Perbuatan Baik Non-muslim (iii)

  • Uploaded by: heri
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perbuatan Baik Non-muslim (iii) as PDF for free.

More details

  • Words: 7,835
  • Pages: 14
Perbuatan Baik Non'Muslim (III) Murtadha Muthahhari Penerjemah : Agus Effendi

Degradasi Amal Saleh Masalah ketiga, yang menyangkut nilai iman, adalah masalah yang membahas akibat buruk penentangan atau pembangkangan. Yakni apakah penentangan menjatuhkan atau bahkan merusak amal saleh, seperti halnya hama merusak tanaman yang hendak dipanen? Dengan kata lain, apabila manusia telah melaksanakan amal saleh yang terpenuhi syaratsyarat kebaikannya dari dimensi perbuatan dan pelakunya, kemudian ia mengingkari suatu kebenaran yang ia temui - apalagi jika kebenaran tersebut adalah salah satu pokok (ushul) agama - maka apakah pengingkaran semacam itu merusak amal saleh yang telah terpenuhi syarat-syaratnya? Kami menganggap perlu membahas masalah degradasi amal saleh ini. Boleh jadi suatu amal telah bagus ditinjau dari dimensi perbuatan dan pelakunya, yaitu utuh dan tidak cacat secara lahiriah maupun batiniah; tetapi dimensi batiniahnya hilang karena terserang oleh semacam "hama" - seperti bibit unggul yang ditanam di lahan subur dan menghasilkan buah yang baik, namun menjelang masa panen buahnya rusak karena terserang hama belalang atau tersambar petir. AlQuran menamai hal semacam ini dengan penggagalan (ihbath). Degradasi amal saleh tidak hanya berlaku atas orang-orang kafir. Orang Muslim pun dapat terkena. Jika orang Muslim mukmin memberikan sedekah untuk orang miskin yang berhak menerimanya, maka diterimalah sedekah itu di sisi Allah SWT. Tapi sedekah tersebut dapat gagal dan hilang karena pemberinya menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan penerimanya Allah berfirman: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pabala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).( QS.2'264) Sebab lain yang dapat merusak amal saleh adalah rasa dengki. Seperti yang dikatakan hadis di bawah ini, Sesunggubnya rasa dengki memakan kebajikan seperti api memakan kayu bakar. Di antara sebab lain adalah penentangan dan penolakan suatu kebenaran. Penentangan yang dimaksud adalah penentangan yang terjadi ketika manusia mengetahui kebenaran, dan pada saat yang sama ia mengingkarinya. Dengan kata lain, penentangan adalah suatu keadaan di mana akal dan pikiran sehat mengetahui suatu kebenaran dengan jelas dan garnblang karena ada bukti-bukti yang menguatkannya, namun jiwa dan perasaan menolak kebenaran itu dengan angkuh dan sombong. Penentangan terhadap kebenaran pada saat mengetahui kebenaran adalah sikap orang kafir. Telah kami jelaskan topik ini ketika membahas tiga tahap penyerahan (taslim). Kami menyebutnya lagi di sini sekadar sebagai penjelasan sehubungan dengan pembahasan degradasi amal saleh. Imam Ali mendefinisikan Islam sebagai berikut: "Islam adalah penyerahan (taslim)." Yaitu, manakala muncul kepentingan pribadi yang bertentangan dengan kebenaran, manusia merelakan kepentingan pribadinya demi kebenaran dan mengabaikan hal-hal selain itu. Dan penentangan sebenarnya tidak lebih daripada kekafiran. Abu Jahal sebetulnya tahu akan kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., namun ia menutup mata atas kebenaran itu dan menolaknya. Al-Quran telah melukiskan dengan baik sifat jelek yang dimiliki oleh sebagian manusia: Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allab, jika betul (Al-Quran) ini benar-benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih " (QS 8 :32)

1

Betapa indahnya ungkapan AlQuran di atas. Dengan kalimat yang singkat ia merefleksikan dengan jelas kelainan jiwa sebagian manusia. Al-Quran dapat melaksanakan apa yang tidak dapat diungkapkan oleh manusia. Manusia yang perkataannya dikutip oleh ayat di atas, sebenarnya ingin mengatakan: "Tuhanku, sekiranya ini benar datang dari-Mu, maka berilah petunjuk kepada hatiku untuk menerimanya." Tapi, yang sempat terucap hanya: "Jika hal itu benar, turunkanlah azab yang menghancurkanku, karena aku

tidak kuat bertahan menghadapi kebenaran." "Di Bawah Nol" Pembahasan kita selanjutnya berkaitan dengan diterima atau tidaknya perbuatan baik yang dilakukan oleh non-Muslim. Apakah perbuatan baik mereka dapat mengangkat derajat mereka lebih tinggi atau tidak? Di sini kami ingin melihat apa yang disebut "di bawah nol", atau apa yang akan terjadi sehubungan dengan dosa-dosa, perbuatan-perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh nonMuslim. Apakah juga perbuatan jelek mereka disamakan dengan perbuatan baiknya, ataukah mungkin ada pembedaan? Apakah ada perbedaan antara Muslim dan non-Muslim, Syi’ah dan non-Syi'ah sehubungan dengan perbuatan-perbuatan menyimpang? Pada pembahasan terdahulu telah dijelaskan bahwa Allah SWT tidak akan menimpakan azab kepada manusia kecuali bila ia menyepelekan, atau melakukan pelanggaran dengan sengaja. Dan Allah SWT juga tidak akan menimpakan azab atas orang yang tidak mampu melaksanakan amal baik itu. Dalan hal ini kami telah menyebut dan menguraikan satu ayat yang oleh para ehli ushul telah dijadikan dasar kaidah "pembalasan itu jelek tanpa disertai keterangan". Agar lebih jelas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan non-Muslim sehubungan dengan "di bawah nol" atau perbuatan-perbuatan jelek mereka, maka kita mesti menjelaskan dahulu beberapa terminology yang bersumber dari AlQuran berikut ini. 1. Orang lemah (al-qashir) dan orang tertindas (al-mustadh'afin) Para ulama Islam telah mengenal sekaligus mengatakan bahwa sebagian manusia ada yang tertindas (mustadh’afin) dan ada pula orang yang ditanguhkan sampai ada keputusan Allah (almurjawna Ii amr Allah). Urusan mereka terpulang kepada Allah SWT. Allah akan mengambil sikap kepada mereka sesuai dengan Kebijaksanaan dan Rahmat-Nya. Kedua istilah tersebut dikutip dari ayat-ayat Al-Quran: Sesunguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negri (Makkah)."Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sebingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jabanam, dan Jahanam adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya apaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allab memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maba Pengampun. (QS 4:97-99) Pada ayat pertama, terjadi sebuah dialog antara malaikat dengan sebagian manusia setelah mati. Hasilnya, para manusia dinilai meremehkan perintah Allah dan berhak mendapatkan siksa. Pada ayat kedua, disebutkan tentang orang-orang yang betul-betul tertindas (mustadh'afin). Adapun ayat ketiga menyebutkan adanya harapan bagi orang-orang mustadh'afin tntuk mendapatkan ampunan Allah SWT. Berikut ini uraian Thabathaba'i dalam tafsirnya, Al-Mizan, tentang ayat tersebut: Sesungguhnya Allah SWT mengkategorikan kebodohan dalam beragama, dan segala larangan menegakkan syiar agama sebagai suatu kezaliman yang tidak mendapatkan ampunan llahi. Kemudian Dia mengecualikan mustadh'afin, yaitu

2

dengan menerima alasan yang mereka kemukakan karena tertindas. Dia mendefinisikan para mustadh'afin dengan sifatsifat yang melekat pada diri mereka, yaitu ketidakberdayaan mereka atas bahaya yang mengancam diri mereka. Dalam hal ini juga termasuk orang yang tidak dapat mencari ilmu agama dengan sempurna; atau ada halangan berat yang tidak sanggup ia pikul, dalam mencari ilmu, karena fisik yang lemah; atau tidak mampu membiayai dirinya, sehingga ia tidak dapat keluar atau hijrah ke negara Islam untuk dapat bertemu dengan kaum Muslim. Contoh lain yaitu orang yang sudah berusaha tapi tidak dapat memahami ilmu agama dengan sempurna, sehingga akal pikirannya tidak dapat menerangi dirinya dan pada saat yang sama ia tidak menolak kebenaran, bahkan jika kebenaran itu tampak atas dirinya, ia mau mengikutinya.

Banyak sekali riwayat yang membicarakan orang-orang lemah dengan berbagai alasan yang dapat diterima. Dan mereka dikategorikan sebagai mustadh'afin. Allah SWT berfirman: Dan ada pula orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah; adakalanya Allah akan mengazab mereka dan ada' kalanya Allah akan menerima tobat mereka. Dan Allab Maha Mengetabui lagi Mababijaksana. (QS 9:106) Istilah "orang yang ditangguhkan" (al-murjawna li amr Allah) dikutip dari ayat di atas. Imam Al-Baqir mengomentari ayat tersebut sebagai berikut: Ada suatu golongan yang dulunya musyrik kemudian terbunuh dalam suatu peperangan membela Islam sepeni Hamzah, Ja'far dan kaum Muslim yang lain yang memiliki nasib seperti mereka. Mereka masuk lslam, kemudian men-tauhidkan Allah SWT, meninggalkan kemusyrikan, tapi mereka tidak tahu akan keimanan di dalam hati mereka. Mereka adalah orang mukmin ahli surga. Seandainya mereka tetap pada keingkarannya, maka mereka adalah ahli neraka. Dan mereka inilah yang disebut dengan "orangorang yang di tangguhkan" (al-mu'rjawna li amr Allah). Apakah Allah akan menimpakan azab atas diri mereka atau menerima tobatnya? '

Di dalam tafsir Al-'Iyasyi diriwayatkan dari Hamran: "Saya bertanya" kepada Imam Shadiq tentang mustadh'afin." Imam Shadiq menjawab: "Mereka (mustadh'afin) tidaklah termasuk orang kafir. Mereka adalah yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah (al-murjawna li amr Allah)." Lebih jauh tentang ayat tersebut, dikatakan bahwa amal-amal mereka yang ditangguhkan akan dipilahpilah lagi oleh Allah SWT, namun ayat tentang mustadh'afin mengisyaratkan akan adanya ampunan dan maghfirah Allah untuk mereka. Kami mengambil kesimpulan dari hal-hal tersebut bahwa orang lemah (al-qashir) tidak disiksa oleh Allah SWT. Di dalam Al-Kafi diriwayatkan dari Hamzah bin Al-Thayyar yang berkata: "Imam Shadiq berkata kepada saya: 'Manusia terbagi menjadi enam golongan yang dapat diperkecil lagi menjadi tiga golongan, yaitu: iman (al-iman), kekafiran (al-kufr), dan kesesatan (al-dhalal). Mereka adalah yang diambil janjinya oleh Allah dengan surga dan neraka. Mereka terdiri atas orang-orang mukmin, kafir, mustadh'afin, dan mereka yang ditangguhkan oleh Allah (al-murjautna li amr Allah), yang akan menerima, azab dari Allah atau akan diterima tobatnya. Serta orang-orang yang mengakui dosadosanya, dan orang-orang yang berbuat kebajikan'." Di dalam Al-Kafi menurut riwayat yang lain dari Zurarah dikatakan: "Saya bersama Hamran menghadap Imam Baqir. Saya berkata kepadanya. Sesungguhnya saya membentangkan al -mathmar ." " Apakah yang kau maksud dengan al-mathmar itu?" Imam Baqir balik bertanya. Saya berkata: “Mathmar adalah benang yang kami bentangkan mengenai keturunan Ali atau orang lain. Jika mereka benar, saya akan mengikuti mereka. Tapi jika mereka salah, saya akan meninggalkan mereka." lalu Imam Baqir berkara: "Hai Zurarah, firman Allah lebih benar ketimbang perkataanmu. Manakah mereka yang termasuk dalam firman Allah ini: Kecuali orang-orang yang tertindas, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, yang tak mampu berusaha dan tidak mendapat petuniuk jalan (untuk

bijrah), dan manakah yang al-murjawna li amr Allah? Manakah yang termasuk golongan orangorang yang mencampuradukkan amal saleh dengan perilaku buruk? Manakah yang termasuk orang-orang yang sering berbuat kebajikan? Dan manakah yang termasuk orang yang baru masuk Islam?" Hamran menambahkan dalam riwayat tersebut:" Imam Baqir dan saya pada saat itu berbicara dengan suara yang keras sehingga kedengaran dari luar rumah." Jamil pun menambahkan dalam riwayat tersebut, dari Zurarah yang berkata: "Ketika pembicaraan telah larut antara aku dengan Imam Baqir, Imam Baqir berkata: 'Hai Zurarah, sungguh orang yang tersesat akan masuk surga'." Di dalam Al-Kafi diriwayatkan dari Imam Musa yang berkata: 3

"sesungguhnya Ali adalah salah satu pintu petunjuk. Maka barangsiapa memasuki pintu Ali berarti dia mukmin. Dan barangsiapa yang tidak masuk dan tidak keluar dari pintu tersebut, maka mereka termasuk golongan yang keputusannya masih ada pada kehendak Allah SWT." Imam Musa menerangkan bahwa ada golongan yang tidak termasuk ahli iman, taslim, dan tidak termasuk pula pada golongan ahli ingkar dan rusak. Diriwayatkan dalam Al-Kafi dari Imam Shadiq yang berkata: "Jika seorang hamba bodoh tapi mau mengikuti para Imam dan tidak mengingkari mereka, maka tidaklah mereka termasuk orang kafir." Jika seseorang menujukan pandangannya kepada riwayat-riwayat dari para lmam, khususnya dalam bab "Al-Hujjah", bab "Iman dan Kekafiran", pada kitab Al-Kafi, niscaya mereka akan mendapatkan bahwa para Imam selalu bersandar pada hal yang pokok, yaitu bahwa semua yang datang untuk manusia yang berupa kebenaran selalu ditunjukkan, terlepas dari apakah manusia menerimanya dengan keingkaran dan kesombongan atau tidak. Adapun orang-orang yang tidak memiliki kemampuan memahami, atau dengan alasan lain ia hanya sedikit memahami masalah-masalah agama, tidaklah termasuk golongan pengingkar dan pembangkang. Mereka adalah orang-orang mustadh'afin dan golongan orang yang ditangguhkan keputusannya di tangan Allah SWT. Adapun orang-orang yang dikaruniai keterbatasan kemampuan dalam memahami, atau hanya sedikit mengetahui, atau dengan alas an lain menjadikannya hidup dalam suasana penuh keterbatasan, maka ia tidak digolongkan pada kelompok orang-orang penentang dan pembangkang. Mereka adalah termasuk golongan mustadh'afin dan orang orang yang ditangguhkan( al-murjawna li amr Allah). Para Imam memperhitungkan bahwa sebagian besar manusia termasuk dalam kategori ini. Banyak sekali riwayat di dalam A l-Kafi yang menjelaskan tentang hal ini, antara lain: "Setiap orang yang berusaha sekuat mungkin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT karena ibadah, tapi tidak mempunyai imam, maka ibadahnya tidak diterima." "Allah tidak akan menerima segala amal hambanya kecuali hamba tersebut mengetahui imamnya." Diriwayatkan dari Imam Shadiq yang berkata: "Barangsiapa mengetahui kami, maka dia mukmin. Dan barangsiapay ang mengingkari kami, maka dia kafir. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui kami dan tidak mengingkari kami, maka dia termasuk orang yang tersesat sampai ia kembali lagi kepada jalan yang benar yang telah diwajibkan oleh Allah atas dirinya untuk menaati kami. Jika orang tersebut meninggal dunia dalam keadaan masih tersesat, maka Allah akan memperlakukan orang tersebut sesuai kehendak-Nya. Muhammad bin Musallam mengatakan: "pada suaru hari aku duduk di sebelah kiri Imam Shadiq, dan Zurarah berada di sebelah kanannya.L alu masuklah pada saat itu Abu Bashir sembari berkata: “Hai Abu Abdillah (Imam Shadiq), bagaimanakah pendapat Anda tentang orang yang ragu terhadap Allah?' Abu Abdillah menjawab: ‘Hai Abu Muhammad, dia adalah kafir,. Ia bertanya lagi: 'Bagaimana pula bila orang itu ragu terhadap Rasulullah?' 'Dia adalah kafir’, jawab Imam Shadiq. Kemudian Imam Shadiq berkata lagi sambil menoleh kepada Zurarah:' “Orang tersebut kafir jika rnenentang". “ Di dalam Al-Kafi juga diriwayatkan dari Hasyim, tukang pos,yang berkata: “Aku pernah berkumpul bersama Abu Muhammad-bin Musallam dan Abu Al-Khaththab. Lalu Abu AlKhaththab berkata kepada kami: 'Bagaimanakah pendapat kalian tentang o ang yang tidak mengetahui perkara ini (imamah)?", Maka saya jawab: “Barangsiapa tidak mengetahui perkara rersebut adalah kafir.” Kemudian Abu Al-Khaththab pun berkata lagi, "orang tersebut tidak kafir, sampai ada bukti-bukti atau alasan-alasan yang menguatkannya. Kalau ada alasan yang menguatkannya, maka ia termasuk kafir." Lalu Muhammad bin Musallam menyambung dialog tersebut: "subbanallah, Apakah orang tersebut juga termasuk kafir, jika ia tidak mengetahui dan tidak menentang kebenaran imamah?" Maka pada suatu musim haji aku menemui Abu Abdillah, kuceritakan peristiwa tersebut kepadanya. Lalu Abu Abdillah berkata: "Engkau datang dan dua orang temanmu yang lain tidak ada. Datanglah pada malam pelemparan jumrab al-wustha di Mina."

4

Ketika tiba saatnya malam yang dijanjikan, kami, Abu Al-Khaththab dan Muhammad bin Musallam, berkumpul menemui Imam Shadiq. Ia mengambil bantal dan meletakkannya di dada, kemudian Imam berkata: "Apakah para pembantu, wanita, dan anggota keluarga kalian bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah?" Aku menjawab: "Ya, betul." Imam Shadiq bertanya lagi: "Apakah mereka juga bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?" Aku jawab lagi: "Ya." Imam bertanya lagi: "Apakah mereka melakukan shalat, puasa dan haji?" Aku jawab: "Ya." Imam Shadiq lalu berkata lagi, "Apakah mereka juga mengetahui tentang imamah?" "Tidak," jawabku. Imam Shadiq bertanya lagi: "Bagaimanakah mereka menurut pendapat kalian?" Aku berkata: "Barangsiapa tidak mengetahui tentang imam mereka adalah kafir." Imam Shadiq berkata, "Tahukah kalian ahli jalan dan ahli air?" Aku berkata: "Ya, aku tahu" Imam Shadiq berkata' "Apakah mereka shalat, puasa dan haji? Dan apakah mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah?" Aku berkata: "Ya, betul." Imam Shadiq berkata: "Apakah mereka juga tahu tentang imamah?" Saya berkata: "Tidak." Imam Shadiq berkata: "Bagaimanakah mereka menurut pendapat kalian?" Saya berkata: "Barangsiapa tidak mengetahuinya, maka dia kafir." Imam Shadiq berkata, "Subbanallah, apakah kalian melihat Ka'bah dan orang-orang Yaman yang ber-thawaf dan bergelantungan pada kiswah Ka'bah?" Saya berkata: "Ya". Imam Shadiq berkata: "Apakah mereka juga bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah? Dan apakah mereka juga shalat, puasa dan haji? Saya berkata.: "Ya." Imam Shadiq berkata, "Apakah mereka mengetahui tentang imamah?" Saya berkata: "Tidak." Imam Shadiq berkata: "Bagaimanakah mereka menurut pendapat kalian?" Saya berkata: "Barangsiapa tidak mengetahuinya, maka dia kafir." Imarn Shadiq berkata, "Subbanallah, ini adalah perkataan orang Khawarij." Kemudian ia melanjutkan perkataannya: "Kalau kalian mau saya beritahu dengarkanlah! Mereka tidaklah kafir." (Almarhum Al-Faydl mengatakan, ketika Hasyim mengetahui bahwa pendapat Imam berbeda dengan pendapatnya, ia juga mengatakan mereka tidak kafir). Imam Shadiq berkata: "Apakah jelek sekiranya kalian mengatakan sesuatu yang belum kalian dengar dari kami?" Ia berkata: "Saya mengira bahwa

lmam Shadiq hendak menggiring kami pada perkataan Muhammad bin Musallam". Al-Kafi, setelah riwayat di atas, juga meriwayatkan dialog tentang hal yang sama, lebih lengkap dan terinci antara" Imam Baqir dan Zurarah. Ada pula riwayat lain di dalam bab "Iman dan Kekafiran", dengan judul "Iman tidak tergoyahkan dengan perilaku jahat, dan kebajikan tidak ada gunanya terhadap kekafiran." Tapi, riwayat-riwayat yang dinukil hampir tidak ada yang relevan dengan masalah tersebut. Antara lain riwayat berikut ini: Dari Ya'qub bin Syuaib yang berkata: "Aku berkata kepada Abu Abdillah: 'Apakah orang nonmukmin yang berbuat baik akan mendapat pahala di sisi Allah?' Abu Abdillah menjawab: "Tidak." Yang dimaksud dengan riwayat di atas adalah bahwa Allah hanya menjanjikan pahala untuk orang mukmin. Dan sudah barang tentu Allah akan menepati janji ini. Selain itu, Allah tidak pernah berjanji kepada orang non-mukmin, sehingga tidak perlu bagi-Nya menepati janji kepada orang non-mukmin. Dengan riwayat tersebut dimaksudkan bahwa Imam ingin memberikan pengertian kepada orang-orang yang diajak bicara bahwa diberi (pahala) atau tidaknya orang non-mukmin adalah sama hukumnya dengan para mustadh'afin dan orangorang yang ditangguhkan (al-murjawna li amr Allah). Urusan orang non-mukmin tersebut adalah terpulang kepada Allah. Selain itu ada lagi riwayat-riwayat lain di dalam Al-Kafi yang akan kami sebutkan dalam pembahasan"D osa orangI slam". Beberapa Pandangan Filosof Muslim Para filosof Muslim menjelaskan topik ini dalam bentuk yang lain, tapi hasilnya sama dengan apa yang telah kami katakana tadi. Ibnu Sina berkata: "Ditinjau dari segi keutuhan dan kesempurnaantubuhnya, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Pertama. Golongan yang menikmati keutuhan dan kesempurnaan tubuhnya. K edua, golongan yang menderita karena ketidaksempurnaan dan kejelekan anggota

5

tubuhnya. Sedangkan golongan ketiga, yang terdiri atas mayoritas manusia, adalah golongan menengah yang tidak menikmati secara mutlak kesempurnaan dan keutuhan anggota jasmaninya, serta juga tidak begitu menderita karena ketidaksempurnaan dan kejelekan anggota tubuhnya. Pembagian tersebut juga berlaku jika ditinjau dari segi ruhaniahnya. Ada golongan yang asyik menikmati hakikat secara mutlak, dan ada pula golongany ang menderita, merasa tersiksa selamanya. Adapun golongan ketiga adalah golongan terbanyak yang hidup sebagai kelas ruhaniah menengah. Mereka yang disebut terakhir tidak begitu menikmati, asyik dalam hakikat, serta tidak pula merasakan derita selamanya. Mereka tidak sampai kepada hakikat mutlak. Jika hakikat mutlak disodorkan kepada mereka, mereka tidak menolaknya." Dengan kata lain, mereka - sesuai ukuran dan standar Islam - tidak termasuk Muslim. Tapi pada hakikatnya mereka juga Muslim, sebab mereka menerima hakikat tersebut dan tidak menentangnya. Di dalam pembahasan lain, tentang kejelekan dan kebaikan di dalam kittb Al-Asfar, Shadr Al-Muta'allihin mengatakannya sebagai berikut, "Bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa kebajikan dapat mengalahkan kejahatan, padahal kalau kita lihat para pemimpin dunia ini banyak yang melakukan kejahatan, akidah mereka tidak kuat, dan mereka tenggelam dalam dunia kebodohan. Kejahatan mengalihkan mereka dari jalan keselamatan di hari akhir nanti. Selain itu mereka juga akan mendapatkan siksa. Kalau begitu, segala akibat yang akan ditanggung oleh manusia adalah hasil perilaku mereka selama hidup di dunia ini." Sehubungan dengan penggolongan ini, Shadr Al-Muta'allihin menyebutkan perkataan lbnu Sina berikut ini: "Kebahagiaan dan keselamatan manusia di alam baka ini terpulang kepada kehidupan mereka di dunia ini. Kalau tadi disebutkan bahwa hanya golongan terkecil manusia yang menikmati keutuhan dan kesempurnaan jasmani secara mutlak di dunia ini, dan hanya golongan terkecil manusia yang menderita selamanya dengan ketidaksempurnaan dan kejelekan anggota tubuh sefta penyakit akutnya, maka segolongan kecil pula mereka yang hidup semacam itu di alam baka. Begitu pula keadaan orang mayoritas." Maka dari itu istilah "orang yang mendapat kemenangan", "orang yang sempurna", "golongan kiri" yang sering digunakan oleh Al-Quran adalah golongan orang yang amat kecil. Kebanyakan manusia adalah termasuk kelas menengah yang oleh Al-Quran disebut dengan "golongan kanan". Kemudian Shadr Al-Muta'allihin mengatakan bahwa manusia kebanyakan termasuk ke dalam golongan kelas menengah dalam hidupnya di dunia dan di akhirat. Filosof Muslim mutakhir, Muharnmad Ridha Qamsyat-e (almarhum), menjelaskan tentang keluasan rahmat Allah SWT dalam empat bait syairnya berikut ini, yang dinilai bertentangan dengan pandangan para filosof kebanyakan, bahkan mungkin juga bertentangan dengan pandangan para ahli 'irfan ('urafa'): Itulab Allah, orang yang (tidak) mendapat rahmat-Nya. akan kembali kepada rahmat-Nya. Manusia datang dari rahmat, dan kepada rahmat mereka kembali. Inilab rahasia cinta yang membingungkan akal -akal. Semua manusia dilahirkan, dalam keadaan suci tauhid. Kemusyrikan adalah penyakit, dan penyakit akan sirna. Dikatakan, akal memberi jalan pada rahasia hakikat. Tapi cinta mengoyak tabir-tabir. Apa gerangan yang diperbuat akal yang menolak keutamaan. Aku tabu satu titik mengandung apa yang telah lalu dan yang akan tiba. Titik itu mengangkat dan menjatuhhan. Tak seorang pun, selain diriku, boleh mengikat. Baik mereka yang menganggapku tersesat atau bodoh.

Bahasan para filosof tersebut hanya bersifat mikro. Mereka tidaklah mempertanyakan basis amal saleh dan basis diterimanya amal tersebut. Mereka hanya mempersoalkan manusia, yang akhirnya berkeyakinan bahwa kebanyakan manusia - dengan perhitungan yang relatif dan agak acak - dikenal kebaikannya dan mati dan dibangkitkan dalam kebaikan. 6

Seakan-akan para f ilosof ingin mengatakan bahwa secara kuantitas, orang mukmin bertambah banyak namun masih minoritas, dan secara kualitas banyak orang yang muslim bi al-fithrah. dan mereka termasuk mayoritas, yang akan dibangkitkan dengan fitrah yang mereka miliki. Paraf ilosof ingin menafsirkan apa yang dikatakan oleh A l-Quran bahwa di antara para nabi ada yang memberikan syafaat untuk orang-orang yang menerima agama mereka secara fithrah. Karena, boleh jadi, orang-orang itu tidak memeluk agama bukan karena penolakan dan pembangkangan. Dosa Kaum Muslim Tema ini merupakan kebalikan dari tema sebelumnya,"P erbuatan Baik Non-Muslim", dan menjadi pelengkap untuknya. Apakah dosa seorang Muslim dengan dosa seorang non-Muslim tidak berbeda dari segi sanksi? Kepentingan tema sebelumnya bersifat ilmiah, sedangkan tema ini bersifat amaliah (praktis). Hal itu disebabkan karena salah satu faktor kemunduran kaum Muslim dan kerusakan masyarakatnya adalah keterpedayaan (ghurur) yang tidak dapat dibenarkan yang menimpa mayoritas kaum Muslim belakangan ini, terutama masyarakat Syi'ah. Apabila kita bertanya kepada mereka," Apakah perbuatan baik seorang non-Syi'ah diterima di sisi Allah?" Maka kebanyakan di antara mereka akan menjawab, "Tidak." Lantas bila mereka ditanya," Bagaimana hukum dosa dan keburukan yang dilakukan oleh orang-orang Syi'ah?" Mereka akan menjawab," semuanya terampuni. "Dari dua asumsi tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang tidak memiliki nilai itu tetap merupakan perbuatan - baik nilai positif maupun nilai negatif. Dan untuk menjamin kebahagiaan seorang manusia dan kedekatannya kepada Allah cukuplah ia menjadi seorang Syi'ah. Mereka yang beranggapan demikian berargumentasi sebagai berikut. 1. Sekiranya kita berasumsi bahwa dosa o ang S yi'ah dan non-Syi'ah itu tidak berbeda dalam perhitungan dan sanksi, maka dengan demikian apakah perbedaannya antara seorang S yi'ah dan non-Syi'ah? 2. Bagaimana kedudukan riwayat masyhur yang mengatakan, "Mencintai Ali adalah kebaikan yang tidak akan ternodai keburukan. Untuk menjawab asumsi yang pertama, saya katakan bahwa perbedaan antara seorang Syi'ah dan yang lainnya terjadi ketika seorang Syi'ah melaksanakan ajaran-ajaran praktis yang diterima dari para pemimpinnya dan seorang non-Syi'ah juga melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ketika itu, seorang Syi'ah akan mendahului yang lainnya, baik di dunia maupun di akhirat. Perbedaan di antara keduanya harus kita bahas dari segi positifnya, bukan dari segi negatifnya. Kita tidak boleh mengatakan, "Perbedaan antara Syi'ah dan yang lainnya pasti akan terjadi ketika masing-masing menempatkan ajaran-ajaran mazhabnya di bawah pendiriannya. Apabila di antara keduanya tidak ada perbedaan, lantas apa perbedaannya antara seorang Syi'ah dengan yang lainnya? Keadaan seperti ini menyerupai dua orang pasien yang berobat ke dua dokter; yang satu berobat ke dokter ahli dan yang satunya lagi ke dokter yang tidak ahli. Tetapi ketika keduanya diberi obat, masing-masing tidak meminumnya, melainkan menyimpannya di balik bantal, sehingga dapat dipastikan keduanya akan tetap pada keadaan semula masing-masing, kalau tidak malah semakin memburuk keadaannya. Kemudian pasien yang pertama bertanya, "Apakah perbedaan antara aku dengan orang sakit yang berobat kepada seorang dokter yang tidak ahli?" Tidaklah dapat dibenarkan apabila kita membedakan antara Ali a.s. dengan yang lainnya, dengan beranggapan bahwa kendatipun kita (Syi'ah) tidak melaksanakan ajaran-ajaran beliau, maka kita tidak akan pernah terlibat suatu keburukan; sedangkan yang lain pasti akan mendapatkan siksa dan bencana, baik mereka mengamalkan nasihat-nasihat para pemimpinnya maupun tidak! Salah seorang sahabat Imam Ja'far Al-shadiq pada suatu hari memberitahu kepada beliau bahwa sebagian dari syi'ah (pengikut)nya telah menyeleweng, menghalalkan yang haram dan memandang agama terbatas hanya pada pengakuan mereka terhadapnya. Sebagian pengikut itu juga mengatakan, "Apabila Imam sudah diakui maka perbuatlah sesukamu." Imam Jafar Al-shadiq kemudian mengatakan: "Inna li Allah wa inna ilaibi raji'un. Mereka adalah orang-orang kafir yang telah menakwil apa-apa yang tidak mereka ketahui takwilnya dengan pikiran dan keinginan mereka. Sebenarnya seseorang itu harus

7

Ber-ma'rifah, selanjutnya setelah itu dia taat, sehingga seluruh perbuatannya diterima, karena Allah tidak akan menerima perbuatan tanpa ma'rifah." Muhammad bin Marid mengatakan: Aku berkata kepada Imam Shadiq a.s., "Sebuah hadis telah diriwayatkan kepada kami bahwa engkau mengatakan, 'sekiranya engkau telah ber-ma'rifah, maka perbuatlah sesukamu.' Kemudian Imam Shadiq a.s. berkata: 'Hal itu telah aku katakan.' Aku mengatakan: 'Kendatipun mereka berzina atau mencuri atau meminum kbamr. ' Imam berkata kepadaku: 'Inna li Allah wa inna ilaihi raji'un. Demi Allah. Mereka menyifati kami dengan melakukan perbuatan, kemudian mereka dibebaskan dari beban pelaksanaannya. Aku hanya mengatakan: Sekiranya engkau telah ber-ma'rifah, maka perbuatlah sesukamu kebaikan, sedikit atau banyak, karena ia diterima dari engkau " Adapun riwayat "mencintai Ali adalah kebaikan yang tidak akan ternodai keburukan" harus kita tafsirkan dengan benar. Salah seorang ulama besar, Al-Wahid Al-Bahbahani telah menafsirkan dengan penafsiran yang khas. Beliau mengatakan, "Makna hadis ini adalah bahwa sekiranya engkau benar-benar mencintai Imam Ali a.s., maka dosa-dosa itu tidak menimpakan suatu penyakit kepada engkau, atau jika engkau jujur dalam mencintai Ali sebagai figur insan kamil sehingga ketaatan, ibadat dan akhlak engkau lakukan dengan ikhlas, tidak disertai dengan riya' dan nifaq, sesuai dengan ajaran-ajaran beliau, maka hal itu akan menjadi pagar antara engkau dengan perbuatan-perbuatan jahat dan dosa, seperti virus yang disuntikkan kepada seseorang untuk mengimunisasinya dari penyakit-penyakit bervirus kebalikannya. Mencintai seorang teladan (qudwah), semisal Ali, yang telah melakukan amal saleh, ketakwaan, dan kasih sayang, akan membuat seseorang mencintai sirah dan thariqah perbuatannya sehingga memusnahkan pikiran untuk berbuat dosa dari akalnya - tentu saja dengan syarat ia bersikap jujur ketika mencintainya. Seseorang yang mengenal Ali, ketakwaannya dan mengenal bagai. mana keasyikkan, kehangaran dan jeritannya (kepada Allah) di penghujung malam, sehingga senantiasa rindu kepadanya, maka mustahil

baginya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan perintahperintahnya. Dan sudah dapat dipastikan bahwa dia akan melakukan apa yang diperintahkan dan diamalkan oleh beliau termasuk dalam bertakwa, beramal saleh dan ber-istiqamah. Setiap pecinta pasti menghormati semua kesukaan kekasihnya dan akan memperhatikan perintah-perintahnya. Ketaatan kepada sang kekasih merupakan konsekuensi cinta yang jujur dan tidak hanya terbatas kepada Ali a.s. saja. Kecintaan kepada Rasulullah saw. pun akan seperti itu. Dengan demikian, makna hadis "mencintai Ali bin Abi Thalib itu merupakan kebaikan yang tidak akan ternodai keburukan" berarti bahwa mencintai Ali akan menghalangi dosa-dosa yang akan menodai kita, karena kecintaan kepadanya akan menghalangi jalan untuk berbuat dosa; artinya mencintai Ali bukanlah sesuatu yang jika dilakukan akan menghindarkan Anda dari kenistaan, kendatipun melakukan dosa - sebagaimana dibayangkan oleh sebagian orang-orang jahil. Sebagian kaum darwisy mengklaim bahwa mereka mencintai Allah, tetapi, pada sisi lain, mereka melakukan tindakan-tindakan yang lebih jelek daripada setiap orang fasik dan penyeleweng. Mereka mengklaim mencintai Allah, tapi itu hanya dusta belaka. Imam Al-Shadiq mengatakan: "Kau maksiati Allah dan kau tampakkan cinta kepada-Nya. Sungguh ini merupakan perilaku yang unik. Kalaulah cintamu jujur, sungguh Ia akan kau taati, karena pecinta akan taat kepada Yang Dicinta.” Dengan demikian, maka para sahabat Amirul Mukminin yang sejati akan selalu menjauhkan diri dari dosa; wilayat-nya akan menjadi pemelihara mereka dari dosa dan tidak akan pernah membuat mereka cenderung untuk melakukannya. Imam Al-Baqir mengatakan: "Tidaklah wilayat kami akan diterima kecuirli dengan amal saleh dan kerendahan hati." Berikut ini kami kutip beberapa riwayat yang menguatkan hal di atas: 1. Thawus Al-Yamani mengatakan: "Aku melihat Imam Ali bin Husain thawaf di sekitar Baytullah; beliau sibuk beribadat sejak lsya' sampai waktu sahur. Ketika di tempat itu mulai sepi dan tidak ada seorangpun di situ, beliau mulai menghadap Allah dengan mengatakan:’Duhai Tuhanku, bintang gemintang telah tiada, begitu juga seluruh mata telah lelap, tetapi pintu-pintuMu tetap terbuka bagi mereka yang meminya’….” Thawus mengutip munajat panjang pertanda ketundukan ini dan beliau berkata bahwa Imam Ali bin Husain berkali-kali air matanya berderai, menangis tersedu-sedu dan terus sujud di atas tanah. Thawus mengatakan: "Aku pun mendekatinya, aku angkat kepalanya dan aku letakkan 8

di pangkuanku. Aku mulai menangis. Air mataku berjatuhan membasahi wajahnya yang mulia sehingga menyadarkan beliau. Berkatalah beliau: ‘Siapakah gerangan yang menggangguku untuk berzikir kepada Tuhanku?' Aku menjawab: 'Aku Thawus, wahai, cucu Rasulullah. Kenapa engkau meronta dan menangis? Bukankah semestinya yang berbuat demikian itu kami yang pedosa dan keras hati. Belum cukupkah ayah engkau Husain bin Ali; ibu engkau Fathimah Al-Zahra, dan kakek engkau, Rasulullah saw. Kenapa engkau begitu berduka dan takut seperti ini, padahal kemuliaanmu tak akan tertandingi oleh kemuliaan yang lain?" Imam Ali Zainal Abidin menoleh kepadanya dan bekata: "Sungguh jauh. Sungguh jauh. Wahai Thawus, jangan kau katakana kepadaku tentang 'ayahku', 'ibuku', dan 'kakekku'. Allah ciptakan surga bagi yang taat dan berbuat baik kepada-Nya sekalipun ia seorang budak hitam; dan Allah ciptakan neraka bagi siapa yang memaksiatiNya, sekalipun ia seorang penghulu Quraisy. Tidakkah engkau dengar firman Allah SWT: Apabila sangkakala telab ditiup, putuslah bubungan keturanan di antara mereka pada bari itu dan mereka tidak akan saling bertanya. Demi Allah! Tidaklah bari esok bermanfaat bagimu, Selain amal saleh yang engkau persembahkan.” 2. Pada suatu hari, setelah Futuh-Makkah, Rasulullah saw. Naik ke bukit Shafa dan berteriak: “Wahai putra-putra Hasyim! Wahai putra-putra Abdul Muththalib!" Ketika mereka sudah berkumpul semua Rasulullah saw. berkutbah : "sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian. Sungguh-aku mencemaskan kalian.J anganlah kalian mengatakan bahwa Muhammad dari kami. Demi Allah, bukanlah waliwaliku itu dari kalian dan selain kalian, kecuali orang-orang yang bertakwa? Dan aku tidak ingin kalian kelak, pada hari kiamat, mendatangi aku dengan membawa dunia di atas pundakpundak kalian, sementara orang lain membawa akhirat. Ketahuilah, bahwa aku telah memaafkan hal-hal yang terjadi di antaraku dengan kalian, dan yang terjadi antara Allah azza wa jalla dengan kalian. Dan sesungguhnya bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian." 3. Sejarah menceritakan bahwa pada hari-hari terakhirnya, Razulullah saw. yang mulia pada suatu malam keluar sendirian menuju kuburan Baqi'. Beliau berdoa untuk penghuni kuburan tersebut kemudian menoleh kepada para sahabatnya seraya berkata, "Sesungguhnya pada setiap tahun, Jibril mengulangi AlQuran kepadaku satu kali, tetapi pada tahun ini mengulanglnya dua kali. Aku mengira bahwa maut sudah mendekatiku. Maka bagi siapa yang aku berjanji kepadanya hendaknya dia membawanya untuk aku penuhi; dan barang siapa telah meminta sesuatu kepadaku, maka hendaknya ia datang untuk aku bayar utangku baginya." Kemudian Rasulullah saw. melanjutkan pembicaraannya dengan mengatakan: "Hai manusia. Sesungguhnya tidak ada nasab di antara Allah dan seseorang dan tidak ada suatu perintah yang mendatangkan kebaikan atau menjauhkan darinya kejahatan selain amal saleh. Ketahuilah, janganlah di antara kalian ada orang yang mengaku-aku dan janganlah ada pengharap yang mengharap-harap. Demi Yang mengutusku dengan benar, tidak ada yang dapat menyelamatkan selain amal saleh dan rahmat; dan sekiranya aku berbuat maksiat, sungguh berate aku telah tersungkur. Ya Allah. Sungguh aku telah menyampaikan." 4. Imam Ali bin Musa A l-Ridha a.s.m empunyai seorang saudara bernama (Zaid) Al-Nar yang perilakunya tidak disenangi oleh beliau. Ketika Imam sedang duduk di atas batu besar (marw), berbincang-bincang di majelisnya, Zaid hadir di situ. Manakala beliau sedang berbincangbincang, beliau menoleh kepada Zaid' yang sedang bercerita kepada sebagian hadirin, berulang kali, dengan membangga-banggakan nasabnya kepada Nabi saw. yang mulia dengan mengatakan", Kami . . .dan kami . . .," maka Imam pun memotong pembicaraannya dan berkata kepada Zaid: “Wahai Zaid. Apakah perkataan penjual makanan Kufah telah memperdaya engkau. Sesungguhnya Fathimah telah menjaga kehormatannya, maka Allah haramkan keturunannya 9

dari neraka. Demi Allah, tidak lain itu hanyalah untuk Hasan dan Husain dan putra keturunannya, yang khusus. Adapun apabila Musa bin Ja'far menaati Allah, berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari, sedangkan engkau berbuat maksiat kepada-Nya, kemudian kalian berdua datang sama-sama pada hari kiamat, apakah dengan begitu engkau lebih mulia darinya di sisi Allah? Bukankah Ali bin Husain berkata bahwa orang-orang yang baik di antara kita, seperti Fulan, akan diberi pahala, dan mereka yang berbuat jelek di antara kita siksanya akan digandakan." Hasan Al-Wasya menoleh kepada Imam, dan Imam Musa berkata kepadanya: “Wahai Hasan. Bagaimana engkau membaca ayat ini, qala ya nuh innahu laisa min ahlika, innahu 'amalun ghairu shalihin. Hasan berkata bahwa di antara sebagian orang ada yang membacanya, "innahu ‘amalun ghairu shalihin" dan di antara mereka ada yang membacanya, "annahu 'amalu ghairi shalihin" sehingga artinya menjadi "dia bukan putramu dan bukan dari nuthfah-mu, sesungguhnya dia anak zina". Imam Musa a.s. lalu berkata: "Tidak. Ia putranya, tetapi ketika dia berbuat maksiat kepada Allah SWT, maka Allah menafikannya dari ayahnya, Begitu juga di antara kita. Siapa yang tidak menaati Allah, maka dia tidak termasuk kami, dan apabila engkau menaati Allah, maka engkau termasuk kami, Ablul-Bayt.” (Dari riwayat ini dapat diketahui bahwa pada saat itu sebagian orang Kufah berpikir dengan cara yang salah ini; dan jumlah mereka tidak banyak. Untuk mendukung angapan mereka, mereka men-tahrif ayat-ayat Al-Quran. Imam menyadari keadaan ini dan menggunakan kesempatan tersebut untuk meluruskan pendapa t mereka serta menje laskan kesalahannya). Syarat-Syarat Kreatif (Takwiniyyah) dan Relatif (I'tibariyyah) Sebagian orang menganalogikan sunnatullah di alam semesta, dan proses penciptaan, balasan, pahala, sanksi, kebahagiaan, penderitaan, dengan hukum-hukum sosial manusia. Padahal kenyataannya sunnatullah itu mengikuti serangkaians yarat-syarat takwiniyyah dan dipandang sebagai bagian darinya. Adapun kondisi-kondisi social tidak lain hanyalah persoalanpersoalan relatif (i'tibariyyah) yang nilainya dibatasi oleh konvensi sosial manusia atasnya. Dengan demikian maka hukum-hukum sosial dapat dipandang mengikuti syarat-syarat relatif dan konvensional. Adapun mengenai persoalan penciptaan, kejadian (kreasi), balasan, pahala, dan sanksi Tuhan tidak mungkin akan mengikuti syarat-syarat tersebut, melainkan akan mengikuti syarat-syarat takwiniyyah. Berikut ini adalah contoh dari masing-masing syarat-syarat takwiniyyah dan i'tibariyyah tersebut. Kita sudah maklum bahwa di dalam sistem sosial, di setiap negara, terdapat perundangundangan dan hukum tertentu. Sebagian perundang- undangan sosial ini menbedakan dua orang yang memiliki hak yang sama dari segi syarat-syarat takwiniyyah talpi keduanya berbeda dari segi syarat-syarat i' tibariyyah . Misalnya, seseorang berkebangsaan negara tertentu dan yang lain berkebangsaan negara lainnya. Maka ketika, misalnya, ada orang-ornag yang mau mempekerjakan seseorang di lran, lantas ada dua orang yang datang kepada mereka; yang satu berkebangsaan lran dan yang lainnya berkebangsaan Afganistan yang dari segi syaratsyarat takwiniyyah kedu-anya tidak berbeda, namun akan dapat diduga bahwa orang lran akan menerima orang lran dan menolak orang Afganistan dengan alasan bahwa dia tidak memiliki kartu penduduk lran. Apabila orang Afganistan tersebut beralasan dengan mengatakan, "Aku dan orang lran yang kalian angkat sebagai pekerja ini tidaklah berbeda dari segi syarat-syarat takwiniyyah; jika dia tidak cacat, maka aku pun tidak cacat; sekiranya dia masih muda, maka aku pun masih muda; apabila dia sebagai seorang spesialis dalam hal anu, maka aku pun spesialis dalarn hal tersebut." Sudah dapat dipastikan bahwa jawabannya adalah karena hukum-hukum administrative tidak membolehkan kami (orang lran) untuk mengangkatmu sebagai pekerja dalam hal ini. Maka dengan satu persoalan relative (i'tibariyyah) ini, posisi orang Afganistan tersebur berubah sehingga ketika itu ia terpaksa harus mendatangi kantor imigrasi untuk mendapatkan surat-surat yang melegalisasinya sebagai penduduk lran.

10

Tentunya pula, surat-surat kependudukan tersebut tidak akan pernah dapat mengubah kepribadian sebenarnya orang tersebut, hanya saja dari segi hukum-hukum sosial dia telah menjadi seseorang yang lain. Sudah jelas bahw.a relativitas hukum-hukum sosial yang tidak mengindahkan persamaan (al-musawat) merupakan dua hal yang kembar dengan hat-hal yang realistis-konvensional. Adapun persoalanpersoalan yang tidak tunduk kepada hukum-hukum sosial, akan tetapi hanya tunduk kepada syaratsyarat takwiniyyah, maka persoalannya , menjadi lain. Misalnya, apabila Iran diserang wabah penyakit semoga Allah tidak menakdirkannya - maka wabah tersebut tidak akan membedakan antarl orang Iran dan lainnya. Apabila orang lran dan orang Afganistan sama dari segi syarat-syarat kondisional, lingkungan dan seluruh persoalan-persoalan alamiah, maka mustahil wabah tersebut akan membedabedakan dan akan memilih-milih, ini orang Afganistan dan ini orang lran, dan aku tidak akan menyerang tubuhnya. Dengan begitu yang berlaku di sini adalah hukum-hukum alarn dan cara penciptaan, bukan konvensi sosial, sehingga yang menjadi perhitungan di sini adalah perhitungan kreatif, bukan perundang-undangan dan tasyri'. Sunnatullah yang memutuskan persoalan balasan, pahala, sanksi, kebahagiaan dan penderitaan pada dasarnya mengikuti syarat-syarat takwiniyyah, sehingga seseorang tidak layak beranggapan bahwa selama namanya tercatat dan terdaftar sebagai Muslim, maka dia pasti memiliki keistimewaan dari masyarakat lainnya. Sekali-kali jangan Anda campur-baurkan persoalannya; yang kami bicarakan adalah mengenai balasan, pahala, sanksi, kebahagiaan, dan penderitaan yang dilakukan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya, bukan persoalan mengenai perundang-undangan yang diletakkan oleh Islam untuk mengatur kehidupan sosial kaum Muslim. Tidak syak lagi bahwa hukum-hukum yang diletakkan oleh Islam serupa dengan hukum-hukum positif lainnya yang dibuat di dunia ini dari segi eksistensinya sebagai serangkaian perundang-undangan relatif, bukan sebagai serangkaian syarat-syarat kreatif. Semua orang tertugasi untuk mengaplikasikannya di dalam kehidupan dunia, tegasnya dengan sifatnya yang relatif itu.

Adapun perbuatan Allah dan kehendak-Nya di datam system kreatif (takwiniy), antaral ain adalah pemberian kebahagiaan dan penderitaan terhadap orang-orang dan pengaturan pahala untuk merek, yang tidak tunduk kepada hukum-hukum sosial. Zat Tuhan tidak melakukannya atas dasar hukum-hukum relatif. Persoalan-persoalan relatif di dalam sistem sosial akan rnempengaruhi balasan, sedangkan kehendak kreatif Allah SWT, mutlak tidak akan mempengaruhinya. Termasuk sejumlah hukum-hukum Islam yang diberlakukan untuk perilaku sosial manusia bahwa siapa yang mengucapkan dua kalimah syahadat maka dia dipandang sebagai Muslim dan dia dapat memanfaatkan keistimewaan-keistimewaan lahiriah Islam. Akan tetapi dari segi hukum-hukum ukhrawi dan perhitungan alam akhirat serta pembalasan-pembalasan Allah, maka undang-undang yang berlaku ialah: Maka siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku(QS 14:36) Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah di antara kalian adalah yang paling bertakwa di antara kalian.( QS4 9:13) Rasulullah saw. bersabda: Hai manusia. Sesunggubnya ayah kalian itu satu. Tuhan kalian itu satu. Setiap kalian itu anak Adam dan Adam berasal dari tanah. Tidaklah seorang Arab boleh membanggakan diri atas orang bukan Arab kecuali dengan takwa. Maksudnya bahwa asal dan nasab semua manusia dari tanah. Dengan begitu orang Arab tidak boleh merasa istimewa dan tidak boleh berbangga-bungga a as orang selain Arab kecuali dengan ketakwaan. Ketika Salman mencari kebenaran dengan pencarian yang ikhlas, maka sampailah ia ke tempat yang tinggi sehingga Nabi yang mulia menyebutnya: "Salman minna ahl al-bayt." (Salman termasuk kami, Ahl Al-Bayt). Atas dasar apa yang telah kami katakan di atas, seringkali ada orang yang berada di bawah pengaruh setan; yang mengkhayalkan diri mereka sekaligus menipunya dengan mengetakan," Sesungguhnya kami adalah para pecinta Ali bin Abi Thatib a.s., maka apa pun yang kami lakukan, kami tetap menjadi syi'ah-nya; bahkan jika kami mendapatkan sebagian harta dengan cara yang tidak benar, maka tidaklah perlu bagi kami mengeluarkan infaq untuk kebaikan ketika 11

kita masih hidup, asal saja saat itu kami mewasiatkan agar harta tersebut dibayarkan kepada para penjaga tempat-tempat suci supaya kami dapat dikubur di dekat para wali Allah sehingga para malaikat tidak berani menyiksa kami." Seharusnya mereka mengetahui bahwa mereka sedang memandang dengan mata yang buta; kelalaian benar-benar telah menutupi pandangan mereka. Mereka baru akan sadar jika telah tenggelam di dalam siksa Allah. Duhai, kalaulah mereka hidup kembali untuk mengganti yang telah mereka lakukan! Namun sungguh tidak mungkin. Kesempatan telah berlalu dan benarlah firman Allah SWT: Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputuskan. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak pula beriman. (QS 19:36) Bukti persoalan ini benar-benar definitif atau pasti (qath'iy), baik menurut Al-Quran maupun Sunnah. Semuanya sepakat bahwa jika manusia berbuat dosa, kendatipun dia seorang Muslim, dia akan mendapatkan siksa Allah. Dan seandainya dia seorang mukmin, maka meskipun pada akhirnya dia akan keluar dari neraka, maka dia pun harus berada di dalamnya sangat lama - penuh siksa dan derita. Sebagian dosa dihapuskan etika menjalani sakaratul-maut dan penderitaan-penderitaannya sebagian lagi dihapuskan karena siksa kubur dan alam Barzakh.; dan sebagian dosa lainnya akan dibayarnya pada hari kiamat yang menakutkan dan pada hari perhitungan (hisab) yang juga penuh dengan penderitaan. Dan sebagian orang terpaksa harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam neraka untuk jangka waktu yang berbeda-beda untuk merasakan pelbagai siksa dan penistaannya. Mengenai penafsiran ayat, "Mereka tinggal di dalamnya berabadabad" (Q S 78:23), dari Imam Shadiq diriwayatkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan orang orang yang akan mendapatkan anugerah dikeluarkan dari neraka jahanam. Berikut ini riwayat-riwayat yang menjelaskan keanekaragaman siksa ketika mati dan sesudahnya - semoga ia dapat menyadarkan, memperingatkan kita dan menjadi persiapan kita dalam menghadapi saat-saat mengerikan yang menanti kita: 1. Syaikh Al-Kulaini r.a. meriwayatkan dari Imam Shadiq bahwa Imam Amirul Mukminin a.s. pernah sakit mata, kemudian Rasulullah saw. menjenguknya. Ketika itu Imam mengerang kesakitan. Selanjutnya Nabi saw. bertanya kepadanya, "Apakah jeritan ini karena putus asa dan sedikitnya kesabaran atau karena sangat sakit?" Imam menjawab, "Ya Rasulullah sesungguhnyaa ku tidak pernah merasakan sakit yang begitu menyiksa seperti yang aku rasakan saat ini." Kemudian Nabi saw. menjelaskan kepada Imam mengenai cara mencabut ruh seorang kafir yang menakutkan. Ketika Imam mendengar penjelasan tersebut, beliau segera duduk seraya berkata, "Wahai Rasulullah. Apakah di antara umatmu ada yang dicabut nyawanya seperti itu?" Nabi menjawab: "Ya, penguasa yang zalim, pemakan harta anak yatim secara aniaya dan saksi dusta dan palsu." 2. Syaikh Shaduq, dalam bukunya, Man La Yabdhuruh Al-Faqih, meriwayatkan bahwa ketika Dzar bin Abi Dzar Al-Ghifari meninggal, Abu Dzar menghampiri kuburan dan mengusapkan tangannya ke atasnya seraya berkata, "Semoga Tuhan memberi rahmat untuk engkau. Aku bersumpah kepada Allah, bahwa sesungguhnya engkau hidup baik bersamaku dan sekarang engkau tinggalkan aku dalam keadaan aku merelakan engkau. Demi Allah, kepergianmu tidak membuat aku duka dan tidak mengurangi sesuatu dariku. Aku tidak berhajat kepada selain Allah. Kalaulah ketakutan akan hari perhitungan tidak menyelimuti aku, sungguh aku berharap dapat bersamamu di tempatmu, tetapi aku ingin mengganti sebagian yang aku tinggalkan untuk aku bawa ke alam itu . . . Kehendakku hanyalah ingin melaksanakan amal-amal yang akan bermanfaat bagimu, dan tidak layak bagiku untuk meratapi engkau. Demi Allah, aku tidak akan menangisimu karena kau berpisah denganku, tetapi aku menangisimu karena memikirkan bagaimana keadaanmu sekarang? Dan apa yang terjadi denganmu? Duhai, kalaulah aku tahu apa yang engkau jawab dan apa yang ditanyakan kepada engkau? Wahai Tuhanku, sesungguhnya hak-hak yang Kau wajibkan kepadaku atas pundak anakku ini telah aku lakukan. Maka sekarang Engkaulah yang akan mempertanyakan hak-hak-Mu yang Kau wajibkan kepadanya, karena Kau lebih berhak dariku dalam berbuat baik dan mulia kepadanya." 3. Imam Shadiq a.s. meriwayatkan dari para ayahnya yang mulia bahwasanya Rasulullah saw. pada suatu hari bersabda: "Bagi seorang mukmin, siksa kubur itu merupakan penghapus (kafarah) atas Kesalahannya yang dilakukan ketika hidup. "

12

4. Ali bin Ibrahim meriwayatkan dari Imam Ja'far Al-Shadiq a.s., bahwasanya beliau memberi keterangan setelah membaca ayat, Dan dari belakang mereka ada (alam) barzakh sampai bari dibangkitkan, dengan mengatakan: "Demi Allah. Tidak ada yang aku takutkan atas kalian selain alam barzakh. Sekiranya persoalannya diizinkan kepada kami, maka kami lebih berhak atas kalian." Maksudnya bahwa syafaat itu tidak akan diberikan di alam barzakh, akan tetapi diberikan setelah itu. Secara umum, sanksi akan diterapkan terhadap dosa-dosa seperti berdusta, membicarakan orang (ghibah), menuduh orang, berkhianat, berbuat aniaya, memakan harta orang lain, minum khamr, berjudi, berkata kotor dan keji, meninggalkan shalat, puasa, ibadat haji, dan sebagainya. Semuanya telah dijelaskan di dalam Al-Quran dan riwayat-riwayat yang mutawatir yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Dan hal semacam itu tidak hanya dikhususkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang non-Syi'ah

saja. Di dalam kisah-kisah mi'raj, juga banyak kita jumpai Rasulullah saw. mengatakan: "Aku telah melihat berbagai macarn umatku, baik laki-laki maupun perempuan, dengan keanekaragaman siksa (yang ditimpakan kepada mereka). Hal itu disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka lakukan." Ringkasan dan Kesimpulan Dari apa yang telah kami jelaskan di dalam tema ini, yaitu sekitar perbuatan baik dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh kaum Muslim dan non-Muslim, dapat kami simpulkan sebagai berikut, 1. Setiap k ebahagiaan dan penderitaan memiliki tingkatan dan derajat sendiri-sendiri. Mereka yang berbahagia tidak berada pada satu tingkatan yang sama, begitu juga mereka yang menderita. Perbedaan derajat terjadi di kalangan penghuni surga, begitu juga di kalangan penghuni neraka. 2. Setiap penghuni surga tidak memasuki surga sejak awal. Begitu juga penghuni neraka tidak abadi di dalamnya. Kebanyakan penghuni surga itu tidak masuk surga kecuali setelah mereka mengalami masa-masa penderitaan di alam barzakh atau di akhirat. Setiap Muslim dan setiap orang Syi'ah harus menyadari bahwa sekalipun kita berasumsi bahwa dia itu beriman dengan baik, tetapi kemudian dia melakukan kefasikan, kejahatan, kezaliman dan khianat, na'udzu billah min dzalik, maka pasti ia akan melewati jalan yang susah penuh derita, bahkan mungkin saja.ada dosa yang lebih berbahaya dari pada itu semua sehingga akan menyebabkannya abadi di dalam neraka. 3. Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik yang ditujukan kepada Allah, niscaya ia tidak akan sampai kepadaNya dan tidak akan menembus alam akhirat dan selanjutnya mereka sendiri tidak akan sampai kepada Allah dan tidak akan masuk surga. Dengan kata lain, kami katakan, "Ketika mereka tidak berjalan pada jalan itu, maka mereka tidak akan sarnpai ke tujuannya, sebabnya tidak lain hanyalah karena mereka tidak berjalan ke tujuan tersebut." 4. Adapun orangorang yang beriman kepada Allah, hari akhir dan melakukan perbuatanperbuatan yang ditujukan sebagai usaha mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dan dilakukan dengan niat yang ikhlas, maka perbuatan-perbuatan tersebut akan diterima oleh Allah sehingga mereka berhak atas pahala dan surga, baik mereka itu sebaga Muslim atau bukan. 5. Barangsiapa, di antara orang-orang non-Muslim, beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian beramal saleh dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan masalahnya hanya tidak beragama Islam, sehingga tidak mengetahui cara hidup yang sesuai dengan ajaran Allah, maka kalau di antara perbuatan-perbuatan salehnya ada yang sesuai dengan garis-garis ajaran Tuhan-Islam (Al-Manhaj A-Ilahiy AI-Islamiy), tentunya perbuatan-perbuatan tersebut akan diterima. Contoh, perbuatan-perbuatan tersebut ialah berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah dan berkhidmat kepada mereka. Adapun mengenai ibadat-ibadat yang dibuat sendiri oleh mereka yang tidak berdasar kepada agama llahi, maka ia tidak akan diterima karena hal tersebut dilakukan dengan dasar ketidaktahuannya tentang garis-garis ajaran Allah yang sempurna (Al-Manhaj Al-Ilahiy Al-Mutakamil).

13

6. Setiap perbuatan baik itu akan diterima, baik dilakukan oleh seorang Muslim atau bukan. Perbuatanperbuatan tersebut kelak akan diperlihatkan, dan mungkin saja ada serangkaian cacat yang merusaknya. Di antara yang paling membuat perbuatan-perbuatan tersebut cacat adalah mengingkari dan menentang kebenaran (al-juhud wa al-'inad), menolak perubahan dan ta'ashshub. Atas dasar ini pula, apabila orangorang non-Muslim itu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan banyak perbuatan saleh karena Allah, tetapi ketika kepada rnereka ditunjukkan kebenaran-kebenaran Islam mereka ta'ashshub, menolak dan memalingkan wajah mereka dari kebenaran dan kesucian tersebut, maka perbuatan-perbuatan baik tadi semuanya akan musnah sia-sia laksana "debu-debu yang beterbangan ditiup angin pada hari bertiupnya angin kencang". 7. Sekiranya orang-orang Islarn dan seluruh pengikut tauhid melakukan kejahatan, kefasikan, dan mengkhianati garis-garis ajaran Allah yang praktis, maka mereka berhak untuk mendapatkan siksa yang lama di alam barzakh dm pada hari kiamat. Terkadang mereka dapat saja abadi di dalam neraka, karena sebagian dosa tertentu. Misalnya, membunuh dengan sengaja seorang Mukmin yang tidak halal untuk dibunuh. 8. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, bahkan mereka menyekutukan Allah, maka perbuatan-perbuatan baik tersebut hanya berguna untuk meringankan siksa mereka, atau terkadang akan mengangkat siksa tersebut dari pundakpundak mereka. 9. Kebahagiaan dan penderitaan itu keduanya tunduk kepada syarat-syaxat realistis-kreatif, tidak tunduk kepada syarat-syarat relatif. 10. Ayat-ayat dan riwayat-riwayat menunjukkan bahwa Allah SWT tidak hanya melihat kebaikan praktis perbuatan-perbuatan tersebut. Dalam perspektif Islam, suatu perbuatan itu tidak dikatakan baik dan saleh apabila perbuatan tersebut tidak memiliki dua sisi kebaikan sekaligus: kebaikan perbuatan dan kebaikan pelakunya. 11. Ayat-ayat dan riwayat-riwayat menunjukkan bahwa pendapat yang menyatakan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh mereka yang menolak kenabian (nubuwwah) atau imamah itu tidak diterima dengan alasan pengingkaran mereka, hanya didasarkan atas penolakan dan ta'ashhsub. Adapun

pengingkaranya hanya tidak mengakui saja dan yang bersumber dari qushur (penolakan yang tidak disengaja), bukan dari taqshir( penolakan yang disengaja), maka hal tersebu tidak tercakup oleh ayat-ayat dan riwayat-riwayat tersebut di atas. Mereka yang menolak seperti itu oleh Al-Quran dinamakan mus' tadh’afin atau al-murjawna li 'amr Allah (orang-orang yang ke putusan atasnya ditangguhkan Allah). 12. Para filosof Islam seperti Ibnu Sina dan Shadr Al-Muta'allihin berpendapat bahwa mayoritas manusia yang tidak mau mengakui kebenaran itu adalah mereka yang tidak menolak dengan sengaja (qashirun), bukan mereka yang menolak dengan sengaja( muqashshiinrun). Kalaulah itu karena mereka belum mengenal Allah, maka mereka tidak akan disiksa, sekalipun mereka tidak akan merasakan nikmatnyansurga. Sedangkan apabila mereka sudah mengenal Allah, meyakini adanya hari akhirat (ma'ad), lantas melakukan perbuatan-perbuatannya dengan ikhlas dan karena Allah, maka mereka akan menerima pahala dan balasan dari Allah SWT. Adapun sisanya, yaitu orang-orang yang menolak kebenaran dengan sengaja (muqashshirun), bukan orang-orang yang menolak dengan tidak sengaja (qashirun), maka mereka akan digiring ke neraka dan disana mereka akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Ya Allah. Akhirilah kami dengan kebaikan dan kebahagiaan. Matikanlah kami dalam keadaan Islam dan jumpakanlah kami dengan orang-orang yang saleh, dengan Muhammad dan keluarganya yang suci. (Selesai, Alhamdulillah).

14

Related Documents


More Documents from "Awan Kuswara"