Perbuatan Baik Non'Muslim Murtadha Muthahhari Penerjemah : Agus Effendi
Pendahuluan Di antara masalah yang menyangkut keadilan Tuhan dan sering diperdebatkan adalah masalah perbuatan baik non-Muslim. Pada zaman sekarang dari setiap kalangan - dari kaum cerdik pandai hingga orang jahil, dari yang awam hingga cendekiawan - akan kita temukan pertanyaan: apakah perbuatan baik yang dikerjakan oleh seorang non- Muslim itu akan diterima, atau tidak? Jika diterima, maka antara seorang Muslim dan nonMuslim menjadi tidak lagi berbeda; yang penting orang tersebut berbuat baik di dunia. Demikian pula apabila kita berasumsi sama terhadap seorang non-Muslim atau tidak beragama sama sekali, namun ia tidak merugikan orang lain. Dan sekiranya tidak diterima, bahkan perbuatannya itu laksana debu yang bertebaran, tidak mendapat pahala dan balasan dari Allah, maka bagimana hal itu akan sejalan dengan keadilan Tuhan? Pertanyaan berikut ini mungkin juga muncul di kalangan kaum Syi'ah: apakah perbuatan seorang Muslim non-Syi'ah akan diterima di sisi Allah, ataukah akan sia-sia, dan tidak akan mempengaruhi keputusan hukum? Sekiranya diterima di sisi Allah, maka antara menjadi Seorang Muslim Syi'ah dan non-Syi'ah tidak ada lagi perbedaan;yang menjadi syarat utama adalah, orang itu harus Muslim saja. Demikian pula bila kita berasumsi bahwa orang tersebut bukan Syi'ah, dan tidak ber-tawalli kepada Ahl Al-Bayt, namun ia tidak berbuat jelek. Dan sekiranya tidak diterima, maka bagaimana hal itu dapat sejalan dengan keadilan Tuhan? Dahulu, pertanyaan semacam ini juga telah membuat para filosof ragu dan dibahas dalam berbagai buku filsafat. Sedangkan pada masa sekarang, pertanyaan tersebut terlontar dari setiap orang dan setiap kalangan. Jarang orang tidak melontarkan pertanyaan seperti itu, paling tidak kepada dirinya. Para teolog berpendapat, sekiranya kita berasumsi bahwa orang-orang yang keluar dari agama adalah orang-orang yang celaka dan akan disiksa Tuhan, maka sempurnalah kemenangan bagi kejelekan dan kecelakaan dalam system wujud, padahal yang dapat kita terima, yang pokok adalah bahwa kemenangan itu untuk kebaikan dan kebahagiaan, bukan untuk kejahatan dan penderitaan. Dengan demikian, manusia merupakan tonggak seluruh makhluk, dan segala sesuatu selainnya telah diciptakan untuknya - dengan pemahaman benar sesuai yang dipahami oleh orang-orang bijak (ash-hab al-hikmah), bukan dengan pemahaman yang biasa dikhayalkan oleh mereka yang berpandangan sempit. Dan sekiranya kita berasumsi bahwa manusia sendiri diciptakan untuk dimasukkan ke neraka Jahannam, yakni tempat 1
kembali kebanyakan manusia, maka semestinya itu berarti bahwa kemarahan Allah lebih besar daripada rahmat-Nya. Karena kebanyakan manusia terasing dari kebenaran, maka orang yang mendapat petunjuk cahaya kebenaran pada hakikatnya ia tersesat dari segi perbuatan dan pelaksanaannya. Inilah tema pokok para filosof. Kira-kira sejak setengah abad, bersamaan dengan semakin mudahnya komunikasi antara sesama kaum Muslim dan yang lainnya; dengan semakin banyaknya alat-alat transportasi umum, dan dengan lebih seringnya terjadi pertemuan di antara mereka, maka persoalan keadilan Tuhan pun menjadi persoalan umum di berbagai kalangan, khususnya di kalangan para cendekiawan atau kaum tercerahkan. Mereka mulai mempersoalkan, apakah yang menjadi syarat utama diterimanya perbuatan-perbuatan baik itu pelaku harus seorang Muslim atau Mukmin? Ketika orang membaca biografi para pencipta dan penemu pada zaman modern, yang telah memberikan sumbangan tak ternilai kepada manusia, padahal mereka bukan orang-orang Islam, mereka bertanya, apakah mereka ini berhak mendapatkan pahala dan kebaikan? Dengan pertimbangan seperti itu mereka memandang bahwa perbuatan non-Muslim itu sia-sia dan tidak ada artinya, sehingga mereka menjadi mangsa kebimbangan dan keguncangan. Atas dasar ini, persoalan yang tidak pernah lepas dari pikiran para filosof dan tidak pernah terlewatkan untuk dibahas di dalam pertemuan-pertemuan khusus, kini semakin menggelisahkan setiap pikiran dan semakin menghangatkan setiap pertemuan. Suara-suara tentangnya pun semakin bermunculan, yakni bahwa persoalan tersebut merupakan keberatan yang dihadapkan pada keadilan Tuhan. Memang keberatan ini tidak menyangkut langsung keadilan Tuhan, akan tetapi menyangkut perspektif Islam tentang manusia dan perbuatan-perbuatannya. Setelah itu baru berkaitan dengan keadilan Tuhan, yakni ketika perspektif tentang manusia, perbuatan-perbuatan dan perlakuan Allah terhadapnya, tampak bertentangan dengan timbangan keadilan Tuhan. Dalam berbagai pertemuan saya dengan Para pemuda dan pelajar, persoalan ini banyak saya munculkan. Sesekali mereka bertanya, apakah para penemu dan pencipta yang besar itu akan dimasukkan ke dalam neraka, kendatipun sumbangan dan pengabdian mereka tidak akan dilupakan oleh manusia? Apakah Pasteur, Edison, dan orang-orang seperti mereka akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan para pertapa yang malas, yang menghabiskan umur mereka hanya di sudut-sudut masjid, akan di abadikan di dalam surga? Apakah surga hanya diciptakan oleh Allah untuk kami saja, orang-orang Syi'ah? Tak pernah hilang dari ingatan saya ketika seorang pria datang dari daerah saya ke Teheran. Dia seorang Muslim yang taat beragama. Ketika berjumpa dengan saya, dia mendebat saya mengenai persoalan ini. Orang tersebut telah menyaksikan para perawat Kristen yang merawat pasien para penderita lepra di rumah sakit Masyhad dengan ikhlas, paling tidak sebagaimana diyakininya. Sehingga kejadian tadi sangat mempengaruhi, membingungkan dan menyebabkannya ragu dan betanya-tanya. Sebagaimana anda ketahui, merawat orang yang sakit lepra itu merupakan pekerjaan berat yang biasanya membuat orang menghindarinya, dan itu pun sebagai tindakan terakhir. Bahkan tak seorang dokter pun yang menyetujui dibangunnya rumah sakit itu di Masyhad, dan hanya sedikit yang mau bekerja pada rumah sakit itu. Sedangkan para perawat, benar-benar sepakat untuk menolak menjadi perawat dirumah sakit itu, 2
sehingga berbagai media massa terpaksa mengumumkan kebutuhan rumah sakit akan para perawat. Akan tetapi, dari seluruh lran, tak seorang perawat pun yang mau memenuhi kebutuhan tersebut. Selanjutnya, kebutuhan mereka dipenuhi oleh para perawat dari Prancis. Mereka datang dari negerinya dengan tidak begitu memperdulikan dunia, dan mulai memikul beban merawat orang-orang yang sakit lepra. Pengorbanan, tindakan kemanusiaan, dan keikhlasan yang dilakukan oleh para perawat tersebut begitu berpengaruh kepada yang sakit lepra, yang telah diasingkan, bahkan oleh orangtuanya sendiri" dengan suatu pengaruh yang tak akan pernah pudar. Orang tadi menceritakan kepada saya bahwa orang-orang Kristen tersebut mengenakan pakaian panjang yang sangat rapi, dan tidak tampak selain wajahnya, masing-masing memegang rosario (tasbih) panjang, kira-kira berisi seribu biji. Setiap kali mereka berhenti bekerja, mereka berdzikir dan bertasbih. Selanjutnya, orang-orang itu bertanya, dengan pikiran yang sangat bergejolak, dan dengan intonasi yang bersemangat: apakah benar pendapat yang menganggap bahwa selain orang-orang Islam itu tidak akan masuk surga? Di sini saya tidak akan membahas motif sebenarnya yang tersembunyi di balik kedatangan para pemudi Kristen tadi, yang seakan-akan kedatangan mereka itu karena dan di jalan Allah. Apakah yang mendorong mereka itu adalah kecintaan sejati terhadap kemanusiaan? Atau ada motif-motif lain yang tidak kita ketahui? Akan tetapi tentunya saya pun tidak akan pesimis, walaupun tidak optimis sepenuhnya. Saya hanya bermaksud menjelaskan berbagai kejadian dan pelayanan yang telah banyak mempengaruhi masyarakat kita begitu mendalam, sehingga mendorong putraputri kita bertanya-tanya. Selang beberapa tahun, saya diundang untuk memberikan ceramah pada sebuah perguruan tinggi. Seperti biasanya, hadirin diminta mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada penceramah untuk kemudian pada waktunya akan dijawab. Pertanyaanpertanyaan tersebut ditulis di secarik kertas, lalu diberikan kepada saya. Mereka berpesan agar saya memilih tema ceramah tersebut dari salah satu pertanyaanpertanyaan tadi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut saya perhatikan dengan saksama, ternyata pertanyaan yang saya temukan berulangulang dan lebih banyak dari pertanyaan-pertanyaa la nnya adalah, apakah Allah akan menggiring seluruh manusia, selain orang-orang Islam, ke dalam neraka? Apakah Parteur, Edison, dan Koch termasuk ahli neraka? Sejak itu saya menyadari betapa pentingnya masalah tersebut, dan sejauh mana masalah t ersebut telah mengguncangkan pikiran dan jiwa mereka. Di dalam tulisan ini, saya akan berusaha, dengan pertolongan Allah, untuk menganalisis persoalan tersebut secara ilmiah. Sebelum merumuskan, terlebih dahulu harus saya kemukakan dua catatan yang akan memperjelas persoalan tersebut. 1. Pembahasan Umum Dengan membahas persoalan ini, kita tidak bermaksud mengetahui tempat kembalinya seseorang. Oleh karena itu, misalnya, kita tidak akan memastikan, apakah Pasteur adalah penghuni surga, ataukah penghuni neraka. Sebab, kita tidak tahu pasti hakikat pemikiran dan 3
bagaimana niatnya, dan bagaimana sikap spiritual dan moralnya. Selain itu, kita juga tidak mengetahui seluruh perbuatannya. Selain dari pengabdian-pengabdian ilmiahnya saja, kita tidak tahu apa-apa. Hal demikian tidal tejadi pada Pasteur saja, tetapi juga terjadi pada yang lainnya. Pada dasarnya, penghakiman manusia semata-mata hanyalah hak Allah SWT. Seseorang tidak berhak memastikan pendapatnya mengenai orang lain, apakah orang tersebut penghuni neraka atau penghuni surga. Apabila kita bertanya, apakah Sayyid Anshari (semoga dengan kezuhudannya, ketakwaan, iman, dan amal salihnya, Allah menempatkan beliau di tempat yang tinggi) pasti termasuk penghuni surga atau tidak? Jawabnya, sepengetahuan kami, kami tidak pernah mendapati beliau melakukan kejahatan ilmiah dan amaliah. Mengenai beliau yang kami dapati seluruhnya baik dan istiqamah. Adapun apakah seratus persen beliau menjadi penghuni surga, hal itu bukan urusan kita. Karena, Allah sendirilah Yang Maha Mengetahui perasaan seseorang dan Dialah yang Maha Mengetahui hakikat rahasia dan hal-hal yang tersembunyi di dalam jiwanya. Oleh karena itu, penghakimannya semata-mata menjadi hak Allah. Kita hanya mampu menunjukkan pendapat pasti sejauh menyangkut mereka yang perjalanan akhirnya diceritakan oleh para wali Allah. Terkadang memang ada orang yang memperdebatkan kedudukan sebagian ulama, siapakah di antara mereka yang paling baik dan paling dekat kepada Allah? Apakah Sayyid bin Thawus, Sayyid Bahr al-'Ulum atau Syaikh al-Anshari. Bahkan terkadang ada yang mempertanyakan tentang putra-putri para lmam, siapakah yang paling baik dan mulia di antara mereka di sisi Allah; apakah 'Abd al-'Azhim atau Fathimah al-Ma'shumah? Sampai-sampai diantara mereka ada yang meminta fatwa kepada seorang marja' taqlid siapakah yang lebih mulia, 'Abbas bin Amir al-Mu'minin atau Ali Akbar bin al-Husain a.s.? Agar pertanyaan menjadi praktis, marja' taqlid terpaksa mengalihkannya kepada bentuk pertanyaan berikut: jika seseorang menazarkan seekor kambing untuk salah seorang putra Imam, apakah yang lebih baik itu untuk 'Abbas atau 'Ali Akbar? Jelasnya, pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak benar. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut bukanlah kewajiban seorang ahli fiqih. Pertanyaan tersebut harus kita kembalikan kepada Allah, karena pengetahuan sebenarnya semata-mata hanyalah milik Allah, dan terbatas pada-Nya. Dalam sebagian hadis diriwayatkan bahwa sebagian kaum Muslim di masa awal Islam mengajukan persoalan serupa yang tidak pada tempatnya.R asulullah saw. telah melarang seseorang emasuki persoalan-persoalan tersebut. Ketika 'Utsman bin Mazh'un wafat, seorang perempuan Anshar yang bernama Ummu 'Ala' datang. Tampaknya perempuan tersebut istrinya, karena 'Ustman bin Mazh'un tinggal di rumah perempuan tersebut. Ketika Rasululllah datang ke rumah tersebut, perempuan tadi mengatakan tentang jenazah: "Selamat, bagimu surga.” Memang 'Ustman bin Mazh'un adalah seorang yang salih. Sampai-sampai Rasulullah menangisi kematiannya dengan begitu pilu. Beliau bahkan menguburkannya sendiri, dan beliau juga menciuminya. Akan tetapi beliau sangat 4
terperanjat begitu mendengar ucapan perempuan tadi dan memandangnya dengan pandangan murka, seraya mengatakan: Dari mana engkau tahu? Kenapa engkau menghukumi tanpa ilmu? Apakah engkau telah diberi wahyu? Apakah engkau tahu pasti perhitungan Allah?" Perempuan tersebut menjawab: 'Wahai Rasullah, bukankah dia itu sahabat Tuan, selalu bersama Tuan, dan berperang bersama Tuan?' Rasulullah saw. pun segera menjawab dengan kalimat yang menakjubkan dan mengundang pendalaman: "Sesungguhnya aku adalah.Rasulullah dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku."1) Ungkapan ini diceritakan juga dalam salah satu kandungan ayat suci AI-Quran berikut ini: Katakanlah: “Aku bukan Rasul yang pertama di antara para rasul, aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan terhadap kalian.." 2) (QS 46:9) Hal seperti tadi juga terjadi ketika Sa'ad bin Mu'adz meninggal dunia, ketika Ummu Sa'ad berkata dengan ungkapan serupa. Nabi saw. Membantahnya: “Diamlah, janganlah engkau memastikan dengan mendahului Allah.'' 3) Kalimat ini menunjukkan larangan Rasulullah untuk ikut campur dalam menghukumi sesuatu yang berkaitan dengan Allah. 2. Agama Selain Islam Tidak Akan Diterima Catatan kedua yang harus dijelaskan sebelum memasuki pokok bahasan adalah bahwa kita bisa membahas perbuatan-perbuatan baik non-Muslim dengan dua cara, yang pada dasarnya memang keduanya merupakan dua bahasan. Pertama, menyangkut pertanyaan berikut: apakah agama yang diterima Allah itu hanya Islam, ataukah ada agama lain yang diterima di sisi-Nya? Dengan kata lain, apakah yang diwajibkan kepada seseorang itu hanyalah beragama dengan agama tertentu, paling tidak agama tersebut dinisbatkan kepada nabi Allah, dan tak ada perbedaan apakah agama tersebut Islam, atau Kristen, atau bahkan Majusi? Atau, apakah pada setiap zaman hanya terdapat satu agama hakiki, tidak ada yang lain? Bahasan kedua, setelah menerima bahwa agama yang benar pada setiap zaman itu hanyalah satu, tidak lebih, kita bertanya: apabila seseorang beramal sesuai dengan agama yang benar, akan tetapi orang itu tidak memeluk agama yang benar tersebut, apakah amal baiknya berhak mendapatkan balasan atau pahala di akhirat? Dengan kata lain, apakah syarat diterimanya pahala amal saleh itu adalah bahwa pelakunya mesti beriman kepada agama yang benar tersebut? Yang akan saya jelaskan dalam bab ini adalah bahasan kedua. Mengenai bahasan pertama, saya jawab secara global, bahwa agama yang benar pada setiap zaman pada dasarnya hanya satu, dan seluruh manusia wajib mengikuti agama tersebut, tak boleh mengikuti agama yang lain. Pemikiran yang berkembang akhir-akhir ini di tengah mereka yang mengaku kaum cendekiawan dan kaum yang “tercerahkan” mengatakan bahwa seluruh agama samawi 5
pada setiap zaman dapat dibenarkan, adalah pemikiran yang salah. Yang benar, bahwa di antara nabi-nabi Allah itu tak ada perbedaan juga tak ada pertentangan karena mereka menuju satu tujuan, dan menyembah satu Rabb. Para nabi diutus kepada umat manusia bukan untuk memecah belah mereka menjadi golongan-golongan juga bukan untuk membuat mereka berkelompok-kelompok yang saling bertentangan. Namun demikian, tidak berarti bahwa pada setiap zaman harus terdapat banyak agama yang semuanya harus berasal dari satu kebenaran, lantas manusia bebas memilih di antara agama-agama tersebut, dan agama apa pun yang dia pilih tidak lagi menjadi tanggung jawabnya. Tidak! Bukan demikian maksudnya. Yang dimaksud adalah bahwa manusia harus beriman kepada seluruh nabi, dimana para nabi terdahulu telah memberitakan para nabi yang akan datang terutama Nabi paling mulia dan penutup mereka. Mereka harus meyakini bahwa para nabi sesudahnya pasti membenarkan risalah para nabi sebelumnya.T ermasuk beriman kepada seluruh nabi pada setiap zaman, adalah keharusan taslim (berserah diri) kepada syariat nabi tertentu, untuk periode-periode itu saja. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa taslim pada periode terakhir yang dimulai dengan pengangkatan (bi'tsah) Nabi Mulia saw., tidak boleh tidak, adalah harus kepada syariat Nabi Besar ini, karena ia merupakan kalimat Allah yang terakhir bagi manusia. Inilah makna Islam: berserah diri kepada Allah dan menerima semua rasul-Nya, Sekarang banyak orang meragukan pemikiran ini, yaitu bahwa manusia cukup beriman kepada Allah dan mengikuti satu agama samawi yang wujudnya pasti dari Allah, dan cukup dengan melaksanakan perintah-perintah agama tersebut. Adapun bentuk- bentuk perintah dan syariat tidaklah penting. Dengan begitu, kalau Kristus adalah juga nabi seperti Muhammad saw., maka seklranya kita beramal sesuai dengan perintah-perintah Kristus, pergi ke Gerija sekali seminggu, maka perbuatan kita pasti akan diterima. Begitu pula, bila kita mengamalkan perintah-perintah Nabi Muhammad saw., seperti mengerjakan shalat lima kali setiap hari, niscaya amal kita pun akan diterima. Mereka beranggapan bahwa masalah terpenting adalah beiiman kepada Allah dan beramal sesuai dengan hukum Tuhan –maksud-nya, hukum yang mana saja. Di antara yang meyakini pemikiran seperti ini adalah George Jurdaq- penulis buku "Imam Ali a.s.” - dan Gibran Khalil Gibran. Keduanya sastrawan masyhur Kristen.”4) Kedua orang tersebut bercerita tentang pribadi Rasulullah saw. dan Amir al-Mu'-minin a.s., persis seperti berceritanya seorang Mukmin yang meyakini keduanyi. Sebagian orang bertanya, bagaimana mungkin mereka meyakini Nabi saw. dan Imam Ali a.s., padahal keduanya orang Kristen? Jika perkataan itu benar, niscaya mereka menjadi Muslim, dan apabila mereka tetap sebagai orang Kristen, maka dapat dipastikan bahwa perkataan mereka hanyalah tipu daya belaka. Keyakinan mereka terhadip Nabi dan Imam AIi bukanlah keyakinan yang sesungguhnya. Jawaban kita adalah bahwa kecintaan dan keyakinan mereka bukanlah kebohongan, tetapi mereka mengikuti metoda berpikir yang tidak melihat adanya halangan dalam penyatuan antaragama. Mereka juga beranggapan bahwa seseorang tidak wajib beragama dengan agama tertentu. Apapun agama yang diyakini, sudah cukup. Dengan demikian, ketika mereka meyakini agama Kristen, mereka pun bisa mencintai Imam Ali a.s. Mereka berkeyakinan bahwa lmam sindiri berpikir seperti mereka. George Jurdaq berkata: "Ali bin Abi Thalib enggan mewajibkan seseorang menerima agama tertentu. “5) 6
Saya menolak pemikiran tersebut. Benar, bahwa dalam agama tak ada paksaan,sebagaimana Allah berfirman: "Tidak ada paksaan dalam agama..' (QS 2:256) Akan tetapi ini tidak berarti bahwa pada suatu zaman terdapat berbagai agama, dan setiap orang berhak memilih agama yang diminatinya. Pada setiap zaman hanya terdapat satu agama yang benar. Dan pada setiap zaman datang seorang nabi yang membawa syariat Allah dan manusia diwajibkan untuk mengikuti dan mengamalkannya baik menyangkut masalah ibadah, maupun masalah lainnya, hingga berakhir pada periode penutup para nabi. Di zaman Rasulullah saw. ini, jika seseorang ingin menemukan jalannya menuju Allah, maka orang tersebut harus mengikuti perintah-perintah agama yang dibawanya. AIQuran mengatakan: "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi."( QS 3:85) Bila yang dimaksud "Islam” dalam ayat ini adalah berserah diri (taslim) kepada Allah, bukan kepada agama terakhir bagi manusia, maka jawabnya benar bahwa Islam itu artinya berserah diri (taslim) dan agama Islam tak lain adalah agama taslim. Hanya saja hakikat taslim pada setiap zaman itu mengambil bentuk tertentu, dan bentuk pada zaman kita adalah agama yang dibawa oleh Nabi penutup saw. Karenanya, kata "Islam" itu sendiri hanya sesuai dengan agama Islam itu saja. Dengan kata lain, berserah dlri (taslim) kepada Allah pada dasarnya mengharuskan diterimanya seluruh perintah Allah. Jelasnya, orang tersebut harus mengamalkan perintah-perintah-Nya, dan tak lain perintah yang terakhir adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah saw. Amal Salih Tanpa Iman Berikut ini adalah beberapa kesimpulan: Bahasan sifatnya global, tidak membahas secara rinci biografi seseorang. Bahasan bukan mengenai bahwa agama yang benar itu satu atau banyak. Kita sepakat bahwa agama yang benar itu satu, dan setiap orang diwajibkan meyakininya. Bahasan kita adalah menyangkut seseorang yang berbuat baik, tanpa harus mengikuti agama yang benar, dengan asumsi bahwa yang benar tersebut memandang baik perbuatan yang dilakunnya, dan menyangkut apakah orang ini akan menerima balasan dan pahala atas perbuatan tersebut. Misalnya, berbuat baik kepada orang lain adalah termasuk yang dianjurkan oleh agama yang benar, begitu juga pelayanan-pelayanan sosial seperti membangun sekolah, lembaga pendidikan, mengarang, mengajar, atau pelayanan-pelayanan medis seperti mengobati, merawat, mendirikan lembaga-iembaga kesehatan, atau pelayan-pelayan lain, seperti memperbaiki ikatan keluarga (ishlah dzat al-bain), menolong orang yang membutuhkan dan lemah, menjaga hak-hak orang yang 7
kalah dalam perjuangan menentang para pelanggar dan orang-orang zalim, dan berpihak kepada kaum mustad’hafin. Ringkasnya, menegakkan keadilan merupakan tujuan diutusnya para nabi, di samping memasyarakatkan hal-hal yang bisa memperbaiki penderitaan orang-orang tertindas, dan sebagainya. Semua ini termasuk masalah-masalah yang diwasiatkan oleh agama manapun. Di samping diwasiatkannya masalah-masalah tersebut, akar dan fitrah setiap orangpun menghukumi perlunya masalah-masalah tersebut. Sekarang kita bertanya, sekiranya seorang non-Muslim melakukan perbuatan baik, apakah orang tersebut berhak menerima pahala dan balasan, atau tidak? Agama yang benar mengajarkan pada kita untuk bersifat, misalnya, amanah, dan tidak berdusta. Andaikan seorang non-Muslim berbuat sesuai dengan perintah-perintah tersebut, apakah orang itu berhak menerima pahala? Dengan kata lain, apakah khianat dan amanah bagi seorang non-Muslim keduanya sama ? Apakah bagi dia mengerjakan shalat dan berzina sama saja? lnilah masalah yang akan kita kaji. Dua Aliran Pemikiran Biasanya,yang menjawab masalah seperti ini adalah mereka yang merasa tercerahkan dan cendekia. Mereka tegas menolak dan beranggapan bahwa antara orang lslam dan bukan Islam, pada dasarnya, tidak ada perbedaan, bahkan pun antara seorang muwahhid (penganut tauhid) dan yang bukan. Setiap orang yang beramal salih, seperti mendirikan yayasan kesejahteraan, menemukan sesuatu atau menciptakannya, berhak menerima pahala atau balasan dari Allah. Mereka berpendapat bahwa Allah Mahaadil, sehingga Dia tak akan mengistimewakan salah seorang di antara hamba-hamba-Nya, karena bagi Allah, beriman atau tidaknya seseorang tidaklah berpengaruh, dan Allah tidak akan menghapus perbuatan seorang hamba-Nya dikarenakan dia tidak beriman, dan dikarenakan tidak memiliki keterkaitan dengan-Nya. Oleh karena itu, apabila seorang hamba mengenal Tuhannya, mengimaniNya, dan berbuat baik, namun orang tersebut tidak mengimani para rasul dan nabi-Nya, maka yang terbaik adalah tidak menghapuskan amal salihnya, dan tak merampas hatinya. Berbeda dengan mereka, terdapat kelompok yang benar-benar menentang kelompok pertama. Mereka memandang bahwa seluruh manusia mesti mendapat siksa dan tidak akan ada yang selamat kecuali sedikit saja. Mereka, dengan anggapan tersebut, mengajukan alasan bahwa manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, yang populasinya tiga per empat penduduk bumi, dikarenakan mereka bukan orang-orang Islam, mereka menjadi ahli neraka. Dan kaum Muslim non-Syi'ah, yang populasinya mencapai tiga per empat dari jumlah kaum Muslim seluruhnya pun menjadi ahli neraka, karena mereka tidak bermazhab Syi'ah. Begitulah logika dan pemikiran kedua kubu tersebut. Yang satu tidak melihat di alam ini kecuali kedamaian dan keselamatan, sedangkan yang lain tidak melihat sesuatu di dalamnya selain murka dan dendam kesumat; kemurkaan Allah padanya mendahului rahmat-Nya. 8
Logika Ketiga Di hadapan kita ada logika ketiga, yaitu logika Al-Quran. Ia member kita pemikiran yang bisa menengahi pemikiran-pemikiran sebelumnya, pemikiran yang penuh dengan aroma Al-Quran. Perspektif Al-Quran tidaklah sama dengan perspektif kaum 'tercerahkan', juga tidak sejalan dengan perspektif para "pensuci ekstrem" (al-muqaddisun almutasyaddiddun). Al-Quran membangun perspektifnya di atas dasar tertentu, dan ketika manusia mengetahuinya, dia akan terpaksa mengakui bahwa satu-satunya pemecahan adalah lewat Al-Quran sehingga kita semakin meyakini dan menyadari bahwa pengetahuan luhur ini bukanlah pengetahuan manusia, akan tetapi pengetahuan yang memiliki dasar-dasar samawi. Untuk melihat kesalahan alasan-alasan tersebut, untuk kemudian memasuki logika AlQuran yang memiliki perspektif khusus dalam persoalan ini, sekarang mari kita mengkaji alasan-alasan yang diajukan oleh masing-masing "pemikir tercerahkan” dan para “pensuci ekstrem" tersebut di atas. Pemlkir Terrcerahkan Untuk memperkuat anggapannya mereka mengajukan dua alasan. Pertama, alasan akal. Petunjuk logika mengatakan bahwa setiap perbuatan baik itu berhak menerima pahala berdasarkan dua premis: Hubungan Allah dengan segala wujud bersifat sama. Begitu pula hubungan-Nya dengan setiap zaman dan tempat. Sehingga kalaulah Allah Maujud di timur, maka Dia juga Maujud di barat; bila Dia Maujud di atas, maka Dia juga Maujud di bawah, dan seterusnya. Bila Dia Maujud di zaman sekarang, di zaman dulu, dan di zaman yang akan datang, maka “masa lalu”, "sekarang” dan “yang akan datang” bagi Allah tidaklah berbeda. Begitu juga tinggi, rendah, timur dan barat, semuanya bagi Dia adalah sama. Demikian pula, semua makhluk adalah sama bila dinisbatkan kepada-Nya. Allah tidak memiliki hubungan istimewa dengan salah satu di antara mereka, juga tidak memiliki ikatan kerabat dengan sebagian mereka. Atas dasar ini, maka persepsi kemurahan dan kemurkaan-Nya terhadap setiap hamba-Nya adalah sama, kecuali bila perbedaan itu terjadi di antara hamba-hamba-Nya sendiri. 6) Dengan demikian, di sisi Allah tidak ada orang mulia tanpa pembenaran, dan mustahil ada orang yang hina dan terusir dari-Nya tanpa alasan. Karena, Allah tidak memiliki hubungan kerabat dengan seseorang, juga bagi-Nya tidak ada orang yang istimewa. Ketika hubungan Allah dengan segala maujud itu sama, maka tidak ada lagi alasan atas diterimanya perbuatan baik dari seseorang dan ditolaknya dari yang lain. Dengan demikian, apabila perbuatan-perbuatan itu sama, hal itu dikarenakan kita berasumsi bahwa hubungan Allah dengan manusia itu sama, maka keadilan "mewajibkan” Allah memberi pahala yang sama kepada setiap hamba-Nya yang baik, yang Muslim ataupun bukan.
9
Premis kedua menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan suatu perbuatan tidaktah relatif, melainkan realistik. Menurut terminologi ulama Kalam dan Ushul Fiqh, kebaikan dan keburukan perbuatan itu benar-benar hakiki (dzati). Maksudnya, bahwa perbuatan baik dan perbuatan buruk itu pada hakikatnya memiliki cirri-ciri sejati; perbuatan baik adalah baik pada hakikatnya, begitu pula perbuatan buruk, buruk pulalah hakikatnya. Kejujuran, istiqamah, ihsan, dan pengabdian pada manusia pada hakikatnya baik. Begitu pula, bohong, mencuri, dan zalim hakikatnya adalah jelek. Kedudukan jujur itu baik dan bohong itu jelek, bukan dikarenakan Allah memerintahkan yang pertama dan melarang yang kedua, namun sebaliknya.Ketika kejujuran itu baik, maka Allah Pasti memerintahkan untuk melakukannya, dan karena bohong itu perbuatan jelek, maka Allah melarangnya. Singkatnya, perintah dan larangan Allah itu pada dasarnya mengikuti baik-buruknya hakikat perbuatan, bukan sebaliknya. Dari kedua premis ini, kita simpulkan sebagai berikut: jika Allah tidak melakukan tarjih (pengistimewaan) dan tatkala amal baik setiap orang itu baik, maka Allah “wajib” memberikan pahala dan kebaikan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan baik tersebut. Dengan alasan seperti ini, dalam hal perbuatan-perbuatan buruk, mereka menegaskan bahwa di antara pelaku dosa itu tidak ada perbedaan; karena dosa tersebut, semuanya akan disiksa. Kedua, alasan naqli. Di dalam AI-Quran terdapat banyak ayat yang menegaskan pemasalahan menyangkut alasan naqli di atas. Yakni bahwa dalam hal membalas kebaikan dengan kebaikan dan kejahatan dengan kejahatan, Allah tidak mengistimewakan seseorang. Kaum Yahudi, misalnya, karena menganggap diistimewakan Tuhan, ditentang dan diancam oleh Al-Quran. Kaum Yahudi mengatakan bahwa darah-darah Israel itu dicintai Allah dengan mengatakan: “...kami adalah putra-put ra AIIah dan kekaasihkekasihNya…” , dan "...andaikan kami dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka, maka itu pun tidak akan lama, karena Tuhan akan memaafkan kami dan mengeluarkan kami darinya." Al-Quran memandang anggapan seperti itu sebagai tamanniy (angan-angan) dan khayalan-khayalan sesat yang sangat ditentang olehnya. Al-Quran pun telah menyalahkan sebagian kaum Muslim yang terjaring oleh tali-tali keterpedayaan seperti ini. Berikut ini adalah sebagian ayat yang menjelaskan Permasalahan yang telah kami sebutkan: "Dan mereka berkata, 'Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya beberapa hari saja'. Katakanlah, 'sudahkah kaIian membuat janji dengan Allah sehinga Ailah tidak akan mengingkari janji-Nya, ataukah kalian hanya mengatakan tentang Allah apa-apa yang tidak kalian ketahui'. (Bukan demikian), yang benar, barangsiapa berbuat dosa dan telah diliputi oleh dosanya, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”(QS 2:80- 8l) Terhadap khayalan orang-orang Yahudi ini Al-Quran menjawab:
10
"Mereka diperdayakan dalam agama mereka oleh sesuatu yang selalu mereka adaadakan. Bagaimanakah nanti sekiranya kami kumpulkan di hari (Kiamat ) yang tiada diragukan kehadirannya, dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan atas apa yang diusahakannya, dan mereka tidak akan dizalimi" (QS 3:24-25) Dalam ayat yang lain, kepada orang-orang Yahudi, ditambahkan orang-orang Nasrani, dan semuanya disalahkan oleh Al-Quran: "Dan mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: 'Sekali-kali tidak akan rnasuk surga kecuali orang-orang Yahudi dan Nasrani'. Itu adalah angan-angan mereka. Katakanlah, "Tunjukan bukti kebenaran kalian jika kalian orang-orang yang benar'. Tentu tidak demikian. Barangsiapa berserah diri kepada Allah dan berbuat kebajikan,maka baginya pahala di sisi Tuhannya, dan tidak ada kekhawatiran maupun kesedihan baginya.” (QS 2: 11 1 - 1 12) Sedangkan di dalam surat An-Nisa', kaum Muslim ditambahkan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Al-Quran mengecam seluruh pikiran sesat dari siapa pun. Kadangkadang kaum Muslim terpengaruh oleh pkiran-pikiran Ahl al-Kitab ; mereka menganggap bahwa mereka mulia tanpa sebab, sebagaimana anggapan orang-orang Ahl al-Kitab sebelum mereka. Ketika itu, Al-Quran menentang mereka dengan menjawab: “Pahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong juga tidak (QS menurut angan-angan A hl al-Kitab. Barangsiapa berbuat jahat, niscaya dia akan diberi balasan sesuai degan kejahatannya, dan ia tidak akan memperoleh perlindungan dan penolong selain dari Allah. Barangsiapa berbuat kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dan ia seorang Mukmin, maka mereka akan masuk ke dalam surga, dan tidak akan dianiaya sedikit pun.” (QS 4:123-124) Kita beranjak dari ayat-ayat yang menafikan kedekatan dan kemuliaan tanpa pembenaran untuk melihat ayat-ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah benar-benar tidak akan menyia-nyiakan balasan bagi amal salih. Ayat-ayat ini menjadi bukti akan diterimanya amal salih, baik yang dilakukan oleh kaum Muslim maupun oleh nonMuslim. Di dalam surat Al-zilzalah, kita membaca: “Barangsiapa melakukan kebajikan seberat biji dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa melakukan kejahatan seberat biji dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS 99:7-8) Di surat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang Yang berbuat baik." (QS 9:120) Juga Allah berfirman:
11
"Sesungguhnya kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang melakukan kebajikan.” (QS 18:30) Ayat-ayat di atas bersifat umum, dan tidak bisa di-takhshish. Para ulama Ushul mengatakan bahwa sebagian yang ‘am (umum) itu menolak kekecualian( istitsna') dan takhshish (pengkhususan). Konteksnya dengan cara menunjukkan penafian kekecualian, sehingga ketika mengatakan, "Sesungguhnya Kami tidak akan menyianyiakan pahala orang-orang yang melakukan kebajikan", artinya bahwa maqam (kedudukan) Ilahi mewajibkan terjaminnya amal pelaku kebajikan, dan mustahil Allah lalai - walaupun terhadap satu tempat - terhadap yang harus dilakukan oleh maqam Ilahi dan mustahil Dia akan menyianyiakan pahala seseorang yang melakukan kebajikan. Ayat lain yang sering dijadikan sandaran dan maksudnya dipandang sharikh (jelas) adalah: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,orang-orang Nasrani, dan Shaabi'in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari Akhirat serta beramal salih, maka tiada kekhawatiran bagi mereka, juga tiada (pula) mereka bersedih hati. " (QS 5:70) Di dalam ayat lain Allah menyebut syarat yang dapat menyelamatkan seseorang dari siksa, yaitu beriman kepada Allah, hari Kiamat, dan berbuat kebajikan. Tiada syarat lain. Sebagian kaum cendekiawan telah menjamah batas ini dan mereka beranggapan bahwa tujuan para nabi adalah menyerukan berbuat adil dan kebaikan atas dasar hukum yang menyatakan: khudz al-ghayat wa utruk al-mabadiy ("Capailah tujuan dan tinggalkanlah tempat bertolak”). Kita harus mengatakan bahwa keadilan dan kebaikan sekalipun dilakukan oleh orang yang mengingkari Allah dan Hari Akhirat berhak mendapat pahala dan balasan, dan harus diterima di sisiNya. Atas dasar ini, maka orang-orang yang mengingkari Allah SWT dan orang-orang yang menafikan Hari Kiamat, akan tetapi mereka memberikan sumbangan-sumbangan besar bagi umat manusia, baik sumbangan yang bersifat budaya, kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial, mereka benar-benar akan menerima pahala dan balasannya. Jeiasnya, mereka dapat berargumentasi dengar ayat-ayat mulia sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan” atau “Maka, barangsiapa berbuat baik seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-Nya”, atau bahkan dengan ayat-ayat seperti “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu, ...yang percaya kepada AIIah dan Hari Akhir..." Ayal-ayat tersebut menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan anggapan mereka. Selanjutnya, marilah kita bahas dan analisis alasan-alasan kelompok yang lain.
12
Kelompok Ekstrem Di hadapan para cendekiawan yang begitu longgar dan beranggapan bahwa amal baik setiap orang, bagaimanapun akan diterima di sisi Allah, berdiri para pensuci yang sangat bersikap ekstrem. Mereka berpendapat, mustahil amal baik seorang non-Muslim dapat diterima; perbuatan orang kafir dan kaum Muslimin non-syi'ah tidak mendapat pahala sedikit pun. orang kafir dan orang Muslim non-syi'ah dengan sendirinya ditolak, tepatnya, amal mereka akan ditolak. Terhadap anggapan tersebut, kelompok ini mengajukan dua alasan. Pertama, alasan aqli. Sekiranya kita berasumsi bahwa perbuatan baik non-Muslim dan Muslim non-syi'ah diterima Allah SWT, maka apakah perbedaan antara seorang Muslim Syi'ah dan nonsyi'ah? Yang berbeda hanyalah, perbuatan seorang Muslim syi'ah diterima, dan perbuatan seorang Muslim non-syi'ah tidak diterima. Atau, perbedaannya adalah, tidak disiksanya kaum Muslim syi'ah yang berbuat buruk, dan disiksanya yang lain. Apabila kita berasumsi bahwa semua perbuatan baik dari kedua kelompok itu diterima dan diberi pahala, maka apa perbedaan di antara keduanya? Apa pengaruh Islam dan tasyayyu,dalam hal ini? Jika perhitungan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh seorang kafir dan Muslim, atau yang dilakukan oleh orang syi'ah dan non-syi'ah sama, maka berarti Islam dan tasyayyu hanyalah merupakan hal yang berlebihan, sia-sia, dan tidak berfaedah. Kedua, alasan naqli. sebagai tambahan terhadap alasan aqli, mereka mengajukan alasan naqli yang terdiri dari dua ayat Al-Quran dan beberapa hadis. Di dalam beberapa ayat Al-Quran terdapat penjelasan tentang tidak akan diterimanya perbuatan orang kafir. begitu pula di dalam hadis dijelaskan bahwa perbuatan orang non-Syi'ah yang menolak wilayat (kepemimpinan) Ahl al-Bayt juga tidak diterima. Di dalam surat Ibrahim, Allah SWT menyamakan perbuatan orang-orang kafir dengan debu yang ditiup angin hingga tidak tersisa sedikitpun: “Orang-orang yang kafir terhadap Tuhannya perbuatan-perbuatanmereka adalah laksana debu yang ditiup angin dengan kencang, pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa-apa yang telah mereka usahakan( di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh." (QS 14:18) Juga di dalam surat An-Nur, Allah menyamakan perbuatan orang-orang kafir dengan fatamorgana yang seakan-akan dari jauh tampak seperti air, akan tetapi jika kita mendekati kita tidak mendapati yang sebenarnya. ”Dan orang-orang yang kafir, perbuatan-perbutan mereka laksana fatamorgana di tengah-tengah tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, akan tetapi ketika didatangi air itu, dia tidak mendapati apa-apa; akan tenpi ketetapan Allah, kemudian Allah menyempurnakan perhitungannya dengan cukup, dan Allah Maha cepat perhitugan-Nya.” (QS 24:39) 13
Ayat di atas maksudnya adalah sumbangan-sumbangan agung yang menakjubkan penglihatan dan yang dianggap oleh sebagian orang awam lebih agung daripada sumbangan para nabi sekalipun, apabila tidak disertai dengan iman kepada Allah, akan sia-sia dan tidak akan berarti apa-apa, dan keagungannya hanyalah imajinasi, laksana fatamorgana. Demikianlah perbuatan-perbuatan baik mereka. Dan bencana bagi mereka dikarenakan perbuatan-perbuatan buruh seperti yang dijelaskan oleh ayat AlQuran berikut ini: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak yang di atasnya ada ombak dan di atasnya (lagi) ada awan; gelap gulita yang tindih-menindih. Apabila dia megeluh mengeluarkan tangannya, dia tidak akan dapat melihatnya; dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tidaklah dia akan memiliki cahaya sedikitpun." (QS 24:40) Dengan ditambahkannya ayat ini kepada ayat sebelumnya, maka dari kedua ayat tersebut dapat kita simpulkan bahwa perbuatan-perbutan baik orang kafir, selain secara lahiriah, bersifat semu.Perbuatan-perbuatan tersebut tidak realistis. Apalagi perbuatanperbuatan mereka yang buruk; betapa celakanya, semuanya jahat, kegelapan di atas kegelapan. Ayat-ayat mulia ini menjelaskan kedudukan orang-orang kafir. Adapun mengenai perbuatan-perbuatan orang non-Syi'ah, kedudukannya dijelaskan oleh riwayat-riwayat yang datang dari Ahl-al'Bayt a.s. Dalam hal ini, banyak sekali riwayat yang bisa dirujuk oleh siapa saja yang menghendaki, seperti di dalam Al-Kafi, jilid I, Kitab Al-Hujjah; dan pada jilid II, Kitab AI-Iman wa Al-Kufr; di dalam Wasa'il al-Syi'ah jilid I, bab Muqaddamah al-'Ibadah; dan di dalam Bihar al-Anwar, Mabahis al-Ma'ad bab XVIII (bab Al-Wa'd wa al-Wa'id wa al-Habth wa al-Takfir),'dan pada jilid VII, cetakan lama, bab CCXXVII; dan jilid XV, cetakan lama, juzAl-Akhlaq, mulai halaman 187. Sebagai contoh, saya sebutkan riwayat dariWasa'il al-Syi'ah: “Dari Abu Muhammad bin Muslim, dia berkata, Aku mendengar Abu Ja'far a.s. (yaitu Muhammad al-Baqir a.s.) berkata: 'Setiap orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan giat beribadah, akan tetapi tidak memiliki Imam (pemimpin) dari Allah, maka usahanya tidak akan diterima dan dia tersesat dan bingung. Allah akan memutuskan perbuatan- perbuatannya (hingga berkata) dan jika ia mati dalam keadaan seperti itu, maka orang tersebut mati dalam keadaan kufur, dan nifaq. Dan ketahuilah wahai Muhammad, bahwa para pemimpin tiranik dan para pengikutnya akan diasingkan dari agama Allah. Mereka telah tersesat dan menyesatkan, maka perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan laksana debu yang ditiup angin di hari bertiupnya angin dengan kencang; mereka tidak dapat meraih sesuatu dari apa yang mereka lakukan dan inilah kesesatan yang jauh.”7) Inilah alasan-alasan yang mengatakan bahwa dasar kebahagiaan dan keberuntungan itu adalah iman dan keyakinan. Terkadang di antara kelompok ini terdapat yang lebih ekstrem lagi. Mereka beranggapan bahwa mengaku beriman, atau atas dasar keturunan semata-mata pun, sudah cukup untuk selamat dan beruntung. Pada zaman Bani Umayyah, kelompok yang disebut AlMurji'ah berupaya menyebarkan pemikiran-pemikiran di atas. Untungnya, pemikiranpemikiran itu punah bersamaan dengan punahnya Bani Umayyah. 14
Pada zaman itu, pemikiran Syi'ah yang diilhami oleh Imam-Imam Ahl al-Bayt, mengambil sikap yang bertolak belakang dengan sikap Murji'ah. Akan tetapi, malangnya, pemikiran Murji'ah kembali muncul di tengah-tengah kaum Syi'ah dalam wadah lain dan bergejolak dalam pikiran-pikiran mereka. Mereka mulai beranggapan bahwa ikatan keturunan kepada Amir al-Mu'minin a.s. cukup untuk bisa menyelamatkan. Pemikiran seperti ini termasuk salah satu faktor yang menyebabkan keterbelakangan orang-orang Syi'ah di abad-abad terakhir ini, di samping karena khayalan teritang kehormatan dan kemuliaan. Para Darwisy dan kaum sufi, pada masa-masa terakhir ini, dengan berbagai macam alasan mulai melecehkan amal dan memandang kesucian hati sebagai wasilah, padahal kesucian hati yang hakiki adalah dinamisator yang harus mendorong untuk beramal, dan tidak menentangnya. Di tengah-tengah-masyarakat juga terdapat kelompok yang mendasarkan kualitas perbuatan kepada suatu derajat, di mana di situ mereka menganggap pelaku dosa besar sebagai kafir. Inilah keyakinankaum Khawarij, yang oleh sebagian ahli Kalam (teolog), pelaku dosa besar tersebut dipandang bukan Mukmin, juga bukan kafir, tetapi berada pada satu tempat di antara keduanya. Kini kita ingin menyelami, manakah di antara pikiran-pikiran yang benar dalam lautan keyakinan yang bergelombang ini. Apakah kita aka mengambil mazhab I'tiqadiy atau mazhab ‘Amaliy? Atau ada mazhab ketiga? Berikut ini adalah pembahasan mengenai kualitas iman dan keyakinan. Kualitas Iman Bahasan ini kami bagi menjadi tiga bagian: Pertama, apakah tidak mengimani prinsipprinrlp Agama (ushul al-din) seperti tauhid, kenabian, hari Akhir - menurut persepsi Islam Syi'ah, tiga hal ini ditambah imamah (kepemimpinan) dan 'adl (keadilan) - dalam kondisi apa pun mewajibkan adanya siksa Tuhan? Kedua, apakah iman termasuk syarat yang tidak boleh ditinggalkan dalam menerima perbuatan baik non-Muslim, yakni bahwa perbuatan-perbuatan baik non-Muslim, bahkan perbuatan baik non-syi'ah, tidak bisa diterima? Ketiga, apakah kekafiran dan pengingkaran mewajibkan terhapusnya perbuatan baik dan menyebabkan tercampakkannya perbuatan itu? Tiga persoalan ini tentu akan kami bahas dengan analisis mendalam dalam bahasan selanjutnya, dengan pertolongan Allah. Sanksi bagi Kekufuran Tidak diragukanl agi bahwa kufur itu ada dua macam: kufur dengan menolak dan menentang yang dinamakan kufur juhudiy dan kufur dikarenakan bodoh dan tidak mengetahui hakikat. Dalam hubungannya dengan bentuk kufur yang pertama, dalil-dalil qath’i, baik aqli maupun naqli, menegaskan bahwa seeorang yang tahu dan memahami hakikat, akan tetapi tetap menentang dan mengingkarinya, orang tersebut berhak mendapat siksa. Sedang dalam hubungannya dengan bentuk kufur yang kedua, kita harus meigatakan bahwa kebodohan dan ketidaktahuan seorang mukallaf yang tidak disengaja 15
menempatkan orang tersebut pada posisi bisa dimaafkan dan diberi rahmat oleh Allah SWT. Untuk menjelaskan masalah tersebut, saya harus membahas taslim (penyerahan diri) dan ‘inad(pembangkangan) secara rinci. Allah berfirman di dalam Al-Quran:
"Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (taslim)." (QS 26:88-89) Tingkatan Taslim Syarat utama keselamatan hati adalah taslim ( berserah diri) kepada hakikat. Taslim terbagi menjadi tiga tingkatan: taslim al-jism (penyerahan fisik), taslim al-'aql (penyerahan rasio), dan taslim al-qalb(penyerahan hati). Ketika dua orang pegulat sedang bergulat, dan salah satu di antara mereka ada yang merasa kalah, maka orang itu dinamakan menyerah. Didalam perkelahian-perkelahian fisik seperti ini, apabila salah satu di antara mereka ada yang merasa kalah, maka orang tersebut akan mengangkat tangannya keatas dan tidak akan menyerang lagi, ia takluk kepada lawanya seraya menyerah. Taslim seperti ini hanya bersifat fisik dan lahiriah, karena tidak disertai pikiran dan perasaan; perasaannya ragu sehingga berusaha sekuat tenaga ingin melepaskan diri dari kekuasaan sambil berniat menguasainya. Sikap seperti ini tetap ada dalam pikiran dan akalnya. Perasaannya tetap kesal terhadap musuhnya. Dengan demikian, taslim fisik tidak bisa diciptakan kecuali oleh paksaan dan kekuatan. Tingkatan taslim yang lain ialah taslim akal dan pikiran. Akal mampu menguasai kekuatan logika dan argumentasi. Disini, kekuatan otot tidak memiliki peran apapun. Dengan pukulan misalnya, kita tidak akan bisa menyakinkan seorang murid bahwa sudut-sudut segitiga itu sama dengan jumlah sudut dua garis tegak lurus. Kepadanya kita harus memberikan bukti dengan rumus-rumus matematis, tidak ada cara lain selain cara tersebut. Dengan demikian, akal memaksa taslim dengan argumentasi dan pikiran, sehingga apabila akal diberi bukti-bukti yang memadai, tentu ia akan menerima dan memahaminya. Ketika itu akal terpaksa taat, walaupun berbagai kekuatan melarangnya untuk taslim. Telah masyhur bahwa Galileo - ketika dia disiksa karena keyakinannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari dan bahwa matahari menjadi pusat perputaran planetplanet – diancam akan dibakar, sehingga ia terpaksa mengumumkan tobatnya akan keyakinannya tersebut. Namun demikian, pada saat yang sama, ia menulis sesuatu diatas tanah dan ketika orang memperhatikannya, mereka mendapati Galileo menulis: “Tobat Galileo tidak akan pernah menghentikan bumi dari perputarannya.” Benar, kekuatan bias memaksa manusia mencabut kembali ucapan-ucapannya, tetapi pikirannya tak akan pernah tunduk dan menyerah, sampai terpuasi oleh kekuatan logika dan argumentasi.
"Katakanlah: “Yunjukkanlah bukti kebenaran kalian, jika kalian memang orang-orang yang benar.”(QS 27:64) 16
Tahapan ketiga adalah taslim hati. Taslim ini adalah taslim iman. Dengan demikian, apabila taslim fisik dan taslim akal tidak dibarengi dingan taslim hati, maka berarti ia tidak beriman, karena taslim hati berarti penyerahan segala wujud insani dan menolak segala bentuk kekafiran dan pengingkaran. Mungkin saja akal dan logika seseorang bisa berserah diri di hadapan pikiran tertentu, tetapi batinnya tetap menentang. Hal demikian terjadi ketika orang tersebut berada di bawah kondisi ta'ashub, menolak dan membangkang, atau karena ada kepentingan pribadi, sehingga, sekalipun akal dan pikirannya terpuasi, namun jiwanya tetapmenolak. Karenanya orang tersebut tidak beriman. Bukankah hakikat iman itu taslim hati dan jiwa? Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesengguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS 2:208) Maksudnya, janganlah engkau bangkitkan pertentangan antara hati dan akal kalian, juga janganlah kalian tebarkan peperangan di antara perasaan dan pengetahuan kalian. Kisah setan yang ada dalam Al-Quran tak lain merupakan contoh hidup kekafiran hati dan taslim akal. Pada dasarnya, bukankah setan itu mengenal Allah dan beriman kepada hari kebangkitan dan dengan jelas mengetahui para rasul dan washinya, serta mengakui kedudukan mereka. Tetapi mengapa Allah menyebutnya kafir? Ia berfirman: “Dan mereka termasuk orang-orang kafir.” (QS 2:34) Bukti lain bahwa setan mengenal Allah adalah pengakuannya kepada Allah yang teiah menciptakannya, seperti dikatakan dalam Al-Quran: “Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Engklau ciptakan dari tanah.” (QS 7:12) Sedangkan bukti bahwa setan meyakini akhirat adalah firman Allah ketika menceritakan setan: “Beri tangguhlah sampai mereka dibangkitkan.” (QS 7:14) Dan bukti bahwa setan mengakui para nabi dan orang-orang ma'shum adalah firman Allah: “Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan-Mu, akan kusesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba- Mu yang ikhlas diantara mereka.” (QS 38:81-82) Yang dimaksud dengan hamba-hamba yang ikhlas adalah mereka yang bukan saja amal-amalnya ikhlas, tetapi juga wujud mereka secara keseluruhan sudah terbebaskan dari selain Allah. Mereka itulah para wali yang terbebas dari dosa. Kemaksuman mereka diyakini dan diketahui oleh setan. 17
Al-Quran menisbatkan semua pengetahuan mengenai perkara-perkara tersebut kepada setan, tetapi mengapa Al-Quran tetap menyifatinya dengank afir? Dari sini kita tahu bahwa seseorang itu tak cukup hanya dengan mengenal dan mengetahui yakni taslim pikiran dan pengetahuan tetapi ada syarat yang lain. Kenapa menurut kriteria Al-Quran setan dengan segala pengetahuan yang dimilikinya tetap dikelompokkan dengan orang-orang kafir? Jawabnya adalah, walaupun pengetahuannya te ah taslim kepada hakikat, namun perasaan-perasaannya menolak hakikat tersebut, hatinya tak berdaya di hadapan akalnya, sehingga lalu enggan menerima kebenaran dan takabur (sombong). Dia enggan untuk taslim dengan hati. Islam Hakiki dan Islam Geografis Biasanya, ketika kita mengatakan bahwa seseorang adalah Muslim atau non-Muslim, kita tak dapat memeperhatikan realitas dan hakikat, tetapi hanya melihat posisi geografis yang menjadi tempat tinggalnya. Karena suatu daerah berdasarkan taqlid dan warisan adalah daerah I slam, maka lantas orang-orangnya kita sebut Muslim. Dan seandainya daerah itu adalah daerah Kristen, maka kita sebut orang Kristen; demikian juga orang yang tak memeluk agama, dan seterusnya. Kita harus menyadari bahwa hukum seperti ini tidak memiliki nilai hakiki, baik sebagai Muslim maupun sebagai kafir. Kebanyakan di antara kita adalah orang-orang Islam yang hanya ikut-ikutan (taqlid), dan bersifat geografis. Kita memeluk Islam karena orangtua kita orang Islam, atau karena kita tumbuh dan dewasa di tengah-tengah kaum Muslim. Adapun Islam yang hakiki adalah Islam yang mampu memelihara dan melahirkan kualitas spiritual samawi, yaitu Islam yang mampu mengantarkan seorang kepada hakikat taslim hati yang memberikan tempat paling luas bagi hakikat di dalam dadanya. Sehingga dia menerima kebenaran dan mengamalkannya setelah, dari satu segi, menerimanya atas dasar penyelidikan dan analisis, dan pada segi lain, atas dasar taslim dan tidak ta'ashshub. Sekiranya seseorang telah taslim kepada kebenaran, akan tetapi dikarenakan sebabsebab lain, orang tersebut belum sampai kepada kebenaran Islam, maka ketika itu orang tersebut tidak dipandang lalai (muqashshar)), dan Allah tidak akan menyiksanya bahkan ia termasuk Orang yang selamat, sebagaimana Allah berfirman: "Dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul."( QS 17:15) Maksudnya, mustahil Allah akan menyiksa seseorang tanpa hujah yang sempurna. Para ulama ushul, sejalan dengan ayat yang menguatkan hukum akal tersebut, ber-istimbath bahwa "Buruknya siksa adalah apabila tanpa penjelasan" (qubh al-'iqab bila bayan). Artinya, apabila Allah SWT belum menjelaskan hakikat yang sempurna kepada hamba-hamba-Nya maka buruklah seandainya lantas Allah menyiksa mereka.
18
Apabila kita hendak membahas contoh bagi hakikat seperti ini, adalah sangat mungkin kita akan mendapatkan banyak orang yang memiliki jiwa taslim kepada kebenaran, sekalipun orang-orang tersebut tidak berlabelkan Islam. Berdasarkan biografi-biografi tentang dirinya, Descartes, filofof Prancis, adalah tepat sekali mewakili manusia tipe sepertii tu. Mengenai pandangannya telah dijelaskan bahwa filsafatnya dimulai dari keraguan. Dia terlebih dahulu meragukan pengetahuan-pengetahuannya. Dia memulai keraguan sejak awal, dan menjadikan Pikirannya sebagai titik tolak. Dia mengatakan,”Cogito ergo sum"( Aku berpikir, maka aku ada). Dengan begitu, Descartes menjadikan penegasan pikirannya sebagai cara dan mediator untuk menegaskan adanya ruh, begitu pula wujud badan. Dan, menurut pandangannya wujud Tuhan bersifat pasti. Selanjutnya, sedikit demi sedikit dia mulai memilih agama, sampai akhirnya memilih agama Kristen, karena dinegerinya agama tersebut merupakan agama terbesar. Descartes mempunyai ungkapan yang begitu indah, ketika mengatakan: “Aku benarbenar tidak menganggap bahwa agama Kristen pasti merupakan agama terbaik di dunia. Aku hanya mengatakan bahwa agama Kristen adalah agama terbaik sejauh bila dibandingkan dengan agama-agama yang aku ketahui; dan aku memeluknya setelah terlebih dahulu menganalisis dan mengujinya. Sama sekali aku tidak memusuhi kebenaran sekiranya di sana, di tempat-tempat lain di dunia, terdapat agama yang lebih baik dari agama Kristen. ”Kebetulan sekali Descartes menyebutkan Iran sebagai contoh sebuah Negara yang dia sendiri tidak tahu-menahu baik tentang agama maupun mazhab penduduknya. Descartes mengatakan: "Sungguh aku tidak tahu, mungkin saja agama atau mazhab yang ada di Iran lebih mulia dan lebih baik dari agama Kristen.” Dengand emikian, orang-orang seperti Descartes ini tidak mungkin bias dikatakan sebagai orang-orang kafir, karena mereka tidak bersikap menentang dan menyembunyikan ke benaran. Sementara kafir tidak lain adalah menentang dan menyembunyikan kebenaran. Mereka adalah Muslim Fitri. Apabila kita keberatan menyebut mereka Muslim, maka pada dasarnya kita pun tidak bisa menyebut mereka kafir, sebab keberhadapan Muslim dengan kafir tidak seperti keberhadapan positif dan negatif, atau tidak seperti keberhadapan memiliki dan tidak memiliki - sebagaimana menurut terminologi para filosof dan ahli logika. Tetapi keberhadapan tersebut merupakan keberhadapan antagonistic (taqabul al-diddain). Sebab, keduanya merupakan dua masalah yang bersifat eksistensial( wujudi), bukan yang satu bersifat eksistensial (wujudi) dan yang lain bersifat non-eksistensia(‘ adami). Jelasnya, saya hanya menyebutkan Descartes sebagai contoh. Tidak berarti bahwa saya membatalkan prinsip yang telah saya jelaskan sebelumnya, yaitu bahwa kita tidak bias memastikan pandangan mengenai seseorang. Maksud saya, Descartes hanya dijadikan contoh, itu pun seandainya ucapan dan sikap taslim-nya kepada kebenaran seperti yang diakuinya itu benar, dan seandainya ia benar-benar telah menganalisis dan mengujinya dengan segala kemampuannya. Akan tetapi, apabila ternyata belum sampai, selain daripada yang telah dicapainya, ketika itu dia dipandangan sebagai seorang Muslim fitri. 19
20