Perbuatan Baik Non-muslim (ii)

  • Uploaded by: heri
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perbuatan Baik Non-muslim (ii) as PDF for free.

More details

  • Words: 5,470
  • Pages: 11
Perbuatan Baik Non'Muslim (II) Murtadha Muthahhari Penerjemah : Agus Effendi

Pertanyaan kedua yang saya ajukan ketika membahas nilai iman ialah apa peranan iman dalam hal diterimanya suatu perbuatan? Ketika saya menunjukkan argumen-argumen mereka yang mengatakan bahwa perbuatan baik orang-orang kafir itu diterima oleh Allah, telah saya sebutkan bahwa mereka mengatakan: Ketika baik buruknya suatu perbuatan itu bersifat esensial (dzati, yaitu baik atau buruk pada dirinya sendiri), bukan aksidental ('aradh), maka perbuatan baik, baik dilakukan oleh orang mukmin atau oleh orang kafir, esensinya tetap baik dan harus diterima oleh Allah. Ini disebabkan setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh setiap orang pada hakikatnya baik; begitu juga setiap kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang pada hakikatnya" adalah kejahatan. Di samping itu, cara penilaian Allah kepada setiap hamba-Nya adalah sama. Di sini kita bisa mengatakan batrwa argumentasi di atas adalah benar, tetapi ada sesuatu yang tidak diperhatikan. Untuk mengetahuinya, kita harus menjelaskan salah satu terminology ushul bahwa kebaikan dan keburukan itu terbagi dua: fi'liy (yang berkaitan dengan perbuatan itu sendiri), dan fa'iliyy (yang berhubungan dengan si pelaku perbuatan). Setiap perbuatan pada dasarnya memiliki dua dimensi, dan setiap dimensi memiliki penilaiannya sendiri. Bisa jadi satu perbuatan itu baik, jika dilihat dari dimensi yang satu, dan buruk dari dimensi lainnya. Sebaliknya, bisa juga kedua dimensinya baik, atau keduanya buruk. Dimensi yang pertama berhubungan dengan kegunaan suatu perbuatan dalam kehidupan masyarakat manusia. Sedangkan dimensi kedua melihat hubungan suatu perbuatan dengan pelakunya yang digerakkan oleh faktor-faktor psikologis, dan yang ingin mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan dan niat-niatnya. Pada dimensi yang pertama, kita harus memperhatikan sejauh mana perbuatan itu berguna atau tidak (dalam masyarakat). Sejarah adalah termasuk ilmu yang menilai apakah perbuatan manusia (di masa lampau) itu berguna atau tidak; sejarahlah yang memuji dan mengecamnya. Sedangkan pada dimensi kedua, kita harus memperhatikan keadaan spiritual dan intelektual si pelaku sehingga kita dapat melihat bentuk perilaku, dan tujuan yang ingin dicapainya. Hal-hal yang berkaitan dengan tema-tema ini menjadi rekaman alam malakut. Apabila sejarah hanya menilai suatu perbuatan dari segi lahiriah, maka rekaman alam malakut juga memperhatikan perbuatan spiritual yang hidup. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman: Dialab yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kalian, siapakab di antara kalian yang terbaik perbuatannya .. .(QS 67:2) Allah mengatakan ahsanu 'amalan (yang terbaik perbuatannya); tidak aktsara 'amalan (yang terbanyak perbuatannya). Ini disebabkan dalam melakukan suatu perbuatan, kita didorong oleh faktor-faktor ruhaniah, di samping aspek lahiriah perbuatan tersebut; pada dasarnya, di dalam perbuatan tersebut ada makna yang ingin kita wujudkan. Karenanya, persoalannya tidak sesederhana ini. Suatu perbuatan tidak hanya diwujudkan oleh kekuatan otot belaka. Adapun pemikiran dan niat juga memiliki nilai yang mengantarkan kepada perbuatan, dan keduanya bersifat konseptual. Dan sesuatu yang mengantarkan kepada perbuatan, - yang didahului oleh pemikiran dan niat - bisa berupa apa saja. Tidak, pentingnya pemikiran dan niat tidaklah lebih rendah dari pentingnya perbuatan (lahiriah). Aliran pemikiran yang menganggap penting suatu perbuatan (lahiriah) dan mengesampingkan pemikiran, niat, dan keyakinan, dan memandarrgnya hanya sebagai wujud konseptualdan pengantar saja, jelas merupakan pemikiran yang materialis.Di samping kenyataan gagalnya mazhab pemikiran seperti ini dalam penerapan-penerapannya, juga bisa dipastikan bahwa mazhab pemikiran Al-Quran dengan tegas menentang bentuk pemikiran tersebut. AlQuran memandang bahwa kepribadian kita yang hakiki dan ke-aku-an yang real adalah dalam ruh kita. Dengan segala ikhtiar, ruhani ini beranjak dari potensi kepada tindakan. Ia meraih keistimewaan yang sesuai dengan kehendak dan tujuan perbuatan tadi, sehingga malakah (potensi) dan atsar (dampak, atau perwujudan potensi) tersebut menjadi bagian dari kepribadian kita yang mengantarkan kita menuju alam wujud yang sesuai dengannya.

1

Dengan demikian, kebaikan dan keburukan fi'liy, yaitu pada dimensi yang pertama, berkaitan dengan pengaruh eksternal perbuatan tersebut. Sedangkan kebaikan dan keburukan fa'iliyy, yaitu pada dimensi

kedua, berkaitan dengan kualitas perbuatan pelakunya. Jadi, pada satu sisi kita menilai suatu perbuatan berdasarkan dampak eksternal dan sosialnya, dan pada sisi yang lain, berdasarkan dampak internal dan psikologis perbuatan tersebut pada diri pelakunya. Seandainyas eseorang mendirikan sebuah rumah sakit, atau lembaga-lembaga kebudayaan, atau lembaga-lembaga keuangan, maka tidak syak lagi perbuatan ini, dari perspektif sosial dan sejarah, merupakan perbuatan baik. Artinya, perbuatan-perbuatan semacam itu bermanfaat untuk makhluk Allah. Dengan perspektif seperti ini, kita tidak tahu apa yang menjadi tujuan pendiri rumah sakit atau lembaga-lembaga diatas: apakah mereka didorong oleh sikap riya' (pamer), dan sekadar ingin memuaskan dorongan-dorongan psikologis, atau didorong oleh faktor-faktor kemanusiaan yang luhur, tidak bersifat individual dan materialistis. Yang jelas, menurut kacamata sosial, lembaga tersebut telah didirikan. Hukum-hukum sejarah mengenai suatu perbuatan manusia selalu dinilai dari sisi ini. Sejarah tidak mau tatru tentang niat-niat para pelakunya. Misalnya, ketika kita sibuk membicarakan hasil kreasi seni atau suatu produksi di Ishfahan, kita tidak pernah mempertanyakan apa tujuantujuan yang tersembunyi pada batin pendiri Masjid Syaikh Lutfullah atau Masjid Imam Khumaini atau Al-Jasr. Sejarah hanya melihat perbuatan lahir, dan dengan itu ia menamakannya "perbuatan baik". Sedaangkan jika dipandang dari dimensi kebaikan failiyy, kita, tidak melihat dampak sosial dan eksternal suatu perbuatan, tetapi memperhatikan bentuk hubungan perbuatan dengan pelakunya. Dengan demikian, suanr perbuatan, untuk dapat dinilai sebagai "perbuatan baik", tidak cukup hanya karena bermanfaat saja, tetapi kita juga harus memperhatikan niat dan tujuan pelakunya: apa yang dikehendakinya dibalik semua itu. apabila pelaku tersebut bertujuan baik dan memiliki niat yang bersih serta melakukan perbuatan tersebut atas dasar dorongan-dorongan yang suci, maka perbuatannya bisa dikatakan baik. Jika demikian, maka perbuatannya berhasil dalam kedua dimensinya: dimensi sosie-historis dan dimensi spiritual-samawi. Lain halnya bila pelaku tersebut mengerjakan suatu perbuatan atas dasar dorongan riya' dan untuk meraih manfaat-manfaat material. Jika demikian, dia - menurut hukun sejarah dan kehidupan sosial - dikatakan berhasil, namun - dari segi spiritual-samawi - dia gagal. Dalam terminologi Islam, perbuatannya tidak naik ke atas. Dengan cara lain, bisa kita katakan bahwa dalam hal ini pelaku telah mempersembahkan suatu pengabdian kepada masyarakat, tetapi dia belum memberikan pcngabdian kepada dirinya, bahkan bisa jadi menghianati dirinya sendiri. Dengan begitu, ruhnya yang- dengan perbuatan tersebut- semestinya naik, malah turun, jatuh ketingkat yang paling bawah. Dengan pendapat seperti itu, saya bukan hendak mengatakan bahwa dalam satu perbuatan utuh kebaikan fa'iliyy itu terpisah dari penilaian kebaikan fi'liy. Juga, saya tidak mengatakan bahwa seorang manusia yang memperhatikan sistem spiritual dan evolusi ruhaniah tidak perlu melakukan perbuatan-perbuatan yang mempunyai manfaat sosial. Tidak, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin mengatakan bahwa perbuatan yang mempunyai manfaat sosial itu tidaklah bermanfaat secara spiritual dan ruhaniah, ketika ruhnya tidak naik ke atas, tidak meninggalkan penyembahan diri dan hawa nafsu, serta jika tidak disertai keikhlasan dan kesucian niat. Hubungan kebaikan fi'liy dengan kebaikan fa'iliyy adalah seperti hubungan badan dengan ruh. Suatu makhluk hidup adalah wujud yang terdiri atas badan dan ruh. Dengan demikian, agar dalam perbuatan itu ada sesuatu yang hidup dan menjadi wujud yang hidup, maka perbuatan yang memiliki nilai kebaikan fi'liy harus disertai dengan nilai kebaikan fa'iliyy. Oleh karena itu, tidaklah cukup argumen rasional dari kaum cendekiawan yang berpendapat bahwa karena hubungan (cara penilaian) Allah kepada seluruh makhluk-Nya itu sama, di samping atas dasar

2

bahwa baik-buruknya suatu perbuatan itu bersifat esensial (dzati), maka perbuatan baik setiap orang adalah sama, dan tidak boleh tidak setiap orang yang melakukan perbuatan baik harus mendapatkan pahala akhirat seperti yang diterima oleh seorang Mukmin. Argumentasi ini menilai perbuatan dengan menjelaskan bahwa hubungan Allah kepada seluruh makhluk-Nya itu sama, tetapi melupakan dimensi pelaku, faktor-faktor yang mendorong,dan tujuan- tujuan serta gerakan-gerakan spiritual dan niatnya. Jika dimensi tersebut kita perhatikan, ini berarti mengharuskan dibuatnya pembedaan; yaitu sebagian perbuatan mati, dan yang lainnya hidup. Mereka (kelompok cendekiawan yang disebut sebelumnya) mengatakan: “Allah tidak mempedulikan apakah pelaku itu menyadari perbuatan itu untuk kebaikan atau tidak, apakah pekerjaan itu dilakukan untuk meraih ridha-Nya atau untuk tujuan lain untuk bertaqarrubkepada-Nya atau kepada selain-Nya." Benar, dalam hubungannya dengan Allah memang tidak ada perbedaan, akan tetapi perbedaan terjadi dalarn hubungannya dengan pribadi pelaku. Seorang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak mengakui keberadaan-Nya" akan menjalani jalan spiritual yang berbeda dengan jalan spiritual yang dilalui oleh seorang mukmin dan yang mengakui keberadaan-Nya. Apabila seseorang itu tidak beriman kepada Allah, dia hanya akan menikmati kebarlan fi'liy, yaitu yang bernilai sosial dan historis saja. Sedangkan seorang yang beriman keprda Allah, selain menikmati kebaikan tadi, sekaligus menikmati kebaikan fa'iliyy . Seorang mukmin adalaah seorang yang dengan ilmunya menuju Allah, dan ia naik ke atas. Adapun seorang yang tidak beriman adalah seorang yang tidak akan pernah naik. Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Allah, perbedaan itu tidak terjadi. Tetapi perbedaan terjadi dalam hubungannya dengan perbuatan itu sendiri. Sesekali perbuatan itu menjadi wujud hidup yang naik ke atas, dan pada saat yang lain ia dinamakan perbuatan yang mati dan tetap di bawah. Mereka mengatakan: "Allah itu Maha Adil, dan Maha Bijaksana. Tidak mungkin Dia akan menghapuskan perbuatan baik seseorang yang tidak berdosa, hanya karena orang itu tidak memiliki ikatan mahabbah (cinta) dengan Allah." Memang, kita juga yakin bahwa Allah tidak akan menghapuskan perbuatan baik seseorang. Tetapi apabila seseorang tidak mengakui keberadaan Allah, bagaimana mungkin perbuatannya bias baik secara nyata dan mengandung dampak yang baik pula, sekaligus dari segi sistem sosial maupun dari segi keadaan ruhaniah pelaku. Semua kesalahan ini berasal dari asumsi bahwa perbuatan yang bermanfaat sosial itu cukup untuk bisa dipandang sebagai perbuatan baik dan saleh.T egasnya, apabila kita berasumsi (dan asumsi ini bersifat mustahil) ada seseorang yang tidak ma'rifah(mengakui keberadaan) Allah, kemudian perbuatannya naik kepada-Nya, maka Allah tidak akan menolaknya. Akan tetapi, pada hakikiltnya, seorang manusia yang tidak mengenal Allah tidak akan bisa mengoyak hijab; jiwanya tidak akan mencapai ketinggian spiritual yang diperlukan; ia tidak akan naik kepadaNya untuk minghidupkan perbuatannya secara ruhaniah, sehingga meraih kesenangan dan kebahagiaan di alam tersebut. Diterimanya perbuatan di sisi Allah, tidak lain, adalah persoalanpersoalan seperti itu. Antara hukum Allah dengan hukum manusia terdapat perbedaan mendasar. Hukum Allah memiliki dua dimensi, sedangkan hukum manusia hanya memiliki satu dimensi. Hukum manusia tidak pernah memperhatikan sistem-sistem spiritual dan evolusi ruhaniah. Apabila suatu negara, untuk mempertahankan kemaslahatan Negara, mewajibkan pajak, maka tujuannya hanya terbatas pada sekadar kebutuhan secukupnya demi kepentingan keuangan Negara. P'emerintah tidak pernah mau mengetahui niat para pembayar pajak; pemerintah tidak akan bertanya apakah pajak tersebut dibayar karena didorong oleh kesadaran hati dan kerelaan jiwa, atau dibayar atas dasar ketakutan dan pemaksaan. Tujuan negara adalah memungut pajak, dan tidak ada persolan meskipun mereka membayar pajak tersebut atas dasar intimidasi. Yang penting, negara menerima apa yang dikehendakinya. Begitu juga Negara mengundang wajib militer kepada para pemuda untuk mempertahankan Negara. Negara tidak akan melihat niat mereka. Yang terpenting adalah bagaimana bias menang atas musuhnya di medan perang. Tidak menjadi soal apakah para prajurit itu rela berperang dan puas, atau hal itu 3

dilakukan karena rasa takut peluru menembus kepalanya. Negara juga tidak akan mempedulikan apakah para prajuritnya bertempur atas dasar nasionalisme jahil, atau untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan. Adapun hukum Allah, persoalannya lain. Hukum Allah menolak seluruh gagasan di atas, karena ia tidak mengharuskan pajak dan para wajib militer tersebut dalam bentuknya yang mutlak. Yang dikehendaki adalah apabila semua itu dilakukan dengan disertai niat yang ikhlas dan atas dasar ingin mendekatkan diri kepada-Nya. Perbuatan yang dikehendaki Islam adalah perbuatan yang hidup, bukan perbuatan mati yang tidak ada ruh di dalamnya. Dengan demikian, apabila seorang Muslim membayar zakat dengan disertai perasaan riya', maka zakat tersebut tidak akan diterima. Begitu juga, apabila ia bertempur di medan perang dengan disertai niat untuk mempertontonkan kegagahannya, maka amal tersebut tidak akan diterima. Hukum Allah mengatakan: Seorang prajurit yang rendah itu tidak bermanfaat bagi-Ku. Yang Aku kehendaki adalah seorang prajurit yang dalam dirinya berbaur ruh al-qital (semangat jihad) dalam setiap sel wujudnya. Yang Aku kehendaki adalah seorang prajurit yang memenuhi panggilan: sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang beriman dengan surga yang telah disediakan buat mereka.( QS 9 :111) Menurut riwayat-riwayat mutawatir (yang kesahihannya merupakan kesepakatan bersama) lewat Ahl Al-Sunnah dan Syi'ah, Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya. Setiap orang itu akan menerima apa yang diniatkannya. Tidak ada perbuatan, kecuali dengan niat. Di dalam hadis Muslim dikatakan: Sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu akan menerima sesuai dengan yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin didapatkannya, atau karena perempuan yang mau dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada yang dihijrahhinya.' Imam Shadiq mengatakan: Persembahkanlah amal-amal kalian itu untuk Allah, bukan untuk manusia. Karena setiap yang diperuntukkan Allah itu akan menuju kepada-Nya, dan setiap yang diperuntukkan manusia tidak akan naik kepada-Nya. Niat adalah ruh suatu perbuatan. Kalaulah badan manusia menjadi mulia karena adanya ruh, maka begitu juga mulianya perbuatan berkaitan dengan ruhnya. Apakah yang menjadi ruh Tidaklah mereka diperintah, kecuali untuk menyembab Allah dengan memurnikan keikhlasan pada-Nya.( QS 98:5) Iman kepada Allah dan Hari Akhirat Dunia dan akhirat bukanlah dua alam yang terpisah dan tidak ada hubungannya sama sekali. Hubungan dunia dengan akhirat adalah seperti badan dengan ruh, yakni hubungan lahir dengan batin. Alam dunia dan alam akhirat, atau alam malak dan malakut masing-masing 4

adalah seperti sebuah buku yang hanya memiliki dua halaman, atau seperti sebuah koin mata uang yang berwajah dua. Bumi yang ada di dunia adalah bumi yang ada di akhirat itu sendiri, hanya saja dalam bentuknya yang malakuti (ukhrawi). Begitu pula benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhan, di akhirat semuanya nampak dalam wujud yang malakuti. Dengan begitu, akhirat adalah wajah malakuti dari dunia. Agar setiap perbuatan mendapatkan wajah malakuti yang tinggi, setiap pelaku harus mengarah kepada Allah sehingga bisa naik kepada-Nya. Oleh karena itu, seandainya si pelaku tidak meyakini adanya hari kiamat, dan ketika berbuat tidak menuju Allah, maka ia tidak mungkin mendapatkan wajah perbuatan yang malakuti. Dengan kata lain perbuatannya tidak akan pernah naik ke ketinggian "'iliyyin". Arah suatu perbuatan yang malakuti adalah ke atas, sedangkan arah perbuatan yang malaki (duniawi) ke bawah. Apabila suatu perbuatan tidak mendapatkan sinar dan cahaya keyakinan (aqidah), iman dan niat yang bersih, maka selamanya ia tidak akan pernah naik ke ketinggian alam malakut, al-malakut al-a'la. Perbuatan yang akan sampai ke al-malakut al-a'Ia ialah perbuatan yang di dalamnya ada ruh, dan ruh perbuatan itu tidak lain hanyalah bentuk malakuti-nya. Allah berfirman dalam AlQuran: …Kepada-Nyalah perkataan yang baik dan keyakinan yang bersih naik, dan oleh-Nyalah diangkat amal saleh…. (QS 35:10) Sebagaimana disebutkan oleh buku-buku tafsir, kita bisa menafsirkan ayat di atas dengan dua penafsiran: pertama, bahwa perkataan yang benih dan keyakinan yang suci dapat membuat suatu perbuatan layak untuk naik; kedua, bahwa perkataan yang bersih dan keyakinan yang suci itu mengangkat suatu perbuatan yang baik naik ke atas. Kedua bentuk penafsiran tersebut kedua-duanya benar, juga tidak ada masalah untuk menganggap kedua penafsiran tersebut sebagai sama. Di atas semuanya itu, kedua penafsiran di atas menjelaskan kepada kita bahwa iman itu berpengaruh terhadap diterimanya perbuatan kita dan terhadap naiknya perbuatan tersebut ke al-malakut al-a'la Begitu juga suatu perbuatan dapat mempengaruhi naiknya derajat iman. Dalam kerangka pengetahuan Islam, persoalan-persoalan tersebut merupakan hal yang sudah tegas, dan kita melihat bahwa penafsiran yang kedua - di samping tidak ada masalah untuk menggangapnya sama - sekaligus menunjukkan kedua makna tersebut. Jelas bahwa anggapan yang menyatakan bahwa perbuatan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Kiamat itu akan diterima oleh Allah dan akan meraih bentuk malakuti merupakan kesalahan. Apabila kita menganggap, misalnya, bahwa seseorang yang berjalan ke arah utara Teheran dan melanjutkan perjalanan ke arah tersebut selama beberapa hari, maka dia akan sampai ke Qum atau Isfahan atau Syiraz, sungguh kita akan terkejut dan melecehkannya; dan kita akan megatakan bahwa apabila seseorang akan pergi menuju Qum, atau Ishfahan, atau Syraz hendaknya dia keluar dari arah jalan selatan Teheran dan melanjutkan perjalanan dari arah tersebut. Sungguh mustahil apabila seseorang yang pergi menuju Turki, tetapi sampainya ke Ka'bah. Surga dan neraka adalah dua tujuan spiritual perjalanan hidup manusia, dan manusia pasti akan mendapatkan dirinya di alam itu ketika perjalanannya telah sampai. Seseorang akan berada di atas, karena tujuan perjalanannya ke atas; dan yang lain berada di bawah karena tujuan perjalanannya ke bawah; yang satu berada diatas, 'iliyyin dan yang lain berada di asfala safilin. Allah telah berfirman: "Sesugguhnya catatan bagi orang-orang baik itu berada di ‘iliyyin dan catatan orang-orang yang berdosa berada di sijjin." Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki tujuan tertentu atau yang menuju arah yang sebaliknya bisa sampai kepada 'iliyyin? Sampai kepada ‘iliyinmerupakan akibat dari kehendak dan keinginan keras untuk sampai kepadanya. Kehendak (iradah) dan keinginan keras ('azm) muncul dari pengetahuan dan keyakinan akan Allah dari satu sisi; dan dari sisi lain merupakan taslim. Apabila seseorang tidak meyakini tujuan ini, atau tidak taslim, dia tidak akan 5

menyukainya, sehingga selangkah pun dia tidak akan menggerakkan kakinya untuk mencapai tujuan tersebut. Dan bagaimana mungkin kita akan mendapatinya di sana? Tidak diragukan lagi, bahwa setiap jalan tidak akan dilalui kecuali jika merupakan tujuannya. Apabila Allah tidak dijadikan tujuan, maka sudah dapat dipastikan dia tidak akan berakhir pada-Nya. Dalam AlQuran Allah berfirman: Barangsiapa mengbendaki kehidupan ‘ajilah ( yang segera) maka baginya kan kami segerakan di dunia itu apa yang kami kebendaki bagi orang yang kami kebendaki dan Kami sediakan baginya neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan terhina dan terusir. Dan barangsiapa mengbendaki akhirat dan berusaha untuknya dengan bersungguh-sungguh dalam keadaan dia beriman, maka mereka adalah orang-orang yang usahanya mendapatkan balasan. (QS 17:18-19) Yang dimaksud dengan 'ajilah (yang segera) di atas adalah dunia. Maksudnya, apabila pikiran seseorang tidak pernah beranjak dari dunia dan tidak memiliki tujuan selain tujuan-tujuan duniawi, maka adalah mustahil dia akan mencapai tujuan-tujuan ukhrawi yang luhur. Bahkan, kesantunan dan kebajikan kita yang bersifat llahiah mengharuskan kita untuk meraih manfaat dari tujuan-tujuan duniawi. Di sini perlu digarisbawahi bahwa alam dunia merupakan alam material, alam sebab sebab akibat duniawi yang selamanya selalu bergerak dan bertemu. Dengan demikian, di dunia ini juga ada "paksaan". Oleh karena itu, kalau pun seseorang itu tujuannya adalah dunia, maka dia pun belum tentu dijamin seratus persen akan sampai kepadanya. Karenanya Al-Quran mengatakan:" Kami segerakan baginya apa yang ada di dalamnya, apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki. . . " Adapun manusia yang menuju tujuan yang tinggi dalam lapangan-lapangan spiritual dan tidak pernah membatasi dirinya dengan tujuan-tujuan hina, lalu dia melangkah menuju tujuan-tujuan Ilahi dengan penuh kesungguhan dan berjalan dengan iman yang mantap, maka pasti dia akan sampai tujuan, karena Allah SWT akan meluruskan dan membantunya. Dengan demikian, siapa pun yang beramal baik, ia akan diterima dan diberi balasan oleh-Nya. oleh sebab itu, di sini disyaratkan usaha dan perjuangan, karena adalah mustahil tanpa melangkah, seseorang akan sampai ke tujuannya. Selanjutnya, ayat yang tadi, dilanjutkan dengan firman-Nya: Kepada masing-masing golongan, baik kepada golongan ini maupun kepada golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu itu sekali-kali tidak akan Dapat dihalangi.( QS 17:20) Maksudnya, bahwa Allah benar-benar Maha pemurah dan alam ini telah diciptakan dalam keadaan siap untuk bergerak dan bertindak sehingga siapa pun yang menabur benih, maka Allah akan memberikan ganjaran kepadanya; dan siapa saja yang menuju kepada satu tujuan, maka Allah pun akan mengantarkannya untuk sampai ke tujuannya. Para filosof ketuhanan mengatakan: Sesungguhnya Wajib AI-Wujud benar-benar wajib dari segala segi dan arah; sehingga Dia wajib merahmati (wajib al-faidh). Dari sini, untuk setiap hal yang mensyaratkan sesuatu, maka Allah akan menganugerahkannya. Apabila seseorang menghendaki dunia, maka tidak mungkin Allah akan mengatakan kepadanya: engkau ini sesat dan tidak berbuat sesuai dengan petunjuk-Ku, oleh karena itu akan aku hapuskan dari engkau seluruh bantuanku . . . Tidak! Pencari dunia, pada dasarnya, dalam batas-batas pengaruh hukum sebab akibat, hukum tamanu' (daya saling menolak), dan hukum tazahum (daya saling-menarik), tetap akan menerima bantuan Allah, penjagaan-Nya dan masih tetap bisa memanfaatkan rahmat dan pemberianNya. Dengan kata lain, alam adalah tanah yang siap untuk ditanami, tumbuh, berbuah, dan dipanen. Persoalannya terserah kepada manusia, bibit apa yang dipilihnya untuk ditanam sehingga tumbuh dengan baik. Yang jelas, alam ini akan tetap dapat menumbuhkan dan membuahkan bibit yang dipilihnya.

6

Memang, bagi ahli hakikat, ada suatu rahmat lain yang khas, yaitu disebut al-rahimiyyah. Para pencari dunia tidak akan mendapatkannya., karena mereka tidak mencarinya. Sedangkan yang disebui alrahmaniyyah bersifat umum; semua manusia akan mendapatkannya dengan sama. Penyair Sa'adi mengatakan: Apa yang ada di atas bumi adalab tilam-Nya yang umurn dan meja makan ini diberikan kepada lawan dan kawan. Setelah bab ini dijelaskan, maka beberapa persoalan yang sering diperdebatkan sudah terpecahkan. Telah saya jelaskan bahwa kebaikan fi'liy saja tidak cukup untuk menerima pahala akhirat, akan tetapi ia juga mensyaratkan kebaikan fa'iliyy. Kebaikan fi'liy posisinya sebagai tubuh, dan kebaikan fa'iliyy sebagai ruh dan kehidupan. Telah saya jelaskan bahwa iman kepada Allah dan Hari Akhir merupakan syarat dasar dan harus ada untuk terwujudnya kebaikan fa'iliyy. Syarat ini bukan syarat subjektif, melainkan syarat objektif (dzati) dan alamiah (takwini), sebagaimana untuk mencapai rujuan tertentu disyaratkan melalui jalan tertentu. Di sini kita harus menggarisbawahi sesuatu yang lain: yaitu, mungkin kita bisa mengarakan bahwa adanya kebaikan fa'iliyy bukanlah keharusan dalam bertaqarrub kepada Allah. Dengan demikian, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan baik atas dasar motivasi instinktif dan rahmat tanggung jawab atas hatinya, hal itu sudah cukup bagi perbuatan tersebut untuk mendapat sifat baik secara fa'iliyy. Maksudnya, agar perbuatan tersebut bisa disebut baik secara fa'iliyy, sudah cukup apabila yang menjadi penggeraknya bukan egoisme pribadi. Ketika itu penggeraknya tidak perlu Allah atau kemanusiaan. Penggarisbawahan di atas memerlukan satu perhatian, yaitu, saya tidak menegaskan pendapat yang

mengatakan bahwa tidak ada perbedaan, antara apakah yang menjadi motivator itu Allah atau kemanusiaan; dan sayat idak sempat menjelaskannya secara mendalam di sini. Hanya saja, saya yakin bahwa apabila perbuatan tersebut tujuannya adalah pelayanan kemanusiaan, maka dia akan berbeda dengan perbuatan yang hanya dimaksudkan demi kepuasan pribadi saja. Adalah jelas bahwa Allah tidak akan pernah melalaikan pahala mereka yang memberikan pelayanan kepada kemanusiaan tanpa mengharapkan pahala. Banyak diriwayatkan di dalam riwayat bahwa orang-orang musyrik seperti Hatim Al-Tha'i. Apakah mereka tidak akan mendapatkan siksa, atau siksanya diringankan karena perbuatan baik yang mereka lakukan? Hal ini bisa kita lihat dari riwayat-riwayat berikut ini: 1. Al-Majlisi, semoga Allah merahmatinya, mengutip masalah pahala perbuatan dari Syaikh Shaduq, dari Ali bin Yaqthin, dari Imam Musa Al-Kazhim: Di tengah-tengah B ani Israil ada seorangl aki-laki beriman yang mempunyai tetangga seorang kafir. Orang kafir tersebut lembut kepada orang beriman dan berbuat ma'ruf kepadanya di dunia. Ketika orang kafir tersebut mati, baginya Allah membuatkan Sebuah rumah di neraka dari tanah sehingga bisa menjaganya dari panasnya dan ia diberi rezeki selain rezeki neraka, lantas kepadanya dikatakan:"Inilah balasan engkau membantu tetanggamu Fulan bin Fulan; engkau berbuat lembut kepadanya dan berbuat ma'ruf padanya di dunia. Selanjutnya, Al-Majlisi menjelaskan riwayat ini dengan mengatakan: cerita ini mendekati shahih. Ia menunjukkan bahwa sebagian orang-orang kafir ahli neraka itu dihapus sebagian siksanya karena sebagian perbuatan baik mereka. Bisa jadi riwayat ini merupakan bentuk khusus dari ayat yang menunjukkan bahwa mereka itu disiksa di dalam neraka dan tidak diringankan s iksaannya, yang ditegaskan juga oleh sebagian riwayat lain yang akan dijelaskan berikutnya. Dan mungkin saja, dengan asumsi bahwa mereka di neraka, mereka tetap mendapatkan siksa, walaupun barangkali siksaannya tidak melukai mereka, dan tidak diringankan dari mereka. Misalnya, sewaktu di neraka mereka disiksa, hanya bukan dengan dibakar oleh api, melainkan dengan dibuat takut. 2. Dari Imam Baqir, diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: 7

Ada seorang mukmin hidup di negeri kerajaan tiran, ia ditindas, lantas dia lari darinya ke daerah orang musyrik, kemudian dia hidup bersama-sama orang muryrik, dia dilindungi, diperlakukan lembut olehnya dan dianggap sebagai tamunya. Ketika orang musyrik tersebut meninggal dunia, Allah mewahyukan kepadanya: "Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, kalaulah di surga itu ada tempat, sungguh akan aku tempatkan engkau di dalamnya, akan tetapi ia diharamkan kepada orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik. Namun demikian, wahai Neraka, lindungi dia, jangan engkau lukai dia." Lantas dia diberi rezeki, pada pagi dan sore hari. Aku bertanya: "Dari surga?" Beliau menjawab: "Dari yang dikehendaki oleh Allah."? 3. Mengenai hak Abdullah bin Jad'an, salah seorang kafir jahiliah yang dikenal, dan salah seorang putra Quraisy yang terpandang, Rasulullah saw. mengatakan, "Sesungguhnya orang yang paling ringan siksaannya di neraka adalah lbnu Jad'an." Ditanyakan kepada beliau, "Kenapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: “Karena dia member makan." 4. Mengenai hak sebagian orang-orang jahiliah, Rasulullah saw. mengatakan: Di neraka aku melihat pemakai al-qiba '(jenis pakaian luar) yang telah dimasukkan ke dalam neraka. Aku juga melihat pemilik tongkat yang memandu seorang yang naik haji dengan tongkatnya. Begitu juga di neraka aku melihat seorang wanita pemilik kucing yang menelantarkan kucingnya hingga kurus karena dikurung, tidak diberi makan dan tidak dilepaskan untuk memakan binatang-binatang tanah. Lalu aku masuk ke surga. Di sana aku melihat pemilik seekor anjing yang diberinya minum air. Pada setiap zaman terdapat individu-individu seperti mereka, dengan perbedaan situasi dan kondisi peringanan siksaan kepada mereka - atau bias jadi penghapusan semua siksaan mereka. Saya berpendapat bahwa ada orang-orang yang berbuat baik kepada orang lain, bahkan kepada semua makhluk hidup, karena kepercayaan bahwa "setiap daging yang berdetak itu layak untuk diberi balasan", tanpa mengharap suatu manfaat apapun; mereka berbuat baik bukan karena takut, tetapi motivasi untuk berbuat baik dan membantu orang lain makin kuat dalam hati nuraninya, sehingga mereka berbuat baik juga, walaupun mereka menyadari bahwa mereka tak akan memperoleh balasan, dan tidak diketahui oleh seorang pun, dan tidak ada yang mengucapkan selamat kepadanya. Namun demikian, syaratnya adalah hendaknya mereka tidak berada di bawah pengaruh kebiasaan, sehingga dengan yakin kita akan mengatakan bahwa pada kesadaran nurani mereka ada cahaya ma’rifah kepada Allah, dengan asumsi bahwa mereka menolak dengan lisan, tetapi mereka meyakininya dalam hatinya. Adapun penolakan mereka hanyalah menggantikan posisi Allah dengan hal-hal yang dikonsepsikan dalam pikiran mereka atau menggantikan posisi kembali kepada Allah dan Hari Kiamat dengan hal-hal imajiner. Pada dasarnya, penolakan di sini bukan penolakan Zat Allah, juga bukan penolakan Hari Kiamat (ma'ad) yang sebenarnya. Keterkaitan terhadap kebaikan, keadilan, dan ihsan, jika perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan tarpa dikotori sesuatupun, pada hakikatnya adalah mengungkapkan kecintaan kepada Zat Yang Maha Indah. Atas dasar itu, maka kita tidak bisa mengelompokkan orangorang seperti itu dengan orang-orang kafir, walaupun mereka menolak dengan lisan mereka. Wallahu a'lam. Iman kepada Nubuwwah (Kenabian) dan Imamah Pembahasan kita sekarang merupakan sisi lain dari tema di atas. Mungkin kita bertanya: Bagaimana kedudukan kaum Muwahhidin (yang menyakini Tauhid), selain kaum Muslimin, yang meyakinii adanya Hari Kiamat dan berbuat karena Allah? Kita melihat bahwa di tempat orang8

orang Ahl Al-Kitab itu sendiri ada yang menolak Al-Masih dan 'Uzair sebagai anak Tuhan. Mereka tidak menyembah api, juga tidak meyakini dualisme wujud. Mereka tidak ragu bahwa Al-Masih bukan anak Tuhan, tidak menyatakan bahwa 'Uzair anak Tuhan, tidak memandang Ahriman sebagai Tuhan kejahatan, dan mereka juga meyakini Hari Akhirat. Kalau demikian, bagaimana akhir perbuatan mereka? Di sini kita tidak akan membahas sekelompok orang penemu, pencipta, dan para pelayan kemanusiaan di antara kaum materialis yang menolak adanya Tuhan, juga tidak akan melacak sejauh mana motivasi material mereka,k arena sebelumnya persoalan tersebut telah kita bahas dengan jelas dari perspektif Islam. Pembahasan kita sekarang adalah mengenai para pelaku kebaikan di antara orang-orang yang meyakini asal kejadian dan Hari Akhirat. Lewat perbuatannya, mereka dapat memperkuat kehendaknya dan melakukan perbuatan-perbuatan demi tujuan-tujuan lain yang mengatasi tujuan-tujuan material. Konon Pasteur dan Edison adalah dua manusia yang termasuk kepada kelompok ini. Mereka beragama dan berbuat atas dasar motivasi-motivasi ketuhanan. Perbuatan mereka seperti perbuatan kaum Muslim, yaitu untuk mencari ridha Tuhan; mereka bertindak dengan keridhaan Tuhan sebagai faktor pendorongnya. Pada hakikatnya, mereka adalah orang-orang Nasrani yang tidak Nasrani. Karena jika mereka itu orang-orang Nasrani yang sebenarnya dan meyakini prinsip-prinsip Nasrani, maka sudah pasti mereka akan memandang Al-Masih sebagai anak Tuhan, dan pada saat itu mereka telah keluar dari Tauhid yang hakiki. Begitu juga di antara para pendeta Nasrani saat ini, hanya sedikit saja yang meyakini mitos Trinitas. untuk menjawab persoalan di atas, kita harus memahami dahulu kenapa kita wajib meyakini nubuuwah dan imamah? Kenapa keyakinan tersebut menjadi syarat diterimanya perbuatan? Jelas bagi kita bahwa iman kepada para Nabi dan para wali sebagai syarat diterimanya perbuatan adalah karena dua hal. Pertama, karena mengakui mereka akan kembali kepada mengakui Al!ah. Tegasnya, pengetahuan tentang Tuhan tidak akan sempurna sekiranya tidak disertai dengan pengetahuan tentang para Imam-Nya. Dengan kata lain, pengetahuan tentang Allah merupakan pengetahuan sempurna yang mencakup pengetahuan tentang hidayah dan petunjuk-Nya yang bersifat lahiriah. Kedua, karena pengetahuan tenteng kedudukan nubuwwah dan imamah adalah suatu kelaziman untuk sampai kepada jalan yang sempuma dan benar; tanpa mengenal para nabi, jalan sempurna dan benar tersebut tidak akan dapat tercapai. Antara seorang Muslim dan kafir yang melakukan kebaikan terdapat perbedaan mencolok. Bedanya adalah batrwa seorang kafir tidak mempunyai metode yang benar untuk merakukan kebaikan, sehingga kemungkinan benarnya sangat rendah sekali. Sedangkan pelaku kebaikan yang Muslim, selain memiliki metode yang benar dan komprehensif, perbuatannya juga disertai dengan sikap taslim kepada agamanya yang khas. seandainya metode tersebut diterapkan secara benar dan mendalam, maka kebenarannya sudah bisa dipastikan. Perbuatan baik bukanlah sekadar berbuat baik kepada manusia, melainkan juga mencakup kewajiban-kewajiban, larangan-laranganh, hal-hal yang dimakruhkan, dan hal-hal yang dianjurkan, juga merupakan suatu individual yang tidak bisa dipecah-pecah keutuhannya dari keberadaannya sebagai amal saleh. seorang pemeluk agurna Nasrani, atas dasar jauhnya dari Islam, telah kehilangan metode yang benar (al-minhaj al-shahih). oleh karena iru, seorang kafir yang merakukan kebaikan tidak memiliki kapasitas untuk mendapatkan metode agung Tersebut. Dengan sebab ini, mereka bisa terjerumus kepada hal-hal yang dilarang oleh agama Islam. Misal, minum minuman keras yang diharamkan oleh Islam. Kita menyadari bahwa minuman keras tidak akan diharamkan, jika tidak berbahaya secara individual, social dan spiritual. Jelasnya, seorang peminum sudah dapat dipastikan akan terkena bahaya-bahaya tersebut, sehingga dia akan menjadi serupa dengan orang yang tidak patuh kepada petunjukpetunjuk seorang dokter. Atas dasar ini, maka larangan yang diberikan adalah melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan penyakit liver, jantung, dan syaraf, sebelum masa sakitnya, sehingga umurnya menjadi pendek dan ajalnya lebih dekat. 9

Syariat Islam adalah syariat yang mencakup ajaran-ajaran yang sangat membantu evolusi spiritual. Sekalipun seorang non-Muslim bersikap netral dan tidak fanatik ia tetap tidak bisa meraih manfaat dari syariat Islam yang sangat sarat dengan evolusi kemanusiaan. Manusia Semacam itu akan tetap tidak mendapatkan manfaat dari ibadah-ibadah besar seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan ibadah haji ke Baitullah. Perumpamaan manusia seperti itu adalah seumpama seseorang yang menaburkan suatu benih dengan tidak mengabaikan aturan-aturan pertanian. Masalahnya, kalaupun dia bersungguh-sungguh, dia tetap tidak akan berhasil seperti berhasilnya seorang petani yang berpijak pada aturan-aturan pertanian yang benar yang membajak dan menabur benih di saat yang tepat, sehingga bias panen pada waktunya; ringkasnya, petani tersebut bertindak sesuai dengan langkah-langkah keterampilan ilmiah yang telah dipelajari. Perbuatan baik seorang Muslim dan seorang kafir bisa juga diumpamakan seperti seorang pasien yang berada di bawah pengawasan ekstra ketat dan hati-hati dari seorang dokter; si pasien bertindak sesuai dengan aturan yang tegas dan tidak memakan sesuatu atau minum obat, kecuali atas dasar perintah dokter tadi. Untuk itu, maka dokter pun menentukan menu makanan dan jenis obatnya, di samping menentukan waktu dan dosisnya. Hal demikian adalah serupa dengan seorang Muslim yang melakukan kebaikan. Adapun seorang kafir yang melakukan kebaikan adalah seperti seorang pasien yatrg tidak menjalani aturan-aturan medis; makan dan minum obatnya hanya atas dasar makan atau minum obat apa saja yang ada padanya. Bisa jadi sewaktu ia minum obat yang cocok sehingga sembuh, akan tetapi sewaktu-waktu bias jadi minum obat yang menjadi racun bagi dirinya sehingga ia binasa karenanya; atau bisa jadi ia makan suatu makanan yang sesuai baginya, akan tetapi setelah itu memakan makanan yang bisa mernbatalkan pengaruh baik makanan yang sebelumnya, sehingga sewaktu-waktu membawa dampak yang bertentangan. Dengan demikian, maka perbedaan antara seorang Muslim dan non-Muslim yang mengakui keberadaan Allah menjadi jelas. Seorang Muslim akan menikmati garis pennjuk yang benar, sedangkan seorang nonMuslim, sekalipun mengakui keberadaan Allah, dan meyakini-Nya,p erbuatan-perbuatannya tidak akan sejalan dengan aturan yang benar. Dengan kata lain, seorang Muslim telah mendapatkan petunjuk, sementara seorang non-Muslim, sekalipun dia meyakini-Nya, dia tetap kehilangan petunjuk yang sempurna. Mengenai hal itu, Allah berfirman: Sekiranya mereka berserah diri, sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk. (QS 2:20) Dari dua masalah yang telah kami jelaskan di atas, dapat diketahui bahwa bagi orang-orang non-Muslim, pahala atas perbuatan baik mereka berbeda satu sama lain. Seandainya seorang non-Muslim itu meyakini adanya Allah dan meyakini adanya Hari Akhirat, hanya saja dia tidak mau meyakini nubuuwah, maka perbedaannya dengan seorang non-Muslim yang mengingkari Wujud Allah dan Hari Akhirat sangatlah jauh. Seorang non-Muslim yang mengingkari adanya Allah dan Hari Akhirat tidak memiliki kemungkinan untuk diterimanya perbuatan baik mereka di sisi Allah. Sedangkan bagi yang meyakini keduanya, ada kemungkinan perbuatan-perbuatan baiknya diterima di sisi Allah, dan - dengan syarat-syarat tertentu - ada kemungkinan bisa masuk surga. Di sini tampak bahwa Islam menghormati sikap hidup toleran dengan Ahl Al-Kitab, akan tetapi menolak toleran dengan orang-orang musyrik. Atas dasar itu, Islam memaksa orang-orang musyrik untuk meninggalkan keyakinan-keyakinan mereka, sementaxa pemaksaan untuk meninggalkan hal serupa tidak dilakukan kepada orang-orang Ahl Al-Kitab. Karena, bagi seorang musyrik dan yang mengingkari adanya Wujud Allah, pintu keselamatan telah tertutup dari diri mereka. Jiwa mereka tidak bisa naik dari alam material ke alam malakut al-a'la dan kehidupan yang abadi. Adapun seorang Ahl Al-Kitab, bisa melakukan perbuatan-perbuatan baik yang berhak untuk dibalas dengan pahala walaupun dengan bentuk yang kurang dan dengan syarat-syarat tertentu. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman: 10

Katakanlah: Hai Ahl Al-Kitab, marilah kita (menuju) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak diperselisibkan di antara kami dan kalian, untuk tidak menyembah selain Allah dan untuk tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu; dan bendaknya sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain AIIah. (QS 3:64) Kemudahan seperti itu ditujukan oleh AlQuran hanya kepada Ahl Al-Kitab, tetapi dengan tegas tidak dilakukan kepada orang-orang musyrik.

11

Related Documents


More Documents from "Awan Kuswara"