Pacarku; perempuan, adik sepupu mantan pacarku Oleh : Roni Basa
Lembang, Rabiul Uula 1430 H
Ini bukan kisah perselingkuhan berdimensi genetis. Artinya, jika seseorang laki-laki memutuskan untuk berpacaran dengan seorang perempuan, itu sah-sah saja. Adapun ternyata perempuan yang dipacarinya ialah adik sepupu mantan pacarnya, itupun tidak berhubungan dengan persoalan genetika. Mantan pacarnya; perempuan yang dahulu pernah dipacarinya; kakak sepupu perempuan yang dipacarinya sekarang, tidak memiliki relasi logika untuk menyebut hubungan kami sebagai perselingkuhan. Adik sepupu, kakak sepupu, paman, bibi dan hubungan genetis –keluarga- lainnya merupakan faktor yang terpisah ruang dengan persoalan hati. Entah, jika persoalan hati saat ini sudah mempunyai relasi dengan persoalan etika. Ini semata-mata persoalan pilihan. Sebagai pilihan yang reasonable, tentunya sebuah hubungan seperti itu dapat telusuri menggunakan dalil-dalil logika. Justifikasi atas kebenaran dan atau kesalahannya akan dipandang sah oleh kacamata logika. Dan logika tentu saja tidak selalu berjalan bersamaan dengan etika pada praktiknya. Tanpa bermaksud membenarkan apapun dalam hubungan kami, aku fikir, ini perlu dikemukakan. Bukan hal mudah juga kami memahaminya. Bersikap adil kepada warisan masa lalu dan bijak menyikapi masa depan, persoalan kami kemudian. Bahwa ingatan kami atas mantan pacarku; perempuan, kakak sepupunya adalah kenyataan yang pernah terjadi. Pemahaman kami atas kondisi ke-kini-an hubungan kami beralaskan kenyataan yang telah terjadi itu. Bukan hal yang mudah untuk membangun “kenyataan baru” bagi kami, terlebih saat ingatan kami masih menyimpan beberapa pemahaman atas apa yang kami telah alami sebelumnya. Kami harus segera menemukan asal-muasal hubungan kami secepat mungkin. Membangun identitas hubungan kami. Menggagas kenyataan baru untuk menyatakan kedirian (independensi) hubungan kami atas ke-terhubung-annya (interdependensi) dengan kenyataan lain. Tentu saja kami tidak akan membiarkan hantu masa lalu terus membayangi masa depan. Seperti Trouilluot (1995) menyatakan “Mereka yang memelihara masa lalu sebagai hantu jelas tidak akan pernah belajar apapun dari masa lalu. Mereka telah menjadi “sandera dari masa lalu yang mereka bakukan sendiri”. Saat aku menyatakan perasaan cinta, pemahaman kami awalnya merupakan kecurigaan kepada masa lalu. Saat aku menggenggam tangannya, penafsiran kami atasnya merupakan anarkisme masa lalu ketimbang romantisme masa depan. Pertama kali aku mencium keningnya, terjemahan kami untuknya lebih mirip pertanyaan yang diajukan kepada masa lalu, bukan pernyataan sikap kepada masa depan. Kecurigaan, penafsiran dan pertanyaan-pertanyaan tentang keabsahan hubungan kami muncul sebab, pacarku; perempuan, adik sepupu mantan pacarku. http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Ingatan kami saat ini memiliki dua jenis hubungan dengan masa lalu. Pertama adalah relasi pengetahuan, sementara yang kedua adalah relasi tindakan. Kami memahami, kedua relasi ini muncul karena mengingat merupakan jalan untuk melakukan segala hal. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan pikiran. Ingatan bagi kami merupakan exercise , maka kami dapat menggunakan ingatan itu dan atau menyalahgunakan ingatan untuk tidak mengingat apapun. Atau bahkan menghadirkan ingatan lain yang tidak pernah ada sebelumnya. Seperti yang kami khawatirkan sebelumnya, persoalan-persoalan etis akan muncul begitu kami mulai merefleksikan hubungan antara penggunaan dan penyalahgunaan ingatan ini. Hubungan kami akan menjadi romantis di atas anarkisme ingatan, itu mungkin saja terjadi. Hubungan kami akan menjelma menjadi sebaliknya juga mungkin saja terjadi. Kesemuanya rentan memunculkan penilaian etis. Etiskah kami…?. Post hoc ergo propter hoc; sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu. Begitu Jalaluddin Rakhmat menyebut salah satu dari sekian banyak bentuk intellectual cul-de-sac, beberapa bentuk kesalahan-kesalahan berfikir. Sesudah aku menjadi mantan pacar kakak sepupu pacarku, karena aku atau kami (?) memahami itu sebagai kenyataan yang telah terjadi, oleh sebab itu aku memacari perempuan; adik sepupu mantan pacarku. *** Bukan hal yang tidak memiliki relasi substansial kiranya, jika pemahaman kami terhadap perjalanan yang tengah kami alami saat ini, terhubung –kontekstual- dengan semakin dekatnya waktu bagi indonesia untuk memilih anggota legislatifnya; pemilihan umum. Garin Nugroho, sineas sekaligus sutradara, menggambarkan masa-masa menjelang pemilihan umum sebagai industri budaya populer. Lebih spesifik, Garin menyebutnya era yang menjadikan tiap stasiun televisi berlomba dengan sadar meliput proses politik sebagai potensi tontonan yang harus dikemas guna mendapatkan ratting untuk meraih penonton potensial. (Pemilu, sanksi sosial, dan industri budaya populer.Kompas, 2004) Calon legislatif berperang baliho, poster dan pamflet juga termasuk kebudayaan populer. Layaknya ekstasi yang terus menerus men-candu calon legislatif, baliho dan poster berukuran besar seolah mewakili kebesarannya juga. Banyaknya poster dan baliho yang mereka semai di jalanan, seolah mewakili betapa populernya mereka. Indonesia dijejali oleh citra, imitasi, simulasi dan manipulasi era digital teknologi. Calon legislatif tampaknya sedang mengurusi kepentingannya sendiri, bukan sedang berusaha untuk mengurusi kepentingan umum. “Itulah Indonesia kita, pembalikan secara sadar sebuah cita-cita untuk mengurus kehidupan bersama atau Res Republica menjadi sekedar cita-cita mengurus diri sendiri atau Res Privata. (M. Fadjroel Rachman. Republik tanpa publik. Kompas, 11 Februari 2004). Pendidikan politik Indonesia menjelang pemilu belum mampu membangun kesadaran kritis. Maraknya baliho dan poster calon legislatif belum menjadi media pendidikan, tapi masih menjadi media menanam investasi. Seperti seorang investor membeli portofolio di bursa saham.
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan
Bermacam-macam bentuk kegiatan politik yang dilakukan oleh calon legislatif. Manuver politik dan sikap politik yang sulit untuk ditelusuri dengan logika-etis. Seorang calon legislatif bisa hadir dari kalangan artis atau bahkan dari kalangan manapun, itu sah saja. Seorang calon legislatif menyeberang dari satu partai satu ke partai yang lainnya, itu sah saja. Seorang calon legislatif terkesan tidak perduli lagi dengan platform apa dia bergerak, yang terpenting ialah raihan suara, itu sah saja. Atau mungkin seorang calon legislatif tidak memiliki exercise apapun di dunia legislasi, tetap berkeras mencalonka dirinya, itu sah saja. Tidak dapat disebut perselingkuhan. Tidak pula dapat disebut sebagai penghianatan atas nama apapun. Tidak pula terkait perihal yang genetis dan beraroma romantisme kesemuanya. Segalanya sah saja untuk dilakukan. Kembali kepada pacarku; perempuan, adik sepupu mantan pacarku. Perihal penting bagi kami saat ini, pertama, menggunakan ingatan personal atau komunal dengan sebaik-baiknya. Ini perlu kami lakukan, agar ingatan yang kami miliki tidak salah penggunaannya. Meminimalkan kemungkinan “the other-otherness” (yang lain dan yang berlainan) – dengan kami- salah menggunakannya juga. Ingatan yang akan kami gunakan untuk menatap masa depan lebih baik. Kedua, menggunakan ingatan kami sebagai dasar atas tindakan selanjutnya. Kami menyebutnya rencana hidup. Menemukenali bekas-bekas goresan masa lalu, mengenal kembali dengan cermat kebahagiaan yang pernah kami alami sebelumnya. Belajar dari jejak rekaman masa lalu dan berjanji untuk tidak mengulangi kelalain, agar masa depan tidak bernasib sama dengan kepedihan masa lalu. Masa depan yang berusaha kami bangun memerlukan itu semua. Ketiga, menyadarkan diri kami, memahamkan kembali pengertian kami, untuk tidak terjebak kepada kesalahan berfikir “sesudah itu-karena itu-oleh sebab itu”. Bahwa yang terpenting saat ini adalah melihat apa yang terlihat senyatanya, bukan melihat apa yang ingin dilihat-berdasar masa lalu. Berharap juga pemilihan umum legislatif dalam hitungan beberapa hari kedepan dapat kami pergunakan dengan baik untuk Indonesia. We must remember because remembering is moral duty. We owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened. (Paul Ricoeur)
http://www.bagaskarakawuryan.wordpress.com
cakra bagaskara manjer kawuryan