Peninggalan Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai mempunyai kehidupan politik secara turun temurun, dalam arti kepemimpinan akan selalu diteruskan oleh anak, cucu sampai cicit dan sistem pemerintahan tersebut sudah berjalan sejak Kerajaan Kutai dipimpin oleh Aswawarman. Akan tetapi, pemerintahan masih di kuasi oleh orang Hindu yang berasal dari India sehingga sistem berjalan dengan sistematis dan teratur. Sementara untuk wilayah kekuasan Kerajaan Kutai mempunyai wilayah yang sangat luas yang mencakup 3 Kabupaten yakni Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Kutai Timur yang semuanya masih masuk dalam Provinsi Kalimantan Timur.
Sementara kehidupan budaya dari Kerajaan Kutai merupakan kebudayaan Hindu yang bisa dilihat dari penemuan Kalung Siwa di sekitar Danu Lipan kawasan Kaman. Selain itu, pada penelitian yang dilakukan tahun 2001 yang lalu ditemukan beberapa lukisan di dinding goa kawasan Gunung Marang yang ada di 400 km sebelah Utara Kota Balikpapan. Selain itu, ditemukan juga artefak seperti reruntuhan Candi berupa gerabah, peripih, manik manik, keramik, patung perunggu dan beberapa artefak lainnya.
Untuk kehidupan sosial, masyarakat serta keagamaan Kerajaan Kutai memakai bahasa Sansekerta yang dipakai juga menjadi bahasa resmi untuk masalah agama. Sedangkan untuk mata pencaharian masyarakat Kerajaan Kutai adalah ternak sapi dan juga beberapa pekerjaan lain seperti bercocok tanam serta berdagang. Karen berada di tepi sungai Mahakam, maka tanah Kerajaan Mataram menjadi subur dan cocok digunakan untuk bercocok tanam. Masyarakat juga kemudian mulai bekerja sebagai pedagang dna sudah menjalin hubungan dagang baik dengan beberapa negara seperti India serta China yang berlayar melewati Selat Malaka. Pada saat melakukan pelayaran, para pedagang dari banyak negara akan singgah
lebih dulu di daerah Kutai lalu melakukan transaksi jual beli barang sekaligus menyiapkan bekal untuk perjalanan jauh dan inilah yang membuat Kerajaan Kutai bisa hidup dengan sangat makmur, sejahtera dan damai.
Sedangkan raja terakhir dari Kerajaan Kutai yang menyebabkan Kerajaan Hindu ini runtuh adalah pada masa pemerintahan Maharaja Dharma Setia yang tewas terbunuh oleh Raja Kerajaan Kutai Kartaneagara ke-13 yakni Aji Pangeran Anum Panji Mendapa dan mulai sejak itu, Kerajaan Kutai berevolusi menjadi Kerajaan Islam yang diberi nama Kesultanan Kutai Kartanegara.
Raja-Raja Kerajaan Kutai
Kudungga Kudungga yang adalah raja pertama dari Kerajaan Kutai tetapi apabila dilihat maka nama tersebut sangat kental dengan nuansa lokal dan ahli sejarah berpendapat jika saat ia berkuasa, pengaruh dari Hindu baru saja masuk ke wilayah Nusantara. Pada awal, kemungkinan Kudungga adalah seorang kepala suku yang saat mulai masuk pengaruh dari Hindu, maka ia langsung merubah sistem pemerintahan menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya menjadi seorang raja.
Raja Aswwarman Raja Aswwarman adalah keturunan dari Kudungga yang terkenal dengan sebutan Dewa Ansuman atau Dewa Matahari. Raja Aswwarman juga dikenal sebagai pendiri dari Kerajaan Kutai sehingga mendapat gelar Wangsakerta dengan arti pembentuk keluarga. Pada Prasasti Yupa juga disebutkan jika Raja Aswwarman adalah seorang raja yang kuat dan juga cakap sehingga Kerajaan Kutai bisa semakin luas dan ini dibuktikan dengan pelaksanaan upacara Asmawedha.
Raja Mulawarman Mulawarman merupakan sosok raja terbesar yang berpengaruh di Kerajaan Kutai dan merupakan cucu dari Kudungga serta anak Aswawarman. Ia bahkan juga dijadikan sebagai ikon dari Kerajaan Kutai.
Peninggalan Bersejarah Kerajaan Kutai Setelah mengetahui tentang sejarah singkat dari Kerajaan Kutai, berikut ini akan kami sampaikan beberapa peninggalan dari Kerajaan Kutai yang masih bisa dilihat hingga sekarang di Museum Nasional Jakarta dan juga Museum Mulawarman, Tenggarok , Kutai Kartanegara.
1. Prasasti Yupa
Prasasti Yupa merupakan salah satu dari peninggalan Kerajaan Kutai tertua dan benda ini menjadi bukti sejarah dari Kerajaan Hindu di Kalimantan tersebut. Ada 7 prasasti Yuoa yang masih bisa dilihat hingga kini. Yupa merupakan tiang batu yang dipakai untuk mengikat kurban hewan ataupun manusia yang dipersembahkan pada para Dewa dan pada tiang batu tersebut terdapat tulisan yang dipahat. Tulisan-tulisan tersebut ditulis memakai bahasa sansekerta atau huruf Pallawa. Namun dari ketujuh Prasasti Yupa tersebut tidak ada yang disertai dengan tahun pembuatannya sehingga tidak diketahui dengan pasti tanggal pembuatan prasasti tersebut.
Prasasti Yupa berisi tentang kehidupan politik. Pada prasasti pertama menceritakan tentang raja pertama Kerajaan Kutai yakni Kudungga yang merupakan nama asli Indonesia dan memperlihatkan jika ia bukan pendiri dari keluarga kerajaan. Pada Yupa juga tertulis jika di masa pemerintahan Asmawarman, di Kerajaan Kutai mengadakan upacara Aswamedha dan ini adalah upacara pelepasan kuda sebagai penentu batas wilayah Kerajaan Kutai. Kudungga memiliki seorang putra terkenal bernama Aswawarman dan ia mempunyai 3 orang putra terkenal persis seperti tiga api suci.
Dari ketiga putranya tersebut, Mulawarman menjadi anak yang paling terkenal karena sangat tegas, kuat sekaligus sabar dan mahar untuk raja dipersembahkan kurban Bahu Suwarnakam. Di masa pemerintahan Raja Mulawarman, Kerajaan Kutai mencapai masa keemasan dan sesudah pemerintahannya, tidak diketahui lagi siapa saja raja yang memerintah karena sumber sejarah yang sangat terbatas. Mulawarman diabadikan dalam salah satu Yupa sebab rasa dermawan yang dimilikinya sangat tinggi dengan mempersembahkan 20 ribu ekor sapi pada kaum Brahman dan ia dikatakan sebagai cucu dari Kudungga atau anak Aswawarman yang keduanya juga dipengaruhi oleh budaya India.
Sementara isi Prasasti Yupa mengenai kehidupan sosial diketahui jika abad ke-4 Masehi, di Kerajaan Kutai masyarakat Indonesia sudah banyak menganut agama Hindu sehingga pola pengaturan kerajaan juga sudah sangat teratur seperti pemerintahan kerajaan di India. Ini memperlihatkan jika kehidupan sosial pada masa Kerajaan Kutai sudah berkembang mengikuti jaman dan masyarakat Indonesia juga sudah mulai menerima unsur dari india kemudian dikembangkan menyesuaikan dengan tradisi yang ada di Indonesia. Saat Raja Mulawarman memberikan hadiah berupa seribu ekor lembu dan juga 1 batang pohon kelapa pada Sang Brahmana yang berbentuk seperti api pada tempat pengorbanan di tempat yang sudah diberkati yakni Vaprakeswara karena budi baiknya tersebut maka tiang upacara peringatan dibuat oleh para pendeta yang berkumpul disitu.
Isi Prasasti Yupa mengenai aspek kehidupan berbudaya di kebudayaan masyarakat Kutai sangat erat dengan agama yang mereka anut dan prasasti Yupa tersebut merupakan hasil budaya dari masyarakat Kutai, tugu batu tersebut adalah warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman Meghalitikum yakni kebudayaan Menhir. Pada salah satu Prasasti Yupa disebutkan tempat suci dengan Vaprakecvara yang merupakan lapangan berukuran luas sebagai tempat pemujaan dewa Siwa dan memperlihatkan jika agama Hindu yang dianut adalah Hindu Siwa. Ini semakin diperkuat karena pengaruh besar dari Kerajaan Pallawa yang juga beragam Siwa serta peran penting Brahmana di Kerajaan Kutai juga sangat besar seperti peranan Brahmana pada agama Siwa.
Bukti lain yang memperlihatkan kejayaan Kerajaan Kutai dari segi ekonomi adalah tertulis di dalam salah satu Yupa, jika Raja Mulawarman sudah sering menggelar upacara korban emas yang sangat banyak dan juga terlihat dari munculnya golongan terdidik. Golongan terdidik ini terdiri dari kesatria dan juga brahmana yang diprediksi sudah melakukan perjalanan jauh sampai ke India dan juga beberapa tempat penyebaran agama Hindu di kawasan Asia Tenggara. Kaum ini mendapatkan kedudukan serta perilaku yang terhomat pada sistem pemerintahan Kerajaan Kutai.
Sedangkan isi Yupa yang menceritakan tentang kehidupan agama menjelaskan jika Kerajaan Kutai, agam Hindu sangat berkembang khususnya pada masa pemerintahan Raja Asmawarman. Perkembangan agama Hindu di Kerajaan Kutai ditandai dengan tempat suci bernama Waprakeswara yang merupakan tempat suci untuk menyembah Dewa Syiwa. Walau agama Hindu adalah agam resmi dari Kerajaan Kutai, namun hanya berkembang di wilayah
istana saja, sementara masyarakat Kutai masih memakai kebudayaan asli mereka dan menganut kepercayaan Kaharingan.
Kaharingan merupakan kepercayaan yang dianut masyarakat asli Dayak yaitu menyembah Ranying Hatalla Langit yang sudah menciptakan alam semesat dan penganut Kaharingan juga menggelar upacara pembakaran mayat seperti Ngaben dalam agama Hindau sehingga pada tanggal 20 April 1980, Kaharingan masuk ke dalam bagian agama Hindu.
2. Ketopong Sultan
Ketopong merupakan mahkota Sultan Kerajaan Kutai yang terbuat dari emas dengan bobot 1.98 kg yang sekarang tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Ketopong Sultan Kutai ini ditemukan pada tahun 1890 di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara, sementara yang dipajang di Museum Mulawarman merupakan Ketopong tiruan. mahkota ini pernah dipakai oleh Sultan Aji Muhammad Sulaiman dari tahun 1845 sampai 1899 dan juga dikenakan oleh Sultan Kutai Kartanegara, selain terbuat dari emas, mahkota ini juga dilengkapi dengan permata.
Ketopong berbentuk mahkota brunjungan dan pada bagian muka berbentuk meru bertingkat berhias motif spiral dikombinasikan dengan motif sulur. Pada bagian belakang mahkota terdapat hiasan berbentuk garuda mungkur berhias motif bunga, burung dan kijang. Carl Bock yang merupakan penulis dan juga penjelajah, dalam bukunya yang berjudul The Head Hunters of Borneo menulis jika Sultan Aji Muhammad Sulaiman mempunyai 6 sampai 8 orang pengukir emas yang secara khusus membuat ukiran emas serta perak untuk Sultan.
3. Kalung Ciwa Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah kalung ciwa. Kalung Ciwa merupakan peninggalan berikutnya dari Kerajaan Kutai yang berhasil ditemukan di masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Sulaiman pada tahun 1890 oleh salah satu penduduk sekitar Danau Lipan, Muara Kaman. Kalung Ciwa sampai saat ini masih dipergunakan untuk perhiasan kerajaan dan sudah pernah dipakai Sultan pada masa penobatan Sultan yang baru.
4. Kalung Uncal
Kalung Uncal merupakan kalung yang terbuat dari emas seberat 170 gram berhiaskan liontin dengan relief cerita Ramayana. Kalung ini digunakan sebagai atribut Kerajaan Kutai Martadipura dan dipakai oleh Sultan Kutai Kartanegara sesudah Kutai Martadipura berhasil ditaklukan. Dari penelitian yang sudah dilakukan, Kalung Uncal berasal dari india dengan nama Unchele dan masih ada 2 Kalung Uncal di dunia yang berada di India dan juga di Museum Mulawarman, Kota Tenggarong. Kalung ini berbentuk buklat dengan panjang 9 cm yang terbuat dari emas 18 karat. Pada kalung ini juga terdapat ukiran Dewi Sinta serta Sri Rama yang sedang memanah babi. Selain itu juga terdapat 4 buah bulatan dan 2 diantaranya dihiasi dengan batu permata. Kalung ini juga menjadi penentu sah atau tidaknya pelantikan Raja Kutai.
Ada 2 kali Raja Kutai bisa memakai Kalung Uncal ini yaitu pada saat penobatan dan juga pernikahan dan tidak ada satu orang pun yang boleh memakai kalung ini selain Sultan atau Raja. Saat kalung akan dikeluarkan, maka dilakukan prosesi ritus tertentu seperti bakar kemenyan dan juga membacakan matra yang disebut dengan basawai. Konon dikabarkan jika Kalung Uncal yang berasal dari India ini hanya ada sebanyak 2 pasang di dunai sebab hanya digunakan oleh Sri Rama dan juga Dewi Shinta. Pada saat Sri Rama bisa merebut kembali Dewi Shinta istrinya dari Rahwana, maka ia menjadi ragu apakah istrinya tersebut masih suci
dan belum diganggu oleh Rahwana. Kecurigaan Sri Raman ini beralasan, sebab Kalung Uncal yang menjadi lambang kesucian sudah hilang dari leher Dewi Shinta.
Dewi Shinta merasa maklum dengan keraguan dari Sri Rama suaminya tersebut, namun meskipun kalungnya sudah hilang, dirinya masih tetap suci dan untuk membuktikannya, ia minta dibuatkan api unggun paling besar untuk membakar dirinya untuk membuktikan jika ia masih suci dan jika ia memang sudah ternoda, maka ia mengatakan jika akan mati ditelan oleh Dewi Agni yang merupakan Dewi Api. Rakyat Ayodiapala lalu mewujudkan permintaan tersebut, saat api dinyalakan dihadapan Sri Rama dan juga pembesar Kerajaan Ayodiapala, Sinta naik ke tangga menara yang sudah disiapkan. Saat sampai diatap menara, ia pun berkata pada suaminya jika meski kalungnya sudah hilang namun ia masih suci dan jika memang ia sudah ternoda, maka ia akan hangsu terbakar Dewi Agni. Akan tetapi jika tidak, maka kanda melihat aku kembali pada kanda dan Dewi Shinta pun terjun ke dalam api yang berkobar.
Shinta lalu ditelan kobaran api dan tidak terlihat, akan tetapi beberapa saat kemudian, muncul dari api sebuah singgasana yang naik dengan perlahan dan berhenti di depan Sri Rama dan terlihat Dewi Shinta duduk sambil tersenyum memandang Sri Rama. Kalung ini dikatakan merupakan kepunyaan dari Ratu Kudungga yakni ratu di India dan dari cerita, jika kalung ini belum bisa menyatu dan kembali berdampingan, maka selama itu juga India tidak bisa hidup dengan tenteram, makmur serta damai. Bencana akan selalu melanda negeri tersebut dan juga kelaparan, perang serta kemiskinan juga tidak akan pernah berhenti dan inilah yang dipercaya oleh masyarakat India.
5. Kura Kura Emas
Kura kura emas juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang sekarang disimpan di Museum Mulawarman dengan ukuran setengah kepalan tangan. Dari label yang tertera dalam etalase, benda ini ditemukan di daerah Long Lalang yang merupakan daerah di hulu sungai Mahakam.
Benda ini dikatakan merupakan persembahan dari pangeran kerajaan di Cina untuk putri Raja Kutai yakni Aji Bidah Putih. Pangeran memberikan beberapa benda unik lainnya untuk kerajaan, sebagai bukti kesungguhannya yang ingin mempersunting putri.
Kura kura emas ini dibuat dari emas 23 karat dengan bentuk kura kura yang juga digunakan sebagai upacara penobatan Sultan Kutai Kartanegara. Kura kura ini menjadi simbol penjelmaan Dewa Wisnu.
6. Pedang Sultan Kutai Peninggalan Kerajaan Kutai selanjutnya adalah pedang sultan kutai. Pedang Sultan Kutai terbuat dari emas padat dan pada bagian gagang diukir gambar seekor harimau yang sedang siap untuk menerkam, sedangkan pada ujung sarung pedang berhiaskan seekor buaya dan kini pedang Sultan Kutai disimpan di Museum Nasional Jakarta.
7. Tali Juwita
Tali Juwita merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai yang mewakilkan simbol 7 muara serta 3 anak sungai yakni sungai Kelinjau, Belayan dan juga Kedang Pahu di Sungai Mahakam. Tali Juwita ini dibuat dari 21 hela benang dan biasanya dipakai pada upacara adat Bepelas.
Utasan tali ini terbuat dari emas, perak dan juga perunggu dengan hiasan 3 bandul berbentuk gelang dan 2 buah permata mata kucing serta barjat putih dan untuk bandul lain berbentuk lampion dengan hiasan 2 bandul berukuran kecil. Tali Juwita ini berasal dari kata Upavita yaitu kalung yang diberikan pada raja.
7 Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Yang Wajib Diketahui
Terdapat tujuh prasasti hasil peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang ditulis dengan bahasa Sansekerta, diantaranya: 1. Prasasti Ciaruteun
Prasati ini ditemukan di tepi Sungai Ciarunteun, yakni dekat Sungai Cisadane Bogor. Didalamnya menyebutkan nama Tarumanegara, Raja Purnawarman, dan lukisan sepasang kaki yang diyakini sama dengan telapak kaki Dewa Wisnu. Adapun gamabar sepasang telapak kaki yang berada di prasasti tersebut melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut dan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu yang dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat. Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta 4 baris tersebut juga dikenal dengan Prasasti Ciampea. 2. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti ini tergambar bekas dua tapak kaki gajah yang diidentikkan dengan gajah Airawata, yakni gajah tunggangan Dewa Wisnu. Prasasti yang ditemukan di Kampung Muara Hilir, Kecamatan Cibungbulang juga ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. 3. Prasasti Tugu
Prasasti Tugu terdiri dari 5 baris yang ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang ditemukan di Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti Tugu berisi tentang Raja Purnawarman yang memerintah untuk menggali saluran air Gomati dan Chandrabaga sepanjang 6.112 tombak yang selesai dalam 21 hari. 4. Prasasti Jambu
Prasasti yang ditemukan di bukit Koleangkak Bogor ini berisi tentang sanjungan kebesaran, kegagahan, dan keberanian Raja Purnawarman. Prasasti Jambu terukir sepasang telapak kaki dan terdapat keterangan puisi dua baris dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.
5. Prasasti Muara Cianten
Prasasti ini ditemukan di Bogor dengan aksara ikal. Namun, prasasti Muara Cianten tersebut belum dapat dibaca. 6. Prasasti Cidanghiyang
Prasasti ini ditemukan di kampung Lebak, pinggir Sungai Cidanghiang, Pandeglang-Banten. Prasasti yang baru ditemukan pada tahun 1947 berisi “Inilah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguh-sungguhnya dari raja dunia, yang mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja”. Prasasti Cidanghiang juga disebut Prasasti lebak ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta.
7. Prasasti Pasir Awi
Ditemukan di Leuwiliang dengan aksara Ikal yang belum dapat dibaca. Pada prasasti ini terdapat pahatan gambar dahan dengan ranting, dedaunan serta buah-buahan, dan gambar sepasang telapak kaki. Demikian pembahasan tentang Peninggalan Kerajaan Tarumanegara yang meliputi tujuh prasasti penting Kerajaan Tarumanegara.
7 Benda dan Bangunan Peninggalan Kerajaan Pajajaran (Sunda-Galuh) Pada masa lalu, di Asia Tenggara penyebutan nama kerajaan sering digantikan dengan penyebutan nama ibukotanya. Pakuan Pajajaran adalah ibukota Kerajaan Sunda-Galuh yaitu gabungan dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh yang berdiri pada 1030-1579 M di lokasi yang sekarang disebut jawa barat. Sesuai dengan kebiasaan penyebutan nama kerajaan tadi, maka Kerajaan Sunda-Galuh inilah yang lebih kita kenal sebagai Kerajaan Pajajaran. So, Mari kita pelajari lebih dalam tentang peninggalan sejarahnya...
1. Prasasti Cikapundung
tempo.co Prasasti ini ditemukan warga di sekitar sungai Cikapundung, Bandung pada 8 Oktober 2010. Batu prasasti bertuliskan huruf Sunda kuno tersebut diperkirakan berasal dari abad ke14. Selain huruf Sunda kuno, pada prasasti itu juga terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Hingga kini para peneliti dari Balai Arkeologi masih meneliti batu prasasti tersebut.
Batu prasasti yang ditemukan tersebut berukuran panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm. Pada prasasti itu terdapat gambar telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan dua baris huruf Sunda kuno bertuliskan “unggal jagat jalmah hendap”, yang artinya semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Peneliti utama Balai Arkeologi Bandung, Lutfi Yondri mengungkapkan, prasasti yang ditemukan tersebut dinamakan Prasasti Cikapundung.
3. Prasasti Huludayeuh
http://disparbud.jabarprov.go.id Prasasti Huludayeuh berada di tengah persawahan di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber dan setelah pemekaran wilayang menjadi Kecamatan Dukupuntang – Cirebon.
Penemuan Prasasti Huludayeuh telah lama diketahui oleh penduduk setempat namun di kalangan para ahli sejarah dan arkeologi baru diketahui pada bulan September 1991. Prasasti ini diumumkan dalam media cetak Harian Pikiran Rakyat pada 11 September 1991 dan Harian Kompas pada 12 September 1991.
Isi Prasasti Huludayeuh berisi 11 baris tulisan beraksa dan berbahasa Sunda Kuno, tetapi sayang batu prasasti ketika ditemukan sudah tidak utuh lagi karena beberapa batunya pecah sehingga aksaranya turut hilang. Begitupun permukaan batu juga telah sangat rusak dan
tulisannya banyak yang turut aus sehingga sebagian besar isinya tidak dapat diketahui. Fragmen prasasti tersebut secara garis besar mengemukakan tentang Sri Maharaja Ratu Haji di Pakwan Sya Sang Ratu Dewata yang bertalian dengan usaha-usaha memakmurkan negrinya.
4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis adalah sebuah prasasti berbentuk tugu batu yang ditemukan pada tahun 1918 di Jakarta.. Prasasti ini menandai perjanjian Kerajaan Sunda– Kerajaan Portugal yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme dan membawa barang-barang untuk "Raja Samian" (maksudnya Sanghyang, yaitu Sang Hyang Surawisesa, pangeran yang menjadi pemimpin utusan raja Sunda). Prasasti ini didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis.
Prasasti ini ditemukan kembali ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang di sudut Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Kali Besar Timur I), sekarang termasuk wilayah Jakarta Barat. Prasasti tersebut sekarang disimpan di
Museum Nasional Republik Indonesia, sementara sebuah replikanya dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta
6. Prasasti Kebon Kopi II
http://disparbud.jabarprov.go.id Prasasti Kebonkopi II atau Prasasti Pasir Muara peninggalan kerajaan Sunda-Galuh ini ditemukan tidak jauh dari Prasasti Kebonkopi I yang merupakan peninggalan kerajaan tarumanegara dan dinamakan demikian untuk dibedakan dari prasasti pertama. Namun sayang sekali prasasti ini sudah hilang dicuri sekitar tahun 1940-an. Pakar F. D. K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 932 Masehi. Prasasti Kebonkopi II ditemukan di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Prasasti ini terletak kira-kira 1 km dari batu prasasti Prasasti Kebonkopi I (Prasasti Tapak Gajah).
7. Situs Karangkamulyan
sudrajat15.blogspot.com Situs Karangkamulyan adalah sebuah situs yang terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat. Situs ini merupakan peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang bercorak Hindu-Buddha. Legenda situs Karangkamulyan berkisah tentang Ciung Wanara yang berhubungan dengan Kerajaan Galuh. Cerita ini banyak dibumbui dengan kisah kepahlawanan yang luar biasa seperti kesaktian dan keperkasaan yang tidak dimiliki oleh orang biasa namun dimiliki oleh Ciung Wanara. Kawasan yang luasnya kurang lebih 25 Ha ini menyimpan berbagai benda-benda yang diduga mengandung sejarah tentang Kerajaan Galuh yang sebagian besar berbentuk batu. Batu-batu ini letaknya tidaklah berdekatan tetapi menyebar dengan bentuknya yang berbeda-beda. Batu-batu ini berada di dalam sebuah bangunan yang strukturnya terbuat dari tumpukan batu yang bentuknya hampir sama. Struktur bangunan ini memiliki sebuah pintu sehingga menyerupai sebuah kamar.
Peninggalan kerajaa Melayu Prasasti Masjustri Peninggalan Kerajaan Melayu Berikut ini merupakan peninggalan-peningalan dari kerajaan melayu yang telah di temukan dan digunakan sebagai sumber informasi sejarah dan penelitian, dan beberapa peninggalan juga telah di pindahkan dan di simpan di musium.
1. Prasasti Padang Roco
Yang pertama adalah prasasi Padang Roco Prasasti Padang Roco ditemukan pada tahun 1911 di hulu sungai Batanghari, kompleks percandian Padangroco, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Prasasti Padang Roco merupakan sebuah alas dari arca Amoghapāśa yang pada empat sisinya terdapat manuskrip. Prasasti Prasasti Padang Roco ini dipahatkan 4 baris tulisan dengan aksara Jawa Kuno, dan memakai dua bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Sanskerta. Prasasti Padang Roco ini berangka tahun 1208 Saka atau 1286 Masehi, dituliskan pada arca Amoghapāśa hadiah dari śrī mahārājādhirāja keṛtanagara wikrama dharmmottunggadewa raja dari kerajaan Singhasari di Jawa untuk rakyat dan Raja Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatera. Prasasti Padang Roco ini menceritakan bahwa pada tahun 1208 Saka, atas perintah raja Kertanegara dari Singhasari, sebuah arca Amoghapasalokeswara dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini
diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya śrī mahārāja śrīmat tribhuwanarāja mauliwarmmadewa. Prasasti Padang Roco memiliki 4 baris pahatan berupa tulisan Jawa Kuno yang menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Melayu Kuno dan Bahasa Sanskerta. Berikut adalah isi dari prasasti Padang Roco yang telah diterjemahkan oleh Prof. Slamet Muljana:
Bahagia ! Pada tahun Śaka 1208[2], bulan Bādrawāda, hari pertama bulan naik, hari Māwulu wāge, hari Kamis, Wuku Madaṇkungan, letak raja bintang di baratdaya ...
...Tatkalai itulah arca paduka Amoghapāśa lokeśwara dengan empat belas pengikut serta tujuh ratna permata di bawa dari Bhūmi Jāwa ke Swarnnabhūmi, supaya ditegakkan di Dharmmāśraya,
sebagai hadiah Śrī Wiśwarūpa Kumāra. Untuk tujuan tersebut pāduka Śrī Mahārājādhirāja Kṛtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa memerintahkan rakryān mahā-mantri Dyah Adwayabrahma, rakryān śirīkan Dyah Sugatabrahma dan
samagat payānan hań Dīpankaradāsa, rakryān damun Pu Wīra untuk menghantarkan pāduka Amoghapāśa. Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di Bhūmi Mālayu, termasuk brāhmaṇa, ksatrya, waiśa, sūdra dan terutama pusat segenap para āryya, Śrī Mahārāja Śrīmat Tribhuwanarāja Mauliwarmmadewa
Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. 2. Prasasti Amoghapasa
Yang ke dua adalah prasasti Amoghapasa Prasasti Amoghapasa yang merupakan pemberian dari raja kartanegara dari kerajaan singasari kepada raja Tribhuawana dari kerrajaan Melayu di Dharmasraya pada tahun 1208 atau 1286 masehi. Dalam prasasti Amoghapasa ini tertulis bahwa sekitar abad ke 13 Dharmasraya berada di bawah kerkuasaan kerajaan Melayu. Adityawarman menambahkan aksara yang dituliskan dalam bahasa sansekerta pada bagian belakang prasasti yang telah diperkirakan dilakukan pada tahun 1347. Tata bahasa dari pahatan manuskrip ini tidak terstruktur dan sangat sulit untuk di terjemahkan dengan benar diperkirakan berisi kata pujian kepada Raja Adityawarman. Prasasti Amoghapasa ini ditemukan secara terpisah menjadi bagian alas dan bagian arca , akan tetapi aslinya kedua bagian ini merupakan satu kesatuan yang dikirim dari Jawa oleh Kertanegara. Bagian arca ditemukan sekitar tahun 1880-an di daerah Situs Rambahan yang terletak dekat sungai Langsat, sekitar 10 kilometer arah ke hulu sungai Batanghari. Sedangkan bagian alas yang disebut Prasasti Padang Roco ditemukan kemudian pada tahun 1911 di kompleks percandian Padang Roco. Kini kedua bagian itu bersatu kembali, arca Amoghapasa dan alasnya disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta. 3. Prasasti Manjustri
Yang ke tiga adalah Prasasti Manjusri Prasasti Manjusri merupakan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Manjusri, bertarikh 1343, pada awalnya ditempatkan di Candi Jago (sekarang tersimpan di
Museum Nasional. Candi Jago atau Candi Tumpang atau Candi Jinalaya merupakan tempat asalnya patung Manjusri ini. Candi tersebut mula-mula didirikan atas perintah raja Kertanagara untuk menghormati ayahandanya, raja Wisnuwardhana yang mangkat pada tahun 1268. Asal usul Prasasti Manjustri Berdasarkan menurut tafsiran Bosch dari tulisan pada prasasti tersebut, kemungkinan Adityawarman mendirikan candi tambahan di lapangan Candi Jago tersebut, atau mungkin pula candi yang didirikan pada tahun 1280 sudah runtuh dan digantikan dengan candi baru. Namu karena tidak adanya sisa-sisa bangunan besar di samping Candi Jago yang sekarang, sehingga menunjukkan penjelasan yang kedua lebih masuk akal. Hal ini didukung pula oleh gaya relief dan ukiran pada candi tersebut, menurut analisis Stutterheim, membuktikan bahwa candi yang sekarang ini lebih baru daripada abad ke-13. Karakter Prasasti Manjusri dianggap sebagai personifikasi dari kebijaksanaan transenden. Dia duduk di atas takhta berhiasan teratai yang gemerlapan, pada tangan kirinya ia memegang sebuah buku yang merupakan sebuah naskah dari pohon palem, tangan kanannya memegang pedang yang bermakna untuk melawan kegelapan, dan pada dadanya dilingkari tali. Ia juga dikelilingi oleh empat dewa, yang semuanya bermakna replika dirinya sendiri. Berikut merupakan isi dari Prasasti Manjustri yang telah di terjemahkan. Dalam kerajaan yang dikuasai oleh Ibu Yang Mulia Rajapatni maka Adityawarman itu, yang berasal dari keluarganya, yang berakal murni dan bertindak selaku menteri wreddaraja, telah mendirikan di pulau Jawa, di dalam Jinalayapura, sebuah candi yang ajaib- dengan harapan agar dapat membimbing ibunya, ayahnya dan sahabatnya ke kenikmatan Nirwana. 4. Prasasti Kedukan Bukit Yang ke empat adalah prasasti Kedukan Bukit Prasasti Kedukan Bukit ini ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit ini menceritakan tentang penundukan Kerajaan Melayu oleh Sriwijaya Ketika pertangahan abad kesebelas Kerajaan Sriwijaya mulai lemah akibat serbutan dahsyat Colamandala, negeri Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali.