Presentasi Kasus
ODS PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA DAN MIOPIA
Oleh: Laksita Paramastuti
G99171022
Rahadian Arista D
G99181050
Muhammad Mushthafa H G99171028 Zahra Afifah Hanum
G99172162
Adliah Fithri Anisa
G99172024
Pembimbing: dr. Raharjo Kuntoyo, Sp.M
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2019
BAB I STATUS PASIEN
I. IDENTITAS Nama
: Tn. R
Umur
: 24 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pegawai Swasta
Alamat
: Karanganyar Jawa Tengah
Tanggal periksa
: 30 Januari 2019
No. RM
: 01447xxx
Cara Pembayaran
: BPJS
II. ANAMNESIS A. Keluhan utama
: Kedua mata merah
B. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien merupakan konsulan dari TS interna yang dirawat dengan Glomerulonefritis Akut, Henoch-Schonlein Purpura, dan chronic kidney disease konsul ke Poli Mata dengan keluhan kedua mata merah dan terasa pedas sejak 1 hari yang lalu. Keluhan diawali dengan demam dan kepala terasa panas. Pasien juga mengeluhkan sering muntah. Pasien tidak merasakan adanya pandangan doubel, nrocos, blobok, silau, maupun mengganjal pada kedua matanya. Riwayat mengejan saat buang air besar diakui karena pasien sudah tidak buang air besar selama 3 hari. Keluhan lain seperti batuk dan bersin-bersin disangkal.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
Riwayat hipertensi
: diakui, sejak 8 bulan yang lalu, minum obat teratur
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat operasi mata
: disangkal
Riwayat benjolan di mata
: disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
Riwayat TBC
: disangkal
Riwayat sinusitis
: disangkal
Riwayat pakai kacamata
: diakui, sejak 10 tahun yang lalu,
saat ini kacamata pasien S -12.00. Pasien terakhir mengganti kacamata 1 tahun yang lalu.
D. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat diabetes mellitus
: disangkal
Riwayat benjolan di mata
: disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
E. Riwayat Gizi dan Kebiasaan Riwayat gizi
: pasien biasa makan dua sampai tiga kali sehari dengan porsi cukup.
Riwayat Merokok
: disangkal
Riwayat Minum Alkohol
: disangkal
Riwayat Olahraga
: jarang
F. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien bekerja sebagai Pegawai Swasta yang sehari-harinya bekerja didepan komputer. Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya. Pasien
berobat ke RSUD Dr. Moewardi menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). G. Kesimpulan Anamnesis OD
OS
Perdarahan pada
Perdarahan pada
subkonjungtiva
subkonjungtiva
Subkonjungtiva,
Subkonjungtiva,
konjungtiva, camera
konjungtiva, camera
oculli anterior
oculli anterior
Idiopatik
Idiopatik
Perjalanan
Akut
Akut
Komplikasi
Belum ada
Belum ada
Proses
Lokalisasi
Sebab
III. PEMERIKSAAN FISIK A. Kesan Umum Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup T = 210/100 mmHg N = 82x/menit RR = 18x/menit S= 36,50C Pain score= 2
B. Pemeriksaan Subyektif
OD
OS
Visus Sentralis Jauh
2/60
1/60
>3/60
>3/60
Pinhole
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Koreksi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Lapang pandang
Lapang pandang
Visus Kacamata
Visus Perifer Konfrontasi test
sama dengan pemeriksa Proyeksi sinar
tidak dilakukan
sama dengan pemeriksa tidak dilakukan
C. Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar Mata Tanda radang
tidak ada
tidak ada
Luka
tidak ada
tidak ada
Parut
tidak ada
tidak ada
Kelainan warna
tidak ada
tidak ada
Kelainan bentuk
tidak ada
tidak ada
Warna
hitam
hitam
Tumbuhnya
normal
normal
sawo matang
sawo matang
dalam batas normal
dalam batas normal
2. Supercilium
Kulit Geraknya
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia
tidak ada
tidak ada
Strabismus
tidak ada
tidak ada
Pseudostrabismus
tidak ada
tidak ada
Exophtalmus
tidak ada
tidak ada
Enophtalmus
tidak ada
tidak ada
Anopthalmus
tidak ada
tidak ada
Mikrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Makrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Ptisis bulbi
tidak ada
tidak ada
Atrofi bulbi
tidak ada
tidak ada
Buftalmos
tidak ada
tidak ada
Megalokornea
tidak ada
tidak ada
Temporal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal
dalam batas normal
dalam batas normal
4. Ukuran Bola Mata
5. Gerakan Bola Mata
Nasal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
6. Kelopak Mata Gerakannya
dalam batas normal
Lebar rima Blefarokalasis
dalam batas normal
10 mm
10 mm
tidak ada
tidak ada
Tepi Kelopak Mata Oedem
tidak ada
tidak ada
Margo intermarginalis
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Entropion
tidak ada
tidak ada
Ekstropion
tidak ada
tidak ada
7. Sekitar Saccus Lakrimalis Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
8. Sekitar Glandula Lakrimalis Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
9. Tekanan Intra Okuler Palpasi
kesan tidak meningkat kesan tidak meningkat
Tonometer Schiotz
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Non contact tonometer tidak dilakukan
tidak dilakukan
10. Konjungtiva Konjungtiva Palpebra Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Konjungtiva Fornix
Konjungtiva Bulbi Pterigium
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
ada
ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Injeksi konjungtiva
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
Caruncula dan Plika Semilunaris Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
kemerahan
kemerahan
tidak ada
tidak ada
Ukuran
12 mm
12 mm
Limbus
jernih
jernih
Permukaan
rata, mengkilat
rata, mengkilat
Sensibilitas
normal
normal
garis lonjong
garis lonjong
Fluoresin Test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Arcus senilis
(-)
(-)
Isi
jernih
jernih
Kedalaman
dalam
dalam
hitam
hitam
spongious
spongious
bulat
bulat
Sinekia Anterior
tidak ada
tidak ada
Sinekia Posterior
tidak ada
tidak ada
11. Sklera Warna Penonjolan 12. Kornea
Keratoskop (Placido)
13. Kamera Okuli Anterior
14. Iris Warna Gambaran Bentuk
15. Pupil
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk
bulat
bulat
Tempat
sentral
sentral
Reflek direk
(+)
(+)
Reflek indirek
(+)
(+)
Reflek konvergensi
baik
baik
Ada/tidak
ada
ada
Kejernihan
jernih
jernih
Letak
sentral
sentral
jernih
jernih
16. Lensa
17. Corpus Vitreum Kejernihan Reflek Fundus
cemerlang
cemerlang
IV. KESIMPULAN PEMERIKSAAN OD
OS
Visus Sentralis Jauh
2/60
1/60
Visus Kacamata
>3/60
>3/60
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Lapang pandang sama
Lapang pandang sama
dengan pemeriksa
dengan pemeriksa
Sekitar mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Supercilium
dalam batas normal
dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam
dalam batas normal
dalam batas normal
Ukuran bola mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Gerakan bola mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Kelopak mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis
dalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis
dalam batas normal
dalam batas normal
Pinhole Visus Perifer Konfrontasi test
orbita
kesan tidak meningkat
kesan tidak meningkat
Kemerahan
Kemerahan
Sklera
hiperemis
hiperemis
Kornea
dalam batas normal
dalam batas normal
Camera oculi anterior
dalam batas normal
dalam batas normal
Iris
dalam batas normal
dalam batas normal
Pupil
dalam batas normal
dalam batas normal
Lensa
dalam batas normal
dalam batas normal
Corpus vitreum
tidak dilakukan
tidak dilakukan
NCT
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Tekanan Intra Okuler Konjunctiva bulbi
V. GAMBARAN KLINIS
Gambar 1. Mata Kanan dan Kiri
Gambar 2. Mata Kanan
Gambar 3. Mata Kiri
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium (26/01/2019) Pemeriksaan Hemoglobin Hematokrit Leukosit Trombosit Eritrosit MCV MCH MCHC RDW MPV PDW Eosinofil Basofil Netrofil Limfosit Monosit PT APTT INR HbsAg Rapid
Hasil Satuan SITOLOGI g/dl 11.1 % 31 3 10 / L 10.8 3 10 / L 205 103/ L 3.77 INDEKS ERITROSIT /um 79.9 28.1 pg 35.2 g/dL % 15.0 fl 7.1 % 20 HITUNG JENIS 0.02 % 0.32 % % 91.71 % 6.79 1.15 % HEMOSTASIS 15.0 Detik 23.5 Detik 1.190 SEROLOGI Nonreactive
Pemeriksaan Thorax PA (22/01/2019) Hasil pemeriksaan : 1. Cardiomegaly dengan edema paru 2. Efusi pleura bilateral minimal
VI. DIAGNOSIS BANDING
ODS Perdarahan Subkonjungtiva dan Miopia
ODS Hifema dan Miopia
Rujukan 13.5-17.5 33 – 45 4.5 – 14.5 150–450 4.00 – 5.20 80.0 - 96.0 28.0 - 33.0 33.0 - 36.0 11.6 - 14.6 7.2 - 11.1 25 - 65 0.00 - 4.00 0.00 - 1.00 29.00 - 72.00 30.00 - 48.00 0.00 - 5.00 10.0-15.0 20.0-40.0
Nonreactive
ODS Konjungtivitis dan Miopia
VII. DIAGNOSIS ODS Perdarahan Subkonjungtiva dan Miopia
VIII. TERAPI Non Medikamentosa 1. Edukasi pasien tentang penyakitnya
Tidak perlu khawatir karena perdarahan akan terihat meluas dalam 24 jam pertama, namun setelah itu ukuran akan berkurang secara perlahan karena diabsorpsi.
Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiba sehingga diperlukan pengontrolan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
2. Kompres dingin pada mata kanan dan kiri
Medikamentosa
Cendo Lyteers 4 dd gtt 1 ODS
Terapi kacamata
Terapi hipertensi sesuai TS Interna
IX. PROGNOSIS OD
OS
Ad vitam
bonam
bonam
Ad sanam
bonam
bonam
Ad kosmetikum
bonam
bonam
Ad fungsionam
bonam
bonam
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Mata Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia yang secara konstan menyesuaikan pada jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang dengan segera di hantarkan pada otak. Penglihatan pada manusia melibatkan deteksi gelombang cahaya yang sangat sempit dengan panjang gelombang sekitar 400 sampai 750 nm. Panjang gelombang terpendek dipersepsi sebagai warna biru, dan panjang gelombang terpanjang dipersepsi sebagai warna merah. Mata memiliki fotoreseptor yang mampu mendeteksi cahaya, tetapi, sebelum cahaya mengenai reseptor yang bertanggung jawab untuk deteksi ini, cahaya harus difokuskan ke retina ( ketebalan 200 μm) oleh kornea dan lensa. Mata adalah sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem anatomi yang mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem anatomi yang mendukung fungsi organ mata, yaitu : a. Anatomi kelopak mata Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing yang menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan kornea. Pada kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll, kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis. b. Anatomi sistem lakrimal Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
Sistem produksi atau glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau lakrimal terletak di daerah temporal bola mata.
Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal, duktus nasolakrimal, meatus inferior.
c. Anatomi konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungitva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva
fornises
atau
forniks
konjungtiva
yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. d. Anatomi bola mata Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu :
Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi perdarahan pada ruda paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).
Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai susunan lapis sebanyak 10 lapis yang merupakan lapis
membran neurosensoris yang akan merubah sinar menjadi rangsangan pada saraf optik dan diteruskan ke otak. e. Anatomi rongga orbita Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama – sama tulang palatinum dan zigomatikus. Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :
Kornea
Kamera okuli anterior
Iris
Lensa
Kamera okuli posterior (vitreus body)
Retina
Nervus optikus
Gambar 1. Anatomi Bola Mata
B. Konjungtiva 1.
Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris), karena lokasinya, konjungtiva rentan terpapar oleh banyak mikroorganisme dan substansi dari lingkungan luar. Menurut Alena, et al (2014), konjungtiva penuh dengan saluran limfatik menghubungkan ke node parotid dan submandibular (Alena et al, 2014). Konjungtiva memiliki suplai limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen penting pada air mata. Konjungtiva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden dengan aliran di kelopak mata. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2011). Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea. Bermacammacam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ( Ilyas dkk, 2014). Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi kelopak dan bergabung ke lapis tarsal posterior (Ilyas, 2008). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata
dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2000).
Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra dan bulbi
Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan epitel kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk palisade Vogt. Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus dimana dua lapisan menyatu (Ilyas, 2008). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva
sekretorik.
Lipatan
konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa (Vaughan, 2000).
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva (Azari, Barney, 2013)
Gambar 3. Anatomi Konjungtiva
2. Histologi Konjungtiva Konjungtiva merupakan selaput lendir tipis yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan permukaan anterior mata . Selain berfungsi sebagai pelindung, konjungtiva memungkinkan kelopak mata untuk bergerak dengan mudah. Epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel kolumnar dan lamina basal (Klintworth, Cummings, 2007). Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar sebelum sel tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks, dimana jumlahnya sekitar 5 – 10% jumlah sel basal (Ilyas, 2008). Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel – sel epitel skuamosa. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel – sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen (Vaugan, 2011). Lapisan inferior kelopak mata adalah membran mukosa yang disebut konjungtiva palpebra. Epitel konjungtiva palpebra adalah epitel berlapis kolumnar rendah dengan sedikit sel goblet. Epitel berlapis gepeng kulit tipis
berlanjut hingga ke tepi kelopak mata dan kemudian menyatu menjadi epitel berlapis silindris konjungtiva palpebra (Difiore, 2008). Konjungtiva bulbar dimulai pada limbus, di mana titik epitel kornea secara bertahap digantikan oleh epitel konjungtiva dan terus melewati sclera hingga forniks superior dan inferior (Klintworth, Cummings, 2007). Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak kehilangan pembuluh darah. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.
Gambar 4. Histologi Konjungtiva Palpebra Potongan Sagital (Difiore, 2008)
3. Vaskularisasi dan Inervasi Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaringjaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. Konjungtiva
menerima persarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus lima. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit (Vaughan, 2011). Menurut Alena, et al (2014), suplai saraf untuk konjungtiva berasal dari divisi pertama saraf trigeminal. Saraf ini terdiri atas cabang infratrochloer yaitu saraf nasociliary, saraf lacrimal, supratrochlear, cabang supraorbital saraf frontal, dan saraf infraorbital dari divisi maksilaris dari saraf trigeminal. Pada daerah limbus dipersarafi oleh cabang saraf ciliary. Mayoritas ujung saraf pada konjungtiva bebas, unmyelinated, membentuk 9 pleksus sub - epitel di bagian dangkal propria substantia . Banyak dari serat ini berakhir pada pembuluh darah, dan lainnya membentuk pleksus intraepithelial sekitar dasar sel epitel dan ujung saraf bebas diantara sel (Alena et al, 2014).
C.
Perdarahan Subkonjungtiva 1. Definisi Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rapuhnya pembuluh darah konjungtiva (Ilyas, 2008). Darah terdapat di antara konjungtiva dan sklera. Keadaan ini biasanya mengkhawatirkan bagi pasien karean mata akan mendadak terlihat merah (Vaughan, 2000).
Gambar 5. Perdarahan subkonjungtiva
2.
Sinonim (Graham, 2009) Beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva adalah: a. bleeding in the eye b. eye injury c. ruptured blood vessels d. blood in the eye e. bleeding under the conjunctiva f. bloodshot eye g. pink eye
3.
Epidemiologi Penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun (Kaimbo, 2008). Namun, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan umur (Graham, 2009). Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%). Kondisi hipertensi memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan subkonjungtiva (14.3%). Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin, malaria, penyakit sickle cell dan melahirkan. Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada 354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa kehamilan dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (Stolp, 2013).
4.
Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva
Tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera pada sebagian besar kasus.
Jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada permulaan.
Pasien akan merasa penuh dibawah konjungtiva palpebra ketika perdarahan terjadi pertama kali.
Pasien akan mengalami iritasi mata sedang ketika hematoma menjadi larut.
Perdarahan
subkonjungtiva
sendiri
akan
jelas
terlihat,
permukaannya berwarna merah terang dan halus disekitar sklera bahkan seluruh permukaan sklera dapat terisi darah.
Pada perdarahan subkonjungtiva spontan (idiopatik), tidak ada darah yang akan keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata maka tidak akan didapati darah di tisu tersebut.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudianakan berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi. Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah.
Jika pasien merasa nyeri pada matanya, terjadi perubahan visus (misalnya, penglihatan kabur, penglihatan ganda, kesulitan melihat), terdapat riwayat cedera atau trauma baru-baru ini, terdapat riwayat gangguan perdarahan, atau riwayat tekanan darah tinggi maka hal tersebut merupakan suatu penyulit yang harus segera ditangani.
5.
Patofisiologi Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih
dari
bola
mata
(sklera)
dan bagian
dalam
kelopak
mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar pembuluh darah yang halus. Pembuluh-pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna merah terang di sklera. Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit (Graham, 2009). Secara
klinis,
perdarahan
subkonjungtiva
tampak
sebagai
perdarahan yang datar, berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang subkonjungtiva. Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu: a. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba – tiba (spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya
fungsi
endotel
sehingga
pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan (Ilyas, 2008). Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu (Vaughan, 2000). b. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
6.
Etiologi a. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Itali mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan (Parmeggiani, 2013). Mutasi pada faktor XIII Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode perdarahan subkonjungtiva (Incovaia, 2013). b. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin) c. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola mata) d. Hipertensi (Pitts, 2013).
e. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE, parasit dan defisisensi vitamin C. f. Berbagai antibiotik, obat NSAID, steroid, kontrasepsi dan vitamin A dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan subkonjungtiva, penggunaan warfarin (Leiker, 2013). g. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva. h. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demam tifoid, kolera, riketsia, malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever). i. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung. j. Penggunaan lensa kontak, faktor
resiko
mayor
perdarahan
subkonjungtiva yang diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguecula (Mimura, 2013). k. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva.
7.
Diagnosis dan Pemeriksaan Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan.
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan. Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu, lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit, serta protein C dan S. Pasien dengan pendarahan berulang, tes laboratorium seperti Prothrombin Time (PT), Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)
dan
hitung
darah
lengkap
harus
diperiksa
untuk
menyingkirkan penyakit sistemik. Tes laboratorium ini juga penting untuk pasien yang menggunakan obat antikoagulan seperti heparin dan warfarin, penyakit von Willebrand's, hemofili, dan defisiensi vitamin K. Tes laboratorium PT adalah untuk protrombin, yang merupakan protein yang diproduksi oleh hati dan yang produksinya tergantung pada vitamin K. PT mengevaluasi mekanisme pembekuan ekstrinsik, termasuk faktor I, II, V, VII dan X.
8.
Diagnosis banding (Graham, 2009) a. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu mata merah. b. Konjungtivitis hemoragik akut c. Sarcoma kaposi d. Hifema
9. Penatalaksanaan Pengobatan dini pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobati (Ilyas, 2008). Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Tetapi untuk mencegah perdarahan yang semakin meluas beberapa
dokter
memberikan
vasacon
(vasokonstriktor)
dan
multivitamin. Air mata buatan untuk iritasi ringan dan mengobati faktor risikonya untuk mencegah risiko perdarahan berulang (Rifki, 2010). Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini : a. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan. b. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk melihat) c. Terdapat riwayat gangguan perdarahan d. Riwayat hipertensi e. Riwayat trauma pada mata.
10.
Komplikasi Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2 minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal seperti yang telah disebutkan diatas (Ilyas, 2008) Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai perdarahan
subkonjungtiva
yang
menetap
atau
mengalami
kekambuhan
didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari limfoma adneksa okuler (Graham, 2009).
11. Prognosis Prognosis dari perdarahan subkonjungtiva secara umum adalah baik, karena sifatnya yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun, dianjurkan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut untuk keadaan tertentu seperti sering mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan (Ilyas, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Alena F, Jameel AA, Ivana K, et al. (2014). Pigmented Epibulbar Lesion: Overview. Journal of Pigmentary Disorders. 1:2-8. Azari AA, Barney NP. (2013). Conjuctivitis: a systemic review of diagnosis and treatment. JAMA Clinical Review and Education. 310(16):1721-1729. Eroschenko VP. (2010). Atlas Histologi diFiore: Dengan Korelasi Fungsional, Ed. 11. Jakarta: EGC. Graham RK. (2009). Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s Continually Updated Clinical Reference. http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview Ilyas, Sidarta. (2008). Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta.: Balai Penerbit FK UI. Incorvaia C. (2013). Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara. Italia. Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. (2013). Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. AS. Mimura T, Yamagami S, et al. (2010). Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage. Tokyo, Jepang. Parmeggiani F et al. (2013). Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Italia. Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. (2013). Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Rifki, M. (2010). Perdarahan Subkonjungtiva. Jakarta. http://www.medicastore/ Perdarahan Subkonjungtiva.3ii04308azs Vaughan DG. (2000). Oftalmologi Umum. Jakarta: Widia Meka. Vaughan D, Asburry T, Riordan-Eva P, Whitcher JP. (2012). Vaughan & Asbury : Oftalmologi Umum. ed. 17. Jakarta: EGC