75 :25

Pelarut

Gambar 3. Pengaruh Interaksi Antara Jenis Pelarut dengan Lama Penyimpanan Dingin Setelah Ekstraksi terhadap Rendemen Akhir Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter) Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

192 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Interaksi antara penggunaan jenis pelarut dengan lama penyimpanan dingin setelah proses ekstraksi sangat berpengaruh terhadap rendemen. Penggunaan pelarut yang sesuai dengan polaritas beta karoten akan mengekstrak lebih banyak beta karoten pada wortel dan penyimpanan dingin selama 40 jam akan memudahkan penyatuan antara molekul-molekul beta karoten karena pada suhu dingin energi kinetik menjadi lemah dan ikatan antara pelarut dengan partikel juga melemah. Pada prinsipnya, senyawa nonpolar akan larut dalam pelarut nonpolar. Semakin panjang rantai beta karoten semakin bersifat nonpolar. Beta karoten merupakan zat organik yang bersifat nonpolar yang dapat larut dalam pelarut nonpolar. Heksana dan petroleum eter merupakan pelarut nonpolar sehingga beta karoten dapat larut. Ekstraksi bertingkat bertujuan agar beta karoten yang tidak larut pada ektraksi pelarut pertama larut pada ekstraksi pelarut kedua begitu seterusnya. Gambar 4 menunjukkan bahwa pada pelarut pertama (heksana) tidak semua beta karoten dapat larut sempurna (2,466 mg), pada pelarut kedua (petroleum eter) masih terdapat beta karoten yang terlarut walaupun jumlahnya sedikit (0,116 mg) begitupun pada pelarut ketiga (heksana 75 : petroleum eter 25) masih terdapat beta karoten yang larut yaitu 0,389 mg. Pelarut yang dicampur yaitu heksana dan petroleum eter (75 : 25) lebih mendekati tingkat polaritas beta karoten dibandingkan dengan petroleum eter. 3

Beta Karoten (mg)

2,5

2,466

2 1,5 1 0,389

0,5 0,116 0 H

PE Pelarut

H : PE (75 : 25)

Gambar 4. Pengaruh Pelarut terhadap Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H : Heksana, PE : Petroleum Eter)

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 193

Heksana dan petroleum eter merupakan pelarut yang sering digunakan dalam proses ekstraksi. Kedua pelarut ini memiliki selektifitas yang tinggi dalam melarutkan zat. Heksana dan petroleum eter adalah pelarut yang memiliki toksitas rendah. Petroleum eter sangat mudah menguap sehingga dalam proses ekstraksi harus memperhatikan kondisi ruangan ekstraksi. Hal ini sesuai dengan Guenther (1990), bahwa keuntungan pelarut heksana yaitu bersifat selektif dalam melarutkan zat, menghasilkan jumlah kecil lilin, albumin, dan zat warna, namun dapat mengekstrak zat pewangi dalam jumlah besar. Penggunaan petroleum eter sangat menguntungkan karena bersifat selektif dalam melarutkan zat, tapi mempunyai kelemahan yaitu kehilangan pelarut cukup besar selama proses berlangsung. 1,4 1,198

Beta Karoten (mg)

1,2 1 0,8

0,783

0,6 0,4 0,2

0 20 Jam 40 Jam Lama Penyimpanan Dingin (4°C)

Gambar 5. Pengaruh Lama Penyimpanan Dingin terhadap Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat Energi kinetik molekul sangat mempengaruhi penyatuan antar molekul-molekul. Semakin tinggi energi kinetik maka molekul akan bertumbukan, begitupun sebaliknya semakin rendah energi kinetik molekul akan mudah bersatu. Gambar 5 menunjukkan bahwa lama penyimpanan dingin 40 jam kandungan beta karotennya lebih tinggi (1,198 mg) dibandingkan dengan lama penyimpanan dingin selama 20 jam (0,783 mg). Suhu akan mempengaruhi energi kinetik, semakin rendah suhu maka energi kinetik juga rendah begitupun sebaliknya. Semakin tinggi suhu, energi kinetik yang dimiliki oleh molekulmolekul akan meningkat. Molekul molekul akan bertumbukan dan menyebabkan reaksi kimia semakin cepat.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

194 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

3,5

Beta Karoten (mg)

3 2,5 2 1,5

20 Jam

1

40 Jam

0,5 0 H

PE

H : PE (75 : 25)

Pelarut

Gambar 6. Pengaruh Interaksi Pelarut dengan Lama Penyimpanan Dingin terhadap Kandungan Beta Karoten Pewarna Bubuk dari Umbi Wortel dengan Ekstraksi Bertingkat (H: Heksana, PE: Petroleum Eter) Penggunaan jenis pelarut dengan lama penyimpanan dingin setelah proses ekstraksi berpengaruh terhadap kandungan beta karoten

melalui ektraksi bertingkat. Penggunaan

pelarut yang sesuai dengan polaritas beta karoten akan mengekstrak lebih banyak beta karoten pada wortel dan penyimpanan dingin selama 40 jam akan memudahkan penyatuan antara molekul-molekul beta karoten karena pada suhu dingin energi kinetik menjadi lemah dan ikatan antara pelarut dengan partikel juga melemah. Pada prinsipnya, senyawa nonpolar akan larut dalam pelarut polar. Semakin panjang rantai beta karoten semakin bersifat nonpolar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bennita (2008), bahwa prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam senyawa nonpolar. Kesimpulan Ekstraksi bertingkat menunjukkan bahwa pelarut pertama tidak melarutkan beta karoten secara keseluruhan, dan pada pelarut kedua dan ketiga masih terdapat beta karoten yang terlarut walaupun jumlahnya kecil. Daftar Pustaka Bennita BL. 2008. Karakterisasi Dan Purifikasi Antosianin Pada Buah Duwet (Syzygium cumini) [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gusti DR. 2012. Studi Pengaruh Kerusakan Beta-karoten dalam Pelarut Heksana, Aseton dan Metanol serta Tanpa Pelarut Dalam Udara Terbuka. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains., Vol 14 (2) : 25-28. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 195

Fikselova M, Silhar S, Marecek J, Francakova H. 2008. Extraction of Carrot (Daucus carota L.) Carotenes under Different Conditions. Czech J. Food Sci., 26 (4) : 268 – 274. Heriyanto H. Rochmadi, Arief B. 2011. Kinetika Reaksi Alkyd Resin Termodifikasi Minyak Jagung dengan Asam Phtalat Anhidrat. J. Rekayasa Proses 5(1): 1-9. Guenther, E., 1990. Minyak Atsiri Jilid III. Jakarta: Universitas Indonesia. Mariana L, Yayuk A, Erin RG. 2013. Analisis Senyawa Flavonoid Hasil Fraksinasi Ekstrak Diklorometana Daun Keluwih (A.camansi). Majalah Ilmiah Chemistry Progress 6 (2): 50-55. Muslich, Prayoga S, Indri RH. 2010. Kinetika Adsorpsi Isotermal β-Karoten dari Olein Sawit Kasar dengan Menggunakan Bentonit. J. Tek. Ind. Pert. Vol. 19(2), 93-100. Purnamasari N, MAM Andriani, Kawiji. 2013. Pengaruh Jenis Pelarut dan Variasi Suhu Pengering Spray Dryer terhadap Kadar Karotenoid Kapang Oncom Merah (Neurospora sp.). Jurnal Teknosains Pangan. 2 (1): 107-114. Schoefs B. 2004. Determination of Pigments in Vegetables. J. of Chromatography A, 1054: 217-226. Skrede G, Nilsson A, Baardseth P, Rosenfeld HJ, Enersen G, Slinde E. 1997. Evaluation of carrot varieties for production of deep fried carrot chips – III. Carotenoids. Food Research International 30:73–81. Yulianti, Amran, L., Meta, M. 2017. Ekstraksi Beta Karoten dari Wortel dengan Pelarut Heksana dan Petroleum Eter. Jurnal Bertani. 12(1): 48-58.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

196 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

THE BEST DRYING TIME FOR EXTRUDED SAGO NOODLE ADNAN ENGELEN1*, SUGIYONO2, SLAMET BUDIJANTO2 1 Department of Agricultural Product Technology, Polytechnic of Gorontalo, Botupingge District, Gorontalo Province 96583, Indonesia 2 Department of Food Science, Bogor Agricultural University, West Java, Bogor 16680, Indonesia *Email: [email protected] ABSTRACT The aim of this research was to determine of drying time in sago noodle. Sago noodle was made through a process using twin screw extruder with the addition of GMS (Glycerol Monostearate) and ISP (Isolated Soybean Protein). This study consisted of two stages: 1) determination of the range of process variable and formula, 2) Drying of sago noodle using a tray drier. Based on the line equation and the change rate (k) of the value of moisture content during the drying time of the one ordo equation, the required drying time of dried sago noodles at the temperature of 50, 60, and 70°C was 161, 146, and 124 minutes respectively. Keywords: Glycerol Monostearate (GMS); Noodle; Sago; Isolated Soybean Protein (ISP) Introduction Sago is one of the agricultural products in Indonesia which has a high production rate and good benefits (Yuliani et al. 2015). Area of sago world is 2.5 million ha, about 50% is in Indonesia (1:25 million ha). From the total, 1.2 million ha is in Papua and West Papua (Nasir, 2013). Products of processed sago is starch sago (Adawiyah et al., 2013; Budijanto and Yuliyanti 2012; Mohamed et al. 2008). (Syakir, 2013) reports that the productivity potential of sago in Indonesia may reach 6.84 million tons / year. The production of sago starch can be up to 25 tons of dry starch/ha/year (Sumaryono, 2007). (Ruku, 2009; Muin, 2014) report that the sago starch has been used as a food ingredient in several regions of Indonesia, such as sago processing in the form of papeda (Papua), sinonggi (Southeast Sulawesi), and Kapurung (South Sulawesi). In addition, the other utilization of sago starch is for the production of starch noodles (Singhal et al., 2008; Sugiyono et al., 2009; Purwani et al., 2006). According to (Tan et al., 2009) the different of starch noodle characteristics with noodles made from wheat is starch noodles have one or two heat treatment during the process. The heat treatment can be done through boiling or steaming process makes starch gelatinized and subsequently undergo retrogradation to form a starch noodles. (Tan et al., 2009) divide the starch noodles processing technology into three methods: dropping, cutting, and extrusion. Methods of dropping and cutting technology is the making process of Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 197

traditional starch noodles, while the method of extrusion is a process technology that modern manufacture of starch noodles. Extrusion method can produce starch noodles efficient and simpler procedure without preparing starch pasta separately. Starch noodle obtained from these methods are not easily damaged by cooking. Starch noodle with addition of isolated soybean protein (ISP) and glycerol monostearate (GMS) in the manufacture of dry noodles is expected to affect the characteristics of the resulting dried noodles. In addition, in the making process of dried noodles, temperature and drying time have a very important role. This is because of the drying temperature is too high and the drying time is too long, so that it can effect to a decrease in the nutritional value and color changes of dried noodles. Meanwhile, when the temperature, which is too low then require a long drying time. Therefore, this study aimed to know of drying time in sago noodle in accordance with (Indonesia Nasional Standard, 1996). Materials and Methods The main material used in this study is glycerol monostearate (GMS) was obtained from PT. Lautan Luas, Jakarta, Isolated Soybean Protein (ISP) and sago starch extraction plant stems sago (sago Metroxylon) from PT. Bina Sago Lestari, Jakarta. The tools used in this research is the dough mixer, scales, twin screw extruder (Berto BEX-DS-2256), tray drier, desicator, oven, bath, and other support tools. This study determined the drying time sago noodle which was obtained from the extrusion. The drying of sago noodle used tray dryer. Drying Of Sago Noodle with Tray Dryer; The important factor that must be considered in making of dried sago noodle was temperature and drying time. The drying temperature used for drying sago noodle was 50, 60, and 70 °C. Drying was conducted by the time variation of 15, 30, 60, 90, 120 and 180 minutes. After drying, dried sago noodle was measured its water content. Before doing the process, first done the stages that have been conducted by (Engelen et al., 2015) who reported that determination of the range of process variables and formulation was conducted by trial and error, which consisted of three stages, namely : 1) the selection of the range of the process temperature extruder and the water content of the dough, 2) the selection of temperature and time of drying in tray drier, and 3) selection of Isolated Soybean Protein (ISP) and Glycerol Monostearate (GMS).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

198 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Results and Discussion Drying of Sago Noodle with Tray Dryer; The important factor that must be considered in making of dried sago noodles was temperature and drying time. Sago noodle coming out of the extruder was inserted into the tray drier for dried perfectly into dry products. Drying was conducted by the time variation of 0, 15, 30, 60, 90, 120, and 180 minutes. Changes in water content (%db) of dried sago noodles for drying time (minutes) at a drying temperature of 50, 60 and 70 °C could be seen in Fig. 1. 80

Moisture content (%)

70 60 50 Temperature 50°C

40

Temperature 60°C

30

Temperature 70°C 20 10 0 0

15

30 60 90 120 Drying Time (minutes)

180

Fig. 1 The change in water content (%db) of dried sago noodles for drying time 0, 15, 30, 60, 90, 120, and 180 minutes at the drying temperature of 50, 60 and 70°C The change in the value of the water content of dried sago noodles at the temperature and drying time certains could be made the model of its the reaction kinetics, i.e. the reaction of zero ordo and one ordo. The following was the reaction equation of zero ordo and one ordo: Zero ordo reaction equation: [At] = [Ao] - kt One ordo reaction equation: lin [At] = lin [Ao] - kt The equation of change in water content could be seen in Table 1. Based on the table showed the correlation value between the change in water content and drying time was good relatively (R2 > 0.70). In general, the increase value of the reaction rate constant (k) of the decrease in water content was concomitant with the increase in temperature.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 199

Table 1 Equation line and a constant rate of change (k) values of moisture content during drying time Zero ordo One Ordo Temperature Parameter Reaction Reaction (°C) k R2 k R2 equations equations 50 Moisture content

y = -0.309x + 55.95

0.309

0.796

y’ = -0.010x + 4.057

0.010

0.923

y = -0.306x y’ = -0.011x 0.306 0.759 0.011 0.894 + 52.49 + 3.984 y = -0.314x y’ = -0.013x 70 0.314 0.710 0.013 0.884 + 49.48 + 1.698 Notes: y = water content (%); y’ = lin [water content (%)]; x = drying time (minute) 60

Selection of the reaction ordo based on the value of the correlation (R 2) which was the largest. The value of R2 to one ordo larger than the value of R2 to zero ordo, so reaction ordo used was one ordo. Initial moisture content of dried sago noodles before drying was 70.1%, while the water content of the target was 14%. This was consistent with those required by Codex (2006) was 14%. Drying time at 50, 60 and 70 °C in accordance with one ordo equation reaction could be seen in Table 2. Table 2 Drying long-time of dried sago noodle with tray dryer at the temperature of 50, 60, and 70°C in accordance with one ordo reaction equation One Ordo Temperature Ao At Parameters Lin Lin Drying time (oC) (%) (%) k Ao At (min) 50 70.1 14 0.010 4.25 2.64 161 Moisture 60 70.1 14 0.011 4.25 2.64 146 contenr 70 70.1 14 0.013 4.25 2.64 124 Notes: Ao = initial water content; At = target water content; k = constant reaction Drying time of this study was according to the results of research of (Wahyudi and Kusningsih 2008) which were drying sago noodle with rack drying techniques. Research results of (Wahyudi and Kusningsih 2008) showed the water content of 10,13% and 7.86% could be obtained with a drying time of 120 minutes at the temperature of 50 and 60°C. Conclusion Based on the line equation and the change rate constant (k) of water content value during drying by the one ordo reaction equation of the drying time of dried sago noodle which was needed to achieve the target water content (14%) at the temperature of 50, 60, and 70°C respectively were 161, 146, and 124 minutes.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

200 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Acknowledgment This research was financially supported by the Technopark of Agricultural Technology Faculty. Bogor Agricultural University. References Adawiyah, Dede R., Tomoko Sasaki, and Kaoru Kohyama. 2013. “Characterization of Arenga Starch in Comparison with Sago Starch.” Carbohydrate Polymers 92 (2). Elsevier Ltd.: 2306–13. doi:10.1016/j.carbpol.2012.12.014. Engelen, Adnan, Sugiyono, and Slamet Budijanto. 2015. “Process and Formula Optimizations on Dried Sago (Metroxylon Sagu) Noodle Processing.” AGRITECH 35 (4): 359–67. Indonesia Nasional Standard (SNI). 1996. “Dried Noodles - Indonesia.” Mohamed, A., B. Jamilah, K. A. Abbas, R. Abdul Rahman, and K. Roselina. 2008. “A Review on Physicochemical and Thermorheological Properties of Sago Starch.” American Journal of Agricultural and Biological Science 3 (4): 639–46. doi:10.3844/ajabssp.2008.639.646. Muin, Nurhaedah. 2014. “Manfaat Sagu ( Metroxylon Spp.) Bagi Petani Hutan Rakyat Di Kabupaten Konawe Selatan.” Info Teknis EBONI 11 (2): 95–102. Nasir, Gamal. 2013. “Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu.” Jakarta. Purwani, Endang Y., Y. Setiawaty, H. Setianto, and Widaningrum. 2006. “Karakteristik Dan Studi Kasus Penerimaan Mi Sagu Oleh Masyarakat Di Sulawesi Selatan.” AGRITECH 26 (1): 24–33. Ruku, Subadah. 2009. “Meningkatkan Minat Masyarakat Mengolah Sagu Untuk Berbagai Produk Olahan.” Buletin Teknologi Dan Informasi Pertanian. Singhal, Rekha S., John F. Kennedy, Sajilata M. Gopalakrishnan, Agnieszka Kaczmarek, Charles J. Knill, and Putri Faridatul Akmar. 2008. “Industrial Production, Processing, and Utilization of Sago Palm-Derived Products.” Carbohydrate Polymers 72 (1): 1– 20. doi:10.1016/j.carbpol.2007.07.043. Slamet Budijanto, Yuliyanti. 2012. “Studi Persiapan Tepung Sorgum (Sorghum Bicolor L. Moench) Dan Aplikasinya Pada Pembuatan Beras Analog.” Teknologi Pertanian 13 (3): 177–86. Sugiyono, Ridwan Thahir, Feri Kusnandar, Endang Yuli Purwani, Dian Herawati. 2009. “Peningkatan Kualitas Mi Instan Sagu Melalui Modifikasi Heat Moisture Treatment.” In Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB, 666–77. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 201

Sumaryono. 2007. “Tanaman Sagu Sebagai Sumber Energi Alternatif.” Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian 29 (4): 3–4. Syakir, M., and Elna Karmawati. 2013. “Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon Sp.) Sebagai Bahan Baku Bio Energi.” Perspektif 12 (2): 57–64. Tan, Hong Zhuo, Zai Gui Li, and Bin Tan. 2009. “Starch Noodles: History, Classification, Materials, Processing, Structure, Nutrition, Quality Evaluating and Improving.” Food Research

International

42

(5–6).

Elsevier

Ltd:

551–76.

doi:10.1016/j.foodres.2009.02.015. Wahyudi, Marman, and Kusningsih. 2008. “Teknik Pengeringan Mi Sagu Dengan Menggunakan Pengering Rak.” Buletin Teknik Pertanian 13 (12): 62–64. Yuliani, Hilka, Nancy Dewi Yuliana, Slamet Budijanto, Departemen Ilmu, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Sdwl Phuxsdndq, et al. 2015. “Formulation of Dry Sago Noodles with Mung Bean Flour Substitution.” AGRITECH 35 (4).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

202 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

PENGARUH PENAMBAHAN GULA DAN GELATIN TERHADAP SIFAT SENSORIS SOYGHURT NURHAFSAH1* DAN ASRIANI I. LABOKO2 1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat. Jl. H. Abdul Malik Pattana Endeng-Mamuju, Sulawesi Barat 2 Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Ichsan Gorontalo Jl. Drs. Achmad Najamuddin *Email: [email protected] ABSTRAK Soyghurt merupakan makanan berupa gel hasil hasil fermentasi asam laktat pada susu kedelai dengan menggunakan bakteri Streptococcusn thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis gula dan persentase gelatin terhadap sifat sensoris soyghurt. Perlakuan penelitian terdiri atas penambahan penambahan gula (sukrosa, glukosa, laktosa) serta gelatin 3%, 5% dan 7%. Parameter pengamatan adalah penerimaan panelis terhadap rasa, aroma, warna dan konsistensi soyghurt. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara factorial dengan dua kali ulangan dengan menggunakan uji lanjutan Beda Nyata Jujur (BNJ). Berdasarkan hasil uji panelis yang telah dilakukan diperoleh, rasa, aroma dan warna yang paling disukai adalah pada penambahan sukrosa dengan persentase gelatin masing-masing 3% dan 7%%; 3 dan 7%; serta 7%. Kosistensi soyghurt yang paling disukai adalah penambahan glukosa dengan persentase gelatin 5%. Kata Kunci: Soyghurt, Fermentasi, Kedelai, Susu Pendahuluan Kacang-kacangan atau legume merupakan kelompok tanaman yang digolongkan dalam famili Leguminosae, seperti kedelai. Kedelai banyak dimanfaatkan sebagai sumber gizi utama dan sumber komponen pangan fungsional khususnya protein. Biji kedelai utuh (whole seeds) terseusun dari 8% kulit biji (hull/seed coats), 90% keping biji (cotyledon), dan 2 hipokotil. Protein biji kedelai mengandung 18 jenis asam amino, yaitu 11 asam amino esensial (Cysteine, Histidine, Isoleucine, Leucine, Lysine, Methioine, Phenylalanine, Threonin, Tryptophan, Tyrosine dan Valine) dan 7 asam amino non esensial (Alanine, Arginine, Aspartic acid, Glutamic acid,Glycine, Proline dan Serin). Kompnen asam amino penyusun paling banyak adalah asam glutamat (Kametro, 2017). Susu kedelai merupakan salah satu bentuk olahan kedelai yang dapat menjadi salah satu alternatif pengganti susu sapi karena memiliki komponen gizi yang hampir sama. Susu kedelai mengandung lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, B1, B2 dan Isoflavon. Kandungan asam lemak tak jenuh relatif tinggi dan tidak mengandung kolesterol (Liu, 2004). Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 203

Susu kedelai dapat difermentasi menjadi susu kedelai asam (Soyghurt). Kondisi fermentasi akan memberikan pengaruh terhadap terbentuknya bioaktif peptida. Pada produk hasi fermentasi, bioaktif peptida yang terbentuk tergantung dari jenis bakteri yang terdapat dalam kultur starter dan derajat hidrolisis (waktu fermentasi yang terjadi) (Nirmagustina, 2014). Soyghurt merupakan produk fermentasi susu kedelai dengan menggunakan bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Soyghurt memiliki kelebihan antara lain bebas laktosa, bebas kolesterol, mengandung lemak yang rendah dan memiliki protein yang tinggi. Soyghurt dapat membantu pencernaan, mencegah diare, dan mencegah peningkatan kadar kolesterol darah yanh terlalu tinggi (Purwati, 2008). Gelatin merupakan bahan yang berbentuk padat (solid) dan tidak berwarna sampai berwarna sedikit kekuningan, serta hampir tidak memiliki bau dan rasa. Gelatin dalam dunia industry pangan berfungsi untuk menigkatkan elastisitas, konsistensi dan stabilitas produk pangan yang dihasilkan. Selain itu gelatin dapat pula digunakan sebagai pengganti lemak dalam bahan pangan (Jaswir, 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis gula dan persentase gelatin terhadap sifat sensoris soyghurt. Metode Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian di laksanakan di Labortorium Nutrisi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan mulai bulan Juli sampai Agustus 2015. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian, baskom, panci, kompor, blender, saringan, inkubator, lamir flow, oven, timbangan analitik, pH meter, desikator, botol timbang, labu kajedhal, labu destilasi, alat titrasi, automatic stirer dan alat-alat gelas. Bahan yang digunakan untuk pembuatan soyghurt, kacang kedelai, sukrosa, glukosa, laktosa, gelatin, bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus bulgaricus. Bahan kimia yang digunakan H2SO4, H2BO3, K2SO4, HgO, NaOH-Na2S2O3, Indikator MM, HCl, Hexan dan Aquades. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pembuatan susu kedelai dan fermentasi susu kedelai (soyghurt). Pembuatan susu kedelai dengan menggunakan metode Illiones Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

204 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

(Yusmasari et al., 1998). Pembuatan susu kedelai dilakukan dengan cara, biji kedelai yang telah disortir direndam dalam larutan NaHCO3 0,5% selama 12 jam dengan perbandingan 1 : 3 dan tiriskan. Kedelai yang telah di rendam kemudian di blanching dengan larutan NaHCO3 0,5% selama 30 menit dengan perbandingan 1 : 3. Kulit kedelai dibuang dan dicuci hingga bersih kemudian ditiriskan. Kedelai dihancurkan dengan menggunakan blender sambil ditambahkan air panas (80 – 100oC) dengan perbandingan 1 : 7. Kedelai diblender selama 7 menit kemudian disaring. Susu kedelai yang telah disaring kemudian digunakan untuk pembuatan soyghurt. Pembuatan soyghurt menurut Kanda et al. (1976) dilakukan dengan cara, susu kedelai sebanyak 2700 ml untuk setiap kali ulangan dibagi menjadi 3 bagian sebanyak 900 ml untuk tiap bagian dan dimasukkan ke dalam wadah yang berbeda. Wadah pertama ditambahkan sukrosa sebanyak 7%, wadah ke dua ditambahkan glukosa 7% dan wadah ke tiga ditambahkan laktosa 7% dari volume susu kedelai yang digunakan. Wadah pertama dibagi menjadi 3 bagian, untuk tiap bagian sebanyak 300 ml. untuk setiap bagian ditambahkan gelatin sebanyak 3%, 5% dan 7%, begitupun untuk wadah ke dua dan wadah ke tiga. Wadah yang telah ditambahkan gula, gelatin dan susu skim diaduk hingga larut. Susu kedelai dipasteurisasi pada suhu 70 oC selama 15 menit dan didinginkan dengan cepat hingga mencapai 45oC. Susu kedelai diinokulasi dengan starter yang terdiri dari Streptococcus thermaphillus dan Lactobacillus bulgaricus masing-masing sebanyak 15% dari volume susu kedelai. Susu kedelai yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18 jam. Parameter pengamatan adalah warna, aroma, rasa dan konsistensi yang didasarkan pada uji organoleptik menurut Sukarto (1985). Pengujian dilakukan dengan menggunakan skala hedonik yaitu, 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = agak suka, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka. Perlakuan penelitian terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama penambahan jenis gula (A1 = Sukrosa 7%, A2 = Glukosa 7%, A3 = Laktosa 7%), faktor ke dua adalah persentase gelatin (B1 = 3%, B2 = 5% dan B3 = 7%). Rancangan penelitian adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan dua kali ulangan.

Model

rancangan penelitian yang digunakan adalah: 𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝑈 + 𝐴𝑖 + 𝐵𝑗 + (𝐴𝐵)𝑖𝑗 + 𝑒𝑖𝑗, dimana Yijk = Nilai pengamatan dari perlakuan A ke – I, B ke – j. U = Nilai tengah (rata-rata) di seluruh nilai pengamatan. Ai = Pengaruh Penambahan gula. Bj = Pengaruh persentase gelatin. (AB) ij = Pengaruh interaksi antara faktor penambahan gula dengan persentase gelatin. eij = Pengaruh kesalahan percobaan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 205

Hasil dan Pembahasan Dari hasil penelitian sifat sensoris soyghurt yang meliputi warna, aroma, rasa dan konsistensi diperoleh hasil: Warna Warna mempunyai peranan yang sangat penting terhadap produk pangan. Penentuan mutu suatu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, tetapi sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan (Winarno, 1988). 4,6

4.4

4,4 4,2

4.1

4.1

4 3.9

4 3,8

4.3

4.3

3.9

3.7

Sukrosa Glukosa Laktosa

3,6 3,4 3,2 Gelatin 3%

Gelatin 5%

Gelatin 7%

Gambar 1. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Warna Soyghurt yang Dihasilkan Warna yang paling disukai adalah pada penambahan gelatin 7% dengan penambahan sukrosa. Rasa yang paling tidak disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dengan penambahan sukrosa sebagaimana yang terlihat pada Gambar 1. Dari hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan persentase gelatin dengan penambahan berbagai jenis gula tidak tidak berpengaruh nyata, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Warna Soyghurt. Sumber F. Tabel DB JK KT F.Hiting Keragaman 5% 1% Perlakuan 8 1,20444 tn K 2 0,031107 0,015553 0,90906 19,38 99,39 G 2 0,124444 0,06222 0,02272tn 19,38 99,39 tn KG 4 1,04889 0,26222 0,384363 6,00 14,66 Galat 9 6,16 0,68444 Total 17 Keterangan: tn = tidak berpengaruh nyata. Tidak adanya perbedaan secara nyata pada perlakuan tersebut disebabkan oleh warna kedelai yang digunakan berwarna kuning dan berpengaruh terhadap produk susu yang Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

206 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

dihasilkan serta kandungan ribovlafin pada kedelai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Winarno (2008), bahwa kandungan riboflavin yang terdapat pada kacang kedelai menyebabkan warna susu kedelai dan soyghurt menjadi kekuningan. Penggunaan berbagai jenis gula tidak mempengaruhi warna soyghurt, karena gula hanya dimanfaatkan oleh mikroba sebagai sumber energi dan sebagian digunakan untuk menghasilkan asam-asam organik. Susu kedelai tidak mengandung laktosa, sehingga tidak dapat digunakan sebagai sumber energi maupun sebagai sumber karbon oleh kultur starter (Purwati, 2008). Aroma Aroma salah satu penentu kelezatan dari suatu bahan makanan. Aroma dan cita rasa mempunyai peranan yang sangat penting bagi penentuan derajat penerimaan dan kualitas suatu bahan pangan (Winarno, 1988). 3,5

3.4

3,4

3.4 3.3

3,3 3,2

Sukrosa

3.1

3.1

3,1 3

3.1

3.1

Gelatin 3%

Gelatin 5%

3.2 3

Glukosa Laktosa

2,9 2,8 Gelatin 7%

Gambar 2. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma Soyghurt yang Dihasilkan Tingkat penerimaan panelis terhadap aroma soyghurt yang dihasilkan, berkisar antara 3 sampai 3.4 sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2. Aroma soyghurt yang paling disukai adalah pada penambahan gelatin 3% dan 7% pada penggunaan jenis gula sukrosa dengan tingkat penerimaan 3.4. Tingkat penilain paling terendah terdapat pada penambahan gelatin 7% dengan penggunaan jenis gula glukosa.

Aroma yang kurang disukai dapat

disebabkan karena adanya bau langu dari kacang kedelai yang turut mempengaruhi aroma soyghurt yang dihasilkan, sebagai akibat dari aktivitas enzim lipogsigenase dari kacang kedelai (Nizori, dkk., 2013). Aroma langu pada produk soyghurt, belum mampu ditutupi oleh proses fermentasi yang dilakukan. Lebih lanjut Purwati (2008), menyatakan bahwa aroma pada soyghurt

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 207

dipengaruhi oleh asam laktat, sisa-sisa asetaldehid, diasetil, asam asetat dan bahan-bahan mudah menguap lainnya setelah proses fermentasi. Hasil analisa sidik ragam (Tabel 2), menunjukkan bahwa penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata, sedangkan pengaruh interaksi antara penambahan jenis gula dan persentase gelatin berpengaruh terhadap aroma soyghurt yang dihasilkan. Tabel 2. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Aroma Soyghurt. Sumber DB JK KT F.Hiting Keragaman Perlakuan 8 2,92444 K 2 0,10444 0,05222 0,62667tn G 2 0,191107 0,09555 1,146646tn KG 4 2,628893 0,657223 7,88699* Galat 9 0,72 0,08 Total 17 Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata. * == Berpengaruh nyata

F. Tabel 5% 1% 19,38 99,39 19,38 99,39 6,00 14,66 -

Hasil uji BNJ (Tabel 3), menunjukkan pengaruh interaksi antara perlakuan penambahan jenis gula dan persentase gelatin berpengaruh nyata terhadap aroma soyghurt yang dihasilkan. Tabel 3. Uji BNJ Pengaruh Interaksi antara Penambahan Jenis Gula dengan Persentase Gelatin terhadap Aroma Soyghurt. Perlakuan Jenis Pengaruh Rata-Rata Persentase Gelatin NP BNJ Gula 5% 3% 5% 7% a a a Sukrosa 3,4 3,3 3,4 Glukosa 3,1b 3,1b 3ab 1,004 b b a Laktosa 3,1 3,1 3,2 Rasa Rasa merupakan salah satu faktor yang turut menentukan mutu makanan. Penerimaan konsumen terhadap suatu produk makanan umumnya dilakukan dengan indera manusia melalui kuncup cicipan setelah makanan tersebut ditelan (Winarno, 1988). Rasa dari soyghurt dipengaruhi oleh keberadaan asam laktat dan senyawa-senyawa yang mudah menguap lainnya setelah proses fermentasi (Purwati dkk., 2008; Shahani, 1993). Berdasarkan hasil penilaian panelis terhadap rasa soyghurt diperoleh tingkat kesukaan yang paling disukai pada penambahan gelatin 5% pada penggunaan gula sukrosa. Rasa soyghurt yang kurang disukai oleh panelis adalah pada penambahan gelatin 7% pada penggunaan gula laktosa (Gambar 3).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

208 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

6

4.9

5

4.9

5

4.1

4.5

4 3

3.4

3.4

2

4.1

Sukrosa Glukosa

2.8

Laktosa

1 0 Gelatin 3%

Gelatin 5%

Gelatin 7%

Gambar 3. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Aroma Soyghurt yang Dihasilkan. Tingkat penilaian panelis terhadap soyghurt yang berkisar antara 2,8% sampai 5% atau dari penilaian agak suka sampai pada penilaian sangat suka. Perbedaan tingkat kesukaan tersebut disebabkan karena penggunaan jenis gula dengan tingkat kemanisan yang berbeda. Sebagaiman yang dikatakan oleh Poetjadi (1994) bahwa tingkat kemanisasn gula dari yang paling manis sampai dengan tingkat kemanisan rendah adalah fruktosa, glukosa, galaktosa dan laktosa. Tabel 4. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Rasa Soyghurt. Sumber DB JK KT F.Hiting Keragaman Perlakuan 8 11,72 K 2 0,3733 0,18667 2,79991tn G 2 11,08 5,54 83,0958* KG 4 0,2667 0,06677 1tn Galat 9 0,6 0,06667 Total 17 Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata. * == Berpengaruh nyata

F. Tabel 5% 1% 19,38 99,39 19,38 99,39 6,00 14,66 -

Hasil analisa sidik ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa perlakuan persentase gelatin memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa soyghurt, sedangkan interaksi antara penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap rasa soyghurt. Sedangkan dari hasil uni BNJ pengaruh gelatin terhadap rasa soyghurt (Tabel 5) menunjukkan bahwa persentase gelatin 3%, 5% dan 7% berpengaruh nyata terhadap rasa soyghurt. Tabel 5. Uji BNJ Pengaruh Persentase Gelatin Terhadapo Rasa Soyghurt Persentase Gelatin Nilai Rata-Rata NP BNJ 5% 3% 4,267a 5% 4,167a 0,721 7% 3,93ab Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 209

Konsistensi Konsistensi pada soyghurt yang dihasilkan (Gambar 4) menunjukkan bahwa penambahan gelatin 5% lebih disukai oleh panelis untuk penambahan semua jenis gula dengan penilaian mulai dari 4,9% - 5,035% (suka). Penambahan gelatin dengan persentase 3 – 5% yang berfungsi sebagai stabilizer membantu mencegah terjadinya sinersis (pemisahan air dari sistem gel). Gelatin bereaksi dengan kasaein susu untuk mengurangi kecenderungan pemisahaan air sdari curd soyghurt (Jaswir, 2007). 6

5.035

4.9

5

4 3

4.9 3.5 3.1 3.1

4 4.1 3.9

Sukrosa Glukosa

2 Laktosa

1 0 Gelatin 3%

Gelatin 5%

Gelatin 7%

Gambar 4. Pengaruh Penambahan Jenis Gula dan Presentase Gelatin terhadap Konsistensi Soyghurt yang Dihasilkan. Penambahan gelatin dalam soyghurt menyebabkan terjadinya hidrolisis gelatin oleh mikroorganisme yang dikatalisasikan oleh koenzim yang disebut gelatinase, gelatin yang telah dicerna tidak mampu membentuk gel dan bersifat cair (Bibiana, 1994). Hasil analisa sidik ragam (Tabel 6) menunjukkan bahwa perlakuan jenis gula dan persentase gelatin tidak berbeda nyata terhadap konsistensi soyghurt begitupula interaksi antara penambahan jenis gula dan persentase gelatin tidak berpengaruh nyata terhadap konsistensi soyghurt yang dihasilkan. Tabel 6. Hasil Analisa Sidik Ragam terhadap Konsistensi Soyghurt. Sumber F. Tabel DB JK KT F.Hiting Keragaman 5% 1% Perlakuan 8 8,28 tn K 2 8,01333 4,0067 18,7755 19,38 99,39 G 2 0,0533 0,02665 0,01677tn 19,38 99,39 KG 4 0,2134 0,05335 0,25tn 6,00 14,66 Galat 9 14,3 Total 17 Keterangan : tn = Tidak berpengaruh nyata. * == Berpengaruh nyata

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

210 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Kesimpulan Berdasarkan hasil uji organoleptik yang meliputi warna, aroma, rasa dan konsistensi soyghurt diperoleh kesimpulan bahwa; penggunaan gula jenis sukrosa lebih disukai oleh panelis baik dari segi warna, aroma, rasa dan konsistensi soyghurt yang dihasilkan. Penggunaan persentase gelatin yang disukai oleh panelis untuk aroma dan rasa terdapat pada persentase gelatin 3% dan 7%. Warna yang paling disukai terdapat pada persentase gelatin 7% dan konsistensi soyghurt terdapat pada penambahan gelatin 5%. Penggunaan berbagai jenis gula tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna, aroma, dan konsistensi soyghurt yang dihasilkan. Interaksi antara gula dan gelatin berpengaruh terhadap aroma soyghurt sedangkan pada rasa soyghurt yang dihasilkan tidak memberikan pengaruh nyata begitupun terhadap konsistensi soyghurt yang dihasilkan. Daftar Pustaka Bibiana, W. Lay, 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Jaswir, Irwandi, 2007. Memahami Gelatin. www.beritaiptek.com. Akses 2 Oktober 2017. 15.20 WITA. Kanetro, Bayu, 2017. Teknologi Pengolahan dan Pangan Fungsional Kacang-Kacangan. Plantaxia, Yokyakarta. Liu, K, 2004. Fermented Soy Foods, In : Shinha, N.K., Y.H. Hui., E.O. Evranuz., M.Siddiq and J. Ahmed (Eds). 2011. Handbook of Vegetanbles and Vegetable Processing Wiley Blacwell. USA. dalam Rossi Evy, Raswen Effendi dan Suci Lestari, 2013. Karasteristik Soyghurt dengan Variasi Konsentrasi Sukrosa dan Inulin. Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekanat Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat. http://respository.unri.ac.id. Up Date, 15 Maret 2018; 13.30 WITA. Nirmagustina Dwi Eva dan Chandra Utami Wirawati, 2014. Potensis Susu Kedelai Asam (Soyghurt) Kaya Bioaktif Peptida Sebagai Antimikroba. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 14 (3) : 158 – 166. Nizori Addion, dkk., 2013. Pembuatan Soyghurt Simbiotik Sebagai Makanan Fungsional dengan Penambahan Kultur Campuran. J.Tek. Industri Pertanian. Vol. 18 (1), 28 – 33. Purwati Henny, dkk., 2008. Pengaruh Waktu Simpan Terhadap Kualitas Soyghurt dengan Penambahan Susu Bubuk. Widya Teknik Vol 7, No. 2 : 134 – 143. Poetjadi Anna, 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta. Winarno, F.G., 1988. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 211

Bidang Penelitian Peternakan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

212 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

KAJIAN PEMANFAATAN Indigofera Sp SEBAGAI PAKAN TERNAK ITIK DI PROVINSI SULAWESI SELATAN ANDI ELLA1), NOVIA QOMARIYAH1)*DAN SERLI ANAS2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Kabupaten Bonebolango, Provinsi Gorontalo * Email: [email protected] ABSTRAK Pakan merupakan kebutuhan pokok dalam usaha pemeliharaan ternak itik. Biaya untuk pakan menempati presentase terbesar dibandingkan dengan biaya lainnya. Untuk menekan biaya pakan itik yang tinggi maka dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan pakan lokal yang selama ini belum dilakukan secara optimal. Tujuan kajian ini adalah: menemukan teknologi pakan konsentrat dengan memanfaatkan Indigofera Sp sebagai sumber protein berbasis leguminosa lokal. Kajian ini dilaksanakan di TTP Bone Desa sama elo pajeko, Kecamatan Barebbo, Kabupaten Bone pada Bulan Januari hingga Desember 2017. Kegiatan ini menggunakan 160 ekor itik yang di tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 10 ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Adapun perlakuan pakan sebagai berikut: P0: tanpa daun indigofera (kontrol); P1: daun indigofera 5%; P2: daun Indigofera 10% dan P3: daun Indigofera 15%. Dari hasil penelitian tampak bahwa penggunaan tepung indigofera sebesar 10% masih baik pengaruhnya terhadap produksi telur, berat telur dan konversi pakan. Kata Kunci: Itik, Indigofera, Pakan Pendahuluan Sulawesi Selatan sebagai salah satu lumbung pangan terbesar di Kawasan Timur Indonesia dengan luas arel persawahan 952.048 ha dengan produksi 4.916.911 ton serta produktivitas rata-rata 5,16 ton/ha. Sementara produksi Kedelai Sulawesi Selatan pada tahun 2014 sebanyak 45,69 ribu ton biji kering, yang diperoleh dari luas panen 30,94 ribu hektar dan tingkat produktivitas 14,77 kuintal per hektar (BPS, 2014). Luas areal penanaman tersebut memiliki potensi berupa limbah pertanian berupa jerami, dedak dan limbah benih sortiran kedelai. Dedak, sortiran kedelai adalah limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas, dan sebagai bahan campuran konsentrat. Bahan baku utama pakan itik ditingkat petani di penuhi dari limbah pertanian seperti dedak, tumpi jagung dan kedelai sortiran, sedangkan sumber protein berasal dari tepung ikan, tepung darah (limbah RPH) yang harganya masih sangat mahal sehingga perlu dicari sumber protein alternatif lainnya. Salah satu leguminosa yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber protein adalah daun Indigofera. Indigofera secara agronomis mudah untuk dikembangkan secara generatif dan memiliki kemampuan produksi hijauan yang tinggi serta regrowing Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 213

yang cepat. Selain itu memiliki kemampuan adaptasi kekeringan (Abdullah, 2013). Daun Indigofera ini belum banyak digunakan untuk ternak unggas dan penggunaan dalam bentuk segar masih terbatas sebagai pakan ternak ruminansia, khususnya kambing. Pemanfaatan leguminosa Indigofera sebagai pakan itik telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain (Akbarilla et al, 2008). Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa, Indigofera mengandung protein kasar 27,89%, lemak kasar 3,70%, dan serat kasar 14,96%. Walaupun demikian kajian penggunaan tepung daun Indigofera untuk ternak itik belum banyak dilakukan, disisi lain pengembangan itik di Sulawesi Selatan sangat potensil dan mempunyai prospek sebagai cabang usaha tani bahkan dapat berkembang menjadi agribisnis yang skalanya memenuhi skala ekonomi 1000 ekor/kk tani. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknologi pakan konsentrat dengan memanfaatkan Indigofera sebagai sumber protein berbasis leguminosa lokal. Materi dan Metode Materi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Desember 2017 bertempat di TTP Bone, Desa Samaello Pajeko, Kec. Barebbo, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Adapun bahan yang digunakan meliputi itik betina yang sudah berproduksi; bahan pakan (jagung, dedak padi, bungkil kelapa, tepung ikan, tepung Indigofera, kedelai hasil sortiran CPO, DCP, mineral, Llys, DL-met). Alat yang digunakan adalah kandang kelompok, tempat makan dan minum, dan timbangan. Metode Kegiatan ini menggunakan itik yang sudah berproduksi sebanyak 160 ekor yang di tempatkan dalam kandang kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 40 ekor. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan dan 10 ulangan setiap ulangan terdiri dari 4 ekor itik. Pakan perlakuan disusun berdasarkan rekomendasi NRC (1994) Adapun perlakuannya sebagai berikut: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol) P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

214 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 1. Susunan ransum penelitian No

Bahan Pakan

1 Jagung 2 Dedak padi 3 Bungkil kelapa 4 Tepung Indigofera 5 Tepung ikan 6 Kedelai hasil sortiran UPBS 7 CPO 8 DCP 9 DL-met 10 L-lys 11 Mineral Total Harga Ransum (Rp/kg) No Nutrien 1 Protein Kasar (%) 2 Lemak Kasar (%) 3 Serat Kasar (%) 4 ME (kkal/kg) * Berdasarkan hasil perhitungan

Ransum Perlakuan (%) P0 P1 P2 P3 50 50 50 50 10,1 10,1 8,6 8,1 15 15 13,1 10,1 0 5,5 10,9 15,9 2 2 2 2 18,25 12,95 10,45 8,45 3,5 3,5 4 4,5 0,5 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,3 0,25 0,25 0,25 0,25 0,1 0,1 0,1 0,1 100 100 100 100 4.852 4.573 4.521 4.491 ----------------Kandungan Nutrien Ransum-------15,97 15,23 15,13 15,04 8,20 8,65 9,33 10,04 5,99 6,71 7,16 7,46 2946,22 2912,85 2904,5 2915,7

Ket: P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol) P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera Parameter yang diamati adalah konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, dan konversi pakan. Data yang diperoleh akan dianalisis ANOVA, jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut Duncan (Stell dan Torrie, 1980). Hasil dan Pembahasan Konsumsi Pakan Konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat palatabilitas ransum yang diberikan pada ternak itik. Salah satu faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah adanya anti nutrisi yang terkandung dalam ransum, seperti lignin, selulosa dan hemiselulosa (lignoselulosa) yang tinggi sehingga membatasi kecernaan selulosa dan hemiselulosa (polisakarida) sebagai sumber energi pakan ternak ruminansia (Eun et al., 2006). Berdasarkan Tabel 2, terlihat rata-rata konsumsi pakan yang tertinggi selama penelitian adalah perlakuan P0, dimana ternak diberi pakan tanpa mengandung tepung indigofera dengan konsumsi sebesar 153 gram/ekor/hari, kemudian perlakuan P1 yang diberi Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 215

tepung indigofera sebesar 5% dengan konsumsi sebesar 149 g/ekor/hari, dan terendah adalah perlakuan P2 dengan konsumsi sebesar sebesar 143 g/ekor/hari, Pemberian indigofera sebesar 15% (P3) tidak mempengaruhi rata-rata konsumsi pakan bila dibandingkan kontrol (P0). Hal ini menunjukkan bahwa level pemberian tepung indigofera sebesar 15 % menurunkan palatabilitas ransum. Hasil yang sama juga disampaikan oleh Akbarillah et al (2010) bahwa peningkatan level pemberian daun indigofera segar cenderung menurunkan konsumsi pakan total pada itik, hal ini diduga penggunaan daun indigofera segar bersifat bulky sehingga konsumsi pakan secara nyata menurun dibandingkan kontrol. Produksi Telur Produksi telur merupakan jumlah telur yang dihasilkan selama periode produksi yang dapat dinyatakan dalam satuan jumlah (butir atau persen). Telur yang dihasilkan oleh masing-masing kelompok perlakuan itik dicatat setiap hari dan dihitung berdasarkan ratarata produksi telur harian. Kemampuan produksi telur itik dapat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh pada produktivitas itik adalah ransum. Konsumsi kandungan energi dan protein ransum juga berperan dalam produksi telur, karena pembentukan telur dihasilkan dari besarnya konsumsi energi dan protein ransum (Brand et al., 2003). Rata-rata produksi telur itik penelitian disajikan pada Tabel 2. Pada tabel 2, menunjukkan bahwa produksi telur pada perlakuan P2 paling tinggi 316 butir sedangkan terendah sebanyak 284 butir yang dihasilkan dari perlakuan yang tanpa mendapatkan tepung Indigofera dalam ransum. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pakan tidak berpengaruh nyata (P > 0,05) terhadap produksi telur. Pemberian tepung Indigofera dalam pakan itik memberikan pengaruh yang baik, oleh karena ternak mampu berproduksi lebih baik dibandingkan dengan itik yang pakannya tidak mengandung Indigofera. Rendahnya produksi telur kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein yang dibutuhkan untuk pembentukkan telur pada ketiga perlakuan tersebut. Padahal asupan energi dan protein sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, aktivitas harian dan produksi telur seekor itik. Brand et al. (2003), menyatakan bahwa pembentukan telur dipengaruhi oleh besarnya konsumsi energi dan protein ransum. Bila ransum mengandung energi dan protein dalam jumlah terbatas maka unggas berkompensasi mengurangi ukuran telur dan jumlah telur dihasilkan, atau memperpanjang interval bertelur. Hal ini Kemungkinan erat hubungannya dengan yang dikatakan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

216 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Hardjosworo et al. (2001) bahwa keragaman dalam produktivitas itik lokal sangat tinggi karena itik-itik yang memiliki kemampuan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan peternak mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang biak. Konversi Ransum Konversi ransum merupakan ukuran efisiensi dalam penggunaan ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum semakin efisien penggunaan dari ransum tersebut, karena semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan telur dalam jangka waktu tertentu (Subekti, 2007). Nilai konversi ransum pada Tabel 2, dihitung berdasarkan satuan butir telur yang dihasilkan, sehingga dapat dihitung jumlah ransum yang dibutuhkan oleh itik untuk menghasilkan satu butir telur. Rataan konversi ransum per butir telur selama penelitian berkisar antara 45,3 - 53,8 %. Penggunaan indigofera dalam ransum hingga 15 % tidak meningkatkan angka konversi ransum dibandingkan ransum kontrol. Konversi ransum yang tinggi diperoleh dari perlakuan P0 yaitu 53,8 %, hal ini disebabkan produksi telur yang rendah bila dibandingkan dengan perlakuan yang mendapatkan tambahan indigofera dalam pakan. Berdasarkan perhitungan konversi ransum tersebut diatas dapat dilihat bahwa nilai konversi ransum penelitian masih sangat tinggi. Hal ini terjadi karena produktivitas itik masih rendah. Tingginya nilai konversi ransum ini menyebabkan penggunaan ransum kurang efisien karena besarnya konsumsi ransum tidak disertai dengan tingginya produksi telur itik. Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan, Produksi Telur dan Konversi Pakan Perlakuan

Konsumsi pakan (g/ekor/hari)

Produksi Telur (butir)

Konversi Pakan terhadap jumlah telur

P0

153

284

53,8

Berat Telur (g/butir) 56,2

P1 149 290 P2 143 316 P3 146 308 Sumber: data primer yang diolah (2017)

51,4 45,3 47,4

57,6 58,5 59,3

Ket:

P0: Pemberian formula pakan konsentrat tanpa tambahan daun Indigofera (kontrol) P1: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 5% daun Indigofera P2: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 10% daun Indigofera P3: Pemberian formula pakan konsentrat dengan penambahan 15% daun Indigofera

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 217

Berat Telur Rata-rata berat telur yang diperoleh sebesar 58,5 g dengan kisaran antara 56,2 – 58,5 g. Tabel 2 menunjukkan, berat telur R2 dan R3 sebesar 58,5 g sedangkan R1 sedikit lebih rendah sebesar 57,6 g. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P > 0,05) antara perlakuan pakan dengan berat telur. Berat telur yang diperoleh masih lebih rendah dari yang diperoleh Roesdiyanto (2004) yaitu rataan berat telur 69,62 g dengan kisaran 68,35 – 72,35 g yang diberi perlakuan pakan substitusi tepung ikan dengan Squilla empussa. Biasanya hasil telur pertama kali, beratnya masih rendah, ukuran telur pada awal masa produksi belumlah stabil. Ada yang besar sekali, ada juga yang terlalu kecil. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan tepung Indigofera sebesar 15% sebagai sumber protein menurunkan konsumsi pakan, produksi telur, berat telur dan menaikkan konversi pakan. Penggunaan tepung Indigofera sebesar 10% masih baik pengaruhnya terhadap produksi telur, berat telur dan konversi pakan. Daftar Pustaka Abdullah, L. 2013. Prospektif Agronomi dan Ekofisiologi Indigofera Zollingeriana sebagai Tanaman Penghasil Hijauan Pakan Berkualitas Tinggi. Pastura Vol. 3 (2): 79 – 83. Akbarillah T, Kususiyah, D. Kaharuddindan Hidayat. 2008. Kajian tepung Daun Indigofera Sebagai Suplemen Pakan Terhadap Produksi dan Kualitas Telur Puyuh. Jurnal Peternakan Indonesia. Vol. 3 (1): 20-23. Akbarillah Kususiyah, dan Hidayat. 2010. Pengaruh Penggunaan Daun Indigofera Segar Sebagai Suplemen Pakan Terhadap Produksi dan Warna Yolk Itik. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. Vol. 5 (1): 27-33. Badan Pusat Statistik. 2014. Sulawesi Selatan dalam Angka. Brand, Z., T. S. Brand and C. R. Brown. 2003. The effect of dietary and protein levels on production in breeding female ostrich. British Poultry Sci. Vol. 44 (4): 589-606. Eun JS, KA Beauchemin, SH Hong, and MW Bauer. 2006. Exogenous enzymes added to untreated or ammoniated rice straw: Effect on in vitro fermentation characteristic and degradability. J.Anim. Sci. and Tech. Vol. 131: 86‐101. Hardjosworo, P. S., A.R. Setioko, P .P. KetareN, L.H. Prasetyo, A.P. Sinurat dan Rukmiasih. 2002. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros Lokakarya Unggas Air. Bogor, 6 – 7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor dan Balai Penelitian Ternak, Ciawi. hlm. 22 - 41. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. Washington DC (US): National Academy Press. Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

218 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Roesdiyanto. 2004. Substitusi Tepung Ikan dengan Udang Pengko (Squella empussa) dalam Pakan Terhadap Kinerja Reproduksi Itik Lokal. Animal Production. Vol.6 (2): hlm. 110 – 117. Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus androgynou L. Merr) dan hubungannya dengan sistem reproduksi puyuh. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics Second Edition. New York (US): McGraw-Hill.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 219

KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG GAPLEK SEBAGAI PAKAN AYAM BROILER NOVIA QOMARIYAH1)*DAN SERLI ANAS2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Prov. Gorontalo * Email: [email protected] ABSTRAK Ayam broiler merupakan salah satu sumber daging yang banyak diminati oleh masyarakat. Total produksi daging ayam broiler telah memenuhi 41,05% dari total kebutuhan masyarakat Indonesia akan daging. Peningkatan konsumsi dan permintaan masyarakat akan daging ayam broiler merupakan peluang bagi usaha peternakan ayam broiler. Namun kendala utama budidaya ayam broiler adalah biaya pakan yang tinggi yakni mencapai 60-70% dari total biaya produksi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas, Fakultas Peternakan, IPB. Materi yang digunakan adalah ayam broiler strain Cobb sebanyak 25 ekor yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan merk dagang CP-707 yang tidak dibedakan jenis kelaminnya (Straight run atau unsex). Dengan rata-rata bobot badan awal 47,728 g. Kandang yang digunakan adalah kandang koloni semi tertutup sebanyak 6 buah dengan ukuran 1 x 1 m. Pakan yang digunakan yaitu pakan broiler starter, finisher dan gaplek. Pakan starter digunakan pada umur 0-1 minggu, sedangkan pakan finisher dari 2-6 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol. Kata Kunci: Ayam Broiler, Tepung Gaplek, Pakan Pendahuluan Permintaan produk unggas meningkat diseluruh wilayah yang mengikuti pertumbuhan populasi manusia. Produk unggas komersial yang sangat popular dimasyarakat adalah ayam broiler. Ayam broiler merupakan ternak unggas yang didesain untuk menghasilkan daging karkas dalam waktu yang singkat. Pertumbuhan ayam broiler lebih cepat dibandingkan dengan ayam kampung. Dengan perbedaan tersebut, maka dibutuhkan kebutuhan pakan yang berbeda pula. Pertumbuhan ayam broiler mencakup beberapa periode yaitu starter, grower, dan finisher. Setiap periode memiliki kebutuhan asupan nutrien yang berbeda. Periode starter dan grower membutuhkan asupan nutrien protein yang lebih tinggi dibandingkan pada periode finisher. Pakan unggas untuk periode finisher memiliki kandungan energi yang tinggi dan protein lebih rendah dibanding yang terkandung pada pakan starter dan grower. Apabila pemberian pakan tidak sesuai kebutuhan, produktivitas dari ternak tidak dapat mencapai optimal. Pada umumnya sumber energi yang digunakan untuk ternak unggas berasal dari jagung. Permintaan jagung sebagai pakan unggas sangat tinggi mengingat jagung Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

220 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

merupakan salah satu pakan utama ternak unggas. Untuk menurunkan harga dari pakan, penggunaan bahan atau hasil samping dari produk pertanian dibutuhkan untuk mengatasinya. Indonesia merupakan negara penghasil singkong. Produksi singkong yang melimpah pada umumnya akan dikeringkan menjadi gaplek. Gaplek dapat dijadikan alternatif sumber energi dari pakan ternak. Melimpahnya produksi gaplek menjadikannya sebagai sumber bahan pakan alternatif yang semakin meningkat permintaannya (Anthong, 2009). Namun demikian penggunaan singkong sebagai pakan ternak terbatas karena adanya hydrogen cyanide (HCN) (Tewe et al., 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung gaplek terhadap pertumbuhan ayam broiler. Materi dan Metode Materi Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Unggas Fakultas Peternakan IPB. Adapun bahan yang digunakan meliputi ayam broiler strain Cobb sebanyak 25 ekor yang diproduksi oleh PT. Charoen Pokphand dengan merk dagang CP-707 yang tidak dibedakan jenis kelaminnya (Straight run atau unsex). Dengan rata-rata bobot badan awal 47,728 g. Kandang koloni semi tertutup sebanyak 6 buah dengan ukuran 1 x 1 m. Pakan yang digunakan yaitu pakan broiler starter, finisher dan gaplek. Pakan starter digunakan pada umur 0-1 minggu, sedangkan pakan finisher dari 2-6 minggu. Metode Persiapan Kandang Sebelum pemeliharaan dilakukan maka kandang dibersihkan, diberi desinfektan kemudian diberi air kapur. Setelah kapur kering, dibuat kandang koloni dengan ukuran luas setiap petak kandang1 x 1 m sebanyak 6 buah. Kandang koloni kemudian diberi sekam sampai menutup lantai. Kemudian diberi lapisan koran dan brooder serta bohlam untuk menjaga kehangatan pada ayam broiler fase starter. Pada setiap petak diberi tempat pakan dan tempat minum. Pembuatan pakan Pakan yang digunakan adalah pakan komersil yang diproduksi oleh PT. Sinta Prima Feedmill. Sedangkan gaplek diperoleh dari distributor bahan pakan. Pencampuran bahan pakan dilakukan setiap 5 hari (1 minggu pemeliharaan) untuk menjamin ketersediaan dan kualitas pakan yang dibuat. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 221

Perlakuan Penelitian ini menggunakan ayam sebanyak 25 ekor yang terbagi menjadi 6 kandang koloni, dengan jumlah masing-masing kandang koloni 4-5 ekor ayam. Perlakuan pakan percobaan sebagai berikut: A. Kontrol: a. Umur 0-1 minggu pakan starter komersil b. Umur 2-6 minggu pakan finisher komersil B. Perlakuan: a. Umur 0-1 minggu pakan starter komersil (70%) + gaplek (30%) b. Umur 2-6 minggu pakan finisher komersil (70%) + gaplek (30%) Tabel 1. Kandungan Nutrien Ransum Penelitian Starter Nutrien Ransum (BR-21) Kadar air (max) 12% Protein kasar 21-23% Lemak kasar 4-8% Serat kasar (max) 4% Abu (max) 8% Kalsium 0,9-1,2% Pospor 0,7-1,0% Antibiotik Sumber: Data Primer yang diolah (2014)

Finisher (BR-22) 12% 19-21% 4-8% 4,5% 6,5% 0,9-1,1% 0,7-0,9% +

Metode Pemeliharaan ayam broiler dilakukan selama 30 hari. Pemberian pakan dilakukan setiap pagi dan sore hari. Air minum diberikan ad libitum dan diganti setiap pagi dan sore hari. Memasuki fase finisher atau mulai hari ke-16 brooder dan koran diangkat kemudian ditambahkan sekam. Pada fase ini bohlam sudah diangkat tinggi untuk menghindari heat strees dan dipasang kipas angin selama 24 jam untuk menjaga suhu dan sirkulasi udara. Parameter yang diamati meliputi: konsumsi pakan, Pertambahan bobot badan, dan konversi pakan. Hasil dan Pembahasan Ransum yang diberikan pada ternak adalah ransum komersil produksi PT. Sinta Prima Feedmill. Kandungan nutrien ransum pabrikan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Ransum pabrikan ini berbentuk butiran (crumble). Program pemberian ransum sangat tergantung terhadap rencana ayam itu dipanen, jika ayam yang akan dipanen berukuran kecil sampai sedang, pemberian ransum menggunakan program dua jenis ransum (Fadillah, 2004). Pakan tambahan berupa gaplek diujicobakan untuk mengetahui sejauh mana Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

222 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

efektifitasnya dalam mengefisienkan biaya pakan. Pakan disusun sedemikian rupa sehingga mencukupi kebutuhan nutrisi ayam broiler. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah jumlah yang dikonsumsi oleh ternak dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi ransum terus meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan zat-zat nutrisi oleh kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Menurut Anggorodi (1985) bahwa tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya jumlah ransum yang dikonsumsi. Tabel 2. Rata-rata Konsumsi Pakan selama 30 Hari pemeliharaan (per ekor per minggu) Rata-rata Konsumsi Pakan (g/ekor/mg) Minggu Perlakuan Kontrol Perlakuan Gaplek 1 23,4 20,2 2

47,0

30,7

3

76,0

78,9

4

140,7

73,7

5

121,7

106,9

6

131,0

104,3

Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa selama 30 hari rata-rata konsumsi pakan ayam kontrol sebesar 2.699 kg/ekor, sedangkan pada ayam perlakuan gaplek sebesar 2073,5 kg/ekor. Rendahnya tingkat konsumsi pakan pada ayam broiler dengan pemberian gaplek disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum dengan pemberian gaplek. Selain itu, pemanfaatan gaplek sebagai bahan pakan perlu memperhatikan asam sianida (HCN) yang terkandung di dalam gaplek. Kandungan asam sianida dibawah 50 mg/kg berat basah tidak membahayakan bagi ternak. Pada rentang 50-100 mg HCN/kg berat basah maka bahan akan menjadi beracun dan menjadi sangat beracun bila kandungan asam sianida mencapai lebih dari 100 mg/kg berat basah. Proses pengolahan ubi kayu telah memberikan peranan signifikan dalam mereduksi kandungan asam sianida, sehingga didalam gaplek kandungan asam sianida cukup rendah (Sumangkut dan Suhadi, 1978). Pada Gambar 1 disajikan grafik pola konsumsi pakan per ekor per minggu. Dari grafik tampak jelas bahwa dari minggu 1 sampai minggu 4 trend konsumsi ransum kontrol cenderung meningkat, kemudian menurun pada minggu ke-5 dan naik kembali pada minggu ke-6. Berbeda dengan pemberian ransum gaplek menunjukkan trend kenaikan konsumsi ransum meningkat dari minggu ke 1 sampai minggu ke-3, kemudian mengalami penurunan Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 223

yang landai pada minggu ke-4 dan meningkat pada minggu ke-5 namun menginjak minggu ke-6 mengalami penurunan kembali. Trend penurunan tingkat konsumsi ransum kontrol cenderung lebih tajam dibandingkan ransum gaplek. Hal ini diduga karena pemberian ransum pada fase starter diberikan hanya sampai umur 1 minggu. Selain itu, berdasarkan Tabel 2 tampak bahwa rata-rata secara umum konsumsi pakan ayam broiler yang dipelihara lebih kecil dibandingkan standar konsumsi yang ada (Rasyaf, 1993). Hal ini disebabkan pola pemberian pakan tidak sesuai fase pertumbuhan. Kandungan protein yang tinggi pada fase starter dibutuhkan ayam untuk pertumbuhan dan pembentukan bulu dan sebagainya, pemberian pakan finisher di fase starter menyebabkan pertumbuhan ayam tidak optimal. Hal ini salah satunya tampak pada pertumbuhan bulu ayam perlakuan kontrol yang kurang sempurna. Menurut Wahyu (1988) bahwa kualitas dari bahan ransum dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapainya performan puncak. Tabel 3. Rata-rata Konsumsi Ransum Standar Ayam Broiler Konsumsi Ransum (kg/ekor/mg) Umur (Minggu) Minggu Kumulatif 1 0,08 0,08 2 0,24 0,31 3 0,40 0,71 4 0,56 1,26 5 0,68 1,94 6 0,78 2,22 7 0,86 3,58 Sumber: Rasyaf (1993).

Konsumsi/ekor/hari 160,0 140,0

g/ekor/hari

120,0 100,0 80,0

Kontrol

60,0

Gaplek

40,0 20,0 0,0 1

2

3

4

5

6

Minggu ke

Gambar 1. Rata-Rata Konsumsi Pakan (g/ekor/hari)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

224 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Ditambahkan oleh Anggorodi (1979) dalam mengkonsumsi ransum ternak dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: umur, palatabilitas ransum, aktifitas ternak, energi ransum dan tingkat protein. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas dari ransum yang diberikan serta pengolahannya. Ransum yang diberikan pada ternak harus disesuaikan dengan umur dan berdasarkan atas kebutuhan, hal ini bertujuan selain untuk mengefisienkan jumlah ransum pada ternak juga untuk mengetahui sejauh mana pertambahan bobot badan yang dicapai. Pertambahan Bobot Badan Kemampuan ternak mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam ransum menjadi daging ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan (Maynard, 1984). Berikut disajikan data pertambahan bobot badan rata-rata gram per ekor per hari pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari) Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Hari (g/ekor/hari) Minggu Perlakuan Kontrol Perlakuan Gaplek 1 2 3 4 5 6

22,3 33,3 49,0 69,0 74,7 100,7

15,8 22,4 32,5 48,9 49,6 53,3

Sumber: Data Primer yang diolah (2014) Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa selama 30 hari pemeliharaan rata-rata pertambahan bobot badan ayam kontrol sebesar 232,6 g/ekor/hari, sedangkan pada ayam perlakuan gaplek sebesar 157,5 g/ekor/hari. Rendahnya pertambahan bobot badan pada ayam broiler dengan pemberian gaplek disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum dengan pemberian gaplek sehingga konsumsinya rendah dibandingkan ayam kontrol. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh jenis dan ransum yang dikonsumsi (Jull, 1982). Wahyu (1997) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah bangsa, tipe ayam, jenis kelamin, energi metabolisme, kandungan protein dan suhu lingkungan. Pertumbuhan dipengaruhi oleh hereditas, hormon dan pakan serta tatalaksana yang mencakup program pemberian ransum yang baik, tempat ransum yang sesuai, air yang cukup, luas kandang yang optimal, ventilasi yang cukup dan konsumsi ransum. Selain itu pertumbuhan dipengaruhi oleh galur, jenis kelamin dan umur (Anggorodi, 1994). Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 225

Pada Gambar 2, dijelaskan trend pertambahan bobot badan ayam per ekor per minggu, dari grafik tampak jelas bahwa kedua perlakuan pakan baik kontrol maupun gaplek menunjukkan trend kenaikan bobot badan yang significan sesuai fase pertumbuhannya. Apabila dibandingkan dengan trend konsumsi pakannya maka ada indikasi bahwa pola konsumsi dari minggu 1 sampai minggu 4 trend konsumsi ransum kontrol cenderung meningkat, kemudian menurun pada minggu ke-5 dan naik kembali pada minggu ke-6. Berbeda dengan pemberian ransum gaplek menunjukkan trend kenaikan konsumsi ransum meningkat dari minggu ke 1 sampai minggu ke-3, kemudian mengalami penurunan yang landai pada minggu ke-4 dan meningkat pada minggu ke-5 namun menginjak minggu ke-6 mengalami penurunan kembali. Trend penurunan tingkat konsumsi ransum kontrol cenderung lebih tajam dibandingkan ransum gaplek. Dari pola konsumsi ini ternyata tidak mempengaruhi trend pola grafik pertambahan bobot badan, justru pertambahan bobot badan membentuk trend yang terus meningkat dari fase starter sampai fase pemotongan/panen. Fenomena ini mungkin dipengaruhi oleh kualitas bibit DOC yang baik, serta kecukupan nutrien yang terkandung dalam pakan yang diberikan untuk kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi. Menurut Kartasudjana dan Suprijatna (2006), kualitas DOC yang baik akan mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler.

Pertambahan Bobot Badan (PBB) 150,00

g/ekor/hari

100,00 Kontrol

50,00

Gaplek

0,00 1

2

3 4 Minggu ke

5

6

Gambar 2. Pertambahan Bobot Badan per Ekor per Minggu Konversi Ransum Konversi ransum adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu minggu dengan penambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu, bila rasio kecil berarti pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan dengan efisien. Konversi ransum ayam broiler yang diperlihara selama 30 hari disajikan pada Tabel 5.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

226 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Tabel 5. Nilai Konversi Ransum Ayam Broiler selama 30 Hari Minggu Kontrol 1 1,1 2 1,4 3 1,6 4 2,0 5 1,6 6 1,3 Sumber: Data Primer yang Diolah (2014)

Gaplek 1,3 1,4 2,4 1,5 2,2 6,3

Berdasarkan data pada Tabel 5, tampak bahwa rata-rata FCR broiler dengan pemberian pakan kontrol selama 30 hari pemeliharaan lebih kecil (1,51) dibandingkan dengan pakan gaplek (2,51). Hal ini terkait dengan kualitas nutrisi ransum gaplek yang lebih rendah dibandingkan ransum kontrol, dimana semakin baik mutu ransum, semakin kecil pula angka konversinya. Selain itu mutu ransum sangat ditentukan oleh keseimbangan zat-zat gizi yang dibutuhkan ternak dan kualitas bahan-bahan pakan yang digunakan untuk ransum. Ransum yang kekurangan salah satu unsur gizi akan mengakibatkan ayam memakan ransumnya secara berlebihan untuk mencukupi kekurangan zat yang akan diperlukan tubuhnya. Kelebihan energi selanjutnya akan disimpan dalam bentuk lemak (Sarwono, 1996). Hal inilah yang menyebabkan tingginya nilai FCR ayam broiler dengan pemberian pakan gaplek. Berikut disajikan standar performan ayam broiler AA CP-707 pada Tabel 6. Tabel 6. Standar Performans Ayam Broiler AA CP-707 Konsumsi Ransum Bobot Badan Umur (minggu) Konversi Ransum (gram) (gram) 1 135 155 0,81 2 284 385 1,09 3 462 700 1,26 4 653 1081 1,42 5 860 1515 1,58 6 1056 1982 1,74 7 1237 2452 1,91 8 1405 2913 2,09 Sumber: PT. Charoen Pokphand Jaya Farm (1995) dalam Yustiwira (1996). Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa tingkat konsumsi ransum, bobot badan dan konversi ransum ayam dengan perlakuan kontrol hampir mendekati nilai standar performan ayam broiler AA CP-707. Hal ini mengindikasikan bahwa performan ayam DOC yang dipelihara dengan manajemen pakan dan pemeliharaan yang bagus menghasilkan pertumbuhan dan efektifitas penggunaan pakan menjadi daging juga optimal. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 227

Berbeda dengan perlakuan tepung gaplek, untuk mengubah ransum menjadi komponen daging membutuhkan pakan dalam jumlah besar, hal ini disebabkan kandungan serat dalam gaplek tinggi sehingga ayam sulit mencerna akibatnya untuk mencukupi kebutuhan nutrisinya, ternak mengkonsumsi pakan dalam jumlah besar sehingga FCR menjadi besar. Berikut disajikan grafik pola FCR ayam dengan perlakuan kontrol dan pemberian tepung gaplek (Gambar 3). Terlihat bahwa diakhir pemeliharaan ayam dengan pemberian tepung gaplek menunjukkan nilai FCR cukup tinggi, hal ini dikarenakan ayam meningkatkan konsumsinya untuk mengimbangi kebutuhan energi yang meningkat pada periode finisher. Kandungan nutrisi yang rendah, memacu ayam untuk memakan ransum sebanyak-banyaknya sehingga tercukupi kebutuhan tubuhnya akan nutrien diakhir periode pemeliharaan ini. Feed Convertion Ratio 7,0

FCR

6,0 5,0

4,0

Kontrol

3,0

Gaplek

2,0

1,0 0,0 1

2

3 4 Minggu ke-

5

6

Gambar 3. Nilai Konversi Ransum Ayam Broiler yang diperlihara selama 30 Hari Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan subsitusi tepung gaplek sampai level 30% menyebabkan penurunan tingkat konsumsi, pertambahan bobot badan dan konversi ransum dibandingkan kontrol. Daftar Pustaka Anggorodi, R. 1985, Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Gramedia. Jakarta. Anthong, V.P., 2009. Utilization of low-grade cassava meal (gari) in the diets of egg type chicks (0–8 weeks), Pakistan Journal of Nutrition, 8(1), 39–41. Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

228 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Fadillah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta. Jull, M.A., 1982. Poultry Husbandry. Tata Mc Graw-Hill, New Delhi. Maynard, L. A. 1984. Animal Nutrition, 7th Ed, Mc, Grow Hill, Publishing Co. Ltd., New Delhi. Rasyaf, M. 1993. Makanan Ayam Broiler. Penebar Kanisius. Jakarta. Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta Sarwono, B., 1996. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta Sumangkut dan Suhadi. 1978. Penggunaan Gaplek vs Onggok Dalam Makanan Penguat Yang Mengandung Urea Pada Sapi Perah Muda. IPB. Bogor. Suprijatna, E. Umiyati, A. Ruhyat, K. 2006. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta. Tewe, O.O., Bokanga, M., Dixon, A.G.O. and Larbi, A., 2002. Strategies for cost effective cassava plant-based feeds for livestock and fish production in Africa. Paper presented at the regional workshop on improving the cassava sub-sector, 2002, Nairobi, Kenya. Wahju, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Kedua. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Yustiwira. 1996. Pengaruh Imbangan Energi – protein dalam Ransum dan Strain yang Berbeda terhadap Gala Tumbuh Broiler di Dataran Rendah. Skripsi Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian USU, Medan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 229

UKURAN TUBUH KAMBING KACANG (Capra hircus) YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA FAHRUL ILHAM1), NIBRAS K LAYA1) AMIRUROSAD HIKAYA2), Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo 2) Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo 1)

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada ketinggian tempat yang berbeda. Penelitian ini penting sebab Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang telah lama berperan dalam penyediaan daging sebagai sumber protein hewani nasional untuk mendukung ketahanan pangan. Ukuran tubuh sangat penting diketahui sebab berhubungan dengan bobot hidup dan bobot karkas. Pengumpulan data telah dilakukan dari bulan September-November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Umur kambing yang diamati 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total sampel pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal dari dataran rendah. Data diperoleh dengan melakukan pengukuran setiap 2 minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu). Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan, ukuran tubuh kambing kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal dan akhir penimbangan antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6±0,84 dan 58,5±0,85 : 54,9±0,86 dan 57,63±1,03 cm, lebar dada 10,68±0,76 dan 13,22±0,78 : 10,03±0,81 dan 12,67±0,88 cm, dalam dada 19,8±0,88 dan 22,6±0,89 : 19,2±1,00 dan 22,13±0,93 cm, panjang badan 44,8±0,75 dan 47,8±0,65 : 44,1±0,80 dan 47,2±0,67 cm, tinggi pundak 46,9±0,79 dan 50,0±0,69 : 46,4±0,91 dan 49,5±0,89 cm, tinggi punggung 48,0±0,77 dan 51,1±0,72 : 47,4±0,82 dan 50,4±0,75 cm. Pertambahan ukuran tubuh harian Kambing Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada 0,043 : 0,039 cm/hari, lebar dada 0,037 : 0,036 cm/hari, dalam dada 0,041: 0,039 cm/hari, panjang badan 0,043 : 0,042 cm/hari, tinggi pundak 0,045 : 0,044 cm/hari, tinggi punggung 0,044 : 0,042 cm/hari. Kata Kunci: Kambing Kacang, Ukuran Tubuh, Ketinggian Tempat ABSTRACT This study aims to determine the size of the body and the increase in body size of kacang goat that are kept traditionally at different altitudes. This research is important because the kacang goat is a native indigenous Indonesian goat that has long played a role in the provision of meat as a source of national animal protein to support food security. Body size is very important because it is associated with the body weight and carcass weight. Data collection has been conducted from September-November 2017 in Bone Bolango District. Age of goats observed 9-12 months (Io) of male and female sex. Total sample of observation 60, each 30 come from medium plain and 30 tail come from lowland. The data obtained by measuring every 2 weeks as much as 6 times, for 12 weeks. Based on the result of unpaired T-Test, body size of 9-12 month old kacang goat kept traditionally on plains is different from in lowland (P<0,05). Comparison of the mean body size of the initial & final weighing between the medium plains: the lowlands are chest circumference 55,6±0.84 & 58,5±0.85 : 54,9±0.86 & 57,63±1.03 cm, chest width 10,68±0.76 & 13,22±0.78 : 10,03±0.81 & 12,67±0.88 cm, in chest 19,8±0.88 & 22,6±0.89 : 19, 2±1.00 & 22.1±0.93 cm, body length Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

230 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

44,8±0.75 & 47,8±0.65 : 44,1±0.80 & 47,2±0.67 cm, shoulder height 46,9±0.79 & 50,0±0.69 : 46,4±0.91 & 49,5±0.89 cm, height of back 48,0±0.77 & 51.1±0.72 : 47.4±0.82 & 50.4±0.75 cm. The daily body size increase of kacang goat between medium plains : low is chest circumference 0.043 : 0.039 cm/day, chest width 0.037 : 0.036 cm/day, in chest 0.041 : 0.039 cm/day, body length 0.043 : 0.042 cm/day, shoulder height 0.045 : 0.044 cm/day, high back 0.044 : 0.042 cm/day. Keywords: Goat Nut, Body Size, Elevation Place Pendahuluan Kambing kacang merupakan ternak yang cukup digemari oleh beberapa kalangan masyarakat bahkan dijadikan menu khas dalam setiap acara ritual keagamaan. Sebagian besar

skala

usahanya

masih

kecil-kecilan

dengan

sistem

pemeliharaan

dan

perkembangbiakannya secara tradisional. Kambing Kacang di beberapa daerah di Indonesia telah beradaptasi terhadap lingkungan setempat dan sering dikawinsilangkan dengan bangsa kambing lainnya sehingga membentuk karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh ternak tersebut. Kambing Kacang relatif mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak memerlukan lahan yang luas untuk pemeliharaanya, serta relatif tahan terhadap penyakit dan parasit lokal. Ternak kambing disamping memberikan manfaat utama untuk menghasilkan daging, juga penghasil sampingan berupa kulit, air susu, dan feses. Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di Kabupaten Bone Bolango sebagian besar masih tradisional, yaitu siang dilepas dan dibiarkan mencari pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Tingkat penyebaran kambing ini hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran tinggi, sedang, maupun dataran rendah. Kondisi geografis di Kabupaten Bone Bolango yang memiliki ketinggian tempat yang bervariasi diduga telah menyebabkan produktivitas dan ukuran tubuh Kambing Kacang berbeda. Ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan seekor ternak khususnya terhadap bobot badan maupun bobot karkas. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada perbedaan kuran tubuh ternak Kambing Kacang yang di pelihara pada ketinggian yang berbeda. Materi dan Metode Penelitian ini telah dilakukan di Desa Modelomo sebagai dataran sedang dan Desa Olele sebagai dataran rendah, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Total sampel kambing dalam penelitian adalah 60 ekor berumur sekitar 9-12 bulan (Io), Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 231

dikelompokkan berdasarkan ketinggian tempat, dimana 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor dari dataran rendah. Kriteria ketinggian tempat berdasarkan Nuryanto, dkk (2012) yaitu wilayah dataran rendah adalah 0-200 meter dari permukaan laut, dataran sedang/menengah antara 200-500 meter dari permukaan laut. Variabel ukuran tubuh yang diamati adalah lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi punggung. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tongkat ukur dan pita ukur setiap 2 minggu selama 3 bulan (sebanyak 6 kali pengukuran). Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien variasi. Untuk mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap perbedaan ukuran tubuh dilakukan dengan uji Uji-Tidak Berpasangan. Hasil dan Pembahasan Ukuran Tubuh dan Pertambahan Ukuran Tubuh Kambing Kacang Ukuran tubuh merupakan faktor yang erat hubungannya dengan penampilan dan sifat produksi seekor ternak, dapat digunakan untuk menduga berat badan ternak kambing dan seringkali dipakai sebagai parameter teknis dalam penentuan kambing bibit berdasarkan mutu genetisnya. Pengukuran dimensi tubuh penting dilakukan, sebab seringkali peternak kambing tidak mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak kambingnya dari awal kelahiran, pemeliharaan hingga saat penjualan, sehingga produktivitas ternak dan keuntungan nominal yang akan dan seharusnya diperoleh tidak diketahui dengan pasti. Hasil penelitian diperoleh rata-rata ukuran tubuh Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang lebih besar dibandingkan dengan ternak Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran rendah sejak minggu pertama sampai minggu terakhir pengukuran (Gambar 1). Demikian pula pada laju pertambahan ukuran tubuh di dataran sedang lebih tinggi dibandingkan dengan dataran rendah. Pertambahan ukuran tubuh perhari pada dataran sedang pada lingkar dada adalah 0,043 cm/hari, lebar dada 0,037 cm/hari, dalam dada 0,041 cm/hari, panjang badan 0,043 cm/hari, tinggi pundak 0,045 cm/hari, tinggi punggung 0,044 cm/hari. Pertambahan ukuran tubuh pada dataran rendah pada lingkar dada adalah 0,039 cm/hari, lebar dada 0,036 cm/hari, dalam dada 0,039 cm/hari, panjang badan 0,042 cm/hari, tinggi pundak 0,044 cm/hari, tinggi punggung 0,042 cm/hari (Tabel 1).

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

232 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Table 1. Laju Pertambahan Ukuran Tubuh Kambing Kacang pada ketinggian tempat yang berbeda Laju pertumbuhan ukuran tubuh (cm) No Ukuran tubuh (/2 minggu) (/hari) Sedang Rendah Sedang Rendah 1 Lingkar Dada 0,50 0,45 0,043 0,039 2 Lebar Dada 0,42 0,38 0,037 0,036 3 Dalam Dada 0,47 0,46 0,041 0,039 4 Panjang Badan 0,49 0,48 0,043 0,042 5 Tiggi Pundak 0,52 0,51 0,045 0,044 6 Tinggi Punggung 0,51 0,49 0,044 0,042 Berdasarkan Gambar 1, seiring dengan semakin bertambahnya umur kambing, maka ukuran tubuh juga semakin besar, dan hal tersebut disebabkan ukuran dan berat tulang yang semakin bertambah. Pertumbuhan tulang terlihat linear sebab umur ternak masih dalam masa pertumbuhan. Secara garis besar, masa pertumbuhan ternak terbagi 2 yaitu pertumbuhan cepat dan pertumbuhan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat ternak baru lahir hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada saat ternak mencapai dewasa tubuh. Devendra dan Burns (1994) menyatakan pada dasarnya seekor ternak akan mengalami perubahan dimensi tubuh yang diakibatkan oleh sistem pemeliharaan, perubahan musim, umur dan jenis kelamin ternak. Selain faktor genetik ternak, perkembangan tubuh ternak kambing dipengaruhi oleh faktor sistem manajemen pemeliharaan, faktor lingkungan antara lain ketinggian tempat, curah hujan, ketersediaan air, suhu lingkungan, faktor penyakit, dan lain-lain (Santosa, 1991). Uji Statistik Perbedaan Ukuran Tubuh antara Dataran Sedang dan Dataran Rendah Hasil analisis uji-t tidak berpasangan pada Tabel 2 diperoleh seluruh ukuran tubuh Kambing Kacang antara dataran sedang dan dataran rendah berbeda secara statistik (nilai siq < 0.05). Perbedaan ukuran tubuh ini semakin menegaskan bahwa ketinggian tempat memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ukuran-ukuran tubuh. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya faktor makanan yang dikonsumsi, suhu lingkungan, dan sistem pemeliharaan. Hasil pengamatan di lokasi penelitian, hijauan makanan ternak yang banyak ditemukan pada kedua lokasi penelitian berbeda. Vegetasi tanaman hijauan makanan ternak yang dominan pada dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, lamtoro dan pada dataran rendah adalah kayu jawa, rumput griting, dan rumput teki. Nilai nutrisi protein yang

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 233

dimiliki pada hijaun tanaman tersebut memiliki perbedaan, dimana kayu jawa 18.46%, gamal 22.7%, lamtoro 29.82%, rumput griting 7%, dan rumput teki 11.9% (Bakrie, 1996). Table 2. Nilai siqnifikansi dari hasil analisis uji-t ukuran tubuh Ternak Kambing Kacang. Ukuran tubuh yang Nilai Siqnifikansi pengukuran ke No diamati I II III IV V VI 1 Lingkar Dada 0,005 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 2 Lebar Dada 0,002 0,002 0,003 0,004 0,010 0,015 3 Dalam Dada 0,013 0,021 0,016 0,015 0,027 0,021 4 Panjang Badan 0,003 0,003 0,001 0,002 0,001 0,001 5 Tinggi Pundak 0,029 0,030 0,014 0,017 0,015 0,014 6 Tinggi Punggung 0,004 0,002 0,001 0,001 0,001 0,001 Perbedaan vegetasi tanaman yang tumbuh di kedua lokasi disebabkan lahan di dataran rendah untuk tumbuhnya hijauan lebih sempit karena berada dipinggiran pantai dan sebagian sudah diigunakan untuk pekarangan rumah.

Perbedaan hijauan makanan ternak yang

tersedia beserta kandungan nutrisi yang dimilikinya menyebabkan jenis pakan yang dikonsumsi kambing kacang di kedua lokasi penelitian juga berbeda sehingga hal ini diduga juga mempengaruhi ukuran tubuh dan pertambahan ukuran tubuh perhari. Dataran rendah yang menjadi lokasi penelitian ini berada pada pesisir pantai sehingga berpengaruh terhadap performans makanan, yaitu rasa makanan yang lebih asin. Perbedaan citarasa makanan juga akan mempengaruhi selera makan kambing, dimana ternak akan lebih menyukai pakan yang memiliki rasa manis dan hambar dari pada asin dan pahit. Sistem pemeliharaan ternak Kambing Kacang di lokasi penelitian secara umum adalah tradisional semi intensif, yaitu pada pagi hari sampai sore hari kambing dilepas diluar kandang untuk mencari pakan sendiri dan malam hari dikandangkan. Beberapa diantaranya bahkan tidak memiliki kandang sehingga ternak kambing dilepas secara terus menerus. Kondisi ini menyebabkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan pakan antar ternak kambing, terutama di dataran rendah yang cukup minim sumber hijauan pakan. Tingkat persaingan pada kondisi sumber pakan yang berbeda diduga telah menimbulkan perbedaan pertambahan ukuran tubuh harian pada lokasi penelitian. Perubahan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang dan dataran rendah, selain dipengaruhi oleh jenis pemeliharaan dan makanan juga dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ada dikedua tempat. Hasil pengukuran yang telah dilakukan Nirwan (2013) menghasilkan rata-rata suhu dataran sedang di Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango yang berdekatan dengan lokasi penelitian adalah 24,04ºC dan dataran rendah adalah 31,96ºC. Suhu lingkungan yang lebih

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

234 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Gambar 1. Grafik Perbedaan Ukuran Tubuh (lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang badan, tinggi pundak, tinggi punggung) Kambing Kacang umur 9-12 bulan antara dataran sedang dan dataran rendah. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 235

tinggi menyebabkan ternak Kambing Kacang sering mengalami kehausan sehingga akan banyak minum air, akibatnya ternak lebih sedikit mengkonsumsi pakan. Ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu, sehingga akan mempengaruhi selera makan dan penampilan (McDowell, 2000). Pada kondisi panas beberapa ternak mencari pertolongan melalui mekanisme tingkah laku seperti pembatasan konsumsi makanan secara sukarela, tidak aktif dan lebih banyak mencari peneduh (Lawrie, 2003). Kesimpulan Berdasarkan hasil penlitian disimpulkan ukuran tubuh ternak Kambing Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Perbandingan rerata ukuran tubuh awal & akhir penimbangan antara dataran sedang : dataran rendah adalah lingkar dada 55,6 dan 58,5 : 54,9 dan 57,63 cm, lebar dada 10,68 dan 13,22 : 10,03 dan 12,67 cm, dalam dada 19,8 dan 22,6 : 19,2 dan 22,1 cm, panjang badan 44,8 dan 47,8 : 44,1 dan 47,2 cm, tinggi pundak 46,9 dan 50,0 : 46,4 dan 49,5 cm, tinggi punggung 48,0 dan 51,1 : 47,4 dan 50,4 cm. Pertambahan ukuran tubuh harian Kambing Kacang antara dataran sedang : rendah adalah lingkar dada 0.043 : 0.039 cm/hari, lebar dada 0.037 : 0.036 cm/hari, dalam dada 0.041 : 0.039 cm/hari, panjang badan 0.043 : 0.042 cm/hari, tinggi pundak 0.045 : 0.044 cm/hari, tinggi punggung 0.044 : 0.042 cm/hari. Daftar Pustaka Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130. Devendra, C dan M. Burns. 1994. Produksi kambing di daerah tropis. Terjemahan: I. D. K. Harya Putra. Penerbit ITB. Bandung. Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Edisi kelima. Diterjemahkan oleh Aminuddin Parakkasi. UI-Press. Jakarta. Nuryanto, B., A. Priyatmojo, dan B. Hadisutrisno. 2014. Pengaruh Tinggi Tempat dan Tipe Tanaman Padi terhadap Keparahan Penyakit Hawar Pelepah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 33 No. 1. Santosa, U. 1991. Tatalaksana Pemeliharaan Ternak Kambing. Penebar Swadaya. Jakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

236 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

BOBOT BADAN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN KAMBING KACANG (Capra hircus) YANG DIPELIHARA SECARA TRADISIONAL PADA KETINGGIAN TEMPAT YANG BERBEDA MUHAMMAD SAYUTI1), FAHRUL ILHAM1), FERDIYANTO I. HAMANI2) 1)

2)

Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo

ABSTRAK Kambing Kacang merupakan kambing lokal asli Indonesia yang berkontribusi dalam penyediaan daging nasional dan mendukung ketahanan pangan nasional. Informasi bobot badan Kambing Kacang sangat penting sebab menggambarkan seberapa banyak karkas yang dimiliki sebelum dipotong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bobot badan dan pertambahan bobot badan Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada ketinggian tempat yang berbeda. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai dengan November 2017 di Kabupaten Bone Bolango. Kambing Kacang yang digunakan yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal dari dataran rendah. Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2 minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di lapangan. Berdasarkan hasil Uji-t tidak berpasangan diperoleh bobot badan Kambing Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Rerata bobot badan awal penimbangan Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 14,70 kg/ekor dan bobot akhir penimbangan adalah 18,70 kg/ekor dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,06 kg/ekor/hari. Rerata bobot badan awal penimbangan Kambing Kacang pada dataran rendah adalah 14,20 kg/ekor dan bobot akhir penimbangan adalah 16,79 kg/ekor dengan pertambahan bobot badan harian sebesar 0,04 kg/ekor/hari. Kata Kunci: Kambing Kacang, Bobot Badan, Ketinggian Tempat ABSTRACT Kacang goat is a native goat of Indonesia that has a contribution in national meet supply and support national food security. Population and puryti of Kacang goats are very important to be preserved because Kacang goats become contributors of animal protein, particulary of lower class society. Information of Kacang goats’ body weight is crucial because it describes how many carcasses they have before being slaughtered. This research is aimed to investigate body weight, and weight gain of kacang goat farmed traditionally in different altitudes at Sub-district of Kabila Bone. The research data were collected from September to November 2017 at Bone Bolango district. The criteria of goats that become the research samples are those aged 9-12 monts (Io), sexed both male and female. Total sample are 60 goats, 30 from plateau and 30 from lowland. The body weight information is obtained by weighing every 2 weeks for 6 weeks in the morning before goats graze in the fieled. Based on unpaired t-tes, it obtains body weight of Kacang goats aged 9 to 12 monts farmed traditionally at the plateau is different from lowland (sig value for <0,01). Average initial body weight is 18.70 kg/goat with the addition of daily body weight is 0.06 kg/goat/day. Basides, the average initial body weight of Kacang goats in lowland is 14.20 Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 237

kg/goat, and final body is 16.79 kg weight the addition of daily body weight is 0.04 kg/goat/day. Keywords: Kacang Goats, Body Weight, Altitude Pendahuluan Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak yang cukup digemari masyarakat, namun skala usahanya masih bersifat usaha kecil dimana sistem pemeliharaan dan perkembangbiakannya masih secara tradisional. Kambing Kacang yang ada di Kabupaten Bone Bolango baik yang berada di daerah pegunungan maupun pesisir telah berkembang puluhan generasi dan telah beradaptasi tinggi terhadap lingkungan setempat. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mempunyai bobot hidup lebih kecil dibanding bangsa kambing lainnya. Kambing Kacang reatif lebih mudah dipelihara, cepat berkembang biak, dan tidak memerlukan lahan yang luas dalam pemeliharaanya. Ternak kambing ini disamping memberikan manfaat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging, juga merupakan ternak penghasil kulit, susu, dan feses. Kambing Kacang memiliki keunggulan sifatnya lincah, mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan angka reproduksinya cukup baik. Kambing Kacang sangat cepat berkembang biak karena pada umur 15-18 bulan sudah bisa menghasilkan keturunan. Jenis kambing tersebut cocok untuk penghasil daging karena bersifat prolifik (melahirkan anak lebih dari satu ekor). Terkadang dalam satu kelahiran menghasilkan keturunan kembar tiga setiap induknya. Kambing Kacang berkembang biak sepanjang tahun dan dapat hidup dengan pemeliharaan yang seadanya, bahkan hampir tidak memerlukan pemeliharaan sama sekali.

Sebagai penghasil daging, ternak ini digunakan sebagai

penyediaan daging alternatif untuk memenuhi gizi masyarakat, terutama pada hari raya qurban, aqikah, pesta perkawinan dan kebutuhan warung nasi/restoran, baik sebagai olahan tradisional maupun semi modern. Sistem pemeliharan ternak Kambing Kacang di Gorontalo khususnya di kabupaten Bone Bolango sebagian besar masih bersifat tradisional yaitu siang dilepas dan dibiarkan mencari pakan sendiri dan malam hari baru dikandangkan. Kambing Kacang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Kabupaten Bone Bolango, dari dataran rendah sampai dataran rendah. Kondisi alam di Kabupaten Bone Bolango yang sebagian besar dataran rendah dan dataran sedang menyebabkan terjadinya perbedaan produktivitas Kambing Kacang di kedua tempat tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

238 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

bobot badan dan pertambahan bobot badan Kambing Kacang yang di pelihara secara tradisional pada dataran rendah dan dataran sedang. Metode Lokasi penelitian ini adalah Desa Modelomo (dataran rendah) dan Desa Olele (dataran sedang) Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango. Pengumpulan data dilakukan pada bulan September sampai dengan November 2017. Kambing Kacang yang digunakan yaitu umur 9-12 bulan (Io) jenis kelamin jantan dan betina. Total kambing untuk sampel pengamatan 60 ekor, masing-masing 30 ekor berasal dari dataran sedang dan 30 ekor berasal dari dataran rendah. Bobot badan diperoleh dengan melakukan penimbangan setiap 2 minggu sebanyak 6 kali (selama 12 minggu) pada pagi hari sebelum kambing merumput di lapangan. Data bobot badan yang diperoleh selanjutnya ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan menghitung nilai rata-rata, simpangan baku, dan koefisien variasi. Guna mengetahui pengaruh ketinggian tempat terhadap perbedaan bobot badan dilakukan dengan Uji-t tidak berpasangan. Hasil dan Pembahasan Bobot Badan dan Pertambahan Bobot Badan 20,00

kg

15,00 10,00

5,00 0,00 dataran sedang dataran rendah

P1 14,70 14,2

P2 15,43 14,56

P 3 16,4 15,1

P 4 16,61 15,6

P5 17,26 16,17

P6 18,7 16,79

Gambar 1. Grafik bobot badan Kambing Kacang umur 9-12 bulan pada dataran sedang dan dataran rendah. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata bobot badan ternak Kambing Kacang, yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang lebih tinggi dibandingkan dengan ternak Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran rendah sejak penimbangan minggu pertama sampai minggu terakhir. Rata-rata bobot badan awal penimbangan pada dataran sedang adalah 14,70 kg/ekor dan di akhir penimbangan adalah 18,70 kg/ekor, sedangkan rata-rata bobot badan di awal penimbangan pada dataran rendah adalah 14,20 kg/ekor dan di akhir Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 239

penimbangan adalah 16,79 kg/ekor (Gambar 1). Semakin bertambah umur kambing maka bobot badan akan semakin besar pula, hal ini disebabkan karena ukuran tulang dan jumlah sel otot dalam tubuh juga semakin bertambah. Tabel 1. Laju pertambahan bobot badan Kambing Kacang pada dataran sedang dan dataran rendah Laju pertambahan bobot badan Ketinggian Tempat (/2 minggu) kg (/hari) kg Dataran Sedang 0,80 0,06 Dataran Rendah 0,52 0,04 Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 1), diperoleh laju pertambahan bobot badan ternak Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,80 kg/2 minggu dan dataran rendah 0,52 kg/2 minggu. Garantjang (2004), melaporkan bahwa rata-rata pertambahan bobot badan (PBB) anak Kambing Kacang jantan sebesar 61,5 g/hari dan PBB anak kambing betina sebesar 54,25 g/hari. Tingginya rata-rata pertambahan bobot badan anak kambing jantan dibandingkan dengan anak kambing betina pada semua tingkatan umur induk disebabkan karena jantan lebih lincah dalam memperoleh makanan dan air susu serta pengaruh hormon androgen yang terdapat pada jantan. Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsi pakannya. Makin tinggi bobot tubuhnya, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pakan. Menurut Sampurna dan Suatha (2010), pertumbuhan mempunyai tahap-tahap yang cepat dan lambat, tahap cepat terjadi pada saat ternak belum dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada saat dewasa tubuh tercapai. Kambing mencapai dewasa kelamin pada umur 6-10 bulan. Hormon testosteron yang mulai diproduksi setelah dewasa kelamin mempengaruhi laju pertambahan bobot badan (Soeparno, 2009). Uji Beda Antara Bobot Badan Ternak Kambing Kacang Dataran Sedang Dan Dataran Rendah Pengukuran pertambahan bobot badan ternak Kambing Kacang merupakan sesuatu yang sangat penting dilakukan. Namun demikian, sering kali peternak kambing tidak mengetahui dengan pasti perkembangan tubuh ternak kambingnya dari awal kelahiran, tahap pemeliharaan, hingga saat penjualan. Hal ini menyebabkan peternak tidak mengetahui dengan pasti produktifitas dan keuntungan nominal yang diperoleh. Berdasarkan hasil analisis uji-t tidak berpasangan diperoleh hasil bobot badan ternak Kambing Kacang yang dipelihara pada dataran sedang berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah sejak penimbangan awal hingga penimbangan akhir (Tabel

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

240 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

2). Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh jenis pakan yang dikonsumsi selama dilepas mencari pakan sendiri. Table 2. Nilai signifikansi dari hasil analisis uji-t bobot badan pada dataran sedang dan dataran rendah. Bobot Badan No Penimbangan Nilai sig. Dataran Dataran Sedang Rendah 1. I 14,70 14,20 0,002 2. II 15,43 14,56 0,002 3. III 16,40 15,10 0,000 4. IV 16,61 15,60 0,000 5. V 17,26 16,17 0,000 6. VI 18,70 16,79 0,000

Ternak Kambing Kacang

Kesimpulan Berbeda sangat nyata Berbeda sangat nyata Berbeda sangat nyata Berbeda sangat nyata Berbeda sangat nyata Berbeda sangat nyata

Hasil pengamatan di lapangan, jenis hijauan pakan yang banyak ditemukan pada dataran sedang adalah pohon gamal, kayu jawa, dan lamtoro, sedangkan pada dataran rendah adalah kayu jawa, rumput griting dan rumput teki. Kandungan nutrisi yang dimiliki vegetasi tanaman di dataran sedang dan di dataran rendah berbeda, dimana pada dataran sedang kandungan proteinnya lebih tinggi dari pada di dataran rendah (Tabel 3). Protein merupakan salah satu komponen gizi yang diperlukan oleh ternak untuk pertumbuhan. Kekurangan protein dalam pakan ternak dapat berpengaruh negatif terhadap ternak, baik pertumbuhan maupun produksinya (McDonald et al., 1988). Faktor pakan sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan pertumbuhan, sedangkan kekurangan pakan merupakan kendala besar dalam proses pertumbuhan (Syawal et al., 2013). Tabel 3. Kandungan protein hijauan ternak Kambing Kacang pada dataran sedang dan dataran rendah. No. Dataran Jenis Hijauan Kandungan Protein Kayu Jawa 18,46% 1. Sedang Lamtoro 29,82% Gamal 22,70% Kayu Jawa 18,46% 2. Rendah Rumput Griting 7,00% Rumput Teki 11,90% Sumber: Bakrie (1996) Selain faktor nutrisi, ketersediaan jumlah hijauan pakan antara kedua dataran tersebut juga berbeda, dimana jumlah pakan di dataran sedang lebih banyak dibandingkan dengan dataran rendah. Hal ini disebabkan oleh lahan di dataran rendah untuk hijauan pakan makin sempit karena lingkungannya berada dipinggiran pantai dan pekarangan rumah masyarakat. Ternak Kambing Kacang hanya mampu mengkonsumsi hijauan yang hidup disekitar tempat Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 241

tinggal masyarakat seperti, kayu jawa yang diberikan oleh peternak, selebihnya ternak Kambing Kacang mengkonsumsi rumput liar diantaranya rumput teki dan rumput griting yang kandungan proteinnya sangat rendah. Perubahan bobot badan ternak Kambing Kacang yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang dan dataran rendah, selain dipengaruhi oleh jenis pemeliharaan dan pakan juga dapat dipengaruhi oleh suhu lingkungan yang ada dikedua tempat tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Nirwan (2013) bahwa suhu dataran sedang di Kecamatan Kabila Bone adalah 24,04ºC dan dataran rendah adalah 31,96ºC. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan ternak Kambing Kacang yang ada di dataran rendah. Ternak Kambing Kacang sering mengalami kehausan dan terlalu banyak minum air, sehingga ternak lebih sedikit mengkonsumsi pakan. McDowell (2000) menyatakan bahwa ternak yang mengalami stres panas akibat meningkatnya temperatur lingkungan, fungsi kelenjar tiroidnya akan terganggu. Hal ini akan mempengaruhi selera makan dan penampilan. Ternak Kambing Kacang yang ada di dataran sedang pada lokasi penelitian, tingkat konsumsi pakannya lebih tinggi disebabkan oleh suhu udara yang lebih rendah. Makin rendah suhu udara, maka akan semakin tinggi kebutuhan akan pakan dan kemauan ternak untuk makan sangat dipengaruhi oleh penampilan bahan pakan. Ternak lebih suka pakan yang lebih memiliki rasa manis dan hambar dari pada asin dan pahit, sehingga meningkatkan selera makan ternak (Kartadisastra, 1997). Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa bobot badan ternak Kambing Kacang umur 9-12 bulan yang dipelihara secara tradisional pada dataran sedang berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan di dataran rendah. Pertambahan bobot badan harian ternak Kambing Kacang pada dataran sedang adalah 0,06 kg/hari dan dataran rendah adalah 0,04 kg/hari. Daftar Pustaka Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In: Ruminant nutrion and production in the tropics and subtropics. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. pp. 119-130. Garantjang, S. 2004. Pertumbuhan anak kambing kacang pada berbagai umur induk yang dipelihara secara tradisional. Jurnal Sains and Technology 4 (1): 40-45. Kartadisastra, H.R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

242 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

McDonald, P., R.A. Edward, dan J.F.O. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrion. 4th Ed. Longman Scientific and Technical. John Willey and Sons Inc. New York. pp. 445884. McDowell, R.E. 2000. Improvement of livestock production in warm climates. W.H. Freeman and Co. San Fransisco. Nirwan. 2013. Laporan Geografi. Universitas Negeri Gorontalo. Gorontalo [NRC] National Research Council. 2006. Nutrient Requirements of Small Ruminants (Sheep, Goats, Cervids, and New World Camelids). National Academic Press. Washington D.C. Sampurna, I.P. dan I.K. Suatha. 2010. Pertumbuhan Alometri. Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Syawal, S., B.P. Purwanto, dan I.G. Permana. 2013. Studi hubungan respon ukuran tubuh dan pemberian pakan terhadap pertumbuhan sapi pedet dan dara. JITP 2 (3): 175-188. Thalib, A. 2004. Uji efektivitas saponin buah Sapindus rarak sebagai inhibitor metanogenesis secara in vitro pada sistem pencernaan rumen. JITV 9 (3): 164-171.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 243

Bidang Penelitian Perikanan dan Kelautan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

244 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

LAJU PERTUMBUHAN SPONS Haliclona sp PADA KEDALAMAN BERBEDA DENGAN METODE VERTIKAL DI PULAU DULOWONU BOALEMO (GROWTH OF SPONGE Haliclona sp IN DIFFERENT DEPTHS WITH VERTICAL METHOD IN DULOWONU ISLANDS BOALEMO) *SRI YUNINGSIH NOOR DAN ZULRINA PAUDI Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gorontalo *Email: [email protected] ABSTRAK Spons merupakan hewan laut yang dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang bermanfaat sebagai antibiotik, anti jamur, anti virus, anti kanker, anti inflamasi dan antioksidan. Oleh sebab itu dilakukan pengembangan teknologi budidaya spons. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui laju pertumbuhan spons Haliclona sp pada kedalaman yang berbeda dengan metode vertikal. Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan yaitu; perlakuan A (kedalaman 1 meter), perlakuan B (kedalaman 3 meter), perlakuan C (kedalaman 5 meter). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan C memiliki laju pertumbuhan tertinggi yaitu 2,97%; perlakuan B memiliki laju pertumbuhan 2,83%; dan perlakuan A dengan laju pertumbuhan terendah yaitu 2,75%. Panjang mutlak (Pm) tertinggi terdapat pada perlakuan C sebesar 24,81 cm, perlakuan B dengan Panjang mutlak (Pm) 22,16 cm, dan perlakuan A dengan Panjang mutlak (Pm) terendah yaitu 20,62 cm. Kondisi kualitas air selama penelitian menunjukkan suhu berkisar antara 29ºC - 30ºC; salinitas 34-34 ppt; DO 5,15-5,35 ppm; pH 8-8,3; kecerahan 8 meter dan kecepatan arus 2,60-5,37 cm/detik. Kata Kunci: Pertumbuhan Spons, Haliclona sp, Metode Vertikal ABSTRACT Sponges are marine organisms which known to be able to produce bioactive metabolite as antibiotic, antifungal, antivirus, anticancer, antiinflammation, and antioxidant. Therefore, further investigated agriculture technology of sponge. The aim of the research is to determine growth rate of the sponge Haliclona sp in different depths by using vertical method. This research using Completely Randomized design Method with three different treatments and three time repetitions; treatment A (1 meter depth), treatment B (3 meters depths), and treatment C (5 meters depths). The research result showed that treatment C have a good growth rate of 2.97%: treatment B has growth rate of 2.83%; and treatment A has the lowest growth rate of 2,75%. Absolute length 29°C-30°C; salinity 34-34 pt; DO 5.15-5.35 ppm; pH 8-8.3; brightness about 8 meters and flow velocity from 2.60-5.37 cm/sec. Keyword: Growth of Sponge, Haliclona sp, Vertical Method Pendahuluan Salah satu biota laut yang banyak diteliti selain ikan ialah spons. Wilayah laut Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran terbesar spons di dunia dan diperkirakan terdapat sekitar 850 spesies yang hidup tersebar di wilayah ini (Hooper dan Van Soest, Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 245

2002). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa biota laut seperti spons dan biota laut lainnya memiiki potensi yang sangat besar dalam menghasilkan senyawa - senyawa aktif yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Ismet, 2007). Penggunaan metode vertikal untuk budidaya spons merupakan tradisi yang sudah cukup lama di Mediterania, Florida dan Kuba. Budidaya spons saat ini bertujuan untuk memproduksi spons mandi. Namun, usaha pengembangan budidaya spons untuk sediaan bahan bioaktif masih sangat jarang (Duckworth & Battershill, 2003; Hades et al., 2005; Page et al., 2005). Untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan spons di alam, maka diperlukan berbagai upaya termasuk budidaya organisme ini (Koopmans et al., 2009). Budidaya spons sudah berkembang dan terus meningkat semenjak penemuan bahan hayati laut dari spons dimanfaatkan. Kebutuhan akan bahan hayati laut terus meningkat terutama disebabkan perkembangan biofarmasi untuk mendapatkan obat baru yang dibutuhkan oleh manusia (Page et al., 2005). Budidaya terhadap biota laut khususnya spons harus tetap dilakukan untuk terus menjaga keseimbangan ekosistem laut dan kelestarian biota laut lainnya. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian dengan judul “Laju Pertumbuhan Spons (Haliclona sp) pada Kedalaman Berbeda dengan Metode Vertikal di Perairan Pulau Dulowonu” yang nantinya hasil dari penelitian ini bisa digunakan sebagai sumber informasi dan referensi untuk mahasiswa, pengusaha atau instansi terkait dalam hal melaksanakan kegiatan budidaya spons. Metode Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Dulowonu Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo (Gambar 1). Penentuan stasiun pengamatan dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu transportasi, kualitas dan kuantitas perairan, ketersediaan bibit tidak jauh dari pengambilan bibit, dan daerah tersebut memiliki kedalaman pada surut terendah yaitu 1 sampai 3 m. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu DO meter, current meter, refraktometer, secchi disk, pisau, baskom, mistar, nilon, alat tulis menulis, kamera, dan jaring. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu spons Haliclona sp.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

246 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (bendera biru) Prosedur Penelitian Bibit spons Haliclona sp berasal dari alam di Perairan Desa Tabulo Selatan, Kecamatan Mananggu, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Bibit spons yang sudah disiapkan terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran atau organisme penempel. Selanjutnya dilakukan pemotongan spons di atas kapal dengan menggunakan pisau dan dilakukan dalam wadah berisi air laut yang diberi aerasi. Selama proses pemotongan air laut dalam wadah diganti beberapa kali. Spons dipotong dengan ukuran panjang yang sama sebesar 3 cm. Untuk mengurangi stress selama pengangkutan dan pemotongan, maka spons induk yang belum dipotong ditaruh di dalam keranjang tali yang dihanyutkan di samping kapal. Spons yang telah dipotong diambil lalu diletakkan pada tali nilon. Spons tidak diikatkan pada tali namun tali ditusukkan di bagian tengah spons hingga tembus. Setiap untaian terdapat 42 fragmen spons dengan jarak 10 cm. Kemudian untaian diletakkan pada wadah lain yang diaerasi dan beberapa kali dilakukan pergantian air. Pengikatan spons pada rak percobaan (jaring) dilakukan dalam air. Pembuatan konstruksi budidaya diawali dengan menggunakan tali panjang yang dibentangkan. Teknik budidaya spons dengan metode ini adalah menggunakan tali sesuai kebutuhan banyaknya wadah yang digunakan untuk budidaya, kedua ujung tali diberi

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 247

jangkar dan pelampung utama, dan pada setiap jarak perlakuan diberi pelampung berupa potongan styrofoam/karet sendal jepit atau botol air mineral bekas 1500 ml. Perlakuan yang diuji cobakan adalah kedalaman yang berbeda dengan metode vertikal. Penelitian ini disusun dengan menggunakan 3 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali ulangan jadi terdapat 9 unit percobaan. Sebagai acuan dalam perlakuan ini yaitu penelitian dari Yusnaini et al., (2013) dimana kedalaman jarak tanam yang baik yaitu 3 meter dengan pertumbuhan mutlak sebesar 15,57 cm. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan dengan membedakan kedalaman jarak tanam pada bibit spons dengan perlakuan

sebagai berikut: (1) Perlakuan A

(kedalaman 1 meter), (2) Perlakuan B

(kedalaman 3 meter), (3) Perlakuan C (kedalaman 5 meter) (Gambar 2). Perawatan spons (Haliclona sp) dilakukan dengan membersihkan media dari gangguan alga yang tumbuh pada wadah dan kotoran lain yang terbawa arus. Teknik pengukuran dan pengambilan data pertumbuhan bibit spons dilakukan setiap 15 hari sekali selama 75 hari penelitian agar perkembangan spons terlihat nyata dan dapat terukur menggunakan mistar. Penghitungan ukuran dilakukan di darat menggunakan analisis foto dokumentasi. Ulangan I

Ulangan II

A1

Ulangan III

A2

A3 B2

1 meter 3 meter

B1 C

B3 C1

C3

5 meter

Gambar 2. Tata letak wadah percobaan Analisis Data 1. Laju Pertumbuhan Spesifik (LPS) Laju pertumbuhan spesifik dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2003): LPS =

ln 𝑃𝑡 − ln 𝑃𝑜 𝑥 100% t

Keterangan: LPS : Laju pertumbuhan spesifik (cm) Pt : Panjang spons rata-rata pada waktu akhir (cm) P0 : Panjang spons rata-rata pada waktu awal (cm) t : Lama penelitian (hari)

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

248 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

2. Pertumbuhan Panjang Mutlak (Pm) Pertumbuhan panjang mutlak dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 2003): Pm = Pt – P0 Keterangan: Pm : Pertumbuhan panjang mutlak (cm) Pt : Panjang spons pada waktu ke-t (cm) P0 : Panjang spons pada waktu awal (cm) 3. Analisis Ragam Hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Menurut Hanafiyah (2014), rumus yang digunakan yaitu: Yij = 𝜇+ ∝ 𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 Keterangan: Yij : Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j 𝜇 : Rata-rata umum ∝ 𝑖 : Pengaruh perlakuan i 𝜀𝑖𝑗 : Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j 4.

Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan terhadap laju pertumbuhan dilakukan uji

Beda Nyata Terkecil (BNT). Rumus uji Beda Nyata Terkecil (BNT) (Hanafiah, 2014): 2𝐾𝑇𝐺

BNT (α) = t (α) (db galat) x √ Keterangan: BNT (α) t (α) db galat KTG r

𝑟

: Uji Beda Nyata Terkecil Taraf (5%) atau (1%) : Taraf Pengujian (5%) atau (1%) : Derajat Bebas Galat : Kuadrat Tengah Galat : Jumlah Ulangan

Hasil dan Pembahasan Laju Pertumbuhan Spesifik Bersadarkan Gambar 3 laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) mengalami peningkatan pada setiap perlakuan. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) berkisar antara 2,75% - 2,97%. Rata-rata pertumbuhan spesifik secara berurutan yaitu perlakuan A sebesar 2,75%, perlakuan B sebesar 2,83%, dan perlakuan C sebesar 2,97%. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) Perlakuan A memiliki laju pertumbuhan spesifik yang terendah dari keseluruhan perlakuan yaitu sebesar 2,75%. Penanaman dengan kedalaman jarak tanam 1 meter menyebabkan keterlambatan

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 249

pertumbuhan spons bila dibandingkan dengan perlakuan lain. Hal ini dimungkinkan terjadi karena fluktuasi kualitas perairan. Sesuai dengan pernyataan Pong-Masak et al., (2013), bahwa pertumbuhan spons sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan seperti suhu, arus dan salinitas yang dapat berubah-ubah karena pengaruh cuaca. Laju Pertumbuhan Spesifik 2,97 LPS (%)

3 2,8

2,83 2,75

2,6 A

B Perlakuan

C

Gambar 3. Laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) Perlakuan B memiliki laju pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan A yaitu sebesar 2.83%. Hal ini diduga karena kualitas perairan pada kedalaman 3 meter cenderung tetap atau tidak berubah-ubah. Selain itu cahaya matahari juga berpengaruh terhadap pertumbuhan spons. Menurut pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa cahaya matahari dalam bentuk radiasi ultra violet (UV) adalah faktor pembatas bagi pertumbuhan spons di perairan dangkal. Hal ini didukung oleh Yusnaini et al., (2013) dimana laju pertumbuhan spesifik yang tertinggi dengan nilai 1,36% terdapat pada kedalaman jarak tanam 3 meter. Perlakuan C dinyatakan sebagai kedalaman jarak tanam yang baik bila dibandingkan dengan perlakuan A dan B. Sesuai pernyataan Suparno et al., (2009), bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan spons pada kedalaman yang berbeda antara lain intensitas cahaya matahari, kesediaan makanan dan kompetisi ruang. Sebagai hewan filter feeder yang menetap, hidup spons sangat bergantung kepada makanan terutama bahan organik yang berada disekitarnya. Di Great Barrier Reef, spons umumnya hidup pada kedalaman 10 meter. Selanjutnya dikemukakan oleh Wilkinson et al., (1999) bahwa sinar ultra violet menjadi salah satu faktor pembatas distribusi spons yang dapat mengakibatkan stres. Untuk mengetahui pengaruh kedalaman jarak tanam terhadap laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp), maka dilakukan analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap. Hasil analisis ragam laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp) menunjukkan bahwa kedalaman jarak tanam memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik spons (Haliclona sp). Keputusan ini diambil berdasarkan perbandingan antara nilai FHitung (35) lebih besar dari nilai FTabel pada taraf 5% (5,14) maupun pada taraf 1% (10,92). Jika FHitung > FTabel taraf 5% atau 1% maka H1 diterima dan H0 ditolak. Untuk mengetahui perlakuan mana yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

250 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

(Beda Nyata Terkecil) dengan taraf 5% dan 1%. Hasil uji BNT laju pertumbuhan spesifik spons Haliclona sp pada taraf 5% dan 1% dapat dijelaskan bahwa perlakuan C memberikan pengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan spons (Haliclona sp) dan merupakan perlakuan yang baik pada penelitian ini. Artinya perlakuan yang diberikan berbanding lurus dengan pertumbuhan spons, dimana pada penelitian ini semakin dalam jarak tanam yang diberikan, maka semakin baik pertumbuhan spons. Pertumbuhan Mutlak Pertumbuhan mutlak spons Haliclona sp ditunjukkan pada Gambar 4. Pertumbuhan mutlak terendah terdapat pada perlakuan A dengan nilai sebesar 20,62 cm. Perlakuan B dengan pertumbuhan mutlak sebesar 22,16 cm, dan pertumbuhan mutlak perlakuan C yaitu sebesar 24,81 cm. Hasil yang diperoleh dari keseluruhan perlakuan selama penelitian menunjukkan peningkatan pertumbuhan mutlak yang berbanding lurus dengan peningkatan kedalaman jarak tanam bibit spons, dimana pertumbuhan mutlak meningkat pada peningkatan kedalaman jarak tanam.

Panjang (cm)

Pertumbuhan Mutlak 40

20,62

22,16

24,81

20 0 A

B Perlakuan

C

Gambar 4. Laju pertumbuhan mutlak spons (Haliclona sp) Sesuai dengan penjelasan Pong-Masak et al., (2013) bahwa kedalaman jarak tanam yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap nilai pertumbuhan mutlak. Namun kedalaman jarak tanam yang lebih dalam tidak selalu menghasilkan pertumbuhan mutlak yang lebih tinggi tergantung pada kondisi lingkungan dan kualitas perairan pada lokasi penelitian. Sesuai dengan pernyataan Suparno et al., (2009) bahwa pada lingkungan dan kualitas air yang berbeda akan menghasilkan respon pertumbuhan yang relatif berbeda. Kualitas Air Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, salinitas, DO, pH, kecerahan air, dan kecepatan arus yang diamati 5 kali selama 75 hari proses penelitian. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan beberapa Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 251

parameter kualitas air secara umum masih berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan spons. Tabel 1. Kisaran Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama Penelitian Parameter Kualitas Air Suhu (°C) Salinitas (ppt) DO (ppm) pH Kecerahan (m) Kecepatan Arus (cm/dtk)

Nilai Kualitas Air selama Penelitian 29 – 30 34 – 35 5,15 – 5,35 8 – 8,3 8 2,60 – 5,37

Kisaran Kualitas air Optimal 27 – 30 34 – 35 5–6 8 – 8,5 8,3 – 9,6 2,13 – 5,36

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan kedalaman jarak tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan spons (Haliclona sp) yang dibudidayakan dengan metode vertikal. Perlakuan C dengan kedalaman jarak tanam 5 meter memiliki laju pertumbuhan spesifik dan pertumbuhan mutlak yang paling tinggi yaitu 2,97 % dan 24,81 meter. Daftar Pustaka Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Developing Farming Structures for Productions of Biologically Acive Sponge Metabolites. Aquaculture 217: 139 – 156. Duckworth AR, Battershill CN. 2003. Sponge Aquaculture for the Production of Biologically Active Sponge Metabolites. The Influence of Farming Protocols and Environment. Aquaculture 221: 311 – 329. Effendie, I. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta Hades E. Sphigel M, Ilan M, 2005. Sea Ranching of the Marine Sponge Negombata Magnifica (Demospongiae, Latruncullidae) as a First Step for Latrunculin B Mass Production. Aquaculture 244: 159 – 169. Hanafiah. 2014. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hooper dan Van Soest. 2002. Systema Porifera: A Guide to the Classification of Sponges. Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York, (USA). Ismet, M.S. 2007. Penapisan Senyawa Bioaktif Spons Aaptops dan Petrosia sp, dari Lokasi yang Berbeda. Thesis. Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Bandung. Page, M.J., P.T. Northcote, V.L. Webb, S. Mackey & S.J. Handley. 2005. Aquaculture trials for the production of biologically active metabolites in the New Zealand sponge Mycale hentscheli (Demospongiae: Poecilosclerida). Aquaculture. 250:256–269. doi: 10.1016/j.aquaculture. 2005. 4. 69

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

252 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Pong-Masak, Rachmansyah, Rosmiyati, Tjaronge, Suryati. 2013. Teknologi Budidaya Sponge (Haliclona sp dan Callispongia sp) pada Rakit Apung di Laut. Loka Penelitian dan Pengembangan Budidaya Rumput Laut dan balai Penelitian dan Pengembangan Bididaya Air Payau. Suparno, D. Soedharma, N.P. Zamani & R. Rachmat. 2009. Transplantasi Spons Laut Petrosia nigricans. Ilmu Kelautan. 14(4):54-61. Wilkinson, C, R., Roger ES., Elizabeth E., 1999. Light as a Factor Determoning the Distribution of Sponges across the Central Great Barrier Reaf. Proceeding of the 5th International Coral Reef Congress; Tahiti, 27 May-1 June 1985.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 253

ANALISIS TINGKAT PEMANFAATAN IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) DI PERAIRAN KOTA GORONTALO (Utilization Level of Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) at Gorontalo City Coastal) NURUL AULIYAH1* DAN FITRI SURYANENGSIH2 1

Staf Pengajar Program Studi Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Gorontalo 2 Mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Gorontalo *Email: [email protected]

ABSTRAK Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) adalah spesies tuna yang ditemukan di perairan pelagik samudera tropis dan subtropis di seluruh dunia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui produksi maksimum lestari (MSY) ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) dan upaya penangkapan optimum pada perairan Kota Gorontalo serta mengetahui tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares). Analisis data dilakukan tiap upaya tangkapan, tingkat pemanfaatan, analisis secara deret waktu (time series). Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah produksi maksimum lestari (MSY) untuk penangkapan ikan Tuna Sirip Kuning pada perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127 ton/unit/tahun, dengan upaya penangkapan (f optimum) sebesar 56.209 unit/tahun. Nilai produksi tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pada tahun 2015 sebesar 11.267 ton/tahun dan nilai produksi terendah pada tahun 2011 sebesar 2.829 ton/tahun. Hasil analisis tingkat pemanfaatan terhadap ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) yang ada di perairan Kota Gorontalo sebesar 61,48% dengan tingkat pemanfaatan dikategorikan dalam pemanfaatan under eksploited. Kata Kunci: Ikan Tuna Sirip Kuning, MSY, Tingkat Pemanfaatan ABSTRACT Yellow Fin Tuna (Thunnus albacares) is one of species tunas were found on tropic and sub tropic ocean. The aimed of this research to determinate maximum sustainable yield (MSY) of yellow fin tuna (Thunnus albacares) and optimum effort in Gorontalo City Coastal, to know the empowerment level of yellow fin tuna. Data analyzed conduct on the catch per unit effort and empowerment level, time series analysis. The result shown that maximum sustainable yield (MSY) for yellow fin tuna catches in Gorontalo City waters is 9767,13 ton/unit/year while catching effort (f optimum) is 56209 unit/year. The Highest yield of yellow fin tuna in 2015 that is 11.267 ton/year and the lowest yield in 2011 that is 2829 ton/year. The result of empowerment level analysis result shown that is 61 % where it’s mean that under exploited. Keyword: Yellow Fin Tuna, MSY, The Empowerment Level Pendahuluan Potensi perikanan laut Indonesia terdiri dari potensi perikanan pelagis dan demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia seperti pada perairan laut teritorial, nusantara dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ikan Pelagis adalah kelompok ikan

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

254 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air. Ciri utama ikan pelagis adalah dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol dan lain-lain. Kedua, ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung (Fadhli, 2015). Beberapa istilah lain untuk jenis ikan tuna sirip kuning adalah tuna madidihang, yellow fin-tuna (Inggris) dan Thunnus albacares (latin). Salah satu ciri utama tuna sirip kuning adalah garis berwarna kuning yang terdapat di sepanjang sisi kiri dan sisi kanan ikan tuna. Garis kuning tersebut akan tampak jelas apabila terkena cahaya. Hidupnya bergerombol dan bergerak sangat cepat sehingga sulit ditangkap. Potensi ikan tuna jenis sirip kuning di Indonesia sangat besar sebab jenis tersebut merupakan jenis terbanyak yang terdapat di perairan laut Indonesia. Wilayah kelautan dengan sumber daya ikan tuna sirip kuning terbesar di Indonesia adalah Laut Flores dan Selat Makassar (Gufran, 2011). Salah satu jenis sumberdaya ikan laut yang mempunyai nilai ekonomis penting dan mempunyai prospek yang baik adalah ikan tuna madidihang. Secara ekonomis ikan tuna memberikan kontribusi besar yang ditunjukkan oleh sebagian besar masyarakat pesisir memiliki pekerjaan sebagai nelayan baik pada usaha penangkapan, pengolahan, perdagangan dan industri penunjang. Keadaan ini dapat dilihat jelas di Provinsi Gorontalo khususnya di wilayah administrasi Kota Gorontalo. Ikan madidihang juga tercatat sebagai komoditi ekspor baik dalam bentuk segar, beku maupun olahan. Dari ekspor, negara Indonesia khususnya Gorontalo mendapat tambahan devisa yang penting bagi keseimbangan neraca perdagangan luar negeri (DPK, 2010). Berdasarkan penjelasan tersebut maka perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui produksi maksimum lestari terhadap Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares). Metode Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 2 (dua) bulan mulai bulan Mei sampai dengan Juni, dilakukan di perairan Kota Gorontalo. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain buku catatan digunakan untuk mencatat data, kuisioner digunakan sebagai bahan pertanyaan kepada nelayan, dan kamera digunakan sebagai alat dokumentasi saat penelitian dilaksanakan. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 255

Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: Data Primer yaitu data yang akan diperoleh selama penelitian berupa produksi tangkapan, trip dan jumlah alat tangkap. Data sekunder yaitu data-data pendukung yang berasal dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Gorontalo diantaranya data alat tangkap dan produksi perikanan. Analisis Data Data-data kemudian dianalisis dengan beberapa analisa data sebagai berikut: Pendugaan stok dilakukan berdasarkan data alat tangkap, jumlah armada dan produksi perikanan tahun 2011-2015. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menilai hasil tangkapan ikan dengan upaya penangkapan (Catch Per Unit Effort), menggunakan rumus Gulland (1991). 𝐶

…………………………………………… (1)

𝐶𝑃𝑈𝐸𝑖 = 𝑓𝑖 𝑖

Dimana:

Ci = Hasil tangkapan ke-i (kg), fi

= Upaya penangkapan ke-i (trip),

CPUE = Catch per Unit Effort. Data hasil usaha tangkapan (CPUE) dan upaya penangkapan (Effort) yang didapatkan dianalisa. Hubungan keduanya akan digambarkan dengan grafik parabola melalui persamaan regresi (Schaefer, 1957). …………………………………………… (2)

𝑌 = 𝑎 + 𝑏𝑋 Dimana:

y

= CPUE (kg/unit baku)

x

= upaya penangkapan (unit baku)

a, b = konstanta Upaya penangkapan optimum (f opt. ) = Maximum Sustainable Yield (MSY) =

𝑎 2𝑏

𝑎² 4𝑏

…………………………………… (3) …………………………………… (4)

Dari rumus tersebut maka akan dilakukan analisis TAC (Total Allowable Catch) Tingkat Pemanfaatan dapat dirumuskan sebagai berikut: Tingkat Pemanfaatan =

Ci

x 100%

………………………..………………… (5)

MSY Ci

= Jumlah tangkapan pada tahun ke-i

TAC = Total Allowable Catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan yaitu 80% dari nilai MSY) Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

256 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

Hasil dan Pembahasan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Tenda secara astronomi terletak di antara 0°30'38" Lintang Utara (LU) dan 123°03'42" Bujur Timur (BT), berada di Kelurahan Tenda, Kota Gorontalo. Lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan Tenda yang berada di muara sungai Bone Bolango dan berada dekat dengan Teluk Tomini secara alami terlindung dari ombak dan angin yang bertiup dominan dari arah barat walaupun pada musim angin timur PPI harus berhadapan dengan gelombang besar. Posisi Tanjung Keramat yang berbukit turut melindungi PPI dari terpaan angin Barat. Lebar sungai juga memungkinkan untuk lalu lintas perahu/kapal dalam jumlah yang cukup. Hasil Tangkapan per Satuan Upaya (CPUE) Berdasarkan data yang diperoleh, bahwa hasil tangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di perairan Kota Gorontalo yang paling banyak didaratkan di PPI Tenda, alat tangkap dominan yang digunakan untuk menangkap tuna sirip kuning (Thunnus albacares) adalah pancing ulur (handline). Hasil tangkapan per unit satuan upaya yang diperoleh dari tahun 2011-2015 untuk wilayah perairan Kota Gorontalo memiliki jumlah 613 ton/tahun, dengan nilai rata-rata adalah 123 ton/tahun. Hasil perhitungan CPUE dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. CPUE Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) di Perairan Kota Gorontalo Trip produksi Produksi perikanan CPUE Tahun perikanan laut (Catch) (Ton/Trip) (Effort) 2011 35.248 4.226 119,89 2012 13.641 4.173 305,88 2013 91.951 5.055 54,97 2014 115.263 7.038 61,06 2015 143.127 5.143 35,93 Sumber: Pengolahan Data (2016) Berdasarkan Tabel 1, nilai CPUE tertinggi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pada tahun 2012 sebesar 305,88 ton/tahun dan nilai CPUE terendah pada tahun 2015 sebesar 35,93 ton/tahun. Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ikan tangkap di perairan Kota Gorontalo adalah kapasitas kapal nelayan. Sebagian besar kapal nelayan masih di bawah 30 gross ton sehingga hanya dapat beroperasi di kawasan perairan pesisir dan tentunya tidak mampu mendapatkan hasil yang banyak. Perubahan nilai CPUE juga setiap tahun dipengaruhi oleh penambahan atau pengurangan jumlah trip (effort). Nabunome (2007) menjelaskan bahwa nilai CPUE berbanding terbalik dengan nilai effort, dimana setiap Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 257

penambahan effort akan mengurangi hasil tangkapan per unit usaha (CPUE). Hal ini disebabkan sumberdaya akan cenderung menurun apabila usaha penangkapan yang dilakukan terus meningkat. Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), mencerminkan perbandingan antara hasil tangkapan dengan unit effort. Hasil tangkapan pada prinsipnya adalah output dari kegiatan penangkapan, sedangkan effort yang diperlukan pada prinsipnya merupakan input dari kegiatan penangkapan tersebut. Dalam istilah ekonomi produksi perbandingan antara ouput dengan input mencerminkan tingkat efisiensi tehnik dari setiap penggunaan input. Oleh karena itu, besaran CPUE dapat juga digunakan sebagai indikator tingkat efisiensi tehnik dari pengerahan upaya (effort). Dengan kata lain nilai CPUE yang lebih tinggi mencerminkan tingkat efisiensi penggunaan effort yang lebih baik (Nabunome, 2007). Perhitungan CPUE harus dilakukan standarisasi alat tangkap terlebih dahulu karena berdasarkan data produksi bahwa alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap ikan tuna sirip kuning adalah alat tangkap pancing ulur (handline). Untuk penstandaran alat tangkap perlu diketahui adanya jumlah trip sehingga nantinya akan diketahui pula nilai CPUE masing-masing alat tangkap dan tingkat Maximum Sustainable yield (MSY). Berdasarkan produksi dan trip maka dapat dihitung nilai CPUE alat tangkap, dengan rumus catch (produksi) alat tangkap dibagi dengan effort (trip) alat tangkap.

160.000

143.127

Trip Produksi (Effort)

140.000 115.263

120.000 91.951

100.000 80.000 60.000

40.000

35.248 13.641

20.000 0 2011

2012

2013

2014

2015

Gambar 7. Perkembangan trip produksi (Effort) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di perairan Kota Gorontalo Dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015) data trip hasil tangkapan khususnya pada ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo, dimana trip terendah pada tahun 2012 adalah 13.641 dan trip tertinggi pada tahun 2015 Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

258 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

adalah sebesar 143.127. Dengan jumlah keseluruhan adalah 399.230 dan rata-rata per tahun adalah 79.846. 8.000 7.038

Produksi Per Tahun (Cacth)

7.000 6.000

5.143

5.055 5.000

4.226

4.173

2011

2012

4.000 3.000 2.000 1.000 -

2013

2014

2015

Gambar 8. Perkembangan produksi per tahun (Catch) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di perairan Kota Gorontalo Adapun produksi per tahun (Catch) dalam periode lima tahun terakhir (2011-2015) untuk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ditangkap di perairan Kota Gorontalo mengalami kenaikan dan penurunan jumlah hasil produksi di setiap tahunnya. Hal ini terlihat pada produksi tahun 2011 sebesar 4.226 ton/tahun dan mengalami penurunan jumlah produksi pada tahun 2012 menjadi 4.137 ton/tahun. Kenaikan terjadi pada tahun 2013 dari 5.055 ton/tahun hingga tahun 2014 menjadi 7.038 ton/tahun. Hal itu tidak bertahan lama karena terjadi penurunan yang cukup besar di tahun 2015 menjadi 5.143 ton/tahun sehingga diperoleh jumlah rata-rata per tahun adalah 5.127 ton/tahun. Dengan demikian diperoleh produksi terendah sebesar 4.173 ton/tahun pada tahun 2012 dan produksi tertinggi sebesar 7.038 ton/tahun pada tahun 2014. Hubungan CPUE dan Effort Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan tuna sirip dengan persamaan CPUE = 0,3475 – 0,0006x dengan R² = 0,855 artinya penurunan effort sebesar 0,0006 akan menurunkan jumlah tangkapan sebesar 0,3475 ton dengan tingkat kepercayaan sebesar 0,85 %.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 259

0,45 0,4 0,35

CPUE = 0,3475 - 3E-06x R² = 0,5657

CPUE

0,3 0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0

20000

40000

60000

80000

100000

Effort (Trip)

Gambar 9. Grafik hubungan antara CPUE dengan (Effort) pada penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) Tingkat Produksi Lestari (MSY) Penentuan MSY dilakukan dengan menggunakan model surplus produksi dari Scheafer. Total hasil tangkapan dinyatakan sebagai fungsi kuadratik dari total effort yang menangkap jenis perikanan tersebut, dimana kurva mulai dari titik origin (0,0). Tujuan menggunakan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang atau hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Penelitian ini menggunakan data produksi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2011 - 2015). Berdasarkan analisis hasil regresi diperoleh konstanta (a) sebesar 0,0006x dan (b) sebesar 0,3475. Dengan menggunakan metode Scheafer maka diperoleh hasil dugaan potensi maksimum lestari sumberdaya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares)

di perairan Kota Gorontalo yaitu hasil

tangkapan lestari (FMSY) sebesar 73.121,486 ton/tahun dengan upaya penangkapan lestari (MSY) sebesar 9.304.711,15 trip/tahun. Kurva potensi maksimum lestari dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 4, tahun 2015 memiliki jumlah upaya penangkapan yaitu sebesar 143.127, akan tetapi hasil tangkapan kurang yaitu hanya sebesar 5.143 ton/tahun. Pada tahun 2015 kondisi sumberdaya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) melimpah, akan tetapi pemanfaatan sumberdaya yang kurang optimal sehingga hasil tangkapan yang didapatkan nelayan sedikit . Adapun peningkatan upaya penangkapan Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

260 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

disebabkan oleh jumlah kapal dan alat tangkap yang bertambah, sehingga upaya penangkapan dan persaingan antar nelayan bertambah tinggi. Menurut Wijayanto (2008), prinsip MSY adalah apabila level produksi yang dipanen surplus, maka tidak akan mengganggu kelestarian stok dari sumberdaya ikan yang ada. Hal ini berarti usaha penangkapan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) akan tetap lestari apabila hasil tangkapan tidak melebihi CMSY.

POTENSI MAKSIMUM LESTARI 12000000

MSY 9.767.127

10000000

Produksi

8000000 6000000 4000000 2000000

FMSY 56.209

0

0

20000

40000

60000 Usaha

80000

100000

120000

Gambar 10. Hubungan produksi dan trip Tingkat produksi lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang ada di wilayah perairan Kota Gorontalo sebesar 9.767.127 sedangkan upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pada perairan tersebut hanya sebesar 56.209. Hal ini diduga karena pemanfaatan terhadap sumberdaya kurang optimal sehingga produksi hasil tangkapan sedikit. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Tuna Sirip Kuning (Thunnus albacares) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dapat diketahui setelah didapatkan MSY. Kemudian dihitung dengan cara mempersentasekan jumlah hasil tangkapan pada tahun tertentu terhadap JTB (Jumlah Tangkapan yang dibolehkan). Menurut Dahuri (2010), JTB tersebut adalah 80% dari potensi maksimum lestari (CMSY). Berdasarkan nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir tingkat pemanfaatan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) belum

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 261

optimum. Hal tersebut dilihat dari persentase pemanfaatan sebesar 61,48% dianggap masih berada di bawah under eksploited. Menurut Fauzi (2005), sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bersifat dapat diperbaharui (renewable), namun dalam memperbaharui kembali dirinya berjalan secara lambat sekali. Jika dieksploitasi jauh melebihi dari kemampuan sumberdaya untuk membentuk diri kembali, mengakibatkan sumberdaya tersebut menjadi tidak dapat diperbaharui lagi (non renewable). Pengelolaan sumberdaya perikanan yang baik yaitu dengan memanfaatkan populasi ikan tanpa harus menguras habis sumberdaya perikanan tersebut. Jika pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan dengan cara melakukan penangkapan ikan secara terus menerus tanpa memperhitungkan kemampuan sumberdaya tersebut untuk memperbaharui, akibatnya akan membahayakan bagi persediaan ikan (over fishing). Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Potensi Maksimum Lestari (MSY) ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) sebesar

9.304.711,15 dimana potensi sumberdaya dinilai tinggi akan tetapi tidak sejalan dengan upaya penangkapannya (FMSY) yang hanya sebesar 73.121,48. 2. Tingkat pemanfaatan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) belum optimum dilihat

dari persentase pemanfaatan hanya sebesar 61,48%. Daftar Pustaka Dahuri, R. 2010. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Fadhli, M. 2015. Klasifikasi Alat Penangkapan Ikan Indonesia. Balai Besar Pengambangan Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Fauzi, A. dan Suzy Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan (untuk Analisis Kebijakan). PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 343 hlm. Gufran, M. dan N.K. Kordi. 2011. 32 Ikan Laut Ekonomis. Lily Publisher. Yogyakarta. Nabunome, W. 2007. Model Analisis Bioekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Demersal (Studi Empiris di Kota Tegal, Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Wijayanto, D. 2008. Buku Ajar Bioekonomi Perikanan, FIKP, UNDIP. Semarang. 165 hlm.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

262 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

TINGKAT KESUKAAN LEBAH MADU HUTAN (Apis dorsata) TERHADAP PAKAN DI KAWASAN HUTAN LINDUNG DESA UELINCU KECAMATAN PAMONA UTARA KABUPATEN POSO LISTIANINGSI D. WANUNDO Fakultas Pertanian Universitas Kristen Tentena Poso Email: [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis pakan yang disukai oleh lebah madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso. Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung terhadap pakan yang dikunjungi lebah madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung serta wawancara langsung dengan petani yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literature dan informasi dari stakeholder yang berkaitan dengan penelitian ini. Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang bermukim di sekitar kawasan Hutan Lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari pucuk daun serta bunga atau buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku literatur tumbuhan. Hasil penelitian menunjukan bahwa lebah menyukai nektar yang merupakan pakan bagi lebah pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun menjamin kekuatan koloni lebah madu hutan, yang terdiri dari 25 tanaman/tumbuhan pertanian, perkebunan dan kehutanan yang berperan sebagai tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu di kawasan hutan lindung Desa Uelincu. Kata Kunci: Pakan Lebah, Lebah Madu Hutan, Petani Pemanen Madu Pendahuluan Hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam pemanfaatannya memiliki keunggulan dibanding hasil kayu. Salah satu keunggulan HHBK yaitu tidak menimbulkan kerusakan yang besar terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu, sehingga HHBK memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya. Salah satu kegiatan pemanfaatan dan pengusahaan HHBK yang memiliki potensi ekonomi yang tinggi adalah hasil dari lebah madu. Keuntungan yang diperoleh, selain mendapat madu, kelestarian dari tanaman-tanaman di hutan tersebut dapat dijaga. Terjadinya penyerbukan oleh lebah akan membantu regenerasi dan perbanyakan dari pohon-pohon yang ada. Selain itu, kegiatan masyarakat untuk menebang hutan secara liar setidaknya dapat dikurangi, jika masyarakat dapat membudidayakan lebah madu di dalam atau sekitar hutan, itu dikarenakan untuk

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 263

mendapatkan madu, mau atau tidak mau masyarakat harus menjaga pohon-pohon sumber pakan lebah yang ada di kawasan hutan tersebut. . Lebah madu merupakan salah satu sumberdaya alam yang potensial untuk dikembangkan, hal ini disebabkan karena sumber pakan lebah yang melimpah (hampir semua tanaman/tumbuhan yang menghasilkan bunga dapat dijadikan sebagai sumber pakan) baik yang berasal dari tanaman hutan, tanaman pertanian maupun tanaman perkebunan. Produk yang dihasilkan oleh lebah madu dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk maka tingkat pemanfaatan produk yang dihasilkan oleh lebah madu semakin meningkat baik untuk kepentingan konsumsi atau obat-obatan. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam keberhasilan lebah madu adalah tersedianya pakan lebah. Sumber pakan lebah madu adalah tanaman yang meliputi tanaman buah, tanaman sayuran, tanaman hias, tanaman pangan, tanaman hutan, dan tanaman perkebunan. Bunga dari tanaman-tanaman tersebut mengandung nektar dan pollen, sehingga nektar dan pollen tersebut sangat berpengaruh dalam produksi madu yang akan dihasilkan oleh lebah madu. Nektar bagi lebah merupakan sumber karbohidrat yang diolah menjadi energi, sumber air dan mineral. Pollen merupakan sumber protein yang berguna bagi kesehatan tubuh lebah dari pertumbuhan anakan, serta merupakan sumber vitamin dan mineral. Potensi tanaman pakan lebah madu di Indonesia diyakini cukup besar, tetapi belum banyak informasi tentang tanaman-tanaman tersebut. Rusfidra (2006) menyatakan sekitar 25.000 tanaman berbunga tumbuh dan berkembang baik di Indonesia, dan keragaman jenis tanaman yang sangat besar itu memungkinkan tersedianya nektar sepanjang tahun. Oleh karena itu, informasi tentang tanaman-tanaman tersebut baik dari semak, rumput, tanaman pertanian, tanaman perkebunan, maupun pohon sangat diperlukan serta perlu juga menjaga kelestarian hutan agar tetap tersedia pakan lebah madu hutan. Pakan lebah madu merupakan salah satu faktor utama yang harus dipenuhi dalam kelangsungan hidup lebah madu. Perlindungan akan kelestarian hutan dimana hutan menghasilkan vegetasi yang menjadi pakan lebah madu harus ditingkatkan. Oleh karena itu perlu melakukan pengidentifikasian jenis-jenis tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu. Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis tanaman/tumbuhan berbunga yang menjadi pakan lebah madu hutan (Apis dorsata), dan waktu tersedianya pakan lebah pada tanaman/tumbuhan di kawasan hutan lindung Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

264 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

Kabupaten Poso. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi mengenai jenis-jenis pakan lebah madu hutan. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Uelincu Kecamatan Pamona Utara Kabupaten Poso pada bulan Maret sampai Mei 2017. Pengumpulan jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan pengamatan dan observasi langsung terhadap pakan yang dikunjungi lebah madu hutan Apis dorsata di kawasan hutan lindung serta wawancara langsung dengan petani yang berpengalaman mengenai lebah madu hutan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur dan informasi dari stakeholder yang berkaitan dengan penelitian ini. Populasi penelitian terdiri dari petani pemanen madu yang bermukim di sekitar kawasan hutan lindung. Pengambilan sampel penelitian terdiri dari pucuk daun serta bunga atau buah dari tanaman/tumbuhan yang menjadi pakan lebah madu kemudian mengidentifikasi jenis-jenis tanaman/tumbuhan dengan menggunakan buku literatur tumbuhan. Hasil dan Pembahasan Tanaman Sumber Pakan Lebah Madu di Kawasan Hutan Lindung Pada umumnya petani pemanen madu memahami jenis tumbuhan/tanaman sumber pakan bagi lebah hutan, berupa bunga yang tersedia pada tumbuhan/tanaman yang ada di dalam hutan. Ketersediaan pakan lebah secara berkesinambungan merupakan salah satu syarat pendukung perkembangan koloni lebah dan produksi madu. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan sebanyak 25 jenis tumbuhan/tanaman yang menjadi pakan lebah madu hutan. Dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang dapat dilihat pada Tabel 1, terdapat beberapa jenis tanaman yang termasuk dalam pakan lebah madu hutan. Masyarakat Desa Uelincu sendiri menanam tanaman/tumbuhan pakan di lahan perkebunan mereka. Pada saat berbunga tanaman/tumbuhan, merupakan saat tersedianya nektar dan pollen yang diperlukan oleh lebah madu sebagai pakan. Tanpa sumber pakan yang cukup, lebah tidak akan dapat bertahan hidup di tempat tersebut dan akhirnya akan berpindah mencari tempat lain yang cukup sumber pakannya (Hadisoesilo, 2003). Musim berbunga tanaman di hutan berbeda-beda berdasarkan jenis, ruang dan waktu. Kebanyakan tumbuhan yang berbunga di awal musim kemarau hingga awal musim hujan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 265

Banyaknya bunga yang tersedia pada suatu waktu, sangat ditentukan oleh jenis tanaman yang mendominasi/menguasai wilayah tersebut. Tabel 1. Jenis Tumbuhan/Tanaman Pakan Lebah Madu Hutan di Kawasan Hutan Lindung Desa Uelincu. No. Nama Lokal Nama Ilmiah 1 Asam Jawa** Tamarindus indica 2 Antoli* Disoxyllum sp 3 Aren* Arenga piñata 4 Durian** Durio zhiberthinus 5 Gopu* Elaeocarpus sp 6 Ipoli* Lithocarpus havilandii 7 Jagung** Zea mays 8 Jeruk** Citrus sp 9 Jongi** Phoebe grandis 10 Kapok Randu** Ceiba patandra 11 Kaju Kasa* Castanopsis accuminatissima 12 Kaju Mpada* Decaspermum sp 13 Kaju Ota* Vernonia arborea 14 Kaju Waka* Crytocarya crassinerviopsis 15 Kedele** Glychine max Merr 16 Kongkoli* Bauhinia sp 17 Kopi** Coffea Arabica 18 Labu Air** Legenaria leucantha 19 Malapare* Carallia brachiate 20 Mangga** Mangifera indica 21 Pisang** Musa sp 22 Putri Malu** Mimosa pudica 23 Rambutan** Nephelium lappaceum 24 Rumput-rumputan** Cyperus sp 25 Sarao** Areca sp Pengetahuan lokal petani pemanen madu terhadap tumbuhan pakan, diketahui dari hasil pengalaman petani dalam mencari madu di hutan. Petani menjaga tumbuhan/tanaman agar tidak mendapatkan gangguan dari para pembalak liar. Identifikasi bagian-bagian bunga yang dikonsumsi lebah madu hutan berdasarkan dengan jenis pakannya, dan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa lebah menyukai nektar yang merupakan pakan bagi lebah pekerja sehingga ketersediaan nektar sepanjang tahun menjamin kekuatan koloni (Sihombing, 2005). Sebagian tanaman yang mempunyai nektar dan tepung sari namun sebagian besar tanaman hutan alami yang bunganya menjadi pakan lebah madu hanya menghasilkan nektar saja seperti Antoli (Disoxillum sp), Gopu Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

266 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

(Elaeocarpus sp), Ipoli (Lithocarpus havilandii), Jongi (Phoebe grandis), Kongkoli (Bauhinia sp), dan Malapare (Carallia brachiate). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yang hasilnya diperoleh berdasarkan informasi dari masyarakat setempat yang sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan mengenai lebah madu hutan. Tabel 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Kehutanan yang Berbunga sebagai Pakan Lebah yang diketahui oleh Petani Pemanen Madu. No. Nama Lokal Jenis Pakan Waktu Berbunga (Bln) 1 Antoli Nektar Des-Jan 2 Gopu Nektar Feb-Mar 3 Ipoli Nektar Okt-Des 4 Jongi Nektar November 5 Kaju Kasa Nektar+pollen September 6 Kaju Mpada Nektar+pollen Jan-Feb 7 Kaju Ota Nektar+pollen Feb-Mar 8 Kaju Waka Nektar+pollen Nov-Des 9 Kongkoli Nektar Maret 10 Malapare Nektar Agt-Sep

Gambar 1. Jenis Pakan Lebah Madu A. dorsata (rambutan) Kondisi jalan menuju lokasi pohon tempat lebah A. dorsata bersarang dengan berjalan kaki melalui jalan-jalan setapak dengan topografi bergelombang dan perbukitan terjal memperlihatkan bahwa pada lokasi ini tersedia tanaman pakan lebah yang dapat mendukung peningkatan produksi madu di Desa Uelincu. Sumberdaya pengaman hutan sebaiknya dimanfaatkan pemerintah setempat untuk bekerja sama dengan polisi hutan dalam mengamankan hutan dari adanya upaya-upaya pengrusakan. Oleh karena itu, diperlukan suatu peraturan daerah yang mengatur Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 267

perlindungan terhadap tanaman/tumbuhan pakan di sekitar pohon sarang lebah. Polisi hutan bertugas untuk menjaga hutan di saat bukan musim madu dan petani pemanen madu menjaga hutan di saat menjelang musim madu. Jenis Pohon Sarang Lebah Apis dorsata Pengetahuan para petani pemanen madu Lebah A. dorsata dalam membangun sarangnya yaitu pada ranting atau cabang pohon yang memiliki posisi relatif horizontal dalam bentuk lembaran setengah lingkaran. Lebah senang membangun sarangnya pada permukaan batang yang tidak kasar. Pada setiap satu pohon sarang, dapat ditemukan satu dan bahkan lebih dari satu sarang yang menggelantung. Hal ini merupakan ciri dari jenis lebah A. dorsata khas Sulawesi. Jenis pohon yang pernah ditemukan oleh petani madu di Desa Uelincu terdapat 9 jenis, tampak jenis pohon rambutan dan pohon kacang yang merupakan jenis pohon yang paling disenangi sebagai tempat bersarang di kawasan hutan lindung. Berbagai cabang dari jenis pohon yang digunakan oleh lebah madu A. dorsata untuk barsarang cenderung tinggi. Jenis pohon di kawasan hutan lindung didominasi oleh pohon pinus.

Gambar 2. Pohon Sarang Lebah Madu A. dorsata Dari penuturan responden menunjukkan bahwa lebah A. dorsata tidak pernah ditemukan bersarang pada pohon pinus. Menurut keterangan responden, yang digunakan lebah untuk bersarang umumnya pohon berukuran tinggi antara 15 – 40 m dan tajuk pohon yang lebar.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

268 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

Tabel 3. Jenis tumbuhan/ tanaman yang diketahui petani pemanen madu di Desa Uelincu sebagai jenis pohon sarang lebah

Pohon sarang lebah merupakan obyek yang dicari ketika mencari madu di hutan oleh petani pemanen madu. Selain menandai adanya kerumunan lebah berwarna hitam yang mengelantung di atas pohon, juga menandai jenis pohon tempat lebah madu bersarang. Hal ini yang menjadikan para petani pemanen madu lebah mengenal dengan baik jenis-jenis pohon tempat lebah membangun sarang. Adapun 9 jenis pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang lebah madu, yaitu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pohon memiliki posisi cabang yang relatif lebih tinggi dari rata-rata pohon lain yang ada di sekitarnya. Posisi sarang yang relatif berada di atas tajuk rata-rata memberi kemudahan bagi lebah untuk kembali pulang kesarang setelah menjelajahi lokasi sumber pakan. Selain itu juga memberikan pandangan yang lebih luas bagi lebah pekerja untuk melihat lokasi pakan. Keistimewaan pohon yang tinggi adalah untuk mendapatkan cahaya matahari yang lebih banyak daripada pohon yang lain yang ada di bawahnya. 2) Pohon memiliki cabang yang relatif datar dengan sudut kemiringan sampai membentuk sudut ± 30°. 3) Pohon memiliki kulit batang yang tidak mudah terkupas. Hal ini merupakan suatu upaya agar sarang menggantung dengan kuat atau untuk menghindari jatuhnya sarang akibat terkelupasnya kulit pohon. Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 269

4) Bagian-bagian pohon yang memiliki ciri-ciri demikian, merupakan salah atu pohon yang menjadi sumber pakan lebah. Pohon yang disenangi lebah untuk membuat sarang adalah pohon rambutan (Nephelium lappaceum) dari family Sapindaceae. Pohon rambutan ditemukan petani pemanen madu di lokasi penelitian sebagai tempat bersarangnya lebah madu. Selain digunakan lebah sebagai tempat bersarang, pohon rambutan juga memberikan sumber nektar yang baik bagi lebah. Pohon tempat bersarangnya lebah madu yang dimiliki penduduk biasanya terdapat di kebun/ladang ada juga di dalam hutan. Jarak menuju sarang lebah bervariasi, jarak terdekat 5 km sedangkan jarak terjauh sampai 20 km. Penduduk berjalan kaki menuju pohon-pohon tersebut. Banyaknya sarang dalam 1 pohon bervariasi tergantung musim berbunga atau musim berbuah. Bulan-bulan musim berbunga yaitu pada bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember. Pada waktu musim bunga jumlah sarang biasanya mencapai 1 sampai 5 sarang sebaliknya bila tidak musim berbunga hanya terdapat 1 sampai 2 sarang perpohonnya. Madu yang dihasilkan dalam setiap sarang tergantung besar kecilnya sarang dan pohon, sarang terkecil sekitar 15 kg madu, sedangkan sarang terbesar 20 – 45 kg madu. Dalam hal memperoleh jumlah sarang, peneliti sependapat dengan beberapa petani pemanen madu yang menyatakan bahwa berkurangnya perolehan sarang disebabkan oleh ketersediaan bunga tanaman/tumbuhan sebagai sumber pakan lebah madu yang bergantung pada bulan-bulan tertentu, karena peneliti berpendapat bahwa berkurangnya sarang lebah yang didapatkan oleh petani pemanen madu bukan semata-mata disebabkan oleh meningkatnya petani pencari madu dari daerah lain melainkan karena berkurangnya jumlah pembungaan untuk pakan lebah. Bunga merupakan sumber untuk mendapatkan nektar dan pollen sebagai pakan lebah madu, dan juga dipengaruhi oleh musim yaitu musim hujan dan musim kemarau yang selalu terjadi setiap tahunnya. Keragaman suatu jenis pohon memungkinkan musim berbunganya tidak serempak sehingga lebah bisa memperoleh makanan hampir sepanjang tahun dari adanya keragaman jenis pohon yang tinggi. Ada kalanya jenis tanaman/tumbuhan itu berbunga pada musim kemarau namun jenis tanaman lainnya justru berbunga pada musim hujan (Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial, 1996). Secara kuantitas penurunan sumber pakan lebah akan mengakibatkan hasil produksi madu yang tidak optimal. Pakan lebah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan lebah madu. Sebagaimana yang diungkapkan Akranakul (1985), pakan lebah Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

270 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”



ISSN: 1978-152

yang berupa nektar dan pollen sangat berperan dalam menentukan kekuatan koloni lebah, dimana koloni yang kuat akan menghasilkan madu yang banyak. Kalender Pembungaan Kalender ketersediaan pakan dalam 12 bulan secara umum dinyatakan dalam masa berbunga. Dalam terminologi pembungaan dikenal dengan kalender pembungaan. Untuk sumber makanan pada bunga, kalender ketersediaan pakan sama dengan kalender pembungaan. Sedangkan untuk makanan berupa ekstra floral, ketersediaannya tidak selalu sama dengan kalender pembungaan. Hal ini disebabkan karena nektar ekstrafloral diambil dari pucuk daun, sehingga tidak berhubungan dengan masa berbunga suatu tanaman. Peran penting kalender ketersediaan pakan ini adalah pada saat pemanenan madu. Ketika tanaman banyak menyediakan pakan, maka lebah madu dapat memanen nektar atau pollen untuk disimpan di dalam sarang. Ketersediaan pakan di dalam sarang ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan disimpan sebagai cadangan makanan. Cadangan makanan ini digunakan lebah ketika kekurangan sumber makanan di lapangan (masa paceklik). Petani lebah madu dapat memanen madu atau pollen ketika sumber makanan banyak di lapangan. Pada waktu itu, sumber makanan yang disimpan lebah di sarang berlimpah. Tetapi pada saat sumber makanan di lapangan sedikit, maka sumber makanan yang ada di sarang digunakan untuk persediaan makan lebah sehari-hari. Saat itu lebah membutuhkan makanan tambahan untuk mempertahankan koloni. Dalam mempertahankan koloni pada saat sumber pakan di lapangan kurang, seorang peternak dapat memindahkan koloni lebah ke tempat lain yang banyak sumber pakannya. Masa berbunga tanaman sangat penting digunakan untuk mengetahui ketersediaan pakan lebah di lapangan. Adanya variasi masa berbunga menunjukkan bahwa harus ada perhatian tentang jenis-jenis tanaman yang berbunga pada waktu tertentu. Pengetahuan tentang masa berbunga ini digunakan untuk memindahkan koloni lebah madu ke tempat yang banyak tersedia pakan, pada saat di lokasi budidaya lebah tidak tersedia pakan. Selain bidang ekonomi, lebah madu juga memberikan keuntungan ekologis khususnya bagi kelestarian flora. Hal ini berkaitan dengan peran lebah madu dalam penyerbukan tanaman. Tanaman berbunga membutuhkan serangga seperti lebah untuk penyerbukan. Lebah mengumpulkan makanan berupa nektar dan polen dari tanaman. Proses-proses tersebut menimbulkan interaksi antara tanaman dan lebah yang saling menguntungkan.

Seminar Nasional Fakulatas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018 Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Da erah dan Nasional

| 271

Adanya interaksi tersebut lebah dapat memperoleh makanan dan tanaman dapat terjaga kelestariannya dengan adanya penyerbukan oleh lebah. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Di kawasan hutan lindung terdapat 25 jenis tanaman/tumbuhan sumber pakan lebah, yang diantaranya terdapat 15 jenis tanaman/tumbuhan pertanian dan perkebunan serta 10 jenis tanaman/tumbuhan kehutanan yang termasuk dalam pakan lebah madu hutan. 2. Pakan lebah madu di kawasan hutan lindung relatif tersedia sepanjang tahun, walaupun secara kuantitas bervariasi dari bulan ke bulan. Daftar Pustaka Akranatul, P. 1985. Beekeeping for pural Develonment di Terjemahkan oleh Brata Miharja, M. Kasno, Et al, Perum Perhutani Departemen Kehutanan. Direktorat Penghijauan dan Perhutanan Sosial. 1996. Petunjuk Teknis Pemungutan Madu Lebah Hutan (Apis dorsata F). Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitas Lahan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Hadisoesilo, S., Purnomo, S. 2003. Teknologi Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Produk Lebah Madu. Perawang. Litbang Peningkatan Budidaya Hasil Hutan Bukan Kayu Mendukung UKM. Rusfidra A. 2006. Tanaman Pakan Lebah http://www.bunghatta.info/content.php.article.141.2. [16 Juli 2006].

Madu.

Sihombing, D. T. H. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Ichsan Gorontalo, 22 – 24 Maret 2018

272 | Pekan Pembangunan Pertanian “Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Ketahanan Pangan Daerah dan Nasional”

Related Documents