Perawatan Primer Pada Pasien Asma Pada Telinga.docx

  • Uploaded by: anisa
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perawatan Primer Pada Pasien Asma Pada Telinga.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,884
  • Pages: 14
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA JOURNAL READING

Asthma in ear, nose, and throat primary care patients with chronic rhinosinusitis with nasal polyps

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Kesehatan Telingan Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Diajukan Kepada: Pembimbing : dr M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si Disusun Oleh : Anisa Faqih (1710221041)

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa Periode 24 Desember-26 Januari 2019

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKOAN

Journal Reading

Asthma in ear, nose, and throat primary care patients with chronic rhinosinusitis with nasal polyps Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh : Anisa Faqih (1710221041)

Telah Disetujui oleh Pembimbing Nama Pembimbing

dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si

Tanda Tangan

....................... ….

Tanggal

.........................

Kata Pengantar Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Asthma in ear, nose, and throat primary care patients with chronic rhinosinusitis with nasal polyps. Penulisan journal reading ini merupakan salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorokan Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. M. Setiadi, Sp.THT-KL, M.Si selaku dokter pembimbing dan teman–teman coass yang membantu dalam pembuatan journal reading ini. Penulis menyadari dalam penyusunan journal reading ini masih banyak kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga journal reading ini dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dalam ilmu kedokteran.

Ambarawa, 10 Januari 2019

Penulis

ASMA PADA PASIEN PELAYANAN PRIMER THT DENGAN RHINOSINUSITIS KRONIK DAN POLIP NASAL

ABSTRAK Latar belakang : rinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah gangguan imflamasi tersering terkait asma. Hubungan ini dijelaskan dengan baik pada pasien CRSwNP yang menjalani operasi sinus endoskopi (ESS); meskipun begitu, beberapa pasien tidak pernah dirujuk untuk dilakukan pembedahan, dan frekuensi asma pada kelompok pasien ini sebagian besarnya tidak diketahui. Objektif : untuk menentukan frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP yang diobati di pelayanan primer (PC/primary care) yang juga tidak pernah dirujuk untuk dilakukan operasi serta membandingkannya pada pasien sudah yang menjalani ESS. Metode : sebanyak 57 pasien dengan CRSwNP yang menjalani operasi ESS secara prospektif direkrut dari 9 klinik PC THT di daerah copenhagen. CRSwNP didiagnosis berdasarkan Europian position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polyps; tingkat keparahannya dinilai menggunakan skala VAS. Alergi, fungsi paru, dan uji asma (reversibilitas terhadap agonis beta 2, variabilitas aliran ekspirasi puncak /peak expiratory flow, dan tantangan manitol) yang juga turut dilakukan. Temuan kemudian dibandingkan dengan data pasien CRSwNP sebelumnya yang mana pasien tersebut kemudian dirujuk untuk operasi. Hasil : asma didiagnosis pada 25 pasien (44%) berdasakan gejala respirasi dan uji asma yang positif. Dari semua ini, 12 (48%) tidak didiagnosis asma sebelum penelitian ini dilaksanakan. Selain itu, ketika kami menggunakan metode yang sama, kami menemukan rendahnya frekuensi asma pada pasien di PC dibandingkan dengan pasien yang menjalani ESS (44% vs 65%, P=0,04) Kesimpulan : prevalensi yang tinggi dari asma pada pasien di PC dengan CRSwNP telah ditemukan. Yang lebih sering, asma tersebut malah tidak terdiagnosis sebelumnya. meskipun begitu, jumlah asma tetap lebih sedikit pada pasien PC dibandingkan dengan pasien yang dirujuk untuk dilakukan operasi ESS. Frekuensi kekerapan asma, misalnya, penyakit saluran nafas yang kompleks

(united airway disease), pada pasien PC dengan penanganan yang memerlukan diskusi antara dokter spesialis THT dan dokter spesialis ASMA.

PENDAHULUAN Rhinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP) adalah penyakit kronik tersering

pada

kalangan

orang

dewasa,

dengan

frekuensi

2-4%.

Didefinisikan sebagai penyakit imflamasi dari mukosa nasal dan sinus yang sebabkan berbagai derajat obstruksi nasalis, sekresi, hilangnya fungsi penciuman dan sakit kepala selama lebih dari 12 minggu. Telah diterima secara umum bahwa gangguan saluran nafas atas dan bawah sering kali terjadi secara bersamaan baik pada gangguan saluran nafas alergi dan non alergi, sebuah konsep yang dikenal sebagai “the united airway”. Hasil dari berbagai penelitian ini menunjukkan tingginya prevalensi asma (20-90%) pada pasien dengan CRSwNP. Meskipun begitu, kebanyakan penelitian saat ini diambil dari pelayanan kesehatan sekunder, misalnya rumah sakit, dan utamanya terdiri dari pasien yang dirujuk untuk dilakukan ESS (endoscopic sinus surgery). Selain itu, hanya sebagian kecil penelitian saja yang menggunakan evaluasi asma secara komprehensif dan terstandarisasi sesuai dengan kriteria internasional, beberapa studi lain hanya memasukkan kelompok pasien terpilih (misalnya dari klinik alergi), sedangkan penelitian lain tidak membedakan antara CRSwNP dengan rinosinusitis kronik tanpa polip nasal. Akibatnya, prevalensi asma pada pasien dengan CRSwNP yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS sebagian besar masih belum diketahui. Prevalensi asma di Denmark adalah sekitar 7-10% pada populasi umum, hasil yang cenderung sama dengan negara industrial lainnya. Kami baru baru ini meneliti pasien di pusat pelayanan kesehatan sekunder (SC) dengan CRSwNP yang dirujuk untuk dilakukan ESS dan melaporkan tingginya prevalensi asma (65%) pada kelompok pasien ini. Meskipun begitu, hubungan antara keparahan penyakit nasal dengan prevalensi asma tampak disini. Oleh karena itu, tingginya frekuensi asma dapat dihipotesiskan/diperkirakan pada pasien di tingkat pelayanan sekunder/SC, dan hal ini dapat sebabkan bias seleksi pada sebagian besar penelitian sebelumnya

yang fokus pada frekuensi asma pada pasien yang alami CRSwNP, termasuk pada penelitian kami sebelumnya. Di Denmark sendiri, sebagian besar pasien dengan CRSwNP ditatalaksana di klinik THT PC dan ditangani oleh spesialis THT. Terdapat sekitar 150 klinik THT di denmark, yang populasinya mencapai 5.6 juta. Berbagai klinik ini melayani sama seperti klinik PC dan memberikan akses yang bebas dan langsung; meskipun begitu, tindakan ESS dimana pasien diberikan anestesi umum tidak secara normal ditrawarkan ke pasien. Sebagai gantinya, pasien CRSwNP yang tidak patuh terapi akan dirujuk untuk dilakukan ESS di unit pelayanan kesehatan sekunder di bidang THT. Pada penelitian ini, kami memeriksa Pasien dari sektor PC yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS dan membandingkan hasil datanya dengan data yang kami terbitkan sebelumnya pada pasien SC dari area geografi yang sama, menggunakan kriteria dan metode yang sama. Berdasarkan pengetahuan kami, studi ini adalah yang pertama menggunakan evaluasi klinik standar untuk menilai hubungan antara gangguan pernafasan atas dan bawah (united airway) pada pasien dengan CRSwNP di PC yang tidak pernah dirujuk untuk tindakan ESS.

METODE Penelitian ini berjenis prospektif observasional. Kualifikasi pasien direkrut secara berurutan dari sembilan pusat klinik THT PC di wilayah ibukota Denmark mulai dari desember 2013 hingga desember 2014. Semua peserta yang tinggal di area kopenhagen dan diobati dengan steroid nasal topikal berdasarkan Europian position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polyps. Pasien ditawari untuk ikut serta dalam penelitian ini berdasarkan riwayat klinis dan objektif yang ditemukan pada pasien. Sebelum inklusi, endoskopi nasal dilakukan oleh spesialis THT. Kriteria inklusi pada pasien antara lain : -

Usia 18-80 tahun

-

Yang memenuhi kriteria Europian position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polyps

Kriteria eklusinya antara lain :

-

Sebelumnya pernah menjalani ESS atau sudah direncanakan untuk menjalani ESS

-

Imunodefisiensi

-

Fibrosis kistik atau diskinesia siliaris primer

-

Kebutuhan akan penerjemah linguistik

-

Penggunaan steroid sistemik dalam kurun waktu 3 bulan sebelumnya

-

Infeksi saluran nafas atas dalam kurun waktu 2 bulan sebelumnya

-

Bukan keturunan kulit putih

-

Hamil

-

Sedang dirawat

Asma dan uji alergi dilakukan selama dua kunjungan. Skin prick test, spirometri, dan uji reversibilitas agonis beta dua dilakukan saat kunjungan pertama kali. Dan saat kunjungan kedua, 2 minggu setelahnya, uji tantangan manitol dilakukan serta dilakukan juga pemeriksaan peak expiratory flow. Studi ini dilakukan dan sudah sesuai deklarasi helsinski, telah disetujui oleh komite etik dari wilayah ibukota kopenhagen.

DIAGNOSIS ASMA Pemeriksaan fungsi paru dilakukan Departemen penelitian kedokteran penafasan, rumah sakit univeristas Bispebjerg, Copenhagen, oleh penulis pertama (M.F). penyakit paru paru didiagnosis oleh dokter spesialis paru senior (V.B) dengan pengalaman yang sudah luas mengenai diagnosis asma secara klinis dan PPOK. Setelah dilakukan pemeriksaan, peserta penelitian diberikan kuisioner. Asma didiagnosis berdasarkan Global Initiative for Asthma Guideline apabila ditemukan adanya gejala pada saluran pernafasan dengan pemeriksan asma positif, misalnya, reversibilitas terhadap agonis beta 2, variasi hari ke hari dari aliran ekspirasi puncak (PEF/peak expiratory flow), atau hiperesponsifitas terhadap manitol yang diinhalasi.

KUISIONER Peserta menyelesaikan kuisioner berdasarkan riwayat medis, kesehatan secara umum, gejala nasal dan pulmo, tinggi badan, berat badan, sensitifitas terhadap

NSAID, dan penggunaan obat obatan. Gejala nasal dievaluasi menggunakan skala visual analog (VAS).

PENILAIAN OBJEKTIF TERHADAP ASMA DAN ALERGI Pasien diintruksikan untuk tidak menggunakan agonis beta dua atau antihistamin pada hari pemeriksaan, penggunaan kortikosteroid inhalasi tetap diizinkan. Peak Flow dan Spirometri. Fungsi paru dinilai menggunakan spirometri sebelum dan sesudah inhalasi 4 hisapan 0.5 mg terbutalin sulfate. Uji reversibilitas yang positif didefinisikan sebagai 200 ml dan >12% peningkatan forced expiratory volume/volume ekspirai paksa dalam 1 detik (FEV1) setelah penggunaan beta agonis. Peak expiratory flow/aliran ekspirasi puncak/ dinilai di rumah menggunakan peak flow meter mekanik dua kali sehari selama 14 hari berturut turut. Variasi Secara signifikan dari hari ke hari didefinisikan setidaknya 100 L/menit. Tantangan bronkial. Uji tantangan bronkial dengan mannitol bubuk kering dilakukan. FEV1 dinilai 60 detik setelah masing masing dosis; penurunan pada FEV1 setidaknya 15% setelah inhalasi manitol sebanyak 635 mg atau kurang dianggap sebagai respon tantangan yang positif. Alergi : tes skin-prick dilakukan dengan memaparkan sebanyak 10 macam alergen yang dianggap sebagai kontrol positif dan negatif berdasarkan rekomendasi internasional. Allergen tersebut terdiri dari : pollen, rumput, mugwort,

kuda,

kucing,

anjing,

dermatophagoides

pteronyssinus

dan

dermatophagoides farinae, alternaria, dan cladosporium herbarum. Semua ujia skin prick dilakukan dan interpretasikan oleh penulis pertama (M.F). diameter bengkak/kemerahan yang terjadi apabila >3 mm dianggap positif. Atopi didefinisikan sebagai uji skin prick positif terhadap 10 alergen dengan uji kulit positif terhadap histamin. Diagnosis penyakit saluran nafas akibat aspirin didasarkan pada riwayat gejala dari hidung, paru, atau kulit ketika terpapar obat NSAID.

STATISTIK

Paket statistik (IBM, Chicago, IL) digunakan. Untuk variabel kategori, kami menggunakan uji Pearson X2 atau uji Fisher, tergantung pada jumlah sel minimum dalam tabel kontingensi. Kami menggunakan uji-t Student untuk data berdistribusi normal, uji Mann Whitney U untuk data nonparametrik, dan uji Shapiro-Wilk untuk menilai distribusi data secara normal. Data yang hilang pada paket-tahun (n=3), tes reversibilitas (n=3), VAS (n=9), dan variasi aliran ekspirasi puncak (n=9). Nilai p 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL Lima puluh tujuh pasien turut berpartisipasi; 25 (44%)nya menderita asma dan 4 (7%) menderita PPOK. Karakteristik kelompok dan parameter fungsi paru-paru untuk pasien PC disajikan pada Tabel 1. Dalam Tabel 2 dan 3, karakteristik kelompok dan prevalensi penyakit saluran nafas bagian bawah dibandingkan dengan data yang diterbitkan sebelumnya dari pasien di kelompok SC. Tabel 1. Rata rata kelompok pasien PC

PENYAKIT SALURAN NAFAS BAWAH Dua puluh sembilan pasien PC melaporkan adanya asma atau memiliki gejala yang menunjukkan asma. Asma dikonfirmasi pada 25 dari keseluruhan peserta penelitian (44% dari pasien yang dimasukkan pada penelitian), dan 12 dari keseluruhan peserta (48%) memiliki asma yang tidak terdiagnosis sebelum penelitian (Tabel 2). Terlepas dari variasi aliran puncak dan prevalensi hiperresponsif terhadap manitol, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam

fungsi paru-paru antara pasien dengan asma dan pasien tanpa asma (Tabel 1). PPOK didiagnosis pada empat pasien (7%), sedangkan penyakit pernapasan yang dieksaserbasi aspirin (yaitu, Samter triad) ditemukan pada tiga peserta penelitian (5%). Dibandingkan dengan laporan data sebelumnya pada pasien SC, tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan pada usia, jenis kelamin, PPOK, atopi (tabel 2), atau frekuensi asma yang dilaporkan sendiri. Prevalensi penyakit saluran nafas bawah pada kelompok PC adalah 51% dan secara signifikan lebih rendah dari pada kelompok SC (73%, P=0,03) tabel 3. Juga asma ditemukan dengan prevalensi yang secara signifikan lebih rendah pada kelompok PC (44% vs 65%, P=0,04) tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik kelompok. Pasien di PC dan pasien di SC

Tabel 3. Penyakit saluran nafas bawah pada pasien CRSwNP di kelompok PC dan SC

ATOPI Atopi ditemukan pada 18 pasien PC (32%) dan tidak berhubungan secara signifikan dengan asma yang terjadi secara bersamaan (P=0,15) begitu juga dengan sensititasi terhadap alergen spesifik. Dibandingkan dengan pasien PC, tidak ada perbedaan yang signifikan pada prevalensi atopi (P=0.56) tabel 2.

VAS Skoring VAS rata ratanya adalah 4.9 pada kelompok PC dan secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kelompok SC (7.6, P<0,01). Skoring VAS tidak berkaitan degnan asma yang ada pada kelompok PC (P=0,17) begitu juga ketika mengumpulkan pasien baik pada kelompok PC dan SC (p=0,28).

BMI DAN OBESITAS BMI (berat badan (kg)/tinggi badan2(m)) tidak berhubungan dengan asma pada kelompok PC (P=0,40) tabel 1 begitu juga tidak ada perbedaan pada BMI dan obesitas (didefinisikan sebagai BMI ≥30) antara pasien PC dan pasien SC (P=0.91; tabel 2, P=1.0). obesitas ditemukan pada 10% pasien PC dan tidak berhubungan secara signifikan terhadap asma (P=0,29).

DISKUSI Penelitian ini, berdasarkan pengetahuan kami, adalah penelitian pertama mengenai frekuensi asma pada pasien dengan CRSwNP di PC menggunakan kriteria objektif baik terhadap penyakit saluran nafas atas dan bawah serta evaluasi asma oleh dokter spesialis paru. Pertama, kami menemukan sekitar 44% pasien PC memiliki asma dan hampir setengahnya tidak terdiagnosis, yang mengidikasikan bahwa asma sering kali diabaikan. Kedua, asma secara signifikan lebih sedikit jumlahnya di PC dibandingkan dengan pasien SC, yang mengidikasikan bahwa mereka dengan penyakit saluran nafas atas yang lebih berat akan juga lebih sering alami gangguan saluran pernafasan bagian bawah. Meskipun begitu, gejala nasal (misalnya, skoring VAS) tidak

secara signifikan berhubungan dengan asma pada pasien PC. Hasil penelitan kami menunjukkan bahwa, meskipun pasien PC tidak pernah dirujuk untuk ESS, asma sering terjadi pada kelompok pasien ini, dan kebutuhan akan ESS mungkin dapat dijadikan prediktor untuk asma. Selain itu, asma yang dilaporkan sendiri tidak reliabel ketika menilai penyakit saluran nafas pada pasien dengan CRSwNP karena asma sendiri sering kali tidak terdiagnosis. Kebanyakan penelitian pada area ini hanya memasukkan pasien di kelompok SC yang dirujuk untuk ESS. Akibatnya, sedikit sekali informasi yang diketahui mengenai prevalensi asma pada kelompok besar pasien dengan CRSwNP di kelompok PC yang tidak pernah menjalani ESS. Beberapa penelitian menginvestigasi frekuensi asma pada pasien diluar rumah sakit. Pada studi di skotlandia oleh williamson dan rekan, yang diambil dari klinik rinologi dan membandingkan 57 pasien non perokok, menemukan jumlah asma sebesar 39% dari seluruh pasien ini, yang senada dengan penelitian kami. Meskipun begitu, tidak ada kriteria standar asma yang digunakan. Selain itu, 27% pasien yang turut serta dalam peneltiian sudah pernah menjalani ESS sebelumnya. Studi berdasarkan kuisioner oleh johansson dan rekan memeriksa frekuensi gejala asma yang dilaporkan sendiri pada pasien dengan CRSwNP yang direkrut baik dari luar rumah sakit (32%, n-38) atau pada unit SC (36%, n=44); tidak ada perbedaan signifikan yang dilaporkan. Berlawanan dengan hal ini, kami menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada prevalensi asma antara kelompok SC dan kelompok PC. Dibandingkan degnan penelitian yang dilakukan oleh Williamson dan rekan serta Johansson dan rekan, kami menemukan lebih banyaknya prevalensi asma pada kelompok pasien PC. Meskipun begitu, perbedaan metodologi pada berbagai penelitian atau studi asma lainnya pada pasien dengan CRSwNP adalah subtansial; pada penelitian di masa yang akan datang, kriteria internasional terstandar untuk asma sebaiknya digunakan. Temuan kami mengindikasikan bahwa, baik pada unit SC maupun PC, imflamasi saluran nafas bagian bawah lebih sering terjadi pada pasien dengan CRSwNP dari pada populasi yang melatarbelakanginya. disamping frekuensi kekerapan asma bersamaan dengan CRSwNP, baik europian

position paper on chronic rhinosinusitis and nasal polups, maupun american academy of otolaryngology-head and neck surgery tidak ada yang mengembangkan dan memberikan pedoman tentang terapi khusus untuk pasien yang mengalami asma bersamaan dengan CRSwNP. Berbagai hipotesis terkait patofisiologi yang menghubungkan antara imflamasi saluran nafas bawah dan atas telah diajukan selama ini. Studi terbaru dari kelompok penelitian kami menemukan bahwa kadar imflamasi pada polip nasal lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada bronkus beberapa pasien. Temuan temuan ini mengindikasikan bahwa polip nasal dapat sebabkan imflamasi pada saluran nafas dari pada fenomena sekunder yang kerap kali terjadi pada pasien CRSwNP. Bila iya, hal ini mungkin menjelaskan mengapa Pasien di kelompok SC, yang dimana pada penelitian ini, menunjukkan lebih tingginya gejala nasal, yang mengidikasikan lebih beratnya imflamasi yang terjadi pada saluran nafas atas, juga lebih tingginya imflamasi pada saluran nafas bawah, yakni asma secara bersamaan. Hasil kami penting karena berbagai alasan, tingginya asma yang tidak didiagnosis pada kelompok pasien PC dapat dijadikan dorongan untuk segera mengadakan kolaborasi dalam hal tatalaksana pasien antara ahli THT dengan dokter spesialis paru, karena asma yang tidak terdiagnosis dapat menurunkan kualitas hidup pasien pasien ini. Selain itu, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa pasien dengan rinosinusitis kronik bersamaan dengan asma akan lebih sering mengalami keterlambatan intervensi khususnya operasi, yang mungkin dapat memperburuk outcome klinis jangka panjang. Oleh karena itu, diagnosis multidisiplin terbaru dan terapi saluran nafas secara keseluruhan sangatlah dibutuhkan. Selain itu, studi di masa yang akan datang harus mempertimbangkan perbedaan penyakit saluran nafas bawah antara pasien PC dan pasien SC karena hasil dari satu sektor mungkin memiliki validitas yang terbatas pada sektor yang lain. Penelitin kami terbatas pada jumlah peserta dan penelitiannya. Sejumlah besar pasien dan objektifitas data mengenai gangguan pada keparahan gejala nasal

(skoring endoskopi) dapat menjelaskan perbedaan potensial didalam dan antar kelompok penelitian. Juga, bias seleksi mungkin dapat mempengaruhi hasil studi kami: pasien dengan CRSwNP dan dengan gejala asma mungkin akan lebih turut berpartisipasi pada penelitian, yang akan seolah melebihkan jumlah/frekuensi asma yang tercatat. Barlawanan dengan hal ini, pasien yang baru saja menjalani evaluasi asma mungkin kurang tertarik untuk berpartisipasi, yang menyebabkan efek sebaliknya. Juga, kelompok kontrol akan lebih memvalidasi temuan kami.

KESIMPULAN Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa asma adalah penyakit yang sering terjadi dan sering tidak terdiagnosis pada pasien CRSwNP, disamping sektor pelayanan kesehatan; meskipun begitu, asma lebih sering terjadi pada pasien yang dipilih dan dirujuk untuk ESS dibandingkan dengan pasien pada kelompok PC.

Related Documents


More Documents from "Sul"