Presentasi Jurnal Jiwa.docx

  • Uploaded by: novita sari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Presentasi Jurnal Jiwa.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,994
  • Pages: 32
RESUME JURNAL Gambaran Kemampuan Mengontrol Halusinasi Klien Skizofrenia Dengan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) di Panti Karya Asih Lawang Kabupaten Malang

Oleh : Kelompok 2

Ali Iswahyudi

Emanuel Wora Kaka

Novita Sari

Celestina Mendoca

Megawati Silviana

Rilantus Jematu

Aisa Mony

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA JOMBANG 2019

Gambaran Kemampuan Mengontrol Halusinasi Klien Skizofrenia Dengan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) di Panti Karya Asih Lawang Kabupaten Malang

Telah disetujui Proposal Jurnal pada pasien dengan Halusinasi yang dirawat di Panti Karya Asih Lawang Kabupaten Malang Hari / Tanggal :

2019

Pembimbing Institusi

(

Pembimbing Klinik

)

(

)

Mengetahui Kepala Ruangan

(

)

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan Resum Jurnal ini dengan baik. Asuhan Keperawatan Jiwa dengan “Gambaran Kemampuan Mengotrol Halusinasi” disusun untuk memenuhi tugas mahasiswa Stase Keperawatan Jiwa Jurusan Pendidikan Profesi Ners STIKes Husada Jombang. Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 1. Direktur Yayasan Panti Karya Asih Lawang yang telah mengijinkan dan memfasilitasi selama kami praktek di Panti Karya Asih Lawang 2. Direktur Stikes Husada Jombang Dra. Hj. Soeljah Hadi, M. Kes, MM yang memberangkatkan kami praktek disini. 3. Dosen pembimbing dan CI Lahan yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyelesaian Askep ini. 4. Kaka-Kaka Pendamping Panti Karya Asih Lawang 5. Orang Tua Kami tercinta yang selalu memberikan do’a restu dan dukungan baik moral maupun spiritual dalam proses pembelajaran kami. 6. Serta rekan – rekan dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian dan penyusunan askep ini. Kami menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan Jurnal resume ini Kedepan. Akhir kata, semoga proposal ini berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang membaca, serta dapat dijadikansebagai bahan untuk menambah pengetahuan para mahasiswa, dan pembaca.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Halusinasi adalah perubahan sensori dimana pasien merasakan sensasi yang tidak ada berupa suara, penglihatan, pengecapan,dan perabaan (Damaiyanti, 2012). Menurut Valcarolis dalam Yosep Iyus (2009) mengatakan lebih dari 90% pasen dengan skizofrenia mengalami halusinasi, halusinasi yang sering terjadi yaitu halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, dan halusinasi penciuman. Menurut Valcarolis dalam Yosep Iyus (2009) mengatakan lebih dari 90% pasien dengan skizofrenia mengalami halusinasi, dan halusinasi yang sering terjadi adalah halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, halusiansi penciuman dan halusinasi pengecapan. Menurut Videbeck dalam Yosep Iyus (2009) tanda pasien mengalami halusinasi pendengaran yaitu pasien tampak berbicara ataupun tertawa sendiri, pasien marah-marah sendiri, menutup telinga karena pasien menganggap ada yang berbicara dengannya. Halusinasi terjadi karena adanya reaksi emosi berlebihan atau kurang, dan perilaku aneh Damaiyanti (2012). Bahaya secara umum yang dapat terjadi pada pasien dengan halusinasi adalah gangguan psikotik berat dimana pasien tidak sadar lagi akan dirinya, terjadi disorientasi waktu, dan ruang ( Iyus Yosep, 2009). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2010 prevalensi gangguan jiwa di jawa timur sebesar 3,1% dengan jumlah penduduk Jawa Timur laki-laki 49,30% dan perempuan 50,66%. Berdasarkan prevalensi pasien dengan halusinasi di Rumah Sakit Jiwa Menur Provinsi Jawa Timur ruang Flamboyan mulai dari 31 Desember 2015 sampai 6 juni 2016 sebanyak 89 orang.

1.2 Tujuan a. Tujuan Umum

Memperoleh

gambaran

kemampuan

pasien

mengontrol

halusinasi

pendengaran b. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi kemampuan pasien mengenal halusinasi pendengaran 2. Mengidentifikasi kemampuan pasien menyela atau mengahardik halusinasi pendengaran 1.3 Manfaat a. Bagi Penulis Hasil studi ini dapat memberikan wawasan tentang Gambaran Mengontrol Halusinasi b. Bagi institusi akademik Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan bahan acuan pertimbangan pada keperawatan dengan Gangguan Halusinasi c. Bagi klien Memberi pengetahuan dan ketrampilan pada Klien tentang Cara Mengontrol Halusinasi d. Bagi Pembaca Memberikan gambaran mengenai Cara Mengontrol Halusinasi. 1.4 Identifikasi Masalah Bagaimanakah penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan Halusinasi di Panti Karya Asih Lawang Kabupaten Malang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Halusinasi 2.1.1 Pengertian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan sensori persepsi; halusinasi merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, penciuman, perabaan atau penghidungan. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada (Keliat, 2010). Berdasarkan Depkes (2000 dalam Dermawan & Rusdi, 2013) halusinasi adalah gerakan penyerapan (persepsi) panca indera tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem panca indera terjadi pada saat kesadaran individu penuh atau baik. Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Farida, 2010). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud halusinasi adalah persepsi salah satu gangguan jiwa pada individu yang ditandai dengan perubahan persepsi sensori seseorang yang hanya mengalami rangsang internal (pikiran) tanpa disertai adanya rangsang eksternal (dunia luar) yang sesuai.

2.1.2 Jenis-Jenis Halusinasi Menurut Farida ( 2010 ) halusinasi terdiri dari tujuh jenis: a. Halusinasi Pendengaran Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat membahayakan. b. Halusinasi Penglihatan Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bisa yang menyenangkan atau menakutkan. c. Halusinasi Penghidu atau Penciuman

Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses, parfum atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau dimensia. d. Halusinasi Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses e. Halusinasi Perabaan Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain. f. Halusinasi Cenesthetik Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makan atau pembentukan urine. g. Halusinasi Kinestetika Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak. 2.1.3 Tahapan halusinasi Tahapan halusinasi menurut Depkes RI (2000 dalam Dermawan & Rusdi, 2013) sebagai berikut : a. Tahap I (comforting): Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara umum halusinasi merupakan suatu kesenangan dengan karakteristik : 1) Klien mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan. 2) Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas. 3) Pikiran dan pengalaman masih dalam kontrol kesadaran. Perilaku klien : 1) Tersenyum atau tertawa sendiri. 2) Menggerakkan bibir tanpa suara. 3) Pergerakan mata yang cepat. 4) Respon verbal yang lambat. 5) Diam dan berkonsentrasi. b. Tahap II (Condeming): Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipasti dengan karakteristik : 1) Pengalaman sensori menakutkan. 2) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut. 3) Mulai merasa kehilangan kontrol. 4) Menarik diri dari orang lain. Perilaku klien : 1) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah. 2) Perhatian dengan lingkungan berkurang. 3) Konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya. 4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas. c. Tahap III (Controlling): Mengontrol, tingkat kecemasan berat, pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi dengan karakteristik : 1) Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya (halusinasi).

2) Isi halusinasi menjadi atraktif. 3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir. Perilaku klien : 1) Perintah halusinasi ditaati. 2) Sulit berhubungan dengan orang lain. 3) Perhatian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik. 4) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat. d. Tahap IV (Conquering): Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi, klien tampak panik. Karakteristiknya yaitu suara atau ide yang datang mengancam apabila tidak diikuti. Perilaku klien : 1) Perilaku panik. 2) Resiko tinggi mencederai. 3) Agitasi atau kataton. 4) Tidak mampu berespon terhadap lingkungan. Teori tahapan halusinasi ini dikuatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sihotang dengan judul “Perubahan gejala halusinasi pasien jiwa sebelum dan sesudah TAK stimulasi persepsi halusinasi di RS Grhasia Provinsi DIY” bahwa gejala halusinasi pada responden penelitian ditunjukan pada 4 tahapan halusinasi yaitu tahapan komforting, kondeming, kontroling dan konkuering. 2.1.4

Etiologi Halusinasi Menurut Rawlins & Heacock (1988 dalam Dermawan & Rusdi, 2013) etiologi halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi, yaitu : a. Dimensi fisik Halusinasi dapat meliputi kelima indera, tetapi yang paling sering ditemukan adalah halusinasi pendengar, halusinasi dapat ditimbulkan dari beberapa kondisi seperti kelelahan yang luar biasa.Penggunaan obat-obatan demam tinggi hingga terjadi delirium intoksikasi, alkohol dan kesulitan-kesulitan untuk tidur dan dalam jangka waktu yang lama. b. Dimensi emosional Terjadinya halusinasi karena ada perasaan cemas yang berlebih yang tidak dapat diatasi. Isi halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan yang tidak dapat dikontrol dan menentang, sehingga menyebabkan klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut. c. Dimensi intelektual

Penunjukkan penurunan fungsi ego. Awalnya halusinasi merupakan usaha ego sendiri melawan implus yang menekan dan menimbulkan kewaspadaan mengontrol perilaku dan mengambil seluruh perhatian klien. d. Dimensi sosial Halusinasi dapat disebabkan oleh hubungan interpersonal yang tidak memuaskan sehingga koping yang digunakan untuk menurunkan kecemasan akibat hilangnya kontrol terhadap diri, harga diri, maupun interaksi sosial dalam dunia nyata sehingga klien cenderung menyendiri dan hanya bertuju pada diri sendiri. e. Dimensi spiritual Klien yang mengalami halusinasi yang merupakan makhluk sosial, mengalami ketidakharmonisan berinteraksi. Penurunan kemampuan untuk menghadapi stress dan kecemasan serta menurunnya kualitas untuk menilai keadaan sekitarnya. Akibat saat halusinasi menguasai dirinya, klien akan kehilangan kontrol terhadap kehidupanya. Menurut Struat & Sundden (1998 dalam Dermawan & Rusdi, 2013) terjadi halusinasi disebabkan karena a. Teori psikoanalisa Halusinasi merupakan pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam, ditekan untuk muncul akan sabar. b. Teori biokimia Halusinasi terjadi karena respon metabolisme terhadap stress yang mengakibatkan dan melepaskan zat halusinogenik neurokimia seperti bufotamin dan dimetyltransferase. Menurut Mc.Forlano & Thomas (dalam Dermawan & Rusdi, 2013) mengemukakan beberapa teori yaitu : a. Teori psikofisiologi Terjadi akibat ada fungsi kognitik yang menurun karena terganggunya fungsi luhur otak, oleh karena kelelahan, karacunan dan penyakit. b. Teori psikodinamika Terjadi karena ada isi alam sadar dan akan tidak sadar yang masuk dalam alam tak sadar merupakan sesuatu atau respon terhadap konflik psikologi dan kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga halusinasi adalah gambaran

atau proyeksi dari rangsangan keinginan dan kebutuhan yang dialami oleh klien c. Teori interpersonal Teori ini menyatakan seseorang yang mengalami kecemasan berat dalam situasi yang penuh dengan stress akan berusaha untuk menurunkan kecemasan dengan menggunakan koping yang biasa digunakan. 2.1.5 Rentang Respons Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Pikiran Logis - Persepsi Akurat - Emosi konsistensi dengan pengalaman - Perilaku sesuai - Hubungan sosial

Pikiran kadang - Gangguan pikiran menyimpang waham -Ilusi - Halusinasi -Reaksi emosional - Kesulitan untuk berlebih atau berkurang memproses halusinasi -Perilaku aneh atau tidak - Ketidakteraturan lazim perilaku 2.1 Rentang respon neurobiologis menurut Stuart (2013) - Menarik diri - Isolasi sosial

Keterangan rentang respon menurut Farida (2010) yaitu : a. Pikiran logis yaitu ide yang berjalan secara logis dan koheren. b. Persepsi akurat yaitu proses diterimanya rangsangan melalui panca indra yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang ada di dalam maupun di luar dirinya. c. Emosi konsisten adalah manifestasi perasaan yang konsisten atau efek keluar disertai banyak komponen fisiologik dan biasanya berlangsung tidak lama. d. Perilaku sesuai yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan masalah masih dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya umum yang berlaku. e. Hubungan sosial yaitu hubungan yang dinamis menyangkut antara individu dan individu, individu dan kelompok dalam bentuk kerja sama. f. Proses pikiran kadang terganggu (ilusi) yaitu interprestasi yang salah atau menyimpang tentang penyerapan (persepsi) yang sebenarnya sungguh – sungguh terjadi karena adanya rangsang panca indra.

g. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari dengan orang lain. h. Emosi berlebihan atau kurang yaitu menifestasi perasaan atau afek keluar berlebihan atau kurang. i. Perilaku tidak sesuai atau tidak biasa yaitu perilaku individu berupa tindakan nyata dalam menyelesaikan masalahnya tidak diterima oleh norma-norma sosial atau budaya umum yang berlaku. j. Waham adalah sesuatu keyakinan yang salah dipertahankan secara kuat atau terus menerus namun tidak sesuai dengan kebenaran. k. Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar).Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. l. Isolasi sosial yaitu menghindari dan dihindari oleh lingkungan sosial dan berinteraksi. 2.1.6 Mekanisme Koping Mekanisme Koping menurut Stuart (2013) yaitu perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurologis maladaptif meliputi : a. Regresif berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup sehari – hari. b. Proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan karancuan persepsi. c. Menarik diri. 2.1.7 Proses terjadinya Masalah Halusinasi terjadi karena klien tersebut pada dasarnya memiliki koping yang tidak efektif terhaap berbagai stresor yang menimpanya. Kondisi yang timbul karena kondisi di atas adalah klien cenderung akan menarik diri dari lingkungan dan terjadilah isolasi sosial. Kesendirian tersebut jika berlangsung lama akan menimbulkan halusinasi dan semakin lama klien akan semakin menikmati dan asik dengan halusinasinya itu. Karena adanya hal yang tidak nyata akan muncul perintah yang bisa menyuruh klien merusak diri sendiri dan lingkungan di sekitarnya (Keliat dkk, 2010). 2.1.8 Masalah keperawatan

Keliat dkk (2010) menerangkan bahwa 4 masalah keperawatan pada gangguan halusinasi, diantaranya adalah risiko mencederai diri, gangguan sensori atau persepsi, isolasi sosial: menarik diri, gangguan pemeliharaan kesehatan. 2.1.9 Tindakan keperawatan pasien halusinasi Berdasarkan Dermawan & Rusdi (2013) tindakan keperawatan pada pasien halusinasi terdiri dari tindakan keperawatan untuk pasien dan tindakan keperawatan untuk keluarga. a. Tindakan keperawatan untuk pasien meliputi: 1) Tujuan tindakan meliputi pasien mampu mengenali halusinasi yang dialaminya, pasien dapat mengontrol halusinasinya, pasien mengikuti program pengobatan secara obtimal. 2) Tindakan keperawatan meliputi: a. Membantu pasien mengenali halusinasi Untuk membantu pasien mengenali halusinasi, dapat dilakukan dengan cara diskusi dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang didengar atau dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi munculdan respon pasien saat halusinasi muncul. b. Melatih pasien mengontrol halusinasi Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi, dapat melatih pasien dalam 4 cara yang dapat mengendalikan halusinasi, diantaranya adalah : (1) Menghardik halusinasi Merupakan upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatin untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau tidak memperdulikan halusinasinya. Jika ini dapat dilakukan, pasien akan mampu mengendalikan dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Kemungkinan halusinasi yang muncul kembali tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk mengikuti apa yang ada dalam halusinasinya. Tahap tindakan keperawatan meliputi menjelaskan cara menghardik, memperagakan cara menghardik, meminta pasien

memperagakan

ulang,

memamtau

penerapan

cara

ini,

menguatkan perilaku pasien. (2) Bercakap-cakap dengan orang lain Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi. Fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut, sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan menganjurkan pasien untuk bercakapcakap dengan orang lain. (3) Melakukan aktivitas yang terjadwal Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan memiliki bayak waktu luang untu sendiri yang dapat mencetuskan halusinasi. Pasein dapt menyusun jadwal dari bangun

pagi

sampai

tidur

malam.

Tahapannya

adalah

menjelaskan pentingnya beraktivitas, yang teratur untuk mengatasi halusinasi. Mendiskusikan aktivitas yang biasa dilakukan pasien, melatih melakukan aktivitas, menyusun jadwal aktivitas sehari-hari, membantu pelaksanaan jadwal kegiatan, memberi penguata pada perilaku yang positif. (4) Menggunakan obat secara teratur Untuk menghindari kekambuhan

atau

muncul

kembali

halusinasi, pasien perlu memgkonsumsi obat secara teratur dengan tindakan menjelaskan manfaat obat, menjelaskan akibat putus obat, menjelaskan cara mendapatkan obat atau berobat dan jelaskan cara menggunakan dengan 5 benar (benar obat, benar pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis). 3) Tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP): a) SP 1 P : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.

b) SP 2 P : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara bercakapcakap dengan orang lain. c) SP 3 P : melatih pasien mengontrol halusinasi melaksanakan aktivitas terjadwal. d) SP 4 P : melatih pasien menggunakan obat secara teratur. b. Tindakan keperawatan untuk keluarga meliputi: Tindakan keperawatan untuk keluarga memiliki tujuan agar keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun di rumah serta keluarga dapat menjadi sisitem pendukung yang efektif untuk pasien. 1) Tindakan keperawatan Keluarga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan asuhan keperawatan halusinasi. Dukungan keluarga selama pasien dirawat di rumah sakit sangat dibutuhkan sehingga pasien termotivasi untuk sembuh. Perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga agar menjadi pendukung yang efektif pada pasien. 2) Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pendekatan strategi pelaksanaan (SP): a) SP 1 keluarga : pendidikan kesehatan tentang gangguan halusinasi. b) SP 2 keluarga : melatih keluarga praktik merawat pasien langsung didepan pasien. c) SP 3 keluarga : membuat perencanaan pulang bersama keluarga. 2.10 Evaluasi Tindakan Keperawatan Evaluasi Tindakan keperawatan menurut keliat (2006) yaitu evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi dua yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir:

S

: respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

O

: respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan

A

: analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.

P

: perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.

2.2 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) 2.2.1 Pengertian kelompok Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu denganyang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama Stuart & Laraia (2001, dalam Keliat & Akemat, 2010). Terapi kelompok adalahmetode pengobatan ketika klien ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan tertentu. Fokus terapi

kelompokadalah

peningkatan

membuat

hubunganinterpersonal,

sadar

diri

membuat

(self-awareness), perubahan

atau

ketiganya (Keliet & Akemat, 2010). 2.2.2 Tujuan dan fungsi kelompok Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptive. Kekuatan kelompok ada pada kontribusi dari setiap anggota dan pemimpin dalam mencapai tujuannya. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok terapeutik membantu mengatasi stres emosi, penyakit fisik kritis, tumbuhkembang, atau penyesuaian social (Keliat, 2010) 2.2.3 Komponen kelompok

a. Struktur Kelompok Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan keputusan, dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama. b. Besar Kelompok Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart dan Laraia (2011) adalah 710 orang, menurut Lencester adalah 10-12 orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan Beck adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi. c. Lama Sesi Waktu optimal untuk sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi (Stuart & Laraia, 2011). Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, 21 kemudian tahap kerja, dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan. d. Komunikasi Salah satu tugas pemimpin kelompok yang terpenting adalah mengobservasi dan menganalisis pola komunikasi dalam kelompok. Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberi kesadaran pada anggota kelompok terhadap dinamika yang terjadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetisi, dan seberapa jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan yang dilaksanakan. e. Peran Kelompok Pemimpin perlu mengobservasi peran yang terjadi dalam kelompok. Ada tiga peran dan fungsi kelompok yang ditampilkan anggota kelompok dalam kerja kelompok yaitu (Berne & Sheats, 1948 dalam Stuart & Laraia, 2011) maintenance roles, task

roles, dan individual role. Maintenance Roles yaitu peran serta aktif dalam proses kelompok dan fungsi kelompok. Task Roles yaitu fokus pada penyelesaian tugas. Individual role adalah self-centered dan distraksi pada kelompok. f. Peran Perawat dalam TAK Menurut Purwaningsih & Karlina (2010) menjelaskan

bahwa

peran

perawat

jiwa

profesional

dalam

pelaksanaan TAK pada penderita skizofrenia adalah: 1) Peran perawat sebagai penyusun program terapi yang digunakan sebagai pedoman dan acuan pelaksanaan TAK. 2) Peran perawat bertugas sebagai leader dan co-leader, meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya TAK. 3) Peran Perawat sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan. 4) Peran perawat sebagai observer meliputi mencatat serta mengamati respon penderita, mengamati jalanya proses TAK dan menangani peserta atau anggota kelompok yang drop out. 5) Peran perawat dalam mengatsi masalah yang timbul selama pelaksanaan TAK. Kemungkinan akan timbul sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistesi baik individu maupun kelompok dan adanya anggota keompok yang drop out. Untuk mengatasai permasalahan tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari TAK tersebut. g. Kekuatan Kelompok Kekuatan adalah kemampuan

anggota

kelompok

dalam

memengaruhi berjalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan anggota kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa

yang paling banyak mendengar dan siapa yang membuat keputusan dalam kelompok. h. Norma Kelompok Norma adalah standar perilaku yang ada pada kelompok. Pengharapan terharap perilaku kelompok pada masa yang akan dating berdasarkan pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma kelompok berguna untuk mempengaruhi pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam kelompok. Kesesuaian perilaku anggota kelompok dengan norma kelompok, penting dalam menerima anggota kelompok. Anggota kelompok yang tidak mengikuti norma dianggap pemberontak dan ditolak anggota kelompok lain (Keliat, 2010). i. Kekohesifan Kekohesifan adalah kekuatan anggota kelompok berkerja sama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi anggota kelompok untuk tetap betah dalam kelompok. Apa yang membuat anggota kelompok tertarik dan puas terhadap kelompok, perlu diidentifikasi agar kehidupan kelompok dapat dipertahankan. 2.2.4 Perkembangan kelompok a. Fase Prakelompok Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan pelaksanaan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu disusun proposal atau panduan pelaksanaan kegiatan kelompok. Garis besar isi proposal adalah daftar tujuan umum dan khusus; daftar pemimpin kelompok disertai kehliannya; daftar kerangka teoritis yang akan digunakan pemimpin untuk mencapai tujuan; daftar criteria anggota kelompok; uraian proses seleksi anggota kelompok; uraian struktur kelompok: tempat sesi, waktu sesi, jumlah anggota, jumlah sesi, perilaku anggota yang diharapkan, dan perilaku pemimpin yang diharapkan; uraian tentang proses evaluasi anggota kelompok dan kelompok; uraian alat dan sumber yang dibutuhkan; uraian dana yang dibutuhkan. Proposal dapat

pula berupa pedoman atau panduan menjalankan kegiatan kelompok. b. Fase awal kelompok 1) Tahap orientasi Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan, struktur, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang berbicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki atau kohesif antara anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi. 2) Tahap konflik Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini, sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih mengarahakan atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Ada pula anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antar anggota kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negatif, dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik. 3) Tahap kohesif Setelah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan. Mereka belajar persamaan dan

perbedaan, anggota kelompok akan membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatu realitas. c. Fase kerja Pada fase ini kelompok sudah menjadi tim. Walaupun mereka bekerja keras tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi stabil dan realistis. Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok ke arah pencapaian tujuan. Serta mengurangi dampak dari faktor apa saja yang dapat mengurangi produktifitas kelompok. Selain itu pemimpin juga bertindak sebagai konsultan. Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup, conflict, self disclosure, dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi sangat akrab, berlomba mendapat perhatian pemimpin, tidak ada lagi kerahasiaan karena keterbukaan yang tinggi dan keengganan berubah perlu didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi. Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktifitas dan kemampuan yang bertambah disertai kepercayaan diri dan kemandirian. Pada kondisi ini kelompok segera masuk ke fase berikut, yaitu perpisahan. d. Fase terminasi Terminasi dapat sementara (temporal) atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok. Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian baik kelompok maupun individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrumen evalusai kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari. Pada akhir sesi, perlu dicatat atau didokumentasikan proses yang terjadi berupa notulen. Juga

didokumentasikan

pada

catatan

implementasi

tindakan

keperawatan tentang pencapaian dan perilaku yang perlu dilatih pada klien diluar sesi. 2.2.5 . TAK stimulasi persepsi a. Pengertian Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang menggunakan aktivitas yang menggunakan aktivitas mempersepsikan berbagai stimulasi yang terkait dengan pengalaman dengan kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2010). Hasil diskusi kelompok dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternatif penyelesaian masalah. Dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi dibagi dalam 5 sesi, yaitu sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II klien mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi III klien mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain, sesi IV klien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal dan sesi V klien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat. b. Tujuan 1) Tujuan umum Klien dapat meningkatkan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi dalam kelompok secara bertahap. 2) Tujuan khusus Tujuan khusus pemberian TAK ini diharapkan klien dapat mengenal halusinasi, klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara bercakapcakap dengan orang lain, klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas terjadwal dan klien dapat mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat. c. Sesi yang digunakan

Sesi yang digunakan dalam pelaksanaan TAK persepsi terdiri dari 5 sesi yaitu sesi I klien mengenal halusinasi, sesi II mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, sesi III mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi IV mengontrol halusinasi dengan cara bercakap-cakap dan sesi V mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat.Teori ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ragatika (2013) dengan judul “Perbedaan TAK stimulasi dan stimulasi sensori

terhadap

kemampuan

mengontrol

halusinasi:

menghardik di RSJ Dr. Amino Gondohutomo Semarang” dengan hasil pemberian TAK stimulasi persepsi sesi I dan II efektif diberikan pada pasien halusinasi dalam kemampuan mengontrol halusinasi: menghardik. d. Klien Pelaksanaan TAK memiliki kriteria yaitu kriteria klien antara lain klien gangguan orientasi realita yang mulai terkontrol dan klien yang mengalami perubahan persepsi. Proses seleksi pada TAK antara lain dengan mengobservasi klien yang masuk kriteria, mengidentifikasi klien yang masuk kriteria, mengumpulkan klien yang masuk kriteria dan membuat kontrak dengan klien yang setuju ikut TAK, meliputi: menjelaskan tujuan TAK pada klien, rencana kegiatan kelompok dan aturan main dalam kelompok. e. Kriteria Hasil Pelaksanaan TAK ini terdapat 3 kriteria hasil yaitu evaluasi struktur, evaluasi hasil dan evaluasi proses. Evaluasi struktur meliputi kondisi lingkungan tenang, dilakukan ditempat tertutup dan memungkinkan klien untuk berkonsentrasi terhadap kegiatan, posisi tempat dilantai menggunakan tikar, peserta sepakat untuk mengikuti kegiatan, alat yang digunakan dalam kondisi baik, leader, Co-leader, Fasilitator dan observer berperan sebagaimana mestinya. Evaluasi proses terdiri dari leader dapat mengkoordinasi seluruh kegiatan dari awal hingga akhir, leader mampu memimpin acara,

co-leader

membantu

mengkoordinasi

seluruh

kegiatan,

fasilitator mampu memotivasi peserta dalam kegiatan, fasilitator membantu leader melaksanakan kegiatan dan bertanggung jawab dalam antisipasi masalah, observer sebagai pengamat melaporkan hasil pengamatan kepada kelompok yang berfungsi sebagai evaluator kelompok dan peserta mengikuti kegiatan yang dilakukan dari awal hingga akhir. Evaluasi hasil diharapkan dari kelompok mampu menjelaskan apa yang sudah digambarkan dan apa yang dilihat dan menyampaikan halusinasi yang dirasakan dengan jelas. f. Antisipasi Masalah Hasil penelitian Ragatika (2013) mengguankan antisipasi masalah oleh Purwaningsih & Karlina (2010) yaitu pelaksanaan TAK terdapat penangan pada klien yang tidak aktif dalam aktivitas TAK diantaranya adalah dengan memanggil klien dan memberi kesempatan pada klien untuk menjawab sapaan perawat atau klien lain. Bila klien meninggalkan kegiatan tanpa izin, maka panggil nama klien dan tanyakan alasan klien meninggalkan kegiatan, apabila klien lain ingin ikut maka berikan penjelasan bahwa kegiatan ini ditujukan kepada klien yang telah dipilih, katakan pada klien bahwa ada kegiatan lain yang mungkin didikuti oleh klien tersebut, jika klien memaksa beri kesempatan untuk masuk dengan tidak memberi pesan pada kegiatan ini. 2.2.6 TAK stimulasi sensori a. Pengertian Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah aktivitas membantu anggotanya untuk mengatasi identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang adaptif (Keliat, 2010). Terapi aktivitas kelompok (TAK) adalah salah satu upaya untuk memfasilitasi psikoterapi terhadap sejumlah klien pada waktu yang

sama untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota.Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua panca indra (sensori) agar memberi respons yang adekuat. b. Tujuan Tujuan umum TAK stimulasi sensori adalah klien dapat berespons terhadap stimulus pancaindra yang diberikan.Tujuan khususnya meliputi klien mampu berespon terhadap suara yang di dengar, klien mampu berespons terhadap gambar yang dilihat dan klien mampu mengekspresikan perasaan melalui gambar. c. Karakteristik klien Klien dengan masalah perubahan sensori persepsi : halusinasi yang sudah di mulai melakukan interaksi interpersonal. d. Antisipasi masalah Purwaningsih & Karlina (2010) menerangkan bahwa terdapat masalah yang mungkin timbul dalam TAK ini antara lain: 1) Keterbukaan yang kurang, tindakan berupa : Terapi baik leader, coleader, maupun fasilitator harus berusaha memotivasi klien dengan

memberikan

pertanyaan-pertanyaan

yang

bersifat

terbuka. 2) Berikan dukungan dan rasa nyaman kepada klien sehingga klien mampu mengekspresikan perasaannya dengan leluasa. 3) Resistensi baik individu maupun kelompok, tindakan berupa: Peran fasilitator sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang mendukung keberhasilan suatu terapi. 4) Pasien lain yang bukan kelompok TAK ingin ikut TAK, tindakan berupa: peran fasilitator sangat diperlukan untuk mengalihkan perhatian pasien yang lain dengan bantuan perawat, misalnya dengan memberikan permainan menggambar agar pasien kembali ke kamarnya sehingga tidak mengganggu jalannya TAK

5) Pasien memaksa ingin ikut TAK, tindakan berupa : fasilitator berusaha membujuk agar klien tetap ditempat untuk mengikuti TAK

hingga

selesai.

Jika

tidak

bias

maka

fasilitator

mengantarkan kembali keruangannya. BAB III Kerangka Teori Dan Kerangka Kosep

3.1 Kerangka Teori Rentang Respon Neurobiologis

Respon adaptif

Respon Maladaptif

1. Respon adaptif 2. Pikiran logis 3. Persepsi akurat 4. Emosi konsistensi stabil dengan pengalaman 5. Perilaku sesuai hubungan sosial

1. Pikiran menyimpang 2. Reaksi emosional berlebih 3. Perilaku aneh atau tidak lazim 4. Menarik diri 5. Isolasi sosial 6. Kelainan pikiran atau halusinasi

TAK Halusinasi: 1. TAK stimulasi persepsi 2. TAK stimulasi sensori

Berhasil mengontrol

Tidak berhasil mengontrol

Sumber : Stuart (2010)

3.2 Kerangka Konsep Menurut Riyanto (2011) kerangka konsep penelitian merupakan kerangka hubungan antara konsep-konsep yang akan diukur dan diamati melalui penelitian yang akan dilakuakan. Karena konsep tidak dapat langsung diamati maka konsep dapat diukur melalui variabel. Didalam kerangka konsep harus menunjukan hubungan antara variabel-variabel yang akan diteliti. Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil penemuan dengan teori untuk memudahkan di dalam menyusun hipotesis (Nursalam, 2008). Dibawah ini adalah bagan kerangka konsep penelitian ini.

TAK Stimulasi Persepsi dan Sensori

Sebelum Kemampuan mengontrol Halusinasi

Skema 3.2 Kerangka Konsep

Sesudah Kemampuan mengontrol Halusinasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Karakteristik Klien Halusinasi Di Panti Karya Asih Berdasarkan karakteristik peserta didapat bahwa sebagian besar peserta tak berumur 30-40 tahun sebanyak 5 peserta pada usia ini merupakan usia dengan kategori dewasa sehingga banyak klien yang sudah bisa mengontrol halusinasi pada usia ini. Sedangkan pada karakteristik jenis kelamin sebagian besar responden memiliki jenis kelamin perempuan sebanyak 3 peserta. Usia dewasa dalam perkembangannya termasuk periode operasional formal. Karakteristik periode ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Kemampuan pada periode perkembangan ini yang membuat klien lebih memahami dan termotivasi dalam mengontrol halusinasi. Klien pada tahap perkembangan tersebut mampu menganalisa bahwa terapi yang diberikan jika dilaksanakan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari akan membantu dirinya dalam menghadapi setiap stresor yang dialami. Masa dewasa awal terjadi integritas baru dalam berpikir, lebih pragmatis dalam memecahkan masalah bukan hanya berdasarkan analisis logika semata. Pasien yang mengalami gagguan jiwa kemampuan kognitifnya berkurang karena secara biologis ukuran lobus frontaslis lebih kecil dari rata-rata orang normal, karena kondisi tersebut mengakibatkan gangguan kognitif yang ditandai dengan disorientasi, incoherent, dan sukar berfikir logis, sehingga

ketika mengalami halusinasi pasien tidak mampu untuk mengontrolnya secara mandiri

4.3. Gambaran Kemampuan Mengontrol Halusinasi di Panti Karya Asih Lawang Gambaran hasil mengenai kemampuan mengontrol halusinasi di dapat bahwa sebagian besar peserta memiliki kemampuan mengontrol halusinasi dengan kategori baik sebanyak 4 klien dan kemampuan mengontrol halusinasi dengan kategori kurang baik sebanyak 1 klien. Hasil penelitian mengenai kemampuan responden dalam mengontrol halusinasi didapat bahwa tingkat kemampuan responden mengontrol halusinasi setelah dilakukan terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi di Panti Karya Asih Lawang, sebagian besar memiliki kemampuan baik. Hasil Terapi Aktifitas Kelompok kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien skizofrenia mengalami peningkatan kemampuan dalam mengontrol halusinasinya, hampi seluruh peserta bisa mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, mengatakan stop dan mengusir halusinasi tersebut. Gambaran Kemampuan Mengontrol dan Mengenal Halusinasi

No 1 2 3 4

Aspek yang dinilai

Ny.L

Klien mau menyebutkan isi Halusinasi √ Klien Mau Menyebutkan waktu dan frekuensi halusinasi timbul √ Klien mau melakukan berbincang-bincang √ Klien menyebutkan cara mengatasi halusinasi dengan √ menghardik total : 80% 100%

Nama Klien Tn. J Tn. J Ny. B

Ny. A





x







x







x







x



100 %

100 %

0

100 %

Kemampuan membuat jadwal dan cara minnum obat yang benar No

Aspek yang dinilai Ny.L

1 2 3 4

Klien menyebutkan pentingnya minum obat secara teratur Klien menyebutkan akibat jika tidak minum obat secara teratur Klien menyebutkan petignya aktivitas mencegah halusinasi Klien mau menyebutkan aktivitas yang terjadwal Total : 80%

Nama Klien Tn.J Tn.J Ny.B

Ny.A







x









x









x



√ 100%

√ 100%

√ 100 %

x 0

√ 100 %

Halusinasi harus menjadi fokus perhatian oleh tim kesehatan karena apabila halusinasi tidak ditangani secara baik, maka dapat menimbulkan resiko terhadap keamanan diri klien sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar. Hal ini dikarenakan halusinasi dengar klien sering berisikan perintah melukai dirinya sendiri maupun orang lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi adalah sikap respon klien terhadap halusinasi. kejujuran memberikan informasi. kepribadian klien. pengalaman dan kemampuan mengingat. Dari Hasil TAK bahwa masih ada klien yang memiliki kemampuan mengontrol halusinasi dengan kategori kurang baik sebanyak 1 oang Peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien dipengaruhi oleh adanya pengetahuan pasien cara mengontrol halusinasi, mengenal jenis halusinasi, mengenal isi halusinasi, dan frekuensi terjadinya halusinasi, membuat pasien lebih kuat menghadapi halusinasi. Apabila strategi penerapan dalam mengontrol halusinasi yang diberikan perawat masih kurang baik maka hal inilah yang menyebabkan klien masih belum bisa mengontrol halusinasi dengan baik.

Selain itu cara mengontrol halusinasi dan kemampuan mengonrol halusinasi juga dipengaruhi karena telah lamanya responden menderita skizofrenia. Hal itu membuat

pasien

sudah

mampu

mengidentifikasi

halusinasi

dan

cara

mengontrolnya. Ditambah lagi perbedaan kemampuan cara mengontrol halusinasi juga karena pendidikan terakhir responden juga rendah. Dibutuhkan teknik mengontrol halusinasi kepada klien skizofrenia dengan halusinasi agar kepercayaan dirinya menjadi kuat dan kemampuan mengontrol halusinasi itu akan meningkat.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan Berdasarkan

Hasil Terapi Aktivitas

Kelompok

mengenai

gambaran

kemampuan mengontrol halusinasi pada klien skizofrenia di Panti Karya Asih Lawang dapat disimpulkan sebagai berikut: 

Sebagian besar responden memiliki kemampuan mengontrol halusinasi dengan kategori baik sebanyak 4 responden (80%)

DAFTAR PUSTAKA

Keliat, dkk. (2011). Penurunan Halusinasi Pada Klien Jiwa Melalui Cognitive Behavior Therapy. Jurnal Keperawatan Indonesia Keliat. (2015). Keperawatan Jiwa Aktivitas Kelompok. Jakarta: EGC. Setianingsih, R. Y. H. (2016). Pengaruh Cognitive Behaviour Therapy Pada Klien Dengan Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan Dan Halusinasi Di Rsjd Dr . Rm Soedjarwadi Klaten., Stuart. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.). Jakarta: EGC Twistiandayani, R., & Widati, A. (2013). Pengaruh Terapi Tought Stopping terhadap Kemampuan Mengontrol Halusinasi pada Pasien Skizofrenia. Prosiding Konferensi Nasional PPNI

Related Documents


More Documents from "Yohanes Krisdiyanto"