Preskas Dr. Abkar Insyaallah Fix.docx

  • Uploaded by: Shinta Retno Wulandari
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Preskas Dr. Abkar Insyaallah Fix.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,662
  • Pages: 37
PRESENTASI KASUS

IMPENDING EKLAMPSIA DENGAN HELLP SYNDROME PADA MULTIGRAVIDA HAMIL 20 MINGGU BELUM DALAM PERSALINAN DENGAN HIPOALBUMIN (2.6)

Disusun oleh : Sarah Luthfiani

G99152098

Aprillio Bagas S

G99152099

Fatmanisa Laila

G99152111

Nailatul Arifah

G99162048

Pembimbing : Dr. Abkar Raden, dr., Sp.OG (K)

KEPANITERAAN KLINIK OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2017

BAB I PENDAHULUAN

Preeklamsia

dan

eklamsia

merupakan

masalah

kesehatan

yang

memerlukan perhatian khusus karena preeklamsia adalah penyebab kematian ibu hamil dan perinatal yang tinggi terutama di negara berkembang. Sampai saat ini preeklamsia dan eklamsia masih merupakan ”the disease of theories”, karena angka kejadian preeklamsia-eklamsia tetap tinggi dan mengakibatkan angka morbiditas dan mortilitas maternal yang tinggi (Manuaba,2010). Prevalensi preeklamsia dan eklamsia adalah 2,8% dari kehamilan di negara berkembang, dan 0,6% dari kehamilan di negara maju (WHO, 2005). Insiden hipertensi saat kehamilan pada populasi ibu hamil dari tahun 1997 hingga 2007 di Australia, Kanada, Denmark, Norwegia, Skotlandia, Swedia dan Amerika berkisar antara 3,6% hingga 9,1%, preeklamsia 1,4% hingga 4,0%, dan tanda awal preeklamsia sebanyak 0,3% hingga 0,7% (Roberts, 2011). Selain itu insiden kejadian preeklamsia di dunia meningkat sebanyak 25% dari tahun 1987-1988 hingga 2003-2004 9IM, 2009). Penelitian yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta mendapatkan hasil bahwa prevalensi preeklamsia pada tahun 2007–2009 adalah 118 kasus (3,9%) dari total persalinan (3036 persalinan) (Djannah, 2010). Angka kematian ibu di dunia mencapai 529.000 per tahun, dengan rasio 400 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dimana 12% dari kematian ibu disebabkan oleh preeklamsia (WHO, 2005). Preeklamsia juga menjadi penyebab langsung kematian ibu di Inggris yaitu sebesar 15% (Symonds, 2010). Di Indonesia, pada tahun 2006 angka kematian ibu (AKI) yang disebabkan oleh eklamsia dan preeklamsia adalah sebanyak 5,8% (Depkes, 2007). Jika dilihat dari golongan sebab sakit, persentase eklamsia dan preeklamsia memang lebih rendah dibanding data di dunia, namun jika dilihat dari Case Fatality Rate (CFR), penyebab kematian terbesar adalah eklamsia dan preeklamsia dengan CFR 2,1%. Pada tahun 2011, eklamsia menempati urutan kedua sebagai penyebab kematian pada ibu melahirkan yaitu sebanyak 24% (Depkes, 2012). Preeklamsia-eklamsia

merupakan

merupakan

penyebab

utama

kematian

perinatal

dan

dapat

mengakibatkan retardasi mental pada anak (Knuppel, 1993). Selain itu preeklamsia dapat mengakibatkan kematian ibu, terjadinya prematuritas, serta dapat mengakibatkan Intra Uterin Growth Retardation (IUGR) dan kelahiran mati karena pada preeklamsia-eklamsia akan terjadi perkapuran di plasenta yang menyebabkan makanan dan oksigen yang masuk ke janin berkurang (Benson, 2009). Berdasarkan fakta bahwa preeklamsia-eklamsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu di negara berkembang serta angka kejadian preeklamsia-eklamsia masih tinggi maka penulis tertarik untuk mempelajari manajemen pada eklampsia dengan HELLP syndrome.

BAB II STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS 1. Identitas Penderita Nama

: Ny. S

Umur

: 38 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

BB

: 62 kg

TB

: 165 cm

Alamat

: Jumapuro, Kwangsan, Jumapolo, Karanganyar

Status Perkawinan

: Kawin

Agama

: Islam

Tanggal Masuk

: 3 Juli 2017 pukul 20.45

No RM

: 01384102

2. Keluhan Utama Pasien merupakan rujukan dari RS PKU Muhammadiyah Karanganyar dengan keterangan G3P2A0, 38 tahun, UK: 20+3 minggu dengan PEB. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Seorang G3P2A0, 38 tahun, UK: 20+3 minggudatangdengan rujukan dari RS PKU Muhammadiyah Karanganyar dengan keterangan G3P2A0, 38 tahun, UK: 20+3 minggu dengan PEB. Pasien merasa hamil 5 bulan. Gerak janin sudah dirasakan. Kenceng-kenceng teratur belum dirasakan. Air kawah belum dirasakan keluar. Lendir darah (-), nyeri kepala depan (+), pandangan kabur (+) mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-). 4. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat keluhan serupa

: disangkal

Riwayat perdarahan saat hamil

: disangkal

Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat diabetes mellitus

: disangkal

Riwayat sakit ginjal

: disangkal

Riwayat penyakit jantung

: disangkal

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat alergi obat/ makanan

: disangkal

5. Riwayat Haid Menarche

: 12 tahun

Lama menstruasi

: 5-7 hari

Siklus menstruasi

: 28 hari

6. Riwayat Obstetri Hamil I

: Laki-laki; 1400 gram; 6,5 tahun, spontan

Hamil II

: IUFD, 6 bulan yang lalu, UK 5 bulan, BBL 500 gram

Hamil III

: Hamil Sekarang

HPMT : 10 Februari 2017 HPL

: 17 November 2017

UK

: 20+3 minggu

7. Riwayat Perkawinan Menikah 1x, menikah saat berusia 31 tahun, usia pernikahan 7 tahun. 8. Riwayat KB KB (-)

B. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis a. Keadaan Umum : Sedang, compos mentis, gizi kesan cukup b. Tanda Vital

:

Tensi

: 230/160 mmHg

Nadi

: 94 x/menit

Respiratory Rate

: 20 x/menit

Suhu

: 36,70C

c. Kepala

: mesocephal

d. Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

e. THT

: discharge (-/-)

f. Leher

: kelenjar getah bening tidak membesar

g. Thoraks

:

1) Cor Inspeksi

: iktus kordis tidak tampak

Palpasi

: iktus kordis tidak kuat angkat

Perkusi

: batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi

: Bunyi Jantung I-II intensitas normal, reguler,

bising (-) 2) Pulmo Inspeksi

: pengembangan dada kanan = kiri

Palpasi

: fremitus raba dada kanan = kiri

Perkusi

: sonor // sonor

Auskultasi

: suara dasar vesikuler (+/+), suara napas tambahan (-/-), wheezing (-)

h. Abdomen

:

Inspeksi

: striae gravidarum (+)

Auskultasi

: bising usus (+) normal, DJJ (+)

Palpasi

: supel, nyeri tekan (-), teraba ballotement (+), TFU setinggi pusat, HIS (-)

Perkusi i.

: Timpani

Genital

:Vaginal Touche: Vulva dan urethra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio utuh, Pembukaan 0 cm, effacement 10 %, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-).

j. Ekstremitas oedema

: akral dingin

-

-

-

-

-

-

-

-

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. LABORATORIUM (03/07/2017; 09:54): Hb

: 15.1 g/dL

LABORATORIUM (4/7/2017):

Hct

: 44 %

Hb

: 14.8 g/dL

AL

: 14.5 x103/uL (  )

Hct

: 45 %

AT

: 69 x103/uL (  )

AL

: 11.2 x103/uL (  )

AE

: 4.78 x106/uL

AT

: 62 x103/uL (  )

AE

: 4.89 x106/uL

Golongan Darah : O Kimia Klinik GDS

: 114 mg/dl

LABORATORIUM (6/7/2017):

SGOT

: 125 u/l(  )

Hb

: 10.8 g/dL (  )

SGPT

: 68 u/l(  )

Hct

: 31 % (  )

Albumin

: 2.6 g/dl (  )

AL

: 12.9 x103/uL (  )

Creatinine

: 0,9 mg/dl

AT

: 100 x103/uL (  )

Ureum

: 42 mg/dl

AE

: 3.41 x106/uL(  )

LDH

: 1773 u/l (  )

GDS

: 136 mg/dl

Hemostasis

SGOT

: 35 u/l(  )

PT

SGPT

: 41 u/l(  )

APTT : 28.8 detik

Albumin

: 2.2 g/dl (  )

INR

Creatinine

: 0,9 mg/dl

Ureum

: 61 mg/dl(  )

LDH

: 985 u/l (  )

: 10.7 detik

: 0.800

Elektrolit Na Darah: 131 mmol/L(  ) K Darah

: 3.9

Cl Darah: 108 mmol/L(  ) HbsAg non reaktif

Na Darah: 132 mmol/L (  ) K Darah

: 4.3 mmol/L

Cl Darah

: 105 mmol/L

URINALISIS Protein Kualitatif Positif (+4)

: ++++

LABORATORIUM (7/7/2017): Albumin

: 2.7 g/dl (  )

D. SIMPULAN Seorang G3P2A0, 38 tahun, usia kehamilan: 20+3 minggu, riwayat obstetri dan fertilitas baik, pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi 230/160. Dari pemeriksaan fisik abdomen teraba ballotement dan His (-). Dari pemeriksaan fisik genital portio utuh, pembukaan 0 cm, efficement20 %, kulit ketuban dan penunjuk belum dapat dinilai, AK (-), STLD (-). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan leukosit dan penurunan trombosit. Protein urin didapatkan positif +4.

E. DIAGNOSIS AWAL Impending Eklampsia dengan HELLP Syndrome pada Multigravida Hamil 20 minggu Belum Dalam Persalinan dengan Hipoalbumin (2.6)

F. PROGNOSIS Dubia

G. TERAPI 1. Usul terminasi kehamilan 2. Induksi balon kateter dengan bandul --> lanjut oksitosin 3. Protap PEB a. O2 Nasal Canule 3 Lpm b. Infus RL 12 Tpm c. Injeksi MgSO4 20% initial dose 4 gr secara IV, dilanjutkan dosis maintenance 1 gr/ jam/ IV selama 24 jam d. Nifedipine 3x10 mg jika Tekanan Darah  160/110 mmHg e. Awasi KU/VS/BC dan DJJ 4. Usul transfusi TC

H. FOLLOW UP 1. 3 Juli 2017 22.45 G3P2A0, 38 tahun, UK 20+3 minggu Keluhan

: kepala pusing (+), nyeri ulu hati (+)

Keadaan Umum : sedang, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 160/100 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36.80C

: 100 x/menit

: 24 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), ballotement (+), TFU setinggi pusat, HIS (-), DJJ (+)

Genital Diagnosis :

: darah (-), discharge (-), terpasang balon kateter Impending

Eklamsia

demgan

HELLP

Syndrome

pada

multigravida hamil 20 minggu BDP + hipoalbumin (2,6) Terapi 1. Terminasi kehamilan : - induksi dengan balon kateter sampai lepas, dilanjutkan stimulasi oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL 2. Protap PEB i. O2 3 LPM ii. Infus RL 12 tpm iii. MgSO4 20% maintenance dose 1 gram / jam selama 24 jam iv. Nifedipine 3 x 10 mg jika TD ≥ 160/110 v. Awasi KU/VS/DJJ, dan tanda-tanda eklamsia 3. Transfusi 4 kolf TC 4. Vip albumin tab 3x1 5. Inj. Dexmethasone 2 amp/12 jam

2. 4 Juli 2017 06.00 G3P2A0, 38 tahun, UK 20+4 minggu

Keluhan

:-

Keadaan Umum : sedang, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 150/100 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36.80C

: 98 x/menit

: 20 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), ballotement (+), TFU setinggi pusat, HIS (-), DJJ (+)

Genital

: darah (-), discharge (-), terpasang balon kateter

Diagnosis :

Impending

Eklamsia

dengan

HELLP

Syndrome

pada

multigravida hamil 20 minggu BDP + hipoalbumin (2,6) Terapi 1.

Terminasi kehamilan : - induksi dengan balon kateter sampai lepas, dilanjutkan stimulasi oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL

2.

Protap PEB i. O2 3 LPM ii. Infus RL 12 tpm iii. MgSO4 20% maintenance dose 1 gram / jam selama 24 jam iv. Nifedipine 3 x 10 mg jika TD ≥ 160/110 v. Awasi KU/VS/DJJ, dan tanda-tanda eklamsia

3.

Transfusi 4 kolf TC --> cek DR3 post transfusi

4.

Vip albumin tab 3x1

5.

Inj. Dexmethasone rescue 2 amp/12 jam

Advice : jika sudah partus plasenta tidak lengkap langsung kuretase emergency

19.00 G3P2A0, 38 tahun, UK 20+4 minggu Keluhan

: balon terlepas

Keadaan Umum : sedang, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 140/90 mmHg

RR

: 18 x/menit

Nadi

Suhu : 36.70C

: 83 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), ballotement (+), TFU setinggi pusat, HIS (-), DJJ (+)

Genital

: V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio

utuh, pembukaan 2 cm, darah (-), discharge (-), KK (+) Diagnosis :

Impending

Eklamsia

dengan

HELLP

Syndrome

pada

multigravida hamil 20 minggu BDP + hipoalbumin (2,6) Terapi 1.

Drip oxytosin 5 IU dalam RL 500 cc

2.

Inj. Dexamethasone 10 mg/12 jam

3.

Protap PEB

23.30 G3P2A0, 38 tahun, UK 20+4 minggu Keluhan

: pasien merasa ingin meneran

Keadaan Umum : sedang, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 169/101 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36.50C

: 80 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), ballotement (+), TFU setinggi pusat

Genital

: V/U tenang, dinding vagina dalam batas normal, KK (-),

penunjuk arah jam 12, bokong di Hodge III, AK (+), jernih tak berbau, STLD (+) Diagnosis : Kala II pada Impenging Eklamsia HELLP Syndrome pada multigravida hamil 20+4 minggu dalam oksitosi botol 3 Terapi 1.

Pimpin persalinan

23.30 Lahir bayi, BB 350 gr

23.40 Lahir plasenta kesan tidak lengkap, dilakukan kuretase emergency . Perdarahan kala I 5 ml, perdarahan kala II 10 ml

3. 5 Juli 2017 02.30 (2 jam post op) P3A0, 38 tahun Keluhan

: perdarahan (-)

Keadaan Umum : sedang, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 160/110 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36,50C

: 78 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-)

Genital

: darah (-), discharge (-)

Diagnosis : Post partus spontan + kuretase emergency ai retensi sisa plasenta pada impending eklamsia HELLP syndrome pada multipara hamil 20 minggu + hipoalbumin dalam oksitosin botol 1 Terapi 1. Protap PEB i.

O2 3 LPM

ii. Infus RL 12 tpm iii. MgSO4 20% maintenance dose 1 gram / jam selama 24 jam iv. Nifedipine 3 x 10 mg jika TD ≥ 160/110 2. Cefadroxil 2x500mg 3. Asam mefenamat 3x500mg 4. Vit. C 2x50mg

06.00 P3A0, 38 tahun Keluhan

:-

Keadaan Umum : baik, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 150/80 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36,70C

: 88 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat

Genital

: darah (-), lochea (+)

Diagnosis : Post partus spontan + kuretase emergency ai retensi sisa plasenta pada impending eklamsia HELLP syndrome pada multipara hamil 20 minggu + hipoalbumin dalam oksitosin botol 1 DPH 1 Terapi 1.

Asam mefenamat 500 mg/8 jam

2.

Cefadroxil 500 mg/12 jam

3.

Vit. C 50 mg/12 jam

4.

Vip albumin 3x1

5.

Cripsa 3x1,5mg

6.

Protap PEB i.

O2 3 LPM

ii. Infus RL 12 tpm iii. MgSO4 20% maintenance dose 1 gram / jam selama 24 jam --> s/d tgl 5/7/2017 pukul 19.00 iv. Nifedipine 3 x 10 mg jika TD ≥ 160/110 v. 7.

Awasi KU/VS/BC dan tanda perdarahan

Inj. Dexamethasone 2 amp/12 jam s/d trombosit ≥ 100.000

4. 6 Juli 2017 (DPH 2) 06.00 P3A0, 38 tahun

Keluhan

:-

Keadaan Umum : baik, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 140/90 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36,70C

: 84 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi (+)

Genital

: darah (-), lochea (+)

Diagnosis : Post partus spontan + kuretase emergency ai retensi sisa plasenta pada impending eklamsia HELLP syndrome pada multipara hamil 20 minggu + hipoalbumin dalam oksitosin botol 1 DPH 2 Terapi 1.

Asam mefenamat 500 mg/8 jam

2.

Cefadroxil 500 mg/12 jam

3.

Vit. C 50 mg/12 jam

4.

Vip albumin 3x1

5.

Protap PEB i.

O2 3 LPM

ii. Infus RL 12 tpm iii. MgSO4 20% maintenance dose 1 gram / jam selama 24 jam --> selesai iv. Nifedipine 3 x 10 mg jika TD ≥ 160/110 v.

Awasi KU/VS dan tanda perdarahan

6. Inj. Dexamethasone 2 amp/12 jam s/d trombosit ≥ 100.000 7. Pindah bangsal

5. 7 Juli 2017 06.00 P3A0, 38 tahun Keluhan

:-

Keadaan Umum : baik, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 140/80 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 37,40C

: 86 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi (+)

Genital

: darah (-), lochea (+)

Diagnosis : Post partus spontan + kuretase emergency ai retensi sisa plasenta pada impending eklamsia HELLP syndrome pada multipara hamil 20 minggu + hipoalbumin (2.2) dalam oksitosin botol 1 DPH 3 Terapi 1.

Asam mefenamat 500 mg/8 jam

2.

Cefadroxil 500 mg/12 jam

3.

Vit. C 50 mg/12 jam

4.

Vip albumin 3x1

5.

Inj. Albumin 25%/8jam

6.

Cripsa 2,5mg/8 jam

7.

Nifedipine 3x10mg

8.

Inj. Dexamethasone 2 amp/12 jam s/d trombosit ≥ 100.000 --> stop

9.

Usul BLPL

6. 8 Juli 2017 06.00 P3A0, 38 tahun Keluhan

:-

Keadaan Umum : baik, compos mentis Tanda Vital

: Tekanan darah: 120/70 mmHg

RR

Nadi

Suhu : 36,40C

: 90 x/menit

: 18 x/menit

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thorak

: Cor dan Pulmo dalam batas normal

Abdomen

: supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi (+)

Genital

: darah (-), lochea (+)

Diagnosis : Post partus spontan + kuretase emergency ai retensi sisa plasenta pada impending eklamsia HELLP syndrome pada multipara hamil 20 minggu + hipoalbumin (2.7) DPH 4 Terapi 1.

Asam mefenamat 500 mg/8 jam

2.

Cefadroxil 500 mg/12 jam

3.

Vit. C 50 mg/12 jam

4.

Vip albumin 3x1

5.

Cripsa 2,5mg/8 jam

6.

Nifedipine 3x10mg --> stop

7.

Usul BLPL

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. PREEKLAMPSIA 1. Definisi Preeklampsia adalah penyakit hipertensi dan proteinuria yang didapatkan setelah umur kehamilan 20 minggu. (POGI, 2011). Dulu, preeklampsia

didefinisikan

sebagai

penyakit

dengan

tanda-tanda

hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini terjadi pada triwulan ke 3 kehamilan tetapi dapat juga terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Sarwono, 2010) Preeklamsi

adalah

sindrom

spesifik

kehamilan

berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Proteinuria adalah tanda penting preeklamsi, dan apabila tidak terdapat proteinuria maka diagnosisnya dipertanyakan. Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300mg atau lebih protein dalam urin per 24 jam atau +1 pada dipstick secara menetap pada sampel urin secara acak. Kriteria minimum untuk mendiagnosis preeklamsi adalah hipertensi plus proteinuri minimal. Semakin parah hipertensi atau proteinuri maka semakin pasti diagnosis preeklamsi. Memburuknya hipertensi terutama apabila disertai proteinuri

merupakan

pertanda

buruk,sebaliknya

proteinuri

tanpa

hipertensi hanyamenimbulkan efek keseluruhan yang kecil angka kematian pada bayi. Proteinuri +2 atau lebih yang menetap atau eksresi proteinuri 24 jam sebesar 2g atau lebih adalah preeklamsi berat. Apabila kelainan ginjal parah, filtrasi glomerulus dapat terganggu dan kreatinin plasma dapat meningkat. Pada kasus yang diabaikan atau yang lebih jarang terjadi, pada kasus hipertensi karena kehamilan yang fulminan dapat terjadi eklampsia.

Bentuk serangan kejangnya ada kejang ‘grand mal’ dan dapat timbul pertama kali sebelum, selama, atau setelah persalinan. Kejang yang timbul lebih dari 48 jam setelah persalinan lebih besar kemungkinannya disebabkan lesi lain yang bukan terdapat pada susunan saraf pusat (Cunningham, et al., 2009). Eklampsia yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan kelainan pada susunan saraf. Penyebab eklampsia adalah kurangnya cairan darah ke otak, hipoksik otak atau edema otak (Rustam Mochtar, 2012). PEB dapat menjadi impending eclampsia. Impending eclampsia ditandai dengan adanya hiperrefleksi. Gejala subyektif dari pasien yaitu jika pasien merasa kepalanya pusing, muntah, atau adanya nyeri epigastrik (Turn bull, 1995).

2. Etiologi Menurut Sarwono (2014), penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu punteori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut adalah sebagi berikut: a.

Teori kelainan vaskularisasi plasenta Tidak terjadinya invasi tropoblas pada arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya sehingga lumen arteri spiralis tidak mengalami distensi dan vasodilatasi sehingga terjadi kegagalan remodelling arteri spiralis. Hal ini menyebabkan aliran darah uteroplasenta menurun dan tgerjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

b.

Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel Iskemia plasenta akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas atau oksidan yang beredar dalam sirkulasi sehingga disebut toxaemia. Radikal bebas akan mengikat asam lemak tak jenuh menjadi peroksida lemak yang akan merusak endotel pembuluh darah.

Kerusakan endotel pembuluh darah menyebabakna disfungsi endotel dan berakibat sebagai berikut: -

Gangguan

metabolisme

prostaglandin

sehingga

protasiklin

sebagai vasodilator kuat menurun -

Agregasi trombosit pada endotel yang rusak dan produksi tromboksan sebagai vasokonstriktor kuat

-

Perubahan endotel glomerolus ginjal

-

Peningkatan permeabilitas kapiler

-

Peningkatan bahan vasopresor endotelin dan penurunan nitrit oxide (NO)

c.

Peningkatan faktor koagulasi

Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin Hasil konsepsi pada kehamilan normal tidak terjadi penolakan karena adanya HLA-G pada plasenta sehingga melindungi tropoblas dari lisis oleh sel NK ibu. HLA-G juga akan membantu invasi tropoblas pada jaringan desidua ibu. Pada penurunan HLA-G, invasi tropoblas terhambat sehingga tidak terjadi dilatasi arteri spiralis.

d.

Teori adaptasi kardiovaskulatori genetik Pada wanita hamil normal, terjadi refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor sehingga membutuhkan kadar yang tinggi untuk menyebabkan vasokonstriksi, hal tersebut terjadi karena adanya perlindungan protasiklin. Pada keadaan menurunnya protasiklin maka kepekaan terhadap vasokonstriktor meningkat sehingga mudah terjadi vasokonstriksi.

e.

Teori Genetik Adanya faktor keturunan dan familial dengan gen tunggal. Ibu dengan preeklamsi memungkinkan 26% anak perempuannya juga mengalami preeklamsi.

f.

Teori defisiensi gizi Diet yang dianjurkan untuk mengurangi resiko terjadinya preeklamsi adalah makanan kaya asam lemak tak jenuh yang akan

menghambat terbentuknya tromboksan, aktivasi trombosit dan vasokonstriksi pembuluh darah. Konsumsi kalsium menurut penelitian juga menurunkan insidensi preeklamsi. g.

Teori inflamasi Lepasnya debris tropoblas sebagai sisa proses apoptosis dan nekrotik

akibat stres oksidatif dalam peredaran darah akan

mencetuskan terjadinya reaksi inflamasi. Pada kehamilan normal jumlahnya dalam batas wajar. Sedangkan pada kehamilan dengan plasenta yang besar, kehamilan ganda, dan mola maka debrisnya juga semakin banyak dan terjadi reaksi sistemik inflamasi pada ibu.

3. Patofisiologi Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut: a.

Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahanbahan vasoaktif (vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi penurunan

kadar

prostacyclin

dengan

akibat

meningkatnya

thromboxane yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi. b.

Hipovolemia Intravaskuler Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai 45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga mencapai 30-40%

kehamilan normal.

Menurunnya volume plasma menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada jaringan atau

organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin. c.

Vasokonstriksi pembuluh darah Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan-bahan vasoaktif dalam tubuh dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada sistem pembuluh darah artiole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.

4. Prevalensi Untuk tiap negara berbeda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, kedaan sosial ekonomi, perbedaan dalam penentuan diagnosa. Dalam kepustakaan prevalensi di lapangan berkisar antara 3-10%. Faktor predisposisi terjadinya preeklamsi adalah sebagai berikut: a. Primigravida, primipaternitas b. Hiperplasentosis, misalnya mola hidatidosa, kehamilan multipel, DM, hidrops fetalis, bayi besar c. Umur yang ekstrim (<20 tahun atau >35 tahun) d. Riwayat keluarga preeklamsi-eklamsi e. Penyakit-penyakit ginjal dan hipertensi yang didapatkan sebalum hamil

f. Obesitas

5. Klasifikasi Preeklampsia termasuk kelainan hipertensi dalam kehamilan. Penggolongan kelainan hipertensi dalam kehamilan antara lain : hipertensi kronis, Preeklampsia, superimposed eklampsia pada hipertensi kronis dan hipertensi gestasional. Hipertensi kronik adalah peningkatan tekanan darah yang timbul sebelum kehamilan, terjadi sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau menetap setelah 12 minggu post partum. Sebaliknya, Preeklampsia didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah dan proteinuria yang muncul setelah usia kehamilan 20 minggu. Eklampsia, komplikasi berat preeklampsia

adalah

munculnya

kejang

pada

wanita

dengan

preeklampsia. Kejang eklampsia relatif jarang dan muncul <1% wanita dengan eklampsia. Superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik ditandai dengan proteinuria (atau dengan peningkatan tiba-tiba level protein jika sebelumnya sudah ada proteinuria), peningkatan mendadak hipertensi ( dengan asumsi telah ada proteinuria) atau terjadi HELLP Syndroma.

Wanita hamil dengan tekanan darah>140/90 mmHg Sebelum usia kehamilan 20 minggu

Setelah usia kehamilan 20 minggu

Proteinuria (-) / stabil

Proteinuria (+) / meningkat, TD meningkat, HELLP Syndroma

Proteinuria (+) /

Hipertensi kronik

Preeklampsia superimposed pada Hipertensi kronik

Preeklampsia /

Proteinuria (-) /

Hipertensi Gestasional

Gambar 1. Skema Pembagian Hipertensi dalam Kehamilan Hipertensi gestasional didiagnosa jika terjadi kenaikan tekanan darah tanpa proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu dan tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu post partum. Seperempat wanita dengan hipertensi gestasional mengalami proteinuria dan belakangan berkembang menjadi preeklampsia. Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : a. Preeklampsia ringan - Definisi: Suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. - Kriteria diagnostik : hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa udema setelah usia kehamilan 20 minggu.  Tekanan darah  140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; kenaikan sistolik  30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik  15 mmHg tidak dipakai sebagai kriteria preeklamsi. Cara

pengukuran

sekurang-kurangnya

pada

dua

pemeriksaan dengan jarak periksa 1 jam, sebaiknya 4 jam.

kali

 Proteinuria kuantitatif  300 mg/24 jam ataui ≥ +1 dipstik; pada urin kateter atau mid stream  Oedema : lokal pada tungkai tidak dimasukkan dalam kriteria diagnostik kecuali anasarka b. Preeklampsia berat - Definisi : preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam. - Dibagi menjadi :  Preeklamsi berat dengan impending eclampsia  Preeklamsi berat tanpa impending eclampsia Menurut Organization Gestosis, impending eclampsia adalah gejala-gejala oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif antara lain : nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala obyektif antara lain hiperreflexia, eksitasi motorik dan sianosis (M. Dikman Angsar, 1995). Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala: - Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan tirah baring - Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik - Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam. - Kenaikan kreatinin serum - Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur - Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen karena teregangnya kapsula Glisson - Terjadi oedema paru-paru dan sianosis

- Hemolisis mikroangiopatik - Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT - Pertumbuhan janin terhambat - Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit dengan cepat - Sindroma Hellp. (POGI, 2011; Sarwono, 2010; Rustam Mochtar, 2012)

6. Pencegahan Yang dimaksud pencegahan adalah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada wanita hamil yang mempunyai resiko terjadinya preeklampsia (POGI,2011). Penerangan tentang manfaat istirahat dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklamsi dan segera merawat penderita tanpa memberikan diuretik dan obat antihipertensi. Memang merupakan kemajuan dari pemeriksaan antenatal yang baik (Sarwono, 2010).

8. Diagnosis Banding a.

Hipertensi kronik

b.

Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi

c.

Hipertensi gestasional

d.

Eklamsi

e.

Epilepsi

9. Penanganan

Prinsip penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mencegah timbulnya kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan dan saat yang tepat untuk melahirkan bayi dengan selamat (Sarwono, 2010). Pada preeklampsia, penyembuhan dilakukan dengan ekspulsi yaitu pengeluaran trofoblast. Pada preeklampsia berat, penundaan merupakan tindakan yang salah. Karena preeklampsia sendiri bisa membunuh janin (Cunningham, et al., 2009). PEB dirawat segera bersama dengan bagian Interna dan Neurologi, dan kemudian ditentukan jenis perawatan / tindakannya. Perawatannya dapat meliputi : a. Sikap terhadap penyakit berupa pemberian terapi medikamentosa b. Sikap terhadap kehamilan yaitu: - Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri setelah mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Indikasinya adalah bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini  Ibu : o Kegagalan terapi pada perawatan konservatif :  Setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan tekanan darah yang persisten  Setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan desakan darah yang persisten o Adanya tanda-tanda terjadinya impending eclampsia o Gangguan fungsi hepar o Gangguan fungsi ginjal o Dicurigai terjadi solutio plasenta o Timbulnya onset partus, ketuban pecah dini, perdarahan  Janin : o Umur kehamilan lebih dari 37 minggu o Adanya tanda-tanda gawat janin (bisa diketahui dari NST nonreaktif dan profil biofisik abnormal)

o Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat berat (IUGR berat) berdasarkan pemeriksaan USG o Timbulnya oligohidramnion  Laboratorium : o Tanda-tanda yang menjurus ke HELLP syndrome (POGI, 2011). Pengobatan Medisinal :  Segera masuk rumah sakit  Tirah baring ke kiri secara intermiten  Infus D5% yang tiap liternya diselingi dengan larutan RL 500 cc (60-125 cc/jam)  Pemberian obat anti kejang MgSO4 sebagai pencegahan dan terapi. Pemberian dibagi loading dose (dosis awal) dan dosis lanjutan.  Anti hipertensi diberikan bila tensi ≥ 180/110  Diuretikum diberikan atas indikasi edema paru, payah jantung kongestif, edema anasarka  Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam (POGI, 2011). - Pengelolaan

konservatif,

yang

berarti

kehamilan

tetap

dipertahankan sehingga memenuhi syarat janin dapat dilahirkan, meningkatkan kesejahteraan bayi baru lahir tanpa mempengaruhi keselamatan ibu. Indikasi dari pengelolaan ini adalah kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Pengobatan Medisinal : Sama dengan perawatan medisinal pada pengelolaan secara aktif. Hanya dosis awal MgSO4 tidak diberikan i.v. cukup i.m. saja (MgSO4 40% 8 gr i.m.) (Hidayat W., dkk., 1998). Sebagai pengobatan untuk mencegah timbulnya kejangkejang dapat diberikan:

 Larutan sulfas magnesikus 40 % (4 gram) disuntikan IM pada bokong kiri dan kanan sebagai dosis permulaan, dan dapat diulang 4 gram tiap 6 jam menurut keadaan. Tambahan sulfas magnesikus hanya diberikan bila diuresis baik, reflek patella positif, dan kecepatan pernapasan lebih dari 16 kali per menit  Klorpromazin 50 mg IM  Diazepam 20 mg IM Penggunaan obat

hipotensif pada preeklampsia berat

diperlukan karena dengan menurunkan tekanan darah kemungkinan kejang dan apopleksia serebri menjadi lebih kecil. Apabila terdapat oligouria, sebaiknya penderita diberi glukosa 20 % secara intravena. Obat diuretika tidak diberikan secara rutin. Untuk penderita preeklampsia diperlukan anestesi dan sedativa lebih banyak dalam persalinan. Pada kala II, pada penderita dengan hipertensi, bahaya perdarahan dalam otak lebih besar, sehingga apabila syarat-syarat telah terpenuhi, hendaknya persalinan diakhiri dengan cunam atau vakum. Pada gawat janin, dalam kala I, dilakukan segera seksio sesarea; pada kala II dilakukan ekstraksi dengan cunam atau ekstraktor vakum (Budiono, 1999).

10. Prognosis Prognosis PEB dan eklampsia dikatakan jelek karena kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya karena perdarahan otak, decompensatio cordis, oedem paru, payah ginjal dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena prematuritas dan hipoksia intra uterin.

B. SINDROMA HELLP 1. Definisi Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver enzymes and Low Platelet counts, pertama kali dilaporkan oleh Louis Weinstein tahun 1982 pada penderita PEB. Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multi sistem pada penderita PEB dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar dan trombositopeni (Haryono, 2004).

2. Insiden Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit di duga, gambaran klinisnya sangat bervariasi dan perbedaan dalam kriteria diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar antara 2 – 12% dari pasien dengan PEB, dan berkisar 0,2 – 0, 6% dari seluruh kehamilan (Haryono, 2004).

3. Patogenesis Karena sindroma HELLP adalah merupakan bagian dari preeklampsia, maka etiopatogenesisnya sama dengan preeklampsia. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti patogenesis preeklampsia atau sindroma HELLP. Ada perbedaan yang nyata antara kehamilan normal dan preeklampsia, yaitu pada tekanan darah pada trimester II (kehamilan normal) menurun, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II, prostasiklin dan volume darah meningkat. Lain halnya pada preeklampsia, tekanan darah pada trimester II meningkat, sedangkan kadar plasma renin, angiotensin II dan prostasiklin menurun. Beberapa ahli menitikberatkan pada gangguan fungsi endotel atau trofoblast dan teori ini dikenal dengan teori kerusakan endotel.

4. Klasifikasi Berdasarkan

hasil

pemeriksaan

laboratorium,

Martin

mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori, yaitu : a. Kelas I

: jumlah platelet  50.000/mm3.

b. Kelas II

: jumlah platelet 50.000 – 100.000/mm3.

c. Kelas III : jumlah platelet 100.000 – 150.000/mm3(7). Menurut Audibert dkk. (1996), dikatakan sindroma HELLP partial apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma HELLP seperti hemolisis (H), elevate liver enzymes (EL) dan low platelets (LP); dan dikatakan sindroma HELLP murni jika dijumpai perubahan pada ketiga parameter tersebut.

5. Gambaran Klinis Gejala klinis sindroma HELLP merupakan gambaran adanya vasospasme pada sistem vaskuler hepar yang menurunkan fungsi hepar. Oleh karena itu gejala sindroma HELLP memberi gambaran gangguan fungsi hepar yang dapat berupa : malaise, nausea, kadang-kadang disertai vomitus dan keluhan nyeri di epigastrium kanan atas (M. Dikman Angsar, 1995). Karena gejala dan tanda bervariasi maka seringkali terjadi salah diagnosis, sehingga ada peneliti yang merekomendasikan bahwa semua ibu hamil yang memiliki salah satu dari gejala tersebut hendaknya dilakukan pemeriksaan apusan darah, jumlah trombosit dan enzim hepar serta tekanan darah ibu.

6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium

pada sindroma HELLP

sangat

diperlukan karena diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium, walaupun sampai saat ini belum ada batasan yang tegas tentang nilai batas untuk masing-masing parameter. a. Hemolisis

Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan gambaran

yang spesifik pada sindroma HELLP.

Hemoglobin bebas dalam sistem retikulo endothelial akan berubah menjadi

bilirubin.

Peningkatan

kadar

bilirubin

menunjukkan

terjadinya hemolisis. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritropoesis, yang mengakibatkan beredarnya eritrosit imatur. b. Peningkatan kadar enzim hepar Serum aminotransferase

yaitu

aspartat

aminotransferase

(SGOT) dan glutamat piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada preeklampsia, SGOT dan SGPT meningkat 1

/5 kasus, dimana 50% diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada

sindroma HELLP peningkatan SGOT lebih tinggi dari SGPT terutama pada fase akut dan progresivitas sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga merupakan tanda terjadinya ruptur hepar. Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggungjawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar. Peningkatan kadar LDH tanpa disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya hemolisis. c. Jumlah platelet yang rendah (Haryono, 2004).

7. Diagnosis Kriteria diagnosis sindroma HELLP menurut Sibai adalah sebagai berikut (Cunningham, 2009) : 1. Hemolisis  Schistiosit pada apusan darah  Bilirubin  1,2 mg/dl  Haptoglobin plasma tidak ada 2. Peningkatan enzim hepar  SGOT  72 IU/L

 LDH  600 IU/L 3. Jumlah trombosit rendah  Trombosit  100.000/mm3

8. Penatalaksanaan Mengingat kejadian sindroma HELLP pada kehamilan muda, maka terdapat kontroversi pada penanganan sindroma HELLP. Prioritas utama adalah menstabilkan kondisi ibu terutama jika terjadi gangguan pembekuan darah. Tahap berikutnya adalah melihat kesejahteraan janin, kemudian keputusan segera apakah ada indikasi untuk dilahirkan atau tidak. Sebagian setuju untuk melakukan perawatan secara konservatif sampai kematangan paru janin tercapai dalam upaya meningkatkan kualitas bayi yang dilahirkan. Sebagian lainnya melakukan tindakan agresif untuk melakukan terminasi secepatnya apabila gangguan fungsi hati dan koagulasi diketahui. Beberapa peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan usia kehamilan, mengingat besarnya risiko maternal serta jeleknya luaran perinatal apabila kehamilan diteruskan. Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi yang definitif (Haryono, 2004). Penanganan pertama sesuai dengan penanganan PEB. Kemudian dilakukan evaluasi dan koreksi kelainan faktor-faktor pembekuan (Haryono, 2004). Untuk perawatan konservatif dianjurkan tirah baring total dengan infus

plasma

albumin

5–25%.

Tujuannya

untuk

menurunkan

hemokonsentrasi, peningkatan jumlah trombosit dan pengurangan beberapa gejala toksemia. Jika cervix memadai dapat dilakukan induksi oksitosin drip pada usia kehamilan  32 minggu. Apabila keadaan cervix kurang memadai, dilakukan elektif seksio Caesar. Apabila jumlah trombosit  50.000/mm3 dilakukan tranfusi trombosit.

9. Prognosis

Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk mendapat risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan mempunyai risiko sampai 43% untuk mendapat preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Angka morbiditas dan mortalitas pada bayi tergantung dari keparahan penyakit ibu. Anak yang menderita sindroma HELLP mengalami perkembangan yang terhambat (IUGR) dan sindroma kegagalan napas (Haryono, 2004).

BAB IV ANALISIS KASUS

Preeklamsiberat

(PEB)

terjadipadausiakehamilandiatas

merupakansuatusindroma 20

initerjadidikarenakanadanyapenurunanperfusi

spesifik

minggu.

Hal

organ

berakibatterjadinyavasospasmepembuluhdarahdanaktivasiendotel

yang

yang yang

mana

didiagnosis dengan kriteria tekanandarahsistolik ≥160 mmHg, diastolik  100 mmHg dan protein urin  +2. Sedangkan impending eclampsia adalah gejala edema, proteinuria, hipertensi, disertai gejala subjektif dan objektif. Gejala subjektif antara lain, nyeri kepala frontalis, gangguan visual, dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala objektif antara lain hiperrefleksia, eksitasi motorik, dan sianosis. Pada pasien ini ditemukan tekanan darah sistolik 230 mmHg, diastolik 160 mmHg dan protein urin +4. Selain itu pasien juga mengeluhkan

nyeri ulu hati, nyeri kepala frontalis, dan pandangan kabur . Hal ini mendukung diagnosis impending eclampsia pada pasien ini. HELLP syndrome merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count, hal ini merupakan komplikasi dari preeklampsia dan eclampsia yang terdiri dari hemolysis (penghancuran sel darah merah), peningkatan enzim hati (yang menunjukkan adanya kerusakan hati), dan penurunan jumlah trombosit. Pada pasien ini ditegakkan diagnosis partial HELLP syndrome dari hasil pemeriksaan laboratorium yang didapatkan adalah LDH yang meningkat (985 ul/l) yang menandai adanya hemolysis, trombositopenia (100.000/ul), kadar enzim hati SGOT meningkat (35 ul/l) SGPT meningkat (41 ul/l). Pada PEB tatalaksana yang digunakan pada bagian obsgin RSDM adalah terapi protap PEB berupa O2 nasal kanul 3 lpm, infus RL 12 tpm, injeksi MgSO420% initial dose 4 gr secara IV, dilanjutkanmaintenance dose 1 gr/jam selama 24 jam, nifedipine 3x10 mg jika TD ≥ 160/110 mmHg, dan pemasangan DC untuk pengawasan ketat Balance Cairan. Pemberian oksigenasi melalui nasal kanul bertujuan untuk memberikan tambahan suplai oksigen kepada ibu dan janin agar tidak terjadi hipoksia pada janin sebab pada pasien preeklampsia berat terjadi penurunan suplai oksigen dan nutrisi akibat gangguan sirkulasi pada uteroplasenta. Untuk mengompensasi kurangnya nutrisi dari ibu ke janin, infus RL 12 tpm diberikan sambil diawasi tanda-tanda terjadinya oedem pulmo akibat kelebihan cairan. Injeksi MgSO4 diberikan sebagai antikejang agar penderita preeklampsia berat tidak menjadi eklampsia dengan cara menurunkan kadar kalsium interseluler sehingga potensial aksi terhambat. Injeksi MgSO4 dapat diberikan secara intramuskular maupun intravena. Pemberian injeksi intramuskular dilakukan dengan cara menyuntikkan dosis awal MgSO4 40% pada bokong kanan dan kiri dengan dosis masing-masing 4 gram kemudian dilanjutkan dengan dosis maintenance masing-masing 2 gram setiap 6 jam dalam 24 jam setelah pemberian dosis awal. Pemberian injeksi intravena dilakukan dengan cara menyuntikkan dosis awal MgSO4 20% dengan dosis 2 gram dalam 15 menit kemudian

dilanjutkan dengan dosis maintenance 1 gram per jam dalam 24 jam setelah pemberian dosis awal. Pemberian intravena ini dilakukan melalui syringe pump. Perlu dicermati adanya intoksikasi pemberian MgSO4 bila ditemukan hilangnya refleks patella, penurunan frekuensi pernafasan <16x/menit, perlambatan atau berhentinya denyut jantung. Antidotum yang diberikan bila terjadi intoksikasi adalah Ca glukonas dengan dosis 1 gr intravena dalam 3 menit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari S. 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI. Jakarta. Abdul Bari S, George Andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Angsar MD. 2009. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR,pp: 10-19. Budiono Wibowo. 1999. Preeklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Buku Acuan Nasional. 2001.

Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. 2009. Obsetri William: Edisi 23. Jakarta: EGC. Depkes. RI. 2007. Buku Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta: Departemen Kesehatan dan JICA. Djannah, S. N, et al,. 2010.Gambaran epidemiologi kejadian preeklampsia/ eklampsia di rsu pku muhammadiyah yogyakarta tahun 2007–2009. Buletin penelitian sistem kesehatan. 13: 378– 385 Haram K, Svendsen E, dan Abilgaard U. The HELLP syndrome: clinical issues and management: a review. BMC Pregnancy and Childbirth. 2009; 9:8 Jayakusuma A. 2011. Sindroma HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. Denpasar : FK – UNUD; 25 – 43. Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Martin JA, Kung HC, Mathews TJ, Hoyert DL, Strobino DM, Guyer B, et al. Annual summary of vital statistics: 2006. Pediatrics 2008;121:788–801. Marzanie, Hanifa dan Desy Kurniawati. 2009. Obgynacea.Yogyakarta, Indonesia. Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetri Edisi 2 Jilid 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Neville F, Hacker J, George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Hipokrates, Park KH, Hong JS, Kang WS, Shin DM, Kim SN. Body mass index, Bishop score, and sonographic measurement of the cervical length as predictors of successful labor induction in twin gestations. J Perinat Med 2009;37:519– 23. POGI. 2011. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia Edisi 3. Semarang: Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sastrawinata, S. 2003. Obstetri Patologi. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Sofian A. 2011. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : EGC. pp: 143-149 Spong CY, Mercer BM, D’alton M, Kilpatrick S, Blackwell S, Saade G. Timing of

indicated

late-preterm

and

early-term

birth.

Obstet

Gynecol

2011;118:323–33. Wiknjosastro, Hanifa, Abdul Bari Saifuddin, dan Trijatmo Rachimhadhi. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. WHO.

2005.

Maternal

Mortality

in2005. http://www.who.int/whosis/mme_2005.pdf. diakses 15 Juli 2017.

Related Documents


More Documents from "aswan bagas"