The Death Of Socio Engineering

  • Uploaded by: imron rosidin
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View The Death Of Socio Engineering as PDF for free.

More details

  • Words: 3,306
  • Pages: 8
The death of socio engineering 1 -A testimony for PII’s movement phenomenon(The way to change perspective and approach social movement) Oleh : Imron Rosidin 2 Editor : Muhammad Sabil Fadhillah Lembang, 3 Muharram 1430 H

Prologue; Unsure Statements “Wahai manusia, jangan sekali-kali merasa kesepian di atas jalan kebenaran hanya dikarenakan sedikitnya orang yang berada disana” (Ali bin Abi Thalib. Najhul Balaghah) 7 Januari 2008, saya menyampaikan dan berkesempatan berbagi pengalaman bersama teman-teman Intermediate Training PII di Garut. Sama dengan apa yang akan disampaikan pada pertemuan dan kesempatan saya untuk berbagi dengan teman-teman peserta Intermediate Training PII di Bandung kali ini. Hampir setahun, perihal yang sama, dalam momentum pelatihan yang sama, pengelola pelatihan yang sama, materi yang sama, dengan semangat yang sama, mungkin juga dengan kondisi PII yang tidak lebih dari setahun sebelumnya. Saya tidak bisa mengira alasanalasan eksperimental apa yang menjadi rujukan untuk kembali menempatkan metodologi penelitian sosial dan perencanaan sosial sebagai materi yang layak disampaikan. Saya fikir, jika memang materi-materi dimaksud memang ada sebab ‘memang sudah ada’, maka hanya akan sebatas aktifitas -akademis- ritual Intermediate Training yang akan terjadi. Artinya, ini semua perihal pengulangan aktifitas akademis yang akan terus menerus berlangsung dalam sejarah pelatihan-pelatihan Pelajar Islam Indonesia. Dapat dihitung berapa kali Pelajar Islam Indonesia Jawa Barat telah mengadakan Intermediate Training, berapa kali juga materi ini disampaikan, berapa jiwa peserta dan pemandu yang telah berbagi pengalamannya. Lalu seberapa besar perubahan sosial yang telah dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia-Jawa Barat?, mengenai apa Pelajar Islam Indonesia-Jawa Barat- telah melakukan perencanaan sosial?, benarkah penelitian sosial itu telah dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia-Jawa Barat?. Saat ini, semua jiwa, tanpa terkecuali peserta Intermediate Training atau bahkan Basic Training memiliki kemampuan dan dapat mendapatkan selengkap-lengkapnya buku-buku rujukan terkait dengan metodologi penelitian sosial dan perencanaan sosial tanpa harus menjadi peserta pelatihan, jika memang ini semua bukan aktifitas –akademis- ritual pada setiap pelatihan Pelajar Islam Indonesia. Sungguh semakin tegas dan jelas materi metodologi penelitian dan perencanaan sosial –pada praktiknya- bagi Pelajar Islam Indonesia belum memberikan hasil optimalnya. Jika memang sudah, bukankah seharusnya materi metodologi penelitian dan perencanaan sosial tidak perlu lagi disampaikan sebab Pelajar Islam Indonesia –berdasarkan penelitian dan perencanaan sosialnya- telah mampu mendekatkan dirinya dengan teknologi komunikasi yang menjadikannya lebih komunikatif dan aplikatif bagi setiap perubahan. Akhirnya, beberapa hal perlu saya ungkapkan. Pertama, Metodologi penelitian sosial terlepas dari ontologi akademisnya merupakan ranah dinamis yang akan menerus memiliki varian pada prakteknya. Apa yang telah dilakukan oleh Pelajar Islam Indonesia pada setiap fase kesejarahan-nya dimulai sejak tahun-tahun pertama pendiriannya merupakan saksi atas keberhasilan cemerlang perencanaan sosial, namun jelas tidak akan cukup aplikatif bagi Pelajar Islam Indonesia saat ini. Ini membuktikan Metodologi penelitian sosial jelaslah perihal yang tidak statis sebab memang demikian adanya perubahan sosial; terus berubah. 1

Disampaikan untuk teman-teman peserta Intermediate Training Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat. Bandung, 3 Januari 2009. 2 Greenpeace Indonesia. Supporter ID 4586.

Kedua, perencanaan sosial bukanlah hal yang semerta dapat digagas, dibangun, diwacanakan dan diterapkan dalam kondisi sosiologis tertentu. Bahkan untuk merencanakan pembangunan rumah tempat tinggal sekalipun, aspek-aspek tertentu kadang luput diperhatikan dan direncanakan sebelumnya. Perencanaan sosial berbicara tentang usaha untuk mensikapi waktu dan realitas yang dibentuknya. Layaknya perencanaan, perencanaan sosial memerlukan kepekaan dan daya sensitifitas optimal untuk segera mungkin mencerna setiap detil perubahan, memberikan perhatian khusus bagi terjaganya komitment terhadap nilai substansi yang mendasari perlunya perubahan, konsistensi pelakunya dan keterbukaan pada praktiknya. Improvisasi terkadang memang perlu dilakukan untuk mensikapi perubahan yang tidak terduga, namun selama nilai substanstif menjadi komitmen kolektif para pihaknya, tentuya disoreintasi tidak perlu dikhawatirkan. Ketiga, perencanaan sosial selayaknya merupakan produk dari metodologi penelitian sosial. Artinya, orientasi perencanaan sosial, ketetapan metodologinya, bentuk praktisnya dan kerangka evaluasi pelaksanaannya berada pada satu jalur konsistensi yang telah disepakati sebelumnya. Perencanaan sosial bukanlah pekerjaan perorangan dan kelompok tertentu dalam skala terbatas. Perencanaan sosial, pun jika ternyata merupakan bagian dari implementasi praktik idiologi, maka ia haruslah tetap mengacu kepada realitas. Perencanaan sosial harus berani ‘menjaga jarak’ dengan orientasi pragmatis idiologi. Kenapa?, sebab pada saat metodologi dan perencanaan sosial di gagas bersamaan dengan gagasan idiologi, maka ia tidak lebih hanya menghasilkan data dan perencanaan yang berpihak pada kepentingannya. Keempat, metodologi penelitian dan perencanaan sosial bagi Pelajar Islam Indonesia, seperti telah disampaikan sebelumnya, rentan distorsi dan disoreintasi. Pelajar Islam Indonesia-saya fikirmasih saja memposisikan dirinya sebagai gerakan sosial berbasis idiologi. Dan sebagai gerakan sosial yang berbasis idiologi, segala perubahan yang dihasilkan oleh waktu dan realitas akan dipandang melalui perspektif idiologinya. 3 Tidak terlalu salah jika itu terjadi, namun tidak terlalu benar jika itu terus dilakukan. Sudah saatnya metodologi penelitian sosial Pelajar Islam Indonesia mengambil perananan penting untuk ikut menggagas kembali orientasi metodologi penelitian yang lebih obyektif melihat, memaknai dan mensikapi realitas eksistensi diri dan lingungannya. Sudah saatnya perencanaan sosial Pelajar Islam Indonesia didasarkan atas informasi, data dan fakta kontemporer agar ia tidak lagi menjadi sesuatu yang usang sebab tidak ada yang baru darinya.

Matinya metodologi penelitian dan perencanaan sosial Setiap tindakan (praktek) sebenarnya berasal dari suatu pemikiran atau cara pandang tertentu. Karena cara pandang tentang dunia (paradigma) dan apa yang dipersoalkan berbeda, maka biasanya juga berbeda proses kerja dan metode-metode yang digunakannya, baik untuk memproduksi atau mereproduksi perencanaan sosial. Paradigma menjadi kata kunci untuk membangun metodologi penelitian yang lebih mendekati obyektifitas. Disisi yang berbeda, perubahan sosial pada level makro begitu cepat berubah searah dengan percepatan perubahan sosial ditingkatan mikro bahkan dilevel yang disebut-sebut sebagai mini mikro. Perencanan sosial saat ini menuju pada satu titik episentrum yang bernama pemberdayaan (empowerment). Perubahan sosial diyakini dapat dikontrol keseimbangannya dengan melakukan perencanaan sosial yang berorientasi pada usaha-usaha penyeimbangan hak atas kekuasaan (power) antara ‘yang memiliki kekuasaan’ (powerfull) dan ‘yang tidak memiliki kekuasaan’ (powerless).

3

Sebagai catatan, Karl Marx menyampaikan “Ciri khas dari idiologi ialah kemampuannya menyembunyikan kontradiksi obyektif dan memuat kepentingan golongannya”

Kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dalam perspektif politik, lebih dari itu semua kekuasaan menunjuk pada tingkat aksessibilitas orang-perorangan atau kelompok atas sesuatu atau banyak hal dalam kehidupan. Pelajar misalnya, yang selama ini dianggap memiliki kekuasaan terbatas atas ilmu pengetahuan, sehingga sistem pendidikan masih tetap memposisikannya sebagai obyek pendidikan. Sehingga sistem pendidikan dengan keterlibatan tenaga pendidik didalamnya dianggap sebagai kelompok powerfull yang merasa berhak ‘mengatur’ pelajar. Contoh lainnya, Pelajar Islam Indonesia yang masih(?) menganggap sistem pendidikan beserta praktik implementasinya masih belum mengarah kepada terciptanya kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan sesuai Islam, semakin menegaskan Pelajar Islam Indonesia sebagai pihak powerless dan ada pihak lainnya yang powerful. Berdasarkan contoh di atas, untuk memajukan secara nyata mereka yang powerless, yang berada dilapisan bawah dalam suatu kondisi ketimpangan, adalah dengan membangkitkan keberdayaan mereka, sehingga merekapun memiliki bagian dari power yang memungkinkan mereka memperbaiki kondisinya di atas kekuatannya sendiri. Sampai pembahasan ini, relasi metodologi penelitian dan perencanaan sosial bertemu pada satu titik orientasi yang sama yang akan mengarahkannya kepada pencapaian cita-cita bagi tergeraknya roda perubahan sosial. Bagi Pelajar Islam Indonesia, pencapaian kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai Islam ialah cita-cita profetik gerakan, niscaya juga seluruh bentuk penelitian dan perencanaan sosialnya diarahkan pada usaha-usaha untuk mencapai cita-cita dimaksud. Selanjutnya, seperti apakah metode penelitian dan perencanaan sosial itu?, bagaimana, kapan dan dimana semuanya bekerja? *** Kalangan akademisi mengembangkan metodologi untuk pengembangan ilmu pengetahuan ‘ilmiah”, sedangkan kalangan Non Goverment Organization (NGO) -seperti halnya Pelajar Islam Indonesia- mengembangkan metodologi untuk merancang dan mengerjakan proses-proses perubahan masyarakat. Kedua kalangan ini (akademisi sebagai kalangan yang disebut ‘teoritisi’ dan NGO sebagai kalangan yang disebut ‘praktisi’) juga memiliki ketegangan dan selalu saling mengkritik satu sama lain. Kalangan akademisi menganggap praktisi pembangunan NGO seringkali bekerja tanpa kerangka teoritis yang baik dan ‘ngawur’ (mau memperbaiki malah merusak tatanan masyarakat). Sedangkan para praktisi NGO sering menganggap para akademisi (terutama yang menggeluti riset sosial) sebagai orang yang pandai memberikan penilaian dan kritik tetapi pekerjaannya tidak berguna bagi masyarakat (hanya berguna bagi dirinya sendiri). Kritik terhadap peneliti sosial (konvensional) yang selama ini dianggap menjadikan masyarakat sebagai obyek penelitian dan sumber informasi (yang tidak bisa mengakses hasil penelitiannya), untuk kepentingan peneliti dan orang luar saja, menyebabkan berkembangnya kalangan yang mengembangkan penelitian partisipatif 4 . Isu-isu yang berkembang dalam polemik antara penelitian sosial (konvensional) dengan penelitian partisipatif (yang di kalangan NGO populer dengan sebutan riset aksi) ada di seputar apa tujuan penelitian seharusnya, apa hakekat partisipasi (masyarakat), dan bagaimana cara melakukan penelitian aksi dimana masyarakat bisa menjadi pelaku dan pemanfaat langsung pekerjaan tersebut.

4

Dikembangkan oleh kalangan yang mengajukan gagasan mengenai penelitian sosial kritis. Pembahasan mengenai hal ini dapat dibaca pada: Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Dr. Mansour Fakih, Insist dan Pustaka Pelajar, cetakan kedua tahun 2002; dan Menumbuhkan Ide-ide Kritis, Heru Nugroho, Pustaka Pelajar, cetakan kedua tahun 2003; serta referensi yang bertajuk “Participatory Action Research (PAR)”.

Di dalam penelitian partisipatif, terdapat tiga agenda (penelitian, pembelajaran masyarakat, dan program aksi) yang ditujukan untuk mendorong terjadinya perubahan (transformasi) sosial.

PERKEMBANGAN METODOLOGI PARTISIPASI Riset sosial

Oleh: akademisi

Dalam menggunakan metodologi, metode Oleh: akademisi Riset pembangunan dan alat yang semula dikembangkan oleh kalangan akademisi, NGO mencoba mengadaptasinya menOleh: akademisi Riset partisipatif jadi metodologi yang mengembangkan prosesproses pendidikan kritis dan pemberdayaan di masyarakat dalam kerangka pengembangan Oleh: akademisi yang Riset aksi tindakan (aksi). Selain itu, NGO membingkainya membelot ke LSM dalam kerangka nilai-nilai yang sarat ideologi keberpihakan kepada masyarakat (sementara Oleh: LSM kalangan akademisi menganggap dirinya ‘netral’ Pembelajaran aksi atau tidak berpihak). Berbagai metodologi, proses, metode dan teknik itu, kemudian diadaptasi menjadi lebih praktis (terapan), baik untuk penjajakan kebutuhan, perencanaan program, monitoring-evaluasi (monev), dan pembelajaran masyarakat (pendampingan, pelatihan), dan lain sebagainya. Banyak buku atau panduan mengenai metodologi lebih menekankan pada cara menggunakan metode atau teknik (how to do) dalam pelaksanaan program, yang menjadi referensi kalangan NGO. Bahayanya, kalau buku atau panduan ini dijadikan sebagai satu-satunya referensi NGO. Bahaya dari buku atau referensi semacam ini adalah sifatnya yang terapan dan seringkali kehilangan kerangka teori dan filosofis yang menjadi sumber berkembangnya metode atau teknik itu sendiri, sehingga ketika digunakan tanpa pemahaman teoritis atau ideologis yang memadai, akan menjadi bersifat teknis dan mekanis belaka. Metodologi pendekatan program di kalangan NGO, pada umumnya digambarkan dengan mekanisme yang disebut Daur Program. Daur Program adalah tahapantahapan program yang diagendakan NGO sebagai intervensi sistematis untuk melaksanakan pengembangan masyarakat. Daur program yang menggunakan metodologi pendekatan partisipatif, menggambarkan tahap-tahapnya sebagai spiral yang berarti merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Artinya, setiap tahap menggambarkan suatu proses perkembangan tertentu. Daur program adalah upaya para praktisi untuk mengkonkritkan teori menjadi praktek pengembangan masyarakat, menerjemahkan visi idealnya menjadi tujuan program yang bisa dinilai pencapaiannya (jangka pendek atau menengah atau panjang), dan merancang strategi dan proses yang bisa dioperasionalkan. Tetapi sering terjadi, daur program menjadi sebuah langkah-langkah yang baku, mekanis, dan rutin, sehingga kehilangan inovasi dan adaptasi untuk mengembangkan proses pembelajaran kritis. Ini akan terjadi bila NGO mengabaikan proses refleksi dan wacana konseptualatauideologis karena lebih tertarik pada penggunaan metodeatauteknik lapangan tanpa bersikap kritis apakah metodeatauteknik itu mewakili suatu kerangka kerja pemberdayaan atau sebaliknya.

DAUR PROGRAM PERENCANAAN SOSIAL MASYARAKAT

Pengembangan Hubungan

Penjajakan Kebutuhan

Pelaksanaan

Evaluasi

Perencanaan

Monitoring

Evaluasi Dampak

Akhirnya, metodologi penelitian diidentifikasi mati saat : 1. Paradigma yang membangun gagasannya disandarkan pada dan atau bersamaan dengan gagasan idiologi, 2. Dilakukan secara insidental, tidak dilakukan secara berlanjut (suistanable), 3. Menfungsikan prosesnya untuk menjustifikasi realitas, tidak men-fungsikan-nya sebagai wahana pembelajaran yang selalu terbuka untuk memahami realitas, 4. Dilakukan dengan dikotomi ‘peneliti’ dan ‘objek penelitian’, 5. Tidak melibatkan realitas penelitian secara partsipatif, 6. Produk penelitian yang lebih cenderung menitikberatkan pada kesimpulan-kesimpulan idiologis, 7. Tidak berorientasi pada tumbuh dan berkembangnya kesadaran kritis bagi peneliti dan realitas penelitiannya, 8. Bersifat parsial meninjau aspek-aspek perubahan pada proses dan produk penelitian PRA5 ; The way to change PII’s perspective and approach social movement PRA singkatan dari Participatory Rural Appraisal yang secara harfiah artinya pengkajian (keadaan) (secara) partisipatif. PRA senantiasa berkembang, sehingga menurut Robert Chambers yang mempromotori dan mengembangkannya, mungkin tidak perlu untuk memberikan definisi final. Robert Chambers mendefinisikannya sebagai: “Sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan.” Pada awalnya PRA berkembang sebagai kumpulan metode atau teknik-teknik ‘penelitian’ yang dilakukan oleh masyarakat sendiri, seperti yang didefinisikan oleh Robert Chambers di atas. PRA pada awalnya berkembang sebagai suatu alternatif bagi penelitian sosial yang dikritik sebagai tidak bermanfaat bagi masyarakat karena hanya menggunakan masyarakat sebagai obyek penelitian. Kalau pada penelitian sosial, agenda penelitian adalah milik penelitinya, juga informasi hasil penelitian dibawa oleh peneliti untuk kepentingannya sendiri maupun kalangannya. Maka pada PRA, agenda ‘penelitian’ dikembangkan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar, sebagai proses refleksi kritis masyarakat tentang situasi dan persoalan yang mereka hadapi. Informasi hasilnya, digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan program aksi mereka. 5

Rural Development; Putting The Last First (1983); Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory (1992) dan Whose Reality Counts?; Putting The First Last? (1997), Robert Chambers

Setelah sepuluh tahun menjadi metodologi pengkajian dan metodologi pendekatan program partisipatif yang populer, PRA juga mulai mengkritisi kembali posisi ideologi dan kerangka teoritis yang melandasinya. Hal ini karena kalangan NGO sendiri melihat kecenderungan penggunaan PRA hanya pada penggunaan metode atau teknik-tekniknya saja, baik untuk pengkajian maupun perencanaan dan monev. PRA dikritisi kembali agar tidak bersifat instrumental dan partisipasi yang dikembangkannya tidak menjadi teknis, karena seharusnya partisipasi dikembangkan dalam kerangka pengembangan perubahan sosial. Perkembangan ini menyebabkan nama PRA diganti menjadi Participatory Learning and Action (PLA) pada tahun 1995. Robert Chambers menyatakan bahwa PRA dalam sepuluh tahun terakhir sudah berkembang juga menjadi paradigma, ideologi, dan filosofi di kalangan NGO. Metodologi PRA bukan lagi hanya sekedar sebuah metodologi pengkajian dan perencanaan 6 . Namun, pendapatnya ini ditentang oleh kalangan yang berpendapat lain: PRA masih belum bisa dikatakan sebagai suatu paradigma ataupun ideologi, karena belum membangun suatu kerangka pikir yang lengkap. PRA sebenarnya masih lebih banyak seperti posisinya yang awal: kumpulan metode atau teknik kajian yang dimaksudkan sebagai sebuah alternatif bagi penelitian sosial yang digunakan di kalangan NGO 7 . Pada buku pertamanya , Chambers memperkenalkan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) sebagai alternatif bagi para praktisi pembangunan yang memerlukan sebuah metodologi ‘penelitian’ yang bisa membantu mereka memahami masyarakat secara cepat, dengan informasi aktual, dan biaya murah, serta bisa mengajak masyarakat sebagai pelaku penelitian itu sendiri. Sedangkan pada bukunya yang kedua (Chambers: 1997), Chambers menggunakan istilah Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk menggantikan RRA. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa RRA dan PRA adalah bentuk aplikasi pemikiran Robert Chambers yang berkembang terus, terutama pemikiran tentang bagaimana seharusnya “orang luar” (para “profesional”) bekerja di masyarakat dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Di dalam buku keduanya itu, Chambers juga memaparkan asal-usul penggunaan istilah PRA, ternyata PRA sebenarnya adalah penamaan baru untuk RRA yang dikembangkan oleh kalangan NGO di Nepal, Kenya, dan India, pada pertengahan tahun 1980an. Meskipun terdapat berbagai sumber PRA, nampaknya RRA adalah sumber yang paling langsung dengan PRA. PRA adalah bentuk metamorfosis RRA, sehingga PRA semula disebut sebagai ‘RRA partisipatif’. Kata ‘partisipatif’ masuk ke dalam kosa kata RRA itu, terjadi pada pertengahan tahun 1980-an 8 . Pada perkembangan berikutnya PRA menjadi metodologi pendekatan program yang lebih dari sekedar untuk proses pengkajian masyarakat, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja pengembangan program partisipatif. Dalam pengertian ini, PRA dapat digunakan untuk kegiatan pengkajian (appraisal) baik untuk penjajakan kebutuhan (need assessment), perencanaan, pelaksanaanataupendampingan masyarakat, sampai monitoring-evaluasi program, yang terintegrasi dalam keseluruhan siklus program pengembangan masyarakat (community development).

6 7 8

Ibid: Chambers, 1995 dan 1997. Participation; A New Tyranni?, Bill Coke and Uma Kothari, Ed., 2001. RRA bersifat ekstraktif atau merupakan penggalian infromasi (dalam pengertian: merupakan penilitian yang dikerjakan oleh luar) sedangkan PRA merupakan proses pembelajaran (dalam pengertian: analisis situasi dan persoalan untuk mengembangkan agenda aksi oleh masyarakat sendiri). Uraian tentang perkembangan PRA dari RRA, lihat: Chambers 1992, dan 1997. Publikasi terpenting adalah RRA Notes yang pertama kali terbit pada tahun 1988, kemudian berubah menjadi PLA Notes pada tahun 1995. PLA (Participatory Learning and Action) dianggap sebagai istilah yang lebih tepat daripada PRA yang membatasi hanya pada wilayah pedesaan dan ‘appraisal’ (pengkajian); padahal yang dimaksudkan bukan hanya pengkajian (appraisal) dan juga bukan hanya di wilayah pedesaan.

Robert Chambers merumuskan Tiga Pilar PRA dalam kaitan penggunaan PRA sebagai metodologi atau kumpulan metode pembelajaran dan bertindak untuk masyarakat. Tiga Pilar PRA ini bisa diintegrasikan ke dalam kerangka kerja pengambangan masyarakat untuk mengembangkan proses-proses partisipatif dan pembelajaran bersama dalam setiap tahap program. Tiga pilar (unsur) utama PRA menurut Robert Chambers, yaitu: 1. Sikap-perilaku orang luar yang seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan mendominasi (seperti instruktur, penyuluh); 2. Metode-metode atau teknik-teknik PRA, sebagai alat untuk mengubah pendekatan searah (tertutup) menjadi pendekatan multi-arah (terbuka), pendekatan individu menjadi pendekatan kelompok, teknik belajar verbal (misalnya: ceramah) menjadi visual, dan teknik analisa dengan mengukur atau menghitung menjadi teknik membandingkan. 3. Berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, informasi, dan sumberdaya lain, di antara orang luar dan masyarakat.

Tiga Unsur PRA (menurut ROBERT CHAMBERS)

• • • •

Mengalihkan pada masyarakat Percaya masyarakat bisa Mengembangkan proses dan improvisasi Duduk bersama, mendengarkan, belajar

• • • •

Memfasilitasi Tidak terburu-buru Gembira Santai dan informal

SIKAP-PERILAKU Orang luar

SALING BERBAGI

METODEMETODE

• • • • • • •

Wawancara • Observasi Pemetaan • Mendaftar Mengurut • Membandingkan Menilai • Memperkirakan Membuat Diagram • Menghitung Presentasi • Monev Pelaksanaan Kegiatan

• • • • •

Informasi Pengetahuan Nilai-nilai Sumberdaya Perkawanan

Prinsip-prinsip PRA menurut Chambers 9 adalah sebagai berikut.: 1. Pembalikan proses pembelajaran: belajar dari masyarakat lokal, di lokasi masyarakat dan dengan tatap-muka; bukan mengajari masyarakat, di ruangan yang memberi jarak pada kehidupan nyata masyarakat. 2. Belajar secara cepat dan bertahap: mengeskplorasi pengetahuan masyarakat, dengan menggunakan metodeatau teknik secara fleksibel, secara improvisasi dan adaptif (tidak menggunakan langkah-langkah baku). 3. Mengatasi bias ‘orang luar’: mengatasi bias dengan bersikap santai dan informal (tidak terburuburu), mendengarkan (bukan menceramahi), 9

Whose Reality Counts? Putting The First Last, Robert Chambers, 1997.

4. Mengoptimalkan manfaat pembelajaran: mengoptimalkan jumlah dan akurasi pembelajaran, serta keterbatasan waktu. 5. Triangulasi dalam pembelajaran: pembelajaran dengan menggunakan variasi metodeatauteknik, variasi jenis informasi, variasi kelompokatauindividu peserta, dan variasi tempat, sehingga bisa melakukan cek-silang, membandingkan, dan memperkirakan kecenderungan suatu keadaan. 6. Mempertimbangkan kerumitan dan keberagaman: informasi, pengetahuan, dan pengalaman masyarakat bersifat rumit dan beragam, sehingga keberagaman perlu dihargai daripada merataratakan (generalisasi). 7. Menyerahkan proses pada masyarakat: memfasilitasi proses pembelajaran, melakukan analisis, menyampaikan hasilnya, diserahkan secara bertahap kepada masyarakat. 8. Mengembangkan proses penyadaran kritis: pihak luar selalu mengevaluasi secara kritis sikapperilakunya sehingga bisa mengkoreksi perilakunya yang mendominasi, meningkatkan kepekaan, dan meningkatkan pemahaman mengenai interaksi sosial yang terjadi karena pembelajaran. 9. Menentukan agendanya sendiri: praktisi PRA harus mampu mengembangkan agenda kerjanya sendiri dalam mengembangkan proses pembelajaran masyarakat, dan bukan mengandalkan pedoman atau manual kerja dari lembaganya secara kakuataurigid. 10. Saling berbagi: terjadi saling berbagi informasi, gagasan, pengetahuan, dan keterampilan, antara orang luar dan masyarakat, antara sesama orang luar, antara sesama masyarakat, serta antara berbagai lembaga Pada akhir perbincangan ini saya ingin menegaskan beberapa hal terkait dengan praktik perencanaan sosial Pelajar Islam Indonesia. Pertama, pemahaman bersama bahwa Pelajar Islam Indonesia belum benarbenar melakukan penelitian sosial atas diri dan realitas sekitarnya. Kedua, pun jika sudah, Pelajar Islam Indonesia masih juga belum optimal menggagas perencanaan sosial yang mampu mengoptimalkan setiap keberdayaan dirinya dan memberdayakan realitas disekitarnya dengan melibatkan secara partisipatif para pihak yang terlibat untuk bersama-sama mendorong realitas ke arah perubahan yang dicitakan Pelajar Islam Indonesia. Ketiga, pun jika keduanya telah dilakukan, Pelajar Islam Indonesia belum juga melakukan evaluasi terhadap perencanaan sosialnya secara berlanjut (suistanable). Perencanaan sosial Pelajar Islam Indonesia masih tampak responsif ketimbang proaktif terhadap realitas. Keempat, pun jika ketiganya telah dilakukan, perlu banyak instrumen kerja dan panduan praktis bagi kader Pelajar Islam Indonesia untuk dapat menggerakan roda perubahan secara konsisten. Instrumen yang dimaksud bukan terkait dengan instrumen kerja organisasi tapi instrumen praktis yang dapat memandu setiap kader bekerja sesuai dengan perencanaan sosial yang sebelumnya telah disepakati. Kelima, jikapun keempat perihal tersebut telah dilakukan, Pelajar Islam Indonesia masih perlu tetep menjaga roda perubahan bergerak di atas rel perencanaan dengan memastikan seluruh kadernya berkesadaran kolektif yang dibangun melalui kaderisasinya. At least, metodologi penelitian sosial niscaya diperlukan oleh kader-kader Pelajar Islam Indonesia baik sebagai individu maupun bagian dari mekanisme organisasi untuk lebih memahami eksistensinya di tengah-tengah semesta.namun hal penting lainnya adalah memastikan metode-metode penelitian dan perencanaan sosial Pelajar Islam Indonesia mampu dibangun secara berkesadaran dengan melibatkan para pihak khususnya pelajar yang ditetapkan sebagai segmen utama penggerak roda perubahan. Hasta la victoria siempre… Allahu Akbar…

Related Documents


More Documents from ""