BioSMART Volume 5, Nomor 1 Halaman: 38-42
ISSN: 1411-321X April 2003
Analisis Pertumbuhan, Stomata, Kandungan Klorofil, dan Karotenoid Daun Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Atlantik dan Granola di Sekitar Kawah Sikidang, Dieng Analysis of the growth, stomata, chlorophyll, and carotenoid contents of potato’s leaf (Solanum tuberosum L.) variety of granola and atlantic around Sikidang crater, Dieng. NURHIDAYAH, ENDANG ANGGARWULAN, SOLICHATUN Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126 Diterima: 20 Mei 2002. Disetujui: 1 Januari 2003
ABSTRACT The objectives of the research were to study the growth, length and width of stomata pore, stomata index, chlorophyll and carotenoid contents of potato’s leaf (Solanum tuberosum L.) granola and atlantics variety around Sikidang Crater. The framework of the research was the activity of Sikidang Crater caused the increasing of air pollutant concentration especially sulfur oxide (SO2 and H2S). The exposure of SO2 and H2S to plants caused a different response. Plant response could be seen directly from plant injury or indirectly from the plant’s growth analysis, physiology, and anatomy. The research used completely randomized design 3 x 2 factorial with 5 replicates. The first factor was distance from the crater, consist of 3 levels: 250 m, 500 m, and 2000 m. The second factor was potato’s variety, consist of 2 levels: granola and atlantics. Data collected were analyzed using ANOVA followed by DMRT with 5 % confidence level. The parameters of growth, which were observed, were dry weight, leaf area and plants high. The stomata index, length and width of stomata pore were observed to know the change of anatomy. The leaf’s chlorophyll and carotenoid contents were observed to study the physiological process. The measurement used spectrofotometric method. The result of the research indicated that the growth of S. tuberosum L. was increased with the increasing distance from the crater. The length and width of the stomata pore were increased with the increasing distance from crater but the stomata index was reduced. The leaf’s chlorophyll and carotenoid contents were increased with the increasing distance from crater. Keywords: growth, stomata, chlorophyll, carotenoid, potato, granola, atlantics, Sikidang crater, Dieng.
PENDAHULUAN Aktivitas kawah menyebabkan keluarnya material vulkanik cairan dan gas secara terus menerus, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi pencemar udara. Menurut Sukhyar dalam Firdaus dan Nasir (1995), Kawah Sikidang merupakan salah satu dari sekian banyak kawah di Dataran Tinggi Dieng yang secara terus menerus mengemisikan gas belerang dalam bentuk SO2 dan H2S (Nasir dkk., 1992). Kozlowski (1991) dan Larcher (1995) mengemukakan bahwa SO2 termasuk polutan primer yang banyak menyebabkan kerusakan pada kehidupan tumbuhan. Pengaruh bahan pencemaran udara tersebut dapat dilihat pada kerusakan tanaman secara morfologi seperti klorosis dan nekrosis, secara anatomi seperti struktur sel, serta secara fisiologi dan biokimia, seperti perubahan klorofil dan metabolisme (Kovacs, 1992; Nastiti, 1999) Fenomena menarik di Kawah Sikidang, Dieng telah mendorong dilakukan beberapa penelitian. Dari penelitianpenelitian tersebut, kajian aspek fisiologi tanaman budidaya khususnya kentang (Solanum tuberosum L.) belum banyak dilaporkan. Kentang merupakan salah satu hasil pertanian unggulan dataran tinggi Dieng, namun usaha peningkatan produksi tanaman ini menghadapi
berbagai kendala, salah satunya adalah pemilihan varietas yang sesuai dengan lingkungan tumbuh dan kebutuhan pasar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek fisiologi dua varietas kentang yaitu granola dan atlantik. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 3 x 2 dengan 5 ulangan. Faktor pertama adalah jarak tanam, yaitu 250 m, 500 m, dan 2000 m. Faktor kedua adalah varietas, yaitu: granola dan atlantik. Bahan yang digunakan adalah: bibit kentang varietas granola dan atlantik, pupuk kandang, pupuk daun, tanah, air, fungisida, insektisida, aseton 80% dan cat kuku transparan. Alat yang digunakan untuk penanaman antara lain polibag, cangkul, saringan dan penyemprot. Timbangan analitik, gunting, mortar, gelas ukur, corong, tabung reaksi, kuvet, spektrofotometer dan kertas saring Whattman no. 42 untuk analisis kandungan klorofil dan karote-noid daun. Gelas benda, gelas penutup, obyek mikrometer, mikroskop cahaya dan mikrofotograf untuk mengamati stomata. Penggaris, oven, timbangan analitik, kertas, label, benang dan kertas milimeter untuk menganalisis pertum© 2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
NURHIDAYAH dkk. – Solanum tuberosum di Sekitar Kawah Sikidang
buhan, sedangkan untuk mengukur faktor-faktor lingkungan digunakan anemometer, thermometer, luxmeter, higrometer dan thermistor. Cara kerja: 30 polibag berisi 10 kg tanah kering angin yang telah diayak diletakkan pada jarak 250 m, 500 m dan 2000 m dari Kawah Sikidang. Pada masing-masing jarak diletakkan 10 polibag, 5 varietas granola dan 5 varietas atlantik. Pada umur 50 hari dilakukan analisis kandungan klorofil dan karotenoid daun dengan metode spektrofotometri (Harborne, 1987; Henry dan Grime, 1993). Pengamatan stomata dilakukan pada saat tanaman berumur 80 hari. Preparat dibuat dengan metode pencetakan. Parameter-parameter pertumbuhan diamati saat panen, sedangkan faktor-faktor lingkungan diamati setiap seminggu sekali. Parameter yang diamati adalah: berat kering tanaman, luas daun, tinggi tanaman, indeks stomata, panjang dan lebar celah stomata serta kandungan klorofil dan karotenoid daun. Parameter lingkungan yang diukur adalah suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, kandungan sulfat top soil, intensitas cahaya dan suhu tanah. Analisis data menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test pada taraf uji 5 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Hasil analisis sidik ragam berat kering total tanaman menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap berat kering total tanaman, begitu juga dengan perlakuan secara mandiri jarak tanam tanaman dari kawah. Perbedaan varietas dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat kering total tanaman. Pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa tanaman kentang yang paling besar berat kering total tanamannya yaitu 27,62 gram diperoleh dari kombinasi perlakuan antara jarak tanam 2000 m dari kawah dan varietas atlantik (J3V2). Besarnya berat kering total tanaman pada J3V2 (jarak tanam 2000 m, varietas atlantik) disebabkan besarnya berat kering pada tiap-tiap bagian tanaman baik pada daun, batang, akar dan umbi (Tabel 1). Besarnya berat kering daun pada perlakuan ini berhubungan dengan luas daunnya yang juga mempunyai nilai paling tinggi yaitu 1442,72 cm2 (Tabel 2). Semakin besar luas daunnya maka kesempatan untuk menangkap cahaya matahari yang akan digunakan untuk fotosintesis semakin besar. Apalagi didukung oleh kandungan klorofil baik klorofil a maupun klorofil b yang juga besar (Tabel 5). Hal ini berakibat pada laju fotosintesis tanaman. Diperkirakan dengan faktor pendukung di atas, ditambah dengan faktor lingkungan yang tidak terlalu ekstrim, laju fotosintesis tanaman akan mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya laju fotosintesis, akan lebih banyak dihasilkan fotosintat. Fotosintat yang berupa karbohidrat digunakan untuk membentuk senyawa-senyawa lain yang dibutuhkan dalam pembentukan struktur sel tanaman sehingga semakin banyak fotosintat yang dihasilkan, pertumbuhan bagian-bagian tanaman akan lebih optimal. Hal ini terlihat dari besarnya berat kering daun, batang, akar dan umbi yang juga lebih besar dari perlakuan lain.
39
Tabel 1. Rerata berat kering tanaman kentang (gram). Perlakuan J2 J3 V2 V1 V2 V1 V2 V1 Daun 0.96a 2.35c 0.36a 0.68a 1.85b 3.85d Batang 1.04a 1.86a 1.45a 1.16a 1.97a 3.27b Akar 1.21a 1.56a 0.97a 0.80a 0.57a 3.36b b a a a b Umbi 15.55 10.48 6.46 8.46 17.34 19.97c Total 17.27b 17.74b 9.25a 10.35a 20.94b 27.62c Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata dengan DMRT taraf 5%. J1 = jarak tanam 250 m, J2 = jarak tanam 500 m, J3 = jarak tanam 2000 m dari Kawah Sikidang, V1 = varietas granola, V2 = varietas atlantik. Berat kering (g)
J1
Dari Tabel 1 terlihat bahwa berat kering total tanaman pada jarak tanam 500 m (J2) lebih kecil dari pada tanaman yang ditanam pada jarak tanam 250 m (J1) baik pada varietas granola maupun atlantik. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan ukuran celah stomata daunnya. Meskipun pada jarak tanam 250 m (J1) jumlah stomatanya lebih banyak (Tabel 4) tetapi baik panjang maupun lebar celah stomatanya lebih kecil dibandingkan dengan stomata pada jarak tanam 500 m (J2). Dengan besarnya celah stomata daun pada jarak tanam 500 m (J2) ini, gas belerang yang terdifusi melalui stomata lebih banyak dan fitotoksisitasnya lebih tinggi sehingga berat kering tanamannya menurun. Tabel 2. Rerata luas daun tanaman kentang pada saat panen (cm2) Varietas
Jarak tanam dari Kawah Sikidang J1 (250 m) J2 (500 m) J3 (2000 m)
V1 (granola)
157.42a
97.12a
1136.16b
V2 (atlantik)
207.43a
116.45a
1442.72c
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT taraf 5%.
Hasil analisis sidik ragam luas daun menunjukkan bahwa perlakuan jarak tanam dan varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap luas daun, begitu juga dengan perlakuan secara mandiri jarak tanam dari kawah. Interaksi antar perlakuan dan perbedaan varietas ternyata tidak memberikan pengaruh nyata terhadap luas daun. Peningkatan luas daun kentang baik varietas granola maupun atlantik mulai jelas terjadi pada jarak tanam 2000 m dari kawah. Mulai jarak ini terlihat bahwa penambahan jarak tanam dari kawah dapat meningkatkan luas daun tanaman. Luas daun yang rendah pada jarak tanam 250m (J1) dan 500 m (J2) disebabkan terhambatnya peningkatan jumlah dan ukuran sel sehingga menghambat penambahan luas daun. Hasilnya, daun yang terbentuk kecil-kecil dan pertumbuhannya kurang optimal. Selain itu, pada jarak tanam ini banyak daun yang mengalami pengguguran sebelum daun itu tua. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Kozlowski (1991), bahwa SO2 akan menghambat pertumbuhan daun, berat kering serta menghambat laju fotosintesis yang salah satu caranya dengan pengguguran daun.
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 35-39
40
Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman pada saat panen memperlihatkan, perlakuan yang diberikan dan perlakuan secara mandiri jarak tanam dari kawah berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada saat panen. Perbedaan varietas berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman saat panen, sedangkan interaksi antar perlakuan tidak berpengaruh nyata. Dari Tabel 3 terlihat bahwa rerata tinggi tanaman untuk setiap perlakuan tidak berbeda nyata kecuali pada perlakuan J3V2 (jarak tanam 2000 m, varietas atlantik) yang mempunyai rerata tertinggi yaitu 32,60 cm. Jadi jarak tanam tidak begitu berpengaruh pada variabel tinggi tanaman. Menurut Kozlowski (1991), beberapa proses pada tanaman ada yang lebih sensitif dibanding dengan prosesproses lain jika berada dalam lingkungan yang mengalami stres. Pencemaran SO2 akan menghambat pertumbuhan daun dan berat kering, sedangkan tinggi dan diameter tanaman tidak terpengaruh. Namun Tabel 3 menunjukkan bahwa tinggi tanaman mengalami peningkatan yang berarti mulai jarak tanam 2000 m (J3) meskipun untuk varietas granola belum memperlihatkan adanya beda nyata. Hal ini berarti SO2 berperan dalam menghambat pertumbuhan tanaman khususnya tinggi tanaman tetapi penghambatan ini tidak terlalu besar.
polutan melalui stomata. Besarnya celah stomata pada jarak tanam J2 500 m bisa dilihat dari panjang dan lebar celah stomatanya yang mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan jumlah gas belerang yang diserap lebih banyak sehingga dampak fitotoksiknya juga lebih besar yang bisa dilihat dari kecilnya berat kering total tanaman (lihat Tabel 1). Meskipun pada jarak tanam J3 (2000 m) ukuran celahnya lebih besar dari pada jarak tanam J2 (500 m) tetapi jaraknya sudah jauh dari kawah sehingga konsentrasi SO2 nya rendah. Tabel 4. Rerata indeks stomata serta panjang dan lebar celah stomata daun kentang varietas granola dan atlantik . Perlakuan Stomata J1 J2 J3 V2 V1 V2 V1 V2 V1 Indeks 50.83b 42.29a 34.33a 33.51a 34.66a 33.62a Panjang 7.08a 8.60a 10.80b 11.20b 11.40b 11.60b celah Lebar 2.00a 2.40a 3.60b 3.80b 4.00c 4,40c celah Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata dengan DMRT taraf 5%. J1 = jarak tanam 250 m, J2 = jarak tanam 500 m, J3 = jarak tanam 2000 m dari Kawah Sikidang, V1 = varietas granola, V2 = varietas atlantik.
Tabel 3. Rerata tinggi tanaman kentang pada saat panen (cm). Varietas
Jarak tanam dari Kawah Sikidang J1 (250 m) J2 (500 m) J3 (2000 m)
V1 (granola)
21.10a
20.33a
25.20a
V2 (atlantik)
22.17a
21.33a
32.60b
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata dengan DMRT taraf 5%.
Stomata Dari hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap indeks stomata daun. Perlakuan secara mandiri jarak tanam dari Kawah Sikidang ternyata berpengaruh sangat nyata sedangkan perbedaan varietas dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap indeks stomata daun. Dari Tabel 4 terlihat bahwa indeks stomata daun mengalami penurunan dengan semakin jauhnya jarak tanam dari Kawah Sikidang. Hal ini berarti jumlah stomata daun pada tanaman yang ditanam di dekat kawah lebih banyak. Banyaknya jumlah stomata daun kentang yang ditanam di dekat Kawah Sikidang bisa disebabkan oleh lingkungan yang kering karena pengaruh temperatur tinggi kawah serta intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi yaitu mencapai 104.545 lux. Menurut Prawiranata et al. (1995), keadaan lingkungan mempengaruhi frekuensi stomata. Daun tanaman yang tumbuh pada lingkungan kering dan di bawah cahaya dengan intensitas tinggi cenderung mempunyai stomata banyak. Hasil pengukuran intensitas cahaya memperlihatkan bahwa semakin jauh dari kawah semakin kecil intensitas cahayanya. Karena perbedaan jumlah stomata antar perlakuan ha-nya sedikit maka ukuran celah menjadi faktor yang sangat menentukan masuknya
Selain faktor lingkungan, SO2 juga berperan dalam mempengaruhi stomata khususnya terhadap membuka dan menutupnya celah stomata yang bisa dilihat dari panjang dan lebar celah stomata. Menurut Kovacs (1992), setiap jenis tanaman memberikan respon yang berbeda-beda terhadap SO2. Ada yang menyebabkan membukanya stomata daun dan ada pula yang menyebabkan stomata menutup. Dari Tabel 4 bisa dilihat bahwa panjang dan lebar celah stomata mengalami penurunan dengan semakin dekatnya jarak tanam dari kawah. Hal ini menunjukkan bahwa celah stomatanya lebih sempit. Respon ini kemungkinan dimaksudkan untuk mengurangi jumlah gas SO2 dan H2S yang masuk melalui stomata sehingga tanaman ini mampu bertahan dalam kondisi cekaman. Meskipun mampu bertahan, pertumbuhan tanaman pada jarak tanam J1 (250 m) kurang optimal karena masuknya CO2 yang dibutuhkan untuk fotosintesis juga terhambat Kandungan klorofil dan karotenoid daun Dari hasil analisis sidik ragam kandungan klorofil total, klorofil a, dan karotenoid daun tanaman kentang, menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan berpengaruh sangat nyata. Perlakuan secara mandiri jarak tanam juga memberikan pengaruh yang sangat nyata, sedangkan interaksi antara varietas dan jarak tanam serta perlakuan mandiri varietas tidak menunjukkan beda nyata. Untuk klorofil b, baik perlakuan, perlakuan mandiri dan interaksi antar perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata. Secara umum, semakin dekat jarak tanam dengan kawah menyebabkan penurunan kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total dan karotenoid daun tanaman kentang. Hal ini disebabkan intensitas pencemaran gas belerang yang tinggi. Tingginya intensitas pencemaran bisa dilihat dari kandungan sulfat top soil di daerah tersebut.
NURHIDAYAH dkk. – Solanum tuberosum di Sekitar Kawah Sikidang
Nasir dkk. (1994) menyatakan bahwa kandungan sulfat top soil berkorelasi positif dengan intensitas pencemaran SO2 di suatu tempat, artinya semakin tinggi kandungan sulfat top soil di suatu tempat semakin tinggi pula intensitas pencemaran SO2 yang terjadi. Dari hasil analisis kandungan sulfat top soil diketahui bahwa semakin dekat dengan kawah semakin tinggi kandungan sulfat top soilnya. Hal ini berarti semakin dekat jarak dari kawah semakin tinggi intensitas pencemaran SO2 yang terjadi. Tabel 5. Rerata kandungan klorofil a, klorofil b, klorofil total dan karotenoid daun kentang (µmol/l) Kandungan Klorofil a
J1 V1 4.89a
V2 5.37a
Perlakuan J2 V1 V2 11.93b 10.94b
J3 V1 24.39c
V2 23.76c
Klorofil b 4.67a 4.28a 5.87a 5.10a 6.52b 5.40a Klorofil 9.57a 9.65a 17.79b 16.04a 30.93c 29.16c total Karotenoid 5.09a 6.33a 15.50c 12.31b 24.94d 23.64d klorofil a:b 1.05a 1.30a 2.09a 2.33a 3.79b 4.97b klorofil: 1.88b 1.73b 1.15a 1.29a 1.25a 1.22a karotenoid Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris, tidak berbeda nyata dengan DMRT taraf 5%. J1 = jarak tanam 250 m, J2 = jarak tanam 500 m, J3 = jarak tanam 2000 m dari Kawah Sikidang, V1 = varietas granola, V2 = varietas atlantik.
Rendahnya kandungan klorofil daun berkaitan dengan sifat fitotoksis SO2. Meningkatnya keasaman cairan sel sebagai akibat oksidasi sulfat, sulfit maupun bisulfit (Gupta, 1997). Fotooksidasi atau bereaksinya sulfit dan bisulfit dengan O2 dalam cairan sel menjadi sulfat dalam kloroplas menghasilkan radikal bebas dan oksigen aktif (superoksida) dengan katalis Mn2+. Menurut Smirnoff (1995), radikal yang dihasilkan ini menyebabkan kehancuran klorofil, begitu juga dengan superoksida yang sangat reaktif dan dapat merusak berbagai komponen dalam sel termasuk klorofil. Selain itu superoksida dapat mereduksi Fe3+ sehingga menghambat pembentukan protoklorofilida. Kerusakan dan hambatan dalam sintesis klorofil ini akan menyebabkan daun mengalami klorosis. Menurut Treshow (1970), SO2 akan menonaktifkan besi dalam kloroplas dan mengganggu sifat katalitiknya. Gangguan ini akan menimbulkan proses-proses sekunder yang berakibat rusaknya klorofil dan matinya sel. Selain itu SO2 dapat menyebabkan pengasaman lokal sehingga memisahkan magnesium dari molekul klorofil dan mengubahnya menjadi feofitin yang dapat menyebabkan klorosis. Rendahnya kandungan klorofil daun kentang yang ditanam pada J1 (250 m) juga tidak lepas dari faktor tanah. Menurut Stevenson dalam Nasir dkk. (1994), deposisi dari atmosfer menyebabkan kandungan sulfat anorganik dalam tanah semakin bertambah sehingga derajat keasaman tanah meningkat. Menurut Gardner et al. (1991) dan Harjadi (1993), pH tanah merupakan faktor utama yang mempengaruhi daya larut dan ketersediaan hara tanaman. Kebanyakan hara tersedia dalam nilai pH antara 6,0 sampai 7,0. Dari hasil analisis pH tanah, diketahui bahwa pH di
41
ketiga lokasi berkisar antara 5,31 sampai 5,49. Nilai ini memang belum begitu mengganggu pertumbuhan tanaman kentang, karena tanaman kentang termasuk tanaman yang toleran terhadap kisaran pH yang cukup luas yaitu antara 4,5 sampai 8,0 (Wattimena, 1992). Namun pada pH antara 5,31 sampai 5,49 ketersediaan hara kurang optimal. Menurut Wilkinson (1994), dalam tanah asam akan terjadi kelebihan H+, Mn2+, dan Al3+ serta defisiensi Ca2+, Mg2+, dan PO43- untuk tanaman. Semakin tinggi keasaman tanah defisiensi yang terjadi juga akan semakin besar. Menurut Loveless (1991), magnesium sangat dibutuhkan untuk sintesis klorofil. Dengan terjadinya defisiensi ini, sintesis klorofil akan terganggu karena jumlah Mg yang tersedia terbatas sehingga klorofil yang dihasilkan sedikit, selain itu Mg2+ sangat dibutuhkan untuk reaksi-reaksi enzimatis. Dalam Nasir dkk. (1994), Malhotra dan Khan menegaskan bahwa pada konsentrasi SO2 yang tinggi, klorofil a lebih peka dibandingkan dengan klorofil b. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa penurunan kandungan klorofil a dari J3 (2000 m) ke J2 (500 m) kemudian ke J1 (250 m) sangat drastis sedangkan kandungan klorofil b meski secara umum mengalami penurunan tetapi tidak ada beda nyata antar perlakuan. Keadaan ini menunjukkan bahwa klorofil a lebih mudah rusak atau terdegradasi dibandingkan dengan klorofil b karena dengan perlakuan yang sama, klorofil a yang rusak lebih banyak meskipun jumlah awalnya memang berbeda. Menurut Robinson (1995), perbandingan klorofil a terhadap klorofil b biasanya sekitar 3:1. Dari Tabel 5. dapat dilihat rasio klorofil a terhadap klorofil b pada J3 (2000 m) hampir 4:1 (3,79 untuk varietas granola, 4,97 untuk varietas atlantik) pada J2 (500 m) 2:1 (2,09 untuk varietas granola, 2,33 untuk varietas atlantik) dan pada jarak 250 m 1:1 (1,05 untuk varietas granola, 1,30 untuk varietas atlantik). Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa kandungan klorofil b dan karotenoid daun menurun dengan bertambah dekatnya jarak tanam dari kawah. Hal ini dimungkinkan karena daya toksik SO2 yang sangat besar sehingga tidak hanya klorofil saja yang mengalami degradasi tetapi karotenoid pun mengalami hal yang sama. Hal ini terlihat dari rasio klorofil total terhadap karotenoid yang mengalami peningkatan dengan bertambahdekatnya jarak tanam dari kawah. Besarnya rasio klorofil total terhadap karotenoid menunjukkan bahwa kandungan karotenoid pada jarak tanam ini lebih kecil dari pada jarak tanam lain jika dibandingkan dengan kandungan klorofil pada masingmasing perlakuan. KESIMPULAN Semakin dekat jarak tanam kentang (S. tuberosum) varietas granola dan atlantik dari kawah Sikidang, maka (i) pertumbuhannya terhambat yang ditunjukkan dengan menurunnya berat kering, luas daun dan tinggi tanaman, (ii) indeks stomata daun meningkat, tetapi panjang dan lebar celah stomata mengalami penurunan, serta (iii) kandungan klorofil dan karotenoid daun menurun.
42
BioSMART Vol. 5, No. 1, April 2003, hal. 35-39
DAFTAR PUSTAKA Firdaus. 1995. Kajian Beberapa Sifat Morfologi dan Fisiologi Daun Panicum repens L. yang Tumbuh di Sekitar Kawah Sikidang Dataran Tinggi Dieng. [Tesis S-2]. Yogyakarta: UGM. Nasir, M., Purnomo, dan Sudjono. 1994. Pengaruh gas belerang dari kawah-kawah di dataran tinggi Dieng terhadap struktur vegetasi dan fisiologi tumbuhan dominan di sekitar kawah. Biologi 1 (7): 295-310. Gardner, F. P, R. B. Pearce, dan R. I. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: Susilo, H. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Gupta, Y.S. 1997. Crop Improvement Stress Tolerance. Volume 2. New Hampshire: Science Publication Inc. Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: Penerbit ITB. Henry. G.A.F and J.P. Grime. 1993. Methods in Comparative Plant Ecology (A Laboratory Manual). London: Chapman and Hall. Kovacs, M. 1992. Biological Indicators in Environmental Protection. New York: Ellis Horwood. Kozlowski, T.T. 1991. The Physiological Ecology of Woody Plant. San Diego: Academic Press Inc.
Larcher, W.1995. Physiological Plant Ecology: Ecophysiology and Stress Physiology of Functional Groups. Berlin: Springer-Verlags. Loveless, A.R. 1991. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik I. Penerjemah: Kartawinata, K., S. Danimiharja, dan U. Satisna. Jakarta: PT. Gramedia. Nastiti, W.K. 1999. Klorofil daun angsana dan mahoni sebagai bioindikator pencemaran udara. Lingkungan dan Pembangunan 19 (4): 290-305. Prawiranata, S. Harran, dan P. Tjondronegoro. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 2. Bogor: IPB Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Smirnoff, N. 1995. Antioxidant system and plant response to the environment. In Smirnoff, N (ed). Environment and Plant Metabolism and Acclimation. Oxford: BIOS Scientific Publiser Ltd. Harjadi, S.S. 1993. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Treshow, M. 1970. Environment and Plant Response. New York: Mc Graw Hill Book Co, Inc. Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman I. Bogor: PAU Teknologi IPB. Wilkinson, R.E. 1994. Acid soil stress and plant growth. In Wilkinson, R.E (ed). Plant-Environtment Interaction. New York: Marcel Decker, Inc.