Rekonstruksi Paradigma Infrasruktur

  • Uploaded by: imron rosidin
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rekonstruksi Paradigma Infrasruktur as PDF for free.

More details

  • Words: 2,939
  • Pages: 8
Rekonstruksi-paradigma-Infrastruktur 1 (sebuah reflkesi praksis kegiatan infrasruktur dalam lingkar program pemberdayaan masyarakat) -bagian pertama-

Oleh : Imron Rosidin 2 “ The empowerment approach, wich is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in decision-marking of territorially organized communities, local selfrelience (but not autocrachy), direct (participatory) democracy, and experiental social learning”. (Friedman,1992).

Pada sebuah sore hari, lebih dari satu tahun yang lalu, di kedai bilangan Lancang Garam Lhokseumawe, semilir angin bulan Juli 2006 memang terasa sedikit aneh sore itu, sehingga mereguk secangkir kopi tarik bersama beberapa kue timpan cukup tepat. Teman saya dengan logat Jogjakarta nya yang fasih tiba-tiba membuat pernyataan “ Jika ada yang mengira permasalahan konstruksi, membangun rumah atau me-rehabilitasi rumah bagi korban Tsunami, membuat prasarana dasar permukiman mereka tidak memiliki korelasi dengan entitas beserta keseluruhan identitas warga masyarakat yang hendak dibangun kembali rumahnya, maka dapat saya katakan itu perkiraan yang hanya bernilai spekulatif, terlalu gegabah”. Saat itu, saya tidak terlalu tertarik untuk menanggapi pernyataannya, sebab, bagi saya berdiskusi dengannya, yang nota bene memiliki kompetensi sebagai sosiolog jelaslah puluhan cangkir kopi tarik tidak akan cukup untuk menemani panjang diskusi nantinya. Tulisan ini bukan saja untuk menceritakan detil perbincangan antara saya dan teman saya, tulisan ini dimaksudkan untuk, pertama, membangun ruang dialog bagi penggiat program-program pemberdayaan masyarakat berkenaan dengan nilai substansi, peran dan fungsi kegiatan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat. Kedua, melakukan kajian kritis terhadap aktifitas kegiatan infrastruktur dalam program-program pemberdayaan masyarakat, dimana posisinya –sementara ini- masih menjadi “sub kegiatan” dari kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, sebagai usaha untuk mengagas kembali orientasi dan praktis implementasi kegiatan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat. Ke-empat, Banyak hal yang melatar belakangi tulisan ini, dengan pengalaman yang tidak seberapa, ekspektasi yang tidak terkira dan kata yang terpatah kesemuanya disajikan dengan harapan agar kedepannya kegiatan infrastruktur yang menjadi bagian dari siklus program pemberdayaan masyarakat dapat lebih implentatif dan efektif dilakukan di tengah-tengah proses pemberdayaan masyarakat yang-tampaknyaakan terus berlanjut seiring dengan tuntunan peningkatan kapasitas berkehidupan masyarakat. Tujuan praktis yang diharapkan kedepannya, pertama, keterpenuhan pemahaman yang relatif sama bagi penggiat program pemberdayaan masyarakat (fasilitator maupun masyarakat) berkaitan dengan korelasi substantif dan esensial kegiatan infrastruktur dalam lingkaran proses pemberdayaan masyarakat, sehingga pada praktiknya -meskipun akan terjadi varian kondisi- kegiatan infrastruktur dalam proses pemberdayaan masyarakat tetap dapat dijaga nilai substansinya. 1

2

Ditulis sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas ujian yang telah dipercayakan kepada saya untuk dihadapi dan kelak saya selesaikan dengan bahagia. Soreang, 16 Dzulhijah 1426 H / 31 Desember 2007. Asisten Infrastruktur Kabupaten Bandung untuk PNPM Mandiri – P2KP. Senior Fasilitator Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Berbasis Komunitas (Re-Kompak) NAD-Nias; DMC 3, Pillar Pusaka Inti. Mustami’ semesta.

Kedua, terbangunnya kerangka gagasan, metodologi dan mekanisme praktis bagi kegiatan infrastruktur dalam usaha-usaha pemberdayaan masyarakat. Ketiga, terbangunnya infrastruktur bagi kehidupan dan berkehidupan masyarakat pararel dengan terbangunnya kapasitas pelaku-pelaku perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan perawatan infrastruktur yang berbasis pada peningkatan kapasitas masyarakat; pelaku utama. Keempat, membangun pemahaman dan gagasan orientasi kegiatan infrastruktur dalam pemberdayaan masyarakat sebagai kegiatan yang memiliki keniscayaan untuk berkelanjutan (suistanable). --o-Dalam lingkaran proses (siklus) program pemberdayaan masyarakat, yang menempatkan kegiatan–pembangunan- infrastruktur sebagai bagian dari usaha-usaha meningkatkan nilai produktifitas ekonomi, sosial, bahkan politik masyarakat sebagai warga negara, seringkali terjadi bias-bias paradigmatis yang bermuara pada terjadinya bias di segenap kerangka kerja praktis nya, ini terjadi bukan saja dikalangan masyarakat sebagai pelaku utama program pemberdayaan masyarakat, tetapi juga terjadi –justru- dikalangan fasilitator dalam posisinya sebagai “orang luar” yang berfungsi untuk mengawal proses pemberdayaan sekaligus interventor. Bias-bias paradigmatis yang muncul diantaranya : 1. Adanya kecenderungan berfikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya, dimensi material lebih penting dari dimensi kelembagaannya, dimensi ekonomi lebih penting dari dari dimensi sosialnya, 2. Anggapan bahwa pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah, 3. Pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih membutuhkan bantuan material daripada ketrampilan teknis dan manajerial, 4. Teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri, 5. Lembaga-lembaga yang telah berkembang di kalangan masyarakat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan, 6. Anggapan bahwa masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya, 7. Berkaitan dengan bias ke-enam, adalah anggapan bahwa orang miskin adalah karena bodoh dan malas, 8. Ukuran efisiensi pembangunan yang salah di terapkan, yang di artikan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan, 9. Anggapan bahwa sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional dan kurang produktif, 10. Ketidakseimbangan dalam akses kepada sumber dana. (Ginanjar Kartasasmita. 14 Maret 1997.Makalah) Tidak dapat di generalisir tentunya bias-bias tersebut terjadi di seluruh program pemberdayaan masyarakat yang telah dan mungkin akan di implementasikan di Indonesia, jika pun terjadi bias paradigmatis tersebut dalam program-program pemberdayaan masyarakat, tentunya hal tersebut tidak lantas di tegaskan sebagai bentuk ketimpangan praktis dari sebuah konsepsi dasar pemberdayaan masyarakat, lebih bijak jika kemudian terjadinya bias paradigmatis yang terjadi diterjemahkan sebagai dialektika dinamis program pemberdayaan masyarakat di Indonesia yang memang masih perlu untuk disempurnakan oleh para pihak. Namun, hal yang memang perlu untuk direfleksikan menuju penyempurnaan paradigma, metodologi dan pola kegiatan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat adalah pertama, sejauh mana kontekstualitas pemberdayaan masyarakat mampu melingkupi kontekstualitas kegiatan –pembangunan-

infrastruktur. Kedua, jika kemudian hal pertama mampu digagas dengan substantifkorelatif sehingga menjelma menjadi sebuah konsepsi utuh pemberdayaan masyarakat, lalu –sesuai dengan paradigmanya- seperti apa pendekatan dan atau metodologi yang searah dengan paradigma barunya. Ketiga, bicara tentang kerangka praksis rekonstruksi paradigma kegiatan –pembangunan- infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat, tentunya, paradigma dan pendekatan dan atau metodologi yang telah digagas meniscayakan perlunya kerangka praktis implementasinya. Inilah hal yang selanjutnya perlu untuk –menurut saya- segera mungkin digagas bersama-sama oleh para pihak, siapapun itu. Pendidikan kritis; paradigma kegiatan –pembangunan- infrastruktur program pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak bagi masyarakat miskin, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidakmampuan bersuara (voicelesness), dan ketidakberdayaan (powerlesness), dalam hubungannya dengan negara dan pasar (Herry Darwanto,2003). Secara umum, mustahil jika program pemberdayaan –apapun bentuknya- di masyarakat tidak didasarkan atas usaha bersama bangsa ini untuk belajar bersama-sama merefleksikan realitas yang ada untuk menemukenali segenap permasalahan-permasalahan kulit dan permasalahan-permasalahan dasar sebagai penyebab atas semua ketidakberdayaan selama ini, yang atasnya lantas kesadaran untuk berusaha bersama-sama memperbaiki realitas menjadi keharusan. Sebab memang realitas jelaslah bukan sebuah keharusan, namun lebih mirip teman yang menunggu untuk disapa. Sehingga, jelaslah upaya-upaya pemberdayaan akan bermuara pada satu relung; tercapainya kesadaran kritis untuk kita semua. Permasalahannya kemudian adalah, sejauh mana upaya-upaya kegiatanpembangunan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat mampu menjadi bagian utuh dari siklus pemberdayaan masyarakat atau setidaknya memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan produktifitas ekonomi, sosial bahkan politik masyarakat. Atau pertanyaan yang dramatis; sejauh mana kegiatan –pembangunan- infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Atau pertanyaan idealis; sejauh mana kegiatan –pembangunan- infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat mampu memberikan pencerahan secara nyata bagi masyarakat bahwa ada hak sebagai warga negara yang selama ini belum maksimal digunakan berkaitan dengan kewenangan masyarakat menentukan bahkan merencanakan anggaran pembangunan (Erich Fromm,1941). Kegiatan –pembangunan- infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat setidaknya dapat ditinjau dari dua sisi; pertama, Kegiatan –pembangunan- infrastruktur sebagai salah satu aspek yang niscaya diperlukan untuk membangun kapasitas mumpuni masyarakat dalam menemukenali permasalahan, bersedia untuk melakukan dialog bersama realitas, lantas mensikapi realitas tersebut dalam bentuk kerja nyata yang mampu berimplikasi kepada peningkatan harkat kehidupan dan berkehidupan. Hal ini erat kaitannya dengan usaha-usaha pemberdayaan masyarakat melalui proses pendampingan yang secara berkelanjutan. Dalam konteks inilah bias pemberdayaan yang beranggapan bahwa pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih membutuhkan bantuan material daripada ketrampilan teknis dan manajerial, anggapan bahwa teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari

masyarakat itu sendiri, atau anggapan yang menyatakan bahwa investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan rentan terjadi akibat dari pemahaman paradigmatis yang belum terintgrasi dengan utuh dalam konsepsi awal kegiatan-pembangunan- infrastruktur program pemberdayaan masyarakat. Akibat nyata dari implikasi pemahaman paradigma yang belum terintegrasi ini ialah metodologi pendidikan kritis (Paulo Freire,1970) dalam kegiatan-pembangunan- infrasruktur yang belum menemukan keharmonisan dengan realitas ke-kini-an dimana kapasitas masyarakat mulai terbangun melalui ruang pendidikan formal, dimana penguasaan teknologi tidak hanya berbasis pada instrumen-instrumen kerja mutakhir, dimana iklim demokrasi mulai dapat tumbuh dan berkembang searah reformasi sosial. Akhirnya, akibat dari kedua hal di atas, pada tataran praktis, fasilitator bersama masyarakat cenderung melakukan pendekatan-pendekatan yang seolah-olah telah menemukan akar dari segenap permasalahan-pemaslahan yang ada; radikal dan sporadis (Ignas Kleden,1998) dengan kepentingan tendensius agar mampu membuka dan men-akses sumber-sumber dana yang tersedia. Hal terakhir yang disampaikan, semestinya dipandang sangat wajar dan lumrah terjadi pada saat pendidikan kritis bagi kegiatan –pembangunan- infrastruktur belum diberikan keluangan waktu untuk menemukan paradigma aktualisasinya dalam lingkaran pemberdayaan masyarakat. Kedua, kegiatan –pembangunan- infrastruktur sebagai kegiatan pembangunan fisik. Pendidikan kritis yang memberikan indikator bahwa masyarakat bergerak dari kondisi berkesadaran magis (magical consciousness) menuju kesadaran naif (naival consciousness) lantas berujung pada kesadaran kritis (critical consciousness) dalam pembangunan fisik infrastruktur ditandai dengan kemampuan masyarakat melakukan menajemen (planning, organizing, actuating and controlling) proyek pembangunan bagi keterpenuhan prasarana dasar permukiman. Dalam konteks kondisi tersebut, teknisnya kadang –meskipun juga seringkali terjadi- memunculkan dilema tersendiri, kaitannya dengan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kaidah-kaidah dasar perencanaan teknik (detail engineering design dan rencana anggaran biaya), standard operational procedure pekerjaan teknik dan kaidah – kaidah pelaporan administrasi yang disyaratkan di satu sisi dan sisi lainnya adalah urgensitas keterpenuhan prasarana dasar permukiman bagi masyarakat yang kadangkala –ironisnya, disebab kan ketergesaan oleh waktu untuk menakses sumber dana- menafikkan kaidah-kaidak teknik dan perencanaan tersebut. Jika kemudian terjadi perihal-perihal penyimpangan kaiah-kaidah teknik dan perencanaan dalam kegiatan fisik pembangunan infrastruktur, maka seringkali kegiatan praktis pembangunan fisik berdalih atas nama proses pemberdayaan masyarakat. Inilah yang menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan pembangunan fisik infrastruktur, alih-alih menjadi bagian penting dari proses pemberdayaan malah menjadi aspek yang kurang memberikan nilai positif bagi proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga, membangun kesadaran kritis disadari benar memerlukan keterbukaan ruang serta waktu yang tidak berbatas, kecuali jika yang diharapkan hanyalah peningkatan kapasitas pada aspek psikomotorik dan afektif saja, dan jelaslah ranah kesadaran kritis mensyaratkan terjadinya peralihan dinamis aspek kognitif. Peningkatan aspek kognitif memungkinkan masyarakat memaknai keseluruhan proses pemberdayaan, pun saat proses pemberdayaan menemukan kebuntuan sesaat dalam perjalanannya. Memaknai nilai bukan saja dari hal yang bersifat material dan kasat mata, melahirkan gagasan-gagasan kritis bagi realitas yang terjadi, akhirnya tumbuh berkembangnya tindakan-tindakan ke-karya-an untuk produktifitas hidup dan berkehidupan masyarakat niscaya menjamur dalam kesadaran kolektif.

Participatory Rural Appraisal (PRA); kerangka praktis metodologi kegiatan – pembangunan- infrastruktur program pemberdayaan masyarakat Konsepsi dasar pandangan PRA (Robert Chambers, 1996) adalah pendekatan yang tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA bertujuan menjadikan warga masyarakat sebagai peneliti, perencana, dan pelaksana program pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Kritik PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program pembangunan selalu diturunkan "dari atas" (top down) dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui suatu 'penjajagan kebutuhan' (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas atau lembaga ahli-ahli penelitian. Akibatnya program tersebut sering tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak adanya rasa memiliki terhadap program itu. Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up). Metoda PRA didasarkan pada penyempurnaan dan modifikasi dari metoda AEA (Agroecosystems Analysis) dan RRA (Rapid Rural Appraisal) yang dilakukan oleh kalangan LSM dan peneliti yang bekerja di wilayah Asia dan Afrika. Walaupun ada beberapa kesamaan antara metoda PRA dan RRA, tetapi ada perbedaan secara mendasar. Metoda RRA penekannya adalah pada kecepatannya (rapid) dan penggalian informasi oleh órang luar. Sedangkan metoda PRA penekannya adalah pada partisipasi dan pemberdayaan. Chamber (1996) sendiri menyatakan PRA sebagai “suatu pendekatan dan metode untuk mempelajari kondisi dan kehidupan perdesaan dan, dengan dan oleh masyarakat desa”. Paradigma pendidikan kritis sebagai basis paradigma kegiatan –pembangunan infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat perlu kemudian ditindaklanjuti dengan metodologi praktis yang ditawarkan oleh Chamber sebagai metodologi partisipatif ; PRA yang meniscayakan masyarakat bersama “the others” dan “otherness” ; fasilitator mampu membangun sinergitas untuk merencanakan, me-organisasikan, melaksanakan dan melakukan evaluasi kolektif kegiatan-pembangunan- infrastruktur. Terdapat berbagai macam pendekatan (approachs) yang kita ketahui dalam melakukan pembangunan perumahan-pemukiman. Sebagai contoh misalnya, pendekatan formal – kelembagaan (the institution - formal), pendekatan formal – finansial (the financial - formal), pendekatan informal – sosiologis (the sociological - informal), pendekatan permintaan dan penyediaan (the demmand and supply), pendekatan kemampuan-menabung (the user affordability), pendekatan atas dasar kebutuhan dasar pengguna (the user basic need) dan lain sebagainya (Udjianto Pawitro,2007). PRA berkaitan dengan berbagai macam pendekatan pembangunan bagi masyarakat tetap memiliki “taste” yang unik dan khas sebab di dalam PRA sendiri mengenal beberapa prinsip untuk pengembangan masyarakat, diantaranya adalah belajar dari pengalaman masyarakat, berbuat bersama, menyeimbangkan atau mengurangi bias, membuka kesadaran baru, penemuan dan membangun rasa percaya diri, solidaritas membangun kemitraan serta memperkaya pengetahuan dan budaya lokal.

Beberapa hal tersebut memang penting jika berbicara pengembangan masyarakat.Disinilah dapat dilihat bagaimana PRA bukan saja mengakomodir seluruh pendekatan pembangunan bagi masyarakat, tetapi juga mampu memunculkan gagasan – gagasan baru baru metodologi dan pendekatan pembangunan bagi masyarakat, PRA seakan-akan memiliki kemampuan metamorfosis di tengah-tengah masyarakat. Dalam pelaksanannya PRA perlu untuk dimulai dengan kegiatan sederhana dan kongkrit berjangka pendek yang dapat dirasakan atau memecahkan masalah. Pengalaman dari kegiatan tersebut dapat dikembangkan dan disempurnakan dalam berbagai kegiatan lain yang lebih komplek, menuju mobilisasi kegiatan secara terpadu dan sistematis berjangkà panjang. Metode PRA berawal dari gagasan atau rencana yang dikembangkan menjadi aksi dan disempumakan melalui refleksi. PRA memang perlu dimulai dari kemampuan masyarakat, dimana ia berada dan apa yang telah dimiki serta kebutuhan apa yang ingin dipenuhi. Masyarakat sesungguhnya memiliki potensi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, meski kadang memang memerlukan sentuhan dan orang lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa pendekatan partisipatif berangkat dari “apa yang ada, bukan yang diada-adakan”. Selama ini banyak program pembangunan yang dirancang oleh para pakar, sambil berkelakar, di belakang meja gambar (rencana teknis) dan dibahas di meja bundar (penentuan kebijakan) tanpa banyak melibatkan masyarakat sekitar. Lain halnya dengan metode PRA yang berorientasi proses, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat, melalui berbagai upaya belajar, melibatkan berbagai kalangan masyarakat (tua, muda, pria, wanita, miskin, kaya). Meskipun langkah-langkah dan teknik-teknik yang digunakan mungkin terlihat rumit, namun bila telah dipraktekkan akan terasa biasa. Sebab PRA merupakan sebuah siklus pembelajaran, pencerahan dan perubahan (M.Baiquni). Sejauh ini PRA sebagai sebuah pendekatan praktis sekaligus rancangan metodologis bagi program pemberdayaan masyarakat masih relevan dan efektif mengawal nilai substansi pemberdayaan, langkah selanjutnya bagaimana kemudian kawasan kajian kolektifnya bersama masyarakat mampu dikembangkan lebih lanjut meliputi perihalperihal teknik dalam kerangka kegiatan-pembangunan- infrastruktur. Sejauh ini pula PRA masih difahami sangat parsial sebatas kajian-kajian focus group discusion yang berkelanjutan, kegiatan transect, pemetaan prasarana dasar yang kemudian dituangkan dalam peta tematik kawasan, sehingga kadang nilai esensialnya menjadi pudar. Selanjutnya, penyempurnaan strategi implementasi PRA bagi kegiatan – pembangunan- infrastruktur dalam program pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan pertama, menyegarkan kembali khasanah pemberdayaan masyarakat bagi fasilitator, dimana PRA merupakan rancang metode bagi usaha-usaha melakukan pendidikan kritis untuk semua. Sebab bagaimanapun juga megahnya skenario besar program pemberdayaan masyarakat tanpa dukungan praktis dari fasilitator sebagai motor sekaligus dinamisator program, maka kesemua skenario pemberdayaan masyarakat akan tampak layaknya “activizm”. Berkaitan dengan hal tersebut juga, maka diperlukan peran lebih fasilitator untuk melakukan penggalian potensi sumber daya manusia sekitar sehingga kelak peran fasilitator (out sider persons) dapat diambil alih perannya oleh masyarakat sendiri. Kedua, menelaah kembali keterkaitan erat antara ruh pendidikan kritis di sebuah ruang dengan PRA di ruang lainnya untuk menggagas praktsis implementasi kegiatan-pembangunan- infrasruktur kedepannya.

Ketiga, memberikan ruang yang cukup bagi kegiatan-pembangunan infrastruktur agar dapat memaksimalkan PRA sebagai sebuah metodologi yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengelola kegiatan-kegiatan pembangunan prasarana dasar permukiman di wilayahnya, bahkan lebih lanjut diharapkan mampu memanfaatkan ruangruang akses informasi dan ruang-ruang alokasi dana pembangunan yang tersedia secara mandiri. Kesimpulan Tulisan ini sebagaimana di awal telah disampaikan, masih perlu untuk dikembangkan kembali menjadi gagasan cerdas yang aplikatif bagi pemberdayaan masyarakat. Setidaknya, apa yang dikemukakan oleh teman saya berkaitan dengan pembangunan prasarana dasar permukiman bagi masyarakat korban Tsunami dengan keseluruhan proses pemberdayaannya perlu dengan serius direfleksikan menuju alam pencerahan yang lebih baik. Dalam kerangka praxis beberapa hal yang perlu untuk direfleksikan adalah : 1. Menela’ah kembali paradigma pendidikan kritis sebagai konsepsi dasar pemberdayaan masyarakat dengan PRA sebagai instrumen aplikatifnya untuk menyempurnakan gagasan utuh program pemberdayaan masyarakat (words), 2. Konsekuensi logis saat tela’ah terhadap paradigma pendidikan kritis dan PRA dilakukan, ialah, kelahiran PRA dengan wajah anggunnya setelah ber-metamorfosis, sangat penting kemudian, mengawalnya dengan perangkat-perangkat strategis dan aplikatifnya di ranah parktik (works). Semoga tulisan ini dapat mengawali ruang dialog. Saya meyakini bahwa musuh kebenaran bukanlah kebhatilan, melainkan kebenaran “yang lainnya”, oleh karenanya mari berdialog. Bukankah Chamber berkeyakinan “ Let a thousand flowers blooms (why only a thousand?, we can do more)”.

Soreang, 16 Dzulhijah 1426 H

Daftar Pustaka Erich Fromm. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000. Ginandjar Kartasasmita. Power dan Empowerment: sebuah telaah mengenai konsep pemberdayaan masyarakat.. 19 November 1996. Ginanjar Kartasasmita. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat. Maret 1997.

Herry Darmanto. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan Berbasiskan Masyarakat Terpencil. Makalah. 2000. Ignas Kleden. Radikalisme pelipur lara. Makalah. Tempo. 1997 John Friedman. Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge: Blackwell,1992. M. Baiquni. Metode dan teknik partisipatif dalam pengembangan perdesaan Mansour Fakih, Roem Topatimasang,Toto Rahardjo. Pendidikan Popular (membangun kesadaran kritis). REaD Book. 2000. Mansour Fakih. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka pelajar.1996 Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. New York: Continum, 1981. Robert Chamber. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uner Kirdar dan Leonard Silk (eds.) New York University Press, 1995. ------------------------“Shortcut Methods in Social Information Gathering for Rural Development Projects”. Proceedings of the 1985 International Conference on Rapid Rural Appraisal. 1987. Udjianto Pawitro,. Riset partisipatori pada pendekatan ‘community based development’ Dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Makalah,2007.

Related Documents


More Documents from ""