Pengetahuan Emosional Muhsin Labib
Prolog Mungkin kita sering mendapatkan penjelasan tentang agama, terutama akhlak secara deskriptif, berupa penguraian dan nasehat serta dorongan di majelis-majelis taklim dan pengajian rutin. Tapi ada kalanya kita juga memerlukan penjelasan agama secara analitis dan sistematis. Manusia telah diperlengkapi oleh Allah dengan tiga sarana atau alat untuk mengenal realitas objektif di luar dirinya, yaitu indera, akal dan hati. Kontak manusia (subjek) dengan objek (realitas) itulah yang disebut dengan pengetahuan. Itu berarti ada tiga macam pengetahuan, pengetahuan inderawi (al-ma’rifah al-hissiyah), pengetahuan akali (al-ma’rifah al-‘aqliyah) dan pengetahuan sukmawi (al-ma’rifah al-qalbiyah). Objek pengetahuan inderawi adalah materi atau realitas terinderakan dengan sifat-sifatnya yang khas seperti berubah, terbatas, bermula, berakhir dan sebagainya. Metode atau cara perolehannya juga disebutkan adalah induksi dan pengalaman. Pengetahuan inderawi ini hanya bisa dinikmati dan diraih oleh sekelompok manusia tertentu, karena sebagian memerlukan sarana laboratorium dan sebagainya. Pengetahuan inderawi tidak mengandung nilai baik dan buruk, benar dan salah, sempurna dan kurang. Ia bebas nilai. Pengetahuan inderawi, karena objeknya sangat terbatas dan paling rendah, adalah pengetahuan manusia yang paling rendah. Objek pengetahuan akali adalah konsep atau realitas tak terinderakan yang berhubungan dengan materi. Metode atau cara perolehannya adalah deduksi dan penalaran (inferensi). Pengetahuan akali ini hanya bisa dinikamati oleh segelintir orang yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Para filsuf dan pemikir adalah kelompok manusia yang sangat kecil di tengah jutaan manusia. Pengetahuan akali, meski mengandung nilai baik dan buruk, benar dan salah, namun ia hanya mempu mengantarkan manusia pada konsep yang merupakan signifikator realitas sejati. Ia tidak dapat mengenalkan manusia (subjek) pada realitas sejati, seperti konsep ketuhanan atau keesaan Tuhan yang tentu bebeda dengan realitas Tuhan itu sendiri. Pengetahuan akali, karena objeknya adalah konsep yang tidak sama dengan realitas yang diekspresikannya, adalah pengetahuan medium yang tentu lebih mulia dari pengetahuan inderawi namun lebih rendah dari pengetahuan sukmawi. Objek pengetahuan sukmawi adalah realitas tak inderakan (al-waqi’ al-mujarrad) yang sama sekali tidak menyandang sifat-sifat material atau bergantung pada materi. Metodenya adalah attakhalli atau at-tazakki dan at-tahalli. Pengetahuan sukmawi bisa diraih oleh siapapun, terpelajar maupun awam, miskin maupun kaya, tua maupun muda. Pengetahuan sukmawi, karena objeknya adalah entitas transenden, adalah pengetahuan termulia. Manusia bisa dianggap berhasil melaksnakan tugas kehambaan apabila telah mencapai iman yang merupakan kesempurnaan esoterik dan amal yang merupakan kesempurnaan eksoterik. Itulah sebabnya mengapa kata ‘iman’ (amanu, aminu) hampir selalu bergandengan dengan amal (amalu, amilu) dalam al-Qur’an. Iman, menurut para ahli kalam dan filsafat Islam, kombinasi pengetahuan rasional -yang
meniscayakan penerimaan- dan pengetahuan emosional- yang membuahkan cinta (al-wila’) . Seseorang, yang telah membumihanguskan sentra-sentra keburukan spiritual atau berhasil pula membangun sentra-sentra kebaikan spiritual dalam ranah jiwanya, berpeluang untuk mendapatkan pengetahuan emosional. Realitas abstrak dan transendent (al-haqiqah al-mujarrdah al-muta’aliyah), yang merupakan realitas termulia dan hanya bisa ditangkap dan dimasuki oleh jiwa yang telah dibebaskan dari bebelnggu materialnya. Allah SWT hanya dapat dirasakan kehadiran-Nya oleh orang yang memiliki pengetahuan emosional, sedangkan orang yang Cuma mengandalkan dan berbekal pengetahuan rasional hanya dapat menangkap tanda-tanda dan konsep-konsep tentang keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, dengan pengetahuan rasional, seseorang dapat mengenal dan memahami konsep ketuhanan dan agama, sedangkan dengan pengetahuan emosiona. Seseorang dapat merasakan hakikat Tuhan dan merasakan kehadiran dan penampakan-Nya. I. Takhalli Setiap manusia yang hendak mendapatkan Al-ma’rifah Al-qalbiyah atau hendak mengenal realitas transenden, terutama Allah, harus membersihkan ruang jiwanya dari keburukan-keburukan. Keburukan-keburukan adalah hijab dhulmani atau penghalang yang gelap. “Beruntunglah sesiapa yang telah menyucikan jiwanya قد افلح ”من زكّاها. Menyucikan jiwa berbeda dengan berlagak sok suci, “ّفل تزكّوا انفسكم هو اعلم بمن ضل “ عن سبيله و هو اعلم بمن اهتدى. Menyucikan jiwa, menurut pada ahli irfan nazhari, dapat dilakukan dengan dua cara; 1- melakukan sweeping terhadap setiap ‘preman’ keburukan yang bercokol di sudut gelap jiwa dengan cara istighfar dan ibadah yang tak pernah putus, 2- mengkonsentrasikan serangan pada sentra-sentra keburukan. Menurut para ahli irfan nazhari, ada tiga induk keburukan dalam jiwa, yaitu Al-zhulm atau kezaliman, Al-kufr atau kekafiran, dan Al-fisq atau kefasikan. Bila tiga sentra ini dapat, dihancurkan maka rezim hawa nafsu dapat dipastikan tumbang. Al-Zhulm Kezaliman didefinisikan sebagai ‘meletakkan sesuatu pada selain tempatnya’. Menurut para ahli irfan nazhari, semua keburukan dalam jiwa bermuara pada kezaliman. Mereka membagi kezaliman menjadi dua; kezaliman intelektual dan teoritis dan kezaliman aktual dan praktis. Kezaliman intelektual (al-zhulm al-fikri, al-zhulm al-ilmi) Kezaliman intelektual adalah meletakkan pengetahuan atau pemahaman atau keyakinan pada selain tempatnya. Kewzaliman intelkektual adalah meyakini atau menganggap sesuatu yang salah sebagai benar, atau meyakini sesuatu yang salah sebagai sesuatu yang benar atau meyakini sesuatu bukan karena kebenarannya namun karena keuntungan atau faktor-faktor sekunder, seperti karena banyak pendukung dan penganutnya atau karena terklanjur diajarkan dan tertanam, atau memberikan kesaksian palsu demi menghindari resiko, mengaburkan posisi kebanaran dalam sengketa antar dua orang demi menjaga hubungan persahabatan keduanya dan sebagainya.
Seseorang yang masih berlaku zalim secara intelektual dan teoritis akan dengan mudah berlaku zalim secara praktis. Kezaliman teoritis dapat dibagi dua, berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkannya; 1. Kezaliman teoritis berupa kesalahan dan kekeliruan (yang disengaja) berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak berpengaruh terhadap spiritualitas dan nasib kita di akhirat, seperti kezaliman yang plagiator, pembajak karya ilmiah, provokator dan penipu yang mengandalkan retorika dan sebagainya. 2. Kezaliman teoritis berkenaan dengan masalah-masalah yang sang;at berpengaruh terhadap karir kehambaan, seperti meyakini Tuhan sebagai entitas plural atau menyekutukannya, menolak Nabi dan sebagainya. Kezaliman praktis (al-zhulm Al-amali) Keazaliman aktual adalah meletakkan tindakan dan prilaku pada selain tempatnya, seperti meludah di sembarang tempat, membunuh binatang yang tidak menganggu dan merusak lingkungan hidup sebagainya. Menurut para ahli irfan nazhari, pelaku kezaliman adalah setiap pendosa, baik majikan maupun buruh, anak maupun orang tua, penguasa maupun rakyat. Kezaliman praktis dapat dibagi dua; 1. Kezaliman subjektif atau kezaliman terhadap diri sendiri (al-zhulm Al-dzati). Yaitu kezaliman berupa perbuatan dosa yang tidak melibatkan pihak lain. Merurut para ahli irfan nazhari, setiap perbuatan dosa adalah kezaliman terhadap diri sendiri. Setiap pelaku maksiat adalah penganiaya diri sendiri. Ia telah menzalimi dirinya sendiri karena semestinya ia meletakkan diri (jiwa)-nya dalam ketaatan dan kebaikan. Ia dianggap zalim terhadap diri sendiri karena memaksa dirinya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan karakteristik jiwanya. Ia menzalimi dirinya karena membawanya ke siksa Allah. Ia telah melakukan harakiri. Ia adalah seorang masochist. Itulah sebabnya kita selalu dianjurkan untuk mengaku telah berbuat zalim terhadap diri sendiri karena perbuatan buruk yang kita lakukan “( “ ربنا انّا ظلمنا انفسنا وان لم تغفر لنا لنكوننّا من الخاسرينTuhan kami, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami. Andaikan Engkau tiada mengampuni kami, maka niscaya kami menjadi orang-orang yang rugi) atau mengulang-ulang pengakuan “”ظلمت نفسى. Bahkan para urafa’ menganggap pengakuan zalim terhadap diri sendiri sebagai salah satu syarat bertaubat. 2. Kezaliman objektif (al-zhulm Al-khariji). Yaitu kezaliman berupa perbuatan yang tidak semestinya terhadap diri sendiri dan pihak di luar dirinya. Kezaliman objektif dapat dibagi tiga: 1) Kezaliman terhadap benda-benda mati, air, udara dan sebagainya melalui pencemaran, pemborosan dan penggunaan yang tidak legal, tidak efesien dan untuk hal-hal yang tidak produktif (perbuatan dosa); 2) Kezaliman terhadap tumbuh-tumbuhan, melalui penggudulan hutan dan penebangan kayu secara membabi buta, dan perusakan cagar alam sebagainya. 3) Kezaliman terhadap hewan, melalui perburuan liar, pemusnahan satwa langka, pembunuhan
hewan secara sadis, dan pengkonsumsian hewan secara berlebihan, penggunakan pakaian dari kulit domba dan ular sehingga menimbulkan kesenjangan sosial sebagainya; 4) Kezaliman terhadap sesama manusia atau kezaliman sosial. Kezaliman sosial dilakukan oleh setiap manusia, penguasa terhadap rakyat dan sebaliknya, majikan terhadap buruh dan sebaliknya, anak terhadap orang tua dan sebaliknya, suami terhadap isteri dan sebaliknya. Kezaliman sosial tidak identik dengan kelompok, status maupun starta tertentu dalam masyarakat. Seseorang yang masih berlaku zalim baik berupa pemikiran maupun berupa perbuatan, baik subjektif maupun objektif, tidak akan pernah dapat meraih pengetahuan emosional yang sangat mulia itu, dan sudah tentu tidak akan pernah mengenal Allah SWT dan realitas transenden lainnya. 2. Al-kufr Sentra kedua keburukan dalam jiwa adalah kekafiran. Al-kufr secara kebahasaan berarti ‘menutupi’ atau ‘menyembunyikan’, dan secara keagamaan diartikan sebagai ‘menolak’ dan ‘menentang’. Berdasarkan definisi yang longgar dan umum ini, kekafiran dapat dibagi dua; kekafiran positif atau terpuji dan kekafiran negatif atau tercela. Kekafiran terpuji adalah segala bentuk penolakan terhadap keburukan dan kebatilan. Allah dalam Al-qur’an memuji orang-orang kafir jenis kedua ini “ومن ( ”يؤمن بال ويكفر بالطاغوت فقد استمسك بالعروة الوثقىDan sesiapa yang beriman pada Allah dan berkufur pada tiran, maka telah berpegangan dengan al-urwah al-wutsqa”). Kekafiran negatif adalah penolanan terhadap kesempurnaan, kebaikan dan kebenaran. Yang dimaksud dengan al-kufr di sini adalah kekafiran negatif. Kekafiran (negatif) dapat dibagi dua; 1. Kekafiran sempurna (al-kufr al-tam), yaitu penolakan terhadap kebaikan dan kebenaran dalam jiwa dan raga. Kekufuran sempurna dalam dibagi tiga; 1) Kekufuran ateistik (al-kufr al-ilhadi, kufr al-uluhiyah), yaitu penolakan terhadap (bukti-bukti) keberadaan Tuhan; 2) Kekufuran politeistik (al-kufr asy-syirki, Kufr Attauhid), yaitu penolakan terhadap (bukti-bukti) ke-esaan Tuhan; 3) Kekufuran terhadap agama (al-kufr al-la-dini, kufr al-nubuwah), yaitu penolakan terhadap bukti-bukti kenabian dan universalitas agama tanpa alasan-alasan yang bisa dimaklumi; 4) Kekufuran terhadap Islam (kufr al-Islam), yaitu penolakan terhadap agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW atau penolakan terhadap salah satu prinispnya. 2. Kekafiran lahiriah (al-kufr al-zhahiri), yaitu semata-mata penolakan secara lahiriah terhadap kebaikan dan kebenaran. Para ahli irfan nazhari memasukkan semua perbuatan dosa (dosa legal dan moral) dalam kekufuran lahiriah. Dalam riwayat disebutkan “Tidak mungkin seseorang yang sedang berzina adalah orang mukmin”. Seseorang yang beriman dan percaya akan adanya Tuhan yang akan mengadili setiap hambaNya tidak mungkin akan berani berbuat dosa. Karena keyakinanya akan hari akhirat masih setengah-setengah, maka seseorang dengan mudah melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah. Para ahli irfan nazhari menyebutkan sejumlah kekufuran lahiriah, antara lain kekafiran dalam anugrah
(Kufr Al-ni’mah) ( ”لئن شكرتم لزيدنكم ولئن كفرتم ان عذابى لشديدBila kalian bersyukur, niscaya Kami tambahkan untuk kalian, namun bila kalian berskufur, maka sesungguhnya siksa amatlah keras), ( ” "واشكروا لى ولتكفرونBersyukurlah padaku dan janganlah kalin berkufur), kekafiran dalam dalam perbuatan (kufr al-tha’ah), kekafiran dalam ibadah. 3. Kekafiran batiniah (al-kufr al-bathini), yaitu semata-mata penolakan secara batiniah terhadap kebaikan dan kebenaran. Seseorang yang meyembunyikan penolakannya terhadap kebenaran dan menampakkan sebaliknya adlah orang yang layak menyandang sifat nifaq. Dialah munafiq. Munafik adalah jenis manusia yang sulit untuk memperbaiki diri atau bertaubat, karena karena ketertutupannya, ia tidak mungkin ditegur atau diingatkan oleh orang lain. Umat Islam sejak zaman Nabi hingga kita selalu disibukkan oleh orang-orang munafik. 3. Al-fisq Para ahli irfan nazhari mendefinisikannya sebagai ‘penyimpangan dari jalan yang luar’ atau mungkin lebih pas diartikan ‘ketidakwajaran’. Setiap perbuatan dosa, menurut para ahli irfan nazhari, adalah abnormalitas, karena norma dan hukum yang mestinya diikuti adalah syariah dan akhlaq Islam. افمن كان مؤمنا كمن كان فاسقا ليستوون (apakah orang mukmin seperti orang fasiq, tentu tidaklah sama). Semua perbuatan buruk baik dalam psikologi mistik (irfan) maupun psikologi saintis, bersumber dari rasa minder dan rendah diri. Seseorang yang merasa lebih kerdil jiwanya dari orang-orang sekitarnya akan menggunakan sombong dan pamer sebagai “alat dongkrak” yang dianggapnya bisa mengangkatnya sama dengan orang-orang lain yang memiliki jiwa lebih tinggi dari dirinya. Kikir, dendam dan semuanya juga dapat dianalisis demikian. Kesemuanya bisa dianggap sebagai abnormalitas dan penyimpangan. Kefasikan ada kalanya berdimensi moral (akhlaq) dan ada kalanya berdimensi legal (syariah). Kefasikan syar’i berimplikasi terhadap keabsahan dan konsekuensi lainnya dalam bidang-bidang tertentu.